Anda di halaman 1dari 7

Penyampaian Persetujuan Tindakan Medis (Informed

Consent) oleh Dokter Spesialis Ortopedi kepada Pasien


Pra-Operasi Fraktur Humerus
Gregorius Prama Suryaputra
Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Keedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
gregoriusprama.gp@gmail.com

Abstract. Communication between patients and doctors is very important. One of them is
through informed consent or medical treatment approval. Informed consent is the provision of
medical treatment information by a doctor and a legitimate patient statement to agree or reject
medical intervention. Informed consent contains the diagnosis, the purpose of medical
treatment, other alternative treatment, procedures, risks and complications, prognosis. There
are 3 types of informed consent, it can be implied, oral, or written. The method used in this
research is through interview and observation. The goal is to find out the process of delivering
informed consent, who has the right to give and approve and struggles in delivery. Informed
consent is delivered by a doctor who is responsible for the patient and approved by the
capable patient. Even though it has been run well, there are still problems in delivering.

Keywords: informed consent, medical treatment, doctor, patient

1. PENDAHULUAN
Informed consent adalah perjanjian atau persetujuan yang disertai pemberitahuan tentang
perawatan atau layanan yang menjadi fokus persetujuan. Informed consent dalam arti sebenarnya tidak
hanya hubungan antara dokter dan pasien, tetapi juga termasuk antara peneliti dan subjek penelitian.
Sebelum menjalani prosedur medis atau perawatan kesehatan lainnya, seorang dokter atau petugas
kesehatan harus menyampaikan informed consent yaitu memberitahu pasien tentang sifat, alternatif,
dan risiko dari prosedur medis yang akan dilakukan. Setelah menerima informasi, pasien dapat
menyetujui atau menolak prosedur medis tersebut (JCAHO, 2016). Informed consent mempunyai arti
yang berbeda dalam konteks yang berbeda-beda, dalam praktiknya bervariasi dan jarang sesuai teori
yang ideal (Hall, Prochazka, & Fink, 2012).
Jenis informed consent dapat secara lisan dan tertulis. Pesetujuan lisan saat pasien menyatakan
secara verbal tetapi tidak menandatangani formulir tertulis, sedangkan persetujuan tertulis diperlukan
dalam intervensi berisko tinggi seperti penggunaan anestesi dan sedasi, prosedur invasif atau bedah,
dan sebagainya. Informed consent diperlukan dalam berbagai kasus seperti operasi bahkan saat tidak
di rumah sakit, radiasi atau kemoterapi, vaksin, beberapa tes darah seperti HIV. Informed consent
tidak diperlukan dalam keadaan darurat yang jika ditunda membahayakan kondisi pasien (Gambhir,
Singh, Kaur, Nanda, & Kakar, 2014).
Penyampaian informed consent bertujuan untuk mendapatkan bukti persetujuan yang dapat
mendokumentasikan pertanggungjawaban secara legal dan etika. Diharapakan pasien dapat mengerti
semua intervensi medis yang akan dilakukan dan dapat memilih setuju atau tidak tanpa paksaan dari
luar serta dapat mengerti risiko jika menolak tindakan. Lalu juga menegaskan hak-hak pribadi pasien
dijamin secara hukum (JCAHO, 2016; Kamer et al., 2018). Selain memberikan rasa aman pada pasien,
dokter juga dapat membela diri apabila ada tuntutan dari pasien atau keluarga jika timbul hal yang
tidak dikehendaki. Dalam contoh sederhana, informed consent penting untuk melindungi dokter dari
tuduhan atas tindakan yang dilakukan, misalnya sentuhan saat pemeriksaan. Meskipun pasien bersedia
membuka baju saat pemeriksaan dan tetap tenang saat ditusuk jarum menurut akal sehat sudah
