Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

Filosof-filosof Era Hellenisme dan Romawi (Helenisme dan Pengaruh Filsafat Yunani:
pengaruh Plato dan Aristoteles, Plotinus, filsafat patristik dan skolastik di barat Kristen)

Disusun untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Filsafat umum

Dosen Pengampu : Aslam Sa’ad M.Ag

Oleh

1. M. Sirojudi 204104030033
2. Rizka Bariqotun Nafi'ah 204104030032

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA

PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB

November 2020

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan taufiq,
hidayah, dan rahmat Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini, meskipun tugas ini
jauh dari kata sempurna.

Sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW
yang telah menuntun kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini.

Ucapan terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada dosen pembiming kami, yang telah
membimbing dan mengajari kami dengan ikhlas sampai akhirnya kami bisa menyelesaikan
makalah ini.

Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar makalah ini
dapat kami perbaiki kembali.

Jember,13 November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………………….2

DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………….3

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………..……………………………….
…………4

a. LATAR BELAKANG…………………...............................................................................
b. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………..………..4
c. TUJUAN……………………………………………………………………………….5

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………

a. FILSAFAT MASA HELENISME ROMAWI …………………………….…………….6


b. PERIODE ETIK………………………………………… ………………………………8
c. PERIODE RELIGI……………………………………………………………………….11
d. FILSAFAT ARISTOTELES………………………………………………………….…12
e. FILSAFAT PLATO………………………………………………………...……………16
f. FILSAFAT PLOTIUS…………………………………………………………………19

BAB III PENUTUP………………………………………………………….

a. KESIMPULAN………………………………………………………………………29
b. SARAN……………………………………………………………………………….31
c. PENUTUP…………………………………………………………………………….31

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
3
Sebelum kita membahas tentang filsafat helenisme atau filsafat masa helenistik romawi,
akan lebih baik apabila kita memahami tentang apa itu filsafat dan apa itu helenisme, agar dalam
pembahasan ini dapat difahami secara sistematis dan secara kronologis.

Berbicara tentang filsafat, sebenarnya kita sedang berbicara mencari hakikat sesuatu. Dan
sesuatu inilah yang pada akhirnya menjadi obyek pembahasan filsafat, yaitu hakikat Tuhan,
hakikat Manusia dan hakikat Alam. Diawali dari rasa ingin tahu akan hakikat sesuatu, dan rasa
ketidak pastian atau ragu-ragu, seseorang secara terus menerus berfikir untuk mencari
jawabannya. Maka upaya seseorang untuk mencari hakikat inilah sebenarnya ia sedang
berfilsafat.

Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa
Inggris dengan istilah Philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan”.Kata
tersebut juga berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri atas kata philein
yang berarti cinta (love) atau philos yang berarti mencintai, menghormati, menikmati, dan
Sophia atau sofein yang artinya kehikmatan, kebenaran, kebaikan atau kebijaksanaan Jadi arti
menurut namanya saja : cinta kepada kebijaksanaan.

Sedangkan istilah Hellenistik (berasal dari kata Ἕλλην / Héllēn, istilah yang dipakai secara
tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk menyebutkan nama etnik mereka) mula-mula
dipakai oleh ahli sejarah Jerman, Johann Gustav Droysen merujuk pada penyebaran peradaban
Yunani pada bangsa bukan Yunani yang ditaklukkan oleh Aleksander Agung. Menurut Droysen,
peradaban Hellenistik adalah fusi/gabungan dari peradaban Yunani dengan peradaban Timur
Dekat. Pusat kebudayaan utama berkembang dari daratan Yunani ke Pergamon, Rhodes, Antioch
dan Aleksandria/Iskandariyah.

B. Rumusan masalah
 Filsafat masa helenisme romawi
 Periode etik
 Periode religi
 Filsafat aristoteles
 Filsafat plato
 Filsafat plotius

4
C. Tujuan
 Mengetahui filsafat masa helenisme romawi
 Mengetahui periode etik
 Mengetahui periode religi
 Mengetahui filsafat aristoteles
 Mengetahui filsafat plato
 Mengetahui filsafat plotius

BAB II PEMBAHASAN

1) FILSAFAT MASA HELENISME ROMAWI

5
A. Pengertian Hellenisme / Hellenistik

Bertens (1993) berpendapat, mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran


filsafat. Dimana banyak sekali bermunculan tokoh-tokoh pemikir sekaligus filosof yang lahir
dalam “Dunia Yunani”, baik yang terkenal hingga mereka yang kurang terkenal dalam
pemikirannya. Filosof yang terkenal kebanyakan dari mereka adalah yang menuliskan
pemikirannya, seperti Aristoteles dengan tulisan-tulisannya. Meski adapula Filosof yang tidak
menulis sebarispun seperti Thales, Phytagoras, dan Sokrates.[1]

Zaman sesudah Aristoteles memang zaman yang berbeda sekali dengan zaman
Aristoteles. Zaman ini adalah zaman yang baru, yang dimulai dengan pemerintahan Aleksander
Agung yaitu murid dari Aristoteles, dan disebut zaman Helenisme. Helenisme berasal dari kata
Hellenizein (= berbahasa Yunani, dan juga menjadikan Yunani) sebagai roh dan kebudayaan
Yunani sepanjang roh dan kebudayaan itu memberikan ciri-cirinya kepada para bangsa yang
bukan Yunani disekitar lautan tengah, mengadakan perubahan-perubahan dibidang
kesusasteraan, agama, dan keadaan bangsa-bangsa itu.[2]

Dalam perkembangan masa Helenisme ini ditandai dengan perubahan bentuk filsafat dari
filsafat teoritis menjadi filsafat praktis dan membuat filsafat menjadi bagian dari seni hidup.
Berbagai aliran yang muncul pada saat itu yang semuanya bertujuan untuk menentukan cita-cita
hidup manusia. Keinginan memperoleh pengetahuan teori semakin beralih kepada ilmu-ilmu
spesial. Makin mendalam penyelidikan ini dan makin tampak gunanya bagi penghidupan sehari-
hari, akan tetapi orang makin acuh tak acuh terhadap teori-teori metafisika umum.

B. Latar Belakang Historis Hellenisme

Pemerintahan Aleksander merupakan pemerintahan yang kuat dan memiliki banyak daerah
taklukan. Dalam waktu sepuluh tahun sejak 334 hingga 324SM ia menaklukkan Asia Kecil,
Siria, Mesir, Babilonia, Persia, Samarkand, Bactria, dan Punjab, dimana pada setiap daerah
taklukan ia selalu mendirikan kota Yunani dan mencoba mereproduksi lembaga-lembaga
Yunani, disertai upaya pemerintahan sendiri. Berangsur-angsur ketika kawasan yang ia
taklukkan kian meluas, ia memberlakukan kebijakan yang menganjurkan pembauran secara
damai antara bangsa Yunani dan bangsa Barbar, hal ini dapat mengacu pada beberapa faktor,
diantaranta:

6
a. Pasukan Aleksander tidak terlampau besar jumlahnya, tidak mungkin selamanya
mempertahankan kekuasaan imperium yang sangat luas itu dengan jalan kekerasan, melainkan
dalam waktu panjang, akan tergantung pada kerukunan dengan rakyat yang ditaklukkan.

b. Bangsa Timur tidak terbiasa dengan pemerintahan apapun kecuali pemerintahan oleh
seorang dewa-raja, yang oleh Aleksander dirasakan tepat untuk dibawakannya sendiri.[3]

Pemerintahan Aleksander menerima orang-orang Makedonia sebagai panglima


pasukannya, bahkan memberikan sebutan “sahabat” untuk mereka. Para “sahabat” ini yang
kemudian memberikan masukan saran dan kritik dan mengambil andil yang “berpengaruh”
dalam pemerintahan Aleksander. Mereka yang memaksa Aleksander untuk lebih baik kembali
setelah menaklukkan kawasan sungai Indus dan bukan meneruskan perjalanan untuk
menaklukkan kawasan sungai Gangga.[4]1

Anggapan bahwa bangsa Yunani adalah bangsa yang lebih unggul derajatnya daripada
bangsa Barbar pernah diungkapkan pada sebuah ungkapan pandangan umum yang menyatakan
ras utara bersemangat, ras selatan beradab, namun hanya bangsa Yunananilah yang penuh
semangat sekaligus beradab. Plato dan Aristoletes berpendapat bahwa tidak selayaknya bangsa
Yunani dijadikan budak, namun mereka tidak berpendapat demikian mengenai bangsa Barbar.

Terpelajar. Sikap inipun menciptakan hasil berupa hubungan timbal balik antara bangsa
Yunani dan bangsa Barbar. Orang Barbar memetik sesuatu hal dari ilmu pengetahuan Yunani,
sedangkan orang Yunani mendapat banyak pelajaran dari takhayul bangsa Barbar. Peradaban
Yunani, setelah menjangkau wilayah lebih luas, menjadi tidak sepenuhnya Yunani. Pembauran
serta penerimaan budaya yang berbeda, namun masih Yunani (mengadopsi budaya Yunani)

1
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, ed.1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 1

[2] M.syafieh, M.Phil.I dan Ismail Fahmi Arrauf, MA, Filsafat Umum Sebuah Pengantar, (Bandung: Citapustaka
Media Perintis), hlm. 6

[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta : Surya Multi Grafika, 2005

[4] K Bertens. 1993. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarya: Penerbit Kanisius.

