Anda di halaman 1dari 11

Nama : Nicodemus Sihaloho

NIM : 210510055
Kelas :IB
Mata Kuliah : Manusia dan Kebudayaan
Dosen : Dr. Yustinus Slamet Antono

RINGKASAN TAFSIR KEBUDAYAAN OLEH CLIFFORD GREETZ

BAB I : LUKISAN MENDALAM: MENUJU SEBUAH TEORI INTERPRETATIF


TENTANG KEBUDAYAAN

I
Konsep kebudayaan dicoba didefinisikan oleh Klockohn sebagai:1. keseluruhan cara
hidup suatu masyarakat, 2. warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya, 3. suatu
cara berpikir, merasa, dan percaya, 4. suatu abstraksi dari tingkah laku, 5. suatu teori pada
pihak antropolog tentang cara suatu kelompok masyarakat bertingkah laku, 6. suatu gudang
untuk mengumpulkan hasil belajar, 7. seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah-
masalah yang sedang berlangsung, 8. tingkah laku yang dipelajari, 9. suatu mekanisme untuk
penataan tingkah laku yang bersifat normative, 10. seperangkat teknik menyesuaikan, baik
dengan lingkungan luar maupun dengan orang-orang lain, 11. suatu endapan sejarah
Dalam berbagai teori ini, konsep kebudayaan yang agak terbatas dan dan tidak
sama sekali bersifat standar dapat dibuat menjadi suatu perbaikan ( Klockohn
mewujudkannya dengan cermat). Kebudayaan bukan merupakan sebuah ilmu
eksperimental untuk mencari hukum melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif
untuk mencari makna. oleh karena itu ada analisa-analisa untuk menguraikan ekspresi-
ekspresi sosial yang penuh dengan teka-teki.

II
Dalam antropologi, hal-hal yang dikerjakan oleh praktisi di lapangan adalah
etnografi. Mengerjakan etnografi adalah menetapkan hubungan, menyeleksi informan
informan, mentranskripsi teks-teks, mengambil silsilah-silsilah, memetakan sawah-
sawah, mengisi sebuah buku harian dan, dan seterusnya.
Gilbert Ryle, dalam uraiannya tentang “lukisan mendalam”, Mengemukakan
bahwa pemikir sedang melakukan kegiatan “ memikirkan dan merefleksikan”, dan
“memikirkan pikiran-pikiran”. Misalnya, dua orang anak mengedipkan mata kanan
mereka. anak pertama menganggap kedipan itu sebagai suatu kedutan yang
tak disadari, sementara yang lain menganggap itu sebagai isyarat persekongkolan
sebagai seorang teman. berdasarkan fenomena ini , orang tak dapat menunjukkan an yang
mana merupakan kedutaan dan mana merupakan isyarat. bisa saja keduanya merupakan
isyarat atau sebaliknya. Pemberi isyarat ( winker) sedang berkomunikasi dengan cara yang
sangat khusus, yakni: 1. Dengan sengaja, 2. kepada seseorang yang khusus,
3. untuk menyampaikan sebuah pesan khusus, 4. sesuai dengan sandi yang ditetapkan
secara sosial, 5. tanpa sepengetahuan teman-teman yang lain.
Ryle, mencoba menganalisa bahwa anak yang memberi isyarat melakukan dua hal
yakni, mengedipkan matanya dan memberi isyarat dengan kedipan mata, sementara anak
yang berkedut hanya melakukan satu hal yakni, mengedipkan matanya saja. Inilah yang
disebut sebagai gerak isyarat.
Cerita ini hanya permulaan saja. Seandainya ada anak ke-3 yang
muncul dan melucu dengan kawan-kawannya, mengejek isyarat anak yang
pertama sebagai kurang ahli, kikuk, berlebihan, dan seterusnya. Di sini pun ada suatu kode
yang ditetapkan secara sosial yaitu memberi isyarat dengan wajah meringis yang merupakan
juga suatu pesan, namun pesan yang berbeda. Bukan lagi suatu persekongkolan tapi
ejekan. Berdasarkan pemaparan Ryle tentang apa yang sedang dilakukan ( mengedipkan
mata), orang yang berlatih ( pengejek, pemberi isyarat), dan ”lukisan mendalam “ Tentang
apa yang dilakukan terletak objek etnografi yang merupakan sebuah hirarki yang memiliki
lapisan lapisan struktur struktur yang bermakna. Lapisan-lapisan itu seperti ejekan-ejekan,
latihan-latihan untuk mengejek, syarat-syarat berpura-pura, dan semua itu dipahami dan
ditafsirkan.

III
Dengan demikian, kebudayaan bersifat publik. Kebudayaan mirip seperti pemberian
isyarat yang mengejek. Meskipun bersifat ideasional, kebudayaan tidaka berada dalam
kepala seseorang. Walaupun tidak bersifat fisik, kebudayaan bukanlah sifat entitas yang
tersembunyi.
Untuk menggambarkan kebudayaan , dapat dilihat analogi seperti ini. Untuk
memainkan biola, perlulah keterampilan-keterampilan, pengetahuan, dan bakat-bakat
tertentu, dan perlu memiliki sebuah biola. Akan tetapi, memainkan biola bukanlah suatu
kebiasaan-kebiasaan, keterampilan-keterampilan, pengetahuan-pengetahuan, dan
seterusnya, dan juga bukan suasana hati.
