Anda di halaman 1dari 23

MODUL

MK. PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM


KEPERAWATAN (2 SKS)

Disajikan Pada Proses Belajar Mengajar Tingkat II Semester III Program


Studi Sarjana Keperawatan

Oleh
Ns. ABDUL GOWI, M.Kep., Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KHARISMA KARAWANG
JALAN PANGKAL PERJUANGAN KM. 1 BY PASS KARAWANG 41316
Kata Pengantar

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas petunjuk, rahmat dan
karunia-Nya, sehingga Modul Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan dapat diselesaikan
sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disegala bidang menyebabkan
arus komunikasi dan transportasi semakin meningkat dan hal tersebut sangat berpotensi
mempengaruhi kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Dampak dari meningkatnya arus
transportasi, dapat meningkatkan tingginya perpindahan penduduk dari desa ke kota, dari kota
ke kota yang lain bahkan dari satu negara ke negara yang lain. Selain itu tingginya kunjungan
turis asing dari satu negara ke negara yang lain, dapat berpotensi membawa bibit penyakit
seingga terjadinya penularan penyakit. Karena itu tidak jarang kita melihat klien yang dirawat
disetiap Rumah Sakit khususnya didaerah-daerah wisata tidak hanya penduduk
lokal/masyarakat Indonesia tetapi juga mereka yang berasal dari manca negara yang notebene
kebudayaan mereka sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat Indonesia.

Untuk itulah diperlukan materi psikososial dan budaya dalam keperawatan dimasukan
kedalam kurikulum pendidikan profesi Ners, agar mahasiswa dapat dibekali dengan ilmu dan
keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien berdasarkan pendekatan
psikososial dan budaya.

Modul ini berisi materi tentang konsep psikososial dalam praktik keperawatan yang mencakup
konsep diri, kesehatan spiritual, seksualitas, stress adaptasi, konsep kehilangan, kematian dan
berduka, konsep teoritis Antropologi kesehatan mencakup kebudayaan, masyarakat rumah
sakit dan kebudayaan, etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan perilaku pasien,
respoon sakit/nyeri pasien serta konsep globalisasi dan perspektif transkultural, diversity
dalam masyarakat, teori culture care leininger,pengkajian budaya, aplikasi transkultural
nursing sepanjang daurkehidupan manusia, aplikasi keprawatan transkultural dalam berbagai
masalaha kesehatan pasien.

Semoga Modul ini dapat membantu mahasiswa dan memberi inspirasi dalam menerapkan
penyusunan asuhan keperawatan dengan pendekatan konsep psikososial dan budaya dari
setiap klien yang dirawat di Rumah Sakit maupun di Puskesmas dan semoga dapat bermanfaat
bagi para pembaca khususnya mahasiswa.
Penulis,
A. Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar ...................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................................... ii Standar
kompetensi ..............................................................................................
Deskripsi Umum
Peta kedudukan modul ..........................................................................................
Petunjuk penggunaan modul .................................................................................
Glosarium ...........................................................................................................

B. Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti mata kulian ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep
psikososial dalam praktik keperawatan, konsep antropologi kesehatan dan dapat
menerapkan keperawatan transkultural dalam membuat asuhan keperawatan pada klien
dengan baik dan benar.

C. Deskripsi Umum
Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep psikososial dalam praktik keperawatan yang
mencakup konsep diri, kesehatan spiritual, seksualitas, stress adaptasi, konsep kehilangan,
kematian dan berduka, konsep teoritis Antropologi kesehatan mencakup kebudayaan,
masyarakat rumah sakit dan kebudayaan, etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan
perilaku pasien, respoon sakit/nyeri pasien serta konsep globalisasi dan perspektif
transkultural, diversity dalam masyarakat, teori culture care leininger,pengkajian budaya,
aplikasi transkultural nursing sepanjang daurkehidupan manusia, aplikasi keprawatan
transkultural dalam berbagai masalaha kesehatan pasien.
Proses belajar memberikan pangalaman pemahaman tentang psikososial dan budaya dalam
keperawatan melalui kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah, tanya
jawab, diskusi, penugasan, jigsaw, round club, student facilitator.

D. Peta Kedudukan Modul


.................................................................................................................
E. Petunjuk Penggunaan Modul
Untuk lebih cepat memahami materi yang terdapat dalam modul ini, setiap mahasiswa
perlu mencermati beberapa petunjuk penggunaan sebagai berikut :
1. Siapkan hati dan pikiran kita untuk memulai dan mempelajari setiap pokok bahasan
yang terdapat modul ini
2. Jangan tergesa-gesa membaca materi yang ada dalam modul ini, sebaliknya bacalah
setiap item yang terdapat dalam modul ini dengan cermat, sehingga apa makna
yangterkandung dalam setiap pokok dan sub pokok bahasan dapat dimengerti dengan
baik dan benar
3. Pada saat saudara membaca modul ini, siapkan terlebih dahulu alat tulis dan buku
catatan, sehingga ketika saudara membaca dan menemukan ada hal-hal penting, maka
saudara segera mencatat dalam buku catatan yang sudah disiapkan
4. Jika menemukan istilah yang tidak dimengerti, silahkan cari di kamus dan atau
diinternet sehingga saudara dapat mengerti maksud dari istilah tersebut
5. Sebaiknya ketika saudara membaca modul ini, ajaklah teman saudara sebagai teman
untuk berdiskusi sehingga materi yang dibaca dapat dipahami dan dapat dijelaskan
kepada teman atau kepada dosen pada saat dilakukan quis
6. Jika ada materi yang tidak dapat dipahami setelah berdiskusi dengan teman-teman,
catatlah materi tersebut untuk selanjutnya dapat ditanyakan kepada dosen pengampu
mata kuliah pada saat dikelas.
7. Buatlah rangkuman materi untuk setiap pokok dan sub pokok bahasan untuk membantu
memudahkan saudara mendalami materi.
8. Khuusus untuk pokok bahasan tentang asuhan keperawatan berbasis transkultural
hendaknya saudara melatih diri dengan membuat kasus-kasus semu dan atau kasus
nyata hasil pangkajian saudara dilahan praktik.

F. Glosarium
...................................................................................................................
KEGIATAN PEMEBELAJARAN 2 & 3
Konsep Seksual, Konsep Stres Adaptasi, Konsep Kehilangan, Kematian Dan Berduka
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep seksualitas mencakup : pengertian, sikap
terhadap seksualitas, respon seksual, kehamilan dan seksualitas, masalah yang
berhubungan dengan seksualitas, seksualitas dalam keperawatan, konsep stres adaptasi
mencakup : pengertian, manifestasi stress, factor yang mempengaruhi, adaptasi,
proses keperawatan stress management untuk perawat.

