Anda di halaman 1dari 92

BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

Disusun oleh: Kelompok 12

Deandra Ayu Zuraida 205080500111036


Ricard Heru Prayoga 205080500111043
Imroatus Sholihatil Fajriyah 205080500111052
Yosepin Novita Siagian 205080500111057
Elnath Brahmantio 205080501111007
Alif Azzam Faudzil Adhim 205080501111010
Elsa Syafi`Ul Umma 205080501111014
Lailatul Munawaroh D. K. W. 205080501111033
Rahmawanda Dwi Kurnianti 205080507111007
Abiyyu Fadhlullah 205080507111009
Ainur Rofiq Aprila 205080507111021

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
BUKU KERJA PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

OSMOREGULASI

Disusun oleh: Kelompok 12

Deandra Ayu Zuraida 205080500111036


Ricard Heru Prayoga 205080500111043
Imroatus Sholihatil Fajriyah 205080500111052
Yosepin Novita Siagian 205080500111057
Elnath Brahmantio 205080501111007
Alif Azzam Faudzil Adhim 205080501111010
Elsa Syafi`Ul Umma 205080501111014
Lailatul Munawaroh D. K. W. 205080501111033
Rahmawanda Dwi Kurnianti 205080507111007
Abiyyu Fadhlullah 205080507111009
Ainur Rofiq Aprila 205080507111021

Nama Asisten: Muhammad Deni Prasetiyo

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tekanan osmotik menurut Syakirin (2007), merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi fisiologi ikan sebagai organisme yang hidup didalam air.

Proses osmoregulasi berperan penting dalam menjaga tekanan osmotik tubuh

ikan. Upaya beradaptasi dengan lingkungannya, ikan harus mengatur

keseimbangan air dan garam dalam jaringan tubuhnya agar tidak kelebihan

atau kekurangan air.

Proses osmoregulasi menurut Amrillah, et al. (2015), terjadi juga pada

hewan perairan. Osmoregulasi merupakan upaya untuk mengontrol

keseimbangan ion-ion yang terdapat di dalam tubuhnya dengan lingkungan

melalui sel permeabel. Osmoregulasi terjadi karena perbedaan tekanan osmotik

antara cairan dalam tubuh dengan media (cairan luar tubuh). Proses

osmoregulasi ini sangat mempengaruhi metabolisme tubuh hewan perairan

dalam menghasilkan energi.

Osmoregulasi merupakan bagian penting dalam fisiologi ikan. Ikan

bertulang belakang menjaga osmolalitas cairan tubuh mereka dengan melakukan

osmoregulasi. Ikan air laut kehilangan sepertiga cairan tubuh mereka, sehingga

mereka beradaptasi dengan cara banyak minum dan mengeluarkan sedikit urin

untuk menjaga keseimbangan cairan tubuhnya. Ikan air tawar mempertahankan

keseimbangan cairan tubuh mereka dengan cara sedikit minum dan

mengeluarkan banyak urin. Insang, ginjal dan usus merupakan organ utama

osmoregulasi dan memiliki peran yang berbeda-beda untuk menjaga cairan tubuh

ikan (Wong et al., 2014).


Tekanan osmotik merupakan suatu hal yang harus dihadapi oleh

organisme yang hidup di perairan. Upaya organisme air untuk menjaga tekanan

osmotik tidak lepas dari proses osmoregulasi. Hal tersebut menyatakan bahwa

proses osmoregulasi sangat penting untuk kelangsungan hidup hewan air,

terutama untuk proses adaptasi dengan lingkungannya. Peran osmoregulasi juga

mempengaruhi proses metabolisme hewan air dalam menghasilkan energi. Ikan

memiliki beberapa organ tubuh seperti insang, kulit dan ginjal yang berperan

dalam menjaga cairan tubuh dalam osmoregulasi.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengerti dan memahami peranan

salinitas terhadap kehidupan ikan dan proses-proses fisiologis yang berkaitan

dengannya.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa) dapat

melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh salinitas air (lingkungan) yang

berbeda terhadap kelangsungan hidup ikan.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Osmoregulasi dilaksanakan

pada hari Sabtu, 13 November 2021 melalui video conference Google Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Osmoregulasi

Osmoregulasi adalah upaya yang dilakukan hewan akuatik untuk

mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam dan di luar tubuh melalui

mekanisme pengaturan tekanan osmotik sehingga proses-proses fisiologis

dalam tubuh berjalan normal (Ardi, et al., 2016). Osmoregulasi terdapat proses:

1. Transpor Aktif

Transpor aktif menurut Isnaeni (2006), merupakan pergerakan zat-zat yang

membutuhkan energi. Proses ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi di

antaranya. Transpor aktif dibagi menjadi dua yaitu transpor aktif primer dan

transpor aktif sekunder. Transpor aktif primer memperoleh energi dari proses

hidrolisis ATP, sedangkan transpor aktif sekunder memperoleh energi dari

gradien elektrokimia Na+ atau H+, contohnya pompa Ca2+ pada sel otot dan

pompa Na+ dan K+ pada setiap sel. Pompa Na+ dan K+ bekerja untuk

mempertahankan Na diluar sel tetap lebih tinggi daripada didalam sel, dan kadar

Kalium didalam sel tetap lebih tinggi daripada diluar sel.

2. Transpor Pasif

Transpor pasif merupakan perpindahan zat tanpa memerlukan energi.

Transpor pasif dibagi menjadi dua proses, yaitu:

a. Difusi

Inayah (2016) menyatakan bahwa difusi adalah perpindahan zat dari

konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Peristiwa difusi tidak dapat terlepas

dari gradien konsentrasi yang merupakan perbedaan konsentrasi pada larutan.

b. Osmosis

Ariyanti dan Widiasa (2011) menyatakan bahwa osmosis merupakan


perpindahan zat pelarut (konsentrasi rendah) ke zat terlarut (konsentrasi tinggi)

melalui lapisan semipermeabel.

2.2 Membran Osmoregulasi

Membran osmoregulasi menurut Pudjaatmaka dan Qodratillah (2002),

diantaranya sebagai berikut:

1. Membran Permeabel adalah membran yang dapat ditembus zat pelarut

dan zat terlarut. Contoh: organ rusak.

2. Membran Semipermeabel adalah membran yang dapat ditembus

(permeabel) oleh beberapa zat. Contoh: empedu sapi.

3. Membran Impermeabel adalah membran yang tidak dapat ditembus

semua zat. Contoh: plastik, kaca, dan karet.

2.3 Pola Regulasi Ion dan Air

Pola regulasi ion dan air menurut Fujaya (2008) ada 3 macam, yakni

sebagai berikut:

1. Regulasi hipertonik atau hiperosmotik ialah pengaturan secara aktif

konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media atau

lingkungan, contoh pada ikan air tawar.

2. Regulasi hipotonik atau hipoosmotik ialah pengaturan secara aktif

konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media atau

lingkungan, contoh pada ikan air laut. (memiliki glomerulus yang lebih

kecil)

3. Regulasi isotonik atau isotonis ialah konsentrasi cairan tubuh sama

dengan konsentrasi media, misalnya ikan-ikan yang hidup pada daerah

estuari.
2.4 Toleransi Ikan atau Hewan Air terhadap Salinitas

Toleransi ikan atau hewan air terhadap salinitas menurut Ghufran dan

Kordi (2010), yaitu :

1. Eurihalin merupakan ikan yang dapat beradaptasi pada kisaran salinitas

yang cukup luas, contoh ikan bandeng (Chanos chanos), ikan nila

(Oreochromis niloticus), ikan kakap putih (Lates calcarifer) dan ikan mujair

(Oreochromis mossambica).

2. Stenohalin merupakan ikan yang mempunyai toleransi salinitas yang

kecil atau sempit, contoh ikan layang (Decapterus ruselli), ikan queen

angelfish (Holocanthus ciliaris), ikan lele (Clarias sp), ikan mas (Cyprinus

carpio), ikan zebra (Dascyllus melanurus).

2.5 Peran Organ Ikan pada Proses Osmoregulasi

Berikut beberapa organ ikan yang termasuk dalam proses osmoregulasi ikan

yakni:

Sel Chloride dalam insang berfungsi untuk transport dan memompa ion-

ion seperti Na+, K+, Ca+, Mg2+, Cl- (Martin, et al., 2000).

Kulit berguna sebagai lapisan semipermeabel pada proses osmoregulasi

(Burhanuddin, 2014).

Ginjal pada ikan teleostei berfungsi untuk osmoregulasi. Nefron adalah

bagian ikan teleostei yang terdiri dari glomerulus untuk menyaring, dan

tubulus yang berfungsi untuk menyerap cairan dan diubah menjadi urin

(Robert, 2010).

Dinding usus bersifat semipermeabel yang dapat menyerap air dan ion-ion

terutama untuk menyerap ion-ion Mg (Greenwell, et al., 2003).


2.6 Faktor yang Mempengaruhi Proses Osmoregulasi

Faktor yang mempengaruhi proses osmoregulasi ada dua yaitu:

a. Faktor internal menurut Fujaya (1999) terdiri dari aktivitas, ukuran, umur,

genetik, spesies dan migrasi (katadromus dan anadromus).

b. Faktor eksternal menurut Boyd and Tucker (1998) terdiri dari salinitas dan

suhu.

2.7 Proses Osmoregulasi pada Ikan Air Tawar

Pamungkas (2012), menyatakan bahwa cairan tubuh ikan air tawar

mempunyai tekanan yang lebih besar dari lingkungan (hiperosmotik) sehingga

garam-garam cenderung keluar dari tubuh. Air dari lingkungan cenderung masuk

ke dalam tubuh ikan secara osmosis melalui permukaan tubuh yang bersifat

permeabel. Ikan air tawar mempertahankan keseimbangannya dengan tidak

banyak minum air, kulitnya diliputi mucus (mencegah garam masuk atau keluar

dan membantu pertukaran ion), melakukan osmosis lewat insang, produksi

urinnya encer, dan memompa garam melalui sel-sel khusus pada insang.

2.8 Proses Osmoregulasi pada Ikan Air Laut

Lantu (2010), menyatakan bahwa air laut mengandung konsentrasi garam

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan garam yang ada di tubuh ikan

(hipoosmotik). Hal ini menyebabkan air banyak keluar dari tubuh dan garam

cenderung masuk ke dalam tubuh, sehingga ikan harus menggunakan ginjalnya

untuk mengeluarkan kelebihan garam dalam bentuk urin yang pekat. Adaptasi

lain yang dilakukan yaitu ikan air laut akan banyak minum untuk menghindari

kekurangan air dalam tubuhnya.


2.8.1 Teleostei (Ikan Bertulang Sejati)

Ikan teleostei bersifat hipoosmotik terhadap air laut dan hiperosmotik

terhadap air tawar. Rahardjo, et al. (2011), menyatakan bahwa ikan salmon dan

sidat ketika menghuni perairan tawar tidak banyak minum air, tetapi ketika di laut

minum air 4-15% dari bobot tubuhnya. Fungsi ginjal pun juga berubah dengan

laju filtrasi di glomerulus sangat menurun dan penyerapan kembali di tubuli ginjal

meningkat sehingga urin yang dikeluarkan turun menjadi sekitar 10% dari

volume urin di perairan tawar.

2.8.2 Hagfish

Bone and Moore (2008), menyatakan bahwa volume darah ikan hagfish

sangat isotonis terhadap air laut, sehingga tidak berosmoregulasi, melainkan

hanya terjadi regulasi ion karena komposisi Na+ dan Cl- dalam darah hagfish

sama dengan yang di air laut.

2.8.3 Elasmobranchii (Ikan Bertulang Rawan)

Affandi dan Usman (2002), menyatakan bahwa ikan elasmobranchii

menyimpan urea dan trimethilamin oxides (TMAO) di dalam darah agar cairan di

dalam tubuhnya isotonik atau sedikit hipertonik dari lingkungan. Saat

mempertahankan homoestatis ion, ikan akan mengekresikan garam (NaCl)

bukan dari insang melainkan dari rectal gland.

2.9 Sebab-Sebab Hewan Air Berosmoregulasi

Fujaya (2008), menyatakan bahwa keseimbangan antara substansi tubuh

dan lingkungan harus seimbang. Adanya membran sel permeabel sebagai

tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat. Perbedaan tekanan


osmosis cairan tubuh dan lingkungan.

2.10 Salinitas Perairan (Kadar Garam Terlarut)

Ghufran dan Kordi (2010), menyatakan bahwa berdasarkan kadar

salinitasnya, perairan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Air Tawar: 0-0,5 ppt

2. Air Payau: 0,5-17 ppt

3. Air Laut: >17 ppt

2.11 Komposisi Cairan dalam Empedu

Sheriha, et al. (2014) menyatakan bahwa empedu sapi tersusun dari

beberapa komposisi diantaranya biliverdin (biru), bilirubin (kuning/urobilin), air,

kolestrol dan lemak.

2.12 Penentuan Air Bersalinitas


2.12.1 Persamaan

Larutan I = 2 ppt, larutan II = 45 ppt. Untuk membuat larutan dengan

konsentrasi 15 ppt sebanyak 10liter dibutuhkan berapa liter dari masing-

masing larutan?

V1 × N1 = V2 × N2

Diketahui:

N larutan I = 2 ppt

N larutan II = 45 ppt

N larutan X = 15 ppt

V larutan X = 10 liter

Jawab : V1 × N1 = V2 x N2

(V larutan X × N larutan X) =
(V larutan I × N larutan I) + (V larutan II × N larutan II)

(10 × 15) = (V larutan I × 2) + ((10 – V larutan I) × 45)

150 = 2X + ((450 – 45X)

150 = 450 – 43X

43X = 300

X = 6,97

V larutan I = 6,97 liter

V larutan II = 10 – 6,97

= 3,02 liter

2.12.2 Rumus Bujur Sangkar

Larutan I = 2 ppt, larutan II = 45 ppt. Untuk membuat larutan dengan

konsentrasi 15 ppt sebanyak 10liter dibutuhkan berapa liter dari masing-

masing larutan?

