Anda di halaman 1dari 14

MODUL

MK. PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA


DALAM KEPERAWATAN (2 SKS)

Disajikan Pada Proses Belajar Mengajar Tingkat II Semester III


Program Studi Sarjana Keperawatan

Oleh
Ns. ABDUL GOWI, M.Kep., Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KHARISMA KARAWANG
JALAN PANGKAL PERJUANGAN KM. 1 BY PASS KARAWANG 41316
Kata Pengantar

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas petunjuk, rahmat dan
karunia-Nya, sehingga Modul Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan dapat diselesaikan
sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disegala bidang menyebabkan
arus komunikasi dan transportasi semakin meningkat dan hal tersebut sangat berpotensi
mempengaruhi kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Dampak dari meningkatnya arus
transportasi, dapat meningkatkan tingginya perpindahan penduduk dari desa ke kota, dari kota
ke kota yang lain bahkan dari satu negara ke negara yang lain. Selain itu tingginya kunjungan
turis asing dari satu negara ke negara yang lain, dapat berpotensi membawa bibit penyakit
seingga terjadinya penularan penyakit. Karena itu tidak jarang kita melihat klien yang dirawat
disetiap Rumah Sakit khususnya didaerah-daerah wisata tidak hanya penduduk
lokal/masyarakat Indonesia tetapi juga mereka yang berasal dari manca negara yang notebene
kebudayaan mereka sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat Indonesia.

Untuk itulah diperlukan materi psikososial dan budaya dalam keperawatan dimasukan
kedalam kurikulum pendidikan profesi Ners, agar mahasiswa dapat dibekali dengan ilmu dan
keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien berdasarkan pendekatan
psikososial dan budaya.

Modul ini berisi materi tentang konsep psikososial dalam praktik keperawatan yang mencakup
konsep diri, kesehatan spiritual, seksualitas, stress adaptasi, konsep kehilangan, kematian dan
berduka, konsep teoritis Antropologi kesehatan mencakup kebudayaan, masyarakat rumah
sakit dan kebudayaan, etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan perilaku pasien,
respoon sakit/nyeri pasien serta konsep globalisasi dan perspektif transkultural, diversity
dalam masyarakat, teori culture care leininger,pengkajian budaya, aplikasi transkultural
nursing sepanjang daurkehidupan manusia, aplikasi keprawatan transkultural dalam berbagai
masalaha kesehatan pasien.

Semoga Modul ini dapat membantu mahasiswa dan memberi inspirasi dalam menerapkan
penyusunan asuhan keperawatan dengan pendekatan konsep psikososial dan budaya dari setiap
klien yang dirawat di Rumah Sakit maupun di Puskesmas dan semoga dapat bermanfaat bagi
para pembaca khususnya mahasiswa.
Penulis,
A. Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar......................................................................i
Kata Pengantar.................................................................................................... ii
Standar kompetensi ..............................................................................................
Deskripsi Umum
Peta kedudukan modul ..........................................................................................
Petunjuk penggunaan modul .................................................................................
Glosarium ...........................................................................................................

B. Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti mata kulian ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep
psikososial dalam praktik keperawatan, konsep antropologi kesehatan dan dapat
menerapkan keperawatan transkultural dalam membuat asuhan keperawatan pada klien
dengan baik dan benar.

C. Deskripsi Umum
Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep psikososial dalam praktik keperawatan yang
mencakup konsep diri, kesehatan spiritual, seksualitas, stress adaptasi, konsep kehilangan,
kematian dan berduka, konsep teoritis Antropologi kesehatan mencakup kebudayaan,
masyarakat rumah sakit dan kebudayaan, etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan
perilaku pasien, respoon sakit/nyeri pasien serta konsep globalisasi dan perspektif
transkultural, diversity dalam masyarakat, teori culture care leininger,pengkajian budaya,
aplikasi transkultural nursing sepanjang daurkehidupan manusia, aplikasi keprawatan
transkultural dalam berbagai masalaha kesehatan pasien.
Proses belajar memberikan pangalaman pemahaman tentang psikososial dan budaya dalam
keperawatan melalui kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah, tanya
jawab, diskusi, penugasan, jigsaw, round club, student facilitator.