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian seksualitas
b. Mampu menjelaskan respon seksual
c. Mampu menjelaskan kehamilan dan seksualitas
e. Mampu menjelaskan masalah yang berhubungan seksualitas
f. Mampu menjelaskan seksualitas dalam keperawatan
g. Mampu menjelaskan pengertian stres adaptasi
h. Mampu menjelaskan manifestasi stres
i. Mampu menjelaskan faktor penyebab stres
j. Mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi stres
k. Mampu menyusun proses keperawatan stres mamagement.

B. Penyajian 1. Uraian Materi Seksualitas


a. Pengertian seksualitas
Seksualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang
berhubungan dengan alat reproduksi. (Stevens: 1999). Sedangkan menurut WHO
dalam Mardiana (2012) seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang
kehidupannya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual,
erotisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi.
Seksualitas adalah komponen identitas personal individu yang tidak terpisahkan
dan berkembang dan semakin matang sepanjang kehidupan individu. Seksualitas
tidak sama dengan seks. Seksualitas ialah interaksi faktor-faktor biologis, psikologi
personal, dan lingkungan. Fungsi biologis mengacu pada kemampuan individu
untuk memberi dan menerima kenikmatan dan untuk bereproduksi. Identitas dan
konsep diri seksual psikologis mengacu pada pemahaman dalam diri individu
tentang seksualitas seperti citra diri, identifikasi sebagai pria atau wanita, dan
pembelajaran peran-peran maskulin atau feminin. Nilai atau aturan sosio budaya
membantu dalam membentuk individu berhubungan dengan dunia dan bagaimana
mereka memilih berhubungan seksual dengan orang lain. (Bobak: 2004) 2 aspek
seksualitas:
1. Seksualitas dalam arti sempit
Dalam arti sempit seks berarti kelamin. Yang termasuk dalam kelamin adalah
sebagai berikut:
a. Alat kelamin itu sendiri
b. Kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya
alat kelamin
c. Anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah lainnya yang membedakan laki-laki dan
perempuan
d. Hubungan kelamin
2. Seksualitas dalam arti luas
Segala hal yang terjadi akibat dari adanya perbedaan jenis kelamin antara lain:
a) Perbedaan tingkah laku: lembut, kasar, genit, dll
b) Perbedaan atribut: pakaian, nama, dll
c) Perbedaan peran. (Mardiana: 2012)
b. Fungsi Seksualitas
1) Kesuburan
Pada beberapa kebudayaan, seorang wanita muda mungkin merasakan adanya
keinginan yang kuat untuk membuktikan kesuburannya bahkan walaupun ia
sebenarnya belum menginginkan anak pada tahap kehidupannya saat itu. Ini
adalah macam masyarakat yang secara tradisional wanita hanya dianggap layak
dinikahi apabila ia sanggup membuktikan kesuburannya.
2) Kenikmatan
Mungkin pendorong primer atau mendasar perilaku seksual adalah kenikmatan
atau kesenangan yang dirasakan yaitu suatu kombinasi kenikmatan sensual dan
kenikmatan khas seksual yang berkaitan dengan orgasme.
3) Mempererat ikatan dan meningkatkan keintiman pasangan
Dalam suatu pertalian seksual yang ekslusif, pasangan melakukan secara
bersama-sama hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan dengan orang lain. Ini
adalah esensi dari keintiman seksual. Efektivitas seks dalam memperkuat
keintiman tersebut berakar dari risiko psikologis yang terlibat; secara khusus,
resiko ditolak, ditertawakan, mendapati bahwa dirinya tidak menarik, atau
kehilangan kendali dapat memadamkan gairah pasangan.
4) Menegaskan maskulinitas atau feminitas
Sepanjang hidup kita, terutama pada saat-saat identitas gender terancam karena
sebab lain (mis., saat menghadapi perasaan tidak diperlukan atau efek penuaan),
kita mungkin menggunakan seksualitas untuk tujuan ini.
5) Meningkatkan harga diri
Merasa secara seksual bagi orang lain, atau berhasil dalam upaya seksual, secara
umum dapat meningkatkan harga diri.
6) Mencapai kekuasaan atau dominasi dalam hubungan
Kekuasaan (power) seksualitas cenderung dianggap sebagai salah satu aspek
maskulinitas, dengan pria, baik karena alasan sosial maupun fisik, biasanya berada
dalam posisi dominan. Namun, seks dapat digunakan untuk mengendalikan
hubungan baik oleh pria dan wanita dan karenanya sering merupakan aspek penting
dalam dinamika hubungan. Kekuasaan tersebut mungkin dilakukan dengan
mengendalikan akses ke interaksi seksual, menentukan bentuk pertalian seksual
yang dilakukan, dan apakah proses menimbulkan efek positif pada harga diri
pasangan. Sementara dapat terus menjadi faktor dalam suatu hubungan yang sudh
berjalan, hal ini juga merupakan aspek yang penting dan menarik dalam perilaku
awal masa “berpacaran”. 7) Mengungkapkan permusuhan
Aspek penting dalam masalah “dominasi” pada interaksi seksual pria-wanita
adalah pemakaian seksualitas untuk mengungkapkan permusuhan. Hal ini
paling relevan dalam masalah perkosaan dan penyerangan seksual. Banyak
kasus penyerangan atau pemaksaan seksual dapat dipandang sebagai perluasan
dari dominasi atau kekuasaan, biasanya oleh pria terhadap wanita. Juga terdapat
keadaan-keadaan dengan penyerangan seksual dapat dipahami sebagai suatu
ungkapan kemarahan, baik terhadap wanita itu sendiriatau terhadap wanita itu
sebagai pengganti wanita lain.
8) Mengurangi ansietas atau ketegangan
Menurunnya gairah yang biasanya terjadi setelah orgasme dapat digunakan
sebagai cara untuk mengurangi ansietas atau ketegangan.
9) Pengambilan resiko
