Anda di halaman 1dari 6

Ekolabel

Seafood Savers mengacu pada prinsip-prinsip dan standar dari dua ekolabel utama
dalam menjalankan aktivitas-aktivitas perbaikan perikanan, yaitu Marine
Stewardship Council (MSC) untuk perikanan tangkap dan Aquaculture Stewardship
Council (ASC) untuk perikanan budidaya. MSC dan ASC adalah jenis sertifikasi
pihak ketiga yang diinisiasi oleh WWF dan para mitranya yang bertujuan
menetapkan standar keberlanjutan maksimum dalam praktik-praktik perikanan.

Melalui Seafood Savers, WWF-Indonesia berupaya mendorongkan perbaikan


perikanan nasional melalui penerapan standar-standar dan prinsip yang ditetapkan
oleh MSC dan ASC. WWF-Indonesia meyakini standar-standar tersebut sebagai
elemen-elemen yang dibutuhkan Indonesia untuk mewujudkan bisnis dan kegiatan
perikanan yang berkelanjutan, yaitu kegiatan perikanan yang memberikan manfaat
bagi masyarakat namun tetap menjaga kelestarian populasi di alam demi kebutuhan
di masa yang akan datang.

Mengenai ASC
Aquaculture Stewardship Council (ASC) adalah organisasi independen non-profit
yang mempuyai misi untuk merubah praktek perikanan budidaya menjadi praktek
yang lebih berkelanjutan dan bertanggung-jawab. ASC resmi berdiri pada tahun
2009 atas inisasi WWF dan the Dutch Sustainable Trade Initiative (IDH). Standar
praktek perikanan budidaya yang digunakan oleh ASC berasal dari
proses Aquaculture Dialogue yang dikoordinir oleh WWF, dimana proses tersebut
melibatkan banyak pihak; akademisi, pemerintah, LSM, praktisi, dan industri, dari
seluruh dunia. Saat ini ASC telah mempunyai 8 standar untuk komoditas perikanan
budidaya yang berbeda, dimana secara umum muatan standar – standar tersebut
adalah tentang aspek ketaatan terhadap peraturan (legal compliance), aspek
pengelolaan lingkungan, aspek teknis pengoperasian aktifitas perikanan budidaya,
dan aspek sosial.

Tentang MSC
The Marine Stewardship Council (MSC) adalah organisasi independen non-profit
yang menetapkan standar dan kriteria dari perikanan yang berkelanjutan, terutama
di dalam perikanan tangkap liar. Praktik perikanan yang dinilai dan dianggap telah
memenuhi standar berhak untuk menggunakan ecolabel MSC biru. MSC telah
mengembangkan standar untuk penangkapan ikan yang berkelanjutan dan makanan
laut yang bisa ditelusuri. Kedua standar tersebut memenuhi pedoman praktek
terbaik paling ketat di dunia dan membantu untuk mengubah pasar global makanan
laut.
MSC didirikan pada tahun 1997 oleh WWF dan Unilever, serta menjadi independen
sepenuhnya pada tahun 1999. MSC menetapkan dan menjaga standar lingkungan
untuk penangkapan ikan yang berkelanjutan dan metode untuk bagaimana
menjamin praktik perikanan tersebut. MSC tidak menilai perikanan atau menerbitkan
sertifikat, karena hal tersebut telah dilakukan oleh sertifikasi pihak ketiga yang
terakreditasi dan tim penilaian mereka.

Tak miliki MSC, tangkapan


ikan RI diterima
internasional
Sindonews.com - Kendati belum mengantongi sertifikasi ekolabel Marine
Stewardship Council (MSC) hasil tangkapan ikan asal Indonesia telah diakui di
pasaran dunia sejajar dengan produk perikanan tangkap negara lainnya.

Menurut Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan


dan Perikanan (KKP), Saut P Hutagalung, sebenarnya sejak tahun 2009, Indonesia
telah mengajukan beberapa produk perikanan tangkap untuk mendapat sertifikasi
MSC.

Sayangnya, sampai saat ini, sertifikasi yang sangat penting dan diakui dunia itu
belum didapat Indonesia lantaran ketatnya persyaratan dan membutuhkan waktu
cukup lama.

Beberapa perikanan tangkap yang telah diajukan untuk mendapat MSC seperti
rajungan, tuna, kepiting, kerapu dan cakalang.