7
inilah yang dikenal dengan Helenisme, sebuah paham “ke-Yunani-an” yang menerima bangsa
lain dalam kehidupan bermasyarakatnya dibawah pemerintahan Aleksander.[5]

C. Perkembangan dalam Dunia Filsafat

Hellenisme di bagi menjadi dua fase, yaitu fase Hellenisme dan fase Hellenisme Romawi.
Fase Hellenisme adalah fase yang ketika pemikiran filsafat hanya dimiliki oleh orang-orang
Yunani. Adapun fase Hellenisme Romawi ialah fase yang sudah datang sesudah fase hellenisme,
dan meliputi semua pemikiran filsafat yang ada pada masa kerajaan romawi, yang ikut serta
membicarakan peninggalan pikiran Yunani, antara lain pemikiran Romawi di barat dan di timur
yang ada di mesir dan di siria. Fase ini dimulai dari akhir abad ke-4 sebelum masehi sampai
pertengahan abad ke-6, Masehi di Bizantium dan roma, atau sampai masa penerjemahan di dunia
arab.

Pada masa ini, aliran-aliran etis yang menekankan pada persoalan-persoalan tentang
kebijaksanaan hidup yang praktis disamping itu juga ada aliran-aliran yang diwarnai pemikiran
keagamaan. Jadi, secara garis besarnya sifat filsafat sesudah Aristoteles atau pada masa
Helenisme dapat dibagi menjadi dua, masa Etik dan masa Religi. Yang termasuk aliranyang
bersifat Etis diantaranya adalah aliran Stoa, Epikorus, dan Skeptis. Sedangkan yang termasuk
aliran yang diwarnai agama diantaranya adalah filsafat Neo-Pythagoras, filsafat Plotinus Tengah,
filsafat Yahudu dan Neoplatonisme.

1) PERIODE ETIK

Periode ini terdiri dari tiga sekolah filsafat, yaitu Epikuros, Stoa dan Skeptis. Nama
sekolah yang pertama diambil dari kata pembangun sekolah itu sendiri, yaitu Epikuros. Adapun
nama sekolah yang kedua diambil dari kata”stoa” yang berarti ruang. Sedangkan nama skeptis
diberikan karena mereka kritis terhadap para filosof klasik sebelumnya. Ajarannya dibangun dari
berbagai ajaran lama, kemudian dipilih dan disatukan. Untuk lebih jelasnya, dari ketiga macam
sekolah tersebut, pemakalah akan merincinya satu-persatu.

a. Epikuros (341 SM)

Epikuros dilahirkan di samos pada tahun 341 SM. Pada tahun 306 ia mulai belajar di
Athena, dan di sinilah ia meninggal pada tahun 270. Filsafat Epikuros diarahkan pada satu tujuan

8
belaka; memberikan jaminan kebahagiaan kepada manusia. Epikuros berbeda dengan Aristoteles
yang mengutamakan penyelidikan ilmiah, ia hanya mempergunakan pengetahuan yang
diperolehnya dan hasil penyelidikan ilmu yang sudah ia kenal, sebagai alat untuk membebaskan
manusia dari ketakutan agama.Yaitu rasa takut terhadap dewa-dewa yang ditanam dalam hati
manusia oleh agama Grik lama. Menurut pendapatnya ketakutan kepada agama itulah yang
menjadi penghalang besar untuk memperoleh kesenangan hidup. Dari sini dapat diketahui bahwa
Epikuros adalah penganut paham Atheis.[6]

Dari ketiga ajaran Epikuros, jika diaktualisasikan ke dalam agama Islam maka akibatnya
bisa fatal sekali. Seorang muslim akan menjadi atheis ketika mengikuti ajaran Epikuros ini. Di
sinilah bahaya filsafat jika kita telan mentah-mentah tanpa ada proses penyaringan terlebih
dahulu. Apalagi jika tidak dilandasi dengan akidah yang kuat.

b. Stoa (340 SM)

Pendirinya adalah Zeno dari Kition. Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 sebelum
Masehi. Awalnya ia hanyalah seorang saudagar yang suka berlayar. Suatu ketika kapalnya pecah
di tengah laut. Dirinya selamat, tapi hartanya habis tenggelam. Karena itu entah mengapa ia
berhenti berniaga dan tiba-tiba belajar filsafat. Ia belajar kepada Kynia dan Megaria, dan
akhirnya belajar pada academia di bawah pimpinan Xenokrates, murid Plato yang terkenal.

Menurut kaum Stoa, logika maksudnya memperoleh kriteria tentang kebenaran. Dalam
hal ini, mereka memiliki kesamaan dengan Epikuros. Apa yang dipikirkan tak lain dari yang
telah diketahui pemandangan. Buah pikiran benar, apabila pemandangan itu kena, yaitu
memaksa kita membenarkannya. Pemandangan yang benar ialah suatu pemandangan yang
menggambarkan barang yang dipandang dengan terang dan tajam. Sehingga orang yang
memandang itu terpaksa membanarkan dan menerima isinya.

Inti dari filsafat Stoa adalah etiknya. Maksud etiknya itu ialah mencari dasar-dasar umum
untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian malaksanakan dasar-dasar itu dalam
penghidupan. Pelaksanaan tepat dari dasar-dasar itu ialah jalan untuk mengatasi segala kesulitan
dan memperoleh kesenangan dalam penghidupan. Kaum Stoa juga berpendapat bahwa tujuan
hidup yang tertinggi adalah memperoleh “harta yang terbesar nilainya”, yaitu kesenangan hidup.
Kemerdekaan moril seseorang adalah dasar segala etik pada kaum Stoa.

9
c. Skeptis

Skeptis artinya ragu-ragu. Mereka ragu-ragu untuk menerima ajaran-ajaran yang dari ahli-
ahli filsafat sebelumnya. Perlu diperhatikan bahwa skeptisisme sebagai suatu filsafat bukanlah
sekedar keragu-raguan, melaiankan sesuatu yang bsa disebut keraguan dogmatis.

Seorang ilmuwan mengatakan, “saya kira masalahnya begini dan begitu, tetapi saya tidak
yakin.” Seorang yang memiliki keingintahuan intelektual berujar, “saya tidak tahu bagaimana
masalahnya, tetapi saya akan berusaha mengetahuinya.” Seorang penganut Skeptis filosofis
mengatakan, “tak seorang pun yang mengetahui, dan tak seorang pun yang akan bisa
mengetahui.” Ini merupakan unsur dogmatisme yang menyebabkan sistem tersebut lemah. Kaum
Skeptis, tentu saja, membantah bahwa mereka secara dogmatis menekankan mustahilnya
pengetahuan, namun bantahan mereka tidak meyakinkan.[7]

· Skeptis Pyrrhon

Skeptisisme sebagai ajaran dari berbagai madzhab, dikemukakan pertama kali oleh
Pyrrhon, yang pernah menjadi seradu dalam pasukan Alexandros, dan pernah bertugas bersama
pasukan itu sampai ke India. Sampai di India ia mempelajari mistik India. Tidak begitu
mendalam, tatapi cukup baginya untuk menentukan jalan pikirannya. Tatkala ia kembali ke Elis,
kota tempat ia lahir, didirikannya sekolah filsafat.

Muridnya cukup banyak. Ia sendiri tidak pernah menuliskan filsafatnya. Tatapi ajarannya
itu diketahui orang dari uraian-uraian para pengikutnya.

Skeptis Akademia

Kaum Skeptis aliran Arkesilaos berpendapat bahwa cita-cita orang bijaksana ialah bebas
dari berbuat salah. Kaum Epikuros dan Stoa mengatakan bahwa memperoleh kebenaran yang
sungguh-sungguh dengan membentuk dalam pikiran hasil pandangan. Menurut Arkesilaos yang
seperti itu tidak mungkin. Kriteria daripada kebenaran tidak dapat diperoleh dari pikiran
manusia. Sedangkan pikiran berdasarkan kepada bayangan saja, barang-barang yang dipikirkan
itu pada dasarnya tidak dapat dikenal.

Meskipun sekolah ini didirikan oleh Plato, tetapi generasinya tidak lagi mengusung ajaran-
ajaran Plato. Para pengikut Plato, terutama di bawah pengaruh Arkesilaos lebih mengutamakan

10
ajaran Plato yang bersifat negatif. Ajaran Arkesilaos berpangkal kepada ajaran Plato yang
mengatakan bahwa dunia yang kelihatan ini adalah gambaran saja dari yang asli, bahwa
pengetahuan yang didapat dari penglihatan dan pemandangan adalah bayangan pengetahuan,
bukan gambaran dari pengetahuan yang sebenarnya. Pengetahuan yang sebenarnya tidak tercapai
oleh manusia.

2) PERIODE RELIGI

Pada masa etik, agama itu dianggap sebagai sesuatu belenggu yang menanam rasa takut
dalam hati manusia. Karena itu agama dipandang sebagai suatu penghalang untuk memperoleh
kesenangan hidup. Dan tujuan filsafat menurut Epikuros dan Stoa harus merintis jalan ke arah
mencapai kesenangan hidup.

Didorong oleh perasaan dan keadaan bangsa Yunani dan bangsa lainnya yang senantiasa merasa
tertekan di bawah kekuasaan kerajaan Roma, maka ajaran Etik tidak dapat memberikan jalan
keluar. Kemudian perasaan agamalah yang akhirnya muncul sesudah beberapa abad terpendam
dapat mengobati jiwa yang terluka. Mulai dari sinilah pandangan filsafat berbelok arah, dari otak
turun ke hati.