menandakan setuju, tetapi ini tidak secara hukum yang sah di beberapa negara. (Herwanda,
Rahmayani, & Fadhilla, 2016; Wheeler, 2006).
Tujuan informed consent berbeda sesuai dengan konteks yang ada, terdapat tiga konteks yaitu
hukum atau legal, etis, dan administratif. Secara legal yaitu melindungi pasien dari penyerangan dan
kekerasan dalam bentuk intervensi medis. Standar yang tinggi melindungi hak otonomi pasien,
pengambilan keputusan tanpa diganggu gugat. Namun standar hukum yang berlaku bebeda-beda dan
berkembang, maka penting bagi dokter untuk menginterpretasi dan menentukan standar yang tepat
untuk digunakan dalam praktik. Secara etis lebih abstrak, yaitu mengubah dari pengambilan keputusan
oleh dokter, menjadi pengambilan keputusan oleh pasien sendiri. Secara administratif yaitu melalui
dokumen memastikan bahwa proses persetujuan telah terjadi. Informed consent harus
didokumentasikan secara menyeluruh, baik dengan rekam medis, formulir persetujuan, dan pilihan
lain yang memungkinkan. Pasien seharusnya tidak langsung menuju ruang operasi tanpa
menandatangani formulir persetujuan, namun karena alur yang memerlukan waktu efisien, informed
consent sering hanya sekedar tanda tangan saja tanpa percakapan mendalam mengenai persetujuan
(Hall et al., 2012). Dokumentasi persetujuan tindakan medis di Indonesia mencantumkan tanggal,
waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan (Permenkes,2008).
Dalam informed consent disepakati empat elemen dasar untuk diskusi: pembuat keputusan
harus memiliki kemampuan membuat keputusan; dokter harus menyampaikan rincian yang cukup
untuk pembuat keputusan; pembuat keputusan harus menunjukkan pemahamannya; dan pembuat
keputusan harus secara bebas menetapkan pengobatannya. Kemudian dalam praktiknya, keempat
elemen tersebut diterjemahkan dalam lima komponen di diskusi: diagnosis, pengobatan yang
diusulkan, risiko dan manfaat pengobatan, pengobatan alternatif beserta risiko dan manfaat, dan risiko
dan manfaat dari menolak pengobatan (Hall et al., 2012). Dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran, penjelasan tindakan medis harus mencakup: diagnosis dan tata cara tindakan, tujuan
tindakan, alternatif dan risiko, risiko dan komplikasi, prognosis tindakan, dan perkiraan pembiayaan.
Salah satu tindakan medis yang sangat perlu informed consent yaitu pembedahan atau operasi.
Dokter bedah yang bertanggung jawab dalam operasi pasti sudah terlatih memberikan informed
consent dengan segala pertanyaan yang mungkin muncul dalam diskusi (Wheeler, 2006). Bedah atau
operasi yang sering ditemui yaitu bedah ortopedi, bedah ini merupakan spesialisasi operasi pada
pencegahan, diagnosis, pengobatan penyakit dan cedera pada sistem muskuloskeletal manusia (Lijoi,
Bianconi, & Davoli, 2017). Salah satu operasi ortopedi yaitu operasi pada pasien patah tulang lengan
atas atau disebut fraktur humerus. Fraktur humerus pada pasien yang muda biasanya disebabkan
trauma atau cedera energi tinggi seperti kecelakaan lalu lintas atau olahraga, sedangkan pasien orang
tua biasanya karena lengan terentang yang jatuh dari posisi berdiri (Burkhart et al., 2013).
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui lebih lanjut proses penyampaian informed consent,
mengetahui cara dokter menyampaikan informed consent kepada pasien, cara dokter menyampaikan
risiko tindakan dan meyakinkan bahwa tidakan yang akan dilakukan adalah pilihan yang terbaik,
hambatan dalam menyampaikan informed consent kepada pasien, dan kondisi jika pasien tidak
mampu secara fisik dan mental menerima penjelasan dan membuat persetujuan.

2. METODE

Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode deskriptif observasional. Penelitian