Kebudayaan bersifat publik karena memiliki makna publik. Kita tidak bisa memberi
isyarat dengan berkedip tanpa mengetahui apa yang dianggap sebagai pemberian isyarat
dengan kedipan mata atau bagaimana secara fisik menggerakkan kelopak-kelopak mata
kita. Tetapi, untuk menarik kesimpulan dari kebenaran ini, kita harus tahu cara memberi
isyarat dengan berkedip adalah memberi isyarat dengan berkedip.
Salah satu tujuan dari antropologi adalah perluasan semesta pembicaraan manusia.
Ini bukanlah satu-satunya tujuan. Instruksi, hiburan, nasihat praktis, kemajuan moral, dan
penemuan susunan alamiah dari tingkah laku manusia. Tujuan antropologi merupakan
sebuah tujuan untuk dengan sebaik mungkin menerapkan konsep semiotis
tentang kebudayaan dengan terang dan secara mendalam.

IV
Menemukan kaki-kaki kita adalah sebuah pekerjaan yang remeh yang gampang
sekali adalah apa yang terkandung dalam riset etnografi sebagai suatu pengalaman pribadi.
Hal inilah tujuan dari pekerjaan ilmiah. Tujuan lainnya adalah intruksi, hiburan, nasihat
praktis, kemajuan moral, dan penemuan susunan ilmiah dalam tingkah laku
manusia. Kebudayaan adalah sebuah konteks, suatu yang di dalamnya semua hal itu dapat
dijelaskan dengan terang, yakni secara mendalam.
Kegandrungan antropologis merupakan sarana untuk menggantikan rasa biasa yang
tumpul. Dengan rasa biasa saja memampukan kita berhubungan cerdik satu sama lain.
Memahami kebudayaan suatu masyarakat adalah memperlihatkan kenormalan mereka
tanpa menyempitkan pada kekhususan mereka. Untuk memantapkan antropologi kita harus
merumuskan system symbol bangsa lain dan harus berorientasi pada pelaku. Paparan dalam
sebuah kebudayaan harus disusun menurut interpretasi yang dipakai orang-orang aliran
tertentu. Paparan itu bersifat antropologis karena nyatanya diakui para antropolog. Analisis
merupakan susunan dari objek kebudayaan, yakni dengan memulai menafsirkan dan
memikirkan yang disampaikan oleh informan.
Singkatnya, tulisan-tulisan antropologis itu sendiri adalah rupa
penafsiran- penafsiran, dan susunan yang kedua, dan ketiga disingkirkan. Para antropolog
tidak selalu seperti kalau mereka berbicara mengenai fakta ini: bahwa meskipun
kebudayaan terdapat dalam pos perdagangan, benteng di atasbukit, atau penggiringan
domba-domba, antropologi terdapat dalam buku, artikel, kuliah, pameran di museum, atau
dalam dewasa ini dalam film. Klaim untuk memperhatikan perhitungan etnografis
tidak terletak pada kemampuan pengarangnya untuk menangkap fakta-fakta primitif di
tempat jauh dan membawa pulang fakta-fakta. Kita harus mengukur kekokohan
penjelasan kita bukanlah menentang kumpulan data yang tak ditafsirkan, melainkan
melawan kekuatan imajinasi ilmiah yang menyebabkan kita menyentuh kehidupan orang-
orang asing. Tak ada gunanya, seperti kata Thoreau, pergi mengelilingi dunia untuk
menghitung jumlah kucing di Zanzibar.

V
Kebudayaan paling efektif ditelaah secara murni sebagai sebuah sistem simbolis
dengan mengisolasi unsur-unsurnya, mengkhususkan hubungan-hubungan internal di antara
unsur-unsur itu, dan kemudian mencirikan seluruh sistem dengan cara umum tertentu -menurut
pusat simbol-simbol yang di sekelilingnya kebudayaan ditata, struktur- struktur dasar dari
kebudayaan yang merupakan sebuah ekspresi lahiriah, atau prinsip-prinsip ideologis tempat
ideologi didasarkan. Tingkah-laku harus diperhatikan dengan kepastian tertentu, karena
melalui rentetan tingkah-laku -atau lebih tepat lagi, lewat tindakan sosiallah- bentuk-bentuk
kultural terungkap.
Suatu implikasi lebih lanjut dari hal ini adalah bahwa koherensi tak bisa menjadi tes
keahlian yang utama bagi sebuah paparan kebudayaan. Sistem-sistem kebudayaan tentu
memiliki taraf koherensi yang minimun, apa lagi kita tak akan menyebut sistem-sistem
kebudayaan itu sistem-sistem; dan dengan observasi, sistem-sistem itu biasanya memiliki
sesuatu yang lebih besar lagi.
Situasinya bahkan menjadi lebih sulit, karena, seperti yang telah dicatat, apa yang kita
tuliskan bukanlah perbincangan sosial murni. Karena, berhubung secara sangat marginal atau
sangat khusus, kita bukanlah pelaku-pelaku, kita tidak memiliki akses langsung ke dalam
perbincangan sosial itu, melainkan hanya memiliki akses ke sebagian kecil darinya. Dari
bagian kecil itu para informan kita dapat membimbing kita ke dalam pemahaman. Hal ini tidak
sedemikian menentukan seperti yang disuarakan perbincangan itu dan tak perlulah mengetahui
segala-galanya untuk memahami sesuatu. Namun keterangan ini membuat pandangan tentang
analisis antropologis sebagai manipulasi konseptual tentang fakta-fakta temuan, atau sebagai
sebuah rekonstruksi logis tentang suatu kenyataan murni, tampaknya agak timpang.