Ø Aliran Neo Pythagoras

Dinamakan Neo Pyithagoras karena ia berpangkal pada ajaran Pyithagoras yang


mendidik kebatinan dengan belajar menyucikan roh. Yang mengajarkannya ialah mula-mula
ialah Moderatus dan Gades, yang hidup dalam abad pertama tahun masehi. Ajaran itu kemudian
diteruskan oleh Nicomachos dari Gerasa.[8]

Ø Philon Alexandreia

Alexandria terletak di Mesir. Di sana bertemu antara filsafat Yunani yang bersifat
intelektualis dan rasionalis, dan pandangan agama kaum Yahudi yang banyak mengandung
mistik. Pencetusnya adalah Philon. Ia hidup dari 25 SM, sampai 45 M. Ia mencapai umur 70
tahun.

Yang menjadi pokok pandangan filsafatnya ialah hubungan manusia dengan Tuhan. Baginya
Tuhan itu Maha Tinggi tempatnya. Tuhan hanya dapat diketahui oleh kata-kata-Nya yang

11
terdapat dalam kitab suci, dari alam dan dari sejarah. Tuhan sendiri tidak dapat diketahui oleh
manusia dengan panca inderanya.

D. Berakhirnya Masa Kejayaan Helenisme

Setelah kematian Aleksander, ada upaya untuk mempertahankan kesatuan imperiumnya.


Namun terjadi perang saudara dalam pemerintahan setelahnya yang kemudian terpecah menjadi
dua, yakni dinasti Ptolemeus dan Scleucid (sebutan bagi dinasti Seleucus) dimana keduanya tak
mampu melanjutkan upaya Aleksander untuk melakukan pembauran antara bangsa Yunani dan
Barbar, dan mereka mendirikan tirani militer yang pertama-tama dilandaskan pada kekuatan
pasukan Makedonia yang berada di pihaknya masing-masing, diperkuat oleh serdadu bayaran
dari Yunani.

Beberapa peninggalan yang dapat dilihat sesudah “keruntuhan” Helenisme diantaranya adalah:
[9]

a) Sebelum timbulnya masa Helenisme, fikiran masyarakat Yunani hanya terbatas pada
cerita-cerita agama yang dibawa oleh para agamawan. Mereka hanya menelan mentah semua
yang diajarkan oleh pendeta itu tanpa memikirkan apakah itu benar atau tidak. Setelah masuk
pada masa Helenisme mulailah timbul pemikir/ filosof-filosof yang mempertanyakan hal itu.
Mereka lalu membagi hal yang bersifat ghaib dan yang bersifat rill. Namun sayangnya mereka
belum mampu mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu “siapakah yang awal?

b) Mesopotamia, maupun wilayah Barat yang lebih jauh, bahasa Yunani menjadi bahasa
sastra dan kebudayaan, dan tetap demikian sampai saatnya ditaklukkan oleh dunia Islam.

c) Berdirinya kota Aleksandria sebagai keberhasilan paling gemilang pada abad ke-3 SM
yang menjadi pusat perkembangan matematika dan tetap demikian hingga masa keruntuhan
Romawi

FILSAFAT ARISTOTELES

Pria yang lahir di Stagmirus, Makedonia pada tahun 384 SM. Inilah orang pertama di
dunia yang dapat membuktikan bahwa bumi bulat. Pembuktian yang dilakukaknya dengan jalan
melihat gerhana. Sepuluh jenis kata yang dikenal orang saat ini seperti. Kata kerja,kata benda,

12
kata sifat dan dll merupakan pembagian kata hasil pemikirannya. Dia jugalah yang mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ayahnya yang bernama Nicomachus, seorang dokter di
Sitana Amyntas raja Mekodinia, kakek Alexander Agung. Dia ditinggal wafat ayahnya pada usia
15 tahun. Karenanya, ia kemudian dipelihara oleh Proxenus, pamannya.

Pada usia 17 tahun ia masuk akademi milik Plato di Athena. Dari situlah ia kemudian menjadi
murid Plat Hai selama 20 tahun. Dengan meninggalnya Plato pada tahun 347 SM. Aristoteles
meninggalkan Athena dan mengembara selama 12 tahun. Dalam jenjang waktu itu ia di
Assusdan menikah dengan Pythias yang tak lama kemudian meninggal. Ia lalu menikah lagi
dengan Herpyllis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang ia bernama
Nicomachus seperti kecepatan. Pada tahu-tahun berikutnya ia juga ikut akademi di Mytilele. Saat
hebat ia sempat jadi guru Alexander Agung selama tiga tahun.Di Athena tahun 355 SM ia juga
ikut semacam akademi. Di sinilah ia selama 12 tahun memberikan kuliah, berpikir, mengadakan
riset dan eksperimen serta membuat catatan-catatan dll. Dengan tekun dan cermat. Pada tahun
323 SM Alexander Agung meninggal. Karena takut di bunuh orang yunani yang hentikan
pengikut Alexander, Aristoteles akhirnya melarikan diri ke Chalcis. Tapi ajal memang tak
mengenal tempat. Mau lari kemanapun, kalau ajal sudah tiba tidak ada yang bisa menolak.
Demikian juga dengan tokoh ini, satu tahun setelah pelariannya ke kota itu, yaitu tepatnya pada
tahun 322 SM, pada usia 62 tahun ia meninggal juga di kota tersebut, Chalcis Yunani.

Hasil murni karya Aristoteles ialah mencengangkan. Empat puluh tujuh karyanya masih
tetap bertahan. Daftar kuno mencatat tidak kurang dari seratus tujuh puluh buku hasil ciptaannya.
Bahkan bukan hanya jumlah judul buku saja yang mengagumkan, melainkan luas daya
jangkauan peradaban yang menjadi bahan renungannya. Karya ilmiahnya betul-betul merupakan
ensiklopedi ilmu untuk jamannya. Aristoteles menulis tentang astronomi, zoologi, embryologi,
geografi, geologi, fisika, anatomi, fisiologi, dan hampir tiap karyanya dikenal di masa Yunani
purba. Hasil karya ilmiahnya, merupakan sebagian kumpulan ilmu pengetahuan yang
diperolehnya dari para asisten yang spesial digaji untuk menghimpun data-data putus, sedangkan
sebagian lagi merupakan hasil dari serentetan pengamatannya sendiri.

Untuk menjadi seorang ahli pagar jempolan dalam tiap cabang ilmu tentu kemustahilan
yang ajaib dan tak ada duplikat dll. Seseorang di masa sesudahnya. Tetapi apa yang sudah
tercapai oleh Aristoteles malah lebih dari itu. Dia filosof orisinal, dia penyumbang utama dalam

13
tiap bidang penting falsafah spekulatif, dia menulis tentang etika dan metafisika, psikologi,
ekonomi, teologi, politik, retorika, keindahan, pendidikan, puisi, adat-istiadat orang terbelakang
dan konstitusi Athena.

Salah satu proyek penyelidikannya adalah koleksi pelbagai negeri yang digunakannya
untuk studi banding. Mungkin sekali, yang penting dari sekian banyak hasil karyanya adalah
penyelidikannya tentang teori pintu masuk, dan Aristoteles dipandang selaku pendiri cabang
filosofi yang penting ini. Hal ini sebetulnya berkat sifat logis dari cara berfikir Aristoteles yang
memungkinkannya mampu mempersembahkan begitu banyak bidang ilmu. Dia punya bakat,
cara berfikir, merumuskan kaidah dan jenis-jenisnya yang kemudian jadi dasar berpikir di
banyak bidang ilmu pengetahuan.

Aristoteles tak pernah kejeblos ke dalam rawa-rawa mistik atau ekstrim. Aristoteles
senantiasa bersiteguh mengutarakan pendapat-pendapat praktis. Sudah barang tentu, manusia
namanya, dia juga punya kesalahan. Tetapi, sungguh menakjubkan sekali betapa jalan raya
kesalahan yang dia buat dalam ensiklopedi yang begitu luas. Pengaruh Aristoteles terhadap cara
berpikir Barat di belakang hari sungguh dalam.

Di jaman dulu dan jaman pertengahan, hasil karyanya diterjemah ke dalam bahasa-
bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang
muncul kemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium mempelajari karyanya dan menaruh
kekaguman. Perlu juga Nota, buah pikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan
berabad-abad, tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes),
mungkin filosof Arab yang terkemuka, mencoba merumuskan suatu perpaduan antara teologi
Islam dengan rasionalismenya Aristoteles.

Menurut Aristoteles tujuan tertinggi yang tercapai adalah kebahagiaan (eudaimonia).


Kebahagiaan ini bukan kebahagiaan yang subjektif, sehingga segala sesuatu yang termasuk
keadaan bahagia itu terdapat pada manusia. Tujuan yang dikejar adalah demi kepentingan diri
sendiri, bukan demi kepentingan orang lain. Jadi kebahagiaan manusia terletak di sini, bahwa
aktifitas yang khas pakaian sebagai manusia itu disempurnakan. Padahal ciri khas manusia
bahwa ia adalah makhluk rasional. Jadi puncak perbuatan kesusilaan manusia terletak dalam
perkiraan murni. Kebahagiaan manusia yang tertinggi, yang dikejar oleh manusia. Tetapi
puncak itu hanya tercapai oleh para dewa, manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengan

14
bantuan keinginannya. Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan
segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa suatu tertentu “Berubah” (menjadi besar dan
tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada suatu yang hidup selamanya.

