Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obesitas menjadi masalah di seluruh dunia baik di negara maju maupun

negara berkembang. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada

tahun 2008, sekitar 1,4 milyar orang dewasa usia 20 tahun ke atas mengalami

overweight dan prevalensi obesitas di dunia yaitu 10% pada pria dan 14% pada

wanita. Angka ini mengalami peningkatan 2 kali lipat bila dibandingkan dengan

tahun 1980 (5% pada pria dan 8% pada wanita) (WHO, 2008). Prevalensi

kegemukan (obesitas) di negara maju berkisar dari 2.4% di Korea Selatan hingga

32.2% di Amerika Serikat, sedangkan di negara berkembang berkisar dari 2.4% di

Indonesia sampai 5.6% di Saudi Arabia (Low et al, 2009).

Masalah obesitas banyak dialami oleh beberapa golongan masyarakat,

antara lain balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa, dan lanjut usia (Padmiari

and Hadi, 2003). Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa 8.8% remaja berumur 15 tahun kelebihan

berat dan 10.3% obesitas. (laki-laki 13,9% dan perempuan 23,8%). Berdasarkan

Riskesdas 2010 prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan dibandingkan

dengan prevalensi di pedesaan yaitu berturut-turut sebesar 10,4% dan 8,1 %.

BerdasarkanRiset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi gemuk pada

remaja usia 13-15 tahun sebesar 10,8 persen, terdiri atas 8,3 persen gemuk dan 2,5

persen sangat gemuk (obesitas), sedangkan prevalensi obesitas pada usia remaja

16-18 tahun adalah 7,3% yang terdiri dari 5,7 % gemuk dan 1,6 % obesitas.

1
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi obesitas

pada usia remaja 16-18 tahun di propinsi Sumatera Barat adalah 7,9%. Sementara

itu berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Padang, diketahui bahwa sekolah

dengan remaja obesitas terbanyak adalah SMA Pembangunan Padang dengan

persentase sebesar 7,7%.

Obesitas pada remaja penting untuk diperhatikan karena remaja yang

mengalami obesitas 80% berpeluang untuk mengalami obesitas pula pada saat

dewasa (Guo and Chumlea, 2000). Selain itu, terjadi peningkatan remaja obesitas

yang didiagnosis dengan kondisi penyakit yang biasa dialami orang dewasa,

seperti diabetes tipe 2 dan hipertensi. Remaja obesitas sepanjang hidupnya juga

berisiko lebih tinggi untuk menderita sejumlah masalah kesehatan yang serius,

seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, asma, dan beberapa jenis kanker.

Stigma obesitas juga membawa konsekuensi psikologis dan sosial pada remaja,

termasuk peningkatan risiko depresi karena lebih sering ditolak oleh rekan-rekan

mereka serta digoda dan dikucilkan karena berat badan mereka (Puhl and Latner,

2007).

The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)

mengestimasikan 34% remaja usia 12-19 tahun mengalami obesitas dan lebih dari

32% diantaranya kemudian diketahui tetap obesitas hingga usia dewasa.

Penelitian yang dilakukan oleh Kartini (2013) menyatakan terdapat 14,1% siswi

SMA Theresiana 1 Semarang yang obesitas dan berada di kelas X dan XI.

Kekurangan vitamin D merupakan faktor risiko independen untuk obesitas

dan obesitas abdominal pada wanita (Tamer et al, 2012). Studi terbaru

2
menyebutkan bukti keterkaitan antara obesitas dengan kadar vitamin D yang

rendah dalam tubuh. Belum dapat diketahui pasti penyebab defisiensi vitamin D

tersebut, apakah karena tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup, rendah diet

vitamin D atau faktor lain (Gallaqher et al, 2013).

Studi Wortsman et al (2010) menyimpulkan bahwa defisiensi vitamin D

akibat obesitas disebabkan oleh penurunan bioavailabilitas vitamin D3 dari kulit

dan makanan karena menumpuk di lemak tubuh. Orang yang mengalami obesitas

akan kurang mampu untuk mengubah vitamin D menjadi bentuk aktif. Indeks

masa tubuh (IMT) memiliki korelasi berbanding terbalik dengan konsentrasi

serum vitamin D3 setelah iradiasi dan dengan konsentrasi puncak serum vitamin

D2 setelah asupan vitamin D2 (Wortsman et al, 2000).

Lee et al (2012) menyatakan kekurangan vitamin D telah terkait dengan

obesitas, obesitas viseral, hipertrigliseridemia, dan sindrom metabolik pada anak-

anak Korea. Ozkan et al (2009) menyatakan bahwa pada anak-anak kadar serum

adiponektin telah dilaporkan meningkat pada pasien dengan rakhitis (kekurangan

vitamin D), dan penurunan secara signifikan dengan pengobatan vitamin D.

Adiponektin disintesis dan disekresikan secara eksklusif oleh jaringan adiposa.

Konsumsi diet sereal yang diperkaya dengan vitamin D dikaitkan dengan

penurunan berat badan yang lebih besar dari diet sayuran hijau dan menyebabkan

tingkat serum 25OHD3 lebih tinggi (Ortega et al, 2009). Kandungan persentase

lemak tubuh secara independen berbanding terbalik untuk tingkat serum 25OHD3

pada wanita yang sehat, terlepas dari diet asupan vitamin D, musim, umur, dan ras

(Arunabh et al, 2003). Keterkaitan vitamin D dengan obesitas menjadi daya tarik

3
para peneliti yang memperlihatkan tidak hanya suatu kondisi penimbunan

jaringan adiposa, tetapi juga peningkatan kadar leptin. Leptin melalui fibroblast

growth faktor-23 (FGF-23), yaitu faktor fosfaturik yang berperan dalam

metabolisme vitaminD di ginjal dapat menekan sintesis D 1,25(OH)2,bentuk aktif

vitamin D yang dibentuk di ginjal. Selain itu, leptin secara langsung dapat

menekan ikatan vitamin D 25(OH) yang berada disirkulasi dengan 1 -hydroxylase

(CYP27B1) dan 1,25-hydroxyvitamin D-24-hydroxylase (CYP24) pada ginjal dan

jaringan adiposa. Terdapat pula teori yang menyatakan bahwa dengan

peningkatan jaringan adiposa maka vitamin D yang larut lemak akan tersimpan

dalam jaringan adiposa tersebut sehingga menyebabkan defisiensi vitamin D

Calcitriol memiliki peran dalam jaringan adiposa manusia karena

merupakan bentuk aktif metabolit vitamin D3, dan reseptor vitamin D (VDR)

yang ada dalam adiposit memungkinkan penekanan Tingkat Paratiroid hormon

(PTH). Kelebihan PTH dapat menambah berat badan dengan menghambat induksi

katekolamin lipolisis (McCarthy et al, 2003).

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti

Hubungan Kadar Vitamin D dalam Darah dengan Kejadian Obesitas pada Siswa

SMA Pembangunan Padang.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada Hubungan Kadar Vitamin D dalam Darah dengan Kejadian

Obesitas pada siswa SMA Pembangunan Padang?

4
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar vitamin D

dalam darah dengan kejadian obesitas pada siswa SMA Pembangunan Padang

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui kejadian obesitas pada siswa SMA Pembangunan Padang

b. Mengetahui kadar vitamin D dalam darah pada siswa SMA Pembangunan

Padang

c. Mengetahui hubungan kadar vitamin D dengan kejadian obesitas pada siswa

SMA Pembangunan Padang

1.4 Manfaat Penelitian

1.3.3 Kepentingan Akademik

Menambah pengalaman dan pengetahuan tentang sejauh mana hubungan

kadar vitamin D dalam darah terhadap kejadian obesitas pada siswa SMA

Pembangunan Padang

1.3.4 Kepentingan Klinisi

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para klinisi dalam

penatalaksanaan pengobatan obesitas di masa mendatang.

1.3.5 Kepentingan siswa

Menjadi sumber informasi bagi siswa tentang adanya hubungan kadar

vitamin D dalam darah dengan kejadian obesitas pada siswa SMA

Pembangunan Padang, sehingga bagi siswa yang obesitas dapat

meningkatkan konsumsi vitamin D

5
1.3.6 Kepentingan sekolah

Dapat memberikan informasi pada pihak sekolah tentang hubungan kadar

vitamin D dalam darah dan obesitas sehingga sangat berguna sebagai

informasi dalam pencegahan obesitas di lingkungan sekolah tersebut

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas

2.1.1 Pengertian obesitas

Obesitas adalah kondisi dimana jaringan adiposa (adiposit) terlalu

berlebihan berdasarkan tinggi badan, berat badan, jenis kelamin dan ras sehingga

dapat merugikan kesehatan (Mann and Truswell, 2005).