Interaksi seksual menimbulkan berbagai risiko, berkisar dari yang relatif ringan,
misalnya ketahuan, sampai serius misalnya hamil atau infeksi menular seksual.
Adanya resiko tersebut menjadi semakin bermakna dan mengganggu dengan
terjadinya epidemi HIV dan AIDS. Bagi sebagian besar orang, kesadaran adanya
resiko akan memadamkan respon seksual sehingga mereka mudah menghindari
resiko tersebut. Namun, bagi beberapa individu, gairah yang berkaitan dengan
persepsi resiko malah meningkatkan respons seksual. Untuk individu yang
seperti ini, resiko seksual menjadi salah satu bentuk kesenangan yang dicari.
10. Keuntungan materi
Prostitusi adalah bentuk yang jelas dari aktivitas seksual untuk memperoleh
keuntungan dan hal ini sering merupakan akibat dari kemiskinan. Pernikahan,
sampai masa ini masih sering dilandasi oleh keinginan untuk memperoleh satu
bentuk perlindungan dan bukan semata mata ikatan emosional komitmen untuk
hidup bersama. ( Glasier: 2005 )
c. Kesehatan Seksualitas
Kesehatan seksual adalah kemampuan seseorang mencapai kesejahteraan fisik,
mental dan sosial yang terkait dengan seksualitas, hal ini tercermin dari ekspresi
yang bebas namun bertanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan sosialnya
misalnya dalam menjaga hubungan dengan teman atau pacar dalam batasan yang
diperbolehkan oleh norma dalam masyarakat atau agama. Bukan hanya tidak
adanya kecacatan, penyakit atau gangguan lainnya. Kondisi ini hanya bisa dicapai
bila hak seksual individu perempuan dan laki-laki diakui dan dihormati (BKKBN,
2006).
d. Pertumbuhan Dan Perkembangan Seks Manusia
Pertumbuhan dan perkembangan seks manusia disebut libido. Terdiri dari beberapa
tahap yaitu:
1) Tahap oral: Sampai mencapai umur sekitar 1-2 tahun, tingkat kepuasan seks
dengan menghisap puting susu ibu, dot botol, menghisap jari tangan, Dengan
bayi baru dapat tidur setelah disusui ibu, menghisap botol atau tidur sambil
menghisap jarinya. Oleh karena itu perilaku demikian tidak perlu dilarang.
2) Tahap anal: Kepuasan seks anak didapat melalui rangsangan anus saat buang air
besar, antara umur 3-4 tahun sering duduk lama ditoilet, sehingga kepuasannya
tercapai.
3) Tahap falik: Terjadi sekitar umur 4-5 tahun, dengan jalan mempermainkan alat
kelaminnya.
4) Tahap laten: Terjadi sekitar umur 6-12 tahun. Tingkah laku seksual seolah-olah
terbenam, karena mungkin lebih banyak bermain, mulai masuk sekolah, dan
adanya pekerjaan rumah dari sekolah, Sehingga anak-anak cepat lelah dan lekas
tertidur, untuk siap bangun pagi dan pergi ke sekolah.
5) Tahap genital: Umur anak sekaitar 12-15 tahun. Tanda seks sekunder mulai
berkembang dan keinginan seks dalam bentuk libido mulia tampak dan terus
berlangsung sampai mencapai usia lanjut. Suara mulai berubah, keinginan
dipuja dan memuja mulai muncul, keingian dicumbu dan mencumbu pun mulai
tampak. Saat ini masa yang sangat berbahaya, sehingga memerlukan perhatian
orang tua. Pada wanita telah mulai dating bulan (menstruasi) dan pria mulai
mimpi basah sehingga dapat menyebabkan kehamilan atau hamil bila mereka
melakukan hubungan seksual. Karena kematangan jiwa dan jasmani belum
mencapai tingkat dewasa, sehingga bila terjadi kehamilan yang tidak dihendaki,
memberikan
dampak kejiwaan yang sangat menyedihkan. (chandranita :2009)
Berkembangnya seksualitas dan pertalian seksual a) Remaja
Pada awal masa remaja, sebagian besar seksualitas berkaitan dengan
penegasan identitas gender dan harga diri. Pada saat awitan pubertas terjadi
perubahan-perubahan di tubuh yang berlangsung tanpa dapat diduga
sementara perubahan-perubahan hormon menimbulkan dampak pada
reaktivitas emosi.
b) Pasangan dan awal perkawinan
Setelah perkawinan dimulai, tantangannya adalah membangun rasa aman
dalam pertalian seksual yang juga mulai kehilangan pengaruh “pengalaman
barunya”. Pada tahap inilah membangun komunikasi yang baik menjadi
sangat penting untuk kelanjutan perkembangan pertalian seksual. Apabila
pasangan tidak mengembangkan cara-cara yang memungkinkan pasangannya
mengetahui apa yang mereka nikmati dan apa yang tidak menyenangkan
maka akan muncul masalah yang seharusnya dapat dihadapi dan dipecahkan.
c) Awal menjadi orang tua
Kehamilan, dan beberapa bulan setelah kelahiran, menimbulkan kebutuhan
lebih lanjut akan penyesuaian seksual. Wanita besar kemungkinannya
mengalami penurunan keinginan seksual dan kapasitas untuk menikmati seks
menjelang akhir kehamilnya karena terjadinya perubahan-perubahan fisik
dan mekanis. Periode pascanatal, karena berbagai alasan merupakan salah
satu periode saat munculnya kesulitan-kesulitan seksual yang apabila
pasangan obesitas belum mengembangkan metode-metode yang sesuai untuk
mengatasinya, dapat menimbulkan kesulitan berkepanjangan. Masalah jangka
panjang yang paling sering dalam hali ini adalah hilangnya gairah seksual
pihak wanita.
4) Usia paruh baya
Seksualitas pada hubungan yang sudah terjalin lama biasanya menghadapi
hambatan yang berbeda-beda. Pada tahap ini sesuatu yang baru dalam
hubungan seksual telah lama hilang. Bagi banyakorang halini tidak
menimbulkan masalah. Mereka telah mengembangkan bentuk kenyamanan
intimasiseksual lain yang tetap menjadi bagian integral dari hubungan
mereka. Tetapi bagi yang lain, kualitas hubungan seksual yang rutin ini akan
memakan korban. Pada keadaan seperti ini stress di tempat kerja misalnya