VI
Jadi, ada yang menjadi ciri paparan terpratif adalah etnografis: dan paparan itu bersifat
interpretatif; apa yang interpretative adalah aliran perbincangan sosial; dan menafsirkan antara
lain mencoba menyelamatkan apa yang dikatakan dari perbincangan itu dari kesempatan-
kesempatannya yang menentukan dan menetapkannya dalam istilah yang dapat dibaca dengan
cermat. Tidak dikatakan bahwa tak ada interpretasi antropologis berskala besar tentang
keseluruhan masyarakat, peradaban, peristiwa dunia, dan seterusnya. Sejarah
mungkin memiliki titik-titik peralihannya yang lancar, tapi ruangan yang kecil itu tentu bukan
salah satu dari keributan-keributan yang ada.
Hal itu hampir sama dengan mengatakan bahwa seseorang antropolog secara khas
mendekati interpretasi yang lebih luas seperti itu dan analisis-analisis yang lebih abstrak dari
arah pengenalan luas secara berlebih-lebihan dengan soal-soal yang sangat sepele. Kenyataan
yang sering dialami orang adalah kekuasaan, pertukaran, kepercayaan, penindasan, kerja,
nafsu, otoritas, keindahan, kekerasan, cinta dan gengsi. Pandangan bahwa kita
dapat
menemukan hakikat masyarakat nasional, peradaban, agama besar, atau apa saja yang dapat
diringkas dan disederhanakan dalam apa yang disebut kota dan desa kecil yang tipikal adalah
suatu omong-kosong yang blak-blakan. Para antropolog tidak belajar tentang desa melainkan
belajar dalam desa-desa. Orang dapat menambahkan satu dimensi, dimensi yang banyak
dibutuhkan dalam iklim ilmu sosial yang mempengaruhi dan memecahkan dewasa ini, namun
begitulah adanya.
VII
Pada saat yang sama, haruslah diakui bahwa ada sejumlah ciri penafsiran kebudayaan
yang membuat perkembangan teoretisnva lebih sulit daripada biasanya. Yang pertama adalah
kebutuhan akan teori untuk berada agak lebih dekat lagi pada dasarnya daripada cenderung
menjadi kasus dalam ilmu-ilmu pengetahuan yang lebih dapat memberi dirinya melampaui
abstraksi imajinatif. Hanya penerbangan-penerbangan pendek dari pemikiran metodis dan pasti
(ratiocination) cenderung menjadi efektif dalam antropologi. Penerbangan-penerbangan yang
lebih jauh cenderung melayang-layang ke dalam impian-impian logis, ketakjuban-ketakjuban
akademis terhadap simetri formal.
Demikianlah kita dibawa ke syarat kedua dari teori kebudayaan: teori itu, sekurang-
kurangnya dalam arti sempit istilah itu, tidak bersifat prediktif. Orang yang mendiagnosis tidak
memprediksi campak; ia memutuskan bahwa seseorang menderita campak, atau paling-paling
mengantisipasi bahwa seseorang agaknya akan menderita campak. Namun pembatasan ini,
yang cukup real, biasanya telah disalahpahami maupun dilebih-lebihkan, karena telah diartikan
bahwa penafsiran kebudayaan hanyalah post facto: bahwa, seperti petani dalam cerita kuno,
kita pertama-tama menembak lubang-lubang di pagar dan kemudian melukis mata banteng di
sekelilingnya. Hampir tak dapat disangkal bahwa di sekitarnya ada banyak hal mencolok.
macam itu, beberapa darinya di tempat-tempat yang mencolok.
Pandangan tentang bagaimana teori berfungsi di dalam sebuah ilmu interpretative
menyarankan bahwa distingsi, yang relative dalam kasus manapun, yang tampak dalam ilmu-
ilmu eksprimental atau observasional, antara “lukisan” dan “penjelasan” di sini tampak sebagai
distingsi, yang bahkan lebih relative, antara “penulisan” dan “spesifikasi”, yaitu: antara
menuliskan makna tindakan-tindakan sosial khusus untuk para pelaku yang
tindakan- tindakannya ditulis, dan menyatakan, se-eksplisit yang dapat kita usahakan, apa yang
kemudian diperlihatkan pengetahuan itu tentang masyarakat di mana hal itu ditemukan, dan
lebih dari itu, tentang kehidupan sosial apa adanya. Dalam etnografi, tugas teori adalah
menyediakan sebuah kosa kata di mana apa yang harus dinyatakan tindakan symbolis tentang
dirinya- yakni, tentang peranan kebudayaan dalam kehidupan manusia- dapat diungkapkan.
Syarat kedua kebudayaan yaitu tidak bersifat predikat. Gagasan-gagasan teoritis tidak
diciptakan kembali seluruhnya dalam tiap-tiap studi. Sebuah daftar judul-judul yang amat
umum, dibuat dalam konsep-konsep akademis dan sistem-sistem konsep-konsep, integarsi,
rasionalisasi, simbol, ideologi, etos, revolusi, identitaas, metafor, struktur, ritus, pandangan
dunia, pelaku, fungsi, sakral, dan tentu saja kebudayaan itu sendiri.
