Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

EPISTEMOLOGY ILMU SOCIAL

Dosen Pembimbing : Dr. Arif Muzayin Shofwan M.Pd

Oleh:

Nihlatul Ulya 2186236008


Faridhotul Mu’amanah 2186236010
Defita Nurfarida 2086236017

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA BLITAR


FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
NOVEMBER 2021

KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah epistemology Ilmu Social tanpa halangan suatu apapun.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Pendidikan Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada :
1. Bapak Dr. Arif Muzayin Shofwan, M.Pd. selaku dosen pengampu mata
kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan yang telah turut serta, dan memberi dukungan
kepada penulis.
2. Teman-teman dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan para mahasiswa untuk
mengetahui dan memahami tentang aspek dan fungsi dalam manajemen kelas.
Namun dengan ini kami menyadari bahwa makalah ini belum mencapai taraf
kesempurnaan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca agar kami bisa menyempurnakan dan memperbaiki makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan senantiasa mendapatkan ridho Allah Swt.

Blitar,November 2021

Penulis

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR………………………………………….……… i

DAFTAR ISI ……………………………………………………….….. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………………………..……….... 1


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………..………... 1
1.3 Tujuan ………………………………………………..………………
1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Epistemologi Sosial……………………………….……..


2
2.2 Objektivitas Ilmu Social……………………………………..………
2
2.3 Subyektivisme Ilmu Social……………………………………..……
6

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…….………………………….………………………….
9

3.2 Saran………………...…………………..………………....………… 9

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..


10
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan Epistemology Ilmu Social?
2. Apa Pengertian Objektivitas dan Subjektivitas?
3. Apa pengaruh Objektivitas dan subjektivitas dalam ilmu social?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu menguasai Epistemology Ilmu Social.
2. Mahasiswa mampu menguasai objektivitas dan subjektivitas.
3. Mahasiswa mampu mengetahui pengaruh yang di timbulkan dari
objektivitas dan subjektivitas.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN EPISTEMOLOGY ILMU SOCIAL


