Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Osmoregulasi merupakan suatu fungsi fisiologis yang membutuhkan energi,
yang dikontrol oleh penyerapan selektif ion-ion yang melewati insang dan pada
beberapa bagian tubuh lainnya dikontrol oleh pembuangan yang selektif terhadap
garam-garam. Kemampuan osmoregulasi bervariasi bergantung suhu, musim,
umur, kondisi fisiologis, jenis kelamin dan perbedaan genotip. Osmoregulasi
adalah pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan ikan
sehingga proses-proses fisiologis berjalan normal. Ikan mempunyai tekanan
osmotik yang berbeda dengan lingkungannya oleh karena itu ikan harus mencegah
kelebihan air atau kekurangan air, agar proses-proses fisiologis di dalam tubuhnya
dapat berlangsung dengan normal. Pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh pada
ikan ini disebut osmoregulasi (Isnaeni, 2006).
Tingkat osmoregulasi dipengaruhi oleh salinitas tertentu dan akan
berpengaruh terhadap tingkat osmolalitas plasma, jika salinitasnya meningkat
maka osmolalitas plasma juga meningkat sedangkan pada kapasitas
osmoregulasinya semakin besar kadar salinitas suatu perairan maka semakin kecil
nilai kapasitas osmoregulasinya. Osmoregulasi terdapat dua istilah yaitu eurihalin
dan stenohalin. Eurihalin adalah kemampuan suatu organisme terhadap keadaan
perubahan salinitas yang tinggi. Ikan yang tergolong dalam eurihalin adalah salah
satunya ikan nila. Stenohalin adalah tingkat adaptasi yang sempit terhadap
salinitas yang tinggi. Contoh organisme yang bersifat stenohalin salah satunya
adalah ikan nilam (Rahman et al., 2017).
Responnya terhadap perubahan salinitas, pengaturan air dan ion paling
sedikit terdapat dua fase. Pengaturan segera yaitu ikan mulai atau menghentikan
minum dan meningkatkan atau menurunkan aktivitas transport ion dan air yang
telah ada pada epitel osmoregulasi yang berhadapan dengan perubahan salinitas
lingkungan. Pengaturan jangka panjang melibatkan modifikasi organ-organ
osmoregulasi seperti insang, intestine dan ginjal, pada level jaringan dan sel, bila
kan berpindah ke lingkungan laut maka sel klorida tipe air tawar hilang sedangkan

Universitas Sriwijaya
sel klorida tipe air laut berdiferensiasi pada insang. Tidak ada organisme yang
hidup di air tawar tidak melakukan osmoregulasi sedangkan pada ikan air laut,
beberapa diantaranya hanya melakukan sedikit upaya untuk mengontrol tekanan
osmose dalam tubuhnya. Semakin jauh perbedaan tekanan osmose antara tubuh
dan lingkungan, semakin banyak energy metabolisme yang dibutuhkan untuk
melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, namun tetap ada batas toleransi
(Pamungkas, 2012).
Dasarnya lingkungan hidup hewan dapat dibagai menjadi lingkungan air
dan lingkungan darat. Lingkungan air masih dibedakan menjadi lingkungan air
laut dan air tawar. Sedikit sekali hewan darat yang benar-benar telah
meninggalkan lingkungan air misalnya serangga dan beberapa hewan darat yang
lain, meskipun dianggap paling berhasil beradaptasi dengan kehidupan didarat
namun hidupnya sedikit banyak masih berhubungan langsung dengan air tawar.
Kebanyakan hewan selain serangga, hidup didalam air atau sangat tergantung
pada air. Komposisi cairan tubuh kebanyakan hewan, khususnya konsentrasi
komponen utama, mereflesikan komposisi air lautan permulaan,tempat nenek
moyang hewan pertama kali muncul. Air laut mengandung sekitar 3,5% garam.
Ion utama adalah natrium,khlorida,magnesium,sulfat dan kalsium yang berada
dalam jumlah yang besar (Purnamasari dan Santi, 2017).
Jumlah kosentrasi garam di lingkungan sangat bervariasi sesuai tempat
geografisnya. Di lautan tengah dimana penguapan tinggi tidak diikuti dengan
jumlah yang sama masuknya air tawar dari sungai, maka lautan tengah memiliki
kandungan garam mendekati 4%. Dilain daerah khussunya di daerah
pesisir,kandungan agak rendah dibandingkan dengan lautan terbuka,tetapi jumlah
relative ion-ion terlarut agak konstan (Taufik dan Kusrini, 2006).

