Anda di halaman 1dari 3

MK.

SOSIOLOGI UMUM Tanggal : Selasa, 22 Mei 2018


Ruang : RK. CCR 2.16

Praktikum XIII Gender dan Pembangunan


Film Kartini 2017

Kelompok 2
Mohammad Riza Krisnadi (A34170015)
Ariya Wibowo (A44170077)
Shafura Izza Karima (D14170022)
Belinda Febri Patricia (D24170065)
Amida Nur’aini (D24170077)

Asisten Praktikum :
Adhitiya M.A.M. (I34150010)

Ikhtisar
Film Kartini merupakan film biografi seorang tokoh pahlawan wanita asal
Jepara, yakni Raden Ajeng Kartini. Film Kartini mengisahkan perjuangan
emosional dari sosok Kartini yang berjuang melawan tradisi yang dianggap tidak
adil dan menentang keluarganya sendiri untuk memperjuangan kesetaraan hak
untuk semua orang di Indonesia. Di awal tahun 1900, ketika Indonesia masih
dijajah Belanda, pulau Jawa dipimpin oleh para ningrat dengan pengawasan dari
pemerintah Belanda. Saat itu hanya putra keturunan ningrat yang boleh bersekolah
dan mengenyam pendidikan. Sedangkan wanita tidak diperbolehkan mendapat
pendidikan yang tinggi. Wanita Jawa hanya diperbolehkan untuk memiliki satu
tujuan hidup, yaitu menjadi istri. Ibu kandung Kartini tinggal bersama Kartini,
namun ibunya menjadi orang yang terbuang di rumahnya sendiri yakni sebagai
permbantu karena tidak memiliki darah ningrat. Sedangkan ayahnya, Raden Mas
Aryo Sosroningrat sangat menyayangi dan mencintai Kartini dan keluarga tidak
berdaya untuk melawan tradisi. Namun Kartini tidak putus asa dan menyerah
begitu saja.
Di sepanjang hidupnya, Kartini memperjuangkan kesetaraan hak bagi
semua orang, tidak peduli ningrat ataupun bukan yang terutama hak pendidikan
untuk semua kaum perempuan. Kartini bersama dengan kedua saudarinya,
Roekmini dan Kardinah berjuang menjadi wanita yang sanggup menentukan
masa depan mereka sendiri, sesuai keinginan hati serta nurani dengan mendirikan
sekolah untuk kaum miskin dan menciptakan lapangan kerja untuk rakyat di
Jepara dan sekitarnya. Akan tetapi, melawan takdir dan juga tradisi keluarga
bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan karena rintangan yang harus mereka
hadapi, dimulai dari tradisi pingitan dari kaum ningrat serta pemikiran ‘kolot’ dari
saudara ayahnya, Raden Mas Slamet dan Soelastri. Meski begitu, Kartini
didukung oleh kakak kandungnya, Raden Mas Panji Sosrokartono yang
memberikan inspirasi bagi Kartini dengan selama masih ada buku, maka tidak ada
yang bisa memenjarakan pikiran dan imajinasi Kartini.

Analisis
A. Kontruksi gander dalam film
Kontruksi gander yang terdapat dalam film kartini adalah
perempuan tidak boleh memiliki derajat yang lebih tinggi dari laki-laki,
oleh karena itu perempuan tidak diperbolehkan untuk sekilah tinggi. Laki-
laki memiliki hak untuk menikah lagi berbeda dengan perempuan yang
harus menunggu laki-laki yang akan melamar dia dan tidak diperbolehkan
untuk memilih laki-laki lain.

B. Pembedaan dan perbedaan gander


Pembedaan gander yang ada dalam film kartini adalah perempuan
tidak diperbolehkan memilih calon suami mereka dan tidak diperbolehkan
memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Perbedaan gander yang
terdapat dalam film kartini adalah wanita harus bersikap lemah lembut,
menjaga tubuh mereka, rambut harus diikat kebelakang seperti konde serta
bekerja di dapur untuk memasak, sedangkan laki-laki bekerja di depan
seperti sebagai penjaga raja atau ratu, penarik dokar, memakai belangkon
untuk menutupi kepala dan sebagai pengantar surat.

C. Bentuk-bentuk ketidakadilan gander


Menurut Fakih (1999), ketidakadilan terbagi dalam berbagai bentuk
diantaranya :
1. Stereotype merupakan pelabelan,pemberian cap atau identitas yang
diberikan suatu kelompok gander berdasarkan anggapan yang salah.
Bentuk Sterotype dalam film Kartini adalah perempuan hanya
memiliki peran dalam rumah tangga saja tidak diperblehkan bekerja,
sedangkan laki-laki berperan mencari nafkah bagi keluarganya. Hanya
perempuan dari keturuanan bupati yang dapat belajar membaca
sedangkan yang bukan dari keluarga bupati tidak di perbolehkan
belajar. Perempuan tidak memiliki hak menolak lamaran dari seorang
laki-laki.

2. Subordinasi adalah penilaian bahwa peran salah satu jenis kelamin


lebih rendah daripada lainnya. Bentuk subordianasi dalam film kartini
adalah perempuan hanya hidup untuk menikah bagi laki-laki siapa saja
dan untuk istri keberapa saja.

3. Marginalisasi adalah meniadakan peran salah satu jenis kelamin dari


kegiatan ekonomi, asumsi ilmu pengetahuan, kebijakan pemerintah,
tafsir agama, tradisi, adat. Bentuk marginalisasi dalam film kartini
adalah marginalisasi pengetahuan dan kegiatan ekonomi, seperti
halnya tidak memperbolehkan kaum wanita untuk bekerja mencari
nafkah melainkan hanya diperbolehkan mengasuh kehidupan di rumah
tangga. Perempuan yang bukan berasal dari keturunan bupati tidak
diperbolehkan belajar membaca ditakutkan perempuan derajatkan
sebanding dengan laki-laki yang ada pada masa tersebut.

4. Beban kerja adalah beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis
kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Bentuk
beban kerja yang terdapat dalam film kartini adalah perempuan
memiliki adat yang kental dalam film ini berbeda dengan laki laki.
Perempuan yang berasal dari masyarakat biasa maupun bupati wajib
menjadi raden ayu.

5. Kekerasan adalah mencakup tindak kekerasan fisik dan non fisik


kepada salah satubjenis kelamin. Bentuk kekerasan dalam film kartini
adalah mengurung peremuan dalam kamar yang akan menjadi raden
ayu mulai dari menstruasi pertama hingga datang laki-laki yang akan
melamarnya.

Anda mungkin juga menyukai