PENDAHULUAN
tahun 2008, sekitar 1,4 milyar orang dewasa usia 20 tahun ke atas mengalami
overweight dan prevalensi obesitas di dunia yaitu 10% pada pria dan 14% pada
wanita. Angka ini mengalami peningkatan 2 kali lipat bila dibandingkan dengan
tahun 1980 (5% pada pria dan 8% pada wanita) (WHO, 2008). Prevalensi
kegemukan (obesitas) di negara maju berkisar dari 2.4% di Korea Selatan hingga
antara lain balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa, dan lanjut usia (Padmiari
berat dan 10.3% obesitas. (laki-laki 13,9% dan perempuan 23,8%). Berdasarkan
remaja usia 13-15 tahun sebesar 10,8 persen, terdiri atas 8,3 persen gemuk dan 2,5
persen sangat gemuk (obesitas), sedangkan prevalensi obesitas pada usia remaja
16-18 tahun adalah 7,3% yang terdiri dari 5,7 % gemuk dan 1,6 % obesitas.
1
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi obesitas
pada usia remaja 16-18 tahun di propinsi Sumatera Barat adalah 7,9%. Sementara
itu berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Padang, diketahui bahwa sekolah
mengalami obesitas 80% berpeluang untuk mengalami obesitas pula pada saat
dewasa (Guo and Chumlea, 2000). Selain itu, terjadi peningkatan remaja obesitas
yang didiagnosis dengan kondisi penyakit yang biasa dialami orang dewasa,
seperti diabetes tipe 2 dan hipertensi. Remaja obesitas sepanjang hidupnya juga
berisiko lebih tinggi untuk menderita sejumlah masalah kesehatan yang serius,
seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, asma, dan beberapa jenis kanker.
Stigma obesitas juga membawa konsekuensi psikologis dan sosial pada remaja,
termasuk peningkatan risiko depresi karena lebih sering ditolak oleh rekan-rekan
mereka serta digoda dan dikucilkan karena berat badan mereka (Puhl and Latner,
2007).
mengestimasikan 34% remaja usia 12-19 tahun mengalami obesitas dan lebih dari
Penelitian yang dilakukan oleh Kartini (2013) menyatakan terdapat 14,1% siswi
SMA Theresiana 1 Semarang yang obesitas dan berada di kelas X dan XI.
dan obesitas abdominal pada wanita (Tamer et al, 2012). Studi terbaru
2
menyebutkan bukti keterkaitan antara obesitas dengan kadar vitamin D yang
rendah dalam tubuh. Belum dapat diketahui pasti penyebab defisiensi vitamin D
tersebut, apakah karena tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup, rendah diet
dan makanan karena menumpuk di lemak tubuh. Orang yang mengalami obesitas
akan kurang mampu untuk mengubah vitamin D menjadi bentuk aktif. Indeks
serum vitamin D3 setelah iradiasi dan dengan konsentrasi puncak serum vitamin
anak Korea. Ozkan et al (2009) menyatakan bahwa pada anak-anak kadar serum
penurunan berat badan yang lebih besar dari diet sayuran hijau dan menyebabkan
tingkat serum 25OHD3 lebih tinggi (Ortega et al, 2009). Kandungan persentase
lemak tubuh secara independen berbanding terbalik untuk tingkat serum 25OHD3
pada wanita yang sehat, terlepas dari diet asupan vitamin D, musim, umur, dan ras
(Arunabh et al, 2003). Keterkaitan vitamin D dengan obesitas menjadi daya tarik
3
para peneliti yang memperlihatkan tidak hanya suatu kondisi penimbunan
jaringan adiposa, tetapi juga peningkatan kadar leptin. Leptin melalui fibroblast
vitamin D yang dibentuk di ginjal. Selain itu, leptin secara langsung dapat
peningkatan jaringan adiposa maka vitamin D yang larut lemak akan tersimpan
merupakan bentuk aktif metabolit vitamin D3, dan reseptor vitamin D (VDR)
(PTH). Kelebihan PTH dapat menambah berat badan dengan menghambat induksi
Hubungan Kadar Vitamin D dalam Darah dengan Kejadian Obesitas pada Siswa
4
1.3 Tujuan Penelitian
dalam darah dengan kejadian obesitas pada siswa SMA Pembangunan Padang
Padang
kadar vitamin D dalam darah terhadap kejadian obesitas pada siswa SMA
Pembangunan Padang
5
1.3.6 Kepentingan sekolah
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas
berlebihan berdasarkan tinggi badan, berat badan, jenis kelamin dan ras sehingga