Bagi Aristoteles, ide ada dalam benda-benda. Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan
perubahan yang radikal. Menurut Plato, Realitas tertinggi adalah kesalahan dengan akal kita,
sedang menurut Aristoteles Realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indra-mata kita.
Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan
bukan hanya akal yang masuk dalam kesadarannya pendengaran dan penglihatan juga termasuk.
Namun justru akal hebat yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-
makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu,
menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada ide-bawaan. Aristoteles menyatakan bahwa ada dua
cara untuk mendapatkan jalan untuk memperoleh pengetahuan yang benar, yaitu metode
rasional-deduktif dan metode empiris-induktif.

Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun Prancis dalam
wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme
(Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafat dan
kebudayaan di wilayah TimurTengah. Aristoteles menempatkan filosof dalam suatu skema yang
utuh untuk belajar Realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, ini sebagai
organ (“Alat”) untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih dalam, untuk selanjutnya diolah
dalam teori yang membawa kepada praktek. Aristoteles mengawali sekurang-kurangnya secara
tidak langsung mendorong kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu
kedokteran, dan tentu saja fisika.

Kesimpulan yang nyata, antara potongan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan
Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Eksperimen di Listrik
(oleh Franklin), Kimia (dari Lavoisier), Geologi (ditulis oleh Lyell), dan itu asal dari (hasil
pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi
dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing

Etika Aristoteles

15
Pemikiran Aristoteles bersifat teleologis dan merupakan suatu etika Keutamaan.
Aristoteles melihat kebaikan moral sebagai tujuan akhir perbuatan Manusia. Artinya, “baik”
menurut Aristoteles adalah bukan dalam bidang tertentu Saja, melainkan semua aspek yang
melingkupinya. Contoh, seorang pemain sepak Bola yang tampil begitu baik. Dalam hal ini kita
hanya melihatnya dalam satu aspek Saja. Karena bisa jadi, ia memiliki catatan kriminal.
Sehingga, ini artinya pemain Sepakbola tersebut tidak memiliki kebaikan moral sebagai manusia.
Kebaikan Moral disebut baik karena dirinya sendiri, bukan karena faktor lain.Menurut
Aristoteles, kebaikan moral dapat dimengerti sebagai eudaimonia (kebahagiaan) atau yang
diterjamahkan dalam bahasa Inggris dengan well-Being. Banyak sekali pandangan yang berbeda
tentang kebahagiaan. Ada yang Mengartikan kebahagiaan adalah kekayaan, kekuasaan,
kesehatan. Namun, Sebenarnya kebahagiaan sejati menurut Aristoteles adalah bila manusia
mampu Mewujudkan kemungkinan terbaik sebagai manusia. Artinya bahwa kebahagiaan Dapat
tercapai ketika manusia mewujudkan kebijaksanaan yang tertinggi Berdasarkan rasio atau akal
budi.Secara etimologi “keutamaan” adalah terjemahan dari bahasa Inggris virtue,Dari bahasa
latin vistus. Kata sifat virtuous biasa diterjemahkan dengan saleh. Sehingganya dalam bahasa
Barat virtue sering diartikan dengan kesalehan.Aristoteles menyatakan bahwa keutamaan adalah
sifat karakter yang muncul dal Tindakan kebiasaan. Kebiasaan ini menjadi penting, karena hal
yang baik perlu Dijalankan terus menerus. Seseorang tidak dapat dinilai memeliki keutamaan
Jika ia hanya menjalankan kebaikan secara jarang-jarang saja, atau bila yang Bersangkutan
mendapat keuntungan.Pertanyaan sentral yang diungkapkan Aristoteles dalam bukunya
Nicomachean Ethics yang menyangkut tentang karakter adalah pertanyaan “apakah kebaikan
Manusia itu?” dan jawabannya adalah “kebaikan manusia merupakan aktivitas jiwa Dalam
kesesuaian dengan keutamaan.” Sehingganya dalam memahami etika kita Harus memahami
terlebih dahulu apa yang membuat seseorang menjadi pribadi Utama. Terdapat empat keutamaan
menurut Aristoteles, yaitu keberanian, kontrol Diri, kemurahan, dan kejujuran.Etika Aristoteles
adalah etika keutamaan (virtue). Ia mengartikan Keutamaan2

Menurut Aristoteles, keutamaan merupakan titik tengah yang berada di antara Dua sisi
ekstrim. Contohnya sifat berani merupakan titik tengah dari dua sisi ekstrim Yaitu pengecut dan
nekad. Pengecut melarikan diri dari berbagai macam bahaya, Sedangkan nekad menaruh resiko
terlalu besar.Aristoteles menegaskan bahwa dalam setiap kegiatan, manusia mengejar Suatu
2

16
tujuan. Lalu pakah tujuan yang hendak dicapai oleh manusia itu? Sering Kali kita mencari suatu
tujuan untuk mencapai tujuan lain lagi. Seperti contoh kita Makan agar kita sehat, kemudian
sehat agar kita dapat beraktivitas dengan baik, Begitu seterusnya. Timbul lagi pertanyaan,
apakah ada tujuan akhir yang tidak Menyebabkan munculnya tujuan lagi Menurut Aristoteles
makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Namun kebahagiaan yang
dipahami seseorang belum tentu sama Dengan orang lain. Ada yang mengartikan kebahagiaan
dengan kesenangan, ada Pula yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan adalah inti
kebahagiaan, dan Ada pula yang menganggap status sosial sebagai kebahagiaan. Sedangkan
menurut Aristoteles, hal tersebut tidaklah dapat diartikan sebagai tujuan akhir Aristoteles
beranggapan bahwa seseorang dapat mencapai tujuan akhir dengan Menjalankan fungsinya
dengan baik. Seseorang pengerajin sepatu memiliki tujuan Akhir membuat sepatu yang baik.
Fungsi yang khas bagi manusia itu sendiri adalah Rasio atau akal budi. Manusia menjadi baik
karena menjalankan tujuan rasionalnya Dengan baik. Dan ini tidak cukup dengan ia
melakukannya sekali saja. Tetapi hal Tersebut haruslah bersifat tetap dan terus menerus. Hal ini
berarti kegiatan rasional Harus dijalankan dengan disertai keutamaan.Berbagai argumentasi
muncul ketika mendeskripsikan tentang arti sebuah Kebahagiaan. Ada yang mengartikan
kebahagiaan adalah kesenangan. Dan suatu Kebahagiaan dapat diacapai jika memiliki kekayaan,
kekuasaan dan kesehatan. Namun lebih daripada itu, kebahagiaan merupakan sebuah tujuan
“baik yang Hendak dicapai olah seseorang”. “Baik” yang tertinggi sebaiknya merupakan Sesuatu
yang final. Sehingga hanya ada satu tujuan yang hendak dicapai. Karena, Jika ada beberapa
tujuan, pasti ada tujuan yang paling final dan sempurna Diantara tujuan yang lain.35 “Yang
baik” dari manusia adalah kegiatan jiwa dalam Keselarasan dengan keutamaan dan
kebajikan.Tujuan hidup, katanya, tidaklah mecapai kebaikan untuk kebaikan, melainkan
Merasakan kebahagiaan. Bagi seorang dokter kesehatanlah yang baik, bagi seorang Pejuang
kemenanganlah yang baik, dan bagi seorang pengusaha kemakmuranlah Yang baik. Yang
menjadi ukuran ialah gunanya yang praktis. Tujuan kita bukan Mengetahui, melainkan berbuat.
Bukan untuk mengetahui apa budi itu, melainkan supaya menjadi orang yang berbudi.33

Filsafat Plato

3
K. Bertens, Etika, (Jakarta : Gramedia, 2007), 216-222. 33 James Rachels, Filsafat Moral, Terj. A. Sudiarja, 312. 34
K.Bertens, Etika, 343. 35 Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati, 13.

17
Plato adalah murid Socrates yang sangat terkemuka. Dia menyerap ajaran-ajaran
pendidikan besar itu, kemudian mengembangkan sistem filsafatnya sendiri secara lengkap.
Akademi itu suatu pusat untuk studi. Plato, dalam keluarga Aristokrasi yang kaya (mungkin di
Athena disekitar tahun 427 SM).

Plato kehilangan kecepatan Ariston, mengaku keturunan dari Codus yang pernah punya
anak-anak buruk ke-7 SM sebagai raja terakhir dari Athena. Ibu Plato Perictions adalah
keturunan keluarga Solon, seorang pembuat undang-undang, penyair, memimpin militer dari
kaum ningrat dan pendiri dari demokrasi Athena terkemuka (Smith, 1986 :29).

Bagi Plato, Pendidikan itu adalah suatu bangsa dengan tugas yang harus dilaksanakan
untuk kepentingan negara dan perorangan, pendidikan itu memberikan kesempatan kepadanya
untuk kesanggupan diri. Bagi negara, dia bertanggungjawab untuk memberikan perkembangan
kepada warga negaranya, dapat melatih, mendidik dan bersenang hati dalam menjalankan
perangkatnya untuk melaksanakan kehidupan kemasyarakatan (Ali, 1993: 60).

Menurut Plato di dalam negara idealnya pendidikan memperoleh tempat yang sangat
utama dan mendapat perhatian yang sangat khusus bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan
adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh negara.
Pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan dalam dari belengggu ketidaktahuan dan
ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan selamat atas apa yang benar dan apa yang
tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang menggagalkan dan
apa yang jahat, dan juga akan menyadari apa yang patut dan apa yang tidak patut, dan yang
sangat dominan dari semua itu adalah bahwa pendidikan mereka akan lahir kembali (mereka
akan menjadi lahir lagi) (Raper, 1988: 110)

Dengan demikian jelaslah pula bahwa perangkat pendidikan yang sangat utama bagi
manusia adalah membebaskan dan memperbaharui. Pembebasan dan pembaruan itu akan
membentuk manusia utuh, yakni manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan
moralitas jiwa mengantarnya ke ide yang tinggi yaitu kebajikan dan keadilan.

