WAWASAN KEMARITIMAN
DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Eliyanti Agus Mokodompit, SE., M.Si
OLEH:
RESKI
B1C119240
JURUSAN AKUNTANSI
2020
1. Menegakkan kedaulatan negara maritim
Langkah-langkah yang harus kita lakukan untuk menegakkan kedaulatan negara maritim
adalah sbb:
a. Memperbanyak jumlah kapal patrol laut, yang diperlengkapi dengan perangkat yang
memungkinkan untuk memonitor semua aktivitas, mengejar kapal-kapal yang
berlayar dan beroperasi secara illegal serta diperlengkapi pula dengan alat pertahanan
dan pelumpuhan
b. Semua pemerintah daerah hendaknya memfasilitasi penjagaan keamanan dan
kedaulatan negara di perbatasan laut dengan negara asing dengan memperbanyak
kapal-kapal patrol
c. Semua pemerintah daerah segera memfasilitai latihan gabungan (latgab)TNI, yang
meliputi wilayah ribuan hektar dengan kontur tanah dan laut yang mencerminkan
suatu medan tempur yang sesungguhnya
d. Keberadaan angkatan laut, dimasa depan perlu ditingkatkan kemampuan dan
kekuatannya sehingga setara dengan negara-negara ASEAN lainnya
a. Sumatera pada tahun 2015 sebanyak 55.272.000 jiwa – tahun 2020 sebanyak
59.337.000 jiwa
b. Jawa tahun 2015 145.143.000 jiwa – tahun 2020 sebanyak 152.449.000 jiwa
c. Bali dan nusa tenggara memilki 14.108.000 jiwa ditahun 2015 – tahun 2020
15.047.000 jiwa
d. Kalimantan tahun 2015 15.343.000 jiwa – tahun 2020 akan meningkat sebanyak
16.769.000 jiwa
e. Sulawesi tahun 2015 sebanyak 18.724.000- pada tahun 2020 sebanyak 19.934.000
jiwa
f. Maluku tahun 2015 sebanyak 2.848.000 jiwa akan meningkat – tahun 2020 3.110.000
jiwa
g. Papua tahun 2015 sebanyak 4.020.000 jiwa-tahun 2020 4.417.000
Dengan jumlah total populasi sekitar 260 juta penduduk, Indonesia adalah negara
berpenduduk terpadat nomor empat di dunia. Komposisi etnis di Indonesia amat
bervariasi karena negeri ini memiliki ratusan ragam suku dan budaya. Meskipun
demikian, lebih dari separuh jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh dua suku
terbesar. Bagian ini membahas struktur dan cirikhas penduduk Indonesia.
Dua suku terbesar ini adalah Jawa (41 persen dari total populasi) dan suku Sunda
(15 persen dari total populasi). Kedua suku ini berasal dari pulau Jawa, pulau dengan
penduduk terbanyak di Indonesia yang mencakup sekitar enam puluh persen dari total
populasi Indonesia. Jika digabungkan dengan pulau Sumatra, jumlahnya menjadi 80
persen total populasi. Ini adalah indikasi bahwa konsentrasi populasi terpenting
berada di wilayah barat Indonesia. Propinsi paling padat adalah Jawa Barat (lebih dari
43 juta penduduk), sementara populasi paling lengang adalah propinsi Papua Barat di
wilayah Indonesia Timur (dengan populasi hanya sekitar 761,000 jiwa).
Di satu sisi keragaman budaya adalah berkah bagi perekonomian terbesar di Asia
Tenggara ini. Setiap budaya menawarkan sesuatu yang menarik dan ini adalah
sebabnya jutaan wisatawan asing berkunjung ke Indonesia setiap tahun (maka sektor
pariwisata merupakan penghasil devisa yang penting). Misalnya, peninggalan budaya
seperti candi Borobudur dan candi Prambanan di Jawa Tengah dan Yogyakarta atau
budaya kontemporer seperti agama Hindu di pulau Bali adalah alasan bagi mereka
untuk memesan tiket pesawat ke Indonesia.
Vietnam
Ekuador
Filipina
Jepang Series 1
Papua Nugini
Korea Selatan
Spanyol
Iran
Taiwan
Selain itu, volume produksi TTC Indonesia memiliki selisih yang cukup
jauh dibandingkan dengan Vietnam yang menduduki posisi kedua. Volume
produksi TTC Vietnam sebesar 483,4 ribu ton, selisih 856,7 ribu ton dari
Indonesia. Negara selanjutnya yang memiliki volume produksi TTC terbesar
terdapat di Ekuador sebesar 383,3 ribu ton, Filipina sebesar 376,3 ribu ton, dan
Jepang sebesar 330,6 ribu ton
Padahal Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah, yakni
sebesar 9,9 juta ton pada 2018 dengan didukung potensi luas lahan budidaya ikan
yang mencapai 83,6 juta hektar. Rendahnya konsumsi ikan masyarakat Indonesia
disebabkan oleh beberapa hal.
Kedua, daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia masih rendah sehingga
konsumsi akan lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat sebagai
sumber energi. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
September 2018 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan masyarakat Indonesia sebesar Rp 1.152.261,00
dengan persentase pengeluaran untuk makanan sebesar 50,65 persen.
Sehingga rata-rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat Indonesia untuk
mengkonsumsi makanan hanya sebesar Rp 583.621,00; sangat timpang jika
dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan Malaysia
(239,5615 USD, setara sekitar Rp 3.444.894,00) dan Jepang (874,8215 USD,
setara sekitar Rp 12.579.933,00) yang merupakan negara dengan tingkat
konsumsi ikan per kapita yang cukup tinggi.
Ketiga, buruknya sistem distribusi ikan nasional yang membuat ikan segar dengan
kualitas baik hanya bisa dikonsumsi oleh sebagian kecil masyarakat sehingga
menyebabkan selisih harga produsen dan harga konsumen yang cukup besar serta
menimbulkan keengganan untuk mengkonsumsi ikan.
Harga produsen adalah harga transaksi antara petani (penghasil) dan pembeli
(pedagang pengumpul/tengkulak) untuk setiap komoditas menurut satuan
setempat, sedangkan harga konsumen/eceran adalah harga transaksi secara tunai
yang terjadi antara pedagang/penjual dan pembeli dengan satuan eceran di pasar
setempat untuk setiap jenis komoditas yang dibeli dengan tujuan untuk
dikonsumsi sendiri dan bukan untuk dijual kepada pihak lain (BPS, 2018).
Upaya Pemerintah
Perlu adanya upaya dari pemerintah yang didukung seluruh elemen masyarakat
Indonesia untuk membudayakan konsumsi ikan sehari-hari mengingat potensi
ikan sebagai sumber protein sangat relevan untuk mendukung program prioritas
pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Indonesia adalah negara kepulauan yang memilki wilayah laut serta wilayah
pengelolaan perikanan yang luas. Menurut Kementrian Perikanan dan Kelautan (2014)
Indonesia memilki daerah atau kawasan laut seluas 6,27 juta km2. Dan keseluruhannya
dapat dimanfaatkan dalam sektor perikanan Indonesia. Meskipun demikian, dalam
pelaksanaan banyak di antara nelayan Indonesia yang mengeksploitasi sumber daya
perikanan secara berlebihan atau yang disebut dengan overfishing.
Jadi seandainya pemerintah mengganti alat tangkap yang telah dilarang dengan
alat tangkap baru yang lebh selektif dan dapat diukur sebagai realitas kenaikan dari
produksi perikanan, maka pelarangan alat tangkap tertentu tentu tidak akan menurunkan
pendapatan nelayan. Kalau pun terjadi penurunan pendapatan nelayan itu pun hanya
bersifat sementara. Apalagi jika memang pelarangan penggunaan sejumlah alat tangkap
yang dilarang tersebut memiliki hubungan yang sangat kuat dengan produksi perikanan.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi nelayan untuk tetap menggunakan alat tangkap yang
dilarang seperti alat tangkap trawl misalnya, karena fakta menunjukan produksi
perikanan meningkat tidak sangat erat kaitannya dengan penggunaan alat tangkap yang
ramah lingkungan. Karenanya pula nelayan memiliki harapan meningkatkan kehidupan
dimasa datang yang lebih baik dengan tidak ada beban atau merasa penggantian alat yang
ramah lingkungan menurunkan tingkat penghasilan mereka.
Budi daya ikan adalah salah satu bentuk budi daya perairan yang khusus
membudidayakan ikan di tangki atau ruang tertutup, biasanya untuk menghasilkan
bahan pangan, ikan hias, dan rekreasi (pemancingan). Ikan yang paling banyak
dibudidayakan adalah ikan mas, salmon, lele, dan tilapia (sejenis ikan nila).[1]
Akuaponik
Karena sistem hidroponik dan akuakultur sangat beragam bentuknya maka sistem
akuaponik pun menjadi sangat beragam dalam hal ukuran, kerumitan, tipe makhluk
hidup yang ditumbuhkan, dan sebagainya.
