Anda di halaman 1dari 3

Al-Qur’an Sumber Dakwah

Oleh Siti Azkia Labibah Nursyabani

Islam merupakan agama yang paling lengkap dan mendetail dalam mengatur segala aspek
kehidupan umat manusia. Ajaran islam bersifat komprehensif, secara menyeluruh mengatur hingga ke
akar persoalan semua aspek kehidupan seperti tata cara bertauhid, beribadah, bersuci, belajar, bersikap
hingga bermasyarakat dan masih banyak lagi. Meskipun ajaran islam lebih ditujukan pada para
pemeluknya, tetapi sesungguhnya islam mengatur dan memperhatikan semua umat manusia baik yang
memeluk ajarannya ataupun tidak. Semua ajaran ini tentu memiliki satu sumber atau pedoman inti
sebagai landasan hukum yang menguatkan ajaran tersebut yaitu Al-Quran. Ajaran-ajaran ini pun harus
disampaikan dengan cara yang baik yaitu dengan cara berdakwah.
Dakwah dalam bahasa Arab berarti panggilan, seruan atau ajakan, kata dakwah merupakan
masdar dari kata da’a-yad’u yang berarti memanggil, menyeru dan mengajak. Sedangkan dakwah
secara terminologi menurut Syeikh Ali Mahfudz1 dalam bukunya yang berjudul Hidayatul Mursyidin
ila Thuruqil Wa’dhi wal Khitabah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan mengikuti
petunjuk agama dan mencegah kemungkaran agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat (AB
2016). Kemudian menurut M. Quraish Shihab (1992), dakwah adalah seruan atau ajakan keinsyafan
atau usaha mengembalikan situasi yang lebih baik dan sempurna, baik pada pribadi maupun
masyarakat.
Menurut Syeikh Ali mahfudz, terdapat tiga macam dakwah yaitu dakwah yang dilakukan oleh
kalangan umat Nabi Muhammad kepada umat lain untuk menuju ke agama islam, dakwah yang seperti
ini menjadi kewajiban bagi setiap umat Nabi Muhammad. Selanjutnya yang kedua adalah dakwah yang
dilakukan umat muslim terhadap umat muslim lainnya, dalam dakwah ini mereka harus saling
mengingatkan dan saling menasihati untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kemunkaran. Lalu yang
ketiga adalah dakwah antara satu individu dengan individu lainnya, dakwah ini dilakukan apabila
seorang muslim melihat muslim lainnya melakukan keburukan, maka ia harus mencegahnya melakukan
keburukan dan menyerunya pada kebaikan (Mahfudz n.d.). Dari tiga macam yang dijelaskan oleh
Syeikh Ali Mahfudz tersebut dapat dipahami bahwa dakwah harus menjadi kegiatan keseharian umat
muslim dalam hidup bermasyarakat dengan saling mengingatkan, menasihati dan mencegah perbuatan
yang buruk. Artinya dakwah tidak harus selalu tentang ceramah di majelis-majelis ta’lim besar oleh
da’I ternama tetapi juga dilakukan oleh seluruh umat islam dalam kehidupannya sehari-hari.
Selain diartikan sebagai dorongan atau seruan kepada suatu kebajikan, dakwah juga diartikan
oleh B.J Boland2 yang mengatakan bahwa, “That da’wah meant the propagation of Islam not only by
preaching and publications, but also by deeds and activities in all areas of social life, in other words
that da’wah had to be comprehensive islamization of society (Aziz 2008). Dari ungkapan tersebut
Boland mengatakan bahwa dakwah tidak hanya diartikan sebagai propaganda islam dalam penyebaran
atau publikasinya, tetapi juga perbuatan dan kegiatan dalam bidang kehidupan sosial dimana dakwah
harus menjadi islamisasi masyarakat yang komprehensif. Hal ini sejalan dengan pendapat Syeikh Ali
Mahfudz, dimana keduanya menyatakan bahwa dakwah bukan hanya perihal menyeru umat lainnya
kepada islam tetapi juga mengajak umat islam itu sendiri untuk menjalani kehidupannya sesuai dengan
prinsip islam dalam segala bidang.
Kemudian bagaimana cara berdakwah dalam mengatur kehidupan sehari-hari umat islam dan
apa yang menjadi pedoman dari ajaran-ajaran yang harus disampaikan? Tentu saja kepada Al-Qur’an
seperti tertera dalam QS. Al-Araf: 52 yang berbunyi :

‫ص لْ نَ اهُ َع لَ ٰى ِع ْل ٍم ُه ًد ى َو َر ْْحَ ةً لِ َق ْوٍم يُ ْؤ ِم نُو َن‬ ٍ َ‫اه م بِ ِك ت‬


َّ َ‫اب ف‬ ِ
ْ ُ َ‫َو لَ َق ْد ج ئْ ن‬
1
Syeikh Ali Machfudh adalah ulama mesir yang pertama kali mengkaji dakwah secara akademik pada tahun 1942
dalam bukunya yang berjudul Hidayatul Mursyidin ila Thuruqil Wa’dhi wal Khitabah. Dakwah mulai dikaji
secara akademik, ditandai dengan didirikannya jurusan dakwah dengan nama Qismul Wa’dhi wal Irsyad di
Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
2
Bernard Johan Boland adalah pendeta kelahiran Belanda yang melakukan penelitian di Indonesia pada tahun
1966 dan 1969 dalam menyelesaikan disertasinya yang berjudul The Struggle of Islam in Modern Indonesia di
Fakultas Teologi Universitas Leiden.
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami
telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman.”