Epistemologi berasal dari bahasa yunani episteme (pengetahuan) dan
Logos (ilmu). Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal,
sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini salah satu yang paling sering
diperdebatkan dan dibahas dalam bidang Filsafat, misalnya tentang apa itu
pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungan dengan
kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau teori pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat
dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki
oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan
panca
indra dengan berbagai metode, diantaranya : metode induktif, metode
deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Landasan Epistemologi.
Landasan epistemology ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan
prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu
pengetahuan merupakan pengetahuan yang di dapatkan lewat metode
ilmiah.Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa
disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah
2.2 OBJEKTIVITAS ILMU SOCIAL
Dalam buku Ilmu dalam Perspektif oleh Jujun S. Suriasumantri
(2015:153), objektif artinya data dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan
tanpa ada hubungannya dengan karakteristik individual dari seorang ilmuwan.
Objektif artinya netral atau tidak memihak. Dengan kata lain, ilmu yang
objektif berarti tidak memasukkan pandangan- pandangan subjektif peneliti
dan kepentingan pribadinya, serta tidak memihak pada nilai-nilai tertentu.
Objektivitas ilmu identik dengan prinsip positivisme Auguste Comte. Dalam
bukunya yang berjudul “ The Course of Positive Philosophy” , ia mengatakan
bahwa realitas berjalan mengikuti hukum alam dan bersifat independen,tanpa
adanya pengaruh dari subjek. Oleh karena itu, fakta berdiri sendiri di luar nilai
dan subjek (Umam 2017:2).Ilmu pengetahuan yang objektif didapatkan
melaui penyusunan data-data yang kemudian direpresentasikan secara empiris
objektif tanpa dipengaruhi oleh subjek yang meneliti. Objek empiris diteliti
sebagai apa adanya, lalu dikonfrontasi menjadi teori yang kemudian menjadi
ilmu pengetahuan. Data, fakta, dan teori harus terpisah dari unsur-unsur
subjektif penelitinya sehingga ilmu pengetahuan yang diciptakan bersifat
netral dan independen. Inilah yang menyebabkan penganut positivisme
meyakini perkembangan sains modern terjadi dengan sukses karena nilai dan
subjektivitasilmuwan dikesampingkan (Umam 2017:6-10).
Menurut Karl Popper, objektivitas peneliti tidak harus terbebas dari
prakonsepsi(Latif 2014:206). Objektivitas diperoleh dengan membuat
prakonsepsi dengan jelas dan membandingkan secara kritis dengan teori lain.
Ilmu pengetahuan yang objektif memiliki tolak ukur yang terletak pada
objeknya, bukan pada subjek. Sehingga kebenaran suatu ilmu pengetahuan
tidak ditentukan oleh pendapat individu, melainkan oleh objektivitas fakta.
Maka dari itu, untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang objektif, kebenaran
ilmu atau pendapat harus diuji secara berulang-ulang dengan pendekatan
induktif. Objektivitas memiliki keyakinan tinggi terhadap data dan fakta,
sertameninggalkan komitmen normatif dan nilai kebebasan (Stanford
Encyclopedia ofPhilosophy 2014). Oleh karena itu, dalam pengetahuan yang
objektif, tidak ada campur tangan dari pribadi sang peneliti. Dalam
keyakinannya terhadap fakta tentang dunia,ilmuwan yang objektif memiliki
peran untuk mengobservasi, meneliti, dan menganalisa fakta-fakta hingga
sukses menjadi klaim-klaim objektif. Dengan tujuan untuk mencari tahu
tentang kebenaran di dunia, objektivisme dianggap sebagai cara untuk
menghasilkan teori atau ilmu pengetahuan yang sah dan diakui. Konsepsi
dalam objektivitas ilmu memiliki sifat sederhana dan “apa adanya”, sebab
tidak ada campur tangan dari segi bahasa, budaya, agama, dan lain-lain dalam
melihat sebuah fenomena.Ilmu pengetahuan yang objektif berlandaskan
kepada landasan teori dan konsep ilmiah,yang kemudian disebut sebagai The
Special Theory of Relativity. Teori tersebut mengandalkan pada fakta dan
objektivitas, sehingga prediksi atau hipotesis penelititidak memiliki peran
disana.Tokoh yang berperan dalam mengenalkan ilmu pengetahuan objektif
adalahFrancis Bacon, yang kemudian menjadi populer seiring dengan
penemuan yang dilakukan oleh Isaac Newton. Adapun tokoh yang mengkritisi
objektivitas dalam ilmu merupakan Thomas Kuhn, yang berpendapat bahwa
para ilmuwan di berbagai disiplinilmu mengatur diri mereka sendiri ke dalam
paradigmade facto.
De facto menurutCambridge Dictionary adalah sesuatu yang sebenarnya
ada, meskipun mungkin tidak sah atau diterima. Selain Kuhn, Karl Popper
juga mengkritisi objektivitas dalam ilmu.Menurutnya, tidak ada yang dapat
dibangun di atas data murni, karena tidak ada datamurni; tidak ada yang hanya
'diberikan' kepada kita tanpa ditafsirkan. Semua pengetahuan kita ditafsirkan
berdasarkan harapan dan teori kita (Mannan 2016:47;Popper 1983:102)