Kandang
Kandang ikan adalah kandang yang ditempatkan di danau, kolam, sungai, atau
laut untuk melindungi ikan hingga ikan siap dipanen Kandang dapat didesain dari
berbagai jenis bahan. Ikan yang dipelihara di dalam kandang dapat diberi pakan
maupun dibiarkan memakan pakan yang datang dari lingkungan sekitarnya. Tipe
pemeliharaan dengan kandang memiliki keuntungan yaitu dapat dipelihara sesuai
dengan habitat ikan tersebut (air tawar, payau, atau laut) sehingga spesies ikan yang
dipelihara sangat beragam. Kandang ikan juga dapat dipelihara bersamaan dengan
pemanfaatan air lainnya seperti rekreasi dan irigasi Kekurangan sistem kandang
adalah risiko lepasnya ikan ke lingkungan. Jika spesies ikan yang dipelihara bukan
spesies endemik, dapat menjadi spesies invasif. Pencemaran perairan setempat dapat
menjadi risiko bagi ikan yang dipelihara dan begitu juga sebaliknya, pemeliharaan
ikan dapat menyebabkan pencemaran lokal, terutama dari sisa pakan dan obat-
obatan. Penyakit dan hama dapat berpindah lebih mudah dari lingkungan ke
kandang dan sebaliknya.
Permasalahan pada budi daya ikan pada dasarnya sama dengan permasalahan
pada budi daya perairan. Yang paling menonjol adalah efisiensi pada budi daya ikan
karnivora, seperti budi daya salmon, yang membutuhkan nutrisi lebih banyak dari
yang dihasilkannya. Namun kebutuhan pasar terhadap ikan salmon masih tinggi
sehingga pembudidayaan masih berkembang. Para pembudi daya sudah mampu
mensubstitusi protein menggunakan sumber dari tumbuhan, tetapi kebutuhan lemak,
terutama Omega 3, masih sulit untuk dipenuhi dari sumber tumbuhan sehingga
masih membutuhkan suplai dari hewani.
Meski demikian, beberapa jenis ikan juga cenderung membentuk populasi dengan
kepadatan tinggi di alam liar (fish school) seperti ikan herring, untuk memudahkan
mencari mangsa dan menghindari predator. Para pembudidaya mencoba untuk
mengoperasikan sistem pemeliharaan yang sesuai supaya tidak mengurangi rasio
konversi pakan (kg pakan kering/kg hasil daging ikan). Pengukuran tingkat
kesejahteraan hewan menjadi salah satu metode ilmiah dalam menentukan
kesuksesan budi daya ikan.
3. perikanan tangkap
Topografi laut
Arus laut
Arus laut adalah pergerakan air laut yang terarah dan kontinu. Arus laut adalah
aliran air yang bergerak karena gaya yang bekerja pada air seperti rotasi bumi,
angin, perbedaan temperatur dan kadar garam, dan gravitasi bulan. Kontur dasar laut
dan garis pantai juga mempengaruhi arah dan kekuatan arus laut.
Biomassa
Estuari adalah badan air dekat pantai di mana satu atau lebih sungai
terhubung dengan laut melalui estuari.[2] Estuari sering kali dikaitkan dengan
laju produktivitas biologis yang tinggi. Estuari hampir tidak merasakan efek
polusi yang berasal dari lautan namun menerima dampak terbesar dari polusi
yang terjadi di sungai.[3][4]
Laguna adalah badan air asin atau air payau yang relatif dangkal, terpisah
dari laut yang dalam oleh karakteristik geologi seperti gosong pasir, terumbu
karang, dan sebagainya. Laguna dihidupi oleh nutrisi dari laut. Laguna yang
dihidupi oleh nutrisi dari sungai disebut estuari.
Zona pasang surut adalah bagian dari laut yang terpapar udara ketika air
surut dan tenggelam ketika pasang tinggi. Area ini bisa beruba habitat
dengan berbagai jenis, dari bebatuan terjal, pantai berpasir, hingga lapisan
lumpur. Bentuk dan luas zona ini bervariasi.
Zona litoral adalah bagian dari laut yang terdekat dengan garis pantai.
Istilah litoral berasal dari bahasa latin, litoralis yang berarti "pantai laut"[5]
Definisi dari zona litoral menurut Encyclopædia Britannica adalah "bentang
alam ekologi laut yang mengalami efek ombak pasang surut dengan
kedalaman antara lima higga sepuluh meter di bawah titik terendah
permukaan laut ketika surut."
Zona neritik adalah bagian dari laut yang melebar dari zona litoral sampai
ke landasan benua Zona neritik atau zona sublitoral relatif dangkal, dengan
kedalaman mencapai 200 meter dan umumnya merupakan perairan yang
memiliki kandungan oksigen yang cukup, tekanan yang rendah, dan
temperatur dan kadar garam yang relatif stabil. Pada zona neritik cahaya
dapat menembus dengan baik sehingga terdapat kehidupan fotosintetik
seperti fitoplankton dan sargassum yang mengapung menjadikan zona neritik
lokasi di mana mayoritas kehidupan laut berada.
Terumbu karang
Terumbu karang adakah struktur aragonite yang diproduksi oleh organisme hidup,
berada di perairan tropis dangkal dengan sedikit nutrisi di dalam air. Aliran dari
sungai yang mengandung sisa pupuk pertanian mengangung nutrisi tinggi dan dapat
merusak terumbu karang karena mempercepat pertumbuhan alga yang menempel di
terumbu karang Terumbu karang dapat ditemukan di perairan beriklim sedang dan
tropis, tetapi terumbu karang umumnya diterbentuk di zona antara 30°N hingga
30°S dari ekuator. Terumbu karang merupakan tempat pembiakan alami bagi
organisme laut
Efek penangkapan ikan
Penghancuran habitat
Jaring ikan yang hilang atau ditinggalkan di laut oleh nelayan disebut dengan
jaring hantu, dan dapat menjerat ikan, lumba-lumba, penyu, hiu, hingga burung laut
yang mencari makan dengan menyelam. Jaring ini berperilaku seperti ketika ia
dibuat, yaitu menahan pergerakan hewan yang tertangkap, sehingga dapat
menyebabkan kelaparan, luka, hingga sesak nafas bagi hewan air yang
membutuhkan udara
Setiap spesies di ekosistem memiliki pengaruh atau dipengaruhi oleh spesies lain
dalam ekosistem tersebut. Hanya terdapat sedikit sekali hubungan antara predator
dan mangsa yang tunggal. Kebanyakan memakan, atau dimakan oleh, lebih dari satu
spesies. Hubungan mereka dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam banyak
kasus, jika satu spesies dihilangkan dari ekosistem, maka spesies lain akan
terpengaruh.
Standar dunia mengenai pencatatan spesies laut yang spesies adalah IUCN Red
List of Threatened Species. Daftar ini adalah dasar dari prioritas konservasi kelautan
di dunia. Satu spesies terdaftar dalam kategori jika diperhitungkan dalam kondisi
kritis, terancam, atau rentan. Kategori lainnya seperti hampir terancam dan
kekurangan data.
Spesies laut
Hingga tahun 2008, IUCN telah menilai sebanyak 3000 spesies laut. Hal ini
termasuk penilaian spesies dalam kategori Elasmobranchii (hiu dan pari), kerapu,
terumbu karang, penyu, burung laut, dan mamalia laut. Hampir seperempat dari
kelompok tersebut dikategorikan terancam.
Penyu 7 86%
Elasmobranchii seperti hiu dan pari adalah ikan air dalam yang membuat mereka
sulit untuk dipelajari di alam liar. Tidak banyak diketahui tentang ekologi dan
status populasi mereka. Kebanyakan informasi dari mereka datang dari spesies
yang ditangkap nelayan secara sengaja maupun tidak disengaja. Banyak dari
spesies tersebut merupakan hewan yang tumbuh dengan lambat dan tidak dapat
mengembalikan jumlah mereka akibat penangkapan ikan berlebih yang terjadi di
seluruh dunia.
Kerapu terancam karena penangkapan ikan berlebih, terutama karena ikan yang
ditangkap merupakan ikan yang siap bertelur dan ikan yang terlalu muda.
Terumbu karang terancam karena pemutihan karang yang terkait dengan
meningkatnya temperatur laut. Ancaman lainnya yaitu pembangunan di sekitar
pantai, ekstraksi terumbu karang, dan sedimentasi polusi.
Mamalia laut mencakup paus, lumba-lumba, ajing laut, singa laut, walrus,
duyung, dan beruang kutub. Ancaman utama yaitu jaring hantu yang membuat
mereka sulit untuk mengambil nafas kembali. Penangkapan ikan, polusi dari
kapal, dan tabrakan dengan perahu juga menjadi ancaman.
Burung laut sering tertangkap kail nelayan karena mencuri ikan yang telah
tertangkap. Ancaman lainnya yaitu jaring ikan di mana mereka terperangkap
ketika menyelam mencari ikan, dan tumpahan minyak.
Penyu, terutama telur mereka, terancam pembangunan pantai, penambangan
pasir, dan aktivitas manusia yang memburu telur penyu Di laut, penyu menjadi
sasaran pemancingan, menjadi tangkapan sampingan nelayan, dan jaring hantu.
IUCN pada tahun 2012 melakukan penilaian terhadap 17000 spesies laut.
Penilaian mencakup spesies yang berada di perairan hutan bakau dan yang mendiami
terumbu karang dan rumput laut, serta invertebrata penting seperti mollusc dan
echinodermata.