Cita-cita Plato yang sangat agung terus digenggamnya sampai akhir hayatnya. Tujuan
pendidikan menurut Plato adalah untuk menemukan kemampuan-kemampuan ilmiah setiap
individu dan melatihnya, sehingga ia akan menjadi seorang warga negara yang dapat

18
dibanggakan dalam suatu masyarakat yang harmonis, melaksanakan tugas-tugasnya secara
efisien sebagai seorang anggota kelasnya.

Pemikiran Plato tentang etika berdasarkan ajarannya tentang idea. Istilahnya, Idea menjadi
dasar moral. Dapat pula dikatakan etika bersendi kepada ajaran idea. Yang dimaksudkan idea
dalam perspektif etika ialah budi. Adapun budi ialah tahu Dalam artian menentukan tujuan dan
nilai dari etika.Plato membagi budi menjadi dua macam. Pertama, budi filosofi yang timbul Dari
pengetahuan dengan pengertian. Kedua, budi biasa yang terbawa oleh Kebiasaan orang. Sikap
hidup yang tidak dipakai tidak timbul dari keyakinan, Melainkan disesuaikan kepada moral
secara umum dalam hidup sehari-hari.13Menurut Plato, kebaikan tertinggi untuk manusia adalah
kebahagiaan atau Ketentraman yang didapat dari tiga bagian jiwa di bawah aturan akal. Adapun
Kebajikan atau perbuatan baik adalah tindakan yang mengalir dari pengetahuan, Yaitu
pengetahuan tentang jiwa tripati, bentuk, dan ide kebaikan.Tujuan budi filosofis terletak di dalam
dunia yang tidak kelihatan. Manusia untuk Mengetahui yang tinggi itu karena ide kebaikan, jadi
Plato menekankan untuk Mengasah budi. Menurutnya, siapa yang hidup di dunia idea, tidak
berbuat jahat. Dengan demikian, untuk mencapai budi baik ialah menanam keinsafan untuk
Memiliki idea dengan pikiran.4

FILSAFAT PLOTINUS

Plotinus dilahirkan pada tahun 204 Masehi di Lycopolis, Mesir. Orang tuanya berasal
dari Yunani. Mengenai Plotinus, banyak yang tidak mengetahui tentang kehidupannya, Plotinus
terkenal karena ajaran filsafatnya. Hakim dan Saebani mengatakan, “Awalnya Plotinus
mempelajari filsafat dari ajaran Yunani, terutama dari buah tangan Plato”. Kemudian pada tahun
232 Masehi, Plotinus pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat kepada seorang guru bernama
Animonius Saccas, selama 11 tahun. Sebenarnya diusianya yang sudah 28 tahun, Plotinus
nampak cerdas sebagai filosof. Namun, baginya itu semua belum cukup. Ia ingin mempelajari
mistik dari Persia dan India, secara kebetulan Kaisar Roma ketika itu, Gordianus hendak
melakukan penyerangan ke Persia. Plotinus pun meminta agar dirinya dijadikan serdadu dalam
laskar Gordianus.

Akan tetapi, keinginan Plotinus untuk mempelajari mistik di Persia dan India gagal, karena
Gordianus terbunuh dalam peperangan tersebut. Ahmad Tafsir mengatakan, “Plotinus selamat
4
Ibid., h. 99. 12 Ibid., h. 106. 13 Ibid., h. 106. 14 T.Z Lavine, Plato “Kebajikan adalah pengetahuan”, h. 86-87.

19
dan berhasil melarikan diri ke Antakya (Antioch)”. Pada umur 40 tahun, Plotinus pergi ke Roma.
Hakim dan Saebani mengatakan, “Satu tahun menetap disana untuk mengajarkan filsafatnya”.
Lalu, pada tahun 270 Masehi, Plotinus meninggal di Minturnae, Campania, Italia.

Pemikiran Plotinus

Plotinus pada awalnya tidak bermaksud untuk mengemukakan filsafatnya sendiri. Plotinus
yang berupaya memadukan ajaran Aristoteles dan Plato, hanya saja pada praktiknya, ia lebih
condong pada ajaran-ajaran Plato. Ia hanya ingin memperdalam filsafat Plato. Oleh karenanya,
filosofinya disebut pula dengan Neoplatonisme. Aliran baru yang dirintisnya mencakup berbagai
pemikiran dari berbagai negara dan menjadi pusat bagi peminat falsafah, ilmu, dan sastra.[2]
Walaupun Plotinus banyak menggunakan istilah-istilah Plato dan menggunakan juga dasar-dasar
pikirannya, akan tetapi ia memajukan banyak hal yang sebelumnya tidak di selidiki oleh filsafat
Yunani, jadi hal yang baru. Oleh Plotinus di arahkan kepada Tuhan dan Tuhanlah yang menjadi
dasar segala sesuatunya.

Lain dari Plato dengan tegas ide tertinggi itu di sebutnya Tuhan atau yang Esa. Sayangnya ia
tidak membedakan yang satu ini dengan yang lain. Dengan demikian menurut Plotinus dalam
intinya dan dalam hakekatnya ada itu sungguh-sungguh hanya satu belaka. Tuhan dan semua
(lainnya) berhakekat sama : ajaran yang menyatakan semuanya itu berhakekat Tuhan disebut
Panteisme (serbatuhan).[3]

Neoplatonisme dibangun oleh Plotinus (204-70 SM) yang merupakan filosof besar fase
terakhir Yunani. Neoplatonisme merupakan rangkaian terakhir dari fase Helenisme Romawi,
yaitu suatu fase pengulangan ajaran Yunani yang lama, jadi aliran ini masih berkisar pada filsafat
Yunani, yang teramu dalam mistik (tasawuf Timur), dan juga digabung dengan berbagai aliran
lain yang mendukung. Akibatnya, di dalamnya kadang terjadi tabrakan antara filsafat Yunani
dengan agama-agama samawi. Aliran ini jelas bercorak agama.

Menurut Plotinus, semua wujud di alam semesta ini adalah Tuhan yang Esa, kebaikan
mutlak, sumber bagi fikiran, hakekat segala sesuatu dan segala-galanya. Ia merupakan kesatuan
yang tak dapat dipisah-pisahkan atau dibagi-bagi.

Dari Yang Esa (To Hen) keluarlah Nous (Akal tertinggi, Spirit, Over mind) seperti
keluarnya sinar dari benda yang bercahaya. Nous tersebut ialah Fikiran tertinggi (Over mind)

20
bagi alam semesta dan bagi dunia ide serta gudang dari semua form, dimana semua fikiran dan
perkara yang wujud menjadi bagian-bagiannya. Neoplatonisme ini terdapat unsur-unsur
Platonisme, Phytagoras, Aristoteles, Stoa, dan mistik Timur, jadi, berpadu antara unsur-unsur
kemanusiaan, keagamaan dan mistik.[4] Seluruh sistem filsafat Plotinus berkisar pada konsep
kesatuan, yang disebutnya dengan nama “Yang Esa”, dan semua yang ada berhasrat untuk
kembali kepada “Yang Esa”.

Oleh karenanya, dalam realitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah: dari atas ke bawah dan
dari bawah ke atas, yaitu:

a. Dialektika menurun (a way down).

Dialektika menurun digunakan untuk menjelaskan “Wujud Tertinggi” dan cara


keluarnya dari-Nya. Penjelasannya terhadap Wujud tertinggi itu, Plotinus terkenal dengan
teorinya “Yang Esa”, yaitu keluarnya alam dari “Yang Esa”, ia sampai kepada kesimpulan
bahwa semua yang wujud, termasuk di dalamnya wujud pertama (Yang Esa), merupakan
rangkaian mata rantai yang kuat dan erat, dan kemudian dalam studi kegamaan dikenal dengan
istilah “kesatuan wujud”.

Plotinus sangat mementingkan kesatuan. Semua makhluk yang ada, merupakan


keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “Yang Esa”
(bahasa Yunani: to hen). Setiap taraf dalam hirarki berasal dari taraf lebih tinggi yang paling
berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan pengeluaran atau
“emanasi” (bahasa Inggris: emanation). Dengan istilah “emanasi” ditunjukkan bahwa
pengeluaran itu secara mutlak perlu, seperti air sungai secara mutlak perlu memancar dari
sumbernya. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam mengeluarkan taraf berikutnya, tetapi dalam
proses pengeluaran ini taraf yang lebih tinggi tidak berubah kesempurnaannya tidak hilang
sedikit pun. Proses pengeluaran digambarkan Plotinus sebagai berikut: dari “Yang Esa”
dikeluarkan Akal (Nous). Akal ini sama dengan ide-ide Plato yang dianggap Plotinus sebagai
suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi, akal sudah tidak satu lagi, karena di sini
terdapat dualitas: pemikiran dan apa yang dipikirkan. Dari akal itu, jiwa (psykhe) berasal, dan
akhirnya dari jiwa dikeluarkan materi (hyle), yang bersama jiwa merupakan jagad raya. Selaku
taraf yang paling rendah dalam seluruh hirarki, materi adalah makhluk yang paling kurang
kesempurnaannya dan sumber segala kejahatan.[5]

21
b. Dialektika menaik (a way up)

Dialektika menaik digunakan untuk menjelaskan soal-soal akhlak dan jiwa, dengan
maksud untuk menentukan kebahagiaan manusia. Setiap taraf hirarki mempunyai tujuan untuk
kembali kepada taraf lebih tinggi yang paling dekat dan kerena itu secara tidak langsung menuju
ke “Yang Esa”. Karena hanya manusia mempunyai hubungan dengan semua taraf hirarki, dialah
yang dapat melaksanakan pengembalian kepada “Yang Esa”. Hal ini dapat dicapai melalui tiga
langkah. Langkah pertama adalah penyucian, di mana manusia melepaskan diri dari materi
dengan tapa. Langkah kedua adalah penerangan, dimana ia diterangi dengan pengetahuan
tentang Ide-ide akal budi. Akhirnya, langkah ketiga adalah penyatuan dengan “Yang Esa” yang
melebihi segala pengetahuan. Langkah terakhir ini ditunjukkan Plotinus dengan nama “ekstase”
(ecstacy). Porphyry menceritakan bahwa selama 6 tahun ia bersama Plotinus, empat kali ia
menyaksikan gurunya mengalami ekstase tersebut.