VIII
Jadi, dapat ditarik peamahaman bahwa bukan hanya penafsiranlah yang menurunkan
segala cara ke taraf observasional yang paling langsung: teori yang menjadi
tempat tergantungnya secara konseptual penafsiran seperti itu. Model “keseleo lidah”-
pandangan bahwa konflik sosial bukanlah sesuatu yang terjadi bila karena keluar dari
kelemahan,
ketekunan, keusangan, atau pengabdian, bentuk-bentuk kebudayaan berhenti beroprasi,tapi
lebih merupakan sesuatu yang terjadi bila seperti kedipan pura-puran yang dilatih, bentuk-
bentuk itu ditekan oleh situasi-situasi atau maksud-maksud yang tidak biasa- bukanlah sebuah
gagasan yang saya dapatkan dari cerita Cohen. Gagasan itu dalah gagasan yang diinstruksikan
oleh para kolega, mahasiswa, dan para pendahulu.
BAB II : DAMPAK KONSEP KEBUDAYAAN PADA KONSEP MANUSIA
I
Kecantikan, saya rasa, tetap merupakan sebuah cita-cita ilmiah yang lazim; tetapi dalam
ilmu-ilmu sosial, kecantikan sangat akrab berada dalam keterpisahan-keterpisahan dari cita-
cita itu sehingga perkembangan-perkembangan kreatif terjadi. Kemajuan ilmiah biasanya
berubah menjadi sebuah komplikasi yang maju dari apa seperangkat pandangan-pandangan
yang sederhana kini berubah menjadi seperangkat pandangan yang bersifat simplistis.
Studi tentang kebudayaan pun semakin berkembang dengan munculnya pandangan
tentang hakikat manusia yang dominan dalam Zaman Pencerahan. Pandangan ini menyatakan
bahwa manusia merupakan keseluruhan dari sebagian kecil alam dan ambil bagian dalam
keseragaman umum dari komposisi yang telah ditemukan di sana oleh ilmu
alam. Dalam proses waktu berkembanglah konsep stratifigasi. Stratifigasi adalah konsep
dimana manusia adalah susunan taraf-taraf, masing-masing melapisi taraf-taraf yang ada
dibawahnya dan mendasari taraf-taraf yang ada di atasnya. Dengan mengerti akan konsep, kita
juga diajak untuk semakin mengerti apa sesungguhnya manusia. Kita harus melapiskan
penemuan-penemuan dari berbagai ilmu pengetahuan yang sungguh relevan. Lalu terlihat
bahwa taraf yang jelas bagi manusia adalah taraf kultural.
II
Namun usaha untuk menempatkan manusia di tengah-tengah susunan adat-istiadat
telah mengambil arah yang berbeda. Arah itu semacam tongkat untuk memukul konsep
stratifigasi tentang hubungan-hubungan antara faktor biologis, psikologis, sosial, dan kultural
dalam kehidupan manusia. Dalam konsep ini manusia adalah susunan yang melapisi taraf-taraf
di bawahnya dan mendasari taraf-taraf di atasnya.
Lepas dari fakta bahwa konseptualisasi ini menjamin kemandirian dan kedaulatan bagi
disiplin-disiplin akademis, daya tarik tampaknya adalah kemungkinan yang dimiliki untuk
membuat sesuatu diambil. Orang tidak harus menegaskan bahwa kebudayaan manusia adalah
semua yang ada baginya untuk diklaim bahwa kebudayaan, bagaimanapun, merupakan sebuah
bahan yang hakiki dan tak dapat dihilangkan, bahkan bahan terpenting dalam hakikat manusia.
Pada taraf riset konkret dan analisis khusus, strategi dasar ini, pertama, adalahmemburu
hal-hal yang universal di dalam kebudayaan, karena keseragaman-keseragaman empiris yang
dapat dijumpai di mana saja dalam bentuk yang kira-kira sama di hadapan keanekaragaman
adat-kebiasaan di seluruh dunia dan di sepanjang zaman. Dan kedua, strategi dasar ini adalah
berusaha mengaitkan hal-hal universal itu, sekaligus menemukannya, untuk menetapkan
tetapan-tetapan biologis, psikologi, dan organisasi sosial manusia. Consensus gentium adalah
sebuah kesepaktan dari semua manusia terhadap sesuatu yang dianggap benar, nyata, adil,atau
menarik, dan bahwa karena hal itu hal-hal ini nyata, benar, adil, atau menarik, ada dalam zaman
pencerahan dan barangkali telah ada dalam bentuk tertentu di segala zaman dan iklim.
III

Alasan utama mengapa antropolog menghindar dari budaya kekhususan ketika sampai
pada pertanyaan tentang mendefinisikan manusia dan memiliki berlindung sebagai gantinya di
alam semesta tanpa darah adalah, dihadapkan apa adanya dengan variasi yang sangat besar
dalam perilaku manusia, mereka dihantui oleh ketakutan akan historisisme, tersesat dalam
pusaran relativisme budaya yang begitu mengguncang sehingga membuat mereka kehilangan
bantalan tetap sama sekali. Singkatnya, kita perlu mencari hubungan sistematis di antara
beragam fenomena, bukan untuk identitas substantif di antara yang serupa. Dan untuk
melakukan itu dengan efektif, kita perlu mengganti "stratigraphic" konsepsi hubungan antara
berbagai aspek keberadaan manusia dengan yang sintetis; yaitu, di mana biologis, psikologis,
faktor sosiologis, dan budaya dapat diperlakukan sebagai variabel di dalamnya sistem analisis
kesatuan.