D. Peta Kedudukan Modul


.................................................................................................................
E. Petunjuk Penggunaan Modul
Untuk lebih cepat memahami materi yang terdapat dalam modul ini, setiap mahasiswa
perlu mencermati beberapa petunjuk penggunaan sebagai berikut :
1. Siapkan hati dan pikiran kita untuk memulai dan mempelajari setiap pokok bahasan
yang terdapat modul ini
2. Jangan tergesa-gesa membaca materi yang ada dalam modul ini, sebaliknya bacalah
setiap item yang terdapat dalam modul ini dengan cermat, sehingga apa makna
yangterkandung dalam setiap pokok dan sub pokok bahasan dapat dimengerti dengan
baik dan benar
3. Pada saat saudara membaca modul ini, siapkan terlebih dahulu alat tulis dan buku
catatan, sehingga ketika saudara membaca dan menemukan ada hal-hal penting, maka
saudara segera mencatat dalam buku catatan yang sudah disiapkan
4. Jika menemukan istilah yang tidak dimengerti, silahkan cari di kamus dan atau
diinternet sehingga saudara dapat mengerti maksud dari istilah tersebut
5. Sebaiknya ketika saudara membaca modul ini, ajaklah teman saudara sebagai teman
untuk berdiskusi sehingga materi yang dibaca dapat dipahami dan dapat dijelaskan
kepada teman atau kepada dosen pada saat dilakukan quis
6. Jika ada materi yang tidak dapat dipahami setelah berdiskusi dengan teman-teman,
catatlah materi tersebut untuk selanjutnya dapat ditanyakan kepada dosen pengampu
mata kuliah pada saat dikelas.
7. Buatlah rangkuman materi untuk setiap pokok dan sub pokok bahasan untuk membantu
memudahkan saudara mendalami materi.
8. Khuusus untuk pokok bahasan tentang asuhan keperawatan berbasis transkultural
hendaknya saudara melatih diri dengan membuat kasus-kasus semu dan atau kasus
nyata hasil pangkajian saudara dilahan praktik.

F. Glosarium
...................................................................................................................
KEGIATAN PEMEBELAJARAN 6 & 7
Etiologi Penyakit, Persepsi Sehat Sakit, Peran Dan Perilaku Pasien,
Respon Sakit/Nyeri Pasien

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang etiologi penyakit mencakup pengertian dan
konsep penyakit, konstruksi sosial mengenai penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan
perilaku pasien, respon sakit/nyeri pasien.

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian dan etiologi penyakit, konstruksi sosial mengenai
penyakit
b. Mampu menjelaskan persepsi sehat sakit
c. Mampu peran dan perilaku pasien
d. Mampu menjelaskan respon sakit/nyeri pasien

B. Penyajian
1. Uraian Materi
a. Pandangan social/budaya tentang penyakit

Dalam sosiologi terdapat perbedaan pandangan antara desease dan illness. Menurut
Conread dan Kern, disease adalah merupakan gejala fiisiologi yang mempengaruhi
tubuh. Sedangkan illness adalah gejala sosial yang menyertai atau mengelilingi
disease. Masyarakat beranggapan bahwa penyakit merupakan produk dari budaya
(Geest)

b. Konstruksi social mengenai penyakit

Conread dan Kern menjelaskan bahwa penyakit merupakan konstruksi budaya.