Perikanan air tawar memiliki keragaman spesies yang kurang seimbang jika
dibandingkan dengan luasnya ekosistem mereka. Air tawar merupakan rumah bagi
seperempat spesies ikan meski luas perairan air tawar hanya 1% dari luas permukaan
dunia. Pembangunan industri dan pertanian memberikan tekanan bagi ekosistem air
tawar. Air mulai tercemar atau diekstraksi dalam jumlah besar. Rawa-rawa mulai
dikeringkan, sungai dibelokkan arusnya, dan hutan dihilangkan sehingga
meningkatkan erosi dan sedimentasi sungai. Spesies invasif juga dipaparkan ke
ekosistem air tawar.
Pada tahun 2008, IUCN telah menilan sebanyak 6000 spesies air tawar dan sebanyak
21000 masih dalam proses. Namun dari data yang telah dihasilkan, secara global
spesies air tawar banyak yang terancam, dan mungkin lebih terancam dari spesies
laut.
Terkait Volume Ekspor untuk Komoditi Perikanan Konsumsi Hidup Pada Tahun
2019, lebih tinggi 24 % dibanding pada Tahun 2018. Sedangkan Untuk Komoditi
Perikanan Konsumsi Non Hidup pada Tahun 2019 lebih tinggi 27 % dibanding pada
tahun 2018.
Volume Ekspor untuk Komoditi Perikanan Non Konsumsi Hidup Pada Tahun
2019, lebih tinggi 21 % dibanding pada Tahun 2018. Sedangkan Untuk Komoditi
Perikanan Non Konsumsi Non Hidup pada Tahun 2019 terjadi kenaikan sebesar 47 %
dibanding pada periode yang sama tahun 2018.
Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
(BKIPM) Rina, mengungkapkan komoditas hasil perikanan Indonesia antara lain udang,
tuna, dan jenis pelagis lainnya, seperti cumi-cumi/gurita, rajungan, ikan demersal, tilapia,
serta rumput laut.
"Adapun pasar utamanya yaitu Amerika Serikat diikuti oleh Tiongkok, Jepang,
Malaysia, Taiwan, Thailand, Singapura, Vietnam, Italia, dan Hong Kong
Impor ikan Indonesia hingga saat ini masih impor beberapa jenis ikan untuk
kebutuhan konsumsi dan industri yang produksinya masih kurang. Untuk konsumsi itu
ikan salmon, Koi, Dry Fish dan ikan bahan baku industri seperti sarden, makare
Sementara wilayah Indonesia terdiri dari 70% laut dan 30% daratan. Sudah jelas hasil
laut berlimpah. Faktanya terbalik, Indonesia impor ikan dari beberapa negara. Alasan
impor pun dibuat alasan dramatisir bahwa ikan yang diimpor tak ada jenisnya di Laut
Indonesia. Sedih, kok bisa?.
Mestinya, nelayan Indonesia melaut sambil mengejar ikan hingga ke luar negeri,
agar tidak impor lagi. Sebagaimana Presiden Joko Widodo katakan: “Kapal Coast Goard
China dan nelayan China masuk wilayah Indonesia karena mengejar ikan dari China lari
ke perairan Natuna, Indonesia. Sebenarnya, begitupun nelayan Indonesia, mestinya
mengejar dan menangkap ikan dilaut atau perairan negara lain yang dikawal Tentara
Nasional Indonesia (TNI) agar berdaulat dan tidak impor lagi.
Pada periode lalu, pemerintah lakukan pelarangan pada 17 jenis alat tangkap ikan
karena dianggap pengrusakan terhadap lingkungan. Akibatnya, sejumlah pasar
tradisional, Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan Coldstorage macet distribusi bahan baku
sehingga nelayan rugi, pengusaha rugi, pemerintah rugi dan semuanya mengalamu
kerugian dan bangkrut.
Atas kebijakan pelarangan diatas, sala satu cara atasi bahan baku, ya
berkesempatan impor ikan tahun sejak 2015 – 2020. Alasan lain agar bisa impor yakni
menyalahkan nelayan karena kurang hasil tangkapannya. Lagi pula, seluruh masalah
dibebankan kepada nelayan.
Mestinya tidak ada lagi impor ikan karena pemerintah sudah klaim produksi ikan
sudah melimpah. Bahkan jumlah ikan di laut Indonesia, konon 12,54 juta ton sejak tahun
2017 hingga 2020 ini. Tetapi masih saja impor ikan. Pengusaha sebagai rentenir penikmat
keuntungan impor ikan, tentu banyak alasan untuk menjelaskan “mengapa masih
impor”?. Ya, tentu alasannya: yang di impor berbagai jenis untuk kebutuhan seperti
industri pakan dan konsumsi. Ditengah kampanye “Ayo Makan Ikan” ternyata sebagian
besar masyarakat Indonesia diperkotaan menikmati ikan impor ini. Bukan ikan hasil
tangkapan nelayan.
Kemana hasil tangkapan nelayan yang capai 6 juta ton pertahun seluruh Indonesia
itu. Apakah ikut di ekspor atau distribusi ke berbagai pasar tidak lancar?. Kalau
argumentasi legalkan impor dengan mengatakan: ikan-ikan tidak ada di perairan
Indonesia seperti Salmon untuk kepentingan industri “sarden makarel.” Ini hanya alasan
tak berdasar.
Aneh, sebenarnya produk UKM dan Unit Pengolahan Ikan (UPI) Indonesia sudah
lebih baik sebagai penunjang ekspor dan penambahan barier nontarif. Tetapi pemerintah
tetap impor ikan yang mestinya diantisipasi dengan peningkatan produksi ikan dalam
negeri. Bayangkan saja produk-produk dari Thailand dan Vietnam yang sebenarnya itu
dibeli dari Indonesia kemudian di repackaged.
Selain itu, Indonesia juga impor tepung ikan dan udang untuk kebutuhan utama
pakan ternak dari Chili, Peru dan Eropa. Sementara impor berbagai jenis ikan dari negara
yang relatif bukan penghasil ikan, seperti Oman, Tiongkok, Jepang sampai Pakistan.
Negara-negara sumber impor ini termasuk negara yang tidak memiliki standar Standar
Nasional Indonesia (SNI) ikannya. Sehingga ikan yang masuk Indonesia sangat jelek
kualitasnya.
Karena impor ikan sangat berpengaruh pada pasar saham. Badan Pusat Statistik
(BPS) merilis data perdagangan internasional periode Agustus 2019. Sepanjang bulan
Agustus 2019, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh 9,99% secara tahunan (year-on-
year/YoY), lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang
memperkirakan kontraksi sebesar 5,7% saja.
Secara keseluruhan, proporsi impor ikan beku dan moluska dari China memiliki
kontribusi yang signifikan jika dibandingkan dengan total nilai impor dua komoditas
tersebut. Sebagai catatan China memasok 41% kebutuhan ikan beku dan 49% kebutuhan
moluska impor ke Indonesia.
Sementara pada tahun lalu, impor terkontraksi sebesar 15,6%, juga lebih dalam
dibandingkan konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 11,295%. Alhasil,
neraca dagang membukukan surplus sebesar US$ 80 juta, lebih kecil dari proyeksi yang
sebesar US$ 146 juta. Jika impor ikan masih dalam jumlah kecil sekitar US$ 200 juta
atau setara Rp 2,9 triliun dengan kurs Rp 14.905. Sementara neraca perdagangan ikan di
Indonesia masih di atas US$ 2 miliar.
Namun, neraca itu masih stagnan dan relatif bertahan karena nilai impor ikan
belum mencapai US$ 200 juta ditahun 2018 lalu per semester. Jadi neraca kita itu masih
di atas US$ 2 juta dolar, sementara neraca perdagangan ikan kita masih di atas US$ 2
miliar.
Data yang diperoleh dan dipublikasi CNBC Indonesia per Januari 2020 bahwa
pada periode 2014-2019 impor hasil perikanan RI terus mengalami pertumbuhan. Pada
periode tersebut impor Indonesia telah naik 38%. Sementara pada periode yang sama
total impor perikanan RI dari China mengalami fluktuasi dan cenderung naik 2% secara
point-to-point.
Indonesia mengimpor berbagai macam hasil perikanan dari China mulai dari ikan
hidup, ikan beku, ikan segar, crustacean, moluska, hingga ikan yang sudah diolah. Impor
terbesar hasil perikanan Indonesia dari China adalah ikan yang dibekukan. Nilainya
mencapai US$ 61,9 juta pada 2018. Bahkan pada 2017 jumlahnya lebih tinggi dari itu,
mencapai US$ 77,3 juta. Proporsi ikan beku yang diimpor dari China mencapai 41% dari
total impor ikan beku Indonesia pada 2018. Tercatat impor ikan beku Indonesia dari
China periode 2014-2018 telah tumbuh 11%.
RI juga mengimpor crustacean dan moluska dari China. Walau nilainya tak
sebesar ikan beku, tetapi dua komoditas ini menjadi dua hasil perikanan yang nilai
impornya masuk tiga terbesar. Pada 2018 saja data Trademap menunjukkan impor
crustacean RI dari China mencapai US$ 4,6 juta sementara untuk moluska mencapai US$
4,8 juta.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 – 2019 lalu, bahwa Indonesia
memang masih mengimpor ikan asin di 2018 – 2019, meski jumlahnya kecil sekitar 393
kg dengan nilai US$ 6.623. Impor tersebut dilakukan dua kali. Pertama pada Januari
sebanyak 5 kilogram (kg) dengan nilai US$ 115, dan pada Juli sebanyak 388 kg dengan
nilai US$ 6.508. Ikan asin di impor dari Korea dan Jepang.