Larutan I 2 30

15 (konsentrasi larutan yang dibutuhkan)

Larutan II 45 13 +
43
Larutan I = liter = 6,98 liter

Larutan II = liter = 3,02 liter


3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsi

a. Pengamatan Empedu

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Osmoregulasi pengamatan empedu adalah:

Freezer : Untuk menyimpan empedu sapi

Toples 3 L : Untuk tempat media cair dan objek pengamatan

Kamera digital : Untuk dokumentasi pengamatan

Nampan : Untuk wadah empedu dan alat bahan praktikum

Stopwatch : Untuk menghitung waktu saat pengamata

Kain lap : Untuk membersihkan dan mengelap meja

Gunting : Untuk memotong benang kasur

Bak besar : Untuk wadah empedu setelah didinginkan

Penggaris : Untuk mengukur benang kasur dan

menghomogenkan NaCl

Timbangan OZ : Untuk menimbang empedu dengan keteltian 10 -1

Timbangan digital : Untuk menimbang garam grasak (NaCl)

dengan ketelitian 10-2

b. Toleransi Salinitas

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Osmoregulasi toleransi salinitas adalah:

Toples 3 L : Untuk wadah media objek yang akan diamati

Kamera digital : Untuk dokumentasi pengamatan


Timbangan digital : Untuk menimbang garam grasak (NaCl)

dengan ketelitian 10-2

Stopwatch : Untuk menghitung waktu pengamatan ikan

Kain lap : Untuk membersihkan dan mengelap meja

Seser : Untuk mengambil ikan

Aerator set : Untuk menyuplai oksigen pada ikan

Kabel roll : Untuk menghubungkan arus listrik

Beaker glass : Untuk wadah objek saat penimbangan media

basah

Penggaris : Untuk mengukur benang kasur dan

menghomogenkan NaCl

Akuarium : Untuk wadah ikan sebelum pengamatan

Nampan : Untuk alas media saat penimbangan

3.1.2 Bahan dan Fungsi

a. Pengamatan Empedu

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Osmoregulasi pengamatan empedu adalah:

Empedu sapi : Sebagai objek pengamatan

Air tawar : Sebagai media pengamatan

Benang Kasur : Sebagai pengikat empedu sapi

Kertas Label : Sebagai penanda nilai salinitas toples

Garam grasak (NaCl) : Sebagai bahan untuk membuat air bersalinitas

Tisu : Sebagai pengering alat yang digunakan

b. Toleransi Salinitas
Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Osmoregulasi toleransi salinitas adalah:

Ikan Nila (O. niloticus): Sebagai objek yang diamati toleransi salinitasnya

Ikan Lele Dumbo


(Clarias gariepinus) : Sebagai objek yang diamati toleransi salinitasnya

Ikan Damsel Biru


(Chrysiptera cyanea) : Sebagai objek yang diamati toleransi salinitasnya

Trash Bag : Sebagai wadah sampah

Air Tawar : Sebagai media objek yang diamati

Air Laut : Sebagai media objek yang diamati

Garam grasak (NaCl) : Sebagai pembuat larutan salinitas yang diperlukan

Kertas label : Sebagai penanda pada toples

Tisu : Sebagai pembersih alat dan bahan


3.2 Skema Kerja
3.2.1 Pengamatan Osmosis pada Kentang

Gelas Plastik
Gelas plastik1414 OZ
OZ
- Diisi air sebanyak ¾ bagian

NaCl
NaCl

- Ditimbang sesuai dengan toleransi yang diinginkan


- Dilarutkan ke dalam air

Kentang
Kentang

- Ditimbang berat awal (W 0)


- Dimasukkan ke dalam gelas plastik dengan perlakuan:
Meja 1 = 0 ppt
Meja 2 = 20 ppt
Meja 3 = 40 ppt
- Diamati perubahannya setiap 20 menit selama 1 jam
- Ditimbang berat akhir (W t)

Hasil
Hasil
3.2.2 Pengamatan Difusi pada Teh Celup

Gelas plastik
plastik 1414
OZ
OZ
- Diisi air sebanyak ¾ bagian

AirAir

- Disesuaikan air dengan suhu yang diinginkan

Teh celup
Teh celup

- Ditimbang berat awal (W 0)


- Dimasukkan ke dalam gelas plastik dengan perlakuan:
Meja 1 = 15°C
Meja 2 = 25°C
Meja 3 = 35°C
- Diamati perubahannya setiap 20 menit selama 1 jam
- Ditimbang berat akhir (W t)

Hasil
Hasil
3.2.3 Toleransi Salinitas

Toples 3L

- Diisi air sebanyak ¾ bagian

NaCl

- Ditimbang sesuai toleransi yang diinginkan


- Dilarutkan ke dalam air

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Ikan Damsel Biru (Chrysptera cyanea)
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

- Ditimbang berat awal (W 0)


- Dimasukkan ikan ke dalam toples dan diberi perlakuan:
Meja 1 = 0 ppt
Meja 2 = 20 ppt
Meja 3 = 40 ppt
- Diamati perubahannya setiap 20 menit selama 2 jam
- Ditimbang berat akhir (W t)

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil Empedu

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Osmoregulasi bagian

pengamatan empedu didapatkan hasil pada B meja 1 yang merupakan milik

kelompok 12 dan B meja 3 yang emrupakan milik kelompok 18. Data pada B

meja 1 didapatkan berat awal empedu 175 gr dan berat akhir 183,7 gr. Data yang

didapatkan pada pukul 13.50 air berwarna jernih dan ukuran empedu normal,

kemudian pada pukul 14.10 data yang didapatkan air berwarna kuning dan

empedu sedikit mengembang. Pukul 14.30 air semakin keruh dan empedu lebih

mengembang. Pukul 14.50 air lebih menguning dan empedu lebih mengembang.

Pukul 15.10 air semakin menguning pekat dan empedu semakin mengembang.

Pukul 15.30 air semakin keruh dan empedu semakin mengembang. Selanjutnya

data pada B meja 3 didapatkan berat awal empedu 269,7 gr dan berat akhir

283,5 gr. Data yang didapatkan pada pukul 13.55 tidak ada perubahan yang

terjadi. Pukul 14.15 air mulai keruh dan empedu normal. Pukul 14.35 air semakin

keruh dan empedu masih normal. Pukul 14.55 empedu mulai membesar dan air

berwarna keruh. Pukul 15.15 empedu sedikit membersar dan warna air menjadi

lebih keruh. Pukul 14.35 air berwarna keruh dan empedu semakin membesar.

Menurut Haridy (2015), perubahan histopatologis pada jaringan hati pada

Picasso triggerfish dan Black damselfish adalah perubahan lemak yang parah

dan area fokal nekrosis hari. Nekrosis bagian eksoskrin pankreas di sektiar

saluran empedu juga terdeteksi. Jaringan limpa menunjukkan kongesti dan

pendarahan serta pigmen hemosiderosis pada Black damselfish dan Picasso

trigger. Lesi pada organ parenkim termasuk nekrosis fokal hati dan degenerasi

lemak, nekrosis pankreas dan penipisan limfoid telah diamati pada Picasso
triggerfish dan Blackdamselfish yang terinfeksi secara alami. Tingkat mortalitas

tergantung pada spesies ikan, metode, dan umur ikan.

Berdasarkan pengamatan perbandingan antara kelompok 12 dan

kelompok 18 dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan perubahan warna dan

penambahan volume air. Penambahan ukuran empedu terjadi karena

pemindahan konsentrasi yang masuk ke dalam kantung empedu. Hasilnya juga

menunjukkan bahwa terjadi perubahan warna mulai dari bening hingga air

berwarna keruh. Perubahan warna tersebut terjadi karena adanya cairan bilirubin

yang membuat air berubah warna menjadi kuning/keruh. Tingkat mortalitas suatu

ikan tergantung pada spesies ikan, metode, dan umur ikan tersebut.

4.2 Analisis Hasil Toleransi Salinitas

a. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Pengamatan toleransi salinitas pada Praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur didapatkan hasil pada kelompok 12 yaitu berat awal 2,49 gram dan

berat akhir 2,13 gram. Hasil yang didapatkan oleh kelompok 18 yaitu berat awal

3,11 gram dan berat akhir 3,37 gram. Hasil kelompok 12 pada pukul 13.48-14.28

tidak mengalami perubahan, 14.48 ikan mulai bergerak pasif, 15.08 posisi ikan

cenderung berada di bawah, 15.28 ikan mulai terlihat lemas dan sekarat, 15.48

ikan mati. Hasil yang didapatkan oleh kelompok 18 yaitu pada pukul 13.55

hingga 15.35 ikan tidak mengalami perubahan tingkah laku, namun dari berat

tubuh ikan dapat dilihat bahwa ikan mengalami kenaikan berat tubuh dalam

kurun waktu lebih dari 1 jam.

Salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang berperan

dalam membantu proses fisiologis pada organisme akuatik yang dibudidayakan.

Kumar, et al. (2017), menjelaskan bahwa ikan lele sungai memiliki toleransi yang

tinggi terhadap perubahan salinitas lingkungannya. Ikan lele mampu bertahan


hidup pada kedalaman perairan dengan salinitas mencapai 15 ppt. Tingginya

salinitas yang ada di lingkungan perairan dapat mempengaruhi proses

pertumbuhan ikan lele. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan kemampuan ikan

dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memelihara

keseimbangan cairan tubuh dan lingkungannya yang salah satunya dapat

dipengaruhi oleh tingkat salinitas. Toleransi ikan lele terhadap salinitas perairan

tinggi disebabkan karena ikan tersebut mampu mengatur dengan sempurna

proses fisiologis yang ada di dalam tubuhnya. Salinitas yang melebihi 20 ppt

akan menyebabkan kematian pada ikan lele.

Berdasarkan data toleransi salinitas pada ikan lele didapatkan hasil

bahwa ikan lele pada kelompok 12 mengalami penurunan bobot tubuh dan

kondisi optimal selama 1 jam hingga akhirnya lemas dan mati. Hasil pengamatan

pada kelompok 18 mengalami perubahan bobot tubuh yang semakin berat dan

tidak mengalami perubahan kondisi tubuh selama 1,5 jam. Perbedaan salinitas

pada perairan mengakibatkan perubahan tingkah laku dan proses fisiologis pada

ikan lele. Ikan lele dikenal dengan jenis ikan air tawar yang memiliki toleransi

tinggi terhadap perubahan salinitas. Ikan lele mampu tumbuh dan hidup pada

salinitas 15 ppt, namun tidak dapat bertahan pada salinitas di atas 20 ppt. Hal

tersebut disebabkan karena ikan lele mampu mengatur proses fisiologisnya

dengan sempurna.

b. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Pengamatan toleransi salinitas pada Praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur didapatkan hasil pada kelompok 12 yaitu berat awal 11,81 gram dan

berat akhir 11,60 gram. Hasil yang didapatkan oleh kelompok 18 yaitu berat awal

7,62 gram dan berat akhir 7,38 gram. Hasil kelompok 12 pada pukul 13.48-14.08

tidak mengalami perubahan, 14.28 ikan mulai bergerak pasif, 14.48 ikan
cenderung berenang di dasar, 15.08 pergerakan ikan mulai pasif, 15.28-15.48

pergerakan ikan mulai aktif kembali. Hasil yang didapatkan oleh kelompok 18

yaitu pada pukul 13.55 hingga 14.55 ikan tidak mengalami perubahan tingkah

laku, pada pukul 15.15 pergerakan ikan mulai melambat, pukul 15.35 pergerakan

tubuh ikan mulai melambat dan terlihat lemas, pukul 15.55 ikan sekarat.

Hasan, et al. (2014), menjelaskan ikan nila (Oreochromis niloticus)

merupakan ikan yang mampu mentolerir tubuhnya pada tingkat salinitas tertentu.

Perbedaan salinitas dapat mempengaruhi laju pertumbuhan, konsumsi pakan,

dan kelangsungan hidup ikan nila. Laju pertumbuhan dan efisiensi konsumsi

pakan pada ikan nila dapat terjadi optimal pada salinitas 14-15 ppt. Ikan nila

dapat bereproduksi dengan baik pada salinitas 10-15 ppt, namun kinerja tubuh

dapat bekerja secara optimal pada salinitas 5 ppt. Kematian ikan nila dapat

terjadi akibat kadar salinitas perairan yang melebihi 20 ppt, yang dikarenakan

tubuhnya tidak dapat mentolerir dengan sempurna pada salinitas tersebut.

Berdasarkan data toleransi salinitas pada ikan nila (Oreochromis

niloticus) didapatkan hasil bahwa ikan nila pada kelompok 12 mengalami

penurunan bobot tubuh dan kondisi optimal tubuh pada 1 jam pertama hingga

akhirnya lemas, dan terlihat pergerakan ikan nila aktif kembali. Hasil pengamatan

pada kelompok 18 mengalami penurunan bobot tubuh dan tidak ada perubahan

tingkah laku selama 1 jam, hingga akhirnya ikan lemas dan sekarat. Salinitas

yang berbeda menyebabkan perubahan pada laju pertumbuhan, proses

reproduksi, konsumsi pakan, dan kelangsungan hidup ikan nila. Semakin tinggi

nilai salinitas maka laju pertumbuhan dan efektivitas konsumsi pakan juga

semakin baik. Berbeda halnya pada kinerja tubuh ikan dimana semakin tinggi

kadar salinitasnya maka kinerja tubuh ikan nila semakin menurun. Hal tersebut

dapat disimpulkan bahwa kadar salinitas yang baik untuk ikan nila berkisar

antara 5-15 ppt.


c. Ikan Damsel Biru (Chrysiptera cyanea)

Pengamatan toleransi salinitas pada Praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur didapatkan hasil pada kelompok 12 yaitu berat awal 0,8 gram dan

berat akhir 2,13 gram. Hasil yang didapatkan oleh kelompok 18 yaitu berat awal

3,11 gram dan berat akhir 3,37 gram. Hasil kelompok 12 pada pukul 13.48-14.28

ikan tidak mengalami perubahan tingkah laku, 14.48 ikan mulai bergerak pasif,

15.08 posisi ikan cenderung berada di bawah, 15.28 ikan mulai terlihat lemas

dan hampir mati. Hasil yang didapatkan oleh kelompok 18 yaitu pada pukul 13.55

hingga 15.35 ikan tidak mengalami perubahan tingkah laku, namun dari berat

tubuh ikan dapat dilihat bahwa ikan mengalami kenaikan berat tubuh dalam

kurun waktu lebih dari 1 jam.

Tang, et al. (2014), menyatakan bahwa salinitas merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi fluktuasi lingkungan secara alami. Ikan damsel biru-

hijau (Chromis viridis) termasuk ikan teleostei stenohalin yang hidup di sekitar

terumbu karang dengan salinitas rata-rata mirip dengan air laut normal (SW)

(sekitar 35%). Perubahan salinitas dapat berpengaruh buruk pada kinerja tubuh

ikan damsel biru (Chrysiptera cyanea). Perubahan salinitas dapat menyebabkan

stress osmotik pada organisme akuatik terutama pada proses metabolisme tubuh

ikan tersebut. Perubahan salinitas lingkungan juga akan mengganggu proses

sintesis protein tubuh, stabilisasi, fungsi biologis, yang merusak struktur protein

tubuh sehingga dapat membahayakan kelangsungan hidup ikan. Kadar salinitas

juga dapat berperan penting pada dalam mekanisme osmoregulasi untuk proses

adaptasi ikan di perairan.

