Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PEMBENTUKAN PERBATASAN DARAT INDONESIA

OLEH :
FALDINI
NIM. 302. 2019. 010
MUHAMAD ARIF
NIM. 302.2019.047

Dosen Pengampu :
Oskar Hutagaluh, MM., M.Si

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD
SYAFIUDDIN SAMBAS
2021 M / 1442 H

i
KATA PENGANTAR

Bismillâhirrahmânirrahîm

Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan kepada Allah SWT karena


dengan rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
dengan harapan dan waktu yang telah diberikan. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, dan
para sahabatnya.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Pengampu Mata


Kuliah Ushul Fiqh (dr. Serli. M.Ag) karena sudah memberikan kami kesempatan
dan pengarahan untuk menyusun makalah ini. Saya juga menyampaikan terima
kasih kepada teman-teman yang ikut membantu saya dalam mencari referensi
dalam pembuatan materi makalah ini.

Saya berharap makalah ini dapat membantu dalam proses pembelajaran


dan semoga bermanfaat bagi semua yang membacanya. Saya harapkan pula agar
para pembaca memperhatikan celah yang mungkin kurang sempurna dalam
makalah ini sehingga kami dapat menyusun kembali yang lebih baik pada
makalah berikutnya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan Masalah.............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. Kalimantan-Serawak dan Sabah Malaysia....................................................5
1. Penentuan Alokasi.....................................................................................5
2. Penentuan Delimitasi (Delimitation).......................................................12
3. Penentuan Demarkasi (Demarcation)......................................................14
B. Perbatasan Darat Indonesia-Timor Leste....................................................16
C. Perbatasan Darat Indonesia-Papua Nugini..................................................20
BAB III PENUTUP...............................................................................................24
A. Simpulan.....................................................................................................24
DAFTAR RUJUKAN............................................................................................25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah perbatasan suatu negara merupakan modal utama
kedaulatan suatu negara. Wilayah perbatasan sering kali menimbulkan
berbagai permasalahan terkait dengan pengeloalaan wilayah. Terdapat tiga
permasalahan utama dalam pengelolaan kawasan perbatasan antar negara,
yaitu: (1) Penetapan garis batas baik di darat maupun laut, (2) Pengamanan
kawasan perbatasan dan(3) Pengembangan kawasan perbatasan.1
Wilayah perbatasan, baik di darat maupun di laut memiliki peran
sangat penting dan strategis di suatu negara. Hal ini diakibatkan wilayah
perbatasan selain merupakan batas kedaulatan, juga merupakan wilayah
yang mencerminkan halaman depan suatu negara. Secara letak geografis,
posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terletak diantara dua
benua, mempunyai batas wilayah internasional dengan 10 negara tetangga.
Dikawasan perbatasan darat Republik Indonesia (RI) berbatasan dengan 3
negara yaitu Malaysia, Papua New Guinea,Republik Demokratik Timor
Leste. Sebagai negara kepulauan (Archipelagic state), RepublikIndonesia
mempunyai batas maritim berupa batas laut wilayah (teritorial), batas
landas kontinen danbatas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan 10
negara yaitu India, Thailand, Malaysia,Singapura, Vietnam, Filiphina,
Palau, Papua New Guinea, Republik Demokratik Timor Leste
danAustralia. Pada kawasan perbatasan laut (maritim) pada umumnya
berupa pulau-pulau terluar yangjumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-
pulau kecil.2
Kawasan perbatasan di Kalimantan Timur (Kaltim) memiliki
potensi sumber daya alam (SDA) yang cukup besar, serta merupakan

1
Rumusan Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Perbatasan di Kalimantan Timur, 2011.
Data ini diperoleh dari 20110701114745.PolicyRecomendationKALTIMWeb.pdf diakses pada
tanggal 01 Juli 2021.
2
Deskripsi Wilayah Perbatasan Dan Pulau-Pulau Terluar. Data ini diperoleh dari
http://www.penataanruang.net/ta/lapak05/P5/4/Bab2.pdf diakses pada tanggal 01 Juli 2021.

1
wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan Negara RI.
Wilayah geografis yang terletak di sepanjang garis perbatasan negara
antara Republik Indonesia dengan Malaysia meliputi Kabupaten Nunukan,
Malinau, Kutai Barat, sedangkan negara Malaysia meliputi Negara Bagian
Sabah dan Sarawak. Panjang garis perbatasan1.038 km dan batas antar
daerah sepanjang 3.882,86 km berdasarkan ketetapan hukum tentang
batas-batas wilayah negara sebagaimana ditetapkan dan disepakati kedua
belah pihak. Namun, secara umum pembangunan wilayah perbatasan di
Kalimantan Timur masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
pembangunan di wilayah negara tetangga (Malaysia).
Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang menetap di daerah
perbatasan Kalimantan Timur umumnya kemampuan sosial dan
ekonominya jauh lebih rendah dibanding dengan kondisi sosial
ekonomiwarga negara tetangga (Malaysia). Hal ini mengakibatkan
timbulnya banyak permasalahan dan kegiatan ilegal di daerah perbatasan
yang dikhawatirkan dalam jangkapanjang dapat menimbulkan berbagai
kerawanan sosial atau permasalahan social.
Permasalahan mendasar pembangunan di wilayah perbatasan
adalah isolasi wilayah. Kebanyakan daerah perbatasan yang terisolasi tidak
dapat mengakses berbagai aspek yang tersedia seperti di daerah perkotaan.
Permasalahan yang tidak pernah tertangani ini kemudian berdampak
terhadap kegiatan pengembangan kawasan pada seluruh bidang
pembangunan, termasuk kualitas Sumber Daya Manusia(SDM),
pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pertanian dalam artiluas.
Umumnya permasalahan daerah perbatasan mencakup berbagai aspek
seperti:
Pertama, aspek batas wilayah negara banyak menimbulkan
dampak negatif, berbagai insiden di perbatasan, dan pelanggaran wilayah
kedaulatan. Masalah-masalah pelanggaran hukum dan sulitnya penegakan
hukum di perbatasan menjadi sulit dikelola, dikontrol dan memerlukan
kerjasama antar negara. Demikian pula dengan implementasi pos