Berat badan berlebih dan obesitas dapat didefinisikan sebagai akumulasi

lemak tubuh secara berlebihan. Akumulasi lemak yang berlebih tersebut dapat

mencapai 50% berat badan total dan menyebabkan konsekuensi patologis yang

berat (Barasi, 2007).

Setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi,

sebagai penyekat panas, penyerap guncangan dan fungsi lainnya. Rata-rata wanita

memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang

normal antara lemak tubuh dan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita

dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria

dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas. Seseorang

yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat

badannya yang normal dianggap mengalami obesitas (Escott, 2008).

2.1.2 Penentuan Obesitas

Keadaan obesitas ditentukan dengan mengklasifikasikan status gizi

berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah

7
satu indikator yang paling sesuai untuk menentukan kelebihan berat

badan/obesitas pada orang dewasa dengan rumus (Ariman, 2010) :

IMT = BB (kg)

TB² (m)

WHO menyatakan bahwa seseorang yang memiliki berat badan normal

apabila IMT berkisar antara 18,5 – 24,9, sedangkan yang obesitas adalah yang

memiliki IMT > 30 (Mann and Truswell, 2005).

Tabel 2.1. Klasifikasi IMT Berdasarkan WHO

Klasifikasi IMT (kg/m2)


BB kurang (underweight) <18,5
Normal 18,5-24,9
BB lebih (overweight) 25,0-29,9
Obesitas, kelas I 30,0-34,9
Obesitas, kelas II 35,0-39,9
Obesitas ekstrim, kelas III >40

Sedangkan menurut DEPKES 2002 seseorang yang memiliki berat badan

normal apabila IMT 18,5 - 25,00, sedangkan untuk obesitas memiliki IMT > 27

(Depkes, 2002)

Tabel 2.2. klasifikasi IMT menurut Depkes

Keadaan Kategori IMT


Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,00
Kekurangan BB tingkat ringan 17,00 – 18,5
Normal 18,5 – 25,00
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan >25,00 – 27,00
Kelebihan BB tingkat berat >27,00
Sumber : Depkes (2002)

Dalam menentukan status gizi remaja, WHO merekomendasikan

menggunakan IMT/U (Depkes, 1994). Indeks ini merujuk pada standar

antropometri penilaian status gizi anak menurut WHO 2005 yang dikeluarkan

8
oleh Kepmenkes pada tahun 2010. Indeks IMT/U menggunakan ambang batas

standar deviasi. Standar deviasi disebut juga dengan Z-skor. WHO menyarankan

menggunakan cara ini untuk meneliti dan memantau pertumbuhan.

Menurut Arisman (2010) IMT/U juga lebih direkomendasikan untuk

menilai status gizi pada anak usia 10-19 daripada Indikator BB/U karena tidak

dapat membedakan tinggi badan dan massa tubuh di mana pada periode usia ini

terjadi pubertas, sebagai contoh anak yang pada kenyataannya tinggi bisa saja

terdeksi mengalami kelebihan berat badan. Oleh Karena itu indikator IMT/U lebih

direkomendasikan untuk menilai status gizi pada anak usia 10-19 tahun.

Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks IMT/U

untuk umur 5-18 tahun menurut keputusan Menkes RI no

1995/MENKES/SK/XII/2010 yang ditetapkan tanggal 30 Desember 2010, yaitu :

1. Sangat kurus <-3 SD

2. Kurus -3 SD sampai <-2 SD

3. Normal -2 SD sampai 1 SD

4. Gemuk >1 SD sampai 2 SD

5. Obesitas >2 SD

2.1.3 Penyebab obesitas

2.1.3.1 Faktor genetik

Genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian

obesitas ataupun perlindungan terhadap obesitas. Estimasi saat ini sekitar 25%

sampai dengan 40% dari variasi IMT kemungkinan disebabkan oleh faktor

genetik. Faktor tersebut menyangkut BMR, tempat penyimpanan lemak (visceral

9
atau extremities), respon psikologi dalam makan berlebihan, dan beberapa prilaku

makan. Penemuan gen pada tikus menimbulkan harapan bahwa gen atau produk

gen tersebut secara langsung bermanfaat bagi manusia seperti penemuan leptin,

Penemuan penting pada tikus inbrida memiiliki implikasi penting dalam

pemahaman etiologi obesitas. Bagaimanapun, percobaan klinik untuk

meningkatkan kadar leptin pada pasien obesitas mendapatkan hasil yang

mengecewakan (Heimburger and Jamy, 2006).

2.1.3.2 Lingkungan dan faktor gaya hidup

Meskipun ada pengaruh genetik yang mendasari terjadinya obesitas,

lingkungan dan gaya hidup merupakan faktor yang sangat penting dalam etiologi

epidemi obesitas saat ini. Kejadian obesitas meningkat di dekade terakhir,

sementara secara genetik telah stabil. Overweight dan obesitas hanya terjadi jika

ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang keluar. Pengaruh faktor genetik

merupakan pengaruh secara tidak langsung efek genetik mungkin sebagian

diarahkan pada pengaturan baik respon terhadap masukan energi, atau tingkat

pengeluaran energi saat istirahat, dengan aktivitas atau makan (Mann and

Truswell, 2005).

a. Intake makanan

Peranan makanan terhadap peningkatan berat badan telah jelas. Sesuai dengan

hasil penelitian The Islands of Nauru anu Mauritius. Jumlah makanan yang

dikonsumsi itu sangat penting, tapi yang tidak kalah penting adalah kualitas

dari makanan tersebut. Di Cina , dimana kejadian obesitas meningkat tajam

ditemukan bahwa telah terjadi pergeseran dari diet tradisional ke penggunaan

10
lemak (Mann and Truswell, 2005). Kenaikan berat badan terjadi jika asupan

energi melebihi keluaran energi selama jangka waktu tertentu. Hal ini

mencerminkan keseimbangan energi positif sedemikian rupa sehingga energi

yang disuplai ke dalam tubuh sebagai makanan tidak digunakan oleh tubuh

dan disimpan dalam jaringan adiposa (Barasi, 2007).

b. Aktivitas fisik

Penurunan aktifitas fisik sangat berpengaruh terhadap peningkatan berat

badan, Hal ini terjadi sebagai perubahan gaya hidup (kurang olahraga, mengambil

pekerjaan yang tidak banyak bergerak, memiliki banyak anak), penuaan atau

penyakit (arthritis, penyakit pernafasan, atau penyakit kardiovaskuler yang dapat

menurunkan kemampuan dalam bergerak) (Mann and Truswell, 2005).

Aktivitas mempengaruhi kebutuhan akan energi. Semakin tinggi aktivitas

fisik semakin tinggi pula jumlah energi yang dibutuhkan. Jumlah energi ytang

diperlukan untuk aktivitas adalah jumlah energi yang diperlukan untuk pekerjaan

otot, jantung dan pernafasan. Aktivitas fisik yang berat akan berakibat banyaknya

energi yang dikeluarkan, begitu juga sebaliknya, bila aktivitas ringan akan

mengeluarkan energi lebih sedikit sehingga energi yang berlebih akan disimpan

tubuh dalam bentuk lemak. Hal ini akan berakibat berat badan akan semakin

bertambah (Geissler and Powers, 2005).

c. Faktor psikologis

Emosi seseorang dapat menyebabkan perubahan prilaku, bahkan mungkin

prilaku yang salah. Menurut para ahli faktor tersebut berhubungan dengan rasa

lapar dan nafsu makan. Hal ini disebabkan karena sejumlah hormon akan

11
diseksresi sebagai tanggapan dari keadaan psikologis sehingga terjadi peningkatan

metabolism energi yang dipecah dan digunakan untuk melakukan aktivitas fisik.

Namun jika seseorang yang sedang mengalami stress tidak melakukan aktivitas

fisik yang mampu membakar energi, maka kelebihan energi tersebut akan

disimpan sebagai lemak. Proses ini akan menyebabkan glukosa darah menurun

sehingga menyebabkan rasa lapar pada orang yang sedang mengalami tekanan

psikologis.

2.1.4 Dampak obesitas bagi kesehatan

Terdapat keterkaitan antara prevalensi berat badan berlebih dan obesitas

dengan laju morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Risiko gangguan

kesehatan berkorelasi dengan IMT sesuai dengan kurva berikut :

Peningkatan risiko:
Metabolik:
- CVD
- Diabetes tpe 2
- Beberapa jenis kanker
- Disfungsi hormonal
Mekanis :
- Muskuloskeletal
- Vaskuler
- Respirasi
- Komplikasi bedah
- Psikologis /sosial

2.1.4.1 Penyakit kardiovaskuler (CVD)

Obesitas merupakan faktor risiko utama CVD, dan data secara konsisten

menunjukkan peningkatan insiden penyakit seiring dengan peningkatan IMT.