Berdasarkan data toleransi salinitas pada ikan damsel biru (Chrysiptera

cyanea) didapatkan hasil bahwa ikan nila pada kelompok 12 mengalami

perubahan bobot tubuh yang sangat meningkat dan tidak terjadi perubahan

tingkah laku ikan pada 1 jam pertama hingga akhirnya lemas dan mati. Hasil
pengamatan pada kelompok 18 tidak mengalami perubahan tingkah laku namun

bobot tubuh ikan damsel biru mengalami perubahan yang tidak terlalu signifikan.

Hal tersebut dipengaruhi oleh perubahan kadar salinitas habitat perairan ikan

damsel. Perbedaan salinitas berpengaruh buruk pada kinerja tubuh ikan. Kadar

salinitas yang terlalu tinggi dapat memicu tingkat stress ikan dan mengganggu

laju pertumbuhan ikan, sehingga dapat menyebabkan kematian pada ikan

damsel biru.

4.3 Faktor Koreksi

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Osmoregulasi terdapat faktor

koreksi. Kendala jaringan antar praktikan dan asisten praktikum sebagai

penghambat kelancaran kegiatan praktikum. Kejelasan pengucapan materi perlu

ditekankan supaya tidak terjadi kesalahpahaman antar praktikan dan asisten

praktikum. Praktikum mandiri terdapat kendala pada alat dan bahan yang kurang

lengkap dan memadai. Data yang didapatkan praktikan pada saat praktikum

mandiri dikhawatirkan kurang valid karena keterbatasan alat dan bahan.

Beberapa praktikan sedikit terkendala dengan tidak tersedia ikan di daerah

masing-masing.

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan

Osmoregulasi merupakan upaya ikan untuk mengendalikan kesimbangan

antara air dan ion yang ada di dalam tubuh dengan lingkungan ikan tersebut

berada dengan pengaturan tekanan osmotik. Manfaat dari osmoregulasi yang

untuk pembudidaya salah satunya supaya efisienya pemberian pakan pada ikan

dapat maksimal. Hal tersebut bisa dapat terjadi karena dengan mengetahui

salinitas yang tepat pada ikan akan menyebabkan proses dari osmoregulasi

pada ikan tidak terlalu sering dilakukan. Manfaat lainnya dari osmoregulasi
adalah supaya ikan dapat beradaptasi dengan salinitas lingkungan yang ada di

tempat tinggal ikan tersebut. Proses osmoregulasi dilakukan oleh ikan atau

organisme perairan supaya mereka bisa bertahan hidup dengan salinitas yang

berbeda dengan yang ada di kadar tubuh mereka.


5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Osmoregulasi dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

Osmoregulasi merupakan upaya yang dilakukan hewan akuatik untuk

mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam dan di luar tubuh

melalui mekanisme pengaturan tekanan osmotik sehingga proses-proses

fisiologis dalam tubuh berjalan normal.

Pada osmoregulasi terdapat dua proses, yaitu :

1. Transpor aktif, yaitu perpindahan zat yang membutuhkan energi

2. Transpor pasif, yaitu perpindahan zat tanpa memerlukan energi. Pada

transpor pasif ini juga terdapat dua proses :

a. Difusi : Perpindahan zat dari konsentrasi tinggi ke

konsentrasi rendah

b. Osmosis : Perpindahan zat dari konsentrasi rendah ke

konsentrasi tinggi

Terdapat 3 membran osmoregulasi diantaranya :

1. Permeabel

2. Semipermeabel

3. Impermeabel

Pola regulasi ion dan air :

1. Hipertonik

2. Hipotonik

3. Isotonik
Toleransi ikan terhadap salinitas di perairan dibagi menjadi 2, yaitu : eurihalin

dan stenohalin

Organ ikan yang termasuk dalam proses osmoregulasi ikan yakni: sel Chloride

kulit, ginjal, dan dinding usus

Faktor yang mempengaruhi osmoregulasi yaitu :

1. Internal : Aktivitas, ukuran, umur, genetik, spesies dan migrasi

(katadromus dan anadromus).

2. Eksternal : Salinitas dan suhu

Proses osmoregulasi ikan air tawar dimana cairan tubuh ikan air tawar

mempunyai tekanan yang lebih besar dari lingkungan (hiperosmotik) sehingga

garam-garam cenderung keluar dari tubuh. Air dari lingkungan cenderung

masuk ke dalam tubuh ikan secara osmosis melalui permukaan tubuh yang

bersifat permeabel.

Proses osmoregulasi pada ikan air laut dimana mengandung konsentrasi

garam yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan garam yang ada di

tubuh ikan (hipoosmotik). Hal ini menyebabkan air banyak keluar dari tubuh

dan garam cenderung masuk ke dalam tubuh, sehingga ikan harus

menggunakan ginjalnya untuk mengeluarkan kelebihan garam dalam bentuk

urin yang pekat.

Sebab hewan air melakukan osmoregulasi yaitu menyeimbangkan antara

substansi tubuh dan lingkungan. Adanya membran sel permeabel sebagai

tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat.

Salinitas perairan perairan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Air Tawar: 0-0,5 ppt

2. Air Payau: 0,5-17 ppt

3. Air Laut: >17 ppt


5.2 Saran

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Osmoregulasi dilaksanakan

secara daring. Keseluruhan praktikum sudah cukup berjalan dengan baik dan tim

asisten juga sudah berusaha sebaik mungkin dalam mempersiapkan dan

menjalankan praktikum daring ini, mengingat kondisi pandemi yang terjadi diluar

kemampuan. Regulasi toleransi permasalahan terkait jaringan, mungkin tim

asisten bisa menyediakan jalan tengah bagi praktikan yang memang benar-benar

ada kendala pada sinyal. Kendala dari sinyal adalah permasalahan diluar

kemampuan dan kekuasaan praktikan. Mengingat juga tidak semua praktikan

tinggal di wilayah yang jaringannya memadai.


DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. & Usman M. T. (2002). Fisiologi Hewan Air. Unri Press: Pekanbaru.
Amrillah, A. M., Widyarti, S. & Kilawati, Y. (2015). Dampak stress salinitas
terhadap prevalensi white spot syndrome virus (WSSV) dan Survival Rate
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) pada kondisi terkontrol.
Research Journal of Life Science, 2(1), 110-123.
https://doi.org/10.21776/ub.rjls.2015.002.02.5
Ardi, I., Setiadi, E., Kristanto, A. H. & Widiyati, A. (2016). Salinitas optimal untuk
pendederan benih ikan betutu (Oxyeleotris marmorata). Jurnal Riset
Akuakultur, 11(4), 339-347.https://doi.org/10.15578/jra.11.4.2016.347-354
Ariyanti, D. & Widiasa, I. N. (2011). Aplikasi teknologi reverse osmosis untuk
pemurnian air skala rumah tangga. TEKNIK, 32(3), 193-198.
Bone, Q. & Moore, R. (2008). Biology of Fishes. Taylor & Francis. 128pp.
https://doi.org/10.1201/9781134186310
Boyd, C. E. & Tucker, C. S. (1998). Pond Aquaculture Water Quality
Management. Kluwer Academic Publishers, Boston, Massachusettes,
700pp. https://doi.org/10.1007/978-1-4615-5407-3
Burhanuddin, A. I. (2014). Ikhtiologi, Ikan, dan Segala Aspek Kehidupannya.
Depublish Publisher: Yogyakarta. Hlm 363-365
Fujaya, Y. (2008). Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan.
Penerbit Rineka Cipta: Jakarta.
Haridy, M., Hasheim, M., Abd El-Galil, M., Sakai, H., & Yanai, T. (2015).
Pathological findings of Tenacibaculum maritimus infection in black
damselfish, neoglyphieodon melas and picasso triggerfish, rhinecanthus
assasi in Red Sea, Egypt. Veterinary Science & Technology, 6(2), 1-5.
Hasan, M., Sarker, B. S., Nazrul, K. S., & Tonny, U. S. (2014). Salinity tolerance
level of GIFU tilapia strain (Oreochromis niloticus) at juvenile stage. Int. J.
Agric. Sci, 4, 83-89.
Inayah. (2017). Pengaruh detergen terhadap respon fisiologi, laju pertumbuhan
dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila pada skala laboratorium.
Prosiding Seminar Nasional Kemaritiman dan Sumberdaya Pulau-Pulau
Kecil, 1(1), 44-50.
Isnaeni, W. (2006). Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Kordi K., M. G. H. & A. B. Tancung. (2010). Pengelolaan Lualitas Air Dalam Budi
Daya Perairan. Rineka Cipta: Jakarta.
Kumar, A., Harikrishna, V., Reddy, A. K., Chadha, N. K., & Babitha, A. M. (2017).
Salinity tolerance of Pangasianodon hypophthalmus in inland saline
water: effect on growth, survival and haematological parameters. Ecol.
Environ. Conserv, 23, 475-482.
Lantu, S. (2010). Osmoregulasi pada hewan akuatik. Jurnal Perikanan dan
Kelautan, 4(1), 46-50. https://doi.org/10.35800/jpkt.6.1.2010.117
Martin, D. J., Garske, J.P, & Davis, M. K. (2000). Relation of the therapeutic
alliance with outcome and other variables: a meta-analytic review. J.
Consult Clin Psychl, 68(3), 438-500. https://doi.org/10.1037/0022-
006X.68.3.438
Pamungkas, W. (2012). Aktivitas osmoregulasi, respons pertumbuhan dan
energetic cost pada ikan yang dipelihara dalam lingkungan bersalinitas.
Media Akuakultur, 7(1), 44-51. https://doi.org/10.15578/ma.7.1.2012.44-51
Pudjaatmaka, A. H. & Qodratillah, M. T. (2002). Kamus Kimia. Balai Pustaka:
Jakarta.
Rahardjo, M. F., Sjafei, D. S., Affandi, R. & Sulistiono. (2011). Ikhtiologi. CV
Lubuk Agung: Bandung. 396 hlm.
Robert S. N. G. (2010). Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Susanto, H. (2009). Pembenihan dan Pembesaran Patin. Penebar Swadaya:
Jakarta.
Sheriha, G. M., Waller, G. R., Chan, T., & Tillman, A. D. (1968). Composition of
bile acids in ruminants Waller. Lipids, 3(1), 72-78.
https://doi.org/10.1007/BF02530972

Syakirin, M. B. (2007). Mekanisme pompa Natrium Kalium (Na + - K+) pada


osmoregulasi ikan bertulang sejati (Teleost). Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan, 1(1), 24-33.
Tang, C. H., Leu, M. Y., Yang, W. K., & Tsai, S. C. (2014). Exploration of the
mechanisms of protein quality control and osmoregulation in gills of
Chromis viridis in response to reduced salinity. Fish physiology and
biochemistry, 40(5), 1533-1546.
Wong, M. Khwok-Shing, Ozaki, H., Suzuki, Y., Iwasaki, W. & Takei, Y. (2014).
Discovery of osmotic sensitive transcription factor in fish intestine via a
tanscriptomic approach. BMC Genomics, 15(1134), 1-13.
https://doi.org/10.1186/1471-2164-15-1134
Yusuf, D. M., Sugiharto & Wijayanti, G. E. (2014). Perkembangan post-larva ikan
nilem Osteochilus hasselti C.V. dengan polapemberian pakan yang
berbeda. Scripta Biologica, 1(3), 185-192.
https://doi.org/10.20884/1.sb.2014.1.3.40
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Praktikum

a. Pengamatan Empedu (B)

W0 Wt
Meja Waktu Keterangan
(gram) (gram)
1 13.50 Air jernih, ukuran empedu normal. 175
Air menguning, empedu sedikit
14.10
mengembang.
Air semakin keruh, empedu lebih
14.30
mengembang.
Air lebih menguning, empedu lebih
14.50
mengembang.
Air semakin menguning dan pekat,
15.10
empedu semakin mengembang.
Air semakin keruh, empedu semakin
15.30 183,7
mengembang.
2 13.45 Air keruh dan menguning. 327,67
Air keruh, empedu memucat dan
14.05
membesar.
Air menguning, empedu memucat dan
14.25
membesar.
14.45 Air keruh, empedu membesar.
Bilirubin semakin pekat, empedu semakin
15.05
membesar.
Air keruh dan warna hijau kekuningan,
15.25 343,79
empedu memucat.
3 13.55 Tidak ada perubahan. 269,7
14.15 Air mulai keruh, empedu normal.
14.35 Air semakin keruh, empedu masih normal.
Air keruh, ukuran empedu mulai
14.55
membesar.
15.15 Air lebih keruh, empedu sedikit membesar.
15.35 Air keruh, empedu semakin membesar. 283,5
b. Toleransi Salinitas (B)

Ikan Lele Dumbo (Clarias Glariepinus)

W0 Wt
Meja Waktu Tingkah Laku
(gram) (gram)
1 13.48 Tidak ada perubahan. 2,49
14.08 Tidak ada perubahan.
14.28 Tidak ada perubahan.
14.48 Ikan bergerak pasif.
15.08 Cenderung berada di
bawah.
15.28 Ikan mulai sekarat.
15.48 Ikan mati. 2,13
2 13.45 Tidak ada perubahan. 2,47
14.05 Tidak ada perubahan.
14.25 Tidak ada perubahan.
14.45 Tidak ada perubahan.
15.05 Tidak ada perubahan.
15.25 Tidak ada perubahan. 2,94
3 13.55 Tidak ada perubahan. 3,11
14.15 Tidak ada perubahan.
14.35 Tidak ada perubahan.
14.55 Tidak ada perubahan.
15.15 Tidak ada perubahan.
15.35 Tidak ada perubahan. 3,37
Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

W0 Wt
Meja Waktu Tingkah Laku
(gram) (gram)
1 13.48 Tidak ada perubahan. 11,81
14.08 Tidak ada perubahan.
14.28 Pergerakan pasif.
14.48 Berenang di dasar.
15.08 Pergerakan pasif.
15.28 Pergerakan kembali aktif.
15.48 Pergerakan kembali aktif. 11,60
2 13.45 Warna abu-abu, pergerakan pasif. 12,16
14.05 Warna memudar, pergerakan
cukup aktif.
14.25 Warna memudar, pergerakan
cukup aktif.
14.45 Warna memudar, pergerakan pasif.
15.05 Warna memudar sedikit pucat,
pergerakan pasif. 9,69
15.25 Warna pudar, pergerakan pasif.
3 13.55 Tidak ada perubahan. 7,62
14.15 Tidak ada perubahan.
14.35 Tidak ada perubahan.
14.55 Tidak ada perubahan.
15.15 Pergerakan mulai melambat.
15.35 Tubuh tidak seimbang atau lemes.
15.55 Ikan sekarat. 7,38
Ikan Damsel Biru (Chrisiptera cyanea)

W0 Wt
Meja Waktu Tingkah Laku
(gram) (gram)
1 13.48 Tidak ada perubahan. 0,8
14.08 Tidak ada perubahan.
14.28 Tidak ada perubahan.
14.48 Pergerakan pasif.
15.08 Cenderung berada di dasar.
15.28 Mulai lemas dan hampir mati. 2,13
2 13.45 Tidak ada perubahan. 2,47
14.05 Tidak ada perubahan.
14.25 Tidak ada perubahan.
14.45 Tidak ada perubahan.
15.05 Tidak ada perubahan.
15.25 Tidak ada perubahan. 2.94
3 13.55 Tidak ada perubahan. 3,11
14.15 Tidak ada perubahan.
14.35 Tidak ada perubahan.
14.55 Tidak ada perubahan.
15.15 Tidak ada perubahan.
15.35 Tidak ada perubahan. 3,37
Lampiran 2. Dokumentasi

a. Osmosis pada Kentang

Siapkan alat dan bahan yang akan Timbang garam grasak sesuai
digunakan salinitas yang diinginkan, kemudian
masukkan ke dalam gelas berisi air

Larutkan garam pada gelas yang telah Masukkan kentang ke dalam gelas
berisi air yang telah diberi perlakuan salinitas
berbeda

Amati selama 20 menit selama 1 jam Amati perubahan yang terjadi pada
kentang lalu catat hasilnya
b. Difusi pada Teh Celup

Siapkan alat dan bahan yang akan Celupkan teh ke dalam masing
digunakan masing gelas yang berisi air panas,
dingin, dan biasa.