2
perbatasan dan fasilitasi custom, imigration and quarantine (CIQ) menjadi
tidak optimal dan terkendala, akibatnya terjadi berbagai kegiatan ilegal
lintas batas.
Kedua, aspek ekonomi. Penataan ruang disusun belum pro-rakyat,
propoor, dan pro-perbatasan halaman depan negara. Akibat dari
pandangan seperti itu berimplikasi pada kondisi ekonomi di perbatasan
seperti tercermin dewasa ini, yaitu seperti: (a) sangat kurangnya
infrastruktur ekonomi di perbatasan, baik transportasi,komunikasi,
informasi, maupun perbankan. Terjadinya kesenjanganpembangunan baik
di dalam negeri maupun dengan negara tetangga; (b) ketersediaan
prasarana dan sarana berkenaan dengan wilayah dan fasilitas social
ekonomi masih sangat kurang memadai; (c) angka kemiskinan yang tinggi
dengan jumlah keluarga yang pra-sejahtera yang tinggi pula jadi fenomena
umum masyarakat perbatasan, dan; (d) terisolasinya masyarakat
perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas kawasan perbatasan menuju
pusat pertumbuhan dan pasar, baik melalui jalur darat, laut, maupun udara.
Ketiga,Pembangunan di kawasan perbatasan sangat erat berkaitan
dengan masalah kedaulatan bangsa dan negara, kesejahteraan rakyat,
perlindungan kepentingan masyarakat perbatasan yang masih tertinggal
dan kurang terurus, serta lingkungan hidup. Berbagai isu tentang batas
wilayah negara dan pengelolaan kawasan perbatasan yang selama ini
terjadi masih dianggap sebagai masalah defence-security dan law
enforcement. Padahal di era damai dewasa ini permasalahan lebih
menyangkut masalah prosperity, socialsecurity dan kesetaraan terhadap
akses perekonomian yang kurang perhatian. Cara pandang tersebut jelas
harus diubah oleh pemerintah Indonesia agar ada acuan yang jelas dalam
proses menyelesaikan penetapan batas-batas internasional dengan 10
negara, dan pengelolaan kawasan perbatasan hingga terwujudnya
perbatasan sebagai beranda depan negara.
Keempat, aspek sosial-budaya. Kualitas SDM yang relatif rendah
membuat nilai keunggulan kompetitif masyarakat perbatasan khususnya di

3
Provinsi Kaltim berakibat pada kendala dalam pengembangan ekonomi di
kawasan perbatasan. Pembangunan manusia di daerah perbatasan
Kaltimtercermin dari Indeks Pembangunan Manusia(IPM) yang rata-rata
masih lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain dalam lingkup
wilayah Provinsi Kaltim.
Permasalahan di atas kemudian memotivasi bagi Indonesia dan
Malaysia untuk melakukan kerjasama bilateral. Indonesia dan Malaysia
dalam mesepakati kerjasama Sosek Malindo yang bertujuan untuk
kesejahteraan social masyarakat perbatasan. Pada tahun 1994
dilakukannya penandatangan Indonesia dengan Malaysia dengan poin,
wilayah yang menjalankan kerjasama Sosek Malindo antara Pulau Sebatik
dengan Sabah. Kedua daerah tersebut merupakan daerah perbatasan, untuk
Pulau Sebatik merupakan wilayah perbatasan dari Kalimantan Timur,
Indonesia dengan Malaysia sedangkan Sabah merupakan daerah
perbatasan Malaysia dengan Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Kalimantan Serawak dan Sabah Malaysia?
2. Bagaimana Sejarah Perbatasan Darat Indonesia-Timor Leste?
3. Bagaimana Sejarah Perbatasan Darat Indonesia-Papua Nugini?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Sejarah Kalimantan Serawak dan Sabah Malaysia.
2. Untuk mengetahui Perbatasan Darat Indonesia-Timor Leste.
3. Untuk mengetahui Perbatasan Darat Indonesia-Papua Nugini.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kalimantan-Serawak dan Sabah Malaysia


1. Penentuan Alokasi
Alokasi adalah kejelasan wilayah berdasarkan bukti-bukti
historis dan yuridis secara makro. Dalam konteks ini, doktrin Uti
Possidetis mempunyai kontribusi penting dalam penegasan alokasi
wilayah negara.3 Berdasarkan doktrin ini, maka alokasi wilayah
Indonesia secara umum, dan khususnya di Kalimantan” didasarkan
pada bukti-bukti sejarah pada zaman kolonial Belanda di Kalimantan
dan Inggris di wilayah Sarawak, Sabah, dan Brunei Darussalam.
Pembentukan garis imajiner perbatasan adalah hasil dari kreasi
para kolonial pada masa penjajahan. Dalam konteks itu, para kolonial
membagi garis perbatasan menjadi dua bagian, yaitu garis perbatasan
darat dan garis perbatasan laut (landas kontinen). Pertama, garis
perbatasan darat yang sudah dibuat tersebut terdapat di dua tempat,
yaitu di Pulau Kalimantan dan di sebuah Pulau Kecil di sebelah timur
Pulau Kalimantan, yaitu Pulau Sebatik. Garis perbatasan darat di Pulau
Kalimantan, yang panjangnya + 970 mil, membelah Pulau Kalimantan
menjadi Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur negara
Republik Indonesia dan negerinegeri Sarawak, dan Sabah dalam
negara Federasi Malaysia.
Kondisi ini menjadi keunikan tersendiri bagi Pulau Kalimantan
yang saat ini Bikuasai oleh tiga negara, yaitu Indonesia di Kalimantan,
Malaysia di Sarawak Ban Sabah, serta Brunei Darussalam di bagian
utara Pulau Kalimantan. Segnentara itu, garis perbatasan di Pulau
Sebarik membelah pulau tersebut menjadi dua bagian, sebagian adalah
wilayah Provinsi Kalimantan Timur dan sebagian innya Tawau
Residency menjadi wilayah Sabah.
3
June Cahyaningtyas, 2010, Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas,
Graha Ilmu: Yogyakarta. Hlm. 223.

5
Kedua, adalah garis perbatasan laut (batas landas kontinen). Ada
beberapa aris batas laut atau batas landas kontinen antara negara
Republik Indonesia engan Federasi Malaysia, yaitu di Selat Malaka,
Laut Cina Selatan, dan di kawasan lepas pantai Kalimantan Timur.
Kedua macam garis perbatasan di ntara negara Republik Indonesia
dengan negeri Sarawak dan Sabah Federasi alaysia tersebut adalah
garis-garis imajiner. Kapan dan bagaimana terjadinya roses penciptaan
kedua garis perbatasan tersebut, dapat ditelusuri kembali ada masa
kolonial masing-masing negara.4
Pada pihak negara Republik Indonesia di masa tersebut adalah
ketika berlangsung proses pembentukan negara kolonial Netherlands
East Indies atau india Belanda, dan pada pihak Federasi Malaysia
dimulai dengan munculnya protektorat-protektorat Inggris di Pulau
Kalimantan, yaitu Sarawak dan North Borneo atau Sabah. Sedangkan
garis batas laut atau batas landas kontinen arulah terbentuk kemudian.
Dengan demikian, proses terciptanya garis peratasan tersebut pada
masa pasca-kolonial, meskipun di situ masih terdapat terkaitan yang
cukup jelas dengan masa kolonial masing-masing.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pembentukan
garis , atasan darat yang membelah Pulau Kalimantan menjadi
sebagian wily Negara Republik Indonesia dan sebagian wilayah negara
Federasi Malaysia berlangsung pada masa kolonial. Tepatnya garis
perbatasan imajiner dan berkelok-kelok tersebut merupakan kreasi
colonial powers.
Colonial powers dimaksud bukanlah colonial powers dengan
sosok melainkan colonial powers dengan sosok baru. Mereka bukanlah
organisasi-organisasi dan armed merchants seperti East India
Company (EIC) atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
yang orientasi politiknya serupa dengan kerajaan-kerajaan tradisional
Asia Tenggara yang ada saat itu, tidak hanya bertujuan pada
4
Siti Noorehan Mohd Zain, 2010, Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa
Batas, Graha Ilmu: Yogyakarta. Hal 233