Objektivitas menurut KBBI adalah sikap jujur, tidak di pengaruhi pendapat


dan pertimbangan pribadi atau golongan dalam mengambil putusan atau tindakan.
Objektivitas pada dasarnya tidak berpihak, dimana sesuatu secara ideal dapat
diterima oleh semua pihak, karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan
merupakan hasil dari asumsi (kira-kira), prasangka,ataupun nilai-nilai yang
dianggap eksis secara independen dari persepsi subjek terhadapnya, objek akan
tetap ada sebagaimana adanya bahkan jika tidak ada subjek yang merasakannya.
Maka, objektivitas seringkali diasosiasikan dengan ide-ide seperti realitas dan
rehabilitas.
Objektivitas atau objektif dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk
menangkap sifat alamiah (empiris) sebuah objek yang sedang diteliti/ dipelajari
dengan suatu cara dimana tidak tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang
menyelidikinya. Dalam konteks keilmuan, obyektivitas hanya dapat diakui jika
diperoleh melalui prosedur yang abasah berdasakan konsep metode ilmiah. Tolak
ukur derajat objektivitas sebuah ilmu pengetahuan adalah derajat kesuaian atau
korespondensi antara teori yang dikemukakan dengan obyek dalam dunia yang
dirujuk oleh teori tersebut. Salah satu indikasi pokok ada tidaknya korespondensi
antara keduanya adalah apakah kalau prediksi yang dibuat oleh teori tersebut
dioperasionalisasikan dalam pengujian empiris memang terjadi demikian atau
tidak. Bila terus menerus dalam berbagai kondisi yang berbeda prediksi tersebut
tetap terpengaruhi, maka adanya kesesuaian itu memang terjamin.
Collier memberikan tiga kriteria objektivitas, pertama, objektivitas mengacu
kepada sesuatu yang benar (nyata dan ada) secara independen terhadap siapapun
yang menilainya. Objektivitas akan tetap berada dalam koridornya siapapun yang
menyatakannya. Setiap orang yang dapat membuktikan keberadaan fakta, melalui
bukti-bukti empiris dapat mengklaim objektivitasnya. Kedua, objektivitas adalah
penilaian manusia yang dapat dikatakan objektif. Hal ini berkaitan dengan kriteria
pertama. Dalam menyebut penilaian objektif, hal yang menentukan adalah
penilaian tersebut disebabkan oleh objek, bukan oleh segi lain dari subjeknya.
Contohnya Mars adalah planet ke empat dari matahari, bukan karena penulis yang
mengatakannya, tetapi karena kenyataannya Mars adalah planet ke empat dari
matahari. Meskipun manusia (subjek) yang melakukan penilaian, tetapi apabila itu
memang dapat dibuktikan melalui penelitian empiris maka penilaian tersebut
adalah objektif. Penilaian tersebut harus disahkan melalui eksperimen ilmiah,
yang kemudian dikomunikasikan dalam suatu komunitas ilmiah (akademisi) yang
bebas dari pengaruh subjektif.
Terakhir, sikap manusia (human attitude), yaitu sikap untuk mencoba
membuat penilaian orang (yang disebutkan dalam kriteria kedua) objektif. Sikap
ini memberikan tempat kepada eksperimen dan observasi secara hati-hati, ia
memonitor setiap penilaian. Selain itu, sikap ini bertujuan untuk menghindari dari
bias subjektivitas dan posisi historis seseorang. Seseorang dapat secara seksama
memeriksa perkiraan orang lain dan membuat kritik terhadapnya, seseorang dapat
memperhatikan hal-hal tertentu untuk membentuk posisi (penilaian) yang berbeda
dari orang lain, seseorang dapat menganalisa kesalahan orang lain, dan seseorang
dapat memilih untuk belajar dari sumber-sumber yang tidak biasa. Hal ini berarti
mengharuskan setiap ilmuwan dituntut untuk mengkaji secara terus menerus teori
yang dimilikinya dengan menghubungkan dengan realitas yang membentuk teori
tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah. Objektivitas sebagai sikap
dimaknai sebagai keterbukaan untuk menyangkal melalui data-data yang berasal
dari objek nyata.
Collier juga menambahkan bahwa objektivitas tidak dapat disamakan dengan
netralitas, sesuatu yang objektif dapat berpihak selama ia tidak bias. Objektivitas
juga bukan kebenaran, karena belum tentu apa yang dimaknai sebagai
pengetahuan yang objektif adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang
objektif hanya berpegangan pada pengertian bahwa pengetahuan tersebut adalah
mengenai objek. Setelah melihat kemunculan dan kriterianya, maka objektivitas
pada dasarnya mencakup segala sesuatu yang bukan metafisik atau secara
universal menolak metafisik. Dalam ilmu pengetahuan, metafisik tidak dapat
terpersepsikan oleh indera dan meski mungkin dapat di jangkau oleh rasio, tetap
tidak dapat dibuktikan secara empiris. Ketika teori dirumuskan, maka dengan
demikian ia juga harus menolak metafisika untuk mendapatkan objektivitasnya.
Dalam ilmu sosial, objektivitas (salah satunya) terdapat dalam tingkah laku yang
jelas (overt behaviour) yang melalui metode ilmiah dapat di observasi secara
publik.
Objektivitas merupakan salah satu nilai penting dalam penerapan ilmu
pengetahuan. Suatu ilmu bisa dikatakan sebagai ilmu bila di dalamnya
mengandung unsur keobjektivan (dapat berdiri sendiri). Karena dalam ilmu
pengetahuan haruslah bersifat bisa diuji kebenarannya dalam kehudupan sehari-
hari. Dalam sudut pandang filsafat ilmu keobjektivan menjadi faktor penting
untuk suatu jati diri/ pengakuan akan suatu disiplin ilmu untuk dapat di pandang
dan diakui oleh disiplin ilmu lainnya. Karena suatu disiplin ilmu prlu memberikan
fakta-fakta yang meyakinkan yang membuat disiplin ilmu iu sendiri terlihat
objektif dan bukan suatu objektivitas semu yang masih dapat di permasalahkan
oleh disiplin ilmu lainnya.