Amati setiap perlakuan


selama 1 menit, lalu catat hasilnya.
c. Toleransi Salinitas

Siapkan alat dan bahan yang akan Timbang garam grasak sesuai
digunakan dengan salinitas yang diinginkan

Larutkan garam ke dalam air pada Timbang ikan damsel biru, nila, dan
toples dengan toleransi yang berbeda lele sebelum diberi perlakuan

Masukkan ikan ke dalam toples yang Timbang kembali semua ikan untuk
telah diberi perlakuan kemudian amati mendapatkan berat akhir, lalu dicatat.
setiap 20 menit selama 1 jam
Lampiran 3. Terminologi

Absorbsi : Proses pemisahan bahan dari suatu campuran gas


dengan cara pengikatan bahan tersebut pada permukaan
absorben cair yang diikuti permukaan.

Anadroumus : Migrasi ikan dari salinitas tinggi (laut) ke salinitas rendah


(sungai).

Bilirubin : Komposisi pada empedu penghasil warna kuning.

Biliverdin : Komposisi pada empedu penghasil warna biru.

Difusi : Perpindahan zat terlarut dari konsentrasi tinggi ke


konsentrasi rendah.

Eurihalin : Organisme yang beradaptasi pada salinitas luas.

Filtrasi : Proses penyaringan.

Hipertonik : Larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang


lebih rendah dari larutan lainnya.

Hipotonik : Larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut lebih


rendah dari larutan lainnya.

Isotonik : Larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut sama


dengan lingkungannya.

Katadromous : Migrasi dari salinitas rendah (sungai) ke salinitas yang


lebih tinggi (laut).

Kolestrol : Lemak yang terdapat di dalam aliran darah atau sel tubuh
yang sebenarnya dibutuhkan untuk pembentukan dinding
sel dan sebagai bahan baku hormon.

Lemak : Senyawa kimia tidak larut dalam air yang disusun oleh
unsur karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O2).

Migrasi : Perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang


mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang
menguntungkan untuk eksistensi hidup dan keturunannya

Osmoregulasi : Upaya ikan untuk mempertahankan keseimbangan cairan


atau ion dalam tubuh dengan lingkungannya.
Osmosis : Proses perpindahan zat pelarut dari larutan yang memiliki
konsentrasi rendah melalui membran semipermeable
menuju larutan yang memiliki konsentrasi tinggi hingga
mencapai keseimbangan.

Sel chloride : Bagian insang yang berperan dalam proses transport aktif
dan osmoregulasi yang terletak pada dasar lembaran-
lembaran insang.

Stenohalin : Kemampuan ikan beradaptasi dengan kisaran salinitas


yang sempit.

Transpor aktif : Proses perpindahan zat dari konsentrasi tinggi menuju


konsentrasi rendah yang membutuhkan ATP atau energi
dan prosesnya terjadi dalam sel.

Transpor pasif : Pergerakan molekul melalui membrane permeable tanpa


mengeluarkan energi kimia zat berpindah dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah.
BUKU KERJA PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

RESPIRASI

Disusun oleh: Kelompok 12

Deandra Ayu Zuraida 205080500111036


Ricard Heru Prayoga 205080500111043
Imroatus Sholihatil Fajriyah 205080500111052
Yosepin Novita Siagian 205080500111057
Elnath Brahmantio 205080501111007
Alif Azzam Faudzil Adhim 205080501111010
Elsa Syafi`Ul Umma 205080501111014
Lailatul Munawaroh D. K. W. 205080501111033
Rahmawanda Dwi Kurnianti 205080507111007
Abiyyu Fadhlullah 205080507111009
Ainur Rofiq Aprila 205080507111021

Nama Asisten: Muhammad Deni Prasetiyo

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pernapasan adalah proses pengikatan oksigen (O 2) dan

pengeluaran karbondioksida (CO2) oleh darah melalui permukaan alat

pernapasan. Oksigen sebagai bahan pernapasan dibutuhkan oleh sel untuk

berbagai reaksi metabolisme. Kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh

kemampuannnya memperoleh oksigen yang cukup dari lingkungannya melalui

proses tersebut (Mahyuddin, 2008).

Insang ikan menurut Saputra, et al. (2013), merupakan organ respirasi

utama yang bekerja dengan mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi

(oksigen dan karbondioksida) antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam

air akan diabsorbsi ke dalam kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin

untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Pengeluaran karbondioksida

dari sel dan jaringan akan dilepaskan ke air di sekitar insang.

Proses respirasi ikan terdapat dua fase yaitu fase inspirasi dan fase

ekspirasi. Fase inspirasi dimulai dengan rongga mulut mula-mula membesar

karena insang bergerak ke samping akibat udara dalam mulut lebih kecil

daripada tekanan udara luar sehingga menyebabkan mulut terbuka dan air

masuk kedalam mulut. Fase ekspirasi ditandai dengan masuknya air ke rongga

mulut, kemudian celah mulut akan tertutup. Tutup insang akan kembali ke posisi

semula diikuti gerakan selaput ke samping, sehingga celah insang terbuka yang

meyebabkan air keluar serta terjadi pertukaran gas (Murtidjo, et al., 2001).

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengamati dan memahami


pengaruh suhu (lingkungan) terhadap proses respirasi yang dilakukan insang.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa) dapat

mengetahui pengaruh perlakuan suhu yang berbeda terhadap proses respirasi

pada ikan.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Respirasi dilaksanakan

pada hari Sabtu, 13 November 2021 melalui video conference Google Meet
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Respirasi

Respirasi (pernapasan) adalah proses masuknya oksigen dengan cara

difusi kedalam tubuh ikan melewati organ insang dan keluarnya CO 2 ke

lingkungan perairan. Oksigen merupakan unsur terpenting bagi kelangsungan

hidup organisme. Kebutuhan oksigen dalam air harus tetap terjaga karena

kekurangan oksigen akan mengakibatkan biota yang dipelihara bersaing satu

sama lain untuk memenuhi kebutuhan oksigen, sehingga ikan stres bahkan

menyebabkan kematian total (Sahetapy, 2013).

Ikan membutuhkan oksigen untuk proses penguraian makanan dalam

tubuhnya dan semua komponen. Laju metabolisme berkaitan erat dengan

respirasi karena respirasi merupakan proses ekstraksi energi dari molekul

makanan yang bergantung pada adanya oksigen. Laju metabolisme biasanya

diukur dengan banyaknya oksigen yang dikonsumsi makhluk hidup persatuan

waktu. Hal ini memungkinkan terjadi karena oksidasi dari bahan makanan

memerlukan oksigen untuk menghasilkan energi yang dapat diketahui jumlahnya

juga, laju metabolismenya biasanya cukup diekspresikan dalam bentuk laju

konsumsi oksigen. Respirasi adalah suatu proses perombakan bahan makanan

dengan menggunakan oksigen, sehingga diperoleh energi dan gas CO2.

Energi yang dihasilkan dalam proses ini tidak langsung digunakan untuk aktivitas

sel dalam pembentukan ATP dari ADP dan H3PO4 (Akbulut, 2002).

Ikan bernapas menggunakan insang yang merupakan organ respirasi

pada ikan. Insang berfungsi dalam pertukaran gas, selain itu insang juga

berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, serta pengeluaran zat sisa

metabolisme yang mengandung nitrogen. Insang terletak diluar dan berhubungan


langsung dengan air sebagai media hidup ikan, maka organ inilah yang pertama

kali mendapat pengaruh apabila lingkungan air tercemar (Solikhah dan

Widyaningrum, 2015).

2.2 Mekanisme Pemapasan Ikan


2.2.1 Fase Inspirasi

Fase inspirasi menurut Murtidjo (2001), merupakan fase pengambilan

oksigen dan air ke dalam insang. Mekanisme inspirasi adalah sebagai berikut:

tutup insang menutup, mulut terbuka. Hal itu mengakibatkan tekanan dalam

mulut lebih kecil daripada tekanan udara diluar dan air dari luar masuk ke dalam

rongga mulut.

2.2.2 Fase Ekspirasi

Fase ekspirasi adalah fase pengeluaran air dan gas karbondioksida. Air

masuk ke dalam rongga mulut, celah mulut menutup, tutup insang membuka,

sehingga tekanan di dalam rongga mulut lebih besar dan menyebabkan air

keluar melewati celah tutup insang yang akan menyentuh lembaran-lembaran

insang. Hal ini menyebabkan pertukaran gas dimana oksigen berdifusi ke dalam

kapiler darah, kemudian CO2 berdifusi dari darah ke dalam air. Pertukaran O2

dan CO2 pada ikan terjadi pada fase ekspirasi (Murtidjo, 2001).

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respirasi

Respirasi pada ikan dipengaruhi faktor sebagai berikut:

1. Faktor Internal menurut Coche, et al. (1997), yaitu usia, spesies, sexual

maturity, ukuran, dan aktivitas ikan.

2. Faktor Eksternal menurut Stoss (1983), yaitu suhu, kadar O2, CO2, pH,

dan kepadatan.
2.4 Alat Pernapasan Tambahan

Rahardjo, et al. (2011), menyatakan bahwa alat tambahan pernapasan

pada ikan, yaitu:

1. Labirin

Contoh ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan labirin yaitu

Gurami (Osphronemus goramy), Betok (Anabas testudineus) dan Sepat

(Trichogaster sp.).

2. Arborescent

Contoh ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan arborescent

organ yaitu ikan lele (Clarias sp.).

3. Kulit

Contoh ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan melalui kulit

tubuhnya yaitu ikan glodok (Oxudercinae sp.).

2.5 Alur Respirasi pada Ikan

Sumber oksigen menurut Siagian dan Simarmata (2015), yaitu hasil

fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton, difusi oksigen di atmosfer, dan

arus. Alur pada respirasi pada ikan yakni air masuk melalui mulut dan seterusnya

mengalir melalui insang. Insang memiliki lembaran-lembaran halus yang

mengandung pembuluh-pembuluh darah. Pengikatan oksigen dan pelepasan

karbondioksida terjadi di insang. Oksigen dalam darah diedarkan ke seluruh

tubuh oleh nadi. Kondisi darah saat kehilangan oksigen, darah akan berkumpul

di pembuluh balik untuk kembali ke jantung. Kemudian jantung memompakan

darah ke insang lagi.


3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsinya

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Respirasi adalah:

Heater masak : Untuk memanaskan air yang digunakan

Stopwatch : Untuk menghitung waktu pengamatan

Handtally counter : Untuk menghitung pembukaan operculum ikan

Ember : Untuk wadah ikan Nila (Oreochromis niloticus)

sebelum diamati

Seser sedang : Untuk mengambil ikan dari akuarium

Thermometer Hg : Untuk mengukur suhu dalam akuarium

Kabel roll : Untuk menghubungkan arus listrik

Aerator set : Untuk menyuplai oksigen dalam toples

Akuarium : Untuk wadah ikan Nila (Oreochromis niloticus)

sebelum dimasukkan toples

Kamera digital : Untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum

Cool box : Untuk menyimpan es batu

Nampan : Untuk wadah alat dan bahan yang digunakan

Toples 3 L : Untuk tempat media dan objek pengamatan

3.1.2 Bahan dan Fungsinya

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Respirasi adalah:

Ikan Mas (C. carpio) : Sebagai objek yang akan diamati


Es batu : Sebagai penurun suhu pada air

Plastik bening : Sebagai penutup toples agar tidak ada udara yang

masuk

Karet gelang : Sebagai pengikat plastik bening

Kertas label : sebagai penanda toples pada perlakuan

Tisu : Sebagai pengering alat yang digunakan

Trash bag : Sebagai wadah sampah


3.2 Skema Kerja

Toples 3L
3L

- Diisi air sebanyak ¾ bagian


- Diisi air hingga penuh
- Disesuaikan suhu air dengan perlakuan
- Diukur suhu dengan thermometer Hg dalam toples
- Ditunggu media air sampai pada suhu perlakuan:
Meja 1 = 15°C
Meja 2 = 25°C
Meja 3 = 35°C
-
1 Ekor Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

- Dimasukkan ke dalam toples


- Ditunggu selama 5 menit agar ikan beradaptasi
- Diukur DO awal (DO0) dengan DO meter
- Ditutup toples dengan plastik
- Dihitung bukaan operkulum ikan selama 10 menit dengan
handtally counter
- Diulangi sebanyak 3 kali
- Diukur DO akhir (DOt) dengan DO meter

Konsumsi DO =

Keterangan:
∆ DO = Perubahan DO
DO0 = DO awal
DOt = DO akhir

Hasil
Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Respirasi B meja 1 kelompok

12 diperoleh hasil yaitu jumlah bukaan operkulum adalah 174 dengan rata-rata

bukaan operkulum sebanyak 58. Hasil tersebut diperoleh dengan dilakukannya 3

kali perhitungan, pada perhitungan pertama sebanyak 55, perhitungan kedua

sebanyak 65, dan perhitungan ketiga sebanyak 54. Perhitungan tabel DO pada

meja 1 diberikan perlakuan suhu 15° C, DO0 6,8 mg/l, dan DOt 4,6 mg/l. Berat

tubuh ikan 4 gr dan ΔDO 0,05 mg/l. Sedangkan B meja 3 kelompok 18 diperoleh

hasil yaitu bukaan operkulum adalah 371 dengan rata-rata bukaan operkulum

sebanyak 123,6. Perhitungan dilakukan sebanyak 3 kali, dimana perhitungan

pertama sebanyak 146, perhitungan kedua sebanyak 137, dan perhitungan ketiga

sebanyak 88. Perhitungan tabel DO pada B meja 3, diberikan perlakuan suhu 25°C,

DO0 4,7 mg/l, DOt 4,1 mg/l. berat tubuh ikan 7 gr, dan ΔDO 0,08 mg/l.