6
controlling trade, melainkan colonial states yang memerlukan teritorial
control, the establishment of administrative and military-structures.
Beberapa individu, terutama James Brooke dan, Anton Willem
Nieuwenhius, serta sebuah company, British North Bomeo (Chartered)
Company, dapat dilihat sebagai bentuk-bentuk mikro colonial powers
atau colonial states. Oleh karena itu, dalam upaya menelusuri kembali
proses pembentukan garis perbatasan darat di antara negara Republik
Indonesia dan negara Federasi Malaysia, perlu untu dilihat secukupnya
“sejarah” mereka.
Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang berperan
penting menjelmakan Pulau Kalimantan, yang sebelumnya merupakan
spheres of influence kesultanan-kesultanan Brunai, Sulu dan Kutai,
menjadi entitas-entitas politik modern, yaitu negeri-negeri Sarawak
dan North Borneo atau Sabah, serta wilayah (territory) dari
Gouvernement Borneo, yang berpusat di Banjarmasin, dan merupakan
bagian dari Netherlands East Indies atau negara-Hindia Belanda.
James Brooke, bekas perwira kavaleri tentara Inggris di India-
dan kemudian, karena terluka dalam perang Inggris-Burma, menjadi
seorang petualang (adventurer). Dia adalah pendiri negeri Sarawak
modern dengan wilayahnya terbagi menjadi lima divisi. Sarawak,
dengan Kuching sebagai kota utamanya, dan pada awalnya merupakan
sebuah kerajaan sungai (river state) dari seorang pangeran sebagai
gubernur dalam hirarki Kesultanan Brunai. Karena pertolongan yang
diberikan dalam mengatasi pemberontakan yang dilancarkan
komunitas Melayu dan Dayak Darat (Land Dayaks). Pemberontakan
itu sendiri disebabkan oleh the extortions of the young and vigorous,
but greedy governor, kemudian pangeran Mahkota, James Brooke,
pada November 1841 sekaligus oleh Sultan Brunai dijadikan Raja dan
gubernur Sarawak.5
5
Prof. M. Mas’ud, 2010, Pemerintah, Kebangsaan, dan Keterbatasan di Daerah
Perbatasan, Hasil Penelitian DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Negara : Universitas Muhammadiyah Malang

7
Selain menerapkan a paternal informal government, James
Brooke juga memperluas wilayah Sarawak. Jika wilayah yang
diperoleh pertama dinamakannya first division, maka dengan bantuan
Royal Navy dan mengandalkan q Dyak field force, Sarawak Rangers,
yang dibentuk tahun 1862, pada tahun 1853 James Brooke membentuk
second division dan pada tahun 1861-1862 third division.
Dibandingkan dengan Sarawak, pembentukan Sabah berawal
dari disewakannya wilayah tersebut oleh Sultan Brunei pada tahun
1865, untuk masa sepuluh tahun, kepada Charles Lee Moses, Konsul
Amerika di Brunai. Dengan dukungan pengusaha Amerika dan Cina
yang berada di Hongkong, Moses kemudian membentuk sebuah
perusahaan, American Trading Company, untuk mengeksploitasi
wilayah sewaan tersebut sebagai farming.
Pada tahun 1875 perusahaan tersebut dijual kepada Baron Von
Overbeck, Konsul Austria di Hongkong, yang bekerja sama dengan
Alfred Dent, seorang pengusaha Inggris. Sultan Brunei memberikan
kedaulatan atas wilayah tersebut kepada keduanya, dan sebagai
gantinya Sultan mendapatkan an annual payment dari mereka. Akan
tetapi, karena wilayah Sabah juga diklaim oleh Sultan Sulu, maka pada
tahun 1878 diupayakan oleh Overbeck dan Dent sebuah perjanjian
dengan Sultan Sulu untuk mendapatkan jaminan atas tanah tersebut.
Pada tahun 1881, Dent menjadi pemilik tunggal, dan beriringan
dengan pemberian royal charter dari pemerintah Inggris, dia
membentuk British North Borneo (Chartered) Company. Dalam
faktanya Company itu bukanlah EIC, seperti dikatakan seorang
penulis:
“It was the prototype for several chartered companies which
were formed to develop other parts of the British colonial empire
in the final years of the nineteenth century, and was in line with
Britain's growing enthusiasm for imperial expansion, when it
sought to extend its influence as cheaply as possible hut through

8
its own people rather than in partnership with friendly local
rulers. The company was permitted to administer North Borneo,
provided it gave facilities to the British navy, and it could not
transfer its rights without the British government's approval.”
Oleh sebab itu, keterlibatan Inggris di dalam proses
pembentukan Sarawak dan Sabah dalam konteks tersebut menjadi jelas.
Akan tetapi, berbeda dengan, keterlibatan yang diperlihatkan dalam
proses pembentukan baik Federated States (1895) maupun unfederated
States (1909-1914) di Semenanjung Malaya. Keterlibatan Inggris dalam
pembentukan Sarawak dan Sabah tidak bersifat langsung, Sebaliknya,
justru karena adanya keterlibatan Inggris yang tidak langsyp, ini bisa
dicegah agresivitas Sarawak, dan karena itu bisa terhindarkan prow,
penghapusan sama sekali Kesultanan Brunei.
Sebelum pembentukan British North Bomeo (Chartered)
Company, raja Charle, Brooke (1868-1916), keponakan dan pengganti
raja James Brooke, misalnya pernah mengusulkan kepada London
untuk mengambil alternatif: London shouly either take Brunei under its
own wing or put the Sultanate under Sarawak's proctection Usulan yang
bisa dilihat sebagai upaya Raja Charles Brooke to extend his domain a
Brunei’s expense ini ditolak London pada tahun 1874. Hal itu antara
lain kg. rena sejak tahun 1888 hingga 1941 baik Sarawak, Sabah, serta
Kesultanan Brunaj khususnya sejak 1906 dijadikan Inggris sebagai
protektorat-protektoratnya. Setelah berakhirnya Perang Pasific hingga
tahun 1963 Sarawak dan Sabah dijadikan crown colonies yang
diadministrasikan di bawah Kantor Kolonial (Colonial Office)
Sedangkan Kesultanan Brunei tetap sebagai protektorat.
Namun demikian, perluasan teritori Sarawa masih terus
berlangsung hing: tahun 1916. Antara tahun 1882 sampai 1916
dibentuk dua divisi baru: fourth div. sion (1882-1884) dan fifth division
(1890-1916). Kedua divisi tersebut dibentuk di bekas wilayah
Kesultanan Brunei. Karena beberapa sebab, di antaranya ditakluk