Contohnya adalah perempuan sebagai mahluk lemah dan tidak rasional yang
terkungkung oleh factor khas keperempuanan sepertiorgan reproduksi dan keadaan
jiwa mereka, kecendrungan untuk mengkonstruksikan sindrom premenstruasi dan
menopause sebagai gangguan kesehatan yang memerlukan terapi khusus.

c. Persepsi sehat sakit

Persepsi masyarakat tentang kejadian penyakit berbeda antara daerah yang satu
dengan lainnya, karena tergantung dari kebudayaan yang ada di masyarakat
tersebut. Hal ini dapat turun dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Contoh
persepsi masyarakat tentang penyakit Malaria. Masyarakat Papua; makanan
pokoknya adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa dan tidak jauh dari situ
ada hutam lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik
penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuan.
Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian dan
lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi,
menggigil dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuuh dengan cara meminta
ampun kepada penguasa hutan, kkemudian memetik daun daripohon tertentu yang
dapat dibuat ramuan untuk diminum dan dioleskan keseluruh tubuh penderita.
Pendapat lain bahwa penyakitadalah kutukan Allah, mahluk gaib, roh-roh jahat,
udara busuk, tanaman berbisa, binatang dan sebagainya.

Pandangan orang tentang criteria tubuh sehat atau sakit tidak selalu bersifat
obyektif, karena itu petugas kesehatan harus berusaha sedapat mungkin
menerappkan criteria medis secara obyektif berdasarkan gejala yang tampak guuna
mendiagnosa kondisi fisikk individu.

Perilaku sakit adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu agar
memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang
dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk
ppencegahan penyakit, perawatankebersihan diri, penjagaan kebugaran dan
makanan bergizi. Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yangmerasa dirinya
sehat meskipun secara medis belum tentu mereka sehat.

d. Peran dan perilaku Pasien

Tinkahlaku dan peranan seseorang merupakan suatu hal yang selalu mengikuti
kemanapun dalam setiap kejadian kehidupan, bahkan tingkah laku dan peranan
biasanya terjadi karena merupakan suatu respons terhadap keadaan tertentu.
Demikian pula kejadian sakit dan penyakit telah memicu respons tingkah laku dan
peran yang berbeda pada diri seseorang.
Mecahanic dan Volkhart(1961)mendefinisikan tingkah laku sakit sebagai suatu
cara-cara dimana gejala-gejala ditanggapi, dievaluasi dan diperankan oleh seorang
individu yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari fungsi
tubuh yang kurang baik.
Tingkah laku sakit dapat terjadi tanpa peranan sakit dan peranan pasien.
Seorang dewasa yang bangun tidur dengan leher sakit menjalankan peranan sakit,
maka ia harus memutuskan apakah ia akan minum aspirin dan mengharapkan
kesembuhan atau memanggil dokter.
Namun demikian ini bukanlah tingkah laku sakit, hanya apabila penyakit itu telah
didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan seseorang tersebut tidak
dapat melakukan sebagaian atau seluruh peranana normalnya yang berarti
mengurangi dan memberikan tuntutan tambahan atas tingkah laku peranan orang-
orang di sekelilinngnya, maka barulah dikatakn bahwa seseorang itu melakukan
peranan sakit.
Apabila kemudian dokter dihubungi dan si individu bertindak menurut instruksinya
maka peranan pasien itu menjadi kenyataan.
Tingkah laku sakit, peranana sakit dan peranana pasien sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor Seperti Kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku di suatu
tempat.
Dalam mempelajari tingkah laku sakit, penting bagi kita untuk mengingat pesan
Von Mering, bahwa”studi yang mengenai makhluk manusia yang sakit berperan
bahwa setiap individu hidup dengan gejala-gejala maupun konsekuensi penyakit,
dalam aspek-aspek fisik, mental, aspek budaya dan aspek sosialnya. Untuk
meringankan penyakitnya, si sakit terlibat dalam rangkaian proses pemecahan
masalah yang bersifat internal maupun eksternal baik yang spesifik maupun yang
non spesifik”(Von Mering 1970:1972-273).