Menurut Sianipar (2021), respirasi adalah suatu proses mulai

pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida, hingga penggunaan enegi

dalam tubuh. Insang ikan bertulang sejati (Osteichthyes) dilengkapi dengan tutup

insang (operkulum). Insang ikan bertulang rawan (Chondrichthyes) tidak

mempunyai tutup insang. Mekanisme pernapasan terdiri dari fase inspirasi dan

fase ekspirasi. Fase inspirasi dimulai dari masuknya air yang mengandung O 2

dan fase ekspirasi ditandai dengan keluarnya CO 2 dari tubuh ikan.

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa pada pengamatan B

meja 1 dan B meja 3 memiliki kesamaan hasil bahwa ketika ikan nila diletakkan

pada media dengan suhu yang tinggi maka bukaan operkulum akan lebih banyak

jika dibandingkan saat diletakkan pada media bersuhu rendah. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sianipar (2021) bahwa respirasi adalah suatu proses mulai

pengambilan oksigen,pengeluaran karbon dioksida sampai penggunaan enegi

pada tubuh.di ikan bertulang sejati (Osteichthyes) insangnya dilengkapi dengan

tutup insang (operkulum), sedangkan pada ikan bertulang rawan

(Chondrichthyes) insangnya tak memiliki tutup insang.

4.2 Analisis Grafik

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Respirasi diperoleh hasil

total DO awal (DO0) dan DO akhir (DOt) yang disajikan dalam grafik. Hasil

pengamatan B pada perlakuan suhu 15°C adalah DO 0 sebesar 6,8 mg/l dan DO t

sebesar 4,6 mg/l. Hasil pengamatan pada perlakuan suhu 25°C yaitu DO 0

sebesar 4,7 mg/l dan DOt sebesar 4,1 mg/l. Hasil pengamatan pada perlakuan

suhu 35°C diperoleh hasil DO0 sebesar 2,7 mg/l dan DOt sebesar 4,5 mg/l.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan

hasil pada setiap perbedaan perlakuan suhu. Suhu sangat mempengaruhi

metabolisme ikan. Metabolisme ikan akan meningkat bersamaan dengan suhu

yang meningkat, sehingga ikan membutuhkan semakin banyak oksigen dan

kadar DO semakin menurun.


4.3 Faktor Koreksi

Pelaksanaan praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur terdapat beberapa hal

yang harus dikoreksi. Pandemi tentu menjadi faktor terbesar yang mengganggu

jalannya praktikum, baik asisten maupun praktikan sama sama kesulitan,

sehingga kedua belah pihak perlu sama sama memahami. Praktikum yang

dilaksanakan secara online tidak bisa dipungkiri membuat asisten maupun

praktikan tidak maksimal dalam proses penyampaian dan penerimaan materi.

Kendala sinyal dan jaringan menjadi masalah yang sangat mengganggu

praktikan maupun asisten, karena itu merupakan gangguan di luar kemampuan

kita semua. Gangguan sinyal mempengaruhi konsentrasi praktikan dalam

memahami materi yang disampaikan. Keadaan wilayah karena pandemi yang

tidak menentu membuat praktikan kesulitan mencari alat dan bahan untu

praktikum mandiri. Kurangnya ketelitian dalam perhitungan waktu. Praktikum

mandiri di rumah dengan mengamati GET cukup sulit dan alat dan bahan dalam

menentukan faktor yang mempengaruhi respirasi sulit didapatkan karena wilayah

tempat tinggal praktikan yang berbeda-beda.

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi respirasi memiliki manfaat di

bidang perikanan. Manfaat tersebut antara lain pertama untuk mengetahui

perhitungan padat tebar ikan yang akan dibudidayakan. Manfaat kedua dapat

mengetahui kadar oksigen yang ada di kolam. Berdasarkan kadar oksigen

tersebut dapat diketahui kebutuhan oksigen ikan yang akan dibudidayakan.

Manfaat ketiga adalah digunakan untuk pembuatan aerasi dan kincir. Manfaat

keempat mengantisipasi akan kebutuhan fitoplankton yang dibutuhkan ikan.


5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Praktikum Fisiologis Hewan Akuakultur materi Respirasi dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

Respirasi adalah proses masuknya oksigen ke dalam tubuh ikan melalui

organ insang secara difusi dan CO2 dilepaskan ke lingkungan perairan.

Respirasi terdiri dari dua mekanisme yaitu: fase inspirasi dan fase ekspirasi.

Fase inspirasi adalah fase dimana oksigen dan air masuk ke insang,

sedangkan fase ekspirasi adalah fase di mana air dan karbon dioksida

dilepaskan.

Respirasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: Faktor internal (umur, spesies,

kematangan seksual, ukuran dan aktivitas ikan) dan faktor eksternal (suhu,

O2, CO2, pH, dan kepadatan).

Tambahan alat pernafasan pada ikan yaitu:

1. Labirin: Tambahan alat pernafasan pada ikan mas.

2. Arborescent: Tambahan alat pernafasan pada ikan lele.

3. Kulit: Tambahan alat pernafasan pada ikan umur 1 tahun.

Aliran pernafasan ikan adalah dimana air masuk melalui mulut kemudian

mengalir melalui insang.

Hubungan antara suhu dan respirasi, yaitu:

1. Suhu air mempengaruhi laju respirasi ikan. Semakin tinggi suhu,

semakin tinggi aktivitas operkulum dan kebutuhan oksigen.

2. Laju pernapasan ikan. Semakin rendah suhu, semakin sedikit respirasi

ikan dan semakin lambat pergerakan operkulum, semakin rendah

kebutuhan oksigen.
Tujuan dari respirasi adalah untuk menyeimbangkan O 2 dan CO2 dalam

tubuh.

5.2 Saran

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Respirasi yang

dilaksanakan secara daring. Keseluruhan praktikum sudah cukup berjalan

dengan baik dan tim asisten juga sudah berusaha sebaik mungkin dalam

mempersiapkan dan menjalankan praktikum daring ini, mengingat kondisi

pandemi yang terjadi diluar kemampuan. Regulasi toleransi permasalahan terkait

jaringan, mungkin tim asisten bisa menyediakan jalan tengah bagi praktikan yang

memang benar-benar ada kendala pada sinyal. Kendala dari sinyal adalah

permasalahan diluar kemampuan dan kekuasaan praktikan. Mengingat juga tidak

semua praktikan tinggal di wilayah yang jaringannya memadai.


DAFTAR PUSTAKA

Akbulut, N. E. (2002). The plankton composition of Lake Mogan in Central


Anatolia, 27(1), 107-116.
https://doi.org/10.1080/09397140.2002.10637946
Coche, A. G., Munir, J. F. & Laughlin, T. (1997). Management for Freshwater
Fish Culture: Ponds and Water Practices. Food and Agriculture
Organization of the United Nation. Rome. 233 hlm.
Mahyuddin, K. (2008). Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya:
Jakarta. hlm 12.
Murtidjo, B. A. (2001). Beberapa Metode Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius:
Yogyakarta. 108 hlm.
Rahardjo, M. F., Sjafei, D. S., Affandi, R. & Sulistiono. (2011). Ikhtiologi. CV
Lubuk Agung: Bandung. 396 hlm.
Sahetapy, J. M. F. (2013). Pengaruh perbedaan voume air terhadap tingkat
konsumsi oksigen ikan nila (Oreochromis sp.). Jurnal Triton, 9(2), 127-
130.
Saputra, H. M., Marusin, N. & Santoso, P. (2013). Struktur histologis insang dan
kadar hemoglobin ikan Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di danau
Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas. 2(2), 138- 144.
Siagian, M. & Simarmata, A. H. 2015. Profil vertikal oksigen terlarut di Danau
Oxbow Pinang Dalam, Desa Buluh Cina-Siak Hulu, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau. Jurnal Akuatika. 6(1), 87-94.
Sianipar, H. F. (2021). Fisiologi biota air. Tasikmalaya: Perkumpulan Rumah
Cemerlang Indonesia. 89 hlm.
Solikhah, T. & Widyaningrum, T. (2015). Pengaruh surfaktan terhadap
pertumbuhan dan histopatologi insang ikan nila Oreochromis niloticus)
sebagai materi pembelajaran siswa SMA kelas X. JUPEMASI-PBIO. 2(1),
248-255.
Stoss, J. (1983). Fish gamete preservation and spermatozoan physiology. In: W.
S. Hoar, D. J. Randall and E.M. Donaldson (Eds). Fish Physiology. 9B.
Academic Press, New York. https://doi.org/10.1016/S1546-
5098(08)60306-4
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Praktikum

a. Jumlah Bukaan Operkulum (B)

ULANGAN
MEJA ∑ BUKAAN OPERKULUM RATA-RATA
1 2 3
1 55 65 54 174 58
2 146 137 88 371 123,6
3 131 117 141 389 129

b. Tabel DO (B)

PERLAKUAN DO0 DOt BERAT TUBUH ∆DO


MEJA
SUHU (mg/l) (mg/l) IKAN (gr) (mg/l)
1 15°C 6,8 4,6 4 0,55
2 25°C 4,7 4,1 7 0,08
3 35°C 2,7 4,5 7 0,25
Lampiran 2. Dokumentasi

Siapkan alat dan bahan yang Berikan es pada toples pertama yang
digunakan berisi air ¾ bagian untuk pelakuan air
dingin dan ukur suhu pada toples
dengan thermometer Hg

Beri air panas pada toples kedua Masukkan Ikan Nila pada toples
yang berisi air ¾ bagian untuk pertama dengan perlakuan air dingin
perlakuan air hangat dan ukur suhu dan diadaptasikan selama 5 menit
pada toples dengan thermometer Hg

Masukkan Ikan Nila pada toples Ukur DO awal menggunakan DO


kedua dengan perlakuan air hangat meter pada kedua toples
dan diadaptasikan selama 5 menit

Tutup kedua toples perlakuan dingin Hitung bukaan operkulum ikan selama
dan hangat dengan plastik dan karet 10 menit dengan handtally counter
gelang pada kedua toples dan ulangi
sebanyak 3 kali
Hitung konsumsi DO pada setiap
Ukur DO akhir dengan DO meter perlakuan dan didapatkan hasil
Lampiran 3. Terminologi

Arborescent : Alat pernafasan tambahan pada ikan lele (Clarias sp.).

Aerob : Sebuah reaksi katabolisme yang memerlukan suasana


aerobik dengan proses keberadaan oksigen sangat
dibutuhkan yang menghasilkan energi dengan jumlah
yang besar.

Dissolved : Jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari


fotosintesis dan absorbs atmosfer.
Oxygen

Fase ekspirasi : Keluarnya CO2 dari dalam tubuh.

Fase inspirasi : Masuknya O2 dalam tubuh.

Fitoplankton : Plankton berjenis tumbuhan yang mampu


berfotsintesis dan menghasilkan oksigen.

Fotsintesis : Salah satu cara tumbuhan untuk menghasilkan


makanan satu energi.

Labirin : Alat pernafasan tambahan pada ikan berupa lipatan


epithelium.

Metabolisme : Pertukaran zat antara suatu sel atau suatu organisme


secara keseluruhan dengan lingkungannya.

Respirasi : Proses pertukaran O2 dan CO2 yang terjadi di alat


pernafasan.
BUKU KERJA PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

SISTEM PENCERNAAN

Disusun oleh: Kelompok 12

Deandra Ayu Zuraida 205080500111036


Ricard Heru Prayoga 205080500111043
Imroatus Sholihatil Fajriyah 205080500111052
Yosepin Novita Siagian 205080500111057
Elnath Brahmantio 205080501111007
Alif Azzam Faudzil Adhim 205080501111010
Elsa Syafi`Ul Umma 205080501111014
Lailatul Munawaroh D. K. W. 205080501111033
Rahmawanda Dwi Kurnianti 205080507111007
Abiyyu Fadhlullah 205080507111009
Ainur Rofiq Aprila 205080507111021

Nama Asisten: Muhammad Deni Prasetiyo

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pakan merupakan salah satu komponen penting dalam kegiatan budidaya

ikan. Pakan juga merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan

dan kelangsungan hidup ikan. Sumber materi dan energi dari pakan yang

digunakan untuk menopang kelangsungan hidup serta pertumbuhan ikan

merupakan komponen terbesar (50-70%) dari biaya produksi (Yanuar, 2017).

Salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi pakan adalah tingkat kecernaan

pakan oleh ikan. Tingkat kecernaan pakan oleh ikan bergantung pada jenis atau

spesies serta lingkungan.

Pencernaan menurut Hartono, et al. (2015), merupakan proses yang

terjadi di dalam saluran pencernaan dengan memecah makanan menjadi

bagian-bagian yang lebih sederhana. Pemecahan senyawa kompleks menjadi

senyawa sederhana dapat diabsorpsi melalui dinding saluran pencernaan.

Senyawa ini kemudian masuk ke dalam darah dan diedarkan keseluruh tubuh.

Proses ini dilakukan karena ikan membutuhkan materi (nutrien) dan energi

untuk bertahan hidup. Nutrien yang dibutuhkan dalam hal ini berupa protein,

lemak dan karbohidrat.

Sistem pencernaan sama pentingnya dengan makanan yaitu untuk

bertahan hidup pada hewan. Karakteristik anatomi dari sistem pencernaan ini

tergantung pada makanan. Karakteristik anatomi juga bergantung pada habitat

dan kandungan nutrisi pada organisme. Morfologi saluran pencernaan ikan

menjelaskan bagaimana makanan diperoleh dan dicerna oleh ikan (Nawulawa

et al., 2013). Proses pencernaan makanan dipercepat oleh enzim pencernaan.

Enzim ini dihasilkan oleh kelenjar pencernaan. Sekresi enzim yang dihasilkan
oleh kelenjar pencernaan berasal dari hati, kantong empedu, lambung, dan

usus. Saluran pencernaan pada ikan secara umum dari awal hingga akhir yaitu

mulut, rongga mulut, pharynx, esophagus, lambung, pylorus, usus dan anus.

Daya cerna ikan nila (Oreochromis niloticus) atau ikan omnivora selama

5-6 jam. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Wicaksono, et al. (2013).