Dua dialektika itu, oleh Plotinus dikembangkan teori tentang asal usul alam semesta yang
tampaknya juga merupakan gabungan dari teori-teori Plato dan Aristoteles, yang kemudian
dikenal sebagai sistem emanasi. Dunia tidak lagi dipandang sebagai suatu wujud yang diciptakan
dari materi yang ada sejak sebelumnya (pre-existent matter), yang mana dia itu sendiri, kekal
bersama-sama “Yang Baik” (menurut Plato), dan juga bukan dipandang sebagai wujud yang
keseluruhan dan kesempurnaannya kekal bersama-sama “Yang Esa” (menurut Aristoteles);
sekarang dia dipandang sebagai wujud yang dihasilkan atau dipancarkan dari hakikat kesejatian
“Yang Esa” secara kekal, jadi pandangan yang baru ini berusaha menafsirkan kepercayaan
kepada penciptaan alam dari tiada (ex nihilo) sebagai suatu tindak penciptaan dunia yang
melibatkan waktu dari hakikat “Yang Esa”.

Kelebihan dan Kekurangan Pemikiran Plotinus

Pertama dan terutama, terdapat suatu konstruksi yang di yakini Plotinus sebagai tempat
berlindung yang aman bagi cita-cita dan harapan, dan sesuatu yang, di samping itu, mencakup
baik upaya moral maupun intelektual. Pada abad ke-3, dan pada abad-abad sesudah invasi kaum
barbar, peradaban barat mengalami kehancuran yang nyaris total. Untunglah bahwa, sementara
teologi nyaris merupakan satu-satunya aktifitas mental yang tetap lestari, sistem yang diterima
tidaklah sepenuhnya bersifat tahayul, melainkan melestarikan, meski kadang terkubur dalam-
dalam, doktrin-doktrin yang menyusun sebagian besar karya pemikiran yunani dan sebagian

22
besar pengabdian moral yang umum berlaku pada kaum stoa dan kaum Neoplatoisme. Ini
memungkinkan lahirnya filsafat skolastik, dan memungkinkan di belakang hari, bersama dengan
Renaissance, menjadi pendorong yang bersumber dari pembaharuan studi terhadap Plato, dan
selain itu juga terdapat tokoh-tokoh kuno lainnya.

Filsafat Plotinus mengandung kekurangan dalam arti mendorong manusia untuk lebih
menilik ke dalam dari pada menilik ke luar: jika kita menilik ke dalam, kita bisa melihat nous,
yang suci, sedangkan jika kita menilik ke luar, kita melihat ketidak sempurnaan dunia indrawi.
Jenis subjektifitas demikian ini adalah hasil perkembangan yang berangsur; ia bisa ditemukan
dalam doktrin-doktrin Protagoras, Sokrates, dan Plato, maupun dalam ajaran kaum Stoa dan
Epikurean. Namun pada mulanya ia hanya bersifat doktrinal, tidak temperamental; selama sekian
masa ia tak berhasil memantikan keingintahuan ilmiah. Akan tetapi, subjektivisme berangsur-
rangsur menjangkiti perasaan manusia maupun dotrin-doktrin mereka. Ilmu pengetahuan tak lagi
dikembangkan, dan hanya keutamaanlah yang dianggap penting.[6]

Plotinus adalah seorang filsuf yang mendirikan Mazhab Neo-Platonisme. Plotinos menjadikan
pemikiran Plato sebagai inspirasi utamanya. Akan tetapi, pemikiran Plato tersebut digabungkan
dengan berbagai aliran filsafat lain pada masanya, termasuk aliran filsafat Timur. Inti ajaran
Neo-Platonisme dapat ditemukan dalam Enneadeis, yang merupakan buku berisi kumpulan
karangan Plotinos. Buku tersebut diterbitkan oleh muridnya yang bernama Porphyrios (232-301
SM). Di dalam buku tersebut, pemikiran Plotinus berpusat pada konsep “Yang Esa” (dalam
bahasa Yunani to hen, dan dalam bahasa Inggris the one).

A. Masa Patristik

Istilah Patristikdari kata latin pater atau Bapak, yang artinya para pemimpin Gereja. Para
pemimpin gereja ini dipilih dari golongan atas atau golongan ahli pikir. Dari golongan ahli pikir

23
inilah menimbulkan sikap yang beragam pemikirannya. Mereka ada yang menolak filsafat
Yunani dan ada yang menerimanya. Bagi mereka yang menolak, alasannya karena beranggapan
bahwa sudah Mempunyai sumber kebenaran yaitu firman Tuhan, tetapi tidak ada jeleknya
menggunakan filsafat Yunani hanya diambil metodosnya saja (tata cara berpikir). Juga,
walaupun filsafat Yunani sebagai kebenaran manusia, akan tetapi manusia juga sebagai ciptaan
Tuhan. Jadi, memakai atau menerima filsafat Yunani diperbolehkan selama dalam hal-hal
tertentu tidak bertentangan dengan agama. Perbedaan pendapat tersebut berkelanjutan, sehingga
orang-orang yang menerima filsafat Yunani menuduh bahwa mereka (orang-orang Kristen yang
menolak filsafat Yunani) itu munafik. Kemudian, orang-orang yang dituduh munafik tersebut
menyangkal, bahwa tuduhan tersebut dianggap fitnah dan pembelaan dari orang-orang yang
menolak filsafat Yunani mengatakan bahwa dirinyalah yang benar-benar hidup sejalan dengan
tuhan.

B. Skolastik di barat Kristen

Perkembangan Filsafat Ilmu pada Abad Pertengahan (tinjauan terhadap periode filsafat
skolastik kristen dan periode skolastik islam). Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari
kata school, yang berarti sekolah. Atau Dari kata schuler yang mempunyai arti kurang lebih sama
yaitu ajaran atau sekolahan. Yang demikian karena sekolah yang diadakan oleh Karel Agung
yang mengajarkan apa yang diistilahkan sebagai artes liberales (seni bebas) meliputi mata
pelajaran gramatika, geometria, arithmatika, astronomi, musika, dan dialektika. Dialektika ini
sekarang disebut logika dan kemudian meliputi seluruh filsafat.[11] Belakangan ini kata
skolastik menjadi istilah bagi filsafat Abad 9-15 yang mempunyai corak khusus yaitu filsafat
yang dipengaruhi agama. [12]

Periode Skolasik mencapai kejayaannya pada abad VIII. Dimasa ini filsafat masih dikaitkan
dengan Teologi, tetapi sudah menemukan tingkat kemandirian tertentu. Hal ini disebabkan oleh
dibukanya universitas-universitas baru, berkembangnya ordo-ordo, disebarluaskannya karya-
karya filsafat Yunani terutama filsafat Aristoteles yang praktis belum dikenal di Barat. Para filsuf
Islamlah yang selanjutnya memperkenalkannya ke Barat seperti oleh Filsuf Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd. Pada zaman abad pertengahan ini ilmu dikembangkan dan diarahkan atas dasar
kepentingan agama (Kristen) dan baru memperoleh kemandiriannya semenjak adnya gerakan
Renaissance dan Aufklarung.[13] Secara garis besar filsafat Skolastik abad pertengahan dibagi

24
dua yaitu Periode Skolastik Kristen dan Periode Skolastik Islam.[14]Periode Skolastik Kristen
untuk membahas filsafat Skolastik Kristen, barangkali dapat dimulai sejak Plotinus. Pada
Plotinus (lahir 204 M), pengaruh agama Kristen kelihatannya sudah besar. Filsafatnya berwatak
spritual. Pada abad ini uraian akan dimulai dengan penjelasan tentang pemikiran Augustinus
(354-430 M).