Ciri-ciri orang yang bertingkah laku sakit:


1) Merasa kurang enak badan.
2) Fungsi tubuh yang kurang baik.
3) Kurangnya nafsu makan.
4) Suhu tubuh tidak normal,dll.
Tingkah laku sakit dapat terjadi tanpa peranan sakit dan peranan pasien. Seseorang
dewasa yang baru bangun tidur dengan leher sakit menjalankan peranan sakit,
maka ia harus memutuskan apakah ia akan minum obat dan mengharapkan
kesembuhan atau memanggil dokter. Namun demikian, ini bukanlah tingkah laku
sakit hanya apabila penyakit itu telah didefinisikan secara cukup serius sehingga
menyebabkan seseorang tersebut tidak dapat melakukan sebagian atau seluruh
peranan normalnya yang berarti mengurangi dan memberikan tuntutan atas tingkah
laku peranan orang-orang disekelilingnya, maka barulah dikatakan bahwa
seseorang itu melakukan peranan sakit.
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku disuatu
tempat.
Contoh tingkah laku sakit, sebagai berikut:
1) Bangsa Jepang

Pada periode 1996-1998 di RS Medistra Jakarta pada beberapa pasien berwarga


Negara Jepang. Tampak pasien segera berespon dengan perubahan sakit yang
terjadi pada dirinya. Sesuai dengan disiplin waktu yang sudah menjadi
tradisinya, pasien sering meminta schedul tindakan keperawatan terhadap
dirinya dan membuat perjanjian apabila terjadi perubahan kondisi (kondisi
perubahan suhu yang sering naik, turun, pada pasien DHF ), pasien akan
memanggil perawat untuk memeriksa suhu tubuhnya. Perawat harus
memberitahu hal-hal atau tindakan yang mendadak misalnya, visite dokter tiba-
tiba datang. Dalam menghadapi perubahan-perubahan kesehatan ia ingin segera
mendapatkan tanggapan dari para dokter dan perawat. Apabila dia sudah di
tanggapi oleh dokter dan perawat pasien merasa tenang.
Dari observasi diatas, pasien Jepang merupakan tipe Public Pain dimana rasa
sakit yang mereka rasakan ingin segera ditangani dan memerlukan penjelasan
atau concern dari perawat maupun dokter yang menanganinya.
2) Masyarakat Manado

Pasien yang dirawat dengan keluhan sakit pada area perut kanan di IGD RS
PERSAHABATAN pada tanggal 8 Desember 1998. Pasien Manado ingin segera
ditangani secepatnya. Karena RS Persahabatan merupakan RS pemerintah yang
sarananya serba terbatas, maka sulit untuk memenuhi semua keinginan pasien.
Dari segi penampilan pasien dan keluarga nampak bagus dan rapi. Pasien juga
sering mengeluh dan mengerang-erang kesakitan serta memanggil-manggil
perawat untuk segera ditangani.
Penjelasan dari perawat sering diabaikan dan meminta penjelasan langsung dari
dokter. Setelah diberi penjelasan dari dokter, pasien malahan lebih sering
mengeluh dan menuntut penatalaksanaan secepatnya tanpa memperdulikan
proses penyakitnya dan prosedur penanganan karena keterbatasan alat dan
tenaga, tindakan tidak bisa dilakukan dengan segera. Keluarga pasien
menyatakan complain pada pelayanan yang diberikan dan pasien dengan suara
merintih meminta segera di pindahkan ke Rumah Sakit yang lebih memadai.
Perawat kemudian menyarankan rujukan ke RS swasta.
Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Manado merupakan tipe Public
Pain dimana mereka meminta perhatian yang berlebih dari perawat maupun
dokter serta menginginkan yang terbaik buat mereka.
3) Masyarakat Bali
Pasien di Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada periode tahun 1995-1996 di
beberapa ruangan rawat inap.
Pasien Bali dalam menghadapi perawatan terhadap dirinya jarang meminta
perhatian lebih dari perawat atau dokter teteapi mereka akan sangat
berterimakasih bila diperhatikan secara sewajarnya. Kehidupan beragama yang
begitu kental membuat setiap pasien selalu meminta tempat untuk
menghanturkan sesajen di samping tempat tidurnya. Jika lupa atau terlambat,
mereka biasanya merasa tidak enak. Sesajen biasanya dihaturkan oleh keluarga
pasien untukm meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.Kebersamaan adat yang kental membuat Rumah Sakit terkadang dipenuhi
oleh sanak saudara dan anggota banjar (sejenis RW dengan ikatan yang kuat)
dari pasien yang bersangkutan. Kehadiran sanak saudara bagi pasien merupakan
suatu kebahagiaan dan kebanggaan karena disanalah kualitas hubungan si pasien
dengan masyarakat komunitasnya. Bila sedikit yang datang mengunjungi
malahan pasien akan sangat bersedih. Dan itu tentui akan menghambat proses
kesembuhan si pasien.
Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Bali merupakan tipe Private Pain
dimana mereka mempunyai perasaan berterimakasih yang sangat besar. Bila
pasien merasa puas akan pelayanan yang diberikan kepadanya, tidak jarang
pasien memberikan oleh-oleh atau hadiah kepada perawat atau dokter yang
menanganinya. Bahkan setelah pasien sembuh banyak pasien menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan perawat atau dokter yang merawatnya