Akan tetapi, obesitas juga merupakan faktor risiko bagi sejumlah kondisi lain

12
yang terkait dengan CVD seperti dislipidemia, diabetes mellitus tipe 2 serta

hipertensi. Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa pada subjek yang mengalami

semua penyakit yang terkait dengan CVD, mortalitas CVD meningkat tiga kali

lipat. Telah diketahui dengan jelas bahwa penumpukan sejumlah besar lemak

dalam tubuh akan mengubah fungsi metabolic normal sehingga menghasilkan

perubahan yang berpotensi membahayakan (Barasi, 2007).

2.1.4.2 Hipertensi

Ada beberapa mekanisme yang diusulkan untuk menjelaskan eratnya

korelasi antara obesitas dan hipertensi yang meliputi :

- Bertambahnya volume darah sebagai akibat peningkatan retensi garam:

dianggap bahwa hal ini disebabkan oleh efek antinatriuretik dari kenaikan

kadar insulin

- Perubahan kadar hormon mempengaruhi regulasi tekanan darah : misalnya

produksi kortisol oleh jaringan adipose meningkat, leptin dan

angiotensinogen yang dilepaskan dari jaringan adipose menimbulkan efek

hipertensif langsung.

- Tingginya asupan garam dan rendahnya tingkat kebugaran fisik mungkin ikut

berperan

2.1.4.3 Kanker

Pencegahan berat badan berlebih dianggap sebagai salah satu strategi

untuk mencegah kanker. Akan tetapi tidak terdapat cukup bukti yang kuat san

mendukung mekanisme timbulnya kanker sebagai akibat berat badan berlebih.

Diduga bahwa dalam obesitas :

13
- Reseptor untuk faktor pertumbuhan serupa –insulin (insulin- like growth

faktor- IGF) mengalami upregulation (yaitu, peningkatan jumlah reseptor ini

sehingga sel menjadi lebih reaktif terhadap IGF), akibat perubahan metabolic

dalam respons terhadap insulin. Pertumbuhan sel akan dipacu, terutama sel

tumor yang menggunakan glukosa

- Kanker yang tergantung hormon, seperti kanker payudara dan kanker prostat,

dipacu perkembangannya akibat konversi androgen menjadi estrogen di

jaringan adipose.

Sangatlah sukar untuk memisahkan efek obesitas dari efek faktor diet yang

mungkin berkontribusi pada obesitas, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga

mempunyai efek memacu perkembangan kanker itu sendiri. Meskipun demikian,

penurunan berat badan dan aktivitas fisik dapat bermanfaat sebagai tindakan

preventif melawan perkembangan kanker pada pasien dengan berat badan berlebih

(Barasi, 2007).

2.1.4.4 Dampak lain obesitas

Dampak lain dari obesitas berkaitan dengan :

- Dampak fisik dari kelebihan berat badan pada rangka dan sendi

- Dampak dari peningkatan kerja otot respirasi yang diperlukan untuk

mengatasi hambatan dalam bernafas

- Dampak dari tingginya kandungan lemak tubuh terhadap tindakan anastesi

dan ventilasi selama proses pembedahan

- Buruknya sirkulasi perifer, mengakibatkan lambannya penyembuhan luka

14
- Dampak social dari nerat badan berlebih dan obesitas dalam persepsi

masyarakat, serta dalam menjalin dan mempertahankan hubungan pribadi ,

jika penderita obesitas memiliki rasa rendah diri

Berbagai dampak di atas memiliki efek yang sangat besar pada kualitas hidup dan

pengalaman social penderita obesitas dan dapat berimplikasi serius terhadap

tingkat morbiditas (Barasi, 2007).

2.2 Vitamin D

2.2.1 Definisi dan struktur vitamin D

Vitamin D adalah nama genetik dari dua molekul, yaitu ergokalsiferol

(Vitamin D2) dan kolekalsiferol (vitamin D3). Prekursor vitamin D hadir dalam

fraksi sterol dalam jaringan hewan (di bawah kulit) dan tumbuh-tumbuhan

berturut-turut dalam bentuk 7-dehidrokolesterol dan ergosterol. Keduanya

membutuhkan radiasi sinar ultraviolet untuk mengubahnya dalam bentuk

provitamn D3 (kolekalsiferol) dan D2 (ergokalsiferol). Kedua provitamin

membutuhkan konversi menjadi bentuk aktifnya melalui penambahan dua gugus

hidroksil. Gugus hidroksil pertama ditambahkan di dalam hati pada posisi 25

sehingga membentuk 25-hidroksi-vitamin D. Gugus hidroksil kedua ditambahkan

di dalam ginjal sehingga membentuk 1,25 dihidroksikolekalsiferol, dikenal

sebagai kalsitriol, sedangkan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan membentuk

1,25 dihidroksi elgokalsiferol, dikenal sebagai erkalsitriol. Kedua bentuk vitamin

D efektif untuk manusia. Bentuk tumbuh-tumbuhan terutama dgunakan sebagai

bahan tambahan makanan (Almatsier, 2003; Muchtadi, 2009).

15
Vitamin D2

Vitamin D3

Gambar. 2.1. Struktur Vitamin D2 dan D3

2.2.2 Biosintesis vitamin D

Vitamin D yang dibentuk di kulit atau yang diresorpsi melalui usus akan

dirubah oleh hati menjadi 25-hydroxycholecalcipherol, yang kemudian oleh ginjal

akan dirubah menjadi 1,25 dihydroxycholecalciferol (1,25 dihydroxy vitamin D3=

1,25 DHCC) yang merupakan suatu hormon (bukan vitamin) dan berperan pada

metabolisme tulang (Muchtadi, 2009).

Peran utama dari 1,25 dihydroxyvitamin D3 adalah dalam hal

meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfat dari usus untuk kebutuhan mineral

tersebut pada pembentukan tulang. Selain itu sama halnya dengan PTH, 1,25

dihydroxyvitamin D3 merupakan perangsang kuat pembentukan osteoklast.

Vitamin D lebih tepat disebut sebagai hormon. Vitamin D adalah hormon

sekosterol yang merupakan derivate 7-dehydrocholesterol (provitamin D),

precursor langsung kolesterol. Di dalam tubuh vitamin D didapatkan dalam

bentuk vitamin D endogen (vitamin D3) dan eksogen ( vitamin D2). Kedua

16
bentuk tersebut untuk menjadi vitamin D yang aktif memerlukan metabolism

lebih lanjut. Vitamin D larut dalam lemak, dan oleh sebab itu untuk dapat

ditransportasi dalam darah membutuhkan vitamin D-binding protein yang spesifik

(Feldman et al, 2011).

Bentuk vitamin D endogen, Cholecalciferol, disintesis di dalam hati di

bawah pengaruh radiasi ultraviolet (UV), dari metabolit cholesterol (7-

dehydrocholersterol), sedangkan bentuk eksogen vitamin diit. Ketika kulit

terpapar oleh sinar matahari atau sinar artificial tertentu, radiasi UV memasuki

epidermis dan menyebabkan transformasi 7-dehydrocholersterol menjadi vitamin

D3. Dengan paparan sinar matahari yang cukup suplementasi vitamin tidak

diperlukan. Ketika tubuh terpapar sinar matahari yang cukup (sampai

menimbulkan sedikit eritema pada kulit) kadar vitamin D di dalam darah

meningkat setara dengan mengkonsumsi vitamin D 10.000 – 25 000 iu peroral

(Erdman et al, 2012; Muchtadi, 2009).

2.2.3 Absorpsi, Transportasi, dan Penyimpanan

Vitamin D diabsorpsi dalam usus halus bersama lipida dengan bantuan

cairan empedu. Vitamin D dari bagian atas usus halus diangkut oleh D-plasma

binding protein (DBP) ke tempat-tempat penyimpanan di hati, kulit, otak,tulang,

dan jaringan lain. Absorpsi vitamin D pada orang tua kurang efisien bila

kandungan kalsium makanan rendah. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh

gangguan ginjal dalam memetabolisme vitamin D (Almatsir, 2003)

2.2.4 Metabolisme Vitamin D

17
Vitamin D yang terdapat pada tumbuhan, Vitamin D2 (ergocalciferol) dan

pada hewan D3 (cholecalciferol), terdapat dalam diet sehari hari, dan disintesa

dikulit (terutama vitamin D3) dengan bantuan radiasi sinar ultra violet dari

matahari menjadi 7-dehydrocholesterol. Sinar matahari juga dapat mengubah

provitamin D3 menjadi bahan yang tidak aktif. Banyaknya provitamin D dan

bahan tidak aktif yang dibentuk bergantung pada instensitas radiasi ultraviolet

(Muchtadi, 2009).

Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembentukan provitamin D3

adalah pigmentasi, penggunaan alas penahan matahari (sunsreen) dan lama waktu

penyingkapan terhadap matahari. Vitamin D2 dan D3 mempunyai perbedaan

dalam metabolisme. Vitamin D (kedua duanya D3 dan D2) akan diangkut ke hati

dan terikat oleh alfa globulin spesifik (vitamin D binding protein) dan sebagian

kecil oleh albumin dan lipoprotein. Kemudian mengalami hydroksilase menjadi

25-hydroxylated vitamin D- 25 (OH)2 D), calcidiol, yang merupakan bagian

terbesar metabolit vitamine D yang berada di dalam sirkulasi (Erdman et al,

2012).

Di dalam hati, cholecalcitriol oleh enzim hidrolase (mitokondria dan

mikrosom) diubah menjadi 25- hydroxyvitamin D ( 25-(OH)D, bentuk utama fat

storage vitamin D. Oleh sebab itu, 25- hydroxyvitamin D merupakan ukuran

terbaik status overall vitamin D. Kadar normal berkisar 15 – 50 ng/ml (25 – 125

mmol/ml), tetapi kadar < 15 ng/ml sudah menjurus ke defisiensi vitamin D.

Dalam penelitian ini kadar normal yang di gunakan adalah 20-50 ng/ml sesuai

dengan batas kit yang di gunakan (Diagnostics Biochem Canada). Di tubulus

18
proksimal ginjal, 25- hydroxyvitamin D mengalami hidroksilasi menjadi bentuk

1,25 hydroxyvitamin D, bentuk vitamin D yang paling aktif, dan dikenal sebagai

1,25 dihydrocholecalciferol. Langkah hidroksilasi tersebut dikendalikan oleh

berbagai faktor, beberapa yang paling penting adalah PTH, fosfor, kalsium serum,

dan 1,25 dihydrocholecalciferol itu sendiri. Enzim 1 α-hydroxylase yang

memediasi konversi di ginjal juga dibentuk di placenta dan keratinosit. Pada

berbagai keadaan, makrofag dan limfosit mengekspresikan 1 alfa-hydroksilase

secara berlebih dan menyebabkan kalsifikasi (Anderson et al, 2012).

Konsentrasi 1,25 dihydrocholecalciferol D yang normal didalam serum

adalah 20 -60 pg/ml (50-150 pmol/L). Ginjal juga dapat mengkonversi 25-

dihydroxyvitamin D menjadi 24,25- dihydroxyvitamin. Walaupun di sirkulasi

metabolit tersebut kadarnya 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kadar 1,25

dihydroxyvitamin, peran biologisnya sampai saat ini masih belum jelas. Berbagai

studi menunjukan bahwa metabolit tersebut merupakan produk degradasi yang

tidak mempunyai efek biologis. Peneliti lain menduga adanya peran penting

24,25- dihydroxyvitamin dalam pembentukan tulang dan chondrogenesis. Vitamin

D dan metabolitnya di nonaktifkan di hati dengan cara konjugasi dengan golongan

glukoronid dan sulfat serta oksidasi side-chain-nya.

Vitamin D dari diit dan atau hasil konversi dari precusor di kulit dengan

bantunan radiasi matahari menyediakan substrat untuk aktifasi metabolik. Di

dalam tubuh manusia kedua jalur aktifasi metabolik yaitu, jalur endogen

(cholecalciferol= Vit D3 yang berasal dari hewan) dan jalur eksogen dalam

bentuk vitamin D2 ( ergocalciferol) didapatkan rasio 2 : 1 (Muchtadi, 2009).

19
Ginjal mempunyai peran penting dalam metabolisme vitamin 25(OH)

menjadi metabolit yang lebih aktif. Sesudah di bentuk di hati, 25(OH)D diikat

oleh vitamin –D binding protein dan dibawa ke ginjal. Di ginjal (mitokondria),

25(OH)D dengan bantuan enzim 25(OH)D- 1-hydroxylase menjadi 1,25(OH)2D.

Hipokalsemia meningkatkan konversi 25(OH) menjadi 1,25(OH)2D (Muchtadi,

2009; Erdman et al, 2012).

Sintesis kalsitriol diatur oleh taraf kalsium dan fosfor dalam serum.

Hormon paartiroid (PTH) yang dikeluarkan bila kalsium dalam serum rendah,

tampaknya merupakan perantara yang merangsang produksi {1,25(OH)2D3} oleh

ginjal. Jadi taraf konsumsi kalsium yang rendah tercermin pada taraf kalsium

serum yang rendah. Hal ini akan mempengaruhi sekresi PTH dan peningkatan

sintesis kalsitriol oleh ginjal. Taraf fosfat dari makanan mempunyai pengaruh

yang sama, tetapi tidak membutuhkan PTH (Feldman et al, 2011).

Gambar 2.2. Elemen vitamin D dalam Sistem Endokrin (Erdman et al, 2012)

2.2.5 Defisiensi dan insufisiensi Vitamin D

Penyebab utama defisiensi vitamin D adalah kurangnya asupan nutrisi,

kurangnya paparan matahari sinar matahari, keadaan yang menyebabkan

20
penurunan sintesa vitamin D di kulit dan penurunan sintesa 25 (OH)2 di ginjal

akibat proses penuaan ginjal.

Defisiensi Vitamin D yang terjadi dalam jangka waktu lama dan berat

pada dewasa muda akan menimbulkan osteomalasia, sedangkan pada anak-anak

akan mengalami rikect ( Suatu kelainan tulang yang khas ditandai dengan adanya

abnormalitas biokimiawi dan tulang ), terjadi kerusakan mineralisasi yang terus

menerus, hiperparatitoid sekunder berat, hypokalsemia, hipofosfatemia, dan

peningkatan fosfatase alkali. Defisiensi Vitamin D baru ditegakkan apabila

dilakukan pemeriksaan kadar 25 (OH)2 dengan hasil biasanya sangat rendah

bahkan dapat tidak terdeteksi (Anderson et al, 2012).

2.2.6 Sumber vitamin D

Vitamin D diperoleh tubuh melalui sinar matahari dan makanan. Penduduk

daerah tropik tidak perlu menghiraukan kemungkinan kekurangan vitamin D.

Bayi dan anak-anak dianjurkan berada di bawah sinar matahari beberapa waktu

tiap hari. Kekurangan vitamin D lebih mungkin terjadi di negara-negara yang

tidak selalu mendapat sinar matahari (Erdman et al, 2012).

Sumber utama vitamin D di daerah nontropik adalah dari makanan.

makanan hewani merupakan sumber utama vitamin D dalam bentuk

kolekalsiferol, yaitu kuning telur, hati, krim, mentega, dan minyak hati-ikan. Susu

sapi dan ASI bukan merupakan sumber vitamin D yang baik (Departemen Gizi

dan Kesehatan Masyarakat, 2007). Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan

vitamin D dilakukan fortifikasi makanan, terutama terhadap susu, mentega, dan

makanan untuk bayi dengan vitamin D (ergosterol yang diradiasi). Minyak hati-

21
ikan sering digunakan sebagai suplemen vitamin D untuk bayi dan anak-anak.

Dalam keadaan normal suplemen vitamin D sebetulnya tidak diperlukan. Vitamin

D relatif stabil dan tidak rusak bila makanan dipanaskan atau disimpan untuk

jangka waktu lama (Anderson et al, 2012).

2.2.7 Akibat kekurangan vitamin D

Kekurangan vitamin D menyebabkan kelainan pada tulang yan dinamakan

riketsia pada anak-anak dan osteomalasia pada orang dewasa. Kekurangan pada

orang dewasa juga dapat emnyebabkan osteoporosis. Riketsia terjadi bila

penegrasan tulang pada anak-anak terhambat sehingga menjadi lembek. Kaki

membengkok, ujung-ujung tulang panjang membesar (lutut dan pergelangan)

tulang rusuk membengkok, pembesaran kepala karena penutupan fontanel

terlambat, gigi terlambat keluar, bentuk gigi tidak teratur dan mudah rusak

(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).

Osteomalasia adalah riketsia pada orang dewasa. Biasanya terjadi pada

wanita yang konsumsi kalsiumnya rendah, tidak banyak mendapat sinar matahari

dan mengalami banyak kehamilan dan menyusui. Osteomalasia dapat pula terjadi

pada mereka yang menderita penyakit saluran cerna, hati, kantung empedu atau

ginjal. Tulang melembek yang menyebabkan gangguan dalam bentuk tulang,

terutama pada kaki, tulang belakang, toraks, dan pelvis. Gejala awalnya adalah

rasa sakit seperti rematik dan lemah dan kadang muka menggamit (twitching),

tulang membengkok (bentuk O atau X) dan dapat menyebabkan fraktur (Patah).