Penelitian tersebut menyatakan bahwa jumlah feses terbanyak terdapat pada

usus setelah pemberian pakan selama 5-6 jam. Nilai kecernaan suatu bahan

makanan atau suatu makanan sangat penting sebagai dasar dalam menilai

mutu makanan. Disamping itu, nilai kecernaan dapat menggambarkan

kemampuan ikan dan kualitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh ikan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengenali dan menjelaskan

organ-organ sistem pencernaan dan mengetahui sistem pencernaan, mengetahui

daya cerna ikan dan menghitung waktu pengosongan lambung.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa) mengetahui

dan dapat menjelaskan mekanisme pencernaan, mengerti cara penentuan daya

cerna ikan tehadap makanan dan waktu pengosongan lambung serta faktor-

faktor yang mempengaruhinya.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Sistem Pencernaan

dilaksanakan pada hari Minggu, 14 November 2021 melalui video conference

Google Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pencernaan

Burhanuddin (2014), menyatakan bahwa mencerna makanan

merupakan suatu proses di dalam tubuh organisme yang mengubah atau

menyederhanakan bahan-bahan makanan agar dapat diserap oleh dinding usus

sehingga berguna bagi tubuh. Pencernaan adalah proses pemecahan

komponen makanan berupa karbohidrat, protein dan lemak yang dikonsumsi

oleh organisme dari bentuk kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana.

Pencernaan makanan dapat terjadi secara mekanis dengan bantuan gigi atau

penggantinya dan secara kimia dengan bantuan enzim pencernaan

atausenyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme.

2.2 Fungsi Saluran Pencernaan

Beberapa fungsi saluran pencernaan diantaranya yaitu:

Mendorong atau mengaduk isi dari gastrointestin (Burhanuddin, 2014).

Mensekresi cairan-cairan pencernaan (Setiawati et al., 2013).

Mencerna makanan (Ahmadi et al., 2012).

Mengabsorbsi makanan (Ahmadi et al., 2012).

2.3 Urutan Saluran Pencernaan Ikan

Fungsi dari masing-masing saluran pencernaan ikan menurut

Burhanuddin (2014), yaitu sebagai berikut:

1. Mulut berfungsi sebagai alat untuk mengambil dan menghisap makanan.

2. Rongga mulut berfungsi untuk mempermudah jalannya makanan ke

saluran pencernaan berikutnya, penerima rasa dan penyeleksi makanan


3. Faring, pada ikan herbivora berfungsi sebagai penyaring plankton.

Faring pada ikan karnivora dan omnivora berfungsi sebagai penghalus

makanan karena terdapat gigi faring. Lapisan permukaan faring hampir

sama dengan rongga mulut, masih ditemukan organ pengecap

(paringeal).

4. Esofagus berfungsi sebagai alat untuk menelan makanan dan

penyerapan garam melalui difusi (ikan air laut).

5. Lambung berfungsi sebagai penampung makanan dan mencerna

makanan secara kimiawi. Lambung pada ikan herbivora terdapat gizard

(lambung khusus) berfungsi untuk menggerus makanan (pencernaan

secara fisik). Lambung ditutupi oleh sel mukus yang mengandung

mukopolisakarida yang agak asam sebagai pelindung dinding lambung

dari kerja asam klorida.

6. Pilorus berfungsi sebagai katup pengatur pengeluaran makanan dari

lambung menuju usus. Beberapa ikan memiliki pyloric caeca sebagai

perluasan bidang untuk penyerapan sari makanan.

7. Usus berfungsi sebagai tempat penyerapansari-sari makanan dan

kemudian diedarkan melalui darah.

8. Rektum berfungsi sebagai tempat penyerapan air dan ion-ion sehingga

feses ikan lebih padat.

9. Kloaka berfungsi sebagai tempat berakhirnya saluran pencernaan dan

saluran urogenital. Ikan bertulang sejati tidak memiliki kloaka,

sedangkan ikan bertulang rawan memiliki kloaka.

10. Anus merupakan ujung saluran pencernaanyang berfungsi sebagai

tempat pengeluran feses.

2.4 Organ Pencernaan


Organ pencernaan merupakan organ yang menghasilkan enzim untuk

proses pencernaan. Adapun organ pencernaan meliputi:

1. Lambung

Fujaya (2008), menyatakan bahwa di dalam lambung menghasilkan

beberapa enzim antara lain:

HCl berfungsi untuk memecah jaringan (makanan),

mempertahankan osmolaritas lambung, mengaktifkan pepsinogen

menjadi pepsin, menurunkan pH sesuai dengan aktivitas enzim

pepsin dan mencegah pertumbuhan bakteri.

Enzim pepsin berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.

2. Hati dan Kantung Empedu

Hati berwarna merah kecoklatan, letaknya di bagian depan rongga

badan dan meluas mengelilingi usus. Hati mempunyai saluran empedu

yang menuju ke dalam kantong empedu. Hati berfungsi sebagai tempat

metabolism karbohidrat, protein dan lemak serta memproduksi cairan

empedu. Kantung empedu (vesica velea) berfungsi menampung cairan

empedu yang disekresikan oleh organ hati (Burhanuddin, 2014).

3. Pankreas

Letak pankreas berada setelah lambung dan enzim yang diekskresikan

menuju usus. Pankreas menurut Fujaya (2008), menghasilkan beberapa

enzim antara lain:

Enzim proteolytic berfungsi untuk melanjutkan dan menguraikan

protein yang dimulai dari lambung oleh pepsin.

Enzim amylolytic berfungsi untuk menguraikan ikatan polisakarida.

Enzim lipolytic berfungsi untuk menguraikan 2 ikatan triasilgliserol

menjadi 2 asam lemak bebas dan 1 monogliserol. Enzim lipolytic


dibagi menjadi 3:

a. Enzim tripsin berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.

b. Enzim amilase berfungsi untuk menguraikan ikatan

polisakarida.

c. Enzim lipase berfungsi untuk menguraikan lemak menjadi

asam lemak melalui pemecahan ikatan ester.

4. Usus

Driskell (2008), menyatakan bahwa enzim di dalam usus terdiri dari:

Enzim phosphatase alkaline berfungsi untuk melepas fosfat dari

komponen organik seperti protein.

Enzim tri peptidase berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.

Enzim sellulase, amilase berfungsi untukmenguraikan dekstrin

(polisakarida). Enzim sellulase lebih banyak ditemukan pada ikan

herbivora, sedangkan enzim amilase lebih banyak ditemukan pada

ikan karnivora dan omnivora.

2.5 Prinsip Pencernaan

Prinsip pencernaan berdasarkan mekanismenya dibagi menjadi dua

menurut Zidni, et al. (2018) antara lain:

Pencernaan secara mekanik

Proses pencernaan bahan makanan secara mekanik atau fisik

dimulai dari bagian rongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi dalam

proses pemotongan dan penggerusan makanan.

Pencernaan secara kimiawi

Proses pencernaan secara kimiawi dipercepat oleh sekresi kelenjar

pencernaan, seperti lambung dan usus. Kelenjar pencernaan ini


menghasilkan enzim pencernaan yang berguna dalam membantu proses

penghancuran makanan.

2.6 Proses Pencernaan

Proses pencernaan menurut Fujaya (2008), terdiri dari 3 proses meliputi:

Pencernaan Karbohidrat

Pencernaan karbohidrat dimulai pada lambung. Hal ini dikarenakan ikan

tidak memiliki air liur. Makanan didalam lambung akan bercampur dengan enzim

amilase yang mengubah pati menjadi dekstrin, kemudian dari lambung

makanan akan masuk ke usus. Amilase pada pankreas memecah pati menjadi

disakarida. Enzim laktase dalam usus mengubah disakarida menjadi galaktosa

dan fruktosa. Galaktosa dan fruktosa pada dinding usus diubah menjadi glukosa.

Terdapat pula enzim sellulase (mengubah sellulosa menjadi sellobiose),

kemudian oleh enzim sellobiase (sellobiose dihidrolisis menjadi glukosa). Bentuk

glukosa pada karbohidrat dapat diserap oleh sel dinding usus (entrocyte).

Pencernaan Protein

Pencernaan protein dimulai di lambung ditandai dengan adanya enzim

pepsin yang mengubah protein menjadi peptida. Peptida dihidrolisis menjadi

oligopeptida oleh enzim tripsin disegmen usus, selanjutnya oligopeptida

dihidrolisis oleh enzim peptidase menjadi asam amino.

Pencernaan Lemak

Pencernaan lemak dimulai dari lambung, triasilgliserol dalam makanan

mengalami emulsifikasi di usus. Lipase pankreas mengubah triasilgliserol dalam

usus menjadi 2 asam lemak dan 1 monoasilgliserol.

2.7 Digestibility

Geremew, et al. (2015), menyatakan bahwa digestibility merupakan


banyaknya nutrisi pakan yang mampu dicerna di dalam pencernaan. Daya cerna

makanan yang semakin tinggi menunjukan semakin banyak nutrisi yang diserap.

Pengetahuan tentang gizi bagi daya cerna sangat penting karena dapat

mengetahui potensi bahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan.

2.8 Faktor yang Mempengaruhi Digestibility

Cepat lambatnya proses digestibility yang terjadi pada ikan dipengaruhi

oleh dua faktor menurut Boangmanalu, et al. (2016) antara lain:

● Faktor Internal: kondisi fisiologis ikan, stadia, umur, jenis kelamin dan

jenis ikan (herbivora, karnivora, omnivora).

● Faktor Eksternal: kondisi lingkungan, komposisi pakan, waktu dan

frekuensi pemberian pakan serta padat tebar.

2.9 Gastric Evacuation Time (GET)

Rogge dan Taft (2010), menyatakan bahwa Gastric Evacuation Time (GET)

adalah waktu yang dibutuhkan perut atau lambung untuk mengosongkan

pencernaan hingga dikeluarkannya feses pertama kali. Waktu pengosongan

lambung pada ikan berhubungan dengan frekuensi pemberian pakan. Frekuensi

pakan dan komposisi pakan merupakan hal yang berpengaruh pada GET.

2.10 Faktor yang Mempengaruhi Gastric Evacuation Time (GET)

Faktor yang mempengaruhi GET menurut Rogge dan Taft (2010), terdiri

atas 2 faktor yaitu:

1. Faktor internal: umur ikan, organ pencernaan, digestibility, kondisi fisiologi

ikan, dan ukuran ikan.

2. Faktor eksternal: jenis pakan, waktu pemberian pakan, dan suhu.


2.11 Hubungan Gastric Evacuation Time (GET) dan Digestibility

Currie, et al. (2015), menyatakan bahwa Gastric Evacuation Time (GET)

merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan cepat lambatnya GET

menunjukkan efektivitas pakan yang diserap. Proses pencernaan termasuk

sebuah fase dimana sebagian besar makanan dicerna dan kemudian sisa

makanan dikeluarkan secara perlahan sebagai feses. Hubungan Gastric

Evacuation Time dan digestibility adalah ketika digestibility tinggi, maka GET

akan semakin cepat, sedangkan ketika digestibility rendah maka GET akan

semakin lama.

2.12 Jenis Pakan

Pakan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu pakan alami, pakan buatan,

dan pakan tambahan.

Pakan alami: pakan yang berasal dari alam. Contoh: fitoplankton dan

zooplankton (Setyawan et al., 2014).

Pakan buatan: pakan yang sengaja dibuat, misal oleh pabrik tertentu yang

kadar nutrisinya sudah ditentukan. Contoh: pelet (Niode et al., 2017).

Pakan tambahan: pakan yang hanya diberikan sebagai alternatif atau

tambahan nutrisi. Contoh: keong mas, bekicot, daun pepaya (Roy, 2013).
3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsi

a. Digestibility

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan Digestibility adalah:

Toples kapasitas 5L : Untuk wadah media objek yang akan diamati

Akuarium : Untuk wadah ikan nila (Oreochromis niloticus)

Timbangan digital : Untuk menimbang dengan ketelitian 0,01

Sectio set : Untuk membedah ikan yang diamati

Kaca arloji : Untuk menimbang feses ikan dan pakan ikan

Desikator : Untuk menghilangkan uap pada sampel

Oven : Untuk mengeringkan sisa pakan basah

Loyang : Untuk wadah feses dan pakan ikan saat di oven

Beaker glass : Untuk wadah ikan saat ditimbang metode basah

Stopwatch : Untuk menghitung waktu pengamatan

Aerator : Untuk penyedia gelembung O2 dalam air

T aerator : Untuk penyambung selang aerator

Selang aerator : Untuk penghubung udara dari aerator

Batu aerator : Untuk penghasil udara

Kain lap : Untuk membersihkan alat dan bahan setelah

dipakai

Nampan : Untuk tempat alat dan bahan

Seser : Untuk mengambil ikan

Saringan teh : Untuk menyaring feses dan pakan basah di


akuarium

Kabel roll : Untuk menghubungkan arus listrik

Kamera digital : Untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum

Gunting : Untuk memotong lambung ikan

Pinset : Untuk membantu mengambil organ pencernaan

Cutter : Untuk membedah ikan

Kalkulator : Untuk menghitung hasil digestibility dan GET

Selang sifon : Untuk mengambil feses ikan

b. Gastric Evacuation Time (GET)

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan Gastric Evacuation Time (GET) adalah:

Toples Kapasitas 5L : Untuk wadah air ikan nila (Oreochromis niloticus)

Bak : Untuk wadah ikan sementara

Akuarium : Untuk wadah air ikan nila sebelum pengamatan

Timbangan digital : Untuk menimbang feses ikan

Sectio set : Untuk membantu membedah ikan

Kaca arloji : Untuk alas penimbang feses dan pakan ikan

Stopwatch : Untuk menghitung waktu pengamatan

Aerator : Untuk penghasil gelembung O2 di dalam air

T aerator : Untuk menyambung selang aerator

Selang aerator : Untuk penghubung udara dari aerator

Batu aerator : Untuk penghasil udara

Kain lap : Untuk membersihkan alat dan bahan setelah

dipakai

Nampan : Untuk tempat alat dan bahan praktikum


Seser : Untuk membantu mengambil ikan

Kamera digital : Untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum

Kabel rol : Untuk penghubung arus listrik

3.1.2 Bahan dan Fungsi

a. Digestibility

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan Digestibility adalah :

Ikan Nila (Oreochromis niloticus) : Sebagai ikan yang diamati

Lumut jaring (Chaetomorfa sp.) : Sebagai pakan alami yang dipakai

Cacing sutra (Tubifex sp.) : Sebagai pakan alami yang dipakai

Trash Bag : Sebagai alas bedah ikan

Pelet : Sebagai pakan buatan

Kertas label : Sebagai penanda toples

Tisu : Sebagai pembersih alat dan bahan

Kain saring (15 cm x 15 cm) : Sebagai alas sisa pakan dan feses

ketika dioven

Kertas buram : Sebagai wadah pakan ikan

Air : Sebagai media ikan

b. Gastric Evacuation Time (GET)