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri
yang dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat
meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri dan
mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke).
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik
dan sering dapat diperkirakan. Kenyataannya, setiap orang mempunyai jaras nyeri
yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada
intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor
yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional,
pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan
pasien. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri,
sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat
menahan nyeri sebelum memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk
mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan,
marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-
obatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone &
Burke).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:


1) Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Lebih berpengalarnan individu dengan nyeri yang dialami, makin takut
individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh
nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri;
akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi
lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mencrima
peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu dengan pengalaman
nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan
pengobatannva tidak adekuat (Smeltzer & Bare).
Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat, tidak menyadari
seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti. Umumnya, orang yang
sering mengalami nyeri dalam hidupnya, cenderung mengantisipasi terjadinya
nyeri yang lebih hebat (Taylor & Le Mone).

2) Kecemasan
Toleransi nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat ditoleransi lagi, beragam diantara
individu. Toleransi nyeri menurun akibat keletihan, kecemasan, ketakutan akan
kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi sosial, perubahan dalarn identitas
peran, kehilangan kemandirian dan pengalarnan masa lalu (Smeltzer & Bare).
Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara
langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman
dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan
kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah
mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi tentang hasil
yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak obat-obatan untuk
nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur operasi yang sama tetapi
tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi lebih buruk ketika
kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le Mone).
Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak
seluruhnya benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan yang relevan atau
berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri
(Smeltzer & Bare).
Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan pasien
menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan
neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan
saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone
& Burke).
Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus
rafe magnus dan lokus seruleus. Ia berperan dalam sistem analgetik otak.
Serotonin menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis mensekresi
enkefalin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan . Jadi,dpresinaptik
dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan A sistem analgetika ini
dapat memblok sinyal nyeri pada tempat masuknya ke medulla spinalis
(Guyton).
Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari
stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya
faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu
dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya
a ktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin
dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bµ,re,).