Ayat diatas secara jelas menyampaikan bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an untuk dijadikan
petunjuk atau pedoman bagi kehidupan umat manusia dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang
mengimaninya. Selain ayat diatas, adapun ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
merupakan kitab yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya yaitu dalam QS. Al-Maidah ayat 48.
Di dalam ayat tersebut Allah berfirman bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan dengan
membawa kebenaran dan membenarkan apa-apa yang telah diturunkan sebelumya (yaitu kitab-kitab
sebelum Al-Qur’an). Kata “membenarkan” yang dimaksud dalam ayat ini adalah ketika kitab-kitab
sebelum Al-Qur’an disimpangkan ajarannya dan diubah isinya oleh manusia maka Al-Qur’an
diturunkan untuk meluruskan kesalahan-kesalahan tersebut. Itulah mengapa Al-Qur’an menjadi satu-
satunya kitab yang harus diimani oleh umat Nabi Muhammad. Al-Qur’an juga menjadi sumber inti atau
landasan pokok dalam ajaran-ajaran islam yang harus didakwahkan kepada umat manusia dalam segala
aspek kehidupan.
Selain itu bukti Al-Qur’an sebagai sumber dakwah adalah dengan ditemukannya kata dakwah
dan berbagai bentuk kata lainnya sebanyak 198 kali menurut hitungan Muhammad Sulton, 299 kali
menurut hitungan Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bagi’ atau 212 kali menurut Asep Muhiddin (dalam Aziz,
2008). Istilah dakwah yang ditemukan dalam Al-Qur’an seringkali dalam bentuk kata atau istilah yang
lebih khusus seperti amar ma’ruf, nahyi munkar, mauidzhoh hasanah, tabsyir, tabligh, nida’, tarbiyah,
ta’lim dan khutbah. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam, sebenarnya istilah dakwah dan turunannya
yang tercantum dalam Al-Qur’an, tidak selalu bermakna ajakan atau seruan seseorang kepada orang
lain dalam sebuah kebaikan. Tetapi juga dapat bermakna doa dan permohonan seseorang kepada Allah
seperti yang tertera dalam QS. Al-Baqarah: 186, ajakan untuk menyembah kepada selain Allah yang
dilakukan oleh musuh nabi seperti dalam QS. Al-Qamar: 6 atau ajakan ke neraka yang dilakukan oleh
syetan seperti dalam QS. Fathir: 6 (Nase 2015).
Sebagai contoh dalam QS. Ali Imron: 104 terdapat kata yad’uuna yang berarti menyeru,
kemudian ayat tersebut juga menyebutkan istilah amar ma’ruf nahyi munkar yang artinya menyuruh
pada ma’ruf atau kebaikan dan mencegah dari yang munkar. Jadi jika dipahami secara sederhana, ayat
diatas dengan sangat jelas menyeru kepada kamu sekalian (yang dimaksud kamu disini adalah
segolongan umat) untuk menyuruh pada kebaikan dan mencegah dari yang munkar. Kemudian pada
QS. Fathir juga terdapat kata yad’u, akan tetapi pada ayat ini kata tersebut dimaksudkan pada syetan
yang mengajak umat manusia untuk menjadi penghuni neraka. Maka dari itu dapat dilihat bahwa Al-
Qur’an menjelaskan konteks dakwah secara komprehensif dalam ayat-ayatnya dan tidak hanya
memaknainya dari sisi kebahasaannya saja.
Al-Qur’an memiliki seni bahasa yang sangat tinggi, yang bahkan sulit dipahami oleh orang
yang berbahasa arab sekalipun. Hal ini bertujuan untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah firman
Allah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia. Bahkan dalam menafsirkan ayat-ayat yang
terdapat dalam Al-Qur’an, umat manusia memerlukan bantuan lain sebagai penjelas Al-Qur’an yaitu
Hadist Rasulullah. Pada jaman nabi, para sahabat bisa secara langsung menanyakan kepada nabi tentang
hal-hal yang tidak dipahaminya dalam Al-Qur’an atau ketika menghadapi suatu permasalahan.
Kemudian hadist-hadist nabi tersebut ditulis atau dibukukan untuk dijadikan petunjuk bagi umat muslim
selanjutnya karena apabila seseorang menafsirkan Al-Qur’an dengan kemampuan yang belum
mumpuni dikhawatirkan terjadinya kesalahan dalam penafsiran. Oleh sebab itu meskipun Al-Qur’an
merupakan sumber dakwah dan ajaran islam tetapi dalam menyampaikan ajaran tersebut tetap
dianjurkan untuk menyertakan hadist Rasul dan pendapat-pendapat mufasir atau alim ulama agar tidak
salah melangkah dalam berdakwah.

Daftar Bacaan
AB, Syamsuddin. 2016. Pengantar Sosiologi Dakwah. Jakarta: Kencana.
Aziz, Moh. Ali. 2008. Ilmu Dakwah. Surabaya: Kencana.
Mahfudz, Ali. Fan Khitabah Wa I’dadu Al-Khatib. Kairo: Dar I’Tisam.
Nase. 2015. “Konsep Dakwah Dalam Al-Qur’an.” Ilmu Dakwah.
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Anda mungkin juga menyukai