deskriptif adalah penelitian pendahuluan dari penelitian lebih lanjut yaitu studi analitik dan
eksperimental karena akan dihasilkan hipotesis, secara murni mengadakan deskripsi tanpa analisis
yang mendalam (Budiarto,2002:28). Data penelitian ini didapat dari teknik wawancara dan observasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil observasi penyampaian informed consent dokter spesialis ortopedi kepada
pasien, wawancara dengan dokter spesialis bedah ortopedi, dan wawancara dengan pihak manajemen
pada sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, dapat dijelaskan beberapa hal mengenai informed consent.
Pengamatan dilakukan kepada dokter spesialis ortopedi yang sedang melakukan penjelasan
kepada pasiennya. Dokter menjelaskan tentang kondisi pasien dengan diagnosa fraktur humerus dan
rencana tindakan yang akan dilakukan yaitu ORIF (Open Reduction Interna Fixation) menggunakan
plate dan screw. Dokter juga menjelaskan bahwa setiaap tindakan ada risikonya, meskipun sangat
jarang atau bahkan tidak pernah terjadi termasuk tindakan yang akan dilakukan juga memiliki risiko.
Sebagaimana pembedahan lainnya tindakan yang akan dilakukan memiliki risiko perdarahan, infeksi
dan cidera organ sekitar seperti saraf dan pembuluh darah di sekitar daerah operasi. Risiko bila terjadi
tetap akan dapat diatasi dengan adanya ilmu dan fasilitas yang ada, dan sejauh pengalamannya tidak
pernah terjadi risiko tersebut. Dalam interaksi ini telah disampaikan diagnosis, rencana tindakan yang
akan dilakukan dan risiko dari tindakan bedah yang direncanakan.
Pasien laki-laki umur 32 tahun didampingi istrinya di bangsal rawat inap tampak yakin dengan
keputusan untuk operasi, namun tetap menanyakan kepada dokter, kenapa ada pasien yang patah
tulang cukup diobati dan dipasang gibs sedangkan dia harus dioperasi. Dokter menjelaskan bahwa
kondisi patahnya komplit, garis patahan tulang tidak berada dalam satu garis dan ada tumpang tindih,
sehingga dengan menggunakan gibs saja tulang tidak akan menyambung. Dengan dibuka, diperbaiki
posisinya, dan difiksasi dengan plate dan screw penyembuhan akan lebih baik. Tanya jawab ini
tersampaikan tentang tujuan tindakan bedah yang akan dilakukan, alternatif pengobatan dan risiko dari
alternatif pengobatan lain. Setelah menjelaskan dokter mengisi formulir penjelasan dan
menandatangani formulis penjelasan, suster membantu meminta pasien menandatangani formulir
sudah menerima penjelasan dan formulir persetujuan tindakan (informed consent). Dengan
ditandatanganinya formulir persetujuan tindakan pasien telah membuat informed consent secara
tertulis.
Data selanjutnya didapatkan dari hasil wawancara dengan dokter spesialis ortopedi dan pihak
manajemen rumah sakit. Informed consent pada dasarnya butuh tiga aspek yaitu harus ada dokter,
pasien, dan saksi. Dari kasus di atas, dokter sudah menyarankan dan menginformasikan tindakan
terbaik, dijelaskan juga bahwa ada risiko infeksi jika tidak segera operasi, akan ada cidera daerah
sekitar, maka pasien akan memikirkan dan diharapkan menyetujui tindakan. Sebelum operasi selalu
disampaikan informed consent karena termasuk tindakan berisiko tinggi. Jika pasien masih bingung
atau belum mau setuju, diberi waktu untuk memikirkan risiko-risikonya, seperti menyebabkan
komplikasi atau kerugian klinis bahkan menyebaban kecacatan, misalnya fraktur vertebra dengan
cidera saraf spinal, itu ada golden periodnya, kalau tidak segera bisa lumpuh selamanya, dan harus
disampaikan agar pasien segera membuat keputusan. Lalu bagaimana jika pasien memutuskan tidak
ingin melanjutkan tindakan yang disampaikan dalam informed consent oleh dokter? Hal ini tidak
masalah karena semua keputusan ada pada pasien yang dapat memilih setuju atau tidak pasien dapat
memilih setuju atau tidak, tetapi jika tidak setuju tetap tanda tangan formulir informed consent dan