Karena cukup sinar matahari, kekurangan vitamin D tidak merupakan masalah di

22
Indonesia. Suplemen vitamin D tidak dibutuhkan (Feldman et al, 2011;

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).

Beberapa penelitian beberapa tahun terakhir juga menemukan bahwa ada

keterkaitan antara kekurangan vitamin D dengan obesitas, Penderita obesitas

memiliki kadar 25(OH)D yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak

obesitas (Wortsman et al., 2000). Kasus obesitas berperan dalam peningkatan

prevalensi dari defisiensi serum 25(OH)D pada saat ini. Rendahnya konsentrasi

kadar serum 25(OH)D disebabkan karena meningkatnya serum 25(OH)D yang

diserap dalam jaringan lemak, peningkatan basal metabolik, dan gaya hidup dari

penderita obesitas yang cenderung kurang menyukai aktifitas di luar rumah serta

kurangnya paparan sinar matahari (Saliba et al, 2012). Penyebab lain dari

rendahnya kadar 25(OH)D serum pada penderita obesitas adalah kadar lemak

yang tinggi menyebabkan bioavailabilitas vitamin D menurun dan kadar 25(OH)D

serum terdeteksi rendah di dalam darah. (Khor et al, 2011).

2.2.7 Akibat Kelebihan vitamin D

Konsumsi vitamin D dalam jumlah berlebihan mencapai lima kali AKG,

yaitu lebih dari 25 mikrogram (1000 SI) sehari, akan menyebabkan keracunan.

Gejalanya adalah kelebihan absorpsi vitamin D yang pada akhirnya menyebabkan

kalsifikasi berlebihan pada tulang dan jaringan tubuh, seperti ginjal, paru-paru,

dan organ tubuh lain. Tanda-tanda khas adalah akibat hiperkalsemia, seperti

lemah, sakit kepala, kurang nafsu makan, diare, muntah-muntah, gangguan mental

dan pengeluaran urin berlebihan. Bayi yang diberi vitamin D berlebihan,

23
menunjukkan gangguan saluran cerna, rapuh tulang, ganggua pertumbuhan dan

kelambatan perkembangan mental (Andreas et al, 2012 ).

2.3. Hubungan kadar vitamin D dalam darah dengan obesitas

Asupan makanan dan peningkatan kalsium akan mengurangi berat badan

dan adiposit lemak dan kenaikan berat badan, juga meningkatkan lipolisis,

sehingga dapat mempercepat penurunan berat badan. Sedangkan Absorbsi

kalsium akan meningkat jika terdapat vitamin D yang cukup dalam tubuh.

Vitamin D meningkatkan penyerapan kalsium melalui usus halus dan mengurangi

eksresi kalsium melalui ginjal. Jadi, Vitamin D sangat penting untuk menjaga dan

mempertahanakan mempertahankan keseimbangan kalsium. Studi Populasi telah

menemukan bahwa orang yang lebih rendah mengkonsumsi vitamin D lebih

mungkin menjadi obesitas daripada orang yang tinggi dalam mengkonsumsi

vitamin D (Widodo,dkk. 2006).

Dew Lau et al (2007) menyatakan penyebab obesitas adalah multifaktor

namun lebih banyak dijelaskan oleh ketidakseimbangan asupan makanan sumber

energi. Tamer et al (2012) menyatakan bahwa kekurangan vitamin D merupakan

faktor risiko independen untuk obesitas dan obesitas abdominal pada wanita.

Vitamin D dimediasi kalsium akan mempengaruhi berat badan. Vitamin D

yang rendah akan berdampak pada penyerapan kalsium. Kalsium yang rendah

akan meningkatkan enzim asam lemak sintase yaitu sebuah enzim yang berperan

dalam merubah kalori menjadi lemak. Jadi ketika tubuh kekurangan kalsium maka

enzim asam lemak sintase akan meningkat sehingga akan memicu terjadinya

24
lipogenesis dan menghambat terjadinya lipolisis, dengan demikian akan terjadi

peningkatan berat badan akibat penimbunan lemak (Barba G and Russo P, 2005).

Selain itu studi terbaru juga menyebutkan bukti keterkaitan antara obesitas

dengan kadar vitamin D yang rendah dalam tubuh. Keterkaitan ini diperantarai

oleh leptin. Leptin pertama kali dikemukakan oleh Friedman pada tahun 1994 dan

diproduksi oleh sel lemak putih melalui rangsangan antara lain adalah insulin.

Fungsinya adalah sebagai pengendali berat badan. Bila cadangan lemak tinggi ,

sel lemak memproduksi leptin yang selanjutnya mengirim rangsangan pada otak

(hipotalamus) untuk menurunkan produksi NPY (neuropeptida Y,

neurotransmitter perangsang selera makan). Dengan demikian nafsu makan

menurun disertai dengan termogenesis dan aktivitas meningkat. Cadangan lemak

akan dibakar dengan akibat berat badan menurun. Sebaliknya cadangan lemak

yang menurun merangsang peningkatan selera makan dan mengurangi kegiatan.

Mekanisme tersebut berlangsung melalui perangsangan reseptor adrenergic-b3

dalam lemak coklat. Penurunan system inilah yang akan menyebabkan obesitas

(Hensen and Castracane, 2003).

Penderita obesitas umumnya memiliki kadar leptin darah yang tinggi,

makin besar cadangan lemak tubuhnya makin tinggi kadar leptin darahnya.Dan

sebaliknya. Leptin melalui fibroblast growth faktor-23 (FGF-23), yaitu faktor

fosfaturik yang berperan dalam metabolisme vitamin D di ginjal dapat menekan

sintesis D 1,25(OH)2, bentuk aktif vitamin D yang dibentuk di ginjal. Selain itu,

leptin secara langsung dapat menekan ikatan vitamin D 25(OH) yang berada

disirkulasi dengan 1 -hydroxylase (CYP27B1) dan 1,25-hydroxyvitamin D-24-

25
hydroxylase (CYP24) pada ginjal dan jaringan adiposa. Terdapat pula teori yang

menyatakan bahwa dengan peningkatan jaringan adiposa maka vitamin D yang

larut lemak akan tersimpan dalam jaringan adiposa tersebut sehingga

menyebabkan defisiensi vitamin D (Erdman et al, 2012).

26
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Sinar Ultraviolet

Intake Pre Vitamin D3

Jaringan Adiposa

Vitamin D3

Leptin
Vitamin D-25
Hydroxylase (di
Hati) I Hydroxylase
(CYP27BI)
Lipolisis

1,25-
25 (OH) D3 (Di Hydroxyvi
(Sirkulasi tamin D- Obesitas
FGF - 23 24
Hydroxyla
se

25 (OH) D-1α
Hydroxylase Faktor lain Penye
(di Ginjal) bab obesitas :
- Genetik
1,25 (OH)2D3 1,25 (OH)2D3 - lingkungan dan
Gaya hidup
PTH a. intake maka
nan.
Tulang
Intestine b. Aktivitas
fisik
c. psikologis

Kalsium Darah

27
Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

3.2 Penjelasan Kerangka Konsep

Vitamin D berasal dari intake makanan dan di bantu oleh sinar matahari

menjadi pre vitamin D. kemudian menjadi vitamin D3 dalm bentuk aktif,

dihidroxy di hati menjadi vitamin D-25 kemudian di sirkulasi menjadi 25 (OH)2

D3 dan kemudian di ginjal di ubah menjadi kedalam bentuk paling aktif yaitu 1,25

(OH) 2 D3 masuk ke system pencernaan membentuk kalsium. Pembentukan

kalsium tergantung dari vitamin D karena sumber utama kalsium adalah dari

vitamin D , apabila kalsium dalam darah rendah maka akan mengganggu proses

lipolisis dan akan menambah enzim asam lemak sintase yang bisa meningkatkan

proses lipogenesis. Sementara itu pada obesitas mempunyai jaringan adiposa yang

banyak, Jaringan adiposa akan mengganggu pembentukan pre vitamin D3 oleh

sinar matahari karena menumpuk di bawah kulit. Jaringan adiposa berbanding

lurus dengan leptin, semakin banyak jaringan adiposa maka leptinpun akan

semakin banyak . Leptin akan mempengaruhi kerja FGF-23, I Hidroxylase

(CYP27B1) dan 1,25 Hydroxivitamin D-24 Hydroxylase untuk pembentukan

vitamin D kedalam bentuk aktif. yang mana leptin bisa mengganggu kerja

28
ketiganya untuk pembentukan vitamin D kedalam bentuk aktif di sirkulasi dan

ginjal.

3.3 Hipotesis

Terdapat hubungan antara kadar vitamin D dalam darah dengan kejadian

obesitas pada siswa SMA Pembangunan Padang

29
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Cross Sectional, karena

seluruh variabel diamati dan diukur pada saat bersamaan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di SMA Pembangunan Padang. Penelitian

ini telah dilaksanakan pada bulan Maret – Juni 2019.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Pembangunan

kelas I dan II sebanyak 444 orang.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi yang mempunyai kriteria

eksklusi dan inklusi.

4.3.2.1 Besar Sampel

Untuk menghitung besar sampel minimal digunakan rumus sebagai

berikut: (Sastroasmoro, 1995)

2
n= Zα x S
d

Keterangan :

n = Besar sampel

Z = 1,96 pada derajat kepercayaan 95%

30
S = Simpangan baku kadar vitamin D yaitu 4,62 (Yose M et al, 2015)

d = ketepatan absolut yang di inginkan

Dari perhitungan dengan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel SMA

Pembangunan sebanyak 82 orang.

4.3.2.2 Kriteria Sampel

Kriteria inklusi pengambilan sampel adalah:

a. Yang bersedia menandatangani informed consent

b. Berada di kelas I dan II

Kriteria eksklusi pengambilan sampel adalah:

a. Tidak berada di sekolah ketika penelitian dilakukan

b. Sakit pada saat dilakukan penelitian

c. Menderita penyakit kronis (Jantung, Stroke, DM, Hipertensi, Kanker)

d. Menderita kecacatan fisik

e. Mengkonsumsi suplemen vitamin

4.3.3 Cara Pengambilan Sampel

Objek penelitian adalah siswa SMA Pembangunan Padang kelas I dan II.

Pengambilan sampel dilakukan terhadap siswa Kelas I dan II yang memenuhi

kriteria inklusi secara simple random sampling.

31
4.4 Instrumen dan Bahan

4.4.1 Obesitas

Alat dan fasilitas

1. Microtoise

2. Timbangan berat badan

3. Alat tulis

4.4.2 Kadar vitamin D dalam darah

Bahan dan alat :

1. Human vitamin D Elisa Kit

2. Kapas alkohol

3. Spuit

4. Elisa reader

5. Tabung sentrifuse

6. Micropipet

7. Tabung serum

4.5 Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Kadar vitamin D dalam darah

2. Variabel terikat

Obesitas

32
4.6 Definisi Operasional

4.6.1 Kejadian Obesitas

Definisi : Suatu keadaan kelebihan berat badan yang dialami oleh siswa

SMA
Cara ukur : Menimbang BB dan mengukur TB
Alat ukur : BB dengan timbangan berat badan dan TB dengan microtoise
Hasil ukur : Z Score IMT/U > 2SD Obesitas

Z Score IMT/U 2 SD Tidak obesitas


Skala ukur : Ordinal

4.6.2 Kadar vitamin D dalam darah

Definisi : Pengukuran kadar vitamin D aktif (25 (OH)D3) dalam darah

siswa SMA dengan mengambil darah vena mediana cubiti


Cara ukur : Pemeriksaan kadar serum vitamin D aktif (25 (OH)D3)

dengan cara pengambilan darah sebanyak 3 cc, lalu di

sentrifuse, lalu lakukan pemeriksaan menggunakan reagen

human vitamin D dengan metode ELISA


Alat ukur : Elisa Reader
Hasil ukur : Kadar vitamin D aktif (25 (OH)D3) normal dalam darah

(ng/ml)
Skala ukur : Rasio

4.6.3 Kecukupan vitamin D dalam darah

Definisi : Pengukuran kadar vitamin D aktif (25 (OH)D3) dalam darah

siswa SMA dengan mengambil darah vena mediana cubiti


Cara ukur : Pemeriksaan kadar serum vitamin D aktif (25 (OH)D3)

dengan cara pengambilan darah sebanyak 3 cc, lalu di

33
sentrifuse, lalu lakukan pemeriksaan menggunakan reagen

human vitamin D dengan metode ELISA


Alat ukur : Elisa Reader
Hasil ukur : Kadar vitamin D aktif (25 (OH)D3) normal dalam darah

(ng/ml) dengan kategori

Kadar vitamin D ≥ 20 ng/ml : Cukup

Kadar vitamin D < 20 ng/ml : kurang

(Diagnostik Biochem Canada)


Skala ukur : Ordinal

4.7 Persyaratan Etik Penelitian

4.7.1 Semua objek pada penelitian ini (siswa SMA Pembangunan Padang)

memberikan persetujuan tertulis yang menyatakan kesediaannya mengikuti

penelitian

4.7.2 Subjek penelitian diberi kejelasan tentang maksud dan tujuan penelitian

4.7.3 Terhadap subyek penelitian tetap diutamakan pelayanan dengan selalu

mengindahkan tata cara etika yang berlaku

4.7.4 Semua biaya dalam penelitian ini menjadi tanggung jawab peneliti

4.7.5 Jika terjadi komplikasi dalam pengambilan sampel darah maka segala

biaya dalam penanganannya akan dibebankan kepada peneliti.

4.8 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

4.8.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder

4.8.1.1 Data Primer

Jenis data primer yang dikumpulkan adalah data :

34
a. Kejadian obesitas melalui data antropometri meliputi : berat badan dan

tinggi badan

b. Kadar vitamin D dalam darah responden

4.8.1.2 Data Sekunder

Data sekunder meliputi nama siswa dan gambaran umum sekolah.

4.8.2 Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan oleh peneliti dan dibantu 1 orang

analis dan 1 orang dokter melalui kunjungan ke sekolah dengan melakukan

pengukuran tinggi badan dan penimbangan berat badan, serta mewawancarai

responden dan mengukur kadar vitamin D dalam darah di laboratorium.

4.8.2.1 Data Berat Badan

Data berat badan diukur dengan menggunakan timbangan berat badan.

Subjek diukur pada posisi berdiri tegak tepat ditengah dari timbangan dan tanpa

menggunakan alas kaki. Pembacaan dilakukan setelah angka pada timbangan

berhenti.

4.8.2.2 Data Tinggi Badan

Tinggi badan subjek diukur dengan menggunakan pengukur tinggi badan

mikrotoa, yang memiliki ketelitian 0,1 cm. Mikrotoa ditempelkan dengan paku

pada dinding yang lurus datar setinggi tepat 2 m. Subjek diukur dalam posisi

tegak tanpa sandal atau alas kaki, kaki lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala

bagian belakang harus menempel pada dinding. Muka lurus ke depan, dan kepala

tanpa menggunakan penutup. Besi pengukur yang vertikal diturunnaikkan hingga

35
batang pengukur yang horizontal menyentuh tepat di atas kepala subjek. Posisi

subjek membelakangi alat ukur. Pembacaan dilakukan dari sebelah kiri atau kanan

sampel.

4.8.2.3 Kadar vitamin D dalam darah

Data kadar vitamin D dalam darah dilakukan dengan pengambilan darah

yang dilakukan oleh petugas yang berpengalaman, kemudian spesimen darah

dibawa ke laboratorium biomedik fakultas kedokteran Universitas Andalas.

4.9 Pengolahan dan Analisis Data

4.9.1 Pengolahan Data

a. Variabel Kejadian Obesitas Pengolahannya dimulai dengan menghitung berat

dan tinggi badan. Dan jumlah yang diperoleh dibandingkan dengan indeks

obesitas, kemudian dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu Obesitas jika

IMT/U > 2SD dan Tidak obesitas jika IMT/U SD

b. Variabel kadar vitamin D dalam darah dengan melihat pemeriksaan kadar

vitamin D dalam darah (ng/dl).

c. Data terkumpul dan di olah melalui proses editing, coding, entry dan

cleaning.

4.9.2 Analisis Data

4.9.2.1 Analisis Univariat

Untuk melihat distribusi frekuensi/rata-rata dari masing-masing variabel,

data dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi

36
frekuensi untuk variabel kejadian obesitas dan disajikan dalam bentuk rata-rata

untuk variabel kadar vitamin D.

4.9.2 Analisa Bivariat

Untuk melihat hubungan dua variabel yaitu variabel kadar vitamin D

dalam darah dengan kejadian obesitas menggunakan uji statistik T-Test

Independent, dan untuk melihat distribusi kejadian obesitas berdasarkan kadar

vitamin D dalam darah digunakan uji chi square. Nilai yang digunakan untuk

melihat ada tidaknya hubungan dua variabel adalah nilai p, bila nilai p < 0,05

berarti hubungan bermakna.

4.10 Prosedur Kerja

Setiap siswa SMA kelas I dan II yang memenuhi kriteria inklusi diberikan

penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan. Bagi yang setuju maka diminta

untuk menandatangani formulir persetujuan. Kemudian semua calon sampel

penelitian akan diberikan perlakuan sesuai dengan prosedur kerja untuk penelitian

ini.