akan mudah menyebabkan kelelahan dan memadamkan semua antusiasme
spontan untuk melakukan aktivitas seksual. Hubungan intim menjadi jarang
dilakukan dan sebagai konsekuensinya dapat timbul ketegangan dalam
hubungan pasangan tersebut.
Pada kelompok yang lebih tua lagi masalah seksual yang kita hadapi
terutama adalah masalah ereksi pada pria dan hilangnya minat seksual pada
wanita. Proses penuaan memang menimbulkan dampak pada seksualitas
tetapi tentu tidak selalu negatif. Pasangan pada usia ini lebih kecil
kemungkinannya meminta pertolongan dalam konteks keluarga berencana
atau kesehatan reproduksi (Glasier: 2005)
e. Respon Seksualitas
Siklus respon seksual normal terdiri dari empat tahap yang terjadi berturut-
turut. “Normal” pada umumnya mengacu pada panjang siklus masing-masing
fase, dan hasil bercinta yang memuaskan. Empat tahapan siklus respon seksual
:
1) Fase kegembiraan adalah tahap pertama, yang dapat berlangsung dari
beberapa menit sampai beberapa jam. Beberapa karakteristik dari fase
kegembiraan meliputi:
a) Peningkatan ketegangan otot
b) Peningkatan denyut jantung
c) Perubahan warna kulit
d) Aliran darah ke daerah genital
e) Mulainya pelumasan Vagina
f) Testis membengkak dan skrotum mengencang
2) Fase plateau adalah fase yang meluas ke ambang orgasme. Beberapa
perubahan yang terjadi dalam fase ini meliputi: a) Fase kegembiraan
meningkat
b) Peningkatan pembengkakan dan perubahan warna vagina
c) Klitoris menjadi sangat sensitive
d) Testis naik ke dalam skrotum
e) Adanya peningkatan dalam tingkat pernapasan, denyut jantung, dan
tekanan darah
f) Meningkatnya ketegangan otot dan terjadi kejang otot
3) Fase orgasme adalah puncak dari siklus respons seksual, dan merupakan
fase terpendek, hanya berlangsung beberapa detik. Fase ini memiliki
karakteristik seperti berikut:
a) Kontraksi otot tak sadar
b) Memuncaknya denyut jantung, tekanan darah, dan tingkat pernapasan
c) Pada wanita, kontraksi otot vagina menguat dan kontraksi rahim
berirama
d) Pada pria, kontraksi otot panggul berirama dengan bantuan kekuatan
ejakulasi
e) Perubahan warna kulit ekstrem dapat terjadi di seluruh tubuh
4) Tahap terakhir, yang disebut fase resolusi, adalah ketika tubuh secara
perlahan kembali ke tingkat fisiologis normal. Fase resolusi ditandai dengan
relaksasi, keintiman,dan seringkali kelelahan. Sering kali perempuan tidak
memerlukan fase resolusi sebelum kembali ke aktivitas seksual dan
kemudian orgasme, sedangkan laki-laki memerlukan waktu pemulihan
sebelum orgasme selanjutnya. Seiring pertambahan usia laki-laki, panjang
dari fase refraktori akan sering meningkat.
f. Dimensi seksualitas
Seksualitasmemiliki dimensi-dimensi.Dimensi-dimensi Seksualitasseperti
sosiokultural,dimensi agamadanetik,dimensi psikologisdandimensi biologis (Perry
& Potter, 2005). Masing-masing dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Dimensi Sosiokultural
Seksualitas dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural yang menentukan
apakah perilaku yang diterima di dalam kultur. Keragaman kultural secara global
menciptakan variabilitas yang sangat luas dalam norma seksual dan menghadapi
spectrum tentang keyakinan dan nilai yang luas. Misalnya termasuk cara dan
perilaku yang diperbolehkan selama berpacaran, apa yang dianggap
merangsang, tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan dalam perilaku seksual,
dengan siapa seseorang menikah dan siapa yang diizinkan untuk menikah.
Setiap masyarakat memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk nilai
dan sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat perkembangan dan
ekspresi seksual anggotanya. Setiap kelompok sosial mempunyai aturan dan
norma sendiri yang memandu perilaku anggotanya.
Peraturan ini menjadi bagian integral dari cara berpikir individu dan
menggarisbawahi perilaku seksual, termasuk, misalnya saja, bagaimana
seseorang menemukan pasangan hidupnya, seberapa sering mereka melakukan
hubungan seks, dan apa yang mereka lakukan ketika mereka melakukan
hubungan seks.
2) Dimensi Agama dan etik
Seksualitas juga berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik. Ide
tentang pelaksanaan seksual etik dan emosi yang berhubungan dengan
seksualitas membentuk dasar untuk pembuatan keputusan seksual. Spektrum
sikap yang ditunjukan pada seksualitas direntang dari pandangan tradisional
tentang hubungan seks yang hanya dalam perkawinan sampai sikap yang
memperbolehkan individu menentukan apa yang benar bagi dirinya. Keputusan
seksual yang melewati batas kode etik individu dapat mengakibatkan konflik
internal.
3) Dimensi Psikologis
Seksualitas bagaimana pun mengandung perilaku yang dipelajari. Apa yang
sesuai dan dihargai dipelajari sejak dini dalam kehidupan dengan mengamati
perilaku orangtua. Orangtua biasanya mempunyai pengaruh signifikan pertama
pada anak-anaknya.
Mereka sering mengajarkan tentang seksualitas melalui komunikasi yang halus
dan nonverbal. Seseorang memandang diri mereka sebagai makhluk seksual
berhubungan dengan apa yang telah orangtua mereka tunjukan kepada mereka
tentang tubuh dan tindakan mereka. Orangtua memperlakukan anak laki-laki dan
perempuan secara berbeda berdasarkan jender.
4) Dimensi Biologis
Seksualitas berkaitan dengan pebedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
yang ditentukan pada masa konsepsi. Material genetic dalam telur yang telah