Ada dua gagasan dalam usaha melancarkan integrasi dari sisi antropologis. Pertama, dari
gagasan-gagasan itu adalah bahwa kebudayaan paling baik dilihat tidak sebagai kompleks-
kompleks pola-pola tingkah-laku konkret, misalnya, adat-istiadat, kebiasaan-
kebiasaan, tradisi-tradisi, kumpulan-kumpulan kebiasaan, seperti yang pada umumnya
dilakukan sampai hari ini, melainkan sebagai seperangkat mekanisme-mekanisme
kontrol, yaitu: rencana- rencana, resep-resep, aturan-aturan, instruksi-instruksi (apa yang
disebut sebagai "program program" oleh para ahli komputer), untuk mengatur tingkah laku.
Gagasan yang kedua adalah bahwa manusia persis merupakan hewan yang paling
tergantung mati-matian pada mekanisme-mekanisme kontrol di-luar-kulit yang
bersifat ekstragenetis itu, program-program kultural itu, untuk mengatur tingkah-lakunya.
Tak satu pun dari kedua gagasan ini sama sekali merupakan gagasan yang baru; tetapi
sejumlah perkembangan akhir-akhir ini, baik dalam ilmu-ilmu lain (sibernetik, teori informasi,
neurologi, genetika molekuler) telah membuat keduanya dilumpuhkan oleh pernyataan yang
lebih tepat dan juga memberi keduanya sebuah taraf dukungan empiris yang belum dimiliki
sebelumnya. Dan di luar perumusan-perumusan konsep dan peran kebudayaan dalam
kehidupan manusia itu, pada gilirannya, muncullah sebuah definisi tentang manusia yang tidak
terlalu banyak menekankan keumuman-keumuman empiris dalam tingkah-laku, dari tempat ke
tempat dan dari zaman ke zaman.
IV
Di luar rumusan konsep dan peran budaya dalam kehidupan manusia, pada gilirannya
muncul definisi manusia yang tidak terlalu menekankan keumuman empiris dalam tingkah
laku, dari tempat ke tempat dan dari zaman ke zaman. Definisi ini lebih menekankan pada
mekanisme yang dimiliki oleh makhluk yang kemampuan bawaan dan bawaannya yang luas
direduksi menjadi fakultas sempit dan partikularnya yang sebenarnya. Salah satu fakta
terpenting tentang kita adalah bahwa kita semua mulai dengan perlengkapan alami untuk
menjalani ribuan jenis kehidupan, tetapi akhirnya memiliki satu ujung bentuk kehidupan yang
telah dijalani.
Manusia harus didefinisikan tidak dengan kemampuan-kemampuan bawaannya saja,
sebagaimana dilakukan pada Zaman Pencerahan, tidak juga dengan tingkah-laku aktualnya
saja, seperti yang banyak dilakukan ilmu-ilmu sosial kontemporer, melainkan terlebih dengan
kaitan di antara keduanya, yang bagaimanapun yang pertama diubah menjadi yang kedua,
potensi-potensi generisnya terpusat ke dalam penampilan-penampilan khususnya. Dalam
perkembangan khas career itulah, kita dapat melihat betapa suramnya hakikatnya, dan
walaupun kebudayaan tak lain kecuali satu unsur dalam menentukan perkembangan itu, hampir
tak kurang pentinglah kebudayaan itu. Karena kebudayaan membentuk kita sebagai satu
spesies demikian pun kebudayaan membentuk kita sebagai individu-individu yang terpisah.
Hal ini, bukan kedirian subkultural yang tak berubah, juga bukan kesepakatan lintas-budaya
yang teguh, adalah apa yang sungguh-sungguh kita miliki bersama. Di sinilah, akhirnya
sampai pada judul saya, bahwa konsep budaya berdampak pada konsep manusia.
Jadi, menjadi manusia di sini bukanlah menjadi Orang Biasa; itu menjadi tertentu jenis
pria, dan tentu saja pria berbeda: "Bidang lain," kata orang Jawa, "belalang lain". Dalam
masyarakat, perbedaan diakui, begitu pula cara seorang petani padi menjadi manusia dan orang
Jawa berbeda seperti yang dilakukan pegawai negeri. Singkatnya, kita harus turun ke detail,
melewati tag yang menyesatkan, melewati jenis metafisik, melewati kesamaan kosong untuk
memahami dengan kuat karakter penting tidak hanya dari berbagai budaya tetapi berbagai
macam individu dalam setiap budaya, jika kita ingin bertemu kemanusiaan tatap muka.
BAB III : PERTUMBUHAN KEBUDAYAAN DAN EVOLUSI PIKIRAN
I
Karena manusia adalah binatang yang paling emosional dan yang paling
rasional sebuah control kebudayaan yang sangat cermat atas rangsangan untuk rasa takut,
marah, gairah pastimencegah ketidakstabilan terus menerus, goyangan terus menerus di antara
ekstrem-ekstrem nafsu. Kontrol kebudayaan dijalankan melalui tabu-tabu, penyeragaman
tingkah laku, “rasionalisasi” yang cepat dari rangsangan-rangsangan asing.
Istilah “pikiran” mengacu pada seperangkat disposisi-disposisi tertentu dari suatu
organism. Masalah evolusi pikiran adalah soal penelusuran perkembangan kemampuan-
kemampuan, kecakapan-kecakapan, kecenderungan-kecenderungan dan kecondongan-
kecondongantertentu dalam organism dan menggambarkan faktor-faktor atau tipe-tipe
faktor-faktor yang menyebabkan adanya ciri-ciri itu.
Dalam kenyataan, istilah “pikiran” belum berfungsi sebagai sebuah konsep ilmiah sama
sekali melainkan sebagai peralatan retoris, bahkan ketika pemakaiannya dilarang. Lebih tepat
lagi, istilah itu dipakai berkomunikasi dan mengeksploitasi suatu ketakutan.
