Insisi
Insisi
Insisi dilakukan sebagai akses awal menuju daerah tujuan operasi. Insisi dilakukan setelah
mengkaji kembali diagnosa dan tujuan terapi bedah. Perencanaan insisi harus disertai
dengan perencanaan penutupan defek yang ditimbulkannya. Pengambilam masa di subkutis
yang tidak membuang kulit mungkin tidak akan menimbulkan masalah saat penutupan
defek, tetapi jika kulit ikut diambil maka ada kemungkinan timbul masalah saat penutupan
luka apalagi jika jariongsan kulit yang diambil luas. Menurut bentuknya insisi
dikelompokan menjadi
1. Insisi Linier
Insisi dalam satu lintasan atau garis lurus, atau melengkung. Insisi ini digunakan jika
daerah operasi atau masa yang diambil tidak melekat/ berhubungan dengan kulit.
Misalnya mengambil masa lipoma yang letaknya di subkutis maka insisi linier
digunakan sebagai akses masuk dan diseksi sebagai lanjutan untuk evakuasi masa.
Digunakan sebagai akses jika target operasi masa yang akan diambil berhubungan atau
berada di kulit. Misalnya skin tag, granuloma, atau keloid. Dilakukan juga untuk
massa dilokasi lebih dalam dari kulit tetapi berhubungan dengan kulit misalnya kista
aterom, atau masa di subkutis lainnya yang terinfeksi sampai kulit sehingga kulit
diatasnya harus dibuang.
Pada pembuatannya tentukan lebih dulu lebar dan incisi sesuai dengan lesi, kemudian
panjang insisi harus ≥ 3x lebar
Perhatikan ujung lancip tiapsisi
Jahitan tidak boleh sekaligus tetapi harus dua kali karena arah jarum harus tegak lurus
dengan tepi insisi
Untuk menghindari regangan dapat dikerjakan teknik “undermining”
3. Insisi S atau Z
Insisi dalam satu lintasan berbentuk huruf S atau Z (tidak berbetuk lurus). Insisi ini
digunakan jika daerah operasi atau masa yang diambil biasanya tidak berhubungan
dengan kulit tetapi letaknya di persendian. Misalnya mengambil masa Becker cyst di
fosa poplitea. Insisi ini digunakan sebagai akses masuk dan diseksi sebagai lanjutan
jika masa sudah ditemukan. Tujuan dari bentuk yang tidak lurus adalah untuk
mencegah terjadinya kontraktur seteleh luka sembuh.
4. Insisi tangensial/transversal
Insisi secara mendatar, sejajar dengan masa. Dilakukan pada masa solid yang letaknya
di kulit.Untuk bedah minor, insisi ini dilakukan pada insisi klavus dimana klavus
ditipiskan dahulu sampai inti yang masuk ditemukan yang dilanjutkan dengan insisi
ellips.
5. Insisi Poligonal
Digunakan sebagai akses sekaligus diseksi tajam jika target operasi masa yang akan
diambil berhubungan atau berada di kulit. Dibuat banyak sisi tajam atau poligonal
bertujuan untuk menghabiskan akar-akanr dari masa yang dibuang. Misalnya tumor
ganas kulit. Poligonal juga berfungsi untuk mengecek tiap sisi apakah bebas dari masa
tumor atau tidak.
Penutupan Defek
Pengambilan masa bersamaan dengan kulit diatasnya menimbulkan deffek yang dapat
ditutup dengan mendekatkan tepi luka. Mungkin juga jika defek terlalu lebar maka
kedua tepi luka tidak dapat didekatkan. Untuk itulah diperlukan teknik khusus untuk
menutup defek.
Sekali lagi, petutupan defek ini harus difikirkan saat merencanakan insisi, bagaimana
kemungkinan defek yang terjadi dan cara untuk menutupnya. Dengan demikian, pada
saat insisi telah tergambar rencana teknik penutupan defeknya.
Adapun teknik yang dapat dipakai adalah, advancement, flaps, STSG (split thickness
skin graff ), FTSG (full thickness) dan lain-lain
Menutup defek dengan cara mendekatkan 2 sisi insisi. Dilakukan jika masing-masing
tepi longgar. Jika tidak maka dilakukan pembebasan jaringan subkutis dari masing-
masing tepi agar menjadi longgar sehingga masing-masi tepi bisa bertemu sehingga
jahitan tidak terlalu tegang /tension.
Badingkan kedua ujung insisi yang lancip dengan lengkung. Dog ear terbetntuk dari
insisi yang lebih lengkung.
Untuk memperbaikinya, luka operasi terlebih dahulu dijahit seperti biasa untuk
menilai sebesar apa ear dog yang terbentuk. Kemudiaan baru dikoreksi dengan
membuat insisi berikutnya seperti pada gambar dibawah ini
Gambar diatas mengoreksi dog ear dengan membuat insisi elips pada tepi sayatan
sebelumnya, sedangkan gambar bawah membuat insisi dua segitiga.
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai
efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya
dalam proses infeksi oleh bakteri. 4
Istilah “antibiotik” berasal dari bahasa Yunani “anti” (melawan) dan “bio”
(kehidupan). Antibiotik merupakan obat-obatan yang mampu menghambat reproduksi
bakteri atau membunuh bakteri. Golongan antibiotik yang membunuh bakteri disebut
bakterisida dan golongan yang menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik. 11
Antibiotika pertama kali ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1929, ketika
penicillin menjadi obat manjur pertama , banyak sekali kehidupan telah diselamatkan dari
berbagai bencana seperti Pneumococcal pneumonia, luka sepsis, dan bakteremia. Dokter gigi
memanfaatkan dengan baik hasil dari penemuan penicillin, sebab banyak infeksi
odontogenik disebabkan oleh organisme yang sensitif terhadap penicillin. 4
Untuk menangani infeksi oral dan maksilofasial, dokter gigi menggunakan antibiotika
sebagai pilihan utama. Saat diputuskan untuk menggunakan antibiotika sebagai bentuk
penanganan terhadap infeksi, maka antibiotika yang digunakan harus diseleksi secara tepat.