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan Gastric Evacuation Time (GET) adalah :

Ikan Nila (Oreochromis niloticus) : Sebagai ikan yang diamati

Lumut jaring (Chaetomorfa sp.) : Sebagai pakan alami yang dipakai

Cacing sutra (Tubifex sp.) : Sebagai pakan alami yang dipakai

Trash Bag : Sebagai alas bedah ikan


Pelet : Sebagai pakan buatan

Kertas label : Sebagai penanda toples

Tisu : Sebagai pembersih alat dan bahan

Kertas buram : Sebagai wadah organ pencernaan

Air : Sebagai media ikan


3.2 Skema Kerja
3.2.1 Daya Cerna (Digestibility)

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Dipuasakan selama >24 jam

Toples

-Diisi air bagian


-Diberi aerasi
-Ditimbang ikan nila (Oreochromis niloticus)
-Dimasukkan ke toples

Pakan

- Ditimbang 5% dari berat tubuh ikan


Perlakuan jenis pakan:
1 = Lumut Jaring (Chaetomorfa sp.)
2 = Cacing Sutra (Tubifex sp.)
3 = Pellet
-Diberi pada ikan secara terus menerus hingga kenyang (ad
libitum)
-Ditunggu dengan lama waktu 6 jam

Kain 15 x 15 cm

-Dioven dengan suhu 100°C selama 15 menit


-Didesikator selama 15 menit
-Kain ditimbang
-Kain diletakkan dalam saringan
-Diambil sisa pakan dan feses dengan saring berbeda
-Dioven sisa pakan dan feses kemudian ditimbang
-Dihitung Digestibility dengan rumus:

Digestibility: ×100%

Keterangan:
BTM = Berat Total Makanan (gram)
= Total pakan diberikan – (sisa pakan
kering+sisa pakan di perairan)
BTF = Berat Total Feses (gram)

Hasil
3.2.2 Waktu Pengosongan Lambung (Gastric Evacuation Time)

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Dipuasakan selama >24 jam


Toples

-Diisi air bagian


-Diberi aerasi
-Diambil 4 ekor ikan dan ditimbang ikannila (Oreochromis niloticus)
-Dimasukkan ke masing-masing toples

Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 1, sebagai ikan kontrol

-Ditimbang berat tubuh


-Dibedah
-Ditimbang berat lambung
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 2, 3, 4 sebagai ikan uji

-Ditimbang berat tubuh


-Diberi pakan 5% dari berat tubuh ikan
Perlakuan jenis pakan: 1 = Lumut Jaring (Chaetomorfa sp.)
2 = Cacing Sutra (Tubifex sp.)
3 = Pellet
-Diamati selama 6 jam
-Dibedah masing-masing sesuai perlakuan ketika feses keluar pertama
kali dan ditetapkan sebagai GET x jam
-Diambil lambung dan ditimbang
-Dihitung GET dengan rumus:
Rumus Ikan yang Tidak Mengeluarkan Feses Setelah 6 jam
X (gr/jam) =

GET (jam) =

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil


4.1.1 Digestibility

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem pencernaan bagian

pengamatan Digestibility. Perbandingan data yang digunakan yaitu antara

kelompok 12 dan kelompok 18. Didapatkan hasil pada B meja 1 yang merupakan

milik kelompok 12, diketahui bahwa pada perlakuan pakan Lumut Jaring

(Chaeotoforma sp.) memiliki total pakan 5% sebesar 0,82 g, berat kain saring

sebesar 1,7245 g, berat pakan kering sebesar 0,68 g, berat total makanan

sebesar 1,11, berat total feses 0,0106 g, dan digestibility sebesar 98,31%.

Sedangkan pada kelompok 18, diketahui bahwa pada perlakuan pakan

menggunakan Cacing Sutra (Tubifex sp.) memiliki total pakan 5% sebesar 2,33

g, berat kain saring 1,6540 g, berat pakan kering 0 g, berat total makanan 1,

berat total feses 0,0074, dan digestibility sebesar 38 %. Berdasarkan hasil

tersebut, dapat diketahui bahwa semakin tinggi nilai digestibility nya maka pakan

yang digunakan semakin mudah untuk dicerna oleh ikan.

Menurut Tran-Ngoc (2019), morfologi usus, digestibility, dan

keseimbangan nitrogen/energi jarang diukur dalam satu penelitian tunggal.

Pengukuran ini digabungkan dalam penelitian ini untuk menilai apakah

perubahan morfologi usus, yang disebabkan oleh bahan, berhubungan dengan

digestibility nutrisi dan keseimbangan nitrogen atau energi. Digestibility nutrisi

berhubungan positif dengan ketebalan sub mukosa (SM) di usus proksimal dan

tengah pada ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ketebalan SM di usus

proksimal berhubungan positif dengan kecernaan dan lipid. Perubahan morfologi

usus tidak terkait dengan digestibility nutrisi atau parameter keseimbangan


nitrogen/energi. Namun, digestibility polisakarida non-pati (NSP) adalah

pengecualian, yang berkorelasi positif dengan morfologi usus. Digestibility NSP

berkorelasi kuat dengan perubahan parameter morfologi di usus proksimal dan

distal.

Berdasarkan pengamatan perbandinganan antara kelompok 12 dan

kelompok 18 dapat disimpulkan bahwa digestibility sangat berhubungan pada

pakan yang digunakan pada ikan. Semakin tinggi nilai digestibility, maka pakan

yang digunakan menjadi semakin mudah dicerna oleh ikan. Digestibility

mempunyai hubungan dengan ketebalan SM di usus proksimal dan tengah pada

ikan nila dan ketebalan SM di usus ini juga mempunyai hubungan dengan

kecernaan dan lipid. Digestibility NSP mempunyai hubungan kuat dengan

perubahan parameter morfologi di usus proksimal dan distal pada ikan nila.

Konsentrasi NSP diet yang lebih tinggi juga terkait dengan morfologi usus pada

ikan nila.

4.1.2 Gastric Evacuation Time

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem pencernaan bagian

pengamatan Gastric Evacuation Time (GET). Perbandingan data yang digunakan

yaitu antara kelompok 12 dan kelompok 18. Didapatkan hasil pada B meja 1

yang merupakan milik kelompok 12, diketahui bahwa perlakuan pakan yang

digunakan yaitu lumut jaring (Chaetomorfa sp.), pellet, dan cacing sutera (Tubifex

sp.). Berat lambung ikan yang tidak mengeluarkan feses tidak didapatkan hasil

pada perlakuan pakan menggunakan lumut jaring, pellet, dan cacing sutra. Berat

lambung ikan kontrol pada penggunakan pakan lumut jaring, pellet, cacing sutra

tidak ditemukan hasilnya juga. Gastric Evacuation Time (GET) pada penggunaan

pakan lumut jaring berlangsung selama 228 menit. GET pada pellet berlangsung

selama 4 menit. GET pada penggunaan pakan cacing sutra berlansung selama
228 menit. Sedangkan pada kelompok 18, diketahui bahwa perlakuan pakan

yang digunakan yaitu, lumut jaring (Chaetomorfa sp.), pellet, dan cacing sutera

(Tubifex sp.), Berat lambung ikan yang tidak mengeluarkan feses pada

penggunaan pakan lumut jaring yaitu sebesar 0,3322 gr, sedangkan pada

penggunaan pakan pellet tidak didapatkan hasil, dan penggunaan cacing sutera

pun tidak ditemukan hasil. Berat lambung ikan kontrol pada perlakuan pakan

menggunakan lumut jaring didapatkan nilai sebesar 0,284 gr, sedangkan pada

pellet tidak didapatkan hasil, dan begitupun pada cacing sutra yang juga tidak

ditemukan hasil. Gastric Evacuation Time (GET) yang dibutuhkan pada

perlakuan pakan lumut jaring yaitu selama 2491 menit atau sekitar 41,5 jam,

pada perlakuan pellet selama 146 menit, dan cacing sutra selama 464 menit.

Menurut Jia (2021), konsumsi makanan berhubungan langsung dengan

kapasitas lambung yang tersedia pada vertebrata, termasuk ikan. Gastric

Evacuation Time (GET) mencerminkan kepenuhan perut pada waktu

postprandial dan membantu dalam memperkirakan frekuensi makan, anggaran

energi, dan ransum harian ikan. GET berkontribusi pada optimialisasi aturan

makan untuk budidaya ikan di penangkaran. Perlakuan diet yang berbeda

(ukuran makanan serta komposisi), ukuran ikan, dan faktor lingkungan

menghasilkan cara GET yang berbeda pada ikan budidaya yang berbeda.

Dengan demikian, pemilihan model GET yang cocok sangat penting untuk

memperkirakan konsumsi makanan ikan, pemulihan nafsu makan dan internal

makan ikan di penangkaran. Pola GET pada ikan sangat bervariasi dengan

spesies spesifik dan banyak faktor, sperti suhu lingkungan, ukuran lingkungan,

pakan udang, pakan pelet, ukuran makanan ikan, dan frekuensi pakan) dapat

berkontribusi pada variasi ini.

Berdasarkan pengamatan perbandinganan antara kelompok 12 dan

kelompok 18, dapat disimpulkan bahwa GET membantu memperkirakan


frekuensi makan, anggaran energi, dan ransum harian ikan. Penggunaan pakan

pada kelompok 12 dan kelompok 18 sama, yaitu menggunakan lumut jaring,

pellet, dan cacing sutra. GET bermanfaat pada optimalisasi aturan makan untuk

budidaya ikan. Pola GET pada ikan sangat bervariasi, frekuensi pakan yang

optimal akan meningkatkan pertumbuhan pada ikan. Selain frekuensi pakan, pola

GET dipengaruhi oleh faktor lain, seperti suhu lingkungan, dan ukuran

lingkungan.

4.2 Analisis Grafik


4.2.1 Digestibility

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem pencernaan

mengenai digestibility diperoleh hasil berbeda pada setiap kelompok. Data hasil

digestibility kelompok 12 pada B meja 1 dengan pemberian pakan lumut jaring

(Chaetomorfa sp.). Hasil digestibility yang didapatkan pada kelompok 12 yaitu

98,31%, dengan total pakan 0,82 gram, berat kain saring 1,725 gram, berat

pakan kering 0,68 gram, berat total makanan 1,11 gram, dan berat total feses

0,0106 gram. Sementara data hasil digestibility kelompok 18 pada B meja 3

dengan pemberian pakan cacing sutra (Tubifex sp.). Hasil digestibility yang
didapatkan pada kelompok 18 yaitu 38%, dengan total pakan 2,33 gram, berat

kain saring 1,6540 gram, berat pakan kering 0 gram, berat total makanan 1 gram,

dan berat total feses 0,0074 gram.

4.2.2 Gastric Evacuation Time (GET)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem pencernaan

mengenai Gastric Evacuation Time (GET) diperoleh hasil berbeda pada setiap

kelompok. Ikan pada Gastric Evacuation Time (GET) A masing-masing diberikan

pakan lumut jaring (Chaetomorfa sp.), pelet, dan cacing sutera (Tubifex sp.).

Kelompok 12 mendapatkan B meja 1 untuk dilakukan penelitian. Hasil Gastric

Evacuation Time (GET) pada kelompok 12 didapatkan bahwa ketika ikan diberi

pakan lumut jaring memerlukan waktu 228 menit hingga lambung kosong. Lama

waktu yang dibutuhkan ikan untuk mengosongkan lambung saat diberi pakan

pellet adalah 4 menit. Pemberian pakan cacing sutera pada ikan memerlukan

waktu sebanyak 228 menit hingga lambung kosong. Kelompok pembanding yaitu

kelompok 18 mendapatkan B meja 3 untuk dilakukan penelitian. Hasil Gastric

Evacuation Time (GET) dari kelompok 18 adalah ikan memerlukan waktu

sebanyak 2491 menit hingga lambung kosong saat diberikan pakan lumut jaring.
Pemberian pakan pellet memerlukan waktu 146 menit hingga lambung ikan

kosong. Pemberian pakan cacing sutra membutuhkan waktu 464 menit hingga

lambung kosong.

4.3 Hubungan Digestibility dengan GET

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem pencernaan,

hubungan digestibility dan Gastric Evacuation Time (GET) adalah berbanding

lurus. Ketika digestibility tinggi, maka Gastric Evacuation Time (GET) semakin

cepat. Saat daya serap atau daya cerna nutrisi di pencernaan tinggi, maka waktu

yang dibutuhkan perut atau lambung untuk mengekskresikan isinya akan

semakin cepat. Sebaliknya, jika digestibility rendah maka Gastric Evacuation

Time (GET) akan lambat. Saat daya cerna nutrisi pada pencernaanya rendah,

maka waktu yang dibutuhkan lambung atau perut untuk mengosongkan isinya

lebih lama.

Menurut Villarroel, et al. (2011), pemberian pakan ikan nila mendapat

pertumbuhan terbaik ketika pemberian pakan sesuai dengan waktu evakuasi

lambung. Ikan yang berpuasa satu hari dalam seminggu mengalami kenaikan

berat badan yang lebih rendah. Apabila dibandingkan dengan ikan yang diberi

makan setiap hari kenaikan berat badan lebih tinggi. Hal ini terjadi karena mereka

menerima lebih sedikit makanan secara keseluruhan. Puasa jangka pendek

dapat digunakan untuk mengurangi biaya makan dengan sedikit pengaruh pada

komposisi tubuh.

Hasil pengamatan dan literatur pembanding maka dapat disimpulkan

pada GET ikan nila (Oreochromis niloticus) salah satu faktor yang mempengaruhi

adalah jeda waktu pemberian pakan. Ikan memerlukan waktu untuk

mengosongkan lambungnya sebelum mendapat asupan, sehingga nutrisi dapat

dicerna secara optimal. Hal ini berkaitan dengan digestibility yang tinggi maka
GET semakin cepat. Karena semakin mudah dicerna, pengosongan lambung

pada ikan akan berlangsung lebih cepat. Begitu sebaliknya, apabila digestibility

rendah maka GET berlangsung lebih lambat sehingga makanan lebih sulit

dicerna.

4.4 Faktor Koreksi

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Sistem Pencernaan

didapatkan beberapa faktor koreksi. Pandemi tentu menjadi faktor terbesar yang

mengganggu jalannya praktikum, baik asisten maupun praktikan sama sama

kesulitan, sehingga kedua belah pihak perlu sama sama memahami. Praktikum

yang dilaksanakan secara online tidak bisa dipungkiri membuat asisten maupun

praktikan tidak maksimal dalam proses penyampaian dan penerimaan materi.