dibuahi terorganisir dalam kromosom yang menjadikan perbedaan seksual.
Ketika hormone seks mulai mempengaruhi jaringan janin, genitalia membentuk
karakteristik laki-laki dan perempuan. Hormon mempengaruhi individu kembali
saat pubertas, dimana anak perempuan mengalami menstruasi dan
perkembangan karakteristik seks sekunder, dan anak laki-laki mengalami
pembentukan spermatozoa (sperma) yang relatif konstan dan perkembangan
karakteristik seks sekunder.
g. Permasalahan Seksualitas
Adapun penyebab dari masalah seksualitas adalah antara lain:
1) Ketidaktahuan mengenai seks
Lebih dari 70% wanita di Indonesia tidak mengetahui dimana letak klitorisnya
sendiri. Sebuah hal yang sebenarnya sangat penting tetapi tidak diketahui oleh
banyak orang. Masalah ketidaktahuan terhadap seks sudah betul-betul merakyat.
Ini berpangkal dari kurangnya pendidikan seks yang sebagian besar dari antara
masyarakat tidak memperolehnya pada waktu remaja. Tidak jarang, pengetahuan
seks itu hanyalah sebatas informasi, bukan pendidikan. Itu terjadi karena mereka
tidak mendapatkan pendidikan seks di sekolah atau lembaga formal lainnya.
Akibatnya, keingintahuan soal seks didapatkannya dari berbagai media. Untuk
itu orang tua hendaknya memberikan pendidikan soal seks kepada anak-anaknya
sejak dini. Salah satunya dengan memisahkan anak-anaknya tidur dalam satu
kamar setelah berusia sepuluh tahun, sekalipun sama-sama perempuan atau
lakilaki. Demikian halnya dengan menghindarkan anak- anaknya mandi bersama
keluarga atau juga teman-temannya.
Orang tua harus menjawab jujur ketika anaknya bertanya soal seks. Jawaban-
jawaban yang diberikan hendaknya mudah dimengerti dan sesuai dengan usia si
anak. Karena itulah, orang tua dituntut membekali dirinya dengan pengetahuan-
pengetahuan tentang seks. Terlebih lagi, perubahan fisik dan emosi anak akan terjadi
pada usia 13 – 15 tahun pada pria dan 12 – 14 tahun pada wanita. Saat itulah yang
dinamakan masa pubertas yaitu masa peralihan dari masa anak-anak menjadi remaja.
Pada saat itu pula, mereka mulai tertarik kepada lawan jenisnya. 2) Kelelahan
Rasa lelah adalah momok yang paling menghantui pasangan pada jaman ini
dalam melakukan hubungan seks. Apalagi dengan meningkatnya tuntutan hidup,
sang wanita harus ikut bekerja di luar rumah demi mencukupi kebutuhan sehari-
hari. Pada waktu suami istri pulang dari kerja, mereka akan merasa lelah. Dan
pasangan yang sedang lelah jarang merasakan bahwa hubungan seks menarik
minat. Akhirnya mereka memilih untuk tidur. Kelelahan bisa menyebabkan
bertambahnya usaha yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan lawan jenis
dan merupakan beban yang membuat kesal yang akhirnya bisa memadamkan
gairah seks.
3) Konflik
Sebagian pasangan memainkan pola konflik merusak yang berwujud sebagai
perang terbuka atau tidak mau berbicara sama sekali satu sama lain. Konflik
menjadi kendala hubungan emosional mereka. Bahkan ini bisa menggeser
proses foreplay. Pasangan dapat mempertajam perselisihan mereka dengan
menghindari seks atau mengeluarkan ungkapan negatif atau membandingkan
dengan orang lain, yang sangat melukai perasaan pasangannya. Kemarahan dan
kecemasan yang tidak terpecahkan bisa menyebabkan sejumlah masalah seksual
antara lain masalah ereksi, hilang gairah atau sengaja menahan diri untuk tidak
bercinta. Perbedaan antara satu orang dan lainnya biasanya tidak baik dan tidak
juga buruk. Jadi haruslah dipandang hanya sebagai perbedaan. Kemarahan,
ketegangan atau perasaan kesal akan selalu menghambat gairah seks.
4) Kebosanan
Seperti halnya menggosok gigi atau menyetel alarm jam, seks bisa dianggap
seperti “kerja malam”. Hubungan seks yang rutin sebelum tidur sering menjadi
berlebihan sampai ke suatu titik yang membosankan. Yang mendasari rasa bosan
itu adalah kemarahan yang disadari atau tidak disadari karena harapan anda
tidak terpenuhi. Masalah ini diderita oleh kebanyakan pasangan yang sudah
hidup bersama bertahun-tahun. Sebagian pasangan yang sudah hidup bersama
untuk jangka waktu yang lama merasa kehilangan getaran kenikmatan yang
datang ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan yang baru. Orang
demikian melihat rayuan penguat ego, dibandingkan bila bersenggama dengan
mitra baru.
h. Membantu Kesulitan Seksual
Kemampuan yang dapat sangat membantu tidak hanya memfasilitasi pasien dalam
mengekspresikan kekhawatiran mereka mengenai kesulitan seksual, tetapi juga
dengan mendengarkan secara empati. Tidak jarang, ini merupakan pertama kali
pasien benar-benar mengutarakan masalah mereka dan mampu melakukannya,
makamasalah dan kemungkinan-kemungkinan penyebabnya lebih mudah dibawa ke
dalam perspektif. Pada banyak kasus, mungkin tidak tersedia informasi mengenai
respons seksual normal dan apa yang dapat diharapkan. Hal ini dapat dengan mudah
diperbaiki. Contoh-contoh umum adalah asumsi bahwa pasangan harus mencapai
orgasme bersama-sama atau bahwa pihak wanita harus mengalami orgasme hanya
melalui hubungan per vaginam.
Dengan cara berbicara dengan pasangan,kita dapat membantu mereka untuk lebih
memahami satu sama lain dan mengetahui arti pengalaman seksual bagi masing-
masing. Mendorong pasangan untuk berbicara secara lebih terbuka dan nyaman
mengenai perasaan-perasaan seksual mereka sering merupakan hal yang sangat
penting, karena cara tersebut dapat membuka jalan bagi pasangan untuk
menyelesaikan sendiri masalahnya. ( Glasier: 2005 )