Dalam penggunaannya, antibiotika memiliki berbagai ketentuan dan metode administrasi
yang harus dilaksanakan dengan benar.
III.2.2 Cephalosporin
Gambar 4. Struktur inti cephalosporin
(sumber : j.heritage@leeds.ac.uk)
Cephalosporin adalah jenis antibiotik yang penting lainnya dari b-Lactam.
Keunggulan obat ini adalah tidak terlalu rentan terhadap b-Lactamase dibandingkan dengan
penicillin alami. Sama seperti penicillin, generasi pertama cephalosporin dan generasi kedua
atau generasi berikutnya jauh lebih baik. Oleh karena itu cephalosporin memiliki kekuatan
yang luas dalam melawan flora rongga mulut. 4
Secara umum aktif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, tetapi spektrum
anti bakteri dari masing-masing antibiotika sangat beragam, terbagi menjadi 3 kelompok,
yakni : 12
- Generasi pertama yang paling aktif terhadap bakteri Gram positif secara in vitro.
Termasuk di sini misalnya sefalotin, sefaleksin, sefazolin, sefradin. Generasi pertama kurang
aktif terhadap bakteri Gram negatif.
- Generasi kedua agak kurang aktif terhadap bakteri Gram positif tetapi lebih aktif terhadap
bakteri Gram negatif, termasuk di sini misalnya sefamandol dan sefaklor.
- Generasi ketiga lebih aktif lagi terhadap bakteri Gram negatif, termasuk
Enterobacteriaceae dan kadang-kadang pseudomonas. Termasuk di sini adalah sefoksitin
(termasuk suatu antibiotika sefamisin), sefotaksim dan moksalatam.
Hal tersebut juga berlaku untuk bakteri anaerob yaitu generasi pertama memiliki
kekuatan yang lebih baik untuk melawan bakteri anaerob. Sesuai dengan peningkatan
generasi, resistensi terhadap b-Lactamase meningkat. Penghambat aktivitas B. fragilis pada
generasi kedua sangat bermanfaat untuk infeksi kepala dan leher yang disebabkan oleh
bakteri tersebut. 4
Sediaan cephalosporin seharusnya hanya digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri
berat atau tidak dapat diobati dengan antimikroba lain, sesuai dengan spektrum
antibakterinya. Anjuran ini diberikan selain karena harganya yang mahal , potensi
antibakterinya yang tinggi sebaiknya dicadangkan hanya untuk hal tertentu seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Perlu diingat bahwa cephalosporin generasi pertama dan kedua
bukan merupakan obat terpilih untuk kebanyakan infeksi karena tersedia obat lain yang
efektivitasnya sama dan harganya lebih murah. Cephalosporin mensensitisasi dan dapat
menimbulkan berbagai reaksi hipersensitivitas yang identik dengan reaksi-reaksi pada
golongan penicillin, termasuk anafilaksis, demam, ruam kulit, nefritis, granulositopenia, dan
anemia hemolitik. 14, 15
Cephalosporin generasi pertama yang biasa digunakan untuk pencegahan dan pada
kasus infeksi maksilofasial adalah cephalexin (ceflex) dan cephradine (cefacyl) untuk
penggunaan secara oral, cefazolin (ancef, kersol) untuk pemberian secara parenteral.
Generasi kedua sangat bermanfaat untuk sinusitis, namun secara klinis menunjukkan tidak
ada perbedaan dengan generasi pertama. Generasi terbaru yaitu generasi ketiga tersedia
dalam bentuk oral seperti cefditorin (spectracef) yang cukup efektif untuk infeksi yang parah
pada sinus dan kulit. 4
Cephalosporin secara umum menyebabkan beberapa efek samping. Efek samping
yang umum sehubungan dengan obat ini antara lain : diare, nausea, nyeri perut ringan,
maupun gangguan lainnya. Kurang lebih 10% pasien dnegan alergi hipersensitif terhadap
penicillin memiliki reaktifitas-silang terhadap cephalosporin. Oleh sebab itu, antibiotika
cephalosporin dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat reaksi alergi penicillin
maupun cephalosporin (urtikaria, anafilaktik, nefritis interstisial, dan lain-lain). 11
III.2.3 Monobactams
Monobactam adalah salah satu jenis antibiotik b-Lactam yang memiliki sifat
bakterisid yang sama dengan jenis lainnya. Hanya terdapat satu monobactam yang tersedia
yaitu aztreonam (azactam) yang disetujui penggunaannya di Amerika. Sama halnya dengan
monobactam lainnya, aztreonam tidak memiliki aktifitas yang melawan organisme gram
positif. Sehingga penggunaanya terbatas dalam mengatasi infeksi kepala dan leher. 4
Aztreonam tidak memiliki reaksi silang terhadap antibiotik b-Lactam lainnya dan
insiden terjadinya toksisitas sangat rendah. Dosis umumnya adalah 1 sampai 2 gram setiap 8
jam. 4
Gambar 5. Struktur inti Monobactam
(sumber : www.freebase.com/view/en/beta-lactam)
III.2.4 Carbanepems
Kelompok antibiotik b-Lactam lainnya adalah carbanepems. Agen ini memiliki fungsi
yang sama dengan antibiotik lainnya yaitu membentuk ikatan dengan penicillin – dinding
protein dan menghambat protein dinding sel. Aktivitas spektrumnya sangat luas, hal ini
disebabkan oleh stabilitasnya terhadap b-lactamase. Carbanepems juga digunakan untuk
infeksi P. aeruginosa yang resisten terhadap antibiotik lainnya. Contoh carbanepems yang
tersedia di Amerika Serikat yaitu imipenem dan meropenem. Kedua obat ini tidak diabsorpsi
dalam rute enteral sehingga pemberiannya secara parenteral. 4
Gambar 6 .Struktur inti Carbanepems
(sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:carbanepem-core.png)
Imipenem bersifat toksik dan tidak diaktifkan oleh ginjal. Namun bila obat ini
dikombinasikan dengan cilastatin, yaitu inhibitor dari dehidropeptidase, maka sifat
nefrotoksisitas dan inaktivasi dari ginjal dapat dihambat. Kombinasi imipenem- cilastatin
1:1 dapat digunakan jika obat antibiotik berspektrum sempit tidak efektif, atau tidak dapat
digunakan. Dosis yang umum digunakan adalah 0,5 sampai 1 gram setiap 6 sampai 8 jam.
Meropenem adalah carbanepem jenis lain yang digunakan dengan dosis 0,5 sampai 1 gram
setiap 8 jam. 4
Carbanepems aktif terhadap berbagai strain pneumokokkus yang sangat resisten
terhadap penisilin. Carbanepems merupakan antibiotik b-Lactam pilihan untuk terapi
infeksi-infeksi enterobacter, karena kekebalannya terhadap penghancuran oleh b-Lactamase
yang diproduksi oleh organisme-organisme ini. 14
Efek-efek yang tidak diinginkan paling umum dari iminepem adalah mual, muntah,
diare, ruam kulit, dan reaksi pada tempat penyuntikan. Kadar yang berlebihan pada pasien-
pasien dengan gagal ginjal dapat mengakibatkan seizure.14
III.2.5 Tetracycline
Merupakan antibiotika spektrum luas bersifat bakteriostatik untuk bakteri Gram
positif dan Gram negatif, tetapi indikasi pemakaiannya sudah sangat terbatas oleh karena
masalah resistensi, namun demikian antibiotika ini masih merupakan pilihan utama untuk
infeksi-infeksi yang disebabkan oleh klamidia, riketsia, dan mikoplasma. Mungkin juga
efektif terhadap N. meningitidis, N. gonorhoeae dan H. influenzae, termasuk di sini adalah
tetrasiklin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, metasiklin dan
demeklosiklin. 12
Efek-efek toksik lain akibat vancomycin termasuk nefrotoksisitas, khususnya jika obat
digunakan bersamaan dengan obat-obatan lain yang berpotensi nefrotoksik. Dosis
vancomycin pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal adalah 2 gram per hari, yang
diberikan dalam bentuk 1 gram / infus atau 500 mg / infus setiap enam jam. Dosis pada
pasien dengan gangguan ginjal bervariasi dan berhubungan dengan nilai clearance-creatinin.
4
III.2.7 Chloramphenicol
Golongan ini mencakup senyawa induk kloramfenikol maupun derivat-derivatnya
yakni kloramfenikol palmitat, natrium suksinat dan tiamfenikol. Antibiotika ini aktif
terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif maupun ricketsia, klamidia, spirokaeta dan
mikoplasma. Karena toksisitasnya terhadap sumsum tulang, terutama anemia aplastik, maka
kloramfenikol hanya dipakai untuk infeksi S. typhi dan H. influenza. 12
Gambar 9. Struktur inti chloramphenicol.
(sumber : j.heritage@leeds.ac.uk )
Chloramphenicol (chloromycetin) pada masa sekarang ini jarang digunakan sebagai
antibiotik yang dapat menghambat sintesis protein bakteri, melalui proses pengikatan 50S
sub unit ribosomal, sebagai salah satu agen bakteriostatik. Karena spektrumnya yang luas
sehingga obat ini berpotensi dalam perawatan untuk H.influenza dan bakteri anaerobik yang
resisten terhadap ampicillin. Obat ini dapat melakukan penetrasi hingga sistem syaraf pusat
dengan baik sehingga menjadi agen yang baik untuk menangani kasus abses otak dan
meningitis. Meski demikian, terdapat efek yang jarang terjadi akibat obat ini yaitu anemia
aplastik, yang menyebabkan pembatasan penggunaannya. Dosis kloramfenikol yang biasa
diberikan untuk anak-anak dan orang dewasa adalah 50 mg/kg setiap harinya sebanyak 4
dosis. Tingkat serum dan jumlah sel darah secara lengkap harus tetap diawasi. 4
III.2.8 Makrolida
Golongan makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spektrum antibakteri,
sehingga merupakan alternatif untuk pasien-pasien yang alergi penisilin. Bekerja dengan
menghambat sintesis protein bakteri. Aktif secara in vitro terhadap bakteri gram-positif,
gram-negatif, mikoplasma, klamidia, riketsia dan aktinomisetes. Selain sebagai alternatif
penisilin, eritromisin juga merupakan pilihan utama untuk infeksi pneumonia atipik
(disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae) dan penyakit Legionnaires (disebabkan
Legionella pneumophilla) termasuk dalam golongan makrolida selain eritromisin juga
roksitromisin, spiramisin, josamisin, rosaramisin, oleandomisin dan trioleandomisin. 12
Gambar 10. Struktur erythromycin
(sumber : j.heritage@leeds.ac.uk)
Erytrhomycin merupakan salah satu makrolida terbaik yang perlu diketahui.
Antibakteri gram positif yang serupa dengan penicillin , akan tetapi erythromycin tidak
seefektif penicillin terhadap bakteri anaerob. Gugus ester pada erythromycin membantu
mengatasi bioavailabilitas obat yang buruk dan kecenderungannya untuk menyebabkan
masalah gastrointestinal. Untuk infeksi oral dan maksilofasial yang parah, agen-agen lain
yang serupa dengan erythromycin lebih baik digunakan, terutama jika pasien alergi terhadap
penicillin.4
Clindamycin (cleocin) merupakan salah satu antibiotik linkoamida yang muncul
kembali sebagai obat yang umum digunakan untuk infeksi odontogenik yang parah,
termasuk osteomyelitis. Kekurangan dalam hal pseudomembraneous colitis menyebabkan
terbatasnya penggunaan obat ini selama bertahun-tahun., tetapi pengujian yang lebih ilmiah
terhadap antibiotik yang berhubungan dengan colitis tidak menemukan adanya bahaya
khusus akibat clindamycin jika dibandingkan dengan antibiotik jenis lainnya pada individu
dengan kemampuan imun rendah (immunokompeten). 4
Clindamycin diserap dengan baik secara oral dan juga tersedia dalam bentuk
parenteral. Obat ini dapat dimasukkan ke dalam jaringan keras maupun lunak karena ukuran
molekulnya yang relatif kecil meskipun tetap tidak dapat menembus selaput otak yang
terinflamasi. Spektrumnya termasuk bakteri aerob gram positif dan fakultatif dan bakteri
anaerobik. Dosis untuk orang dewasa yang umum diberikan yaitu 150 sampai 450 mg setiap
6 jam per oral atau 300 sampai 900 mg setiap 8 jam parenteral. Dosis untuk anak-anak
adalah 10 hingga 20 mg / kg per hari dalam tiga sampai empat dosis terpisah. 4
III.2.9 Nitromydazole
Metronidazole tergolong antibiotik kelas nitromidazol. Agen-agen ini merangsang
produksi metabolis toksik yang dapat membunuh bakteri yang dicurigai. Metronidazole
hanya efektif pada bakteri anaerobik termasuk yang terdapat dalam kavitas rongga mulut.
Obat ini dapat digunakan bersamaan dengan obat spektrum aerobik pada perawatan infeksi
campuran aerobik dan anaerobik atau pada perawatan empirikal pada kasus infeksi
odontogenik. Metronidazole diberikan per oral (500 mg setiap 8 jam). Sebagian besar
efeknya berlawanan reaksi dengan tipe disulfiram yang disebabkan oleh pemilihan
asetaldehid dengan konsumsi etanol oleh pasien yang menggunakan metronidazole. Juga
dapat meningkatkan kerja anti koagulan. Obat ini sebaiknya tidak digunakan pada pasien
yang sedang hamil. 4
Gambar 11. Struktur kimia metronidazole, tinidazole, dan nimorazole
(sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:metronidazole-core.png)
III.2.10 Quinolon
Merupakan kemoterapetika sintetis yang akhir-akhir ini mulai populer dengan
spektrum antibakteri yang luas terutama untuk bakteri gram negatif dan gram positif,
enterobakteriaceae dan pseudomonas. Terutama dipakai untuk infeksi-infeksi nosokomial.
Termasuk di sini adalah asam nalidiksat, norfloksasin, ofloksasin, pefloksasin dan lain-lain.
12
Quinolon umumnya efektif untuk bakteri aerob gram positif dan gram negatif,
termasuk P. aeruginosa tetapi tidak bermanfaat untuk anaerob tertentu. Agen-agen ini
bercampur dengan enzim bacterial selama transkripsi DNA. Quinolon digunakan pada saat
bakteri yang dicurigai seperti Streptococcus pneumoniae yang diketahui sebagai penyebab
infeksi, tetapi seharusnya obat ini tidak dipertimbangkan sebagai obat tunggal untuk
perawatan empirikal ketika terdapat bakteri anaerob. Ciprofloxacin (Cipro) merupakan obat
golongan quinolon yang paling umum digunakan pada infeksi oral dan maksilofasial.
Absorpsi oral berkisar 50% sampai 90%. Efek sampingnya termasuk gangguan
gastrointestinal, fotosensitivitas, xerostomia, dan gejala-gejala sistem syaraf pusat seperti
insomnia, sakit kepala, dan pusing. Dosis dewasa yang umum adalah 500-750 mg per oral
setiap 12 jam. 4
Gambar 12. Struktur inti Quinolon
(sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:quinolon-core.png)
Moxifloxacin (Avelox), yang merupakan quinolon generasi ketiga, dapat memberikan
perlindungan yang baik melawan streptococci dan mikroorganisme anaerobik lainnya, dan
memiliki efektivitas terhadap sinusitis. Obat ini diserap dengan baik secara oral dan tidak
terpengaruh oleh asupan makanan. Level jaringan pada umumnya meningkat; kandungan
obat dapat ditemukan dalam saliva dan sekret nasal. Efek samping jarang terjadi, dan
biasanya ditandai dengan gangguan gastrointestinal. Dosis yang umum digunakan yaitu satu
tablet 400 mg per hari. 4
III.2.11 Antibiotika Lokal
Selama bertahun-tahun penggunaan antibiotika, beberapa jenis bakteri telah
mengalami resistensi terhadap beberapa tipe antibiotika (termasuk golongan penicillin).
Untuk mengatasi masalah tersebut, telah dikembangkan metode baru pengaplikasian
antibiotika hanya pada jaringan yang terinfeksi, dengan mekanisme menghindari aktifitas
bakteri yang diinginkan, tanpa membunuh bakteri tersebut. Menekan beberapa spesies
bakteri dengan antibiotika dapat menyebabkan jenis bakteri lainnya berkembang dengan
cepat, mengganggu keseimbangan flora normal dalam rongga mulut, perut, dan saluran
pencernaan. Hal ini juga dapat menyebabkan bakteri sasaran bermutasi menjadi bentuk yang
resisten terhadap antibiotika. 16
Contoh dari teknologi baru ini yaitu penggunaan doxicycline dosis rendah (20 mg)
untuk mencegah bakteri agar tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim
penghancur jaringan yang dapat menghancurkan jaringan periodontal (gingival dan tulang).
Pada dosis ini, bakteri tidak dihancurkan atau pun dihambat reproduksinya, tetapi
aktifitasnya yang berbahaya dihindari. Karena keseimbangan flora normal tidak diganggu,
diyakini bahwa obat ini lebih mana diaplikasikan dalam bentuk pil tanpa resiko terjadi
perkembangan resistensi strain bakteri. 16
Metode lain yang sering digunakan untuk mencegah aktifitas penghancuran jaringan
di sekitar gigi oleh bakteri yaitu dengan cara menempatkan antibiotik dalam poket gingival
sekitar gigi dalam jangka waktu tertentu. Hal ini umum dilakukan sebagai prosedur
tambahan dalam perawatan periodontal, seperti scaling dan root planing. 16
Penggunaan antibiotika lokal mungkin tidak dapat membantu individu dengan
periodontitis agresif, dan telah terbukti bahwa metode ini paling efektif pada orang dewasa
dengan periodontitis localized yang kronis. 16
Pemakaian agen antimikrobial lokal memungkinkan penggunaan konsentrasi obat
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penggunaan obat secara sistemik. Agar
antibiotika lokal efektif dan bermanfaat secara klinis, maka harus diaplikasikan hingga
mencapai dasar poket, dalam konsentrasi tertentu dan konsentrasi ini dipastikan dapat
bertahan cukup lama untuk menekan mikroorganisme target. Karena aliran gingival
crevicular fluid (GCF) yang cepat, maka antibiotika ditempatkan subgingival dan harus
memiliki kemampuan membunuh bakteri dalam waktu singkat setelah aplikasi, atau dapat
bertahan dan dilepaskan secara perlahan dalam poket periodontal dengan mekanisme
pengontrolan yang tepat. Bentuk sediaan antibiotika yang digunakan untuk periodontal
antara lain pasta, salep, gel, fiber, strip, cakram, dan chip. Tetracycline, minocycline,
doxixycline, dan metronidazole telah digunakan dalam metode ini. sebagian besar sistem
aplikasi antibotika lokal telah dievaluasi sebagai perawatan tambahan untuk scaling dan root
planing, meski demikian hal ini masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.
Antibiotika yang diaplikasikan secara lokal memiliki efek yang kecil terhadap A.
actnomycetemcomitans dan patogen periodontal lainnya yang menginvasi jaringan konektif
gingival. 17
Dosis yang tepat. Tujuan dari semua terapi obat-obatan yaitu bagaimana
mengaplikasikan obat untuk menghasilkan efek yang diinginkan tanpa menyebabkan cedera
bagi host. Prosedur laboratorium sangat membantu seorang dokter dalam menghitung dosis
obat yang tepat. Dari laboratorium dapat diperoleh informasi yang tepat mengenai penentuan
konsentrasi penghambat minimum (minimum inhibitory concentration = MIC) dari suatu
antibiotika untuk bakteri spesifik. Antibiotika yang telah umum digunakan MIC-nya telah
ditentukan. Untuk penggunaan terapeutik, konsentrasi tertinggi antibiotika pada titik infeksi
seharusnya tiga hingga empat kali MIC. 4
Interval waktu yang tepat. Setiap antibiotika memiliki waktu paruh plasma tertentu
(t1/2), di mana setengah dari dosis obat yang diabsorbsi telah diekskresikan. Interval dosis
yang umum untuk penggunaan terapeutik yaitu empat kali dari t1/2. 4
Rute administrasi yang tepat. Pada kasus tertentu, hanya administrasi parenteral
yang dapat menghasilkan level serum yang adekuat bagi antibiotika. Telah terbukti bahwa
konsentrasi plasma tertinggi antibiotika lebih cepat diperoleh melalui administrasi intravena
(IV) dibandingkan dengan injeksi intramuscular (IM). Administrasi antibiotika melalui
intravena merupakan metode yang optimal untuk mencapai level yang adekuat dalam
jaringan selama prosedur pembedahan. 4, 17
Konsistensi obat dalam rute administrasi. Jika menangani infeksi yang parah, maka
administrasi parenteral merupakan metode yang paling tepat digunakan. Hal yang cukup
penting agar menjaga level plasma tertinggi antibiotika selama periode tertentu untuk
mencapai penetrasi jaringan maksimum dan efek menghancurkan bakteri yang efektif.
Bakteri biasanya belum musnah seluruhnya hingga antibiotika diberikan selama 5 hingga 6
hari. Jika infeksi yang terjadi cukup ringan dan tidak membutuhkan terapi parenteral, maka
pencapaian level plasma teringgi melalui terapi oral dapat dianggap cukup. 4
Kombinasi terapi antibiotika. Hasil yang umum dari terapi kombinasi antibiotika
yaitu paparan spektrum yang luas yang dapat menekan flora normal host dan meningkatkan
kemungkinan timbulnya resistensi bakteri. Meski demikian, terdapat beberapa situasi di
mana penggunaan kombinasi antibiotika diindikasikan. Situasi yang utama yaitu ketika
spektrum antibiotika perlu ditingkatkan pada pasien dengan sepsis akibat penyebab yang
tidak diketahui. Situasi yang kedua yaitu jika diperlukan peningkatan efek bakterisida untuk
melawan organisme spesifik. 4
Tabel 5. Antibiotika untuk infeksi oral dan fasial
Antibiotik Dengan Dosis dewasa Dosis untuk anak
makanan
Penicillin ya 250/500 mg qid 25-50 mg/kg/hr
Dibagi 3 dosis
Amoxicillin ya 250/600 mg tid 25-5- mg/kg/hr
Dibagi 3 dosis
Augmentin ya 875mg bid/ 500 tid 90 mg/kg/hr
Dibagi 2 dosis
Cefaclor ya 250 mg tid 20-40 mg/kg/hr
Dibagi 3 dosis
Cefuroxime ya 250-500 mg bid 20-30 mg/kg/hr
Dibagi 2 dosis
Erythromycin stearate tidak 400 mg qid 20-4- mg/kg/hr
Dibagi 2 dosis
Azithromycin ya 500 mg diikuti 250 mg 10 mg/kg/hr diikuti 5
pada hari ke 2-5 mg/kg/hr pada hari ke 2-5
Clindamycin ya 150-450 mg q 6h 10-30 mg/kg/hr
Dibagi 3-4 dosis
Metronidazole ya 250-500 mg tid 34-50 mg/kg/hr
Doxycyline ya 200 mg dibagi 2 dosis > 8 th, 4 mg/kg/hr dibagi 2
pada hari pertama dosis diberikan per oral
kemudian 100 mg/hr pada hari pertama
kemudian 2mg/kg/hr
Antibiotik Dengan Dosis dewasa Dosis untuk anak
makanan
Minocycline tidak 200 mg diikuti 100 mg > 8th, 4 mg/kg/hr per oral/
q 12 h IV kemudian 2 mg/kg/hr q
12 h
Vancomycin ya 125 mg q 6h 40mg/kg/hr dibagi 4 dosis
Clarythomycin ya 250-500 mg q 8-12 hr 7,5 mg/kg/ 12 jam
Cefalexin ya 250-500 mg qid -
Sumber : Infections and antibiotic administration.Thales RT, In: Koerner KR. Manual of
minor oral surgery. . p. 273.