Kalau UKM dan UPI-UPI yang bisa fasilitasi produk perikanan Indonesia secara
maksimal dan menentukan wilayah ekspansi langsung ke pasar dunia sehingga tidak
melalui perantara negara lain. Karena selama ini, ekspor impor Indonesia selalu
menguntungkan negara lain.
Begitu juga, impor filet ikan patin dan dori. Sejak lima tahun lalu, sudah mulai
dikurangi. Langkah budidaya untuk antisipasi impor ikan dalam jenis apapun.
Bandingannya, produksi ikan patin di Vietnam lebih terintegrasi mulai proses
pembibitan, peternakan sampak pabrik olahan dalam satu lokasi. Hal tersebut lebih kecil
biaya operasional dan transportasi terpangkas dan membuat harga ikan patin di Vietnam
menjadi lebih murah.
Surplus neraca perdagangan Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi
-7,215% year-on-year (YoY), impor terkontraksi -4,855% YoY, dan neraca perdagangan
surplus tipis US$ 91 juta.
Di satu sisi, neraca pembayaran yang surplus tinggi menjadi kabar baik. Ketersediaan
valas di perekonomian domestik meningkat, sehingga tekanan transaksi berjalan (current
account) menurun. Ini bisa menjadi modal untuk memperkuat fondasi rupiah.
Namun di sisi lain, surplus ini patut dikhawatirkan. Pasalnya data yang ada begitu jelas
menggambarkan rantai pasok yang rusak.
Kinerja ekspor yang positif pada 2018 itu tampak dari beberapa poin. Pertama,
bertambahnya volume dan nilai ekspor hasil perikanan. Pada periode Januari–Oktober
2018, volume ekspor tercatat 915,64 ribu ton atau naik 6,22 persen dibandingkan periode
yang sama pada 2017. Sementara dari sisi nilai naik 10,33 persen dari 3,61 miliar dollar
AS pada Januari–Oktober 2017 menjadi 3,99 miliar dollar AS di periode yang sama
2018.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas utama ekspor hasil
perikanan Indonesia adalah rumput laut, udang, cumi-sotong-gurita, tuna, cakalang-
tongkol, dan kepiting-rajungan. Dari sisi volume, rumput laut ada di peringkat pertama,
sedikit mengungguli udang. Sedangkan secara nilai, ekspor udang menyumbang paling
besar dengan nilai 1,462 miliar dollar AS. Komoditas-komoditas ini diekspor ke sejumlah
negara tujuan utama, yaitu Amerika Serikat, Jepang, China, Uni Eropa, ASEAN, Taiwan,
Korea Selatan, dan Timur Tengah.
Kinerja ekspor yang membaik juga terlihat dari pertumbuhan PDB perikanan dan
neraca ekspor-impor hasil perikanan. Pada triwulan III 2015–2018, nilai PDB perikanan
berdasarkan harga konstan tercatat Rp 59,984 triliun; naik 3,71 persen dibandingkan
periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, neraca ekspor-impor pada Januari –
Oktober 2018 berada di angka 3,62 miliar dollar AS, meningkat dari 3,26 miliar dollar
AS pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Dorong keberlanjutan
Kebutuhan global akan produk perikanan kian tinggi. Jumlah penduduk dunia
terus bertambah, yang diiringi dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat
untuk beralih ke protein hewani yang berasal dari ikan.
Hal itu merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah untuk secara
serius memberantas IUU Fishing dan melarang penggunaan alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan. Pelarangan alih muat di laut (transshipment at sea) serta pembatasan
ukuran kapal penangkap ikan maksimal 150 GT dan kapal pengangkut 200 GT juga
menjadikan populasi ikan kian pulih
“Kelimpahan sumber daya ikan di laut dipengaruhi adanya natural mortality dan fishing
mortality. Natural mortality merupakan kematian alami yang tidak berpengaruh besar
pada stok, tidak seperti fishing mortality. Sebelum Oktober 2014, ribuan kapal ikan
secara ilegal mengeruk sumber daya ikan kita secara besar-besaran dengan ukuran kapal
antara 500-600 GT dan beberapa kapal berukuran lebih dari 1.000 GT.
Sekarang kapal-kapal itu sudah tidak ada lagi, ditambah adanya enforcement
dalam penggunaan alat tangkap, artinya sekarang tekanan terhadap stok sumber daya ikan
jauh berkurang dan proses pemulihan stok ikan terus berlangsung,” jelas Sekretaris
Jenderal KKP Nilanto Perbowo.
Keberlanjutan perikanan juga tak sekadar dilihat dalam konteks ekobiologi, tetapi
juga sosial ekonomi, baik industri perikanan maupun nelayannya. Dalam konteks sosial
ekonomi, keberlanjutan perikanan di Indonesia juga menunjukkan perkembangan yang
baik.
Ini dapat kita lihat misalnya di Bitung, Sulawesi Utara. Seiring peningkatan hasil
tangkapan, industri perikanan di Bitung terus tumbuh. Bitung menjadi salah satu sentra
produksi perikanan dengan banyaknya nelayan dan adanya sejumlah unit pengelolaan
ikan.
Posisi tawar nelayan pun lebih tinggi sehingga pengusaha harus lebih proaktif
mengidentifikasi dan melakukan kerja sama dengan nelayan untuk membeli ikan dengan
harga kompetitif dan pembayaran tunai.
Hal yang sama sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia dan diharapkan akan
terus membaik serta mendorong pemerataan ekonomi. Ke depan, produksi perikanan
Indonesia diperkirakan dapat bertumbuh 10–20 persen seiring dengan penertiban kapal,
perbaikan pengurusan perizinan, dan pencatatan laporan hasil usaha oleh para pelaku
industri perikanan tangkap.
Uni Eropa, misalnya, juga mengharuskan semua produk yang masuk bisa dilacak
asal-usulnya. KKP melalui Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan
Hasil Perikanan (BKIPM) sedang membangun sistem telusur ikan nasional. KKP juga
memonitor perusahaan terkait penerapan Hazard Analysis & Critical Control Point
(HACCP). HACCP adalah metode operasi terstruktur untuk mengidentifikasi risiko
keamanan pangan, mencegah bahaya dalam keamanan pangan, dan memastikan
kesesuaian produk dengan hukum.
Ditjen Penguatan Daya Saing dan Ditjen Perikanan Budidaya KKP saat ini sedang
fokus untuk menggenjot ekspor dari udang hasil budidaya. Bahkan, KKP merencanakan
peningkatan nilai ekspor 1 miliar dollar AS selama 3 tahun ke depan bisa diperoleh dari
udang, melalui optimalisasi lahan budidaya dan pengembangan udang windu (Penaeus
monodon) dan udang jerbung (Penaeus merguensis).
KKP juga telah menyusun target untuk sejumlah indikator kerja utama pada 2019.
Salah satunya, nilai ekspor hasil perikanan yang ditargetkan sebesar 9,5 miliar dollar AS.
Selain nilai ekspor, pertumbuhan PDB perikanan pada 2019 ditargetkan sebesar 11
persen dan nilai tukar nelayan 112,58. Capaian produksi perikanan tangkap diharapkan
sebesar 8,4 ton; perikanan budidaya 10,36 ton; dan rumput laut sebesar 19,54 ton. Secara
total produksi perikanan tahun ini ditargetkan sebesar 38,3 juta ton. [NOV/ACH]
Hal itu ditegaskan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti cara yang
yang tak biasa dibutuhkan sangat diperlukan Indonesia, karena IUUF masih terus ada
walau sudah ada larangan dan sanksi yang tegas. Di antara cara yang tak biasa itu, di
antaranya adalah penenggelaman kapal yang sudah terbukti melakukan pelanggaran.
Dengan cara seperti itu, Susi meyakini, aktivitas IUUF akan berkurang, meskipun
prosesnya akan sangat panjang. Tetapi, untuk bisa mencapai itu, perlu kemauan dari
semua pihak dan menyatukan pikiran serta tekad untuk melaksanakannya. Jika itu
berjalan, maka pelaku IUUF akan takut dan itu akan memberi efek jera kepada calon
pelaku lainnya.
dengan adanya peraturan larangan kapal asing masuk ke Indonesia untuk mencari
ikan, seharusnya perairan Indonesia bebas dari aktivitas IUUF. Tetapi, dia menduga, ada
keterlibatan dari petugas penegakan hukum (gakkum) di lapangan yang menyebabkan
kapal asing masuk hingga jumlahnya mencapai 70 ribuan.