2. Uraian materi Stres adaptasi a. Pengertian stres


Stres adalah segala situasi di mana tuntunan non-spesifik mengharuskan seorang
individu untuk merespon atau melakukan tindakan ( Selye, 1976 ).
Respon atau tindakan ini termasuk respon fisiologis dan psikologis.
Stresor adalah stimulus yang mengawali atau mencetuskan perubahan.
1) Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang (demam, kondisi seperti
kehamilan, menopause atau suatu keadaan emosi seperti rasa bersalah )
2) Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang (perubahan bermakna dalam
suhu lingkungan, perubahan peran dalam keluarga atau sosial, atau tekanan
dari pasangan ).
Berbagai pandangan manusia mengenai stres menghasilkan pengertian yang
berbeda-beda tentang stres itu sendiri. Stres hanyalah sekedar gangguan sistem
syaraf yang menyebabkan tubuh berkeringat, tangan menggenggam, jantung
berdetak kencang,dan wajah memerah. Paham realistik memandang stress
sebagai suatu fenomena jiwa yang terpisah dengan jasmani atau tubuh manusia
atau fenomena tubuh belaka tanpa ada hubungan dengan kejiwaan.
Sedangkan paham idealis menganggap stres adalah murni fenomena jiwa. Hal
ini membuat kita sulit untuk menjelaskan kenapa jika fenomena stres hanyalah
fenomena jiwa namun memberikan dampak pada fisik seseorang seperti dada
yang berdebar-debar, keringat, dan sebagainya.
Tak seorang pun dapat menghindari stres karena untuk
menghilangkannya berarti akan menghancurkan hidupnya sendiri ( Hans
Selye, 1978 ). Stres merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan.
Pendekatan ini telah dibatasi sebagai “model psikologi”. Model psikologi ini
menggambarkan stress sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan
ketegangan ( strain ). Interaksi antara individu dengan lingkungannya yang
saling mempengaruhi itu dinamakan dengan interaksi transaksional yang di
dalamnya terdapat proses penyesuaian. Stres bukan hanya stimulus atau respon
tetapi juga agen aktif yang dapat mempengaruhi stresor melalui strategi
prilaku, kognitif dan emosional. Individu akan memberikan reaksi yang
berbeda terhadap stresor yang sama.
Definisi tentang stres yang sangat beragam menunjukan bahwa stres bukanlah
suatu hal yang sederhana. Salah satu definisinya adalah stres adalah gangguan
pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan
kehidupan ( Vincent Cornelli, dalamMustamir Pedak, 2007 ). Kesimpulan dari
para ahli tentang stres yaitu stres bisa terjadi karena manusia begitu kuat dalam
mengejar keinginannya serta kebutuhannya dengan mengandalkan segala
kemampuannya dan potensinya.
b. Manifestasi stress
Stres sifatnya universiality, yaitu umum semua orang sama dapat merasakannya,
tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan
karakteristik individu, maka responnya berbeda- beda untuk setiap orang.
Seseorang yang mengalami stres dapat mengalami perubahan-perubahan yang
terjadi pada tubuhnya, antara lain :
1) Perubahan warna rambut kusam, ubanan, kerontokan
2) Wajah tegang, dahi berkerut, mimik nampak serius, tidak santai, bicara berat,
sulit tersenyum/tertawa dan kulit muka kedutan (ticfacialis)
3) Nafas terasa berat dan sesak, timbul asma
4) Jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar atau menyempit
(constriksi) sehingga mukanya nampak merah atau pucat. Pembuluh darah
tepi (perifer) terutama ujung-ujung jari juga menyempit sehingga terasa
dingin dan kesemutan.
5) Lambung mual, kembung, pedih, mules, sembelit atau diare. 6) Sering
berkemih.
7) Otot sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang pada tulang terasa linu atau
kaku bila digerakkan.
8) Kadar gula meningkat, pada wanita mens tidak teratur dan sakit
(dysmenorhea)
9) Libido menurun atau bisa juga meningkat.
10) Gangguan makan bisa nafsu makan meningkat atau tidak ada nafsu makan.
11) Tidak bisa tidur
12) Sakit mental-histeris
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi stress
Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut stressors. Meskipun
stress dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya karyawan mengalami
stress karena kombinasi stressors.
Menurut Robbins (2001:565-567) ada tiga sumber utama yang dapat
menyebabkan timbulnya stress yaitu:
1) Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh
pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan.
Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stress
bagi karyawan yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat
cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat
seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya
perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru terhadap
teknologi akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak
terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat
dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.
2) Faktor Organisasi
Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress
yaitu role demands, interpersonal demands, organizational structure dan
organizational leadership.
Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Role Demands
Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu
organisasi akan mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk
memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu
organisasi tersebut.
b) Interpersonal Demands
Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam
organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu
dengan karyawan lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang
tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama
yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan
sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya.
c) Organizational Structure
Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan
tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat
keputusan atau peraturan maka akan dapat mempengaruhi kinerja seorang
karyawan dalam organisasi.
d) Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan
dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan
group (Robbins, 2001:316) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang
lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara
langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik
pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal
pekerjaan saja.
Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam
mengukur tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri
adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah
yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu
kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana
semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya
diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting (Robbins,2001:563).
3) Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga,
masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan
pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada
pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam
pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana
seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup
bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan
seperlunya. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat
menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh
seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-
tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.