Sejauh menyangkut konsep pikiran, keadaan ini sangat ekstrim sangat disayangkan karena
gagasan yang luar biasa bermanfaat dan satu yang tidak ada padanan tepat, kecuali mungkin
archaism "psyche", diubah menjadi sebuah mekanisme.
Pikiran adalah reaksi suatu organisme sebagai suatu keseluruhan unit yang koheren
yang membebaskan kita dari perbudakan kata-kata suatu metafisika yang steril
dan melumpuhkan, serta membebaskan kita untuk menabur dan memetik di dalam sebuah
ladang yang akan menghasilkan buah. Tetapi "penyembuhan" ini bertatapan dengan cerita
dari bangku sekolah yang tentu saja tidak betul, bahwa "sebuah kata benda adalah sebuah kata
yang memberi nama orang, tempat, atau benda". Salah satu metode yang sering diusulkan
untuk merehabilitasi pikiran sebagai konsep ilmiah yang berguna adalah mengubahnya menjadi
kata kerja atau participle, pikiran adalah berpikir (minding).
II
Ada dua pandangan tentang evolusi manusia pikiran, yang keduanya pernah tidak
memadai, namun sekarangn cukup lancar. Yang pertama adalah tesis bahwa semacam proses
pemikiran manusia yang disebut Freud -substitusi "primer" – substitusi,
pembalikan,
kondensasi, dan sebagainya secara filogenetik sebelum itu dia menyebut "sekunder" - yang
terarah, diurutkan secara logis, bernalar, dan seterusnya. Pandangan kedua tentang kesalahan
jaringan ini adalah sebagai reaksi Evolusi mental manusia muncul, yaitu tidak
hanya keberadaan pikiran manusia pada dasarnya dalam bentuk modernnya merupakan
prasyarat untuk akuisisi budaya, tetapi pertu.mbuhan budaya itu sendiri telah tanpa signifikansi
apa pun untuk evolusi mental.
Kedua Pandangan itu mengatakan bahwa tidak hanya keberadaan pikiran manusia
dalam bentuk modernnya secara hakiki merupakan sebuah prasyarat bagi
kemahiran kebudayaan, melainkan juga pertumbuhan kebudayaan pada dirinya sendiri telah
ada tanpa makna apa pun bagi evolusi mental.
Pada saat tertentu dalam riwayat baru yang tidak dapat dipulihkan dari hominidization
merupakan sesuatu yang luar biasa, tetapi mungkin dalam istilah genik atau anatomis cukup
kecil, perubahan organik terjadi - mungkin di kortikal struktur-di mana seekor binatang yang
orangtuanya belum dibuang "ke berkomunikasi, belajar dan mengajar, menggeneralisasi dari
rantai tanpa akhir perasaan dan sikap diskrit "begitu dibuang dan" dengannya mulai dapat
bertindak sebagai penerima dan pemancar dan memulai akumulasi itulah budaya."
Di dalam fisik cabang antropologi, keraguan bahwa seseorang dapat berbicara tentang
penampilan manusia "seolah-olah dia tiba-tiba dipromosikan dari kolonel menjadi brigadir
jenderal, dan memiliki tanggal pangkat "telah tumbuh dengan meningkat kecepatan sebagai
fosil Australopithecus aslinya dari Afrika Selatan tetapi sekarang cukup banyak ditemukan,
telah datang untuk ditempatkan lebih dan lebih di garis hominid.
Saat ini, hominid berotak kecil yang kurang lebih tegak ini, dengan tangan bebas
mereka, membuat perkakas dan mungkin berburu hewan keci, tetapi sulit dipercaya bahwa
mereka memiliki budaya yang begitu berkembang yang dapat dibandingkan dengan budaya,
katakanlah 'orang aborigin Australia atau memiliki bahasa dalam arti modern dengan isi otak
500 kubik sentimeter. Oleh karena itu, di Australopithecus kita akan memiliki jenis "manusia"
aneh yang jelas mampu mencapai beberapa elemen budaya, seperti: membuat alat sederhana,
"berburu" secara luas, dan mungkin memiliki sistem komunikasi tertentu yang lebih maju
daripada yang kera modern memiliki dan kurang maju dibandingkan dengan
sistem komunikasi ucapan yang sebenarnya.
Faktanya, karena otak Homo sapiens kira-kira tiga kali ukuran otak Australopithecus,
sebagian besar perluasan korteks manusia telah diikuti, tidak didahului, budaya "awal".
Situasinya agak tidak dapat dijelaskan jika kapasitas budaya dianggap sebagai hasil terpadu
dari perubahan secara kuantitatif tetapi metastatis kualitatif dari sesuatu yang mirip dengan air
beku.
Pada tahapan evolusi perubahan yang telah menghasilkan Homo sapiens dari masa
Eosen protohominoid, manusia dapat berbicara, dapat melambangkan, dapat memperoleh
budaya, demikian argumen ini, tetapi simpanse (dan, selanjutnya, semua hewan yang kurang
diberkahi) tidak bisa. Karena itu, manusia unik dalam hal ini, dan sejauh menyangkut
mentalitas "kita dihadapkan pada serangkaian lompatan, bukan pendakian kontinum. "
III
Kerja sistem saraf pusat adalah urusan hierarkis di mana fungsi di tingkat yang lebih tinggi
tidak berhubungan langsung dengan struktur akhirnya, seperti neuron atau unit motorik, tetapi
beroperasi dengan mengaktifkan lebih rendah pola yang memiliki kesatuan struktural yang
relatif otonom. Salah satu perkembangan yang lebih menggembirakan-jika anehnya tertunda
ilmu perilaku adalah upaya psikologi fisiologis saat ini untuk membangkitkan dirinya dari
keterpikatannya yang lama dengan keajaiban usur refleks.