menyatakan tidak setuju melakukan tindakan sehingga terdokumentasikan secara resmi. Pada
hakikatnya informed consent disampaikan karena dokter ingin memberitahu rencana tindakan medis,
jadi pasien tidak harus setuju, boleh menolak dengan catatan tetap menandatangani formulir. Dokter
akan mengusahakan semaksimal mungkin memberitahu tindakan yang terbaik. Hambatan yang sering
terjadi saat penyampaian informed consent yaitu istilah-istilah kedokteran yang sering tidak diketahui
oleh pasien sehingga pasien kurang mengerti mengenai tindakan. Hambatan lain yaitu tidak jarang ada
pasien yang menurut dokter tidak perlu dilakukan operasi atau tindakan, namun pasien atua keluarga
menginginkan tindakan, hal ini tetap dilakukan asalkan tetap tanda tangan informed consent.
Penyampaian informed consent harus dilakukan oleh dokter yang bertanggung jawab terhadap pasien
tersebut, lalu yang berhak memberi persetujuan harus orang dewasa dalam kondisi kesadaran penuh
atau jika masih anak-anak dapat diwakilkan keluarga. Pada intinya tujuan penyampaian ini untuk
melindungi dokter dan pasien, melindungi dokter untuk memberi bukti bahwa dokter sudah
menjelaskan informasi tindakan pada pasien dan melindungi pasien untuk rasa aman bisa menuntut
jika ada hal yang tidak diinginkan.
Wawancara juga dilakukan dengan pihak manajemen rumah sakit. Sudah jelas dari penjelasan
secara umum, persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent adalah pernyataan pasien yang
sah untuk setuju atau menolak tindakan yang akan dilakukan dokter setelah menerima informasi yang
cukup. Dilakukan untuk setiap tindakan kedokteran atau medis, terutama yang berisiko tinggi seperti
tindakan bedah, anestesi, hemodialisa, transfusi darah dan tindakan kedokteran lain yang berisiko
seperti pemasangan CVC (Central Venous Catheter), pemasangan WSD (Water Seal Drainage) dan
lain-lain. Ditegaskan sekali lagi oleh pihak manajemen yang merupakan pemberi informasi adalah
tanggung jawab dokter pemeriksa atau boleh didelegasikan tetapi tetap tanggung jawab dokter
pemeriksa. Lalu yang boleh memberi persetujuan atau penerima informasi yaitu di atas 18 tahun dan
dianggap kompeten tidak ada gangguan jiwa. Anak-anak diwakilkan orang tua dan jika pasien dewasa
tetapi tidak kompeten atau kesadaran terganggu, harus diwakilkan keluarga terdekat. Kompeten disini
artinya dapat menerima dan mengerti informasi secara sadar penuh sehingga bisa membuat keputusan
sendiri. Sesuai dengan teori, beberapa hal yang perlu ada di informed consent yaitu diagnosis dan tata
cara, tujuan tindakan, alternatif tindakan lain, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis
terhadap tindakan yang akan dilakukan. Pada rumah sakit ini mempunyai formulir yang berisikan
semua poin tersebut, isi formulirnya antara lain diagnosis, dasar diagnosis, tindakan kedokteran,
indikasi indakan, tata cara, tujuan , risiko, komplikasi, prognosis, alternatif dan risiko. Di Indonesia
berlaku jika 3 jenis informed consent yaitu tidak dinyatakan (tersirat) dan yang dinyatakan (lisan dan
tertulis). Tersirat misalnya pasien diambil darah dengan menyerahkan tangannya untuk ditusuk jarum
diambil darah itu merupakan persetujuan yang tersirat. Lisan artinya pasien menyatakan secara lisan
tapi tidak ada bukti tertulis. Pernyataan persetujuan tertulis lebih digunakan untuk tindakan-tindakan
yang berisiko tinggi. Sesuai dengan teori, tindakan yang sangat perlu secara tertulis adalah tindakan
invasif atau bedah seperti contoh kasus yang dioberservasi karena berisiko tinggi.
Dari hasil observasi dan wawancara secara langsung dengan dokter spesialis ortopedi dan pihak
manajemen rumah sakit dapat diperoleh penjelasan mengenai informed consent sesuai dengan teori
yang ada dan sudah dilakukan dengan baik di rumah sakit tersebut.