9
kannya Kesultanan Sulu oleh Spanyol (1882), Inggris memberikan
persetujuan pada pengambilan wilayah Kesultanan Brunei urituk
pembentukan fourth division Akan tetapi, tidak demikian halnya pada
pengambilan wilayah Kesultanan Brunei untuk pembentukan fifth
division. Wilayah untuk divisi yang belakangan ini berasal dari
rindakan raja Charles Brooke yang memanfaatkan ketidakpuasan the
local chiefs of the Limbang district of Brunei terhadap Sultan Brunei.
Agaknya, proses pembentukan negeri-negeri Sarawak dan Sabah
inilah yang menjadi latar belakang utama mengapa kemudian negara
Hindia Belanda, yang sejak awal abad ke-19 sebenarnya telah
mengontrol daerah-daerah pan’ tai barat, selatan dan timur Pulau
Kalimantan, di akhir abad tersebut melangsungkan serangkaian
ekspedisi di pedalaman Pulau Kalimantan. Namun, yang relevan untuk
dikemukakan di sini adalah tiga ekspedisi yang melalui daerah-daerah
pedalaman seperti Semitau, dan Putussibau yang menghubungkan kota
Pontianak di pantai barat, baik dengan Banjarmasin di pantai selatan
maupun dengan kota Samarinda di pantai timur Kalimantan. Ekspedisi
dilakukan selama dent tahun, yaitu antara 1893 hingga 1900, dan
melibatkan seorang dokter yang menjadi perwira medis dalam tentara
Hindia Belanda yang ditempatkan di Sambas, Anton Willem
Nieuwenhuis.
Sepintas terlihat, bahwa ketiga ekspedisi tersebut merupakan
serangkaian perjalanan ilmiah. Setidaknya itulah yang dinyatakan
sebagai maksud dari epedisi pertama (1893-1894): the scientific
exploration of central Borneo, espe“al the region of the upper Kapuas
and its main tributaries. Namun demikian, dengan melihat lebih jauh
ketiga ekspedisi tersebut, bukan hanya pada siapa yang terlibat pada
ekspedisi, yang tidak melalui jalan laut melainkan menesobos
pedalaman mengikuti jalur-jalur sungai Kapuas, serta Mahakam dan
Kayan yang saat itu belum terjelajahi, melainkan juga pada apa yang
diperoleh dari akhir ekspedisi, maka sulit untuk dihindari munculnya

10
kesan bahwa ketiga ekspedisi yang dilakukan merupakan upaya tidak
langsung dari negara Hindia Belanda menahan, terutama negeri
Sarawak yang mempunyai kemampuan dan kemungkinan memperluas
teritorinya ke arah selatan.
Akhir dari ekspedisi kedua ( 1896-1897, misalnya adalah
dijadikannya daerah hulu sungai Mahakam sebagai suatu daerah direct
control di bawah seorang controleur yang berkedudukan di Long Iram.
Akhir dari ekspedis ketiga (1898-1990), misalnya, adalah didirikannya
sebuah pos militer di Long Nawang sebagai langkah pertama untuk
menjadikan daerah hulu sungai Kayan sebagai daerah serupa. Bersama-
sama dengan daerah hulu Kapuas yang telah lebih dahulu dikuasai,
daerah hulu ‘sungai-sungai Mahakam d mudian membentuk wilayah-
wilayah negara Hindia F stam dan Kayan ke langsung dengan divisi-
divisi negeri india Belanda yang berbatasan ngsung dengan divisi-divisi
negeri Sarawak.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, maka sesuai sidetis
penentuan batas wilayah negara Indonesia dengan Malaysia dilakukan
berdasarkan bukti-bukti peninggalan kolonial, yaitu berupa konvensi
bersama antara Inggris sebagai penguasa Borneo ketika itu dan Belanda
yang menguasai Kalimantan, dalam melakukan persetujuan mengenai
batas wilayah darat masing-masing. Dalam konteks itu, konvensi
bersama antara pemerintah Inggris dan Belanda merupakan referensi
utama yang bisa dijadikan petunjuk dalam penentuan batas-batas darat
antara Indonesia dan Malaysia. Namun demikian, dalam kunteks
praktisnya, hal itu memerlukan suatu kesepakatan-kesepakatan lanjutan
gntara kedua belah pihak dalam menentukan titik patok batas
negaranya, termasuk juga mekanisme penentuan titik tapal batas negara
masing-masing.6
Rangkaian sejarah perbatasan Indonesia dengan Malaysia di
Kalimantan, sebelum kemerdekaan Indonesia tersebut merupakan
6
Wahyuni Kartikasari, 2010, Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas,
Graha Ilmu: Yogyakarta. Hal 105

11
argumentasi historis yang memperkuat alokasi wilayah Indonesia di
Pulau Kalimantan, sehingga hal ini bermanfaat bagi penetapan proses
delimitasi dan demarkasi perbatasan Indonesia.
2. Penentuan Delimitasi (Delimitation)
Delimitasi adalah penegasan garis batas perbatasan melalui
serangkaian diplomasi berdasarkan bukti-bukti sejarah dan juridis pada
masa lalu. Proses delimitasi ini, sejauh ini sudah dilakukan dengan
baik antara Indonesia dengan Malaysia melalui kesepakatan
penggunaan titik-titik koordinat sebagaimana dalam konvensi Britania
Raya dengan Belanda pada tahun 1891, 1915, dan 1919.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa penentuan
batas wilayah antara Indonesia dengan Malaysia didasarkan pada
bukti-bukti sejarah pada masa kolonialisme. Dasar ini dalam konteks
hukum internasional dikenal dengan doktrin uti possidetis. Namun
dalam penentuan titik patok batas wilayah negara secara pasti
diperlukan suatu persetujuan bersama antara kedua belah pihak.
Dengan kata lain, proses tersebut tidak bisa dilakukan secara sepihak
tanpa melibatkan pihak lainnya. Dalam konteks itu; setidaknya ada tiga
landasan hukum yang saling memperkuat dalam penentuan titik patok
batas negara antara Indonesia dengan Malaysia, yaitu konvensi
perbatasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial antara Inggris
sebagai penguasa Borneo yang mencakup Sabah dan Sarawak, dan
pemerintah Belanda yang menguasai Kalimantan-Indonesia.
Selanjutnya pada masa kemerdekaan tepatnya pada tahun 1947
Indonesia dengan Belanda melakukan suatu perjanjian yang disebut
Linggarjati yang salah satu isinya antara lain menyebutkan wilayah
Indonesia yang secara de facto hanya mengakui wilayah Jawa,
Madura, dan Sumatera, sebagai kedaulatan Republik Indonesia. Sebab
ketika itu, pemerintah Belanda belum memberikan pengakuan secara
pasti terhadap kemerdekaan Indonesia.

12
Dalam konteks mutakhir, khususnya pasca konfrontasl antara
dengan Malaysia pada tahun 1966, kedua belah pihak melakukan
serangkaian perundingan untuk menentukan batas-batas wilayah
negara masing-masing. Hal ini dianggap penting oleh kedua belah
pihak untuk menegaskan kedaulatan masing-masing terhadap wilayah
perbatasan kedua negara tersebut.
Republik Indonesia dengan Malaysia mempunyai perbatasan di
darat terdapat di pulau Kalimantan yang memanjang dari arah barat
menuju ke timur yaitu dari Tanjung Datuk di Kalimantan Barat sampai
pulau Sebatik 4 Kalimantan Timur sepanjang sekitar 2004 kilometer.
Untuk menandai garis batas tersebut pada titik-titik kordinat tertentu
telah dibangun tugu-tugu batas sebanyak 19.328 buah. Garis
perbatasan ini membagi pulau tersebut atas, sebelah utara menjadi
wilayah Malaysia (Malaysia Timur) dan di sebelah selatan menjadi
wilayah Indonesia. Penetapan garis perbatasan darat ini merupakan
hasil dari kesepakatan penguasa kolonial yang menguasai kedua
wilayah tersebut sebelumnya di mana sebelah utara dikuasai oleh
kerajaan Inggris dan di sebelah selatan dikuasai oleh kerajaan Belanda.
Kesepakatan-kesepakatan tentang penetapan garis perbatasan
ini dapat diketahui berdasarkan The Boundary Convention antara
pemerintah Belanda dan Inggris yang ditandatangani di London pada
tanggal 20 Juni 1891, kemu dian ditetapkan kembali berdasarkan The
Boundary Agreement yang ditandatangani di London tanggal 28
September 1915 dan selanjutnya direvisi kembali dengan The
Boundary Convention yang ditandatangani di The Hague tanggal 26
Maret 1918. Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Malaysia
menetapkan kembali garis perbatasan kedua negara dengan
Memorandum of Under standing yang ditandatangani di Jakarta 26
November 1973, serta berdasarkan Minute of The First Meeting of The

13
Joint Indonesia-Malaysia Boundary Committet yang ditandatangani di
Sabah tanggal 16 November 1974.7
Berdasarkan dokumen perjanjian tersebut, maka konvensi
perbatasan yang dilakukan antara Britania Raya dan Belanda terdiri
dari tiga konvensi. Dalam konvensi tersebut diuraikan mengenai titik-
titik koordinat perbatasan yang disepakati dari arah timur pulau
Kalimantan, tepatnya di Pulau Sebatik sampai ke Kalimantan Barat di
Tanjung Datu. Garis perbatasan yang digunakan umunnya
menggunakan tanda-tanda garis alamiah (watershed).
3. Penentuan Demarkasi (Demarcation)
Demarkasi adalah proses teknis dalam penentuan titik-titik
patok perbatasan yang dilakukan melalui serangkaian kegiatan, seperti
survei dan pemetaan. Demarkasi dilakukan setelah dua proses
sebelumnya telah secara jelas disepakati oleh kedua negara yang
berbatasan, dan dalam hal ini adalah Indonesia dengan Malaysia.
Pada proses delimitasi, perbatasan Indonesia-Malaysia sudah
berhasil disepakati oleh kedua belah pihak dengan menjadikan
konvensi perbatasan antara pemerintah kolonial Inggris dan Belanda
sebagai dasar delimitasi. Dalam konvensi tersebut terdapat tiga fase
perjanjian yang dilakukan, yaitu pada fase pertama tahun 1891 yang
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dasar titik-titik koordinat
perbatasan kedua negara, yang kemudian pada fase kedua tahun 1915
lebih didetailkan lagi titik-titik koordinat tersebut dengan dilakukan
survei bersama guna menentukan titik-titik berbatasan yang
menggunakan punggung air (watershed). Kemudian pada fase ketiga
difokuskan pada pengukuran titik koordinat pada perbatasan gunung.
Secara konseptual, perumusan tapal batas negara pada masa itu
dapat dikatakan final dan disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu
pemerintahan Britania Raya dengan Kolonialisme Belanda. Setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945,
7
James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltgraff, Contending Teories of International
Relations, 1971, Lippincot: Universitas Michigan.

14
wilayah kekuasaan negara Indonesia menurut konsepsi UUD 1945
adalah mencakup seluruh wilayah bekas penjajahan Belanda, dalam
konteks ini Kalimantan adalah termasuk salah satu wilayah Indonesia.
Namun uniknya, Pulau ini dikuasai oleh tiga negara, yaitu Malaysia
(Sarawak dan Sabah), Brunei Darussalam, dan Indonesia (Kalbar,
Kalteng, Kalsel, dan Kaltim). Kondisi ini menjadi permasalahan yang
cukup rumit dalam pengelolaan batas-batas negara masing-masing,
baik menyangkut penegasan batas teritorial masing-masing negara,
maupun penanganan mobilitas orang dan barang melalui pintu-pintu
perbatasan.
Pasca kemerdekaan Indonesia, kesepakatan-kesepakatan yang
telah dibuat, oleh pemerintahan kolonial (Inggris dan Belanda)
mengenai perbatasan negara-negara yang ada di Pulau Kalimantan
tersebut, ditinjau kembali oleh pemerintah, Indonesia dan Malaysia.
Pemerintah Republik Indonesia dan Federasi Malaysia menetapkan
kembali garis perbatasan kedua negara melalui
Memorandun,Understanding yang ditandatangani di Jakarta pada
tanggal 26 November 1973 serta berdasarkan Minute of The First
Meeting of The Joint Indonesia-Malap, Boundary Committee yang
ditandatangani di Sabah tanggal 16 November 19174.8
Secara substansi, dalam beberapa pembaruan konvensi
perbatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengubah fakta historis
mengenai kesepakatan pet. batasan yang telah dibuat pada masa
Kolonial. Pada beberapa perundingan yang dilakukan oleh kedua belah
pihak itu, dimaksudkan untuk membuat suatu mekanisme teknis dalam
penentuan garis-garis perbatasan yang sudah ada dalam konvensi
1891, termasuk di antaranya adalah kelembagaan perbatasan. Oleh
sebab itu, sesuai dengan doktrin hukum internasional, perjanjian
tentang batas negara yang sudah disepakati bersifat final, tidak dapat di

8
Kerjasama Ekonomi Internasional diakses, pada tanggal 01 Juni 2021 diperoleh dari
http://hariyatno.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/30637/ekin-meet-12.pdf.