1.2. Tujuan Praktikum


Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui batas kisaran salinitas organisme
air tawar.

Universitas Sriwijaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Osmoregulasi Pada Hewan Invertebrata


2.1.1. Osmoregulasi pada serangga
Kehilangan air pada serangga terutama terjadi melalui proses penguapan.
Hal ini dikarenakan serangga memiliki ratio luas permukaan tubuh dengan masa
tubuhnya sebesar 50 kali, bandingkan dengan mamalia yang mempunyai ratio luas
permukaan tubuh terhadap masa tubuhnya yang hanya ½ kali. Jalan utama
kehilangan air pada serangga adalah melalui spirakulum untuk mengurangi
kehilangan air dari tubuhnya maka kebanyakan serangga akan menutup
spirakelnya pada saat diantara dua gerakan pernapasannya. Cara mengatasi yang
lain adalah dengan meningkatkan impermeabilitas kulitnya yaitu dengan memiliki
kutikula yang berlilin yang sangat impermeable terhadap air sehingga serangga
sedikit sekali kehilangan air melalui kulitnya. Organ ekskretori serangga memiliki
badan Malphigi yang bersama-sama dengan saluran pencernaan bagian belakang
membentuk sistem ekskretori osmoregulatori (Taufik dan Kusrini, 2006).
2.1.2. Osmoregulasi pada Annelida
Cacing tanah seperti Lumbricus terestris merupakan regulator hiperosmotik
yang efektif. Hewan ini secara aktif mengabsorbsi ion-ion. Urine yang
diproduksinya encer, yang secara esensial bersifat hipoosmotik mendekati
isoosmotik terhadap darahnya. Diduga konsentrasi urinnya disesuaikan menurut
kebutuhan keseimbangan air tubuhnya. Homeostasis regulasi juga dilakukan
dengan pendekatan prilaku yaitu aktif dimalam hari dan menggali tanah lebih
dalam bila permukaan tanah kering (Isnaeni, 2006).
2.1.3. Osmoregulasi pada Molusca
Tubuh keong/siput memiliki permukaan tubuh berdaging yang sangat
permeable terhadap air, bila dikeluarkan dari cangkangnya maka air akan hilang
secepar penguapan air pada seluas permukaan tubuhnya. Semua keong atau siput
bernapas terutama dengan paru-paru yang terbentuk dari mantel tubuhnya dan
terbuka keluar melalui lubang kecil. Toleransi terhadap air sangat tinggi. Tekanan
osmotik cairan internal bervariasi secara luas tergantung kandungan air

Universitas Sriwijaya
lingkungannya, oleh karena itu untuk menghindari kehilangan air yang berlebih,
keong atau siput lebih aktif dimalam hari dan bila kondisi bertambah kering
(Novian et al., 2013).

2.2. Sistem osmoregulasi pada hewan Vertebrata


2.2.1. Osmoregulasi pada ikan
Ikan-ikan yang hidup di air tawar mempunyai cairan tubuh yang bersifat
hiperosmotik terhadap lingkungan, sehingga air cenderung masuk ke tubuhnya
secara difusi melalui permukaan tubuh yang semipermiabel. Bila hal ini tidak
dikendalikan atau diimbangi maka akan menyebabkan hilangnya garam-garam
tubuh dan mengencernya cairan tubuh, sehingga cairan tubuh tidak dapat
menyokong fungsi-fungsi fisiologis secara normal. Ikan laut hidup pada
lingkungan yang hipertonik terhadap jaringan dan cairan tubuhnya, sehingga
cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang dan kemasukan garam-garam.
Padahