Anda di halaman 1dari 3

Mati tanpa bercerita, menjalani hidup sebagaimana orang lain.

Ceritanya terlihat di media sosial, atau


dituturkan menurut versi orang lain. Mati tanpa bisa mengingat apa yang terjadi padanya di bulan
Oktober, 10 tahun yang lalu. Hari terjalani, kenangan terlupakan. Mungkin ia pandai bercerita, secara
lisan, dari orang per orang, namun ia tidak punya bukti bahwa ia pernah melakukan apa yang ia
ceritakan, sepenuhnya. Pada usia tua, ia baru merasa tidak sepenuhnya mengalami hidupnya. Hampir
kehilangan tigaperempat kenangan hidupnya, tidak termasuk waktu tidur. Karena ia tidak mau menulis
catatan harian.

Banyak orang menjalani hidupnya dengan praduga, jarang mempertanyakan kembali apa yang ia
percaya, tidak memperbaiki caranya bekerja dan berpikir, sehingga ia hidup sebagaimana orang lain,
yang tidak mengerti prioritas, refleksi, evaluasi, dan menghargai pencapaian. Mudah menganggap apa
yang telah terjadi hanyalah layak dikenang sendiri. Ia orang yang sangat sibuk. Karena ia tidak.mau
menulis catatan harian.

Banyak perubahan terjadi karena orang mau menulis. Ingatan sering tidak bisa diandalkan. Perubahan
diri maupun sosial, tidak terjadi tanpa aktivitas mendokumentasi. Pepatah lama mengatakan, “Tinta
pucat lebih berbicara daripada seribu ucapan”.

Luangkan waktu 15 menit sehari untuk menuliskan catatan harian.

Orang-orang yang menuliskan catatan harian, pada awalnya, menulis untuk dirinya sendiri. Lantas
bergeser, menulis apa yang terjadi pada sekitarnya. Mereka percaya, orang-orang yang membacanya,
bisa berdialog dan mengubah dunia mereka sendiri. Tulisan mereka akan terbaca.

Kartini menulis surat-surat dan catatan sampai dunia membuka mata tentang Hindia Belanda di mata
seorang perempuan Jawa. Kartini memiliki visi, mimpi tentamg masa depan, dan menceritakan apa yang
sedang ia kerjakan.

Leonardo Da Vinci menuliskan coretan yang sebagian besar tersandikan, hanya bisa dibaca seorang ahli,
bahkan kebanyakan belum selesai, namun ia tidak berhenti menuliskan catatan. Kelak, ia mempunyai
400 lebih, karya yang belum dipatenkan. Tan Malaka sering hidup berpindah, sangat terbatas dan
kurang sehat, namun dari catatannya kita tahu seperti apa ia menghargai perlawanan dan
mengimajinasikan ideologi untuk Indonesia. Antonio Gramsci menuliskan buku catatan, berjudul
Notebooks from Prison, dari dalam penjara, juga Hitler menuliskan Meijn Kampf (namun dengan
kawalan) selama di penjara.

Catatan harian bisa menjadi tempat orang menuliskan yang paling rahasia. Apa keahlian yang kamu
miliki? Keputusan apa yang menurutmu sangat berarti bulan ini? Kapan kamu menjadi kurang produktif?
Bagaimana keadaan keluargamu? Apa pekerjaanmu yang belum selesai? Bagaimana caramu mengatasi
kegagalan?

Sebagian besar orang, gembira menerima media sosial, tidak jarang, memfungsikan media sosial sebagai
catatan harian.

Media Sosial Bukan Catatan Harian

Beberapa akun kawan saya, berfungsi sebagai “catatan harian”. Mereka mengaku demikian. Bisa dilihat
dari bagaimana ia memposting menu makan, jalan-jalan, bertemu kawan, mengikuti acara, melihat
video, mereka share di Beranda. Tidak segan, hal-hal pribadi mereka share. Untuk urusan yang rahasia,
mereka atur privacy ke “Only Me” (hanya saya), dengan catatan, hanya Facebook yang bisa begini.
Medsos juga mengenalkan #hashtag (dulu dari Tumblr, kemudian diadopsi Twitter) yang berfungsi untuk
pengelompokan jenis tulisan.

Saya juga termasuk orang yang share aktivitas harian di Twitter dan Instagram, namun hanya pada hal-
hal yang saya anggap boleh dilihat orang lain. Namun saya tidak memfungsikan media sosial sebagai
catatan harian.

Untuk pintasan praktis dan sekadar perbincangan publik, tidaklah masalah. Namun media sosial
hanyalah Timeline (kronologi) yang tidak memadai untuk sebuah catatan harian. Tepatnya, tidak
mungkin mencapai fungsi catatan harian.

Singkatnya, memakai media sosial sebagai catatan harian, mengandung kelemahan mendasar.

Kelemahan Mendasar Media Sosial


Fungsi pencarian di media sosial, sangat buruk, kecuali: Twitter. Tidak ada yang lebih efisien
dibandingkan Twitter dalam kecepatan “indexing” dan pencarian. Baru 10 detik, sudah _searchable_.

Saya ambil contoh, bagaimana pencarian di media sosial sering gagal ketika kamu mencari sesuatu di
akunmu.

Misalnya, kamu suka baca buku dan sering menuliskan status atau upload foto. Tidak ada
pengelompokan di content yang kamu posting. Itulah masalahnya.

Instagram bisa, dengan menampilkan highlight, pengelompokan foto dalam 1 subject. Misalnya, dalam
acara “pameran lukisan” atau “ketemu kawan”, bisa menjadi 1 Highlight. Sayangnya, kamu tidak bisa
secara spesifik melihat hanya minggu ini, atau bulan tertentu.

Media sosial mendokumentasikan, namun dalam kondisi kacau. Orang diatur tidak bisa melakukan
“inward”, melihat ke dalam diri-sendiri. Bagaimana perkembangan pekerjaan saya? Bagaimana
kemajuan belajar saya?

Memang ada album (di Facebook), highlight (di Instagram, yang harus berbentuk foto), dan hashtag,
namun content kamu sejak awal tidak punya category (pengelompokan berdasarkan jenis).

Yang paling parah, di medsos, orang tidak bisa melakukan “habit tracking” (melacak kebiasaan) dan
melihat “progress” (kemajuan).

Contoh kasusnya begini. Betapa banyak orang yang ingin “membaca 1 buku seminggu sekali”, namun
memiliki alasan sama: “Saya tidak punya waktu, saya sering mengantuk kalau baca buku, dan untuk apa
saya baca buku?”. Masalah ini akhirnya tidak terselesaikan.

Anda mungkin juga menyukai