2.3 SUBJEKTIVISME ILMU SOCIAL

Subjektivitas adalah pengalaman-pengalaman seperti mimpi halusinasi dan


khayalan, kita telah melangkah kearah subjektivitisme. Subjektivitisme dapat
dikatakan juga sebagai egocentric predicament (pemikiran yang didasarkan
atas pengalaman diri sendiri – Ralph Borton Perry). Selain itu coba kita
bicarakan pula sosilaipsisme (solusi: sendiri ipse; diri: merupakan reduction
ad absurdum dari subjektivitisme, yakni akibat terakhir yang tidak masuk
akal). Subjektivitas bersifat sangat dekat dengan peneliti, karena subjektivitas
didasarkan pada hal-hal seperti nilai, norma, mitos, dan sebagainya yang
mepengaruhi situasi lingkungan sosial sekitar seseorang. Nilai, norma, dan
faktor-faktor lainnya yang berada di sekitar seseorang tentu mempengaruhi
bagaimana ia melihat segala sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh Karl Popper,
produk apa pun dari pikiran manusia – seperti mitos, metafisika, cerita,
tebakan atau apa pun - mungkin merupakan sumber pengetahuan ilmiah yang
valid.

Pengetahuan dengan demikian merupakan petualangan ide. Ide-ide ini


diproduksi oleh kita, dan bukan oleh dunia di sekitar kita. (Mannan2016:45;
Popper 1965:95). Sebagai contoh, Emile Durkheim membangun pemikiran
sosiologinya dengan dipengaruhi oleh latar belakang agama Yahudi yang dianut
keluarga, para mahasiswa, dan rekan-rekan kerjanya. Ia belajar ilmu sosial dari
Fustelde Coulanges, dan banyak membaca karya-karya Auguste Comte dan
Herbert Spencer. Kondisi politik di Perancis pada 1870 mempengaruhi sikap
politiknya sebagai seorang aktivis. Pikiran Durkheim yang kekirian dan latar
belakang Yahudinya juga menyebabkan posisinya terancam pada masa Perang
Dunia I. Dari sini kita dapat melihat bagaimana latar belakang kehidupan sosial
seseorang mempengaruhi pemikirandan perkembangan kehidupan orang
tersebut.Contoh lain yaitu Karl Marx, yang lahir dari keluarga rabi Yahudi dan
berpendidikan. Marx dididik oleh ayahnya yang mendorong Marx untuk
mendapatkan pendidikan terbaik hingga tingkat perguruan tinggi. Karena adanya
latar belakang ilmu filsuf klasik dari keluarganya, Marx tertarik untuk
mengembangkan filsafat Hegel dan bergabung dengan kelompok pemikir radikal
yang bernama Hegelian Muda. Lalu dikemudian hari, ketertarikannya terhadap
bidang filsafat, ekonomi, dan politik membuatnya mengkaji tentang materialisme
dan kapitalisme. Biografi singkat inimenunjukkan bagaimana keluarga dan orang-
orang di sekitar Marx mempengaruhi pemikiran dan perkembangan
kehidupannya.Manusia sangat erat dengan makna-makna subjektif di sekitarnya.
Semuarealitas sosial mempunyai komponen esensial kesadaran (Susanto 2015:3).