lemak tubuh secara berlebihan. Akumulasi lemak yang berlebih tersebut dapat
mencapai 50% berat badan total dan menyebabkan konsekuensi patologis yang
sebagai penyekat panas, penyerap guncangan dan fungsi lainnya. Rata-rata wanita
memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang
normal antara lemak tubuh dan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita
dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria
dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas. Seseorang
yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat
berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah
7
satu indikator yang paling sesuai untuk menentukan kelebihan berat
IMT = BB (kg)
TB² (m)
apabila IMT berkisar antara 18,5 – 24,9, sedangkan yang obesitas adalah yang
normal apabila IMT 18,5 - 25,00, sedangkan untuk obesitas memiliki IMT > 27
(Depkes, 2002)
antropometri penilaian status gizi anak menurut WHO 2005 yang dikeluarkan
8
oleh Kepmenkes pada tahun 2010. Indeks IMT/U menggunakan ambang batas
standar deviasi. Standar deviasi disebut juga dengan Z-skor. WHO menyarankan
menilai status gizi pada anak usia 10-19 daripada Indikator BB/U karena tidak
dapat membedakan tinggi badan dan massa tubuh di mana pada periode usia ini
terjadi pubertas, sebagai contoh anak yang pada kenyataannya tinggi bisa saja
terdeksi mengalami kelebihan berat badan. Oleh Karena itu indikator IMT/U lebih
direkomendasikan untuk menilai status gizi pada anak usia 10-19 tahun.
Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks IMT/U
3. Normal -2 SD sampai 1 SD
5. Obesitas >2 SD
obesitas ataupun perlindungan terhadap obesitas. Estimasi saat ini sekitar 25%
sampai dengan 40% dari variasi IMT kemungkinan disebabkan oleh faktor
9
atau extremities), respon psikologi dalam makan berlebihan, dan beberapa prilaku
makan. Penemuan gen pada tikus menimbulkan harapan bahwa gen atau produk
gen tersebut secara langsung bermanfaat bagi manusia seperti penemuan leptin,
lingkungan dan gaya hidup merupakan faktor yang sangat penting dalam etiologi
sementara secara genetik telah stabil. Overweight dan obesitas hanya terjadi jika
ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang keluar. Pengaruh faktor genetik
diarahkan pada pengaturan baik respon terhadap masukan energi, atau tingkat
pengeluaran energi saat istirahat, dengan aktivitas atau makan (Mann and
Truswell, 2005).
a. Intake makanan
Peranan makanan terhadap peningkatan berat badan telah jelas. Sesuai dengan
hasil penelitian The Islands of Nauru anu Mauritius. Jumlah makanan yang
dikonsumsi itu sangat penting, tapi yang tidak kalah penting adalah kualitas
10
lemak (Mann and Truswell, 2005). Kenaikan berat badan terjadi jika asupan
energi melebihi keluaran energi selama jangka waktu tertentu. Hal ini
yang disuplai ke dalam tubuh sebagai makanan tidak digunakan oleh tubuh
b. Aktivitas fisik
badan, Hal ini terjadi sebagai perubahan gaya hidup (kurang olahraga, mengambil
pekerjaan yang tidak banyak bergerak, memiliki banyak anak), penuaan atau
fisik semakin tinggi pula jumlah energi yang dibutuhkan. Jumlah energi ytang
diperlukan untuk aktivitas adalah jumlah energi yang diperlukan untuk pekerjaan
otot, jantung dan pernafasan. Aktivitas fisik yang berat akan berakibat banyaknya
energi yang dikeluarkan, begitu juga sebaliknya, bila aktivitas ringan akan
mengeluarkan energi lebih sedikit sehingga energi yang berlebih akan disimpan
tubuh dalam bentuk lemak. Hal ini akan berakibat berat badan akan semakin
c. Faktor psikologis
prilaku yang salah. Menurut para ahli faktor tersebut berhubungan dengan rasa
lapar dan nafsu makan. Hal ini disebabkan karena sejumlah hormon akan
11
diseksresi sebagai tanggapan dari keadaan psikologis sehingga terjadi peningkatan
metabolism energi yang dipecah dan digunakan untuk melakukan aktivitas fisik.
Namun jika seseorang yang sedang mengalami stress tidak melakukan aktivitas
fisik yang mampu membakar energi, maka kelebihan energi tersebut akan
disimpan sebagai lemak. Proses ini akan menyebabkan glukosa darah menurun
sehingga menyebabkan rasa lapar pada orang yang sedang mengalami tekanan
psikologis.
Peningkatan risiko:
Metabolik:
- CVD
- Diabetes tpe 2
- Beberapa jenis kanker
- Disfungsi hormonal
Mekanis :
- Muskuloskeletal
- Vaskuler
- Respirasi
- Komplikasi bedah
- Psikologis /sosial
Obesitas merupakan faktor risiko utama CVD, dan data secara konsisten
Akan tetapi, obesitas juga merupakan faktor risiko bagi sejumlah kondisi lain
12
yang terkait dengan CVD seperti dislipidemia, diabetes mellitus tipe 2 serta
semua penyakit yang terkait dengan CVD, mortalitas CVD meningkat tiga kali
lipat. Telah diketahui dengan jelas bahwa penumpukan sejumlah besar lemak
2.1.4.2 Hipertensi
dianggap bahwa hal ini disebabkan oleh efek antinatriuretik dari kenaikan
kadar insulin
hipertensif langsung.
- Tingginya asupan garam dan rendahnya tingkat kebugaran fisik mungkin ikut
berperan
2.1.4.3 Kanker
untuk mencegah kanker. Akan tetapi tidak terdapat cukup bukti yang kuat san
13
- Reseptor untuk faktor pertumbuhan serupa –insulin (insulin- like growth
sehingga sel menjadi lebih reaktif terhadap IGF), akibat perubahan metabolic
dalam respons terhadap insulin. Pertumbuhan sel akan dipacu, terutama sel
- Kanker yang tergantung hormon, seperti kanker payudara dan kanker prostat,
jaringan adipose.
Sangatlah sukar untuk memisahkan efek obesitas dari efek faktor diet yang
mungkin berkontribusi pada obesitas, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga
penurunan berat badan dan aktivitas fisik dapat bermanfaat sebagai tindakan
preventif melawan perkembangan kanker pada pasien dengan berat badan berlebih
(Barasi, 2007).
- Dampak fisik dari kelebihan berat badan pada rangka dan sendi
14
- Dampak social dari nerat badan berlebih dan obesitas dalam persepsi
Berbagai dampak di atas memiliki efek yang sangat besar pada kualitas hidup dan
2.2 Vitamin D
(Vitamin D2) dan kolekalsiferol (vitamin D3). Prekursor vitamin D hadir dalam
fraksi sterol dalam jaringan hewan (di bawah kulit) dan tumbuh-tumbuhan
15
Vitamin D2
Vitamin D3
Vitamin D yang dibentuk di kulit atau yang diresorpsi melalui usus akan
1,25 DHCC) yang merupakan suatu hormon (bukan vitamin) dan berperan pada
meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfat dari usus untuk kebutuhan mineral
tersebut pada pembentukan tulang. Selain itu sama halnya dengan PTH, 1,25
bentuk vitamin D endogen (vitamin D3) dan eksogen ( vitamin D2). Kedua
16
bentuk tersebut untuk menjadi vitamin D yang aktif memerlukan metabolism
lebih lanjut. Vitamin D larut dalam lemak, dan oleh sebab itu untuk dapat
terpapar oleh sinar matahari atau sinar artificial tertentu, radiasi UV memasuki
D3. Dengan paparan sinar matahari yang cukup suplementasi vitamin tidak
cairan empedu. Vitamin D dari bagian atas usus halus diangkut oleh D-plasma
dan jaringan lain. Absorpsi vitamin D pada orang tua kurang efisien bila
17
Vitamin D yang terdapat pada tumbuhan, Vitamin D2 (ergocalciferol) dan
pada hewan D3 (cholecalciferol), terdapat dalam diet sehari hari, dan disintesa
dikulit (terutama vitamin D3) dengan bantuan radiasi sinar ultra violet dari
bahan tidak aktif yang dibentuk bergantung pada instensitas radiasi ultraviolet
(Muchtadi, 2009).
adalah pigmentasi, penggunaan alas penahan matahari (sunsreen) dan lama waktu
dalam metabolisme. Vitamin D (kedua duanya D3 dan D2) akan diangkut ke hati
dan terikat oleh alfa globulin spesifik (vitamin D binding protein) dan sebagian
2012).
terbaik status overall vitamin D. Kadar normal berkisar 15 – 50 ng/ml (25 – 125
Dalam penelitian ini kadar normal yang di gunakan adalah 20-50 ng/ml sesuai
18
proksimal ginjal, 25- hydroxyvitamin D mengalami hidroksilasi menjadi bentuk
1,25 hydroxyvitamin D, bentuk vitamin D yang paling aktif, dan dikenal sebagai
berbagai faktor, beberapa yang paling penting adalah PTH, fosfor, kalsium serum,
adalah 20 -60 pg/ml (50-150 pmol/L). Ginjal juga dapat mengkonversi 25-
metabolit tersebut kadarnya 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar 1,25
dihydroxyvitamin, peran biologisnya sampai saat ini masih belum jelas. Berbagai
tidak mempunyai efek biologis. Peneliti lain menduga adanya peran penting
Vitamin D dari diit dan atau hasil konversi dari precusor di kulit dengan
dalam tubuh manusia kedua jalur aktifasi metabolik yaitu, jalur endogen
(cholecalciferol= Vit D3 yang berasal dari hewan) dan jalur eksogen dalam
19
Ginjal mempunyai peran penting dalam metabolisme vitamin 25(OH)
menjadi metabolit yang lebih aktif. Sesudah di bentuk di hati, 25(OH)D diikat
Sintesis kalsitriol diatur oleh taraf kalsium dan fosfor dalam serum.
Hormon paartiroid (PTH) yang dikeluarkan bila kalsium dalam serum rendah,
ginjal. Jadi taraf konsumsi kalsium yang rendah tercermin pada taraf kalsium
serum yang rendah. Hal ini akan mempengaruhi sekresi PTH dan peningkatan
sintesis kalsitriol oleh ginjal. Taraf fosfat dari makanan mempunyai pengaruh
Gambar 2.2. Elemen vitamin D dalam Sistem Endokrin (Erdman et al, 2012)
20
penurunan sintesa vitamin D di kulit dan penurunan sintesa 25 (OH)2 di ginjal
Defisiensi Vitamin D yang terjadi dalam jangka waktu lama dan berat
akan mengalami rikect ( Suatu kelainan tulang yang khas ditandai dengan adanya
Bayi dan anak-anak dianjurkan berada di bawah sinar matahari beberapa waktu
kolekalsiferol, yaitu kuning telur, hati, krim, mentega, dan minyak hati-ikan. Susu
sapi dan ASI bukan merupakan sumber vitamin D yang baik (Departemen Gizi
makanan untuk bayi dengan vitamin D (ergosterol yang diradiasi). Minyak hati-
21
ikan sering digunakan sebagai suplemen vitamin D untuk bayi dan anak-anak.
D relatif stabil dan tidak rusak bila makanan dipanaskan atau disimpan untuk
riketsia pada anak-anak dan osteomalasia pada orang dewasa. Kekurangan pada
terlambat, gigi terlambat keluar, bentuk gigi tidak teratur dan mudah rusak
wanita yang konsumsi kalsiumnya rendah, tidak banyak mendapat sinar matahari
dan mengalami banyak kehamilan dan menyusui. Osteomalasia dapat pula terjadi
pada mereka yang menderita penyakit saluran cerna, hati, kantung empedu atau
terutama pada kaki, tulang belakang, toraks, dan pelvis. Gejala awalnya adalah
rasa sakit seperti rematik dan lemah dan kadang muka menggamit (twitching),
22
Indonesia. Suplemen vitamin D tidak dibutuhkan (Feldman et al, 2011;
memiliki kadar 25(OH)D yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak
prevalensi dari defisiensi serum 25(OH)D pada saat ini. Rendahnya konsentrasi
diserap dalam jaringan lemak, peningkatan basal metabolik, dan gaya hidup dari
penderita obesitas yang cenderung kurang menyukai aktifitas di luar rumah serta
kurangnya paparan sinar matahari (Saliba et al, 2012). Penyebab lain dari
rendahnya kadar 25(OH)D serum pada penderita obesitas adalah kadar lemak
yaitu lebih dari 25 mikrogram (1000 SI) sehari, akan menyebabkan keracunan.
kalsifikasi berlebihan pada tulang dan jaringan tubuh, seperti ginjal, paru-paru,
dan organ tubuh lain. Tanda-tanda khas adalah akibat hiperkalsemia, seperti
lemah, sakit kepala, kurang nafsu makan, diare, muntah-muntah, gangguan mental
23
menunjukkan gangguan saluran cerna, rapuh tulang, ganggua pertumbuhan dan
dan adiposit lemak dan kenaikan berat badan, juga meningkatkan lipolisis,
kalsium akan meningkat jika terdapat vitamin D yang cukup dalam tubuh.
eksresi kalsium melalui ginjal. Jadi, Vitamin D sangat penting untuk menjaga dan
faktor risiko independen untuk obesitas dan obesitas abdominal pada wanita.
yang rendah akan berdampak pada penyerapan kalsium. Kalsium yang rendah
akan meningkatkan enzim asam lemak sintase yaitu sebuah enzim yang berperan
dalam merubah kalori menjadi lemak. Jadi ketika tubuh kekurangan kalsium maka
enzim asam lemak sintase akan meningkat sehingga akan memicu terjadinya
24
lipogenesis dan menghambat terjadinya lipolisis, dengan demikian akan terjadi
peningkatan berat badan akibat penimbunan lemak (Barba G and Russo P, 2005).
Selain itu studi terbaru juga menyebutkan bukti keterkaitan antara obesitas
dengan kadar vitamin D yang rendah dalam tubuh. Keterkaitan ini diperantarai
oleh leptin. Leptin pertama kali dikemukakan oleh Friedman pada tahun 1994 dan
diproduksi oleh sel lemak putih melalui rangsangan antara lain adalah insulin.
Fungsinya adalah sebagai pengendali berat badan. Bila cadangan lemak tinggi ,
sel lemak memproduksi leptin yang selanjutnya mengirim rangsangan pada otak
akan dibakar dengan akibat berat badan menurun. Sebaliknya cadangan lemak
dalam lemak coklat. Penurunan system inilah yang akan menyebabkan obesitas
makin besar cadangan lemak tubuhnya makin tinggi kadar leptin darahnya.Dan
sintesis D 1,25(OH)2, bentuk aktif vitamin D yang dibentuk di ginjal. Selain itu,
leptin secara langsung dapat menekan ikatan vitamin D 25(OH) yang berada
25
hydroxylase (CYP24) pada ginjal dan jaringan adiposa. Terdapat pula teori yang
26
BAB III
Sinar Ultraviolet
Jaringan Adiposa
Vitamin D3
Leptin
Vitamin D-25
Hydroxylase (di
Hati) I Hydroxylase
(CYP27BI)
Lipolisis
1,25-
25 (OH) D3 (Di Hydroxyvi
(Sirkulasi tamin D- Obesitas
FGF - 23 24
Hydroxyla
se
25 (OH) D-1α
Hydroxylase Faktor lain Penye
(di Ginjal) bab obesitas :
- Genetik
1,25 (OH)2D3 1,25 (OH)2D3 - lingkungan dan
Gaya hidup
PTH a. intake maka
nan.
Tulang
Intestine b. Aktivitas
fisik
c. psikologis
Kalsium Darah
27
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Vitamin D berasal dari intake makanan dan di bantu oleh sinar matahari
D3 dan kemudian di ginjal di ubah menjadi kedalam bentuk paling aktif yaitu 1,25
kalsium tergantung dari vitamin D karena sumber utama kalsium adalah dari
vitamin D , apabila kalsium dalam darah rendah maka akan mengganggu proses
lipolisis dan akan menambah enzim asam lemak sintase yang bisa meningkatkan
proses lipogenesis. Sementara itu pada obesitas mempunyai jaringan adiposa yang
lurus dengan leptin, semakin banyak jaringan adiposa maka leptinpun akan
vitamin D kedalam bentuk aktif. yang mana leptin bisa mengganggu kerja
28
ketiganya untuk pembentukan vitamin D kedalam bentuk aktif di sirkulasi dan
ginjal.
3.3 Hipotesis
29
BAB IV
METODE PENELITIAN
Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi yang mempunyai kriteria
2
n= Zα x S
d
Keterangan :
n = Besar sampel
30
S = Simpangan baku kadar vitamin D yaitu 4,62 (Yose M et al, 2015)
Objek penelitian adalah siswa SMA Pembangunan Padang kelas I dan II.
31
4.4 Instrumen dan Bahan
4.4.1 Obesitas
1. Microtoise
3. Alat tulis
2. Kapas alkohol
3. Spuit
4. Elisa reader
5. Tabung sentrifuse
6. Micropipet
7. Tabung serum
1. Variabel Bebas
2. Variabel terikat
Obesitas
32
4.6 Definisi Operasional
Definisi : Suatu keadaan kelebihan berat badan yang dialami oleh siswa
SMA
Cara ukur : Menimbang BB dan mengukur TB
Alat ukur : BB dengan timbangan berat badan dan TB dengan microtoise
Hasil ukur : Z Score IMT/U > 2SD Obesitas
(ng/ml)
Skala ukur : Rasio
33
sentrifuse, lalu lakukan pemeriksaan menggunakan reagen
4.7.1 Semua objek pada penelitian ini (siswa SMA Pembangunan Padang)
penelitian
4.7.2 Subjek penelitian diberi kejelasan tentang maksud dan tujuan penelitian
4.7.4 Semua biaya dalam penelitian ini menjadi tanggung jawab peneliti
4.7.5 Jika terjadi komplikasi dalam pengambilan sampel darah maka segala
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder
34
a. Kejadian obesitas melalui data antropometri meliputi : berat badan dan
tinggi badan
Subjek diukur pada posisi berdiri tegak tepat ditengah dari timbangan dan tanpa
berhenti.
mikrotoa, yang memiliki ketelitian 0,1 cm. Mikrotoa ditempelkan dengan paku
pada dinding yang lurus datar setinggi tepat 2 m. Subjek diukur dalam posisi
tegak tanpa sandal atau alas kaki, kaki lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala
bagian belakang harus menempel pada dinding. Muka lurus ke depan, dan kepala
35
batang pengukur yang horizontal menyentuh tepat di atas kepala subjek. Posisi
subjek membelakangi alat ukur. Pembacaan dilakukan dari sebelah kiri atau kanan
sampel.
dan tinggi badan. Dan jumlah yang diperoleh dibandingkan dengan indeks
c. Data terkumpul dan di olah melalui proses editing, coding, entry dan
cleaning.
data dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi
36
frekuensi untuk variabel kejadian obesitas dan disajikan dalam bentuk rata-rata
vitamin D dalam darah digunakan uji chi square. Nilai yang digunakan untuk
melihat ada tidaknya hubungan dua variabel adalah nilai p, bila nilai p < 0,05
Setiap siswa SMA kelas I dan II yang memenuhi kriteria inklusi diberikan
penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan. Bagi yang setuju maka diminta
penelitian akan diberikan perlakuan sesuai dengan prosedur kerja untuk penelitian
ini.
ELISA kit.
37
4.11 Kerangka Operasional Penelitian
Populasi
inklusi Eksklusi
Sampel
- Kurang - Obesitas
- Cukup - Tidak
Obesitas
Analisa Data
BAB V
HASIL PENELITIAN
pada siswa SMA kelas X dan XI. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 82
orang yang berumur 15 sampai 18 tahun, yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
38
ekslusi. Terhadap responden dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D dalam darah,
dan pengukuran berat badan dan tinggi badan, untuk diketahui status gizinya
April sampai dengan 6 Juni 2019. Karakteristik responden secara umum dapat
Tabel 5.1.1 Rata-Rata Umur, Berat Badan, Tinggi Badan dan Kadar Vitamin
D Dalam Darah Responden
Variabel Mean ± SD
- Umur (tahun) 16 ± 0,69
± 0,69 tahun, rata-rata berat badan responden adalah 59,79 ± 16,43 kg, rata-rata
tinggi badan responden adalah 155,65 ± 6,66 cm. Responden memiliki rata-rata
24,58 ± 5,96, dan kadar vitamin D dalam darah 26,14 ± 7,84 ng/ml (dalam batas
normal kadar vitamin D dalam darah digunakan menurut kit yang digunakan
- Obesitas 17 20,9
- Tidak Obesitas 65 79,3
39
Jumlah 82 100
- Cukup 63 76,8
- Kurang 19 23,2
Jumlah 82 100
dalam darah dengan kejadian obesitas yang dilihat melalui perbedaan rata-rata
kadar vitamin D dalam darah pada siswa obesitas dengan tidak obesitas digunakan
Mean ± SD p value
Status Gizi (IMT/U)
(Kadar Vit. D (ng/ml))
40
- Obesitas 22,35 ± 5,56
- Tidak Obesitas 0,025
27,13 ± 8,08
responden yang obesitas adalah 22,35 ± 5,56 ng/ml sedangkan untuk responden
yang tidak obesitas rata-rata kadar vitamin D dalam darahnya adalah 27,13 ± 8,08
ng/ml. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,025, yang berarti pada alpha 5%
terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata kadar vitamin D dalam darah
Status Gizi
p
Obesitas Tidak Total
Kadar Vitamin D value
Obesitas
N % n % n %
memiliki kadar vitamin D dalam darah yang kurang dari batas normal (20-50
ng/ml), Sementara itu terdapat 14,7% responden yang obesitas memiliki kadar
vitamin D dalam darah yang cukup. Dari hasil uji statistik didapat nilai p<00,5
yang berarti ada perbedaan proporsi kejadian obesitas antara responden yang
41
BAB VI
PEMBAHASAN
(cross sectional study) sehingga tidak dapat menentukan arah hubungan sebab
akibat antara kadar vitamin D dalam darah dengan kejadian obesitas pada siswa
42
Secara teoritis terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian
obesitas, Antara lain terdiri dari faktor genetik, lingkungan (termasuk prilaku dan
gaya hidup), psikis, faktor kesehatan, obat-obatan, dan aktivitas fisik, tetapi
karena keterbatasan dana dan waktu peneliti, maka penelitian ini hanya meneliti
kadar vitamin D dalam darah saja seperti yang tercantum dalam kerangka konsep
penelitian ini.
6.2.1 Rata-rata umur, berat badan, tinggi badan, IMT dan kadar vitamin D dalam
Darah Responden
adalah 16,3 ± 0,69 tahun. Rata-rata umur ini termasuk dalam batas umur remaja
yaitu 12 sampai 18 tahun. Pada penelitian ini ditemukan responden memiliki rata-
rata berat badan 59,79 kg ± 16,43 kg dan rata-rata tinggi badan 155,65 ± 6,66 cm.
Sementara itu rata-rata IMT responden adalah 24,58 ± 5,96. Hasil rata-rata IMT
dalam darah adalah 26,14 ± 7,84 ng/ml. Hasil ini termasuk dalam batas normal
kadar vitamin D dalam darah sesuai dengan kit yang digunakan (Diagnostics
obesitas. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari persentase kejadian obesitas di
Provinsi Sumatera Barat menurut Riskesdas 2013 yaitu 7,9 %, dan juga lebih
43
tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Kartini (2013) yaitu menemukan 14,1%
genetika, diet, gaya hidup sedentary dan isu-isu yang berkaitan dengan status
2012). Faktor lingkungan atau interaksi faktor lingkungan dan genetik diduga
penambahan gula dan lemak dalam makanan merupakan faktor risiko yang paling
dominan (Brown, 2008). Pada penelitian ini tidak dapat digambarkan asupan dan
aktivitas fisik responden karena yang diteliti hanya kadar vitamin D dalam darah.
meningkatnya IMT, akan tetapi obesitas juga merupakan faktor risiko bagi
Telah diketahui dengan jelas bahwa penumpukan sejumlah besar lemak dalam
aktivitas fisik, yang melibatkan orangtua dan keluarga. Seluruh anggota keluarga
harus terlibat dengan program menjaga berat badan, sementara itu orang tua juga
44
Jika semua yang terlibat disiplin dan komitmen dengan apa yang dijalankan, maka
memiliki kadar vitamin D dalam darah yang kurang. Hasil ini lebih rendah dari
yang ditemukan oleh Pangestu et al (2005) yaitu 68%. Perbedaan ini disebabkan
karena pada penelitian Pangestu et al responden yang diukur kadar vitamin D nya
merupakan remaja obesitas, sementara itu pada penelitian ini remaja yang diukur
diambil secara random sehingga kadar vitamin D dalam darah tersebut merupakan
kadar vitamin D dalam darah remaja dari berbagai status gizi. Sementara itu
berdasarkan tingkat kecukupan kadar vitamin D dalam darah, pada penelitian ini
di temukan sebanyak 14,7 % kadar vitamin D dalam darah yang cukup pada
remaja obesitas, lebih kecil di bandingkan remaja yang tidak obesitas sebanyak
85,7 %.
hanya pada sebagian kecil responden, namun hal ini perlu diwaspadai oleh semua
pihak, hal ini disebabkan karena akibat yang akan ditimbulkan oleh keadaan
tersebut yang akan berdampak pada kehidupan di masa yang akan datang. Jika
tubuh kekurangan vitamin D maka hanya 10-15% diet kalsium dan sekitar 60%
adiposa juga dapat mempengaruhi tingkat kepadatan tulang tidak akan tercapai
45
Kurangnya kadar vitamin D pada siswa SMA terkait dengan kekurangan
paparan sinar matahari karena budaya dalam berpakaian dan berkerudung atau
karena pigmen kulit, dan sedikit waktu yang dihabiskan di luar rumah karena
cuaca panas, dan asupan vitamin D yang lebih rendah (Soliman, 2014). Untuk itu
D dalam darah antara siswa obesitas dengan tidak obesitas. Dengan adanya
dalam darah dengan kejadian obesitas. Sementara itu berdasarkan distribusi status
responden obestitas dengan kadar vitamin D yang cukup (14,7%), dan secara
responden yang asupan vitamin D nya kurang dengan cukup. Dari hal tersebut
dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D
dalam darah dengan kejadian obesitas pada siswa SMA Pembangunan Padang.
46
berhubungan dengan kejadian obesitas. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh
Tzotzas et al, 2010 juga menemukan hal yang senada yaitu terdapat hubungan
akan merangsang ekspresi dan aktivitas fatty acid synthase (FAS), enzim kunci
dalam merangsang lipogenesis dan menghambat lipolisis (Shi et al, 2001; Freitas,
kalsium juga tidak optimal, sehingga akan dapat memicu terjadinya obesitas
(Sergeeve, 2009).
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang disimpulkan oleh Kamycheva
et al tahun 2003 yaitu terdapat hubungan yang berpola negatif antara asupan
vitamin D dengan indeks masa tubuh pada responden pria dan wanita, dan
pun dapat memicu terjadinya kekurangan vitamin D dalam tubuh. Hal ini
disebabkan karena vitamin D larut dalam lemak dan mudah disimpan dalam
tubuh setelah diserap dan disimpan dalam jaringan seperti jaringan otot dan
47
jaringan adiposa, dan kemudian baru dilepaskan secara perlahan ke peredaran
memainkan peran penting dalam fungsi jaringan adiposa. Jika terjadi peningkatan
tidak terkait dengan indeks massa tubuh. Hal ini disebabkan karena dalam
yang didominasi oleh keturunan Eropa yang memiliki IMT lebih tinggi, serta
antara kadar vitamin D yang tinggi pada responden yang aktif akibat paparan sinar
matahari yang diterima, meskipun secara IMT mereka lebih tinggi. Sementara itu
dalam penelitian ini responden tidak dilihat aktivitas fisik dan paparan sinar
mataharinya.
obesitas pada penelitian ini memberikan gambaran bahwa antara siswa keluarga
dan pihak sekolah perlu kerjasama yang baik agar penyerapan vitamin D menjadi
48
BAB VII
7.1 Kesimpulan
Dilihat dari hasil yang ditemukan pada penelitian ini, maka dapat diambil
2. Rata-rata kadar vitamin D dalam darah responden adalah 26,14 ng/ml , 23,2
49
3. Terdapat hubungan antara kadar vitamin D dalam darah dengan kejadian
7.2 Saran
sinar matahari, genetik, lingkungan dan gaya hidup seperti intake makanan,
3. Disarankan kepada siswa untuk selalu menjaga status gizinya dengan cara
50