15
ubah dan salah satu pihak tidak dapat menuntut perubahan garis batas
setelah batas tersebut disepakati bersama
Dalam konteks tersebut, maka hukum internasional
memberikan modalitas bagi upaya kerja sama perbatasan antarnegara,
utamanya dalam situasi para pihak belum bersepakat mengenai garis
batas yang final dalam bentuk Provisional Arrangements.
B. Perbatasan Darat Indonesia-Timor Leste
Sejarah Timor Leste, diawali dengan kedatangan Portugis di daerah
tersebut m Membangun permukiman pada tahun 1520. Beberapa tahun
kemudian Crintah Kolonial Belanda pada tahun 1613 tiba di bagian barat
daerah Timor Leste, dan mengambil sebagian besar daerah tersebut. Kedua
penguasa kolonial tersebut, kemudian melakukan perjanjian dengan
penduduk asli daerah tersebut pada pertengahan abad ke-19 dan dengan
pemerintah pada tanggal 20 April 1859 untuk mengakhiri ketidakpastian
dari status wilayah yang mereka kuasai tersebut. Menurut Pasal 1
perjanjian tersebut dinyatakan, bahwa piha Belanda memperoleh wilayah
mencakup: Djenilo, Naitimu, Fiarlarang, Mandep dan Lakecune.
Sementara Portugal menguasai daerah-daerah Cova, Baliby Lamakitu
Tahakay, dan Suai. Sementara itu, pada tahun 1893, kedua pemerin. tah
kolonial tersebut juga menandatangani perjanjian perbatasan. Selama kunn
waktu 1898-1899, kedua belah pihak membentuk tim survei perbatasan
ber sama untuk keseluruhan pulau tersebut.9
Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia tahun 1976 sebagai
provinsi ke-27 setelah gubernur jenderal Timor Portugis terakhir Mario
Lemos Pires melarikan diri dari Dili setelah tidak mampu menguasai
keadaan pada saat terjadi perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses
dekolonisasi di Timor Portugis dan selalu mengklaim Timor Portugis
sebagai wilayahnya walaupu meninggalkannya dan tidak pernah diurus
dengan baik.

9
Lidiro Madu, dkk, 2010, Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu
Permasalahan dan Pilihan Kebijakan.

16
Bermula dari perang saudara di Timor Timur, Fretelin golongan
yang beraliran Marxis mendapat bantuan persenjataan. Bantuan
persenjataan yang berasal dari Portugis menjadikan mereka kelompok
yang berkuasa khususnya di daerah Dili. Pada 28 November 1975 secara
sepihak Fretelin memproklamasikan berdirinya Republik Demokrasi
Timor Timur dengan Xavier do Amayal sebagai presidennya, Ramos
Horta sebagai menteri luar negeri dan Nicol Lobato sebagai perdana
menteri.10
Namun, proklamasi ini tidak mendapat dukungan dari masyarakat
Timor Timur sendiri. Demi mewujudkan impiannya, Fretelin kemudian
melakukan tindakan pembersihan terhadap lawan-lawan politiknya untuk
menguasai wilayah Timor Timur sehingga terjadilah perang saudara.
Fretelin sebagai partai beraliran komunis terpaksa menghadapi empat
partai lain yang juga menguasai wilayah Timor Timur. Empat partai
(UDT, Apodeti, KOTA, dan Trabalista) yang menggabungkan kekuatan
itu, melakukan proklamasi tandingan yang dikenal sebagai proklamasi
Balibo pada 30 November 1975 yang menyatakan diri bergabung dengan
Indonesia pada 7 Desember 1975
Selanjutnya, pasukan Indonesia membantu keempat partai tersebut
untuk melumpuhkan kekuatan Fretelin. Pernyataan integrasi masyarakat
Timor Timur ke Indonesia di Balibo diulang kembali oleh para
pendukungnya di Kupang NTT) pada 12 Desember 1975. Melalui
pengulangan proklamasi tersebut, maka para pendukungnya sepakat
membentuk Pemerintahan Sementara Timor fimur (PSTT) pada 17
Desember 1975 yang beribukota di Dili dan dipimpin oleh Arnaldo dos
Reis Araujo sebagai ketua dan wakilnya Francisco Xavier lopez da Cruz
serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diketuai oleh Guillerme
Maria Gonsalvez dengan wakilnya Gaspocorria Silva Nones.
Pada 31 Desember 31 Mei 1976 saat sidang DPR tentang masalah
Timor Timur dikeluarkan petisi yang mendesak pemerintah RI untuk

10
Adi Fahrudin, 2012, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Refika Aditama: Bandung.

17
secepatnya menerima dan mengesahkan integrasi Timor Timur ke dalam
negara kesatuan RI tanpa referendum. Integrasi Timor Timur ke dalam
wilayah RI diajukan secara resmi pada 29 Juni 1976. Selanjutnya,
Pemerintah mengajukan RUU integrasi Timor Timur ke wilayah RI
kepada DPR RI.
DPR melalui sidang plenonya menyetujui RUU tersebut menjadi
UU No. Tahun 1976 pada 17 Juli 1976 dan ketentuan ini semakin kuat
setelah MPR menetapkan TAP MPR No. VI/MPR/1978. Walhasil, Timor
Timur menjadi Provinsi Indonesia yang ke-27 dan provinsi yang baru lahir
tersebut memiliki 8 kabupaten yang terdiri dari beberapa kecamatan.
Ketiga belas kabupaten tu adalah Dili, Baucau, Monatuto, Lautem,
Viguegue, Ainaro, Manufani, Kovalima, Ambeno, Bobonaru, Liguisa,
Ermera, dan Aileu. Arnaldo dos Reis Araujo dan Franxisco Xavier Lopez
da Cruz diangkat oleh Presiden Soeharta henjadi gubernur dan wakil
gubernur yang selanjutnya dilantik oleh Amir Machmud sebagai Menteri
Dalam Negeri pada 3 Agustus 1976.
Amerika Serikat dan Australia “merestui” tindakan Indonesia
karena takut Timor Leste menjadi kantong komunisme terutama karena
kekuatan Utama di perang saudara Timor Leste adalah Fretilin yang
beraliran Marxis Komunis. AS dan Australia khawatir akan efek domino
meluasnya pengaruh komunisme di Asia Tenggara setelah AS lari terbirit-
birit dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau Ho Chi Minh City. Namun
PBB tidak menyetujui tindakan Indonesia. Setelah referendum yang
diadakan pada tanggal 30 Agustus 1999, di bawah perjanjian yang
disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, mayoritas penduduk
Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia, Dengan mempertimbangkan
hal ini maka MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut
TAP MPR No. VI1/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada
1975.11