Kendati demikian, pasar perikanan dunia baik di Asia, Eropa dan Amerika, tetap
mengakui dan menerima produk ikan asal Indonesia. Dunia mengetahui, jika
Indonesia telah masuk mengikuti program untuk mendapatkan sertifikasi tersebut,
sehingga hal itu menunjukkan adanya komitmen kuat untuk memenuhi persyaratan
sesuai standar internasional.

Dikatakannya, sertifikasi MSC cukup penting karena tidak hanya menyangkut aspek
sustainabel keberlanjutan sumber daya perikanan di masa mendatang namun juga
terkait mutu yang berstandar dunia.
Pentingnya sertifikasi MSC bagi industri perikanan dunia khususnya bagi negara
berkembang itu menjadi pembahasan bersama dalam konferensi Developing World
Fisheries Conference Kedua di Nusa Dua, Bali pada Selasa (15/4/2014).

"Konferensi ini sangat penting khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia
dalam rangka penguatan citra kita bersama 10 negara berkembang lainnya di India,
china, Amerika Latin dan Eropa," tegas Saut.

Semua negara menyadari, diperlukan upaya yang mendorong pembangunan


perikanan berkelanjutan sehingga penting artinya untuk negara-negara yang
memiliki potensi perikanan tangkap untuk mendapat sertifikasi MSC pada beberapa
jenis komoditas perikanan.

"Sertifikasi MSC ini sangat penting, sebab kalau tidak memenuhi seperti
persyaratan, ya produk perikanan kita tidak akan laku di pasar ikan dunia,"
imbuhnya.

Sertifikasi ekolabel MSC itu untuk memastikan bahwa semua produk perikanan
tangkap suatu negara telah memenuhi prinsip-prinsip yang lestari sejak proses
penangkapan, pengolahan hingga pemasaran.

Saut menambahkan, Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar di dunia


berkepentingan besar terhadap sertifasi MSC yang bersifat lestari untuk dua hal.
Pertama memenuhi persyararan pasar ekspor yang memiliki persyaratan ekolabel.

Yang kedua, sertifikasi ekolabel merupakan dukungan implementasi kebijakan


Indonesia yang mendorong arah pengelolaan perikanan yang lestari.

Indonesia pada 2013, tercatat memiliki nilai ekspor perikaan mencapai USD4,2
Miliar dengan rincian, ekspor tuna USD764 Juta, rajungan USD359 Juta, kakap
merah USD11,7 Juta dan kerapu USD29 Juta.

Semua produk itu, masih dalam proses memperoleh sertifikasi MSC dan saat ini
tengah dilakukan program peningkatan bidang perikanan (fisheries improvemnet
programs) untuk mendapatkan full asseement untuk meraih sertifikasi MSC.
Ekolabel Perikanan
February 11, 2015

KETAHANAN pangan menjadi isu internasional strategis beberapa dekade terakhir. Hampir
seluruh forum kerja sama internasional, seperti APEC, ASEAN, dan D-8, mengusung isu
tersebut sebagai topik utama kerja sama. Saat ini, ketahanan pangan setiap negara menghadapi
beragam ancaman, mulai dari perubahan iklim, industrialisasi, hingga perilaku konsumsi
masyarakat.

Sejak diadopsinya Laporan Komisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan tahun 1987 dan
hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992, masalah produksi dan konsumsi yang
berkelanjutan menjadi komponen penting dalam ketahanan pangan.

Gerakan kampanye mendorong produksi dan konsumsi berkelanjutan semakin menguat dan
beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional aktif menyusun skema tentang
sertifikasi ramah lingkungan atau ekolabel sebagai mekanisme untuk produksi dan konsumsi
berkelanjutan ini.

Skema ekolabel bukan hal baru karena Jerman telah menginisiasi skema serupa bernama ”Blue
Angel” tahun 1977. Skema ekolabel kemudian berkembang sebagai mekanisme pasar yang
mengatur rantai nilai suatu produksi ramah lingkungan dari hulu ke hilir dengan insentif harga
premium bagi produsen yang memproduksi barang-barang tersebut.

Awalnya skema ekolabel hanya mencakup produk-produk industrial, tetapi lambat laun
berkembang ke hasil laut dan perikanan.

Perkembangan informasi dan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan menyebabkan


permintaan terhadap ikan sebagai sumber nutrisi yang kaya protein dan menyehatkan
meningkat pesat. Kenaikan permintaan itu membuat berbagai pihak khawatir terhadap
kelestarian ikan sehingga lahirlah skema ekolabel perikanan.