4. SIMPULAN

Informed consent merupakan pemberian informasi tindakan medis oleh dokter dan pernyataan
pasien yang sah untuk setuju atau menolak tindakan yang akan dilakukan dokter setelah menerima
informasi yang cukup. Jenis penyampaiannya bisa secara tersirat ataupun lisan dan tertulis. Pasien
memiliki hak kebebasan mengambil keputusan saat menandatangani dan harus selalu
didokumentasikan. Isi dari informed consent yaitu diagnosis dan tata cara, tujuan tindakan, alternatif
tindakan lain, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan. Penyampaian
merupakan tanggung jawab dokter pemeriksa dan yang berhak memberi persetujuan adalah pasien
yang kompeten. Proses ini dilakukan untuk melindungi hak dokter dan pasien secara sah dan dapat
dipertanggungjawabkan.

5. SARAN
Persetujuan antara dokter dan pasien sangatlah penting di dunia medis, semua dokter dan pihak
rumah sakit harus tetap menjaga dengan baik karena juga dapat mempengaruhi nama baik mereka.
Dokter dan rumah sakit harus lebih mengembangkan pengetahuan dan fasilitas agar dapat meyakinkan
pasien memilih tindakan terbaik. Pasien sebaiknya lebih memahami pentingnya persetujuan dan lebih
menghargai dokter karena semua tindakan saran dokter pasti sudah dipertimbangkan dengan baik.
Penelitian mengenai informed consent dapat dilanjutkan menjadi penelitian analitik dengan
menambahkan jumlah subjek yang diamati, lalu diwawancara dan dianalisa untuk membahas rumusan
masalah yang lebih kompleks.

6. DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Peraturan Perundang-undangan

Budiarto, E. (2002). Metodologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar. Jakarta : EGC.


Menteri Kesehatan Republik Indonesia.(2008). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Jakarta:Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Jurnal

Burkhart, K. J., Dietz, S. O., Bastian, L., Thelen, U., Hoffmann, R., & Müller, L. P.
(2013). Behandlung der proximalen Humerusfraktur des Erwachsenen.
Deutsches Arzteblatt International, 110(35–36), 591–597.
https://doi.org/10.3238/arztebl.2013.0591
Gambhir, R., Singh, S., Kaur, A., Nanda, T., & Kakar, H. (2014). Informed consent:
Corner stone in ethical medical and dental practice. Journal of Family
Medicine and Primary Care, 3(1), 68. https://doi.org/10.4103/2249-
4863.130284
Hall, D. E., Prochazka, A. V., & Fink, A. S. (2012). Informed consent for clinical
treatment. Cmaj, 184(5), 533–540. https://doi.org/10.1503/cmaj.112120
Herwanda, Rahmayani, L., & Fadhilla, S. (2016). an Overview of the Use of
Informed Consent By Fresh Dentist At Rsgm Unsyiah. Cakradonya Dent J,
8(2), 123–131.
JCAHO. (2016). Informed consent: More than getting a signature. Quick Safety,
(21), 1–3. Retrieved from
https://www.jointcommission.org/assets/1/23/Quick_Safety_Issue_Twenty-
One_February_2016.pdf
Kamer, E., Tumer, A. R., Acar, T., Uyar, B., Balli, G., Cengiz, F., … Haciyanli, M.
(2018). Importance of informed consent defined by General Surgery
Associations in Turkey. Turkish Journal of Surgery, 34(2), 97–100.
https://doi.org/10.5152/turkjsurg.2018.3755
Lijoi, F., Bianconi, M., & Davoli, M. L. (2017). Orthopedic surgery. Perioperative
Care of the Elderly: Clinical and Organizational Aspects, 202(3), 157–164.
https://doi.org/10.1017/9781316488782.027
Wheeler, R. (2006). Consent in surgery. Annals of the Royal College of Surgeons
of England, 88(3), 261–264. https://doi.org/10.1308/003588406X106315
7. LAMPIRAN

TRANSKRIP WAWANCARA

Wawancara dilakukan kepada dokter spesialis ortopedi.