“Saya mengerti untuk memberantas IUUF dengan tuntas tidak mudah. Maka dari itu
konsolidasi orang-orang yang berani dan berintegritas diperlukan,
10. Data dan prediksi aktivitas bongkar muat pelabuhan din indonesia
ekonomi dunia yang semakin cepat dan akan diterapkannya skema kerja sama
ASEAN pada 2015, menuntut peran pelabuhan yang semakin besar. Bukan saja
dibutuhkan lahan pelabuhan yang luas, dermaga yang panjang dan alur yang cukup
dalam, namun tantangan kedepan bagaimana mengefektifkan dan mengefisienkan
pelabuhan Indonesia sehingga memiliki daya saing. Anne Padmos dari Rotterdam
Shipping and Transport College pernah menyatakan, bila tahun 2010 pelabuhan
pelabuhan di dunia membongkar muat 547 unit peti kemas ukuran 20 kaki, pada tahun
2017 diprediksi melayani 731 juta TEUs (twenty foot equivalent units). Bahkan, Direktur
Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) RJ Lino pernah mengatakan, bila pada tahun
1980-1996 sebanyak 60 persen lebih kapal kontainer berukuran di bawah 3.000 TEUs,
pada tahun 2012 lalu sebanyak 46,03 persen kapal kontainer yang melaut berukuran di
atas 5.000 TEUs. Prediksi peningkatan tersebut sudah terlihat dari tahun ke tahun pada
pelabuhan pelabuhan di Indonesia. Catat saja, arus peti kemas yang melewati pelabuhan
yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau dikenal Indonesia Port
Corporation (IPC) sepanjang tahun 2012 lalu mencapai 6.445.791 TEUs. Angka ini naik
sekitar 9 persen dari 2011 yang hanya 5.918.797 TEUs. Penyumbang terbesar trafik peti
kemas ini memang Pelabuhan Tanjung Priok atau melayani 98 persen (5.830.589 TEUs)
dari total arus peti kemas. Kondisi tak jauh berbeda terjadi di Terminal Peti Kemas
Surabaya (TPS) yang merupakan pelabuhan terbesar kedua di Indonesia. Jika tahun-tahun
terdahulu, kenaikan total throughput pada pelabuhan ini hanya berkisar 3-5 persen, tahun
2012 mencapai 7 persen. Realisasi bongkar muat peti kemasnya sepanjang 2012
mencapai 1. 364.045 TEUs. Menariknya, menurut Direktur Utama PT Terminal Peti
Kemas Surabaya M Zaini, total throughput itu masih didominasi oleh peti kemas
international. Ia juga memaparkan bahwa fenomena saat ini, perusahaan perusahaan asing
yang mendominasi angkutan komoditas ekspor/impor mulai mengoperasikan kapal-kapal
dengan volume yang lebih besar. Didukung pernyataan Support Manager Operational
TPS Rumaji, untuk kapal-kapal berbendera asing jumlahnya mencapai 80 call per bulan.
Sedangkan untuk angkutan komoditas antarpulau yang mayoritas menggunakan kapal
berbendera Indonesia mencapai 55 call setiap bulan. Kondisi di atas menggambarkan
bahwa modernisasi dan perbaikan fasilitas pelabuhan mau tak mau harus segera
dilakukan. Apalagi mengingat, hampir 70 persen perdagangan dunia berlangsung di
kawasan Asia Pasifik dan 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan itu
dikirim melalui laut Indonesia. Nilainya tak tanggung-tanggung, mencapai 1.300 triliun
dolar AS per tahun. Memang, seiring skema ekonomi dunia, terjadi pergeseran pusat
ekonomi dari Atlantik ke Asia Pasifik. Lantas bagaimana kesiapan pelabuhan Indonesia?
Ketua Umum DPP Indonesian National Ship Owners Association (INSA) Carmelita
Hartoto di Jakarta mengatakan, fasilitas pelabuhan masih jauh dari optimal. Fasilitas
pelabuhan kontainer dan kargo seperti lapangan penumpukan, dermaga dan alat bongkar
muat terbatas, akses keluar masuk pelabuhan tidak tersistem, hingga soal buruh dan
kenaikan tarif yang tidak tertib, yang pada akhirnya berdampak pada tingginya biaya
logistik di pelabuhan. Wakil Ketua Bidang Angkutan Laut KADIN Asmari Herry
mengatakan, buruknya fasilitas pelabuhan membuat tingginya biaya logistik
pengangkutan kontainer di pelabuhan. Menurutnya, terjadi kenaikan tarif bongkar muat
yang gila-gilaan di sejumlah daerah. Dia mencontohkan, di Pelabuhan Belawan, tarif
bongkar muat naik 50 persen, sementara pelabuhan Pontianak naik 100 persen. Menurut
Asmari, perusahaan pelayanan telah berusaha melakukan efisiensi. Namun penerapan
tarif yang tidak fleksibel, membuat biaya kapal mengangkat barang sangat tinggi, mulai
dari biaya sandar, bongkar muat, hingga penyimpanan. Selain itu, komponen biaya di
pelabuhan mencapai 60 pesen dari total biaya pengiriman barang. Asmari
mengansumsikan, jika bongkar muat sebesar Rp 6 juta, kapal muatan 1.000 TEUs
Jakarta-Belawan bisa menghabiskan biaya pelabuhan sebesar Rp 3 juta. Sedangkan total
biaya pengiriman hanya Rp 5 juta. Bagi pengusaha, kata dia, akses jalan, ketersediaan
kendaraan dan kelancaran angkutan pelabuhan sangat menentukan biaya. Memang
berdasarkan hasil survei yang pernah dilakukan Pusat Studi Transportasi dan Logistik
LPPM-ITS Surabaya dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), biaya
pelayaran masih relatif terbesar yaitu 52-60 persen dari total biaya angkutan (dari struktur
biaya produksi), tergantung dari komoditas dan lokasinya. Biaya terbesar lainnya adalah
ongkos pelabuhan, baik pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan yang diperkirakan dalam
rentang 27-36 persen. Sisanya angkutan darat 9-16 persen. World Economic Forum
(WEF) juga pernah melansir bahwa pada tahun 2012 lalu peringkat daya saing global
Indonesia turun. Dari peringkat 46 (2011) menjadi 50 (2012). Dalam skala perdagangan
international, pelabuhan Indonesia juga masih kalah dengan pelabuhan Singapura dan
Malaysia. Lihat saja, kedalaman kolam rata-rata pelabuhan di Indonesia hanya 6-12
meter. Sehingga hanya kapal-kapal kecil menengah saja yang bisa bersandar. Sementara
kapal-kapal berkapasitas besar memilih berlabuh di Pelabuhan Singapura, Malaysia atau
Hongkong yang memiliki kedalaman kolam 16 meter. Akibatnya, kegiatan ekspor impor
Indonesia masih sangat bergantung kepada negara lain. Dulu ketika Pelabuhan Tanjung
Priok masih memiliki kedalaman kolam 13,5 meter, hanya kapal kecil- menengah yang
mampu bersandar di pelabuhan ini. Kapal-kapal tersebut umumnya hanya menjadi feeder
untuk pelabuhan di Singapura, Malaysia, dan Hongkong. Namun, setelah kolam
diperdalam menjadi 14 meter dan fasilitas pelabuhan dimodernisasi, beberapa kapal
berkapasitas 4.000-5.000 TEUs mulai bersandar di Tanjung Priok. Kini, tingkat
ketergantungan Indonesia terhadap pelabuhan di negara lain pun turun drastis. Menurut
PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, arus kontainer ekspor- impor Indonesia melalui
Singapura turun dari 70 persen menjadi 18 persen. Dari sisi jumlah pelabuhan, dibanding
dengan negara kepualuan di dunia seperti Jepang dan Philipina, jumlah pelabuhan di
Indonesia masih sedikit. Rasio pelabuhan Indonesia terhadap luas wilayah Indonesia
adalah 2,93 km2/pelabuhan, sedangkan Jepang 0,34 km2/pelabuhan dan Philipina
0,46km2/pelabuhan. Berdasarkan jumlah penduduk, rasio pelabuhan di Indonesia hanya
0,3 juta orang/pelabuhan, di Jepang 0,11 juta orang/pelabuhan, dan Philipina 0,11 juta
orang/pelabuhan. Pada skala nasional di tahun 2005 baru ada 6.000 kapal beroperasi di
dalam negeri, tapi saat ini sudah ada 12 ribu kapal. Dan itu tidak sebanding dengan
pelabuhan yang ada. Karena itu, Ketua Umum DPP Indonesian National Ship Owners
Association (INSA) Carmelita Hartoto di Jakarta beberapa waktu lalu mendesak agar
modernisasai pelabuhan tidak ditunda-tunda lagi. Menurut dia, pemerintah dan operator
pelabuhan harus benar-benar fokus dalam melakukan pembangunan infrastruktur
"Pengerjaan proyek-proyek pelabuhan di Indonesia harus dipercepat," tegasnya. Menurut
dia, sektor logistik melalui laut harus siap dalam menghadapi perkembangan zaman. Dan
itu kuncinya ada di pelabuhan. Pelabuhan harus menjadi lokomotif bagi Indonesia
menurunkan biaya logistik secara signifikan. "Jika pelabuhan sudah modern, operator
kapal dengan sendirinya akan berinvestasi menambah kapasitas dengan ukuran yang
lebih besar," jelas dia. Bahkan, jika pelabuhan sudah modern, INSA siap menambah
jumlah kapal ekspor-impor. INSA bahkan berharap dana bantuan luar negeri juga bisa
digunakan untuk percepatan modernisasi pelabuhan-pelabuhan strategis. Menurut
Carmelita, anggota INSA akan berinvestasi menambah kapal-kapal dengan ukuran yang
lebih besar berdasarkan ketersediaan infrastruktur dan muatan. Menurut dia, perusahaan
pelayaran banyak yang ingin meremajakan kapalnya. Namun memilih menunggu hingga
pelabuhan di Indonesia benar-benar diperbaiki. Ia mengakui, saat ini tidak kurang 60
persen dari 11.300 unit kapal niaga nasional sudah masuk usia diremajakan. Namun
rencana peremajaan menunggu modernisasi pelabuhan, supaya kapal yang didatangkan
bisa bermanfaat secara optimal. Wakil Kepala Kantor Perwakilan Bank Pembangunan
ASIA (ADB) di Indonesia Edimon Ginting pernah mengatakan, konektivitas yang kurang
baik, kendala infrastruktur, dan biaya logistik yang tinggi menghalangi Indonesia untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan upaya pemerataan kesejahteraan
bagi seluruh penduduk Indonesia. Edimon mencontohkan, sekitar 70 persen perbedaan
harga beras di daerah di seluruh Indonesia diakibatkan oleh biaya pengiriman. Ini
cerminan dari kondisi buruknya jalan, pelabuhan yang padat dan belum berkembangnya
sistem transportasi antarpulau. Karena itu, percepatan pembangunan dan modernisasi
infrastruktur pelabuhan tampaknya memang tidak bisa ditunda-tunda lagi guna
menurunkan biaya logistic dan menyambut persaingan pasar bebas.