Hukum Harvard, menegaskan bahwa binatang mana pun yang dilatih dengan baik,
dengan stimulasi terkontrol, akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut rasa
nikmat. Sebuah perumusan yang lebih ilmiah adalah bahwa binatang yang lebih tinggi kurang
terikat pada rangsangan. Perkembangan selanjutnya dari teori ini merupakan suatu otonom
bersemangat, secara hirarki sistem saraf pusat terorganisir tidak hanya berjanji untuk membuat
kompetensi cepat anjing domba Sherrington saat mengumpulkannya yang tersebar berkumpul
dari lereng bukit bukan merupakan misteri fisiologis.
Binatang yang tak bertulang belakang yang lebih tinggi (crustacea, dst), saluran-saluran
yang rumit, potensi-potensi synaptis yang berjenjang-jenjang, dan tanggapan-tanggapan yang
cepat semua tampak membiarkan kontrol perintis jalan yang persis atas fungsi-fungsi internal
seperti munculnya binatang-binatang bertulang belakang yang lebih rendah.
Gerard berpendapat bahwa perubahan hampir seluruhnya bersifat kuantitatif, sebuah
pertumbuhan tipis jumlah neuron, sebagaimana tercermin dalam perluasan cepat ukuran otak:
Kapasitas lebih lanjut, terlihat paling mencolok pada garis primata dan puncaknya pada
manusia disebabkan oleh peningkatan jumlah yang sederhana, bukan karena peningkatan unit
atau pola. Tapi Bullock, meski setuju bahwa sistem sarafnya semakin tinggi hewan dan
manusia tidak menunjukkan perbedaan penting dalam istilah neurofisiologis yang diketahui
mekanisme atau arsitektur, pertanyaan tajam tentang hal ini pandangan, dan berpendapat
bahwa ada kebutuhan mendesak untuk mencari namun belum ditemukan parameter fungsi
saraf.
Dalam paradoks yang nyata, otonomi yang meningkat, kompleksitas hierarkis, dan
pengaturan sistem saraf pusat yang sedang berlangsung aktivitas tampaknya berjalan seiring
dengan tekad yang kurang detail aktivitas tersebut menurut struktur sistem saraf pusat di dan
dari dirinya sendiri; yaitu, secara intrinsik. Dari sudut pandang ini, pandangan yang diterima
bahwa fungsi mental pada dasarnya proses intraserebral, yang hanya dapat dibantu secara
sekunder atau diperkuat dengan berbagai alat buatan yang diproses itu telah memungkinkan
untuk menemukan, tampaknya cukup salah.
Semakin rendah seekor hewan, semakin sedikit yang dibutuhkannya cari tahu secara
rinci dari lingkungan sebelum kinerja perilaku burung tidak perlu membangun terowongan
angin untuk menguji prinsip aerodinamis sebelum belajar menerbangkan-yang sudah mereka
"kenal". "Keunikan" dari manusia sering diekspresikan dalam hal seberapa banyak dan
seberapa banyak perbedaan macam hal yang dia mampu pelajari. Seorang anak menghitung
dengan jarinya sebelumnya dia menghitung "di kepalanya"; dia merasakan cinta di kulitnya
sebelum dia merasakannya "dalam hatinya. "Tidak hanya ide, tapi emosi juga, artefak budaya
di dalamnya pria.
IV
Istilah "pikiran" mengacu pada seperangkat disposisi-disposisi tertentu dari suatu
organisme. Kemampuan berhitung adalah Ciri mental; demikian juga kegembiraan yang tak
kunjung hilang; dan demikian juga walaupun belum mungkin mendiskusikan masalah
motivasi di sini kerakusan. Oleh karena itu masalah evolusi pikiran itu bukanlah sebuah isu
yang keliru yang dihasilkan Oleh sebuah metafisika yang disalahpahami. Evolusi pikiran juga
bukan persoalan Yang keliru dari penemuan jiwa yang tak kelihatan yang ditambahkan di atas
materi organis pada titik tertentu dalam sejarah kehidupan.
Fakta yang jelas pada tahap-tahap akhir biologis manusia terjadi setelah tahap-tahap
awal pertumbuhan kebudayaan menyiaratkan bahwa hakikat manusia yang dasaria, murni, atau
tidak dikondisikan dalam arti konstitusi bawaan manusia. Alat-alat, kegiatan
berburu, organisasi keluarga, dan kemudian seni, agama dan ilmu pengetahuan membentuk
manusia secara otomatis.
BAB IV : PIKIRAN PRIMITIF: CATATAN UNTUK CLAUDE LEVI-STRAUSS
I
Bagi antropolog, yang profesinya mempelajari kebudayaan-kebudayaan, teka-teki
senantiasa bersama dengannya. Hubungan pribadinya dengan objek studinya yang barangkali
lebih dekat daripada segala ilmuwan yang lainnya, tak bisa tidak bersifat apa problematis.
Apakah yang membuat sesuatu menjadi luhur? Apakah yang ada dalam daya pikir manusia?
Apakah kebudayaan itu sangat penting? Apakah yang membuat dunia ini sangat berarti?