d. ADAPTASI
Adaptasi adalah penyesuaian diri terhadap suatu penilaian. Dalam hal ini respon
individu terhadap suatu perubahan yang ada dilingkungan yang dapat
mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis dalam
perilaku adaptip. Hasil dari perilaku ini dapat berupa usaha untuk
mempertahankan keseimbangan dari suatu keadaan agar dapat kembali pada
keadaan normal, namun setiap orang akan berbeda dalam perilaku adaptip ada
yang dapat berjalan dengan cepat namun ada pula yang memerlukan waktu lama
tergantung dari kematangan mental orang itu tersebut.
Adaptasi terhadap stress dapat berupa :
1) Adaptasi fisiologis
Adaptasi fisiologis adalah proses penyesuaian diri secara alamiah atau secara
fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai faktor yang
menimbulkan keadaan menjadi tidak seimbang contoh: masuknya kuman
pennyakit ketubuh manusia.
2) Adaptasi psikologi
Adaptasi secara psikologis dapat dibagi menjadi dua yaitu: a) LAS ( general
adaptation syndroma) adalah apabila kejadiannya atau proses adaptasi
bersifat lokal contoh: seperti ketika kulit terinfeksi maka akan terjadi
disekitar kulit tersebut kemerahan, bengkak, nyeri, panas dll yang sifatnya
lokal atau pada daerah sekitar yang terkena.
b) GAS ( general adaptation syndroma) adalah apabila reaksi lokal tidak
dapat diaktifitasi maka dapat menyebabkan gangguan dan secara sistemik
tubuh akan melakukan proses penyesuaian diri seperti panas di seluruh
tubuh, berkeringat
e. Proses keperawatan stress managemen stress untuk perawat
Manajemen stress adalah kemungkinan melihat promosi kesehatan sebagai
aktivitas atau intervasi atau mengubah pertukaran respon terhadap penyakit.
Fokusnya tergantung pada tujuan dari intervensi keperawatan berdasarkan
keperluan pasien. Perawat bertanggung jawab pada implemenetasi pemikiran
yang dikeluarkan pada beberapa daerah perawatan.Untuk mencegah dan
mengatasi stres agar tidak sampai ke tahap yang paling berat, maka dapat
dilakukan dengan cara :
1) Pengaturan Diet dan Nutrisi
Pengaturan diet dan nutrisi merupakan cara yang efektif dalam mengurangi
dan mengatasi stres melalui makan dan minum yang halal dan tidak
berlebihan, dengan mengatur jadwal makan secara teratur, menu bervariasi,
hindari makan dingin dan monoton karena dapat menurunkan kekebalan
tubuh.
2) Istirahat dan Tidur
Istirahat dan tidur merupakan obat yang baik dalam mengatasi stres karena
dengan istirahat dan tidur yang cukup akan memulihkan keadaan tubuh.
Tidur yang cukup akan memberikan kegairahan dalam hidup dan
memperbaiki sel-sel yang rusak.
3) Olah Raga atau Latihan Teratur
Olah raga dan latihan teratur adalah salah satu cara untuk meningkatkan daya
tahan dan kekebalan fisik maupun mental. Olah raga dapat dilakukan dengan
cara jalan pagi, lari pagi minimal dua kali seminggu dan tidak perlu lama-
lama yang penting menghasilkan keringat setelah itu mandi dengan air hangat
untuk memulihkan kebugaran.
4) Berhenti Merokok
Berhenti merokok adalah bagian dari cara menanggulangi stres karena dapat
meningkatkan ststus kesehatan dan mempertahankan ketahanan dan
kekebalan tubuh.
5) Tidak Mengkonsumsi Minuman Keras
Minuman keras merupakan faktor pencetus yang dapat mengakibatkan
terjadinya stres. Dengan tidak mengkonsumsi minuman keras, kekebalan dan
ketahanan tubuh akan semakin baik, segala penyakit dapat dihindari karena
minuman keras banyak mengandung alkohol.
6) Pengaturan Berat Badan
Peningkatan berat badan merupakan faktor yang dapat menyebabkan
timbulnya stres karena mudah menurunkan daya tahan tubuh terhadap stres.
Keadaan tubuh yang seimbang akan meningkatkan ketahanan dan kekebalan
tubuh terhadap stres.
7) Pengaturan Waktu
Pengaturan waktu merupakan cara yang tepat dalam mengurangi dan
menanggulangi stres. Dengan pengaturan waktu segala pekerjaaan yang
dapat menimbulkan kelelahan fisik dapat dihindari. Pengaturan waktu dapat
dilakukan dengan cara menggunakan waktu secara efektif dan efisien serta
melihat aspek prokdutivitas waktu. Seperti menggunakan waktu untuk
menghasilkan sesuatu dan jangan biarkan waktu berlalu tanpa menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat.
8) Terapi Psikofarmaka
Terapi ini dengan menggunakan obat-obatan dalam mengalami stres yang
dialami dengan cara memutuskan jaringan antara psiko neuro dan imunologi
sehingga stresor psikososial yang dialami tidak mempengaruhi fungsi kognitif
afektif atau psikomotor yang dapat mengganggu organ tubuh yang lain.
Obatobatan yang digunakan biasanya digunakan adalah anti cemas dan anti
depresi. 9) Terapi Somatik
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat stres yang
dialami sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh yang lain. 10)
Psikoterapi
Terapi ini dengan menggunakan teknik psikologis yang disesuaikan dengan
kebutuhan seseorang. Terapi ini dapat meliputi psikoterapi suportif dan
psikoterapi redukatif di mana psikoterapi suportif memberikan motivasi atau
dukungan agar pasien mengalami percaya diri, sedangkan psikoterapi
redukatif dilakukan dengan memberikan pendidikan secara berulang. Selain
itu ada psikoterapi rekonstruktif, psikoterapi kognitif dan lain-lain.
11) Terapi Psikoreligius
Terapi ini dengan menggunakan pendekatan agama dalam mengatasi
permasalahan psikologis mengingat dalam mengatasi permasalahn psikologis
mengingat dalam mengatasi atau mempertahankan kehidupan seseorang
harus sehat secara fisik, psikis, sosial, dan sehat spiritual sehingga stres yang
dialami dapat diatasi.
12) Homeostatis
Merupakan suatu keadaan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan
dalam menghadapi kondisi yang dialaminya. Proses homeostatis ini dapat
terjadi apabila tubuh mengalami stres yang ada sehingga tubuh secara
alamiah akan melakukan mekanisme pertahanan diri untuk menjaga kondisi
yang seimbang, atau juga dapat dikatakan bahwa homeostatis adalah suatu
proses perubahaan yang terus menerus untuk memelihara stabilitas dan
beradaptasi terhadap kondisi lingkungan sekitarnya.
Homeostatis yang terdapat dalam tubuh manusia dapat dikendalikan oleh
suatu sistem endokrin dan syaraf otonom. Secara alamiah proses homeostatis
dapat terjadi dalam tubuh manusia. Dalam mempelajari cara tubuh
melakukan proses homeostatis ini dapat melalui empat cara di antaranya:
a) Sself regulation di mana sistem ini terjadi secara otomatis pada orang
yang sehat seperti dalam pengaturan proses sistem fisiologis tubuh
manusia.
b) Berkompensasi yaitu tubuh akan cenderung bereaksi terhadap ketidak
normalan dalam tubuh.
c) Dengan cara sistem umpan balik negatif, proses ini merupakan
penyimpangan dari keadaan normal segera dirasakan dan diperbaiki
dalam tubuh dimana apabila tubuh dalam keadaan tidak normal akan
secara sendiri mengadakan mekanisme umpan balik untuk
menyeimbangkan dari keadaan yang ada.
d) Cara umpan balik untuk mengkoreksi suatu ketidakseimbangan fisiologis.

e. Konsep kehilangan, kematian dan duka


1) Pengertian Kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan.
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau
memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut.
Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa
tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak
diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak
dapat kembali. Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana
seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu
yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan
suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya
ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik
terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35).
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali
walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
a) Arti dari kehilangan
b) Sosial budaya
c) Kepercayaan / spiritual
d) Peran seks
e) Status social ekonomi
f) Kondisi fisik dan psikologi individu
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada
makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk
menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang
berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan
mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis.
Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen)
mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan
kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social.
2) Bentuk-bentuk kehilangan
a) Kehilangan orang yang berarti
b) Kehilangan kesejahteraan
c) Kehilangan milik pribadi
3) Sifat kehilangan
a) Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan) Kehilangan secara tiba- tiba dan
tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang
lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri,
pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
b) Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan
menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional
(Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan
oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang
mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan
pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan
mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan.
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada
makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk
menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang
berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan
mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis.
Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen)
mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam
menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social.
4) Tipe kehilangan
a) Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain,
sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
b) Perceived Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat
diraba atau dinyatakan secara jelas.

c) Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu
memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu
kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga
dengan klien (anggota) menderita sakit terminal.
Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya,
kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama
ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Nanun
demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara
berbeda.kematian seorang anggota keluargamungkin
menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan
hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian
hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih
besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah
bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual
atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan
mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman
bermainya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang
nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan kepercayaan
diri atau prestise.
5) Lima kategori kehilangan
a) Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang
telah menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena
bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang
terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki
orng tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari
benda tersebut.
b) Kehilangan lingkungan yang telah dikenal Kehilangan yang
berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal
mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma periode tertentu
atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota
baru atau
perawatan diruma sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari
lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi
maturaasionol, misalnya ketika seorang lansia pindah kerumah
perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera
atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
c) Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak- anak,
saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja.Artis
atau atlet terkenal mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang
muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap
hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat
terjadi akibat perpisahan atau kematian.
d) Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh,
fungsi fisiologis, atau psikologis.Kehilangan anggota tubuh dapat
mencakup anggota gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara.
Kehilangan fungsi fsiologis mencakupo kehilangan control
kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori.
Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga
diri, percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi
akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau
situasi.Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan sejatera
individu.Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat
kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen
dalam citra tubuh dan konsep diri.