Tantangan dan Upaya Langkah-langkah menyambut tantangan di atas memang
perlahan sudah disiapkan, baik oleh pemerintah maupun pihak pelabuhan. Direktur
Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau lebih dikenal IPC RJ Lino menyatakan,
pihaknya telah melakukan berbagai langkah pengembangan korporasi sesuai dengan
standar international. IPC sejak tahun 2012 lalu, menurut dia, telah mengakselerasi
perubahan penanganan bisnis. Jika sebelumnya, perusahaan bekerja secara regional base,
berubah menjadi business base. Itu dilakukan dengan pembentukan anak-anak
perusahaan yang lebih fokus dan optimal dalam menangani masing-masing line business.
Tahun 2012 lalu, IPC membentuk lima anak perusahaan baru dan pada tahun ini
berencana membentuk lima anak perusahaan lagi. "Kami ingin IPC menjadi entitas
operator terminal yang dapat memberikan pelayanan operasional yang lebih baik.
Sehingga pada akhirnya, IPC mampu memberikan end to end port solution kepada para
pengguna jasa," jelasnya pada konferensi pers 'Menengok Kinerja IPC Tahun 2012 dan
Rencana Korporasi Tahun 2013' di Jakarta pada Selasa (5/2/2013). Dari sisi hard
infrastructure, kata Lino, IPC melakukan pembenahan berbagai fasilitas pelabuhan serta
peralatan handling kontainer. Penempatan teknologi modern berupa Gantry Hib Crane,
QCC Twin, dan RMCG di Pelabuhan Panjang, Pontianak, Teluk Bayur, Pangkal Balam,
dan Palembang. IPC juga melakukan optimalisasi dan konfigurasi lahan serta
pembangunan terminal NewPriok. IPC pada tahun ini pun siap mengoperasikan sistem
Indonesia Logistics Community Service (ILCS) dan sistem Pendulum Nusantara. Melalui
ILC ini, proses bisnis akan lebih sederhana, sehingga diharapkan mampu mendorong
produktivitas sebesar 30-60 persen. Menurut IPC, ini bisa berdampak pada penurunan
waktu tunggu (dwelling time) sehingga dapat meningkatkan daya saing Indonesia dalam
industri kepelabuhan dunia. Jika waktu tunggu barang rata rata 6,3 hari, tahun ini
targetnya menjadi 4 hari saja. Lino mengatakan, dengan percepatan dwelling time ini
akan meningkatkan daya saing pelabuhan Indonesia dan target biaya logistik 10 persen
bisa tercapai. Lino juga menjelaskan, beberapa keuntungan lain yang ditawarkan ILCS.
Seperti, keberlangsungan informasi antara satu pelabuhan dengan pelabuhan lainnya,
kemudahan penyerahan data yang lengkap dan terkini melalui e-logistic, transaksi yang
aman dan efisien, serta akses data yang tersentralisasi dan transparan. "Program ini akan
berjalan berdampingan dengan Indonesia National Single Window (INSW) untuk secara
bersama-sama memperbaiki kualitas sektor logistik Indonesia," katanya. Seperti
diketahui, sejak Juli 2012 lalu, IPC telah ujicoba menerapkan inaportnet yang
mendukung INSW sebagai upaya meningkatan pelayanan dan memangkas biaya logistik
nasional. Menurut Lino, sistem ini sangat mengutungkan penguna jasa karena bisa
mempercepat pelayanan dan menghemat waktu tunggu kapal hinggal 15 persen.
Penerapan inaportnet akan mempercepat implementasi NSW di Indonesia dan
mendorong kelancaran arus barang serta kinerja pelayanan ekspor/impor. Lebih jauh ke
depan, sistem ini menjadi salah satu persiapan Indonesia menuju ASEAN Single Window
(ASW). Karena perdagangan global sekarang tidak lagi bisa ditahan atau dihindari. "Kita
harus siap menghadapi dan bisa mengambil peluang dari situ," ungkap Lino. Direktur
Operasional PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Dana Amin menambahkan, inaportnet
merupakan sistem layanan tunggal yang mengintegrasikan layanan kebutuhan
administrasi perkapalan di seluruh instansi terkait di pelabuhan. Sistem ini
memungkinkan pengurusan administrasi online terintegrasi untuk surat izin kelaikan
berlayar, surat izin kesehatan kapal, surat bebas karantina, entry/exit permit bagi pekerja
kapal, serta berbagai izin lain yang diperlukan sebuah kapal untuk sandar atau berlayar.
Pemilik atau kapten kapal akan mengetahui dokumen apa saja dan berapa biaya yang
diperlukan, serta izin mana yang telah diperoleh dan mana yang tidak. Ini akan
mempercepat waktu yang dibutuhkan suatu kapal untuk mendapatkan izin merapat atau
pergi dari dermaga sehingga berthing window yang disepakati oleh PT Pelabuhan
Indonesia II (Persero) dengan pemilik kapal dapat dicapai tepat waktu. "Tren sekarang ini
semua sudah bisa dilakukan secara online, mulai dari membeli barang, transfer dana, atau
pembayaran online lain. Maka sistem logistik yang sedang kita bangun harus dan bisa
mengikuti tren itu, dengan tetap berlaku universal bagi semua pengguna jasa atau semua
cara pembayaran, supaya tetap bisa dipakai siapa saja," tambah Dana Amin. Sedangkan
sistem Pendulum Nusantara yang saat ini terus dimatangkan persiapan implementasinya
akan melibatkan enam pelabuhan besar di Indonesia. Yaitu, Pelabuhan Belawan, Tanjung
Priok, Tanjung Perak, Makasar, Papua dan Pelabuhan Batam. Sistem ini nantinya akan
mengakomodasi kedatangan kapal-kapal di enam pelabuhan utama dan setelah kapal-
kapal besar sandar, sistem pendulum akan memacu kapal-kapal pendukung yang lebih
kecil melayani wilayah-wilayah di sekitar enam pelabuhan utama tadi. Keenam
pelabuhan besar yang telah ditunjuk akan menjadi pusat dari distribusi barang di area
sekitarnya. Sehingga pendulum nasional juga menjadi solusi yang efektif dalam
mencegah berlayarnya kapal berkapasitas kosong dari satu tempat ke tempat lain. "Hal ini
dapat meningkatkan perdagangan yang lebih murah dan berdampak pada penurunan
biaya logistik nasional, dan implementasi konsep ini sejalan dengan semangat
pemerataan ekonomi yang menjadi citacita IPC," beber dirut IPC. Pemerintah, terusnya,
berkomitmen untuk mempercepat pembangunan pelabuhan dan modernisasi fasilitasnya
termasuk pendulum yang menuju ke timur yang diyakini bisa menekan ongkos logistik.
Meski begitu, Lino mengatakan, untuk mendorong peningkatan roda perekonomian
nasional perlu partisipasi berbagai pemangku kepentingan kepelabuhan lainnya. "IPC
tidak mungkin bisa bekerja sendirian. Kami perlu dukungan dari berbagai pihak,
termasuk pemerintah. Kami berharap, pemerintah dapat menjaga berbagai kebijakan yang
akan dikeluarkan agar tetap sejalan dengan semangat menurunkan biaya logistik nasional
dan kami berharap tidak berbenturan dengan kepentingan kami dari kacamata bisnis,"
ujarnya. Ia juga mengharapkan agar pembangunan Terminal NewPriok tetap menjadi
prioritas utama pembangunan pelabuhan di Indonesia sekaligus untuk menepis
kekhawatiran terjadinya kongesti di Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun-tahun
mendatang. ADB sendiri bekerja sama dengan pemerintah berupaya mengurangi
kesejangan infrastruktur dan memperkuat akses bagi daerah pedesaan yang miskin
sehingga membuka jalan menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih bekelanjutan. ADB
tahun lalu memberikan pinjaman program senilai USD 300 juta untuk mendukung
pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) melalui perbaikan konektivitas domestik dan international. Kementerian
Perhubungan juga telah menganggarkan dana perbaikan dan pengembangan 29
pelabuhan nasional sebesar USD 13 miliar hingga 2025. Dana ini diharapkan dapat
mengatasi masalah dalam sistem logistik di jalur laut. Berdasarkan MP3EI yaitu
diprioritaskan untuk 29 pelabuhan dari sekitar 1.324 pelabuhan di Indonesia yang akan
diimplementasikan hingga 2025. "Ada sebanyak Rp 117 triliun yang harus diinvestasikan
dalam pengembangan pelabuhan-pelabuhan kita," ujar Wakil Menteri Perhubungan
Bambang Susanto dalam diskusi Kesiapan Pelabuhan Mewujudkan Konektivitas Logistik
Nasional dan ASEAN di Jakarta. Ia mengakui, jumlah tersebut tidaklah besar jika melihat
kondisi Indonesia yang memiliki ratusan pelabuhan yang tersebar di berbagai daerah di
tanah air. Karena itu, pemerintah akan menentukan pelabuhan yang akan dikembangkan
sebagai pelabuhan lokomotif dan pelabuhan gateway. Berdasarkan data Kementerian
Perhubungan, di Indonesia terdapat 111 pelabuhan komersial, 614 pelabuhan
nonkomersial, 472 terminal khusus, dan 721 terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS).