3. Tujuan
Berikut tujuan dilakukannya penulisan makalah ini adalah
a. Mengetahui penulisan resep yang tepat untuk infeksi odontogenik
b. Mengetahui manfaat dari masing – masing obat yang diresepkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Parasetamol
Parasetamol adalah obat pereda demam dan nyeri yang paling banyak
dipergunakan. Senyawa ini dikenal dengan nama lain asetaminofen, merupakan senyawa
metabolit aktif fenasetin, namun tidak memiliki sifat karsinogenik (menyebabkan kanker)
seperti halnya fenasetin. Senyawa berkhasiat obat ini, tidak seperti obat pereda nyeri lainnya
(aspirin dan ibuprofen), tidak digolongkan ke dalam obat anti inflamasi non steroid
(NSAID) karena memiliki khasiat anti inflamasi yang relatif kecil.
Parasetamol umumnya digunakan untuk mengobati demam , sakit kepala, dan rasa
nyeri ringan. Senyawa ini bila dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid
(NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih
parah. Parasetamol relatif aman digunakan, namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan
kerusakan hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol.
Penelitian pada tahun 2008 membuktikan bahwa pemberian parasetamol pada usia bayi
dapat meningkatkan risiko terjadinya asma pada usia kanak-kanak (Beasley et al, 2008;
Laurance, 2008).
Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil
dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para (Aronoff et al, 2006). Senyawa ini
dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan
natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol direaksikan
dengan senyawa asetat anhidrat.
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan.
Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun
parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa
parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga
menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi (Roberts & Marrow, 2001).
Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam
arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah
menjadi berbagai senyawa pro-inflamasi.
Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol
menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi pada
kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini
oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini
menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun
malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana
kondisinya tidak oksidatif (Chandrasekharan et al, 2002).
Metabolisme parasetamol terjadi di hati. Metabolit utamanya meliputi senyawa sulfat
yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal. Hanya sedikit
jumlah parasetamol yang bertanggungjawab terhadap efek toksik (racun) yang diakibatkan
oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p-benzo-kuinon imina).
Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI
ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui
ginjal (Borne, 1995). Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi,
konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati.
2. Penicilin
Penicillin adalah salah satu antibiotika yang penting dalam dunia kesehatan dimana
golongan antibiotika ini mempunyai keefektifan yang tinggi dalam peranannya sebagai anti
mikroba, selain itu penggunaan antibiotika ini dikenal lebih aman atau tidak toksik.
Penicillin merupakan antibiotik yang hanya digunakan untuk mengatasi dan mencegah
infeksi bakteri pada spektrum luas. Penicillin bekerja untuk menghentikan pertumbuhan
bakteri. Antibiotik ini tidak digunakan untuk mengatasi infeksi virus. Pemakaian Penicillin
yang tidak sesuai dengan tujuan klinis atau penggunaan yang berlebihan dapat menurunkan
efektivitasnya (Arroliga dan Pien, 2003).
Penicillin pertama kali ditemukan pada tahun 1929 oleh Alexander Flemming yang
merupakan hasil metabolit sekunder dari jamur Penicillium chrysogeum.
Gambar 1. (A) dan (B) Koloni Penicillium chrysogeum secara miroskopis (Muniz et
all, 2007)
Jarvis (1950) kemudian dilanjutkan oleh Dewey (1980) yang melakukan penelitian dengan
cara fermentasi dari jamur yang digunakan. Pembuatan Penicillin lebih lanjut diteruskan
oleh Morikawa (1979) yang menggunakan metode sel amobil dengan K-Karadenan sebagai
matriknya. Metode ini terbukti menguntungkan dari metode biakan tanpa amobilisasi sel
karena menghasilkan produk yang lebih banyak dari metode sebelumnya.
Medikasi menggunakan Penicillin dilakukan sesuai apa yang disarankan oleh Dokter.
Medikasi ini dapat dilakukan setelah makan ataupun sebelum makan. Namun, Penicillin
dapat terabsorbsi dengan baik bila perut dalam keadaan kosong (sekitar 1 atau 2 jam setelah
makan). Dosis pemakaian disesuaikan dengan kondisi medis pasien dan terapi yang
dilakukan. Antibiotik akan bekerja baik jika dosisnya dikonsumsi secara tetap. Pemakaian
antibiotik ini tetap dilanjutkan sampai obat habis bahkan jika gejala telah hilang setelah
beberapa hari. Penghentian pemakaian yang terlalu awal akan mengakibatkan tumbuhnya
kembali bakteri dan infeksi akan terjadi lagi (Arroliga dan Pien, 2003).
Pemakaian Penicillin dapat menimbulkan efek samping berupa :
1. Gangguan pada perut.
2. Mual.
3. Muntah.
4. Diare.
5. Rasa tidak nyaman pada rongga mulut.
6. Timbul Black Hairy Tongue.
Hal ini jarang terjadi, dengan menjaga kebersihan mulut dan membersihkan lidah dapat
meminimalisir tejadinya Black Hairy Tongue.
Yang harus dipertimbangkan dalam pemberian Penicillin, yaitu:
1. Adanya alergi pada tipe Penicilin (misalnya Amphicilin, Amoxicillin) atau Cephalosporin
(misalnya, Cephalexin, Cefuroxime).
2. Kelainan pada ginjal harus dihindari pemakaian antibiotik ini.
3. Lansia juga mungkin akan sensitif terhadap pemakaian antibiotik ini.
4. Wanita dalam kondisi hamil dan menyusui.
Penicillin dapat menyebabkan 4 tipe reaksi immunologis yang diklasifikasikan oleh
Gell dan Coombs. Klasifikasi reaksi immunologis menurut Gell dan Coombs terdiri dari :
1. Tipe I : IgE mediated.
2. Tipe II : Antibody mediated.
3. Tipe III : Immune complex mediated.
4. Tipe IV : T lymphocyte mediated.
Reaksi immunologis dari Penicillin yang umum terjadi:
1. IgE mediated.
Asthma, Urticaria, Angiodema, dan Anaphilaxis
2. Non IgE mediated.
Hemolytic anemia, Thrombosytopenia, Serum Sickness, Vasculitis, Contact dermatitis,
Mobiliform rash.
Meskipun terdapat lebih dari satu mekanisme immunologi yang terlibat, namun hanya satu
yang akan mendominasi. Reaksi alergi pada Penicilin terjadi sekitar 2% . Reaksi alergi
Makulopapular atau Urticarial rash yang banyak ditemukan. Reaksi alergi yang parah
seperti Anaphylaxis jarang ditemukan (Arroliga dan Pien, 2003).
3. Metronidazole
Metronidazole mencakup bakteri anaerob (seperti Bacteriodes fragilis, Clostridium,
Fusobacterium, Peptococcus dan Peptococcus sp.) yang terlibat dalam infeksi. Modifikasi
pada pemakaian Metronidazole dapat dilakukan. Metronidazole yang dikombinasikan
dengan Amoxicillin efektif terhadap perawatan kasus-kasus periodontitis lanjut, terutama
yang berhubungan dengan infeksi Actinobacillus actinomycetemcomitans.
4. Chlorhexidin
Chlorhexidine merupakan salah satu antiseptic yang dapat diberikan pada infeksi
odontogenik merupakan antiseptic yang telah diuji dan digunakan secara ekstensif untuk
pengendalian plak dalam 15 tahun terakhir ini. Chlorhexidine adalah satu dari beberapa
antiseptic kation yang karena muatan positifnya meresap ke jaringan gigi, ke protein yang
asam yang menutupi gigi dan mukosa mulut dan meresap pula ke protein saliva.
Chlorhexidine merupakan salah satu produk antiseptik yang secara umum sering digunakan
sebagai pencuci tangan dan produk oral. Selain itu chlorhexidine juga dapat digunakan
sebagai desinfektan dan bahan pengawet. Chlorhexidine sangat banyak digunakan karena
berspektrum luas, tidak mengiritasi, dan aman untuk kulit. Tetapi chlorhexidine memiliki
kelemahan dimana aktivitasnya bergantung pada pH dan hal ini berefek kepada kemampuan
untuk memusnahkan organisme.
Chlorhexidine merupakan agen bakterisidal, mampu memakan E.Coli dan S.aureus
dalam waktu yang sangat cepat. Chlorhexidine gluconate baru-baru ini menunjukkan efek
yang bagus untuk mengatasi bakteri dan yeast. Cairan ini merusak lapisan sel terluar namun
tidak mampu melisiskan atau mematikan sel. Kemudian secara perlahan masuk ke dinding
sel atau membran terluar melalui difusi pasif dan menyerang sitoplasma atau membran
terdalam atau membran plasma pada yeast. Pada yeast, chlorhexidine terbagi-bagi masuk
kedalam dinding sel, membran plasma, dan sitoplasma sel. Kerusakan membran
semipermeabel terjadi secara perlahan diikuti keluarnya material intraseluler yang menandai
kematian sel. Chlorhexidine konsentrasi tinggi menyebabkan penggumpalan material
intraseluler. Akibatnya sitoplasma menjadi mengental dan hanya sedikit material sel yang
keluar.
Efek chlorhexidine pada yeast serupa dengan yang dijelaskan pada bakteri.
Chlorhexidine melisiskan protoplasma, dengan kemampuan melisiskan yang menurun
sebanding dengan konsentrasi cairan yang semakin tinggi. Mycobacteria secara umum
resisten terhadap chlorhexidine. Chlorhexidine tidak bersifat sporicidal. Meskipun dengan
konsentrasi tinggi, chlorhexidine tidak menunjukkan efek yang berarti terhadap spora
bacillus pada suhu kamar. Efek sporicidal ditunjukkan pada suhu yang lebih tinggi.
Chlorhexidine adalah suatu antiseptik yang termasuk golongan bisbiguanide.
Chlorhexidine merupakan antiseptik dan disinfektan yang mempunyai efek bakterisidal dan
bakteriostatik terhadap bakteri Gram (+) dan Gram (-). Chlorhexidine lebih efektif terhadap
bakteri Gram positif dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Chlorhexidine dapat
menyebabkan kematian sel bakteri dengan menimbulkan kebocoran sel (pada pemaparan
chlorhexidine konsentrasi rendah) dan koagulasi kandungan intraselular sel bakteri (pada
pemaparan chlorhexidine konsentrasi tinggi).
Chlorhexidine akan diserap dengan sangat cepat oleh bakteri dan penyerapan ini
tergantung pada konsentrasi chlorhexidine dan pH. Chlorhexidine menyebabkan kerusakan
pada lapisan luar sel bakteri, namun kerusakan ini tidak cukup untuk menyebabkan kematian
sel atau lisisnya sel. Kemudian chlorhexidine akan melintasi dinding sel atau membran luar,
diduga melalui proses difusi pasif, dan menyerang sitoplasmik bakteri atau membran dalam
sel bakteri. Kerusakan pada membran semipermiabel ini akan diikuti dengan keluarnya
kandungan intraselular sel bakteri. Kebocoran sel tidak secara langsung menyebabkan
inaktivasi selular, namun hal ini merupakan konsekuensi dari kematian sel.
Chlorhexidine konsentrasi tinggi akan menyebabkan koagulasi (penggumpalan)
kandungan intraselular sel bakteri sehingga sitoplasma sel menjadi beku, dan mengakibatkan
penurunan kebocoran kandungan intraselular. Jadi terdapat efek bifasik (memiliki 2 fase)
chlorhexidine pada permeabilitas membran sel bakteri, dimana peningkatan kebocoran
kandungan intraselular akan bertambah seiring bertambahnya konsentrasi chlorhexidine,
namun kebocoran ini akan menurun pada chlorhexidine konsentrasi tinggi akibat koagulasi
dari sitosol (cairan yang terletak di dalam sel) sel bakteri. Dosis chlorhexide sangat
bervariasi tergantung dari kebutuhan pemakaian.