11
Muhammad Suud, 2006, 3 Orientasi Kesejahteraan Sosial, Preastasi Pustaka Publisher:
Jakarta.

18
Kelahiran negara baru (Timor Leste) tersebut, kemudian
menyisakan persoalan perbatasan negara antara Indonesia dengan Timor
Leste, baik di darat maupun di laut. Garis perbatasan wilayah darat antara
Indonesia dan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur bagian barat
sepanjang 268,8 kilometer meliputi Kabupaten Kupang, Timor Tengah
Utara, dan Belu. Di Kabupaten Belu sepanjang 149,9 km dihitung dari
Motaain di Utara sampai Mota Masin di selatan. Sementara panjang
perbatasan pada wilayah enclave Ambenu dengan Kabupaten Kupang
sepanjang 15,2 km dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) sepanjang
114,9 km.
Pada tanggal 5 April 2005, Indonesia dengan Timor Leste
mengadakan perjanjian perbatasan darat yang disebut dengan Provisional
Agreement. Melalui perjanjian perbatasan tersebut, kedua negara pada
intinya menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar 9696
dari panjang total garis batas. Garis bates darat tersebut ada di sektor
Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan Distrik
Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sekto' Barat
(Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasa"
Jangsung dengan wilayah enclave Oecusse sepanjang 119,7 km.
Dalam perjanjian perbatasan yang saat ini dilakukan oleh kedua
negara adalah bahwa kedua negara sepakat untuk membuka seluruh
sembilan pintu keluar-masuk untuk lalu lintas orang dan barang dari yang
hanya empat buah efektif saat ini, yaitu di Mota Ain, Motamasin, Napan
dan Wini. Kesembilan pintu perbatasan tersebut adalah empat di
Kabupaten Belu (Mota'ain, Meta: mauk, Haekesak, Haumusu), empat di
Kabupaten Timor Tengah Utara (Nayan, Wini, Laktutut, Haumenimau),
dan satu di Kabupaten Kupang (Oepoli).?8 Arambua merupakan pintu
gerbang utama menuju Timor Leste, melalui Pintu perbatasan Motaain
(sekitar 30 km dari Atambua). 12

12
Uber Silalahi, 2009, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika Aditama.

19
Penandatanganan perjanjian perbatasan di atas mengindikasikan
adanya hubungan yang semakin menguat antara Indonesia-Timor Leste.
Hubungan kelam pada masa lalu menjadi lubang hitam yang tidak perlu
diungkit-ungkit kembali karena hubungan baik kedua negara saat ini
menjadi tuntutan zaman. Mau tidak mau, suka tidak suka, kedua negara
saling bertetangga dan saling membutuhkan. Apa yang terjadi di negara
sebelah akan secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada
negara tetangganya. Terlebih ketika kedua negara memiliki batas wilayah
darat dan laut yang langsung berhubungan dengan masyarakat perbatasan
yang memiliki karakteristik khusus, yaitu sosial budaya yang sama melalui
proses kawin mawin.
C. Perbatasan Darat Indonesia-Papua Nugini
Batas darat antara Indonesia dengan Papua Nugini (PNG) mengacu
pada perjanjian Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas
tertentu antara Indonesia dengan Papua Nugini tanggal 12 Februari 1973,
yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973. Garis
batas Indonesia dengan papua Nugini yang disepakati merupakan garis
batas buatan, kecuali pada ruas Sungai Fly yang menggunakan batas alam
yang berupa titik terdalam ari sungai (thalweg). Garis batras RI-PNG
menggunakan meridian astronomis 141”01”00”BT mulai dari utara Irian
Jaya (Papua) ke selatan sampai ke Sungai Fly mengikuti thalweg ke
selatan sampai memotong meridian 14170110” BT. Demarkasi batas
sepanjang perbatasan kedua negara (820 km) telah dilaksanakan bersama
antara Indonesia dengan PNG dengan menempatkan sebanyak 52 pilar
dari MM 1 sampai dengan MM 14A yang merupakan batas utama
Meridian Monument.Dasar hukum bagi penegasan paras RI-PNG adalah
sebagai berikut.13
1. Deklarasi Raja Prusia tanggal 22 Mei 1885 tentang Perbatasan Antara
Wilayah Jerman dan Belanda dan Antara Jerman dan Inggris di Irian.

13
Endang Poewerti, 1998, Dimensi-Dimensi Riset Ilmiah, Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.

20
2. Konvensi antra Inggris dan Belanda tanggal 16 Mei 1895 tentang
Penentuan Garis Batas Antara Irian dan Papua New Guinea.
3. Persetujuan Ketelitian Hasil Observasi dan Traverse Kegiatan
Lapangan Antara RI-Australia tanggal, 4 Agustus 1964 guna
melaksanakan kegiatan tahun 1966/1967.
4. Persetujuan antara Pemerintah RI-Pemerintah Commonwealth
Australia tentang Penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu, yang
ditandatangani di Camberra tanggal 18 Mei 1971 dan disahkan dengan
Keppres No. 42 Tahun 1971.
5. Persetujuan antara RI dan Pemerintah Commonwealth Australia
tentang Penetapan Batas Dasar Laut Tertentu di Daerah Laut Timor
dan Laut Arafuru, sebagai tambahan pada persetujuan tanggal 18 Mei
1971 yang ditandatangani di Jakarta tanggal 9 Oktober 1972 dan
disahkan dengan Keppres No. 66 Tahun 1972.
6. Perjanjian antara RI-Australia mengenai Garis-Garis Batas Tertentu
Antara RI dan Papua New Guinea yang ditandatangani di Jakarta pada
tanggal 12 Februari 1973. Perjanjian ini masing-masing ditandatangani
oleh Menteri Luar Negeri RI Adam Malik dan dari Papua New Guine,
Mr Michael T. Samore atas nama Australia, karena pada saat itu PNG
belum berpemerintahan sendiri. Perjanjian ini telah diratifikasi oleh
Indonesia dengan UU No. 6 Tahun 1973 tanggal 8 Desember 1973.
7. Persetujuan antara Pemerintah RI-Pemerintah Australia (bertindak ata,
nama sendiri dan atas nama Pemerintah Papua New Guinea) tentang
Pengaturan-Pengaturan Administratif Mengenai Perbatasan Antara Ri.
PNG yang ditandatangani di Port Moresby pada tanggal 13 November
1973 dan disahkan dengan Keppres No. 27 Tahun 1974 dan diganti
dengan Persetujuan Dasar antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Papua New Guinea tentang Pengaturan-Pengaturan Perbatasan yang
Ditandatangani di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1979 yang
disahkan dengan Keppres No. 6 Tahun 1980, yang diperbarui di Port
Moresby pada tanggal 29 Oktober 1984, yang disahkan dengan