Dalam kasus Claude Lévi-Strauss, Profesor Antropologi Sosial di Collège de France
dan sekarang pusat perhatian umum tempat orang orang menghabiskan hidup mereka untuk
mempelajari orang-orang jauh yang tidak biasa ditemui, menyusun unsur-unsur spiritual dari
pemaparan yang luar biasa sulitnya. Di lain pihak, tak seorang antropolog pun yang lebih
mempertahankan fakta bahwa praktek profesinya merupakan suatu penyelidikan pribadi, yang
didorong oleh sebuah visi pribadi, dan diarahkan menuju suatu keselamatan pribadi.
II
Masyarakat manusia, seperti halnya individu manusia, tidak pernah mencipta dari
seluruh kain tetapi hanya memilih kombinasi tertentu dari perbendaharaan ide yang tersedia
sebelumnya bagi mereka Dalam La Pensee Sauvage, gagasan yang mengatur ini-bahwa alam
semesta alat konseptual yang tersedia untuk orang biadab ditutup dan dia harus melakukannya
dengan itu untuk membangun bentuk budaya apa pun yang dia bangun-muncul kembali di
samaran dari apa yang disebut Levi-Strauss sebagai "ilmu tentang beton". Savages membangun
model realitas dunia alami, diri, masyarakat. Ini menjadi model struktural yang mewakili
urutan yang mendasari realitas sebagaimana adanya secara analogis.
Makna penting yang kritis dari etnologi adalah bahwa etnologi memberikan langkah
pertama dalam sebuah proses yang mencakup langkah-langkah lainnya. Analisis etnografis
mencoba mencapai ketetapan-ketetapan yang melampaui keanekaragaman empiris
masyarakat-masyarakat. Antropologi itu berwajah ganda, yaitu: sebagai sebuah jalan untuk
berpijak ke dunia dan sebagai metode untuk menyingkapkan hubungan-hubungan tetap di
antara fakta-fakta empiris.
Dalam karya Lévi-Strauss, kedua wajah antropologi itu saling mempengaruhi sehingga
memaksa sebuah konfrontasi langsung di antara keduanya lebih daripada (sebagaimana lebih
umum di antara para etnolog) saling menyingkirkan sehingga mencegah konfrontasi semacam
itu dan tekanan-tekanan batin yang terjadi bersamaan dengannya. Dimensi-dimensi spiritual
dari perju mpaan Lévi-Strauss dengan objek studinya, yaitu dimensi yang menyelundup pada
orang-orang biadab yang dimaksudkan untuknya secara pribadi, khususnya mudah ditemukan,
karena ia telah merekam mereka dengan kefasihan melukiskan dalam sebuah karya. Walaupun
sangat jauh dari sebuah buku antropologi yang besar, atau malah sebuah buku yang luar biasa
bagus, karya tersebut tentu merupakan salah satu dari bukubuku terbagus yang pernah ditulis
oleh seorang antropolog.
Entah mengapa orang Prancis menyebut hewan tertentu "chien" dan dalam Bahasa
Inggris menyebutnya "dog", atau mengapa bahasa Inggris membentuk bentuk jamaknya
dengan menambahkan "s" dan bentuk Melayu dengan akar rangkap bukanlah jenis pertanyaan
ahli bahasa-ahli bahasa struktural. Itu adalah struktur yang dalam yang disusun kembali oleh
ahli bahasa dari manifestasi permukaannya. Satu bisa menjadi sadar akan kategori tata bahasa
seseorang dengan membaca linguistic risalah seperti halnya seseorang dapat menyadari
kategori budayanya dengan membaca yang etnologis.
III
Hal yang dibuat oleh Levi-Strauss untuk dirinya sendiri adalah sebuah mesin
kebudayaan yang keji. Mesin itu meleyapkan sejarah, mereduksi sentimen menjadi suatu
bayang-bayang intelek, dan menggantikan pikiran tertentu dari orang liar tertentu di hutan
tertentu dengan Pikiran Liar yang melekat dalam diri kita semua. Itu telah memungkinkannya
untuk menghindari kebuntuan yang dipimpin oleh ekspedisinya di Brasil kedekatan fisik dan
jarak intelektual -dengan apa yang mungkin selalu dia lakukan benar-benar menginginkan
kedekatan intelektual dan jarak fisik.
Fenomenologi menurut saya tidak dapat diterima, sejauh itu mendalilkan suatu
kontinuitas antara pengalaman dan kenyataan. kecenderungan pemikiran yang menemukan
pemenuhan dalam eksistensialisme, bagi saya hal itu merupakan kebalikan dari pikiran yang
benar, karena sifatnya yang memanjakan sikap terhadap ilusi subjektivitas. Ilmu Tinggi La
Pensee Sauvage dan Pencarian Heroik Tristes Tropiques adalah. di pangkalan. "transformasi
yang sangat sederhana.”
Lâvi-Strauss telah mampu mengubah hasrat romantis dari Tristes Tropiques menjadi
intelektualisme hipermodern La Pense; e Sauvage tentu saja merupakan pencapaian yang
mengejutkan. Tapi masih ada pertanyaan tersisa yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun,
seperti: Apakah ini perubahan dalam sains atau alkemia? Apakah "transformasi yang sangat
sederhana" yang menghasilkan teori umum tentang kekecewaan pribadi itu nyata atau sihir?
Apakah tulisan Levi-Strauss, seperti dia tampaknya mengklaim di halaman percaya diri LA
Pensee Sauvage, a prolegomenon untuk semua antropologi masa depan?

Anda mungkin juga menyukai