Dalam ilmu pengetahuan, subjek merupakan “yang mengetahui”,


sementara objek adalah “yang diketahui”. Ilmu pengetahuan yang ideal dianggap
harus bersifat objektif,dan menanggalkan unsur-unsur subjektif sehingga menjadi
bebas nilai dan empiris. Menurut Webster's Third New International Dictionary,
subjektifitas berarti "kualitas penyelidik yang memengaruhi hasil investigasi
observasional” (Peshkin 1988:17). “Kualitas” tersebut mempengaruhi hasil
investigasi, bukan hanya pada observasi.

Subjektivitas bekerja sebagai campuran persuasi yang timbul dari keadaan


kelas, status,dan nilai seseorang, yang berinteraksi dengan objek investigasi atau
penelitiannya. Menurut Peshkin, subjektivitas bekerja selama seluruh proses
penelitian, dan subjektivitas ialah seperti pakaian yang tidak bisa dihilangkan.
Namun, tidak semuai lmuwan menyadari bahwa penelitiannya dipengaruhi oleh
subjektivitas. Maka dari itu,ia melihat bahwa setiap ilmuwan harus mengetahui
dan menyadari subjektivitas yang ada dalam dirinya saat melakukan penelitian.

Subjektivitas dalam ilmu pengetahuan menyebabkan terjadinya perbedaan


dalam bagaimana para peneliti melihat dunia. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan ilmiah dapat dihasilkan dari ide-ide humanistik yang dicampur
dengan kesalahan, prasangka, mimpi, dan harapan (Mannan 2016:45). Maka dari
itu, dalam ilmu pengetahuan yang dibangun bukan hanya teori, melainkan juga
kritik dari teori-teoriyang ada. Usaha seorang peneliti mem-falsify atau
memalsukan teori sebelumnya secara empiris untuk membangun teori baru
disebut oleh Karl Popper sebagai falsifiability ,yaitu bahwa suatu pernyataan,
hipotesis, atau teori dapat dipalsukan jika dapatdibuktikan salah dengan
pengamatan.

Falsifiability digunakan Popper untuk membatasi ilmu pengetahuan dari non-


ilmu pengetahuan, yaitu jika sebuah teori tidak sesuai dengan pengamatan empiris
yang memungkinkan, maka teori tersebut bersifat ilmiah, dan apabila sebuah teori
kompatibel dengan semua pengamatan, baik karena dimodifikasi semata-mata
untuk mengakomodasi pengamatan atau konsisten dengan semua pengamatan
yang memungkinkan, maka teori tersebut bersifat tidak ilmiah(Stanford
Encyclopedia of Philosophy 2018).

BAB III

PENUTUPAN

3.1 KESIMPULAN
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan
asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Objektivitas ilmu identik
dengan prinsip positivisme Auguste Comte. Dalam bukunya yang berjudul
“ The Course of Positive Philosophy” , ia mengatakan bahwa realitas
berjalan mengikuti hukum alam dan bersifat independen,tanpa adanya
pengaruh dari subjek. Objektivitas memiliki keyakinan tinggi terhadap
data dan fakta, sertameninggalkan komitmen normatif dan nilai kebebasan.
Objektif memiliki peran untuk mengobservasi, meneliti, dan menganalisa
fakta-fakta hingga sukses menjadi klaim-klaim objektif.
Subjektivitas adalah pengalaman-pengalaman seperti mimpi
halusinasi dan khayalan, kita telah melangkah kearah subjektivitisme.
Subjektivitisme dapat dikatakan juga sebagai egocentric predicament
(pemikiran yang didasarkan atas pengalaman diri sendiri – Ralph Borton
Perry). Subjektivitas bersifat sangat dekat dengan peneliti, karena
subjektivitas didasarkan pada hal-hal seperti nilai, norma, mitos, dan
sebagainya yang mepengaruhi situasi lingkungan sosial sekitar seseorang.

3.2 SARAN
Demikian makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa
makalah yang kami susun ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca, demi
lebih baiknya penulisan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bias
bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal PETA FILSAFAT PENGETAHUAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL


KEMASYARAKATAN oleh Baharudin

https://www.academia.edu/42158019/_Objektivitas_dan_Subjektivitas_dalam_Il
mu_Pengetahuan_

Jurnal Epistemologi:Teori, Konsep dan Sumber-Sumber Ilmu dalam Tradisi Islam


oleh Abdi Syahrial Harahap

Anda mungkin juga menyukai