5. Chloramphenikol
Chloramphenicols adalah anti bakteri bakteriostatik spectrum luas yang aktif melawan
infeksi rickettsial dan chlamydophilial, mayoritas dari anaerob obligat, kebanyakan aerob
Gram positif, dan non-enterik aerob termasuk Actinobacillus, Bordetella, Haemophilus,
Pasteurella multocida, dan Mannheimia haemolytica. Enterobacteriaceae termasuk
Escherichia dan Salmonella spp. Rentan secara intrinsic tetapi resistensi yang dimediasi
plasma tersebar luas. Chloramphenicol punya aktifitas terhadap Mycoplasma dan Proteus
spp. tetapi tidak hal tersebut tidak dapat dipercaya. Chloramphenicol tidak aktif terhadap
Pseudomonas spp.
Chloramphenicol digunakan dalam perawatan infeksi Salmonella typhi pada manusia
(penyakit tipus). Pada kedokteran hewan, penggunaan chloramphenicol dibatasi untuk hewan
penghasil bukan makanan; obat termasuk dalam Annex IV dari Regulasi 2337/90/EEC yang
melarang penggunaannya pada hewan penghasil makanan. Chloramphenicol seharusnya
digunakan untuk merawat hewan secara individu daripada secara kelompok. Operator harus
memakai sarung tangan kedap air dan menghindari kontak obat dengan kulit.
Chloramphenicol adalah senyawa sederhana bermuatan dan larut lemak yang siap
melewati barrier seluler. Chloramphenicol berdifusi lewat tubuh dan sampai di tempat
infeksi yang tidak bisa dijangkau banyak obat antibacterial lainnya termasuk cairan
serebrospinal, otak, dan struktur internal mata. Chloramphenicol menjadi tidak aktif di hati
oleh konjugasi dan kemudian diekskresikan di urin dan empedu.
Aksi bakteriostatik dari chloramphenicol mungkin menghambat aksi bakterisidal dari
antibacterial beta-lactam dan obat-obatan ini seharusnya tidak digunakan secara bersamaan.
Chloramphenicol merupakan inhibitor ireversibel dari enzim sitokrom P450 termasuk dalam
metabolism barbiturate dan akan mempengaruhi metabolism obat-obatan ini oleh anjing
selama 3 minggu untuk dosis tunggal 50 mg/kg chloramphenicol (Riviere dan Papich, 2009)
infeksi
4. Dolor : terasa sakit karena adanya penekanan ujung saraf sensorik oleh jaringan
Insisi dan drainase biasanya merupakan prosedur bedah yang sederhana. Pengetahuan
tentang anatomi wajah dan leher diperlukan untuk melakukan drainase yang tepat pada abses
yang lebih dalam. Abses seharusnya dikeluarkan bila ada fluktuasi, sebelum pecah dan
pusnya keluar. Insisi dan drainase adalah perawatan yang terbaik pada abses (Topazian et al,
1994).
Insisi tajam yang cepat pada mukosa oral yang berdekatan dengan tulang alveolar biasanya
cukup untuk menghasilkan pengeluaran pus yang banyak, sebuah ungkapan abad ke-18 dan
19 yang berupa deskriptif dan seruan. Ahli bedah yang dapat membuat relief instan dan
dapat sembuh dengan pengeluaran pus dari abses patut dipuji dan oleh sebab itu lebih
dikenal daripada teman sejawat yang kurang terampil yang menginsisi sebelum waktunya
atau pada tempat yang salah (Peterson, 2003).
Prinsip berikut ini harus digunakan bila memungkinkan pada saat melakukan insisi dan
drainase adalah sebagai berikut (Topazian et al., 1994; Peterson, 2003; Odell, 2004).
Melakukan insisi pada kulit dan mukosa yang sehat. Insisi yang ditempatkan pada sisi
fluktuasi maksimum di mana jaringannya nekrotik atau mulai perforasi dapat
menyebabkan kerutan, jaringan parut yang tidak estetis (Gambar 1)
Penempatan insisi untuk drainase ekstraoral infeksi kepala leher. Insisi pada titik-titik
berikut ini digunakan untuk drainase infeksi pada spasium yang terindikasi: superficial dan
deep temporal, submasseteric, submandibular, submental, sublingual, pterygomandibular,
retropharyngeal, lateral pharyngeal, retropharyngeal (Peterson, 2003)
Tempatkan insisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis, seperti di bawah
bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami (Gambar 2).
Garis Langer
wajah. Laserasi yang menyilang garis Langer dari kulit bersifat tidak menguntungkan dan
mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. Insisi bagian fasia ditempatkan
sejajar dengan ketegangan kulit. (Pedersen, 1996).
Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas agar drainase sesuai
dengan gravitasi.
Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari, sampai ke jaringan
paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas abses dengan perlahan-lahan
sehingga daerah kompartemen pus terganggu dan dapat diekskavasi. Perluas
pemotongan ke akar gigi yang bertanggung jawab terhadap infeksi
Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan jahitan.
Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang submandibula.
Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang ditentukan; lepaskan
drain apabila drainase sudah minimal. Adanya drain dapat mengeluarkan eksudat dan
dapat menjadi pintu gerbang masuknya bakteri penyerbu sekunder.
Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk membersihkan bekuan
darah dan debris.
Pengetahuan yang seksama mengenai anatomi fascial dan leher sangat penting untuk drain
yang tepat pada abses yang dalam, tetapi abses yang membatasi daerah dentoalveolar
menunjukkan batas anatomi yang tidak jelas bagi ahli bedah. Hanya mukosa yang tipis dan
menonjol yang memisahkan scalpel dari infeksi. Idealnya, abses harus didrain ketika ada
fluktuasi sebelum ada ruptur dan drainase spontan. Insisi dan drainase paling bagus
dilakukan pada saat ada tanda awal dari “pematangan” abses ini, meskipun drainase
pembedahan juga efektif, sebelum adanya perkembangan klasik fluktuasi (Peterson, 2003).
(2) Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan dilakukan dengan
anestesi infiltrasi.
(3) Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka direncanakan insisi :
(4) Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses dengan
ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian dikeluarkan dengan unjung terbuka.
Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah pengeluaran
pus.
(5) Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan jahitan pada salah
satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan drainase.