1. Anamnesa meliputi nama, umur, alamat

2. Pemeriksaan kadar vitamin D dalam darah dengan cara:

a. Pengambilan darah oleh analis menggunakan jarum suntik disposibel

melalui vena mediana cubiti. Darah yang diambil sebanyak 3 cc

b. Sampel darah diberi kode, selanjutnya dikirim ke laboratorium Biomedik.

Pemeriksaan kadar vitamin D menggunakan alat Human vitamin D -

ELISA kit.

37
4.11 Kerangka Operasional Penelitian

Populasi

inklusi Eksklusi

Sampel

Kadar Vitamin Status gizi


D

- Kurang - Obesitas
- Cukup - Tidak
Obesitas

Analisa Data

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran umum responden

Telah dilakukan penelitian observasional dengan disain cross sectional

pada siswa SMA kelas X dan XI. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 82

orang yang berumur 15 sampai 18 tahun, yang sesuai dengan kriteria inklusi dan

38
ekslusi. Terhadap responden dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D dalam darah,

dan pengukuran berat badan dan tinggi badan, untuk diketahui status gizinya

dengan indicator Z Score IMT/U. Penelitian di lapangan dilakukan dari tanggal 22

April sampai dengan 6 Juni 2019. Karakteristik responden secara umum dapat

dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini.

Tabel 5.1.1 Rata-Rata Umur, Berat Badan, Tinggi Badan dan Kadar Vitamin
D Dalam Darah Responden

Variabel Mean ± SD
- Umur (tahun) 16 ± 0,69

- Berat Badan (kg) 59,79 ± 16,43

- Tinggi Badan (kg) 155,65 ± 6,66

- IMT 24,58 ± 5,96

- Kadar Vitamin D dalam darah (ng/ml) 26,14 ± 7,84

Tabel 5.1.1 menunjukkan bahwa rata-rata umur responden adalah 16 tahun

± 0,69 tahun, rata-rata berat badan responden adalah 59,79 ± 16,43 kg, rata-rata

tinggi badan responden adalah 155,65 ± 6,66 cm. Responden memiliki rata-rata

24,58 ± 5,96, dan kadar vitamin D dalam darah 26,14 ± 7,84 ng/ml (dalam batas

normal kadar vitamin D dalam darah digunakan menurut kit yang digunakan

(Diagnostik Biochem Canada) yaitu 20 sampai 50 ng/ml.

Tabel 5.1.2 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi

Status Gizi (IMT/U) f %

- Obesitas 17 20,9
- Tidak Obesitas 65 79,3

39
Jumlah 82 100

Dari tabel 5.1.2 diketahui bahwa sebagian kecil responden (20,9%)

memiliki atatus gizi obesitas.

Tabel 5.1.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Vitamin D dalam


darah

Kadar Vitamin D dalam Darah f %


(ng/ml)

- Cukup 63 76,8
- Kurang 19 23,2

Jumlah 82 100

Berdasarkan tabel 5.1.3 dapat dilihat bahwa sebagian kecil responden

(23,2%) memiliki kadar vitamin D dalam darah yang kurang.

5.2 Uji Normalitas Data

Setelah uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji kolmogorov

smirnov, maka didapatkan bahwa kadar vitamin D dalam darah terdistribusi

normal (p>0,05). Selanjutnya untuk melihat keterkaitan kadar vitamin D dalam

dalam darah dengan kejadian obesitas yang dilihat melalui perbedaan rata-rata

kadar vitamin D dalam darah pada siswa obesitas dengan tidak obesitas digunakan

uji independent sample t test (parametrik).

5.3 Hubungan Kadar Vitamin D dalam Darah dengan Kejadian Obesitas

Tabel 5.3.1 Perbedaan Rata-Rata Kadar Vitamin D Antara Responden


Obesitas dengan Tidak Obesitas

Mean ± SD p value
Status Gizi (IMT/U)
(Kadar Vit. D (ng/ml))

40
- Obesitas 22,35 ± 5,56
- Tidak Obesitas 0,025
27,13 ± 8,08

Berdasarkan tabel 5.3.1 dapat dilihat bahwa rata-rata kadar vitamin D

responden yang obesitas adalah 22,35 ± 5,56 ng/ml sedangkan untuk responden

yang tidak obesitas rata-rata kadar vitamin D dalam darahnya adalah 27,13 ± 8,08

ng/ml. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,025, yang berarti pada alpha 5%

terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata kadar vitamin D dalam darah

antara responden yang obesitas dengan tidak obesitas.

Tabel 5.3.2 Distribusi Status Gizi Responden Berdasarkan Kadar Vitamin D


dalam Darah

Status Gizi
p
Obesitas Tidak Total
Kadar Vitamin D value
Obesitas

N % n % n %

Kurang 8 42,1 11 57,9 19 100 0,020

Cukup 9 14,7 54 85,7 63 100

Tabel 5.3.2 menggambarkan bahwa 42,1% responden yang obesitas

memiliki kadar vitamin D dalam darah yang kurang dari batas normal (20-50

ng/ml), Sementara itu terdapat 14,7% responden yang obesitas memiliki kadar

vitamin D dalam darah yang cukup. Dari hasil uji statistik didapat nilai p<00,5

yang berarti ada perbedaan proporsi kejadian obesitas antara responden yang

asupan vitamin D nya kurang dengan cukup.

41
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah menerapkan rancangan potong lintang

(cross sectional study) sehingga tidak dapat menentukan arah hubungan sebab

akibat antara kadar vitamin D dalam darah dengan kejadian obesitas pada siswa

SMA pembangunan Padang.

42
Secara teoritis terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian

obesitas, Antara lain terdiri dari faktor genetik, lingkungan (termasuk prilaku dan

gaya hidup), psikis, faktor kesehatan, obat-obatan, dan aktivitas fisik, tetapi

karena keterbatasan dana dan waktu peneliti, maka penelitian ini hanya meneliti

kadar vitamin D dalam darah saja seperti yang tercantum dalam kerangka konsep

penelitian ini.

6.2 Karakteristik Responden

6.2.1 Rata-rata umur, berat badan, tinggi badan, IMT dan kadar vitamin D dalam

Darah Responden

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa rata-rata umur responden

adalah 16,3 ± 0,69 tahun. Rata-rata umur ini termasuk dalam batas umur remaja

yaitu 12 sampai 18 tahun. Pada penelitian ini ditemukan responden memiliki rata-

rata berat badan 59,79 kg ± 16,43 kg dan rata-rata tinggi badan 155,65 ± 6,66 cm.

Sementara itu rata-rata IMT responden adalah 24,58 ± 5,96. Hasil rata-rata IMT

responden ini berada pada batas akhir rentang normal (18,5-24,9).

Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa rata-rata kadar vitamin D

dalam darah adalah 26,14 ± 7,84 ng/ml. Hasil ini termasuk dalam batas normal

kadar vitamin D dalam darah sesuai dengan kit yang digunakan (Diagnostics

Biochem Canada) yaitu 20 sampai 50 ng/ml.

6.2.2 Distribusi responden berdasarkan status gizi

Pada penelitian ditemukan bahwa (20,9%) responden memiliki status gizi

obesitas. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari persentase kejadian obesitas di

Provinsi Sumatera Barat menurut Riskesdas 2013 yaitu 7,9 %, dan juga lebih

43
tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Kartini (2013) yaitu menemukan 14,1%

siswi SMA Theresiana I Semarang dengan obesitas.

Peningkatan prevalensi obesitas disebabkan oleh banyak faktor termasuk

genetika, diet, gaya hidup sedentary dan isu-isu yang berkaitan dengan status

psikologis, sosial ekonomi, atau pendidikan individu (Van Vliet-Ostaptchouk,

2012). Faktor lingkungan atau interaksi faktor lingkungan dan genetik diduga

penyebab paling dominan tingginya prevalensi obesitas ini pada remaja,

Ketidakseimbangan antara aktivitas fisik dan tingginya asupan energi dan

penambahan gula dan lemak dalam makanan merupakan faktor risiko yang paling

dominan (Brown, 2008). Pada penelitian ini tidak dapat digambarkan asupan dan

aktivitas fisik responden karena yang diteliti hanya kadar vitamin D dalam darah.

Obesitas merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskuler, dan data

secara konsisten menunjukkan peningkatan insiden penyakit seiring dengan

meningkatnya IMT, akan tetapi obesitas juga merupakan faktor risiko bagi

sejumlah kondisi lain yang terkait dengan penyakit kardiovaskuler seperti

dislipidemia, diabetes mellitus tipe 2 (dan resistensi insulin) serta hipertensi.