"Kami akan melakukan regrouping, supaya pelabuhan bisa berfungsi secara maksimal,"
ujarnya. Direktur Utama IPC RJ Lino mengakui, untuk memperbaiki infrastruktur
memang membutuhkan biaya yang banyak. Karena itu, perbaikan infrastruktur harus
dilakukan secara selektif dan secepatnya. Langkah ini memang harus segera dilakukan,
mengingat waktu yang tersisa bagi Indonesia menyambut pasar bebas tinggal sedikit.
Konektivitas Dengan posisi Indonesia yang dekat dengan persilangan rute
perdagangan dunia, dilalui jalur pelayaran international timur-barat dan utara-selatan
serta menganut konsep negara kepulauan, Indonesia harus mampu memainkan peranan
penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan regional. Pelabuhan
menjadi sarana paling penting untuk menghubungkan antarpulau ataupun antarnegara.
Kapal-kapal yang datang dari Samudera Hindia dengan tujuan Asia Timur Jauh akan
melintasi wilayah perairan Indonesia melalui Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok,
dan Selat Timor. Sebagian besar kapal akan melalui Selat Sunda dan Malaka karena
jaraknya yang paling dekat. Kondisi ini jelas akan sangat menguntungkan Tanjung Priok
dan Belawan, sementara Tanjung Perak lebih berfungsi sebagai pelabuhan distribusi
untuk kawasan timur Indonesia. Direktur Kelembagaan Indonesia Maritime Institute
(IMI) Dr Y Pangoanan menyatakan, dalam skala nasional yang terpenting harus dibenahi
saat ini adalah amburadulnya pelayanan operator pelabuhan. Seperti kasus antrean ribuan
truk pengangkut bahan pangan di Pelabuhan Merak, Banten begitupun di Bakauheni,
Lampung. Kondisi itu membuat waktu tunggu berlabuh lebih lama, sehingga distribusi
barang antarpulau pun tersendat. Efek lanjutannya, harga komoditas menjadi naik,
sehingga ekonomi biaya tinggipun terus menghantui. "Pembangunan berbasiskan
maritim, penyediaan pelabuhan yang berkualitas dan tepat guna merupakan salah satu
pilarnya," ujar dia. Menurutnya, Indonesia harus mengembangkan sedikitnya 10
pelabuhan utama berstandar international. Seperti, Belawan, Tanjung Priok, Tanjung
Mas, Tanjung Perak, Bitung, Pontianak, Pangkalan Bun, Pelabuhan Panjang, dan
beberapa pelabuhan yang memiliki posisi strategis.
Pelabuhan Contoh Tahun 2013 ini, mungkin kita akan melihat sebuah contoh
pelabuhan yang dikelola secara professional. Sebab, PT Pelindo II (Persero) berencana
membangun Pelabuhan Sorong baru di Pulau Teleme, Papua.
Direktur Utama PT Pelindo II atau IPC RJ Lino dalam jumpa pers di Jakarta,
Selasa (5/2/2013) menjelaskan, pihaknya akan menyiapkan dana investasi sebesar Rp 7
triliun untuk mendukung pembangunan Pelabuhan Sorong dan Kalibaru. Dikatakan dia,
Pembangunan Kalibaru sudah jalan, sementara Sorong masih dalam proses perizinan.
Lino mengatakan, ada kemungkinan Pelabuhan Sorong nanti sejak awal pengelolaan
diserahkan ke Eurogate, salah satu pengelola terminal terbesar di Eropa yang telah
melayani lebih dari 12 juta unit TEUs per tahun. Menurutnya, Indonesia memang butuh
belajar dari operator kontainer kelas dunia agar bisa bekerja lebih efisien. Luas lahan
untuk pembangunan Pelabuhan Sorong memang sangat lebar, antara 7.500-10.000
hektare. Ini setara dengan luas Pelabuhan Rotterdam di Belanda. Tidak hanya itu,
perairan di sekitar Teleme juga berkedalaman 18-30 meter, sehingga sangat ideal bagi
kapal kargo bermuatan ribuan hingga puluhan ribu TEUs bersandar. Dikatakan Lino,
Pelabuhan Sorong nantinya akan mendukung sistem Pendulum Nusantara guna
mengurangi mahalnya biaya logistik angkutan laut sekaligus mendorong pemerataan
ekonomi di seluruh Indonesia. Sementara pembangunan Pelabuhan Kalibaru di Jakarta
Utara nantinya akan digunakan sebagai terminal kontainer dan terminal bahan bakar
sekaligus menambah kapasitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok. Indonesia juga
bisa belajar pada pelabuhan-pelabuhan kelas dunia, yang lebih dulu maju dalam
mengelola pelabuhannya. Seperti pada Pelabuhan Valencia, Spanyol. Di sini kerja
pelabuhan sangat efisien dengan menerapkan IT dalam setiap aktivitasnya. Semua kerja
di pelabuhan tersistem, tidak ada truk yang masuk pelabuhan tanpa notifikasi dari otoritas
pelabuhan. Ketika sebuah kapal hendak memasuki Pelabuhan Valencia, otoritas
pelabuhan dengan sistem IT langsung mengirimkan pesan supaya alat siap untuk
membongkar muat kontainer. Kemudian, langsung memesan truk dari sebuah perusahaan
trucking untuk membawa peti kemas keluar dari pelabuhan. Jumlah peti kemas yang
dibawa kapal itu, juga langsung terinformasikan sehingga dapat diketahui berapa alat
kerja crane yang harus disiagakan. Juga berapa banyak truk yang dibutuhkan, termasuk
disiapkan rute perjalanannya. Bahkan, kini Valencia menggunakan kereta api untuk
bongkar muat barang, sehingga semakin efisien. Pelabuhan Hamburg di Jerman, sudah
jauh lebih baik. Di sini, sekitar 24 persen barang sudah didistribusikan keluar masuk
dengan kereta api. Tidak hanya itu, hampir di tiap dermaga di Pelabuhan Hamburg,
memiliki emplasemen kereta api sehingga sebagian barang yang keluar dapat diangkut
tanpa mengganggu lalu lintas lokal. Di Pelabuhan Hamburg, bahkan terlihat taxi
container atau barges yang bukan hanya mengantarkan peti kemas dari satu dermaga ke
dermaga lain, tetapi juga menuju pelabuhan-pelabuhan lain di daratan Eropa. Sangat
efisien. Karena teorinya, biaya pengangkutan barang melalui air hanya 10 persen dari
biaya pengangkutan di darat. Di Rotterdam, dengan kapasitas bongkar muat kargo
sebanyak 430 juta ton per tahun, otoritas Pelabuhan Rotterdam memang secara resmi
hanya mempekerjakan 1.200 orang, tetapi dampaknya sangat luas. Di kawasan Pelabuhan
Rotterdam misalnya, dipekerjakan 90.000 orang yang terlibat langsung dengan urusan
pelabuhan, sedangkan pekerja yang tidak langsung berkaitan dengan pelabuhan tetapi
ikut bekerja menyokong sub sub pekerjaan mencapai 200.000 orang. Kontribusi
Pelabuhan Rotterdam pun mencapai 7 persen produk nasional bruto atau lebih dari 40
miliar Euro. Lahan Rotterdam memang sangat luas, yakni mencapai 10.500 hektar yang
membentang sejauh 40 kilometer. Lahan seluas 5.000 hektar merupakan kawasan
komersial, 3.500 hektar perairan, dan 2.000 hektar adalah jaringan kereta api, jalan, dan
ruang hijau. Di Indonesia, bisnis pelabuhan juga memperlihatkan pencapaian laba yang
signifikan. Direktur Utama PT Pelindo II (persero) RJ Lino mengatakan, sepanjang 2012
lalu, laba perusahaan mencapai Rp 1,79 triliun. Jumlan ini meningkat 21 persen
dibanding tahun 2011. Sejauh ini, laba Pelindo II memang terus tumbuh. Pada tahun 2008
diraih laba Rp 1,05 triliun (audited), tahun 2009 diraih laba Rp 0,94 triliun (audited), dan
tahun 2010 didapatkan laba Rp 1,26 triliun (audited). Akhirnya, dengan semua upaya
yang telah dilakukan dan akan terus dilakukan secara bersama, semoga Indonesia bisa
menjadi tuan di negeri sendiri bagi bisnis pelayaran nasional pun international
Konsep perikanan berkelanjutan menjadi salah satu isu yang dibahas secara
mendalam dalam gelaran. Isu tersebut disepakati oleh semua negara untuk diterapkan
dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan di negara masing-masing. Konsep
tersebut, dinilai akan menyelamatkan ekosistem lautan dunia dari berbagai kerusakan.