Augustinus adalah seorang pujangga gereja dan filusuf besar, lahir pada tanggal 13
November 354M di Tagaska, Numidia (sekarang Algeria). Sebagai pujangga besar ia
menciptakan sebuah tradisi filsafat Kristen yang berpengaruh besar pada abad pertengahan.
Augustinus Menentang aliran skeptisisme (aliran yang meragukan kebenaran). Menurut
Augustinus Skeptisisme itu sebetulnya merupakan bukti bahwa ada kebenaran. Orang yang ragu-
ragu merupakan bukti dia tidak ragu-ragu pada satu hal. Orang yang ragu-ragu sebetulnya
berpikir dan siapa yang berpikir harus ada. Menurut Agustinus, Allah menciptakan dunia ex
nihilo (konsep yang kemudian juga diikuti oleh Thomas Aquinas). Artinya, dalam menciptakan
dunia dan isinya, Allah tidak menggunakan bahan. Pendidikan yang mula-mula diterimanya
ialah dalam bidang Gramatika dan Aritmatika. Pada tahun 373-374 M ia mengajar di Tagaska,
dan sembilan tahun berikutnya ia mengajar di Kartago. Kemudian ia pindah ke Roma, dan ia
mendirikan sekolah retorika, dan ia meninggalkan ajaran Mani lalu menjadi skeptis. Lalu setahun
kemudian ia mendirikan sekolah di Milan. Ia sebenarnya tidak berminat menjadi pendeta, tetapi
pada tahun 391 M ia ditahbiskan menjadi pendeta karena didesak oleh hampir semua orang di
tempat tinggalnya di dekat kota Hippo (sekarang masuk wilayah Aljazair). Pada tahun 395-396
M ia ditahbiskan lagi menjadi uskup di Hippo. Menurut ajaran Augustinus “Tentang Tuhan dan
manusia”, ajaran Augustinus dapat dikatakan berpusat pada dua pool, Tuhan dan manusia. Akan
tetapi dapat dikatakan bahwa seluruh ajaran Augustinus berpusat pada Tuhan.

Kesimpulan ini di ambil karena ia mengatakan bahwa ia hanya ingin mengenal Tuhan dan
Roh, tidak lebih dari itu. Ia sependapat dengan Plotinus yang mengatakan bahwa Tuhan itu di
atas segala jenis (catagories). Sifat Tuhan yang paling penting ialah kekal, bijaksana, maha
kuasa, tidak terbatas, maha tahu, maha sempurna dan tidak dapat diubah. Tuhan itu kuno tetapi
selalu baru, Tuhan adalah suatu kebenaran yang abadi. Selain Confensions, The City of God
barangkali adalah karya Augustinus yang paling berpengaruh. Buku The City of God dapat di
bagi menjadi dua bagian besar, bagian pertama yaitu jilid 1-10 membicarakan tanggung jawab

25
kristen terhadap perpecahan Romawi, sifat-sifat imperialistis, tidak pernahnya Romawi
memperhatikan masyarakat taklukannya. Bagian kedua, yaitu jilid 11-22 membicarakan asal usul
manusia, dunia Tuhan dan dunia Setan. Augustinus dianggap telah meletakkan dasar-dasar
pemikiran abad pertengahan, mengadaptasikan Platonisme ke dalam ide-ide kristen, memberikan
formulasi sistematis tentang filsafat kristen.

Filsafat Augustinus merupakan sumber atau asal usul reformasi yang dilakukan oleh
protestan, khususnya pada Luther, Zwingli dan Calvin. Kutukannya kepada seks, pujiannya
kepada kehidupan petapa, pandangannya tentang dosa asal, semuanya merupakan faktor yang
memberikan kondisi untuk wujud pandangan-pandangan abad pertengahan. Paham Teosentris
Augustinus menghasilkan suatu revolusi dalam pemikiran orang barat. Anggapanya yang
meremehkan pengetahuan duniawi, kebenciannya kepada teori-teori kealaman dan imannya
kepada Tuhan tetap merupakan bagian peradaban modern. Sejak zaman Augustinuslah orang
barat lebih memiliki sifat instropektif. Karena Augustinuslah diri hubungannya dengan Tuhan
menjadi penting dalam filsafat.

C. Boethius

Boethius adalah filosof yang semasa dengan Augustinus dan memiliki gaya yang hampir
Serupa. Bukunya yang berjudul De Consolotione of Philosophiae (Tentang Penghiburan
Filsafat), merupakan buku filsafat yang klasik yang ditulisnya selama di penjara Raha Theodorik
di Italia. Selain buku itu ia juga menulis karya-karya yang berpengaruh pada abad pertengahan.
Ia juga menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Ia dikatakan sebagai penemu quadrium yang
merupakan bidang studi pokok pada abad pertangahan. Ia dianggap sebagai filosof skolastik
yang pertama, karena ia berpandapat bahwa filsafat merupakan pendahulu kepada agama.

D. Anselmus (1033-1109)

Sesudah Boethius, Eropa mulai mengalami depresi besar-besaran. Menurunnya


kebudayaan latin, tumbuhnya materialisme agama, munculnya feodalisme, invasi besar-besaran,
munculnya supranaturalisme baru, semuanya merupakan faktor yang dapat menghasilkan
kekosongan intelektual. Asal istilah abad kegelapan adalah penggunaan untuk menunjukan
periode pemikiran pada tahun 1000-an, yaitu antara masa jatuhnya imperium Romawi dan
Renaissance abad ke-15. Seorang tokoh yang terkenal abad ini adalah St. Anselmus dialah yang

26
mengeluarkan pernyataan Credo ut intelligam (saya percaya agar saya mengerti) artinya dengan
percaya orang mendapat pemahaman lebih tentang Allah. Aselmus memberikan buktinya adanya
Allah melalui Arugem Ontologis. Pernyataannya inilah yang dapat dianggap sebagai ciri utama
abad pertengahan. Pernyataan itu menggambarkan bahwa ia mendahulukan iman daripada akal.
Iapun mengatakan wahyu harus diterima dulu sebelum kita mulai berpikir. Kesimpulannya akal
hanyalah pembantu. Sekalipun pada umumnya filosof abad pertengahan berpendapat seperti itu
(mengenai hubungan akal dan iman), Anselmulah yang diketahui mengeluarkan pernyataan itu.Ia
berasal dari keluarga bangsawan di Aosta, Italia yang lahir pada tahun 1033. Seluruh
Kehidupannya di penuhi oleh kepatuhan kepada gereja.

Pada tahun 1093 ia menjadi uskup agung Canterbury dan ikut ambil bagian dalam
perselisihan antara golongan pendeta dan orang-orang Sekular. Dalam seluruh hidupnya ia
berusaha meningkatkan kondisi moral orang-orang suci. Dalam dirinya mengalir arus mistisisme,
dan iman merupakan masalah utama baginya. Ada tiga Karyanya, yaitu: Monologium (yang
membicarakan keadaan Tuhan), Proslogium (yang Membahas tentang adanya dalil-dalil adanya
Tuhan), dan Cur Deus Homo (Why God Became Man) yang berisi ajaran tentang tobat dan
petunjuk tentang cara penyelamatan melalui Kristus. Pendapat Anselmus, di dalam filsafat
Anselmus kelihatan iman merupakan tema sentral Pemikirannya. Iman kepada Kristus adalah
yang paling penting sebelum yang lain. Dari sini kita memahami pernyataannya, credo ut
intelligam. Dalam membuktikan adanya Tuhan, Anselmus menjelaskan lebih dulu bahwa semua
konsep adalah relatif. Iapun sering mengatakan bahwa ia tidak perlu tahu tentang Tuhan, ia telah
beriman kepada Tuhan (I believe, t unless I believe, I should not understand).

E.. Thomas Aquinas (1225-1274 M)

Ia lahir dari keluarga bangasawan, pada tahun 1225 M Roccasecca, Italia. Pada masa
mudanya dia hidup besama pamannya yang menjadi pimpinan ordo do Monte Casino. Ia berada
di sana pada tahun 1230 M-1239 M. Pada tahun 1239 M-1244 M ia belajar di Universitas
Napoli, tahun 1245 M-1248 M di Universitas Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus (St.
Albert The Great). Sampai tahun 1252 M ia dan Albertus tetap berada di Cologne. Tahun 1256
M ia diberi ijazah (licentia Docendi) dalam bidang teologi, dan ia mengajar disana sampai tahun
1259 M. Tahun 1269 M-1272 M ia kembali ke Universitas Paris untuk menyusun tantangan
kepada Ibn Rusyd. Sejak tahun 1272 M ia mulai mengajar di Universitas Napoli. Ia meninggal

27
pada tahun 1274 M di Lyons. Dan karyanya yang paling penting ialah Suma Contra Gentiles
(1258 M-1264 M) dan Suma Theologica (1266 M-1273 M). Pemikiran Aquinas tentang teologi,
Ia mengajukan lima dalil (argumen) untuk membuktikan bahwa eksistensi Tuhan dapat diketahui
dengan akal, seperti sebagai berikut ini

1). Argumen gerak

a. Diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak. Setiap yang bergerak pasti di gerakan oleh
yang lain, sebab tidak mungkin suatu perubahan dari potensialitas ke aktualitas bergerak
tanpa adapenyebabnya, dari sini dapat dibuktikan bahwa Tuhan itu ada.
2) Sebab yang mencukupi (efficient cause)

Sebab pasti menghasilkan musabab, tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya
sendiri sebab. Itu berarti membuang sebab sama dengan membuang musabab. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa Tuhanlah yang menjadi penyebab dari semua musabab.

3) Kemunginan dan keharusan (possibility and necessity)


4) Memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam ini

Isi alam ini masing-masing berkelebihan dan berkekurangan, misalnya ada yang indah, lebih
indah dan terindah. Dengan demikian sebab tertinggi menjadi sebab tingkatan di bawahnya.
Maha sempurna, Maha Benar adalah Tuhan sebagai tingkatan tertinggi.

5) Keteraturan alam

Kita saksikan isi alam dari jenis yang tidak berakal bergerak atau bertindak menuju tujuan
tertentu, dan pada umumnya berhasil menuju tujuan itu, sedangkan ia tidak mempunyai
pengetahuan tentang tujuan itu. Dari situ kita mengetahui bahwa benda-benda itu diatur oleh
Sesuatu yang berakal dan berpengetahuan dalam bertindak mencapai tujuannya, itulah Tuhan.