3) Umur
Umur dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau ada sejak
dilahirkan (Poerwadarminta). Menurut Ramadhan (2001), umur adalah usia
individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.
Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses
penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di
lain pihak, normalnya kondisi nycri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan
sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami
perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori
stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis
yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan,
kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf
normal (Le Mone & Burke).
Menurut Giuffre, dkk. (1991), cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda
dengan cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia
mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap
massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya
analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia.
Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan
patologis berkaitan dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes), akan tetapi
pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Smeltzer
& Bare).
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah
kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia cenderung
mengabaikan lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan
karena sebagian dari mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan
normal. Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan karena
mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius. Penilaian tentang
nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan
pereda ketimbang didasarkan pada usia (Smeltzer & Bare).
4. Jenis Kelamin
Menurut Oakley (1972) jenis kelarnin (sex) merupakan perbedaan yang telah
dikodratkan Tuhan, oleh sebab itu, bersifat permanen. Perbedaan antara laki-laki
dan perempuan tidak sekadar bersifat biologis, akan tetapi juga dalam aspek
sosial kultural. Perbedaan secara sosial kultural antara laki-laki dan perempuan
merupakan dampak dari sebuah proses yang membentuk berbagai karakter sifat
gender. Perbedaan gender antara manusia berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-
perbedaan gender disebabkan oleh berbagai faktor terutarna pembentukan,
sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi baik secara sosial kultural,
melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar & Anshari).
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan
tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu
ternyata erat hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu.
Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang
berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan
dalam perbedaan jenis kelarnin (Noor).
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dapat belajar dengan
cepat untuk mengabaikan nyeri daripada mengeksploitasi nyeri untuk
rnemperoeh perhatian dan pelayanan dari anggota keluarga. Anak-anak
mungkin belajar bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam mengekspresikan nyeri. Anak perempuan boleh pulang ke rumah sambil
menangis ketika lututnya terluka, sedangkan anak laki-laki diberitahu untuk
berani dan tidak menangis. Laki-laki dan perempuan dewasa mungkin
berpegang pada pengharapan gender ini sehubungan dengan komunikasi nyeri
(Taylor & Le Mone).
Dalam banyak budaya, laki-laki merupakan figur yang dominan. Dalam budaya
yang menganut paham ini, laki-laki membuat keputusan untuk anggota keluarga
lain seperti halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya dimana laki-laki
merupakan figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif. Dalam
keluarga Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering
menjadi figur yang dominan (Taylor & Le Mone).
Pengetahuan tentang anggota keluarga yang dominan sangat penting sebagai
bahan pertimbangan untuk rencana keperawatan. Jika anggota keluarga dominan
yang sakit maka kemungkinan anggota keluarga lain akan menjadi cemas dan
bingung. Jika anggota keluarga non dominan yang sakit, maka ia akan meminta
pertolongan secara verbal (Taylor & Le Mone).
Pada tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian tentang nyeri pada wanita dan
mengusulkan implikasi untuk praktik klinik. Meskipun penelitian tidak
menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan
nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan
lebih suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima
analgesik opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Taylor & Le
Mone).

5. Sosial Budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku, dan nilai
keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi individu
terhadap nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya mungkin
ditunjukkan oleh budaya yang lain (Taylor & Le Mane).
Menurut Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan etniksitas mempunyai
pengaruh pada cara seseorang bereaksi terhadap nyeri (bagaimana nyeri
diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri). Namun,
budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer & Bare).
Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami
mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu
kita untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan
dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan
mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih
akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif
dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare).

6. Nilai Agama
Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara
untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi
nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini
mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan
mengurangi persembahan mereka (Taylor & Le Mane).

7. Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat


Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri
seseorang. Banyak orang yang merasa lingkungan pelayanan kesehatan yang
asing, khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang sama di ruang perawatan
intensif, dapat menambah nyeri yang dirasakan.
Pada beberapa pasien, kehadiran keluarga yang dicintai atau teman bisa
mengurangi rasa nyeri mereka, namun ada juga yang lebih suka menyendiri
ketika merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk
rnemperoleh perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le
Mone).

3. Daftar Pustaka
Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli
kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi etiologi penyakit, persepsi sehat sakit,
peran dan perilaku pasien, respon sakit/nyeri pasien
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan etiologi penyakit, persepsi
sehat sakit, peran dan perilaku pasien, respon sakit/nyeri pasien.

C. Penutup
1. Evaluasi danKunci Jawaban
a. Jelaskan pandangan masyarakat tentang etiologi penyakit, konstruksi sosial mengenai
penyakit
b. Jelaskan persepsi sehat sakit menurut menurut masyarakat
c. Jelaskan peran dan perilaku pasien ketika mereka sakit
d. Jelaskan bagaimana respon sakit/nyeri pasien

2. Lembar Kejra Mahasiswa .

Mata Kuliah ......................


Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%

Anda mungkin juga menyukai