Pakar perikanan dari University of Hong Kong Yvonne Sadovy membeberkan pernyataan
tersebut di hadapan ratusan peserta konferensi yang memadati ruang Plenary Hall.
Menurut dia, laut adalah sumber kehidupan yang tidak bisa digantikan oleh daratan
sampai kapan pun. Segala sumber daya alam yang ada di laut, sejak lama menjadi
penunjang kebutuhan pangan masyarakat dunia.
13. Integrasi industri ikan
Salah satu masalah penting yang dihadapi pemerintah dan nelayan Indonesia adalah
banyaknya pencurian ikan oleh negara asing di perairan Indonesia yang memiliki sumber
daya ikan yang sangat kaya. Maraknya pencurian ikan ini mungkin disebabkan oleh
relatif tingginya stok ikan di perairan Indonesia dibandingkan perairan negara tetangga,
jumlah nelayan kita yang relatif sedikit, armada kapal nelayan Indonesia yang masih
bersifat tradisional, dan kurangnya sarana dan prasarana serta jumlah pengawas
perbatasan perairan Indonesia.
Kelemahan ini dapat dimanfaatkan oleh nelayan negara tetangga yang mungkin memiliki
armada kapal yang lebih modern sehingga dapat lebih cepat mengetahui daerah potensi
penangkapan ikan dan dapat lebih cepat mendeteksi kapal pengawas Indonesia.
Beberapa pendekatan untuk mengurangi pencurian ikan oleh nelayan dari negara
tetangga telah dilakukan pemerintah seperti penangkapan dan memberi efek jera dengan
menenggelamkan beberapa armada kapal asing yang masuk dan mencuri ikan di perairan
Indonesia. Namun, hal ini diduga masih belum efektif karena jumlah dan sarana serta
prasarana pengawas perbatasan kita masih relatif sedikit.
Dana yang tersedia untuk kegiatan pengawasan perbatasan ini juga masih relatif kecil
karena biaya yang digunakan untuk kegiatan pengawasan perbatasan cukup besar.
Umumnya, biaya operasional sebuah kapal berukuran panjang 60 meter atau lebih
sebesar Rp100 juta atau lebih per hari.
Bilamana kecepatan rata-rata kapal pengawas sebesar 10 mil per jam, maka dalam satu
hari (rata-rata 20 jam/hari) dapat menempuh jarak 200 mil/hari atau 360 km/hari. Dengan
menyederhanakan perairan Indonesia dalam empat persegi, maka panjang dari bujur
barat-timur sekitar 50 derajat x sekitar 110 km/derajat = 5.500 km,
lebar dari lintang utara-selatan sekitar 20 derajat x 110 km/derajat = 2.200 km maka
keliling perairan terluar Indonesia sekitar (2 x 5.500)+(2 x 2.200)= 15.400 km sehingga
dengan kecepatan efektif kapal sekitar 360 km/hari maka diperlukan sebanyak 43 kapal
besar untuk mengawasi perbatasan perairan Indonesia. Dalam proses pengawasan,
kecepatan kapal tidak boleh maksimum sepanjang waktu karena dalam proses
pengawasan kadang berhenti atau mengurangi kecepatan sehingga kalau dikalikan
kecepatan normal dari ½ (setengah) kecepatan rata-rata maka jumlah kapal yang
dibutuhkan menjadi 2 x 43 kapal = 86 kapal.
Biaya operasionalnya sekitar 86 x Rp100 juta/hari = 8,6 miliar/hari x 365 hari/tahun =
Rp3,139 triliun/tahun. Perkiraan biaya sederhana ini jauh melebihi anggaran Ditjen
Pengawasan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2014 yang berjumlah
Rp800 miliar/tahun serta hampir setengah dari jumlah anggaran Kementerian Kelautan
dan Perikanan tahun 2014 sebesar Rp6,5 triliun (Nota Keuangan dan APBN RI, 2014).
Berdasarkan analisis Ditjen Pengawasan KKP, jumlah kapal pengawas yang ideal untuk
mengawasi perbatasan perairan Indonesia sekitar 90 buah dan saat ini hanya memiliki
sejumlah 27 kapal. Dengan demikian, dapat dibayangkan keperluan jumlah dana yang
sangat besar untuk membeli sejumlah kapal dan biaya operasional agar dapat mengawasi
perairan perbatasan Indonesia dengan baik (jumlah anggaran Ditjen Pengawasan KKP
tidak mencukupi hanya untuk beli kapal dan biaya operasional).
Bilamana armada kapal dari Angkatan Laut digunakan untuk membantu pengawasan
perbatasan pera i ran Indonesia, jumlah kapal itu tetap tidak mencukupi mengingat luasan
perbatasan perairan Indonesia yang sangat luas. Untuk itu diperlukan suatu solusi yang
terintegrasi antara pengawasan, penelitian, dan produksi perikanan.
Selain masalah pengawasan, informasi ilmiah terkait stok dan sifat ikan serta paramater
oseanografi lain yang memengaruhi keberadaan ikan serta kesehatan laut masih sangat
minim untuk perairan Indonesia. Hal ini disebabkan minimnya anggaran penelitian di
bidang perikanan dan kelautan yang disediakan pemerintah serta minimnya peralatan
laboratorium dan lapangan untuk mendukung penelitian standar internasional.
Di samping itu, sumber daya manusia di bidang perikanan dan kelautan untuk
Indonesia masih sangat minim. Biaya penelitian di laut juga memerlukan biaya yang
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan melaksanakan penelitian di darat karena
penelitian di laut menggunakan kapal riset dengan biaya operasional sekitar 100-200
juta/hari.
Masalah lain bagi nelayan Indonesia adalah armada kapal nelayan umumnya relatif
bersifat tradisional dengan ukuran kecil dan sangat sedikit armada kapal berukuran besar
serta berstandar internasional. Di samping itu, harga bahan bakar minyak (BBM) yang
terus meningkat serta persediaan BBM yang sering langka sangat membebani dan
mempengaruhi produktivitas nelayan tradisional.
Dalam era teknologi informasi sekarang ini, seyogianya nela-yan kita dibekali
pengetahuan terkait oseanografi dan kaitannya dengan keberadaan ikan serta pengetahuan
teknologi informasi dan satelit. Dalam kondisi keuangan negara yang sangat terbatas
diperlukan suatu terobosan dengan mengintegrasikan kegiatan pengawasan, penelitian,
dan penangkapan ikan di perairan Indonesia.
Pelaksanaan penelitian sangat terbatas karena keterbatasan dana, peralatan armada kapal
riset, dan peralatan laboratorium. Keterbatasan ini dapat disiasati dengan
mengintegrasikan kegiatan pengawasan, penelitian, dan penangkapan ikan. Untuk itu,
armada kapal pengawas perlu dilengkapi peralatan laboratorium baik laboratorium basah,
kering, dan komputer untuk dapat digunakan sebagai armada kapal pengawas sekaligus
berfungsi untuk penelitian.
Hal ini akan mengefektifkan pemanfaatan dana yang sangat terbatas. Armada kapal
pengawas ini juga perlu dilengkapi peralatan canggih seperti peralatan akustik,
penginderaan jauh, peralatan bio-optik, flow-through system, dan peralatan oseanografi
lain. Bilamana tidak dapat dilengkapi dengan seluruh peralatan penelitian dalam sebuah
armada kapal, paling tidak setiap armada kapal pengawas dapat dilengkapi dengan
sebagian sarana dan prasarana penelitian.
Bilamana armada kapal pengawas dilengkapi peralatan penelitian, hasil penelitian dari
perairan Indonesia semakin meningkat dan lengkap untuk keperluan perikanan dan
bidang lain. Hasil ini juga dapat digunakan untuk validasi hasil pengukuran satelit serta
pengembangan algoritma satelit untuk perairan Indonesia.
Hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk memperluas wilayah teritorial perairan
Indonesia yang seyogianya masih dapat diperluas dari perbatasan yang ada saat ini.
Pemerintah perlu membantu pengembangan atau modernisasi armada kapal nelayan yang
masih tradisional dan relatif kecil.
Armada kapal nelayan ini juga perlu dilengkapi sistem komunikasi modern sehingga
nantinya kapal ini dapat digunakan sebagai alat penelitian atau ground truth dari satelit
terkait. Dengan modernisasi armada kapal nelayan, nantinya satelit dapat membedakan
kapal nelayan Indonesia atau kapal nelayan dari negara lain.
Di samping modernisasi armada kapal nelayan, pemerintah perlu memberikan stimulus
kepada nelayan agar jumlah nelayan dan armada kapal nelayan semakin banyak yang
beroperasi di perairan Indonesia yang secara otomatis akan meningkatkan daya saing
dengan nelayan asing di perairan Indonesia sendiri.
Selain itu perlu diberikan pelatihan terhadap para nelayan akan pengetahuan oseanografi
dan kaitannya dengan keberadaan ikan serta pengetahuan teknologi satelit dalam
pendugaan potensi keberadaan ikan di laut.