Kendala sinyal dan jaringan menjadi masalah yang sangat mengganggu

praktikan maupun asisten, karena itu merupakan gangguan diluar kemampuan

kita semua. Gangguan sinyal mempengaruhi konsentrasi praktikan dalam

memahami materi yang disampaikan. Keadaan wilayah karena pandemi yang

tidak menentu membuat praktikan kesulitan mencari alat dan bahan untu

praktikum mandiri.

4.5 Manfaat di Bidang Perikanan

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem pencernaan

memberikan beberapa ilmu yang dapat dimanfaatkan serta diterapkan.

Bertambahnya pengetahuan mengenai bagaimana proses sistem pencernaan,

serta organ-organ yang bekerja pada sistem pencernaan. Dapat mengetahui

jenis pakan yang tepat bagi ikan supaya dapat tumbuh dengan optimal dan

maksimal. Jenis pakan juga dilengkapi dengan penjelasan komposisi serta

takaran yang tepat sehingga lebih memberikan banyak materi yang informatif.
Tersampaikannya beberapa materi mengenai sistem pencernaan memberikan

banyak manfaat pada bidang budidaya yang dapat diambil. Mengetahui kadar

jumlah pakan sesuai yang dapat menunjang sistem pencernaan ikan serta

memperoleh nilai efisiensi pakan yang baik.


5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Praktikum Fisiologis Hewan Akuakultur materi Sistem Pencernaan dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

Pencernaan adalah proses pemecahan komponen makanan berupa

karbohidrat, protein dan lemak yang dikonsumsi oleh organisme dari bentuk

kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana.

Fungsi dari saluran pencernaan, yaitu mendorong atau mengaduk isi dari

gastrointestin, mensekresi cairan-cairan pencernaan, mencerna makanan,

mengabsorbsi makanan.

Terdapat beberapa organ pencernaan yang ada pada ikan, antara lain

lambung, hati. kantung empedu, pankreas, dan usus. Berdasarkan

mekanismenya prinsip pencernaan dibagi menjadi dua secara mekanik dan

secara kimiawi. Proses pencernaan bahan makanan secara mekanik atau

fisik dimulai dari bagian rongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi dalam

proses pemotongan dan penggerusan makanan. Sedangkan proses

pencernaan secara kimiawi dipercepat oleh sekresi kelenjar pencernaan

contohnya ada lambung dan usus.

Digestibility adalah banyaknya nutrisi pakan yang mampu dicerna di dalam

pencernaan. Daya cerna makanan yang semakin tinggi menunjukan

semakin banyak nutrisi yang diserap. Faktor yang dapat mempengaruhi

digestibility ada 2, faktor internal dan eksternal. Pada faktor internal ada

kondisi fisiologis ikan, stadia, umur, jenis kelamin dan jenis ikan (herbivora,

karnivora, omnivora). Pada faktor eksternal ada kondisi lingkungan,

komposisi pakan, waktu dan frekuensi pemberian pakan serta padat tebar.
Gastric Evacuation Time (GET) adalah waktu yang dibutuhkan perut atau

lambung untuk mengosongkan pencernaan hingga dikeluarkannya feses

pertama kali. Faktor yang mempengaruhi GET ada 2, internal dan

eksternal. Pada faktor internal ada umur ikan, organ pencernaan,

digestibility, kondisi fisiologi ikan dan ukuran ikan. Pada faktor eksternal ada

jenis pakan, waktu pemberian pakan dan suhu.

Pakan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu alami, buatan, dan tambahan.

5.2 Saran

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Sistem Pencernaan yang

dilaksanakan secara daring. Keseluruhan praktikum sudah cukup berjalan

dengan baik dan tim asisten juga sudah berusaha sebaik mungkin dalam

mempersiapkan dan menjalankan praktikum daring ini, mengingat kondisi

pandemi yang terjadi diluar kemampuan. Regulasi toleransi permasalahan terkait

jaringan, mungkin tim asisten bisa menyediakan jalan tengah bagi praktikan yang

memang benar-benar ada kendala pada sinyal. Kendala dari sinyal adalah

permasalahan di luar kemampuan dan kendali praktikan. Mengingat juga tidak

semua praktikan tinggal di wilayah yang jaringannya memadai.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, H., Iskandar & Kurniawati, N. (2012). Pemberian probiotik dalam pakan
terhadap pertumbuhan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) pada
pendederan II. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(4), 99-107.
Boangmanalu, R., Wahyuni, T. H. & Umar, S. (2016). Kecernaan bahan kering,
bahan organik dan protein kasar langsung yang mengandung tepung
limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) sebagai subsitusi tepung
ikan pada boiler. Jurnal Peternakan Integratif, 4(3), 329-340.
https://doi.org/10.32734/jpi.v4i3.2809
Burhanuddin, A.I. (2014). Ikhtiologi, Ikan dan Segala Aspek Kehidupannya.
Deepublish: Yogyakarta.
Currie, K., Lange, B., Herbert, E. W., Harris, O. J. & Stone, D. A. J. (2015).
Gastrointestinal evacuation time, but not nutrient digestibility of greenlip
abalone, Haliotis laevigata Donovan, is affected by water temperature and
age. Aquaculture, 448, 219-228.
https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2015.01.037
Driskell, J. A. (2008). Nutrition and exercise concerns of middle age. CRC Press:
New York. https://doi.org/10.1201/9781420066029
Fujaya, Y. (2008). Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan.
Rineka Cipta: Jakarta.
Geremew, A. (2015). Digestibility of soybean cake, niger seed cake and linseed
cake in juvenile nile tilapia, Oreochromis niloticus L. Aquaculture
Research and Development, 6(5), 1-5.
Hartono, R., Fenita, Y. & Sulistyowati, E. 2015. Uji in vitro kecernaan bahan
kering, bahan organik dan produksin-nh3 pada kulit buah durian (Duriozi
bethinus) yang difermentasi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)
dengan perbedaan waktu inkubasi. Jurnal Sains Perternakan Indonesia,
10(2), 87-94. https://doi.org/10.31186/jspi.id.10.2.87-94
Jia, Y., Gao, Y., Jing, Q., Huang, B., Zhai, J., & Guan, C. (2021). Gastric
evacuation and changes in postprandial blood biochemistry, digestive
enzymes, and appetite-related genes in juvenile hybrid grouper
(Epinephelus moara♀× E. lanceolatus♂). Aquaculture, 530, 1-7.
Mahyuddin, K. (2008). Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya.
Jakarta
Nawulawa, V. T., Kato, C. D., Rutaisire, J., Beukes, N., Pletschke, B. & Whiteley,
C. (2013). Enzyme activity in the nile perch gut: implications to nile perch
culture. International Journal of Fisheries and Aquaculture, 5(9), 221-228.
Niode, A. R., Nasriani & Irdja, A. M. (2017). Pertumbuhan dan kelangsungan
hidup benih ikan nila (Oreochromis niloticus) pada pakan buatan yang
berbeda. AKADEMIKA, 6(2), 99-112.
https://doi.org/10.31314/akademika.v6i2.51
Rogge, C.M. & Taft, D. R. (2010). Preclinical Drug Development. CRC Press:
USA. Roy, R. (2013). Budi Daya Sidat. Agro Media Pustaka. Jakarta
Selatan.
Setiawati, J. E., Tarsim, Adiputra, Y. T. & S. Hudaidah. (2013). Pengaruh
penambahan probiotik pada pakan dengan dosis berbeda terhadap
pertumbuhan, kelulushidupan, efisiensi pakan dan retensi protein ikan
patin (Pangasius hypophthalmus). Jurnal Rekayasa Dan Teknologi
Budidaya Perairan, 1(2), 151-162. https://doi.org/10.31938/jsn.v4i1.70
Setyawan, T., Sugiarti, L. & Wardoyo, S. E. (2014). Kajian banyaknya pupuk
kandang terhadap perkembangbiakan kutu air (Daphnia sp.) di rumah
kaca sebagai pakan alamidalam budidaya ikan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Biologi dan Kimia, 4(1), 1-10.
Tran‐Ngoc, K. T., Haidar, M. N., Roem, A. J., Sendão, J., Verreth, J. A., &
Schrama, J. W. (2019). Effects of feed ingredients on nutrient digestibility,
nitrogen/energy balance and morphology changes in the intestine of nile
tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture Research, 50(9), 2577-2590.
Villarroel, M., Alavriño, J. M. R., & López-Luna, J. (2011). Effect of feeding
frequency and one day fasting on tilapia (Oreochromis niloticus) and
water quality. The Israeli Journal of Aquaculture, 609, 1-6
Wicaksono, R., Agustono & Lokapirnasari, W. P. (2013). Pengukuran kecernaan
lemak kasar, bahan organik dan energi pada pakan ikan nila
(Oreochromis niloticus) dengan menggunakan teknik pembedahan. Jurnal
Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 5(2), 201-204.
Yanuar, V. (2017). Pengaruh pemberian jenis pakan yang berbeda terhadap laju
pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis niloticus) dan kualitas air di
akuarium pemeliharaan. ZIRAA’AH, 42(2), 91-99.
Zidni, I., Afrianto, E., Mahdiana, I., Herawati, H. & Ibnu, B. S. (2018). Laju
pengosongan lambung ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila
(Oreochoromis niloticus). Jurnal Perikanan dan Kelautan, 9(2), 147-151.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Praktikum

a. Tabel Hasil Pengamatan Digestibility (B)

Berat Berat
Total
Perlakuan Kain pakan Digestibi-
Meja Pakan BTM BTF
Pakan Saring kering lity (%)
5% (gr)
(gr) (gr)
Lumut Jaring
1 (Chaetomorfa 00,82 1,7245 0,68 1,11 0,0106 98,31
sp.)
2 Pellet 11,82 1,794 0,53 1,23 0,0096 99,28
Cacing Sutra
3 (Tubifex sp.) 22,33 1,6540 0 1 0,0074 38

b. Tabel Hasil Pengamatan Gastric Evacuation Time (B)

Berat Lambung
Berat Lambung
Ikan yang tidak GET
Meja Perlakuan Pakan Ikan Kontrol
mengeluarkan (menit)
(gram)
feses (gram)
Lumut jaring
- - 228
(Chaetomorfa sp.)
1 Pellet - - 4
Cacing sutra
(Tubifex sp.) - - 228
Lumut jaring
- - 105
(Chaetomorfa sp.)
2 Pellet - - 99
Cacing sutra
- - 153
(Tubifex sp.)
Lumut jaring
0,3322 0,284 2491
(Chaetomorfa sp.)
3 Pellet - - 146
Cacing sutra
- - 464
(Tubifex sp.)
Lampiran 2. Dokumentasi

a. Digestibility

Siapkan ikan nila yang sudah Timbang ikan nila untuk


dipuasakan, lalu diberi aerasi pada menentukan jumlah pakan yang
toples berisi air ¾ bagian. akan diberikan.

Masukkan ikan nila ke dalam toples, Timbang pakan yang akan


yang nantinya akan diberi perlakuan digunakan sesuai dengan
pakan berbeda perhitungan 5% dari berat badan
ikan

Berikan pakan pada setiap ikan secara Masukkan kain saring ke dalam
terus menerus hingga kenyang, oven dengan suhu 100°C selama
kemudian ditunggu selama 6 jam. 15 menit.
Keringkan sisa pakan basah dan feses Timbang sisa pakan dan feses yang
ikan dengan menggunakan oven. sudah dioven.

Perhitungan hasilnya dilakukan


dengan menggunakan rumus digestibility.
b. Gastric Evacuation Time (GET)

Menyiapkan ikan nila yang sudah Masukkan tiga ikan nila pada setiap
dipuasakan, lalu diberi aerasi pada toples yang akan diberi perlakuan
toples berisi air ¾ bagian. pakan berbeda.

Lakukan pembedahan terhadap ikan


Lakukan penimbangan pada ikan nila kontrol.
keempat sebagai ikan kontrol.

Ikan nila yang ada pada toples 1, 2,


Timbang berat lambung ikan kontrol. dan 3 diberikan pakan, lalu ditunggu
selama 6 jam.

Ketika feses keluar pertama kali Ketika feses tidak keluar selama 6
selama 6 jam pengamatan, maka jam pengamatan, maka ikan dibedah
dicatat sebagai GET. untuk diambil lambungnya.
Hitung hasil akhir dengan
menggunakan rumus GET.
Ambil dan timbang lambung.
Lampiran 3. Terminologi

Absorbsi : Penyerapan ke dalam organ tertentu

Ad libtium : Metode perhitungan pemberian pakan sesuai berat tubuh

Amilase : Enzim pengurai polisakarida menjadi lebih sederhana

Desikator : Alat yang berfungsi untuk menghilangkan kadar air bahan

Digestibility : Banyaknya nutrisi pakan yang mampu dicerna di dalam


pencernaan

Ester : Senyawa organik yang terbentuk melalui penggantian satu


(atau lebih) atom hidrogen pada gugus hidroksil dengan
suatu gugus organik (biasa dilambangkan dengan R').

GET : Waktu yang dibutuhkan perut atau lambung untuk


mengosongkan pencernaan hingga dikeluarkannya feses
pertama kali.

Gastrointestin : Sebutan untuk organ lambung dan juga usus baik usus
besar maupun usus halus.

Gizard : Lambung khusus untuk menggerus makanan

Hidrolisis : Reaksi kimia dimana air akan dipecah kedalam bentuk


kation dan anionnya

Lipase : Enzim pengurai lemak menjadi asam lemak

Osmoralitas : Ukuran konsentrasi zat terlarut dalam suatu larutan

Pepsin : Enzim yang mengubah molekul protein menjadi potongan-


potongan protein (pepton)

Pepsinogen : Bentuk inaktif dari enzim pepsin

Peptida : Rangkaian asam amino yang bekerja menghasilkan protein

Peristaltik : Gerakan otot-otot yang berkontraksi untuk mendorong


makanan sepanjang saluran pencernaan
Peritonium : Membran serosa rangkap yang sebesar dalam tubuh untuk
menyangga organ di dalam rongga perut dan
melindunginya dari infeksi

Phospate : Enzim yang berperan penting untuk mengolah protein agar


alkaline bisa lebih mudah dicerna tubuh

Polisakarida : Karbohidrat yang memiliki polimer yang panjang dan


tersusun dari ratusan hingga ribuan monosakarida

Pyloric caeca : Organ pencernaan yang menghasilkan enzim untuk


membantu pencernaan pada ikan

Pilorus : katup pengatur pengeluaran makanan dari lambung menuju


usus.

Rektum : Bagian dari usus besar yang berada di bagian akhir.

Selulase : Enzim pengurai dekstrin (polisakarida)

Stadia : Penggambaran umur dalam siklus hidup

Tri peptidase : Enzim pengurai ikatan peptida

Tripsin : Enzim pengurai protein menjadi asam amino

Anda mungkin juga menyukai