21
Keppres No. 66 Tahun 1984, yang kemudian diperbarui di Port
Moresby pada tanggal 11 April 1990 dan disahkan dengan Keppres No.
39 Tahun 1990.
8. Basic Agreement Between the Government of the Republic of
Indonesia and the Government of Papua New Guinea Concerning
Maritime Boundaries Between the Republic of Indonesia and Papua
New Guinea and Cooperation on Related Matters 13 Desember 1980.
9. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1982 tentang Panitia Penyelesaian
Masalah Wilayah Perbatasan RI-PNG, yang diubah dengan Keppres
No. 10 Tahun 1985 dan terakhir diubah dengan Keppres No. 57 Tahun
1985.
10.Basic Agreement Between the Govermant of the Republic Indonesia
and the Government of Papua New Guinea on the Arrangements for
Survey and Demarcation of the Boundary and Mapping of the Border
Areas between the Two Countries, yang ditandatangani di Port
Moresby pada tanggal 4 Agustus 1982 dan diperbarui kembali di
Rabaul pada tanggal 26 September 1985, yang diperbarui di Port
Moresby pada tanggal 11 April 1990.
11.Memorandum of Understanding (MOU) between the Government of
the Republik of Indonesia and the Government of Papua New Guinea
on th€ Arrangements for Survey and Demarcation of the Boundary and
Mappir? of the Border Areas between the Iwo Countries, Port Moresby
on 4 August 1982, yang diperbarui di Rabaul 26 September 1985,
diperbarui kembali di Rabaul pada tanggal, 15 November 1993.
12.Treaty of Mutual Respect, Friendship and Cooperation between the
Republic of Indonesia and the Independent State of Papua New
Guinea, Port Moresby 27 Oktober 1986.
13.Laporan-laporan Joint Border Committee ke-I s.d. XV dan Joint
technical sub Committee on Border Survey, Demarcation and Mapping
ke I s.d. ke-XVI.

22
14.Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri selaku Panitia Penyelesaian
Masalah Wilayah Perbatasan RI-PNG Nomor 185.505-904 tanggal 8
Juli 1985 tentang Pengangkatan Ketua Bakosurtanal sebagai Ketua Sub
Panitia Teknis Penetapan Batas Wilayah antara RI-PNG.
15.Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri selaku Panitia Penyelesaian
Masalah Wilayah Perbatasan RI-PNG No. 185.05-604 tanggal 1
September 1994 tentang Perubahan Sub Panitia Teknis Penetapan
Batas Wilayah antara RI-PNG.
16.Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri selaku Panitia Penyelesaian
Masalah Wilayah Perbatasan RI-PNG No. 126.05-446 tanggal 23
Agustus 1995 tentang Pengangkatan Kepala Pusat Survei dan
Pemetaan ABRI 'ebagai Sub Panitia Teknis Penetapan Batas Wilayah
antara RI-PNG.

23
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Rangkaian sejarah perbatasan Indonesia dengan Malaysia di
Kalimantan, sebelum kemerdekaan Indonesia tersebut merupakan
argumentasi historis yang memperkuat alokasi wilayah Indonesia di
Pulau Kalimantan, sehingga hal ini bermanfaat bagi penetapan proses
delimitasi dan demarkasi perbatasan Indonesia.
2. Penandatanganan perjanjian perbatasan di atas mengindikasikan
adanya hubungan yang semakin menguat antara Indonesia-Timor
Leste. Hubungan kelam pada masa lalu menjadi lubang hitam yang
tidak perlu diungkit-ungkit kembali karena hubungan baik kedua
negara saat ini menjadi tuntutan zaman. Mau tidak mau, suka tidak
suka, kedua negara saling bertetangga dan saling membutuhkan. Apa
yang terjadi di negara sebelah akan secara langsung maupun tidak
langsung berdampak pada negara tetangganya. Terlebih ketika kedua
negara memiliki batas wilayah darat dan laut yang langsung
berhubungan dengan masyarakat perbatasan yang memiliki
karakteristik khusus, yaitu sosial budaya yang sama melalui proses
kawin mawin.
3. Batas darat antara Indonesia dengan Papua Nugini (PNG) mengacu
pada perjanjian Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas
tertentu antara Indonesia dengan Papua Nugini tanggal 12 Februari
1973, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973.
Garis batas Indonesia dengan papua Nugini yang disepakati
merupakan garis batas buatan, kecuali pada ruas Sungai Fly yang m
enggunakan batas alam yang berupa titik terdalam ari sungai
(thalweg).

24
DAFTAR RUJUKAN

Adi Fahrudin. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosial, Refika Aditama: Bandung.


Deskripsi Wilayah Perbatasan Dan Pulau-Pulau Terluar. Data ini diperoleh dari
http://www.penataanruang.net/ta/lapak05/P5/4/Bab2.pdf diakses pada
tanggal 01 Juli 2021.
James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltgraff, Contending Teories of International
Relations. 1971. Lippincot: Universitas Michigan.
June Cahyaningtyas. 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa
Batas, Graha Ilmu: Yogyakarta.
Kerjasama Ekonomi Internasional diakses, pada tanggal 01 Juni 2021 diperoleh
dari http://hariyatno.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/30637/ekin-
meet-12.pdf.
Lidiro Madu, dkk. 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas:
Isu Permasalahan dan Pilihan Kebijakan.
Muhammad Suud. 2006. 3 Orientasi Kesejahteraan Sosial, Preastasi Pustaka
Publisher: Jakarta.
Prof. M. Mas’ud. 2010. Pemerintah, Kebangsaan, dan Keterbatasan di Daerah
Perbatasan, Hasil Penelitian DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Negara : Universitas Muhammadiyah
Malang
Rumusan Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Perbatasan di Kalimantan
Timur.2011.Data ini diperoleh dari
20110701114745.PolicyRecomendationKALTIMWeb.pdf diakses pada
tanggal 01 Juli 2021.
Siti Noorehan Mohd Zain. 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa
Batas, Graha Ilmu: Yogyakarta.
Uber Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika Aditama.
Wahyuni Kartikasari. 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa
Batas, Graha Ilmu: Yogyakarta.

25

Anda mungkin juga menyukai