Ekolabel perikanan
Skema ekolabel perikanan yang pertama adalah Marine Stewardship Council yang diinisiasi
Unilever dan World Wildlife Fund (WWF) pada 1996. Kemunculan MSC diikuti oleh berbagai
skema ekolabel lain, seperti Dolphin Safe, Friends of The Sea, Ocean Wise, dan Naturland.

Skema ekolabel perikanan menjadi populer di sejumlah negara Eropa dan menyebabkan banyak
perusahaan retail besar turut bergabung dalam skema tersebut.

Perusahaan-perusahaan itu mulai memberlakukan ketentuan wajib menggunakan sertifikat


skema ekolabel bagi produk perikanan yang dijual di jaringan tokonya, antara lain Carrefour,
Aligro, Manor, Wal-Mart, dan Marks & Spencer.
Maraknya pertumbuhan skema ekolabel perikanan belakangan dianggap menghambat
perdagangan karena persyaratannya dianggap terlalu berat dan terlalu berorientasi pada struktur
perikanan negara-negara maju.

Selain struktur berbeda dengan negara berkembang, biaya sertifikasi yang sangat tinggi sulit
ditanggung oleh pelaku usaha di negara berkembang.

Pelaku usaha umumnya mengeluhkan tingginya biaya yang harus ditanggung untuk membiayai
proses sertifikasi. Biaya itu dianggap tidak sebanding dengan insentif berupa harga premium
produk karena sensitivitas konsumen masih tinggi terhadap harga.

Penelitian Ponte (2006) dan Pauly (2007) bahkan membuktikan bahwa skema ekolabel gagal
menunjukkan adanya surplus pada nelayan di negara-negara berkembang. Demikian pula
halnya dengan penelitian Collins (1997), Amstel et al (2008), Gulbrandsen (2009), Bratt et al
(2011), dan Ramirez (2012) yang membuktikan bahwa ekolabel gagal menerapkan perlindungan
lingkungan sekaligus mendorong insentif untuk pihak-pihak terkait penerapan ekolabel, seperti
produsen dan konsumen.

Di samping bukti kegagalan, hal yang patut diwaspadai adalah ekolabel dicurigai sebagai bagian
dari desain besar untuk menciptakan kartel pangan.

Ekolabel merupakan suatu bentuk tata kelola yang populer disebut governance without
government atau pengelolaan tanpa pemerintahan. Model tata kelola tersebut mulai populer di
Eropa dalam satu dekade terakhir meskipun hingga saat ini belum teruji kompatibilitasnya di
negara-negara yang sistem pemerintahannya berbeda.

Keberadaan ekolabel menggeser peran pemerintah menjadi hanya sekadar pelaksana dari
program yang diintroduksi oleh lembaga sertifikasi.

Kondisi ini jelas menurunkan peran dan fungsi pemerintah dalam pengelolaan lingkungan.
Penelitian Bostrom (2006) menguatkan tentang organisasi standardisasi dan sertifikasi sebagai
otoritas baru yang menggeser peran pemerintah.

Bisnis berkelanjutan
Perhatian utama dari lembaga sertifikat ekolabel perikanan pada dasarnya bukan pada isu
sustainability, melainkan pada bisnis berbasis sustainability.

Terbukti di berbagai pameran seafood internasional, lembaga-lembaga tersebut juga


berpartisipasi dalam pameran untuk mempromosikan bisnisnya. Inilah kartel pangan baru di
bidang perikanan yang sedang tumbuh.

Para pembuat kebijakan di bidang kelautan dan perikanan mutlak harus waspada terhadap
gencarnya kampanye ekolabel perikanan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat
belakangan ini. Bagaimanapun, masyarakat khususnya nelayan lokal harus memiliki kedaulatan
terhadap pengelolaan sumber daya perikanan yang ada.
Mekanisme pasar memang dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengingatkan pemerintah
tentang pentingnya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Namun, yang lebih penting
adalah jangan sampai hal tersebut mendegradasi peran pemerintah dalam melindungi sumber
daya alam dan warga negaranya.

Kedaulatan negara terhadap makanan hasil laut (seafood) merupakan prasyarat mutlak dari
ketahanan nasional di bidang pangan. Kelestarian (sustainability) memang penting, tetapi
kedaulatan (sovereignty) juga tak kalah penting. Tanpa sintesis dari kedua hal tersebut, niscaya
komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membangun Indonesia sebagai kekuatan
poros maritim global akan sia-sia.

Anda mungkin juga menyukai