Menurutnya Aquinas, hukum itu ada empat :

a) Hukum abadi yaitu suatu rencana (blue print) yang menatur penciptaan dan pengaturaan
Alam semesta. Esensi hukum ini tidak dapat dipahami oleh manusia.
b) Hukum alam yaitu hukum yang menyebabkan semua makhluk mendapatkan
Kesempurnaanya, mencari kebaikan dan menghindari kejahatan. Juga menyediakan

28
Kehidupan bagi manusia dengan segala haknya seperti hak untuk berketurunan dan hak
Untuk hidup didalam masyarakat.
c) Hukum Tuhan yaitu hukum Kristen yang mempunyai kedudukan hukum yang istimewa.
Hukum ini dikenal melalui wahyu Tuhan yang diberikan karena kemurahan-NYA.
d) Hukum manusia dibagi menjadi bagian gentium dan bagian civile. Di dalam hukum
manusia terdapat hukum alam dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya, menurut hukum
alam membunuh adalah salah, tapi terserah pada hukum manusia untuk menjatuhkan
hukuman Apa yang sesuai untuk pelanggar.

BAB III PENUTUP


 KESIMPULAN
Zaman Yunani terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Yunani Kuno dan periode
Yunani Klasik. Periode Yunani Kuno diisi oleh ahli pikir alam (Thales, Anaximandros,
Phytagoras, Xenophanes, dan Democritos). Sedangkan pada periode Yunani Klasik diisi
oleh ahli pikir seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Adapaun Hellenisme pada abad ke-4
SM diganti oleh kebudayaan Yunani, atau setiap usaha yang menghidupkan kembali cita-
cita Yunani zaman modern. Filsafat Yunani dimulai pada pemerintahan Alexander Agung
(356-23 SM) atau Iskandar Zulkarnain Raja Macedonia. Pada zaman ini terjadi pergeseran
pemikiran filsafat, dari filsafat teoritis menjadi filsafat praktis.
Filsafat Aristoteles bersifat naturalistis karena sifat empirisnya. Pengertian
Naturalistis selanjutnya adalah ia percaya bahwa alam semesta terdiri dari sebuah herarki,
Masing-masing dengan sebuah kodart atau hakikat. Pendangan naturalistisnya mengenai
alam Semesta tidak tergantung pada kepercayaan-kepercayaan theologis.Logika
Aristoteles adalah suatu sistem berfikir deduktif (deductive reasioning), yang Bahkan

29
sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika Formal.
Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya Obseevasi,
experimen dan berfikir induktif (inductive thinking).Meskipun sebagian besar ilmu
pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih Merupakan penjelasan dari hal-hal yang
masuk akal. Banyak teorinya yang bertahan bahkan Hampir selama dua ribu tahun
lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena Dianggap masuk akal sesuai
dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun Kemudian ternyata bahwa teori-
teori tersebut slah total karena asumsi yang keliru. Sebagai Contoh ketika Aristoteles
menyetujui adanya perbudakan karena menurutnya hal ini sejalan Dengan hukum alam
dimana yang lemah akan kalah oleh yang kuat.
Plato adalah seorang filosof Yunani yang lahir di Athena pada tahun 427SM dan
meninggal disana pada tahun 347 SM dalam usia 80 tahun. Iaadalah seorang murid dari
Sokrates. Begitu penting tempat yangyang diberikannya kepada Sokrates (sering dijadikan
tokoh utama), sehinggakarya-karya Plato itu dapat dipandang sebagai monumen atau tugu
peringatan bagi Sokrates.2.
Ide merupakan inti dasar dari seluruh filasafat yang pun oleh Plato. Ia beranggapan bahwa
ide merupakan suatu yang obyektif, adanya ide terlepasdari subjek yang berfikir. Ide tidak
diciptakan oleh pemikiran individu,tetapi Agak pemikiran itu tergantung dari ide-ide.3.
Etik plato jika intelektual dan rasionil. Dasar ajarannya waktu mencapai budi baik. Budi
waktu tahu. Orang yang berpenetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Seb abitu
sempurnakanlah pengetahuan deng anpengertian
Plotinus lahir pada tahun 204 M di Mesir, daerah lycopolis. Pada tahun 232 M, ia pergi
ke Alexandria untuk belajar filsafat pada guru Animonius Saccas selama 11 tahun. Pada
umur 40 tahun ia pergi ke Roma. Disana ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu.
Tahun 270 M ia meninggal di Minturnae, Campania, Italia. Muridnya yang bernama
Porphyry mengumpulkan tulisannya yang berjumlah 54 karangan. Karangan
dikelompokkan menjadi 6 set (ennead), tiap set berisi 9 karangan.
Plotinus dengan fahamnya neo-Platinusme dan Teori emanasi serta ajarannya yang
berupa:
 Sistem metafisika Plotinus, terdapat tiga realitas yaitu: The One, The Mind, dan The
 Tentang ilmu
 Tentang jiwa
 Tentang Etika dan Estetika
 Bersatu dengan Tuhan
Teori neo-Platonisme memiliki pengaruh yagn besar dalam dunia fisafat. Kosmologi
Plotinus termasuk tinggi, terutama dlam hal kedalaman spekulasinya dan daya
imajinasinya. Pandangan mistis merupkan ciri filsafatnya, usahanya untuk mmahami
realitas spiritual cukup gigih
Adapun pengikut Plotinus antara lain Parphyry (233-301), Lamblichus (w. 330),
dan Proclus.Nama “Patristik” berasal dari bahasa latin “Patres” yang menunjukkan kepada
bapa-bapa gereja(pemimpin greja), berarti pujangga-pujangga kristen dalam abad-abad

30
pertama tarikh masehi yang meletakkan dasar intelektual untuk agama kristen. Mereka
merintis jalan dalam perkembangan teologi kristiani.Secara kronologis mereka masih
termasuk masa kuno, tapi dari sudut perkembangan sejarah filsafat sebaiknya mereka
dipandang sebagai masa peralihan menuju pemikiran abad pertengahan.Bapak yang
mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui peletakan
dasar intelektual untuk agama kristen. Zaman Patristik ditandai oleh Bapak-bapak Gereja
(patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet dan para pengarang Gereja.
Sedangkan Ciri khas Filsafat Abad pertengahan terletak pada rumusan yaitu Credo Ut
Intelligam, yang berarti iman terlebih dahulu setelah itu mengerti.Augustinus tidak
mempercayai bahwa sejarah adalah suatu siklus sejarah lebih dari itu, ia merupakan
kejadian yang diatur oleh Tuhan. Jadi sebenarnya sejarah juga mempunyai suatu
permulaan dan suatu akhir.Untuk membahas Filsafat Skolastik Kristen, barangkali dapat
dimulai sejak Plotinus. Pada Plotinus (lahir 204 M), pengaruh agama Kristen kelihatannya
sudah besar. Filsafatnya Berwatak spritual. Pada abad ini uraian akan dimulai dengan
penjelasan tentang pemikiran Plotinus.

 SARAN
Kami selaku penulis merasa bahwa makalah ini masih memiliki sangat banyak
kekurangan, baik dalam segi penulisan maupun dalam segi yang lain. Jadi saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman teman . Agar kami sebagai
penulis masih bisa memperbaiki kekurangan yang ada pada makalah kami.
 Penutup
Demikianlah makalah ini kami tulis, dan kami mohon maaf karena dalam makalah kami
banyak terjadi kekurangan, karena pada hakikatnya semua yang benar hanyalah milik
Allah, dan segala kekurangan dan kesalahan ini murni dari kami, dan untuk perhatiannya
kami sampaikan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 1·

31
syafieh, M.Phil.I dan Ismail Fahmi Arrauf, MA, Filsafat Umum Sebuah Pengantar, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis), hlm. 6

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,Jakarta : Surya Multi GrafikaKanisiu

K Bertens. 1993. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarya: Penerbit Kanisius.

Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum Dari Metologi sampai Teofilosofi (Bandung CV
PUSTAKA SETIA,2008) hal., 98

Austin Fagothey, Rights and Reason, Ethics in Theory and Practice, Saint Louis:

The CV Mosby Company, 1972

Aristoteles, Nichomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati, Jakarta Selatan:

Teraju, 2004

Charles H. Patterson, Cliff’s Course Outlines: Western Philospophy, (Linc Cliff’s Note, 1970)

De Vos, Pengantar Etika, alihbahasa Soedjono Soemargono, Yogyakarta: Tiara

Wacana,1987

Fu’ad Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli, Filsafat Barat dan Islam, terj,

Didin Faqihudin, Jakarta: IRCiSoD, 2012

Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,

Yogyakarta: Kanisius, 1993

James Rachels, Filsafat Moral, Terj, A. Sudiarja, Yogyakarta: Kanisius, 2004

Jan Hendrik Raper, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996

Plato, Xarmides “Tentang Keugaharian”, terj, Setyo Wibowo, Yogyakarta:

Kanisius, 2015

Plato, Apologia, Pidato pembelaan Socrates yang diabadikan Plato, terj, Fuad

Hassan, Jakarta: Bulan Bintang, 1997

32
Richard G. Hovannisian (ed.), Ethics In Islam, California: Undena Publications,

1985

Thomas Cathcart dan Daniel M. Klein, Berfilsafat dengan Anekdot “Plato Ngafe

Bareng Singa Laut”, terj, Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius, 2011

T.Z Lavine, Plato “Kebijakan adalah Pengetahuan”, terj. Andi Iswanto dan Ded

33

Anda mungkin juga menyukai