Telah diketahui dengan jelas bahwa penumpukan sejumlah besar lemak dalam

tubuh akan mengubah fungsi metabolit normal sehingga menghasilkan perubahan

yang berpotensi membahayakan (Barasi, 2007).

Obesitas dapat dikendalikan dengan memperbaiki pola makan dan

aktivitas fisik, yang melibatkan orangtua dan keluarga. Seluruh anggota keluarga

harus terlibat dengan program menjaga berat badan, sementara itu orang tua juga

harus memberikan informasi tentang komplikasi yang ditimbulkan oleh obesitas.

44
Jika semua yang terlibat disiplin dan komitmen dengan apa yang dijalankan, maka

kejadian obesitas dapat dicegah (Brown, 2008).

6.2.3 Distribusi responden berdasarkan kadar vitamin D dalam darah

Hasil penelitian menemukan bahwa sebagian kecil responden (23,2%)

memiliki kadar vitamin D dalam darah yang kurang. Hasil ini lebih rendah dari

yang ditemukan oleh Pangestu et al (2005) yaitu 68%. Perbedaan ini disebabkan

karena pada penelitian Pangestu et al responden yang diukur kadar vitamin D nya

merupakan remaja obesitas, sementara itu pada penelitian ini remaja yang diukur

kadar vitamin D dalam darahnya merupakan siswa SMA Pembangunan yang

diambil secara random sehingga kadar vitamin D dalam darah tersebut merupakan

kadar vitamin D dalam darah remaja dari berbagai status gizi. Sementara itu

berdasarkan tingkat kecukupan kadar vitamin D dalam darah, pada penelitian ini

di temukan sebanyak 14,7 % kadar vitamin D dalam darah yang cukup pada

remaja obesitas, lebih kecil di bandingkan remaja yang tidak obesitas sebanyak

85,7 %.

Dalam penelitian ini, meskipun kurangnya kadar vitamin D dalam darah

hanya pada sebagian kecil responden, namun hal ini perlu diwaspadai oleh semua

pihak, hal ini disebabkan karena akibat yang akan ditimbulkan oleh keadaan

tersebut yang akan berdampak pada kehidupan di masa yang akan datang. Jika

tubuh kekurangan vitamin D maka hanya 10-15% diet kalsium dan sekitar 60%

fosfor yang diserap sehingga selain berdampak terhadap penimbunan jaringan

adiposa juga dapat mempengaruhi tingkat kepadatan tulang tidak akan tercapai

maksimal (Allardt and Viljakainen, 2008; Soliman et al, 2014).

45
Kurangnya kadar vitamin D pada siswa SMA terkait dengan kekurangan

paparan sinar matahari karena budaya dalam berpakaian dan berkerudung atau

karena pigmen kulit, dan sedikit waktu yang dihabiskan di luar rumah karena

cuaca panas, dan asupan vitamin D yang lebih rendah (Soliman, 2014). Untuk itu

upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah memberikan informasi tentang

makanan yang mengandung vitamin D dan manfaat sinar matahari dalam

membantu penyerapan vitamin D, serta mengaplikasan kegiatan ekstrakurikuler

sekolah dengan peningkatan paparan sinar matahari siswa.

6.3 Hubungan Kadar Vitamin D dalam Darah dengan Kejadian Obesitas

pada Siswa SMA Pembangunan Padang.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan rata-rata kadar vitamin

D dalam darah antara siswa obesitas dengan tidak obesitas. Dengan adanya

perbedaan rata-rata tersebut dapat dikatakan ada keterkaitan kadar vitamin D

dalam darah dengan kejadian obesitas. Sementara itu berdasarkan distribusi status

gizi berdasarkan kadar vitamin D dalam darah, juga terdapat kecenderungan

responden obesitas memiliki kadar vitamin D yang kurang (42,1%) dibandingkan

responden obestitas dengan kadar vitamin D yang cukup (14,7%), dan secara

statistik didapatkan hasil ada perbedaan proporsi kejadian obesitas antara

responden yang asupan vitamin D nya kurang dengan cukup. Dari hal tersebut

dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D

dalam darah dengan kejadian obesitas pada siswa SMA Pembangunan Padang.

. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wortsman et al tahun 2000 yang menyimpulkan defisiensi vitamin D

46
berhubungan dengan kejadian obesitas. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh

Tzotzas et al, 2010 juga menemukan hal yang senada yaitu terdapat hubungan

terbalik antara kadar 25(OH)D3 dengan tingkat keparahan obesitas.

Kecenderungan ini disebabkan karena fungsi vitamin D dalam

mempengaruhi konsentrasi kalsium terkait dengan obesitas (Heaney et al, 2001).

Rendahnya vitamin D mempengaruhi penyerapan kalsium. Kalsium yang rendah

akan merangsang ekspresi dan aktivitas fatty acid synthase (FAS), enzim kunci

dalam merangsang lipogenesis dan menghambat lipolisis (Shi et al, 2001; Freitas,

2012). Jadi semakin rendah vitamin D fungsinya dalam membantu penyerapan

kalsium juga tidak optimal, sehingga akan dapat memicu terjadinya obesitas

(Sergeeve, 2009).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan yang disimpulkan oleh Kamycheva

et al tahun 2003 yaitu terdapat hubungan yang berpola negatif antara asupan

vitamin D dengan indeks masa tubuh pada responden pria dan wanita, dan

penelitian yang dilakukan oleh Arunabh et al (2003) dan menyimpulkan

persentase kandungan lemak tubuh berbanding terbalik dengan kadar serum 25

(OH)D3 pada wanita sehat.

Vitamin D dan kejadian obesitas mempunyai hubungan timbal balik, selain

kekurangan vitamin D berhubungan dengan kejadian obesitas, keadaan obesitas

pun dapat memicu terjadinya kekurangan vitamin D dalam tubuh. Hal ini

disebabkan karena vitamin D larut dalam lemak dan mudah disimpan dalam

jaringan adiposa. Muchtadi (2009) mengemukakan bahwa vitamin D diserap

tubuh setelah diserap dan disimpan dalam jaringan seperti jaringan otot dan

47
jaringan adiposa, dan kemudian baru dilepaskan secara perlahan ke peredaran

darah sesuai dengan kebutuhan tubuh. Menurut Koszowska et al (2014) vitamin D

memainkan peran penting dalam fungsi jaringan adiposa. Jika terjadi peningkatan

jaringan adiposa maka vitamin D akan menumpuk di jaringan adiposa, sehingga

hanya sedikit yang berada di peredaran darah.

Meskipun demikian, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan yang

didapatkan Scragg et al (2005) yang menyimpulkan kadar serum 25 (OH) D3

tidak terkait dengan indeks massa tubuh. Hal ini disebabkan karena dalam

penelitian Scragg et al sampel yang digunakan adalah penduduk Selandia Baru

yang didominasi oleh keturunan Eropa yang memiliki IMT lebih tinggi, serta

mendistribusikan responden berdasarkan aktivitas fisiknya dan ditemukan kaitan

antara kadar vitamin D yang tinggi pada responden yang aktif akibat paparan sinar

matahari yang diterima, meskipun secara IMT mereka lebih tinggi. Sementara itu

dalam penelitian ini responden tidak dilihat aktivitas fisik dan paparan sinar

mataharinya.

Terbuktinya kekurangan vitamin D berhubungan dengan kejadian

obesitas pada penelitian ini memberikan gambaran bahwa antara siswa keluarga

dan pihak sekolah perlu kerjasama yang baik agar penyerapan vitamin D menjadi

optimal. Keluarga sebagai penyedia makanan hendaknya mampu menyediakan

makanan yang mengandung vitamin D, sementara pihak sekolah berperan dalam

memberikan informasi tentang dampak dan manfaat dari vitamin D.

48
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Dilihat dari hasil yang ditemukan pada penelitian ini, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. Ditemukan 20,9% responden memiliki status gizi obesitas.

2. Rata-rata kadar vitamin D dalam darah responden adalah 26,14 ng/ml , 23,2

% responden mengalami defisiensi kadar vitamin D dalam darah.

49
3. Terdapat hubungan antara kadar vitamin D dalam darah dengan kejadian

obesitas siswa SMA pembangunan Padang.

7.2 Saran

1. Melakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh pemberian vitamin D

terhadap kejadian obesitas.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan melibatkan variabel lain seperti paparan

sinar matahari, genetik, lingkungan dan gaya hidup seperti intake makanan,

aktivitas fisik dan psikologis.

3. Disarankan kepada siswa untuk selalu menjaga status gizinya dengan cara

mengkonsumsi makanan yang seimbang dan aktivitas fisik yang teratur.

4. Sebagai tenaga kesehatan disarankan untuk memberikan penyuluhan yang

berkesinambungan tentang vitamin D dan dampaknya terhadap obesitas.

50

Anda mungkin juga menyukai