1. Apakah dokter selalu menyampaikan informed consent sebelum operasi?
Ya tentu saja, semua tindakan yang akan saya lakukan harus disetujui oleh pasien, dan pasien harus
memahami apa yang akan saya lakukan dan paham risiko-risiko yang mungkin dapat terjadi.
2. Kenapa dokter merasa perlu persetujuan dari pasien?
Itu sebagai kekuatan hukum buat dokter dan rumah sakit, sebagai pegangan jika ada sesuatu di
kemudian hari.
3. Bagaimana jika pasien belum setuju dan tidak mau tanda tangan?
Ya tunda dulu, jangan dijadwalkan operasi, tetap harus ditunggu sampai pasien setuju, kalau pasien
mau pikir-pikir dulu atau mau second opini ke dokter lain itu kan hak pasien yang perlu dihargai.
Tetapi jika penundaan karena pasien pikir-pikir itu menyebabkan komplikasi atau kerugian klinis
bahkan menyebaban kecacatan, misalnya fraktur vertebra dengan cidera saraf spinal, itu ada golden
periodnya, kalau tidak segera bisa lumpuh selamanya, dan harus disampaikan agar pasien segera
membuat keputusan.
4. Bagaimana jika pasien tetap tidak ingin melakukan tindakan?
Hal ini tidak masalah karena semua keputusan ada pada pasien yang dapat memilih setuju atau tidak,
tetapi jika tidak setuju tetap tanda tangan formulir informed consent dan menyatakan tidak setuju
melakukan tindakan sehingga terdokumentasikan secara resmi. Informed consent disampaikan karena
dokter ingin memberitahu rencana tindakan medis, jadi pasien tidak harus setuju, boleh menolak
dengan catatan tetap menandatangani formulir. Sebagai dokter, wajib menyampaikan tindakan terbaik
bagi pasien, tetapi langkah selanjutnya adalah pilihan pasien. Dokter akan mengusahakan semaksimal
mungkin memberitahu tindakan yang terbaik.
5. Apa saja hambatan menyampaikan informed consent dan meminta persetujuan tindakan kepada
pasien?
Hambatannya membuat mereka mengerti penjelasan saya rasa tidak ada, asalkan kita gunakan bahasa
yang dapat dimengerti, bila perlu saya gunakan gambar untuk menjelaskan. Istilah-istilah kedokteran
yang sering tidak diketahui oleh pasien sehingga pasien kurang mengerti mengenai tindakan.
Masalahnya soal persetujuan tindakan, kalau pasiennya orang tua, dan pengambil keputusannya
banyak, anak-anaknya banyak ada perbedaan keputusan, membuat persetujuan jadi lebih lama. Lalu
ada juga kejadian yang kurang baik dari keluarga pasien, dimana pasien sebenarnya tidak perlu
operasi tapi keluarga ingin operasi, hal ini tetap dilakukan asalkan tetap tanda tangan informed
consent.

Wawancara Manajemen Rumah sakit


Wawancara dilakukan kepada manager medis rumah sakit swasta di Jakarta
1. Bagaimana regulasi penyampaian informed consent di rumah sakit ini?
Informed consent harus dilakukan untuk semua pasien yang akan menjalani tindakan kedokteran yang
terencana untuk tindakan bedah, anestesi, hemodialisa, transfusi darah dan tindakan kedokteran lain
yang berisiko seperti pemasangan CVC (Central Venous Catheter), pemasangan WSD (Water Seal
Drainage) dan lain-lain.
2. Ada berapa jenis penyampaian informed consent?
Persetujuan dapat disampaikan secara tersirat, lisan dan tertulis. Tersirat misalnya pasien diambil
darah dengan menyerahkan tangannya untuk ditusuk jarum diambil darah itu merupakan persetujuan
yang tersirat. Lisan artinya pasien menyatakan secara lisan tapi tidak ada bukti tertulis. Dan
pernyataan persetujuan tertulis lebih digunakan untuk tindakan-tindakan yang berisiko seperti saya
sebutkan tadi, sebagai dokumen yang mempunyai.
3. Siapa yang berhak memberikan informed consent?
Dokter yang memeriksa pasien itu sendiri, atau dokter lain yang ditunjuk tetapi tetap ada satu dokter
yang bertanggung jawab sebagai pemeriksa atau akan melakukan tindakan.
4. Siapa yang berhak menerima penjelasan dan membuat persetujuan untuk tindakan kedokteran?
Secara regulasi kalau pasien kompeten cukup pasien sendiri, tapi untuk memperkuat pernyataan
rumah sakit juga minta keluarga atau yang mendampingi ikut tanda tangan sebagai saksi bahwa pasien
menyetujui.
5. Apakah rumah sakit menetapkan apa saja yang perlu disampaikan oleh dokter?
Ya, ada formulir yang sudah disiapkan, formulir kita mengikuti format dari KKI (konsil Kedokteran
Indonesia) diantaranya Diagnosis (WD & DD), Dasar Diagnosis, Tindakan Kedokteran, Indikasi
Tindakan, Tata Cara, Tujuan , Risiko, Komplikasi, Prognosis, Alternatif & Risiko.
6. Bagaimana jika pasien dinilai tidak bisa memberikan persetujuan?
Intinya harus sudah bisa menerima dan mengerti informasi medis, biasanya 18 tahun ke atas. Jika
anak-anak diwakilkan orang tua. Jika pasien dewasa tetapi tidak kompeten atau kesadaran terganggu,
harus diwakilkan keluarga terdekat.

Anda mungkin juga menyukai