e) Kehilangan hidup
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik- detik
dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993)
menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam-
hidup kedalam enpat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika
diketahui ada gejala klien atau factor resiko penyakit. Fase akut
berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur
dengan penyakit dan pengobatanya ,yang sering melibatkan
serangkain krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan
atau fase terminal Klien yang mencapai fase terminal ketika
kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi.Pada
setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan
kehilangan yang beragam dan terus berubah Seseorsng dapat
tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan,
dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat.
6) Tahapan proses kehilangan
a) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu berfikir positif – kompensasi positif terhadap kegiatan
yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa
nyaman.
b) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan –
individu berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku
agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)–
muncul gejala sakit fisik.
c) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan
individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku
agresif diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku konstruktif
perbaikan mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
d) Stressor internal atau eksternal gangguan dan kehilangan
individuberfikir negative tidak berdaya marah dan berlaku agresif
diekspresikan ke luar diri individu berperilaku
destruktif perasaan bersalah ketidakberdayaan.
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap
kehilangan adalah pemberian makna (personal meaning) yang
baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang
positif (konstruktif).
7) KEMATIAN
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia.
Namun, bencana gempa di Bantul memaksa anak untuk melihat dan
atau mengalami kematian secara tiba- tiba. Pemahaman akan
kematian mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang terhadap
kematian. Selain pengalaman, pemahaman konsep kematian juga
dipengaruhi oleh perkembangan kognitif dan lingkungan sosial
budaya. Kebudayaan Jawa yang menjadi latar tumbuh kembang
anak menjadi penting untuk diperhatikan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pemahaman anak usia sekolah dan praremaja
tentang kematian dengan mengacu pada tujuh subkonsep kematian,
yakni irreversibility, cessation, inevitability, universability,
causality, unpredictability, dan personal mortality dari
Slaughter (2003). Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif
dengan metode wawancara yang dilakukan pada tiga anak usia (6-7
tahun) dan 4 praremaja (10-11 tahun). Hasil penelitian
menunjukkan pemahaman konsep kematian yang berbeda-beda
pada ketiga subjek yang berusia 6-7 tahun. Dua subjek belum
memahami subkonsep unpredictability dan causality, sedangkan
kelima subkonsep lainnya sudah dipahami oleh anak. Satu subjek
lainnya hanya memahami subkonsep inevitability, universality,
dan personal mortality, sedangkan empat subkonsep lainnya
belum dipahami sama sekali. Secara umum ketiga subjek belum
memahami kematian sebagai fenomena biologis. Partisipan yang
berusia 10-11 tahun sudah memiliki ketujuh subkonsep
kematian walaupun belum bisa mendeskripsikannya
secara utuh. Hasil penelitian ini disoroti dari teori kematian, teori
perkembangan dan budaya Jawa. Hasil penelitian ini berimplikasi
pada teori perkembangan konsep kematian pada anak, dan juga
pada seberapa jauh budaya Jawa memberikan kesempatan pada
anak untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang kematian.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep
tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan
dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek
kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia,
terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan
telah mati. Berikut ini beberapa konsep tentang mati yaitu : a) Mati
sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung.
Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah
berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini
sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran,
teknologi resusitasi telah memungkinkan jatung dan paru-paru
yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
b) Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh Konsep ini
menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan resusitasi
yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-
akan nyawa dapat ditarik kembali.
c) Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen Konsep inipun
dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa
terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan
transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral
tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih
berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
d) Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan
melakukan interaksi social
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu
individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya,
kemampuan mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya,
maka penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin
banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam batang
otak. Olah karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini
bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam
keadaan seperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan
tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resuscitation).
Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau
kematian sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan
otak merupakan organ besar pertama yang menderita kehilangan
fungsi yang ireversibel, karena alasan yang belum jelas. Organ-
organ lain akan mati kemudian.
7) Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah,
cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu
berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang
dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini
masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
a) Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani
proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang
hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan
emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi
untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan
mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh
berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam
bentuk empati. (1) Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa
fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang
berduka maupun menjelang ajal.
(a)Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan
mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa
tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis,
mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat,
insomnia dan kelelahan.
(b)Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut
dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
(c)Fase III (restitusi)\
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan
yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak
dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang
bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
(d)Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat
menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu
terhadap almarhum.
(e)Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai
diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan
seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran
baru telah berkembang.
(2) Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969)
adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap,
yaitu sebagai berikut:
(a)Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa- apa dan
dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi
kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin
seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum
dilontarkan klien.
(b)Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin
“bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang
akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan
marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi
rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari
kecemasannya menghadapi kehilangan.
(c)Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara
yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada
tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
(d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata
dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi
kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan
mulai memecahkan masalah.
(e) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut.
Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila
seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya
menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
(3) Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang
mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat
diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada
faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.
Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda
dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin
berlanjut sampai 3-5 tahun.
(4) Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3
katagori:
(a) Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak
percaya.
(b) Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi
ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan
mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan
paling akut.
(c) Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan
kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara
emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien
belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

Daftar Pustaka
a. Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
b. Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
c. Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
d. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan
Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta
e. Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
f. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya,
Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
g. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing :
Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi seksualitas, stres adaptasi,
kehilangan, kematian dan berduka melalui buku-buku maupun jurnal.
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi seksualitas, stres
adaptasi, kehilangan, kematian dan berduka dalam setiap kesempatan
C. Penutup
1. Evaluasi dan Kunci Jawaban
a. Jelaskan tentang respon seksual
b. Jelaskan masalah yang berhubungan dengan seksualitas
c. Jelaskan manifestasi stres
d. Jelaskan faktor yang mempengaruhi stres
e. Jelaskan langkah-langkah proses keperawatan stres
f. Jelaskan tahapan kehilangan,
g. Jelaskan tahapan kematian dan berduka dalam setiap kesempatan

2. Lembar Kejra Mahasiswa .


Mata Kuliah ......................
Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%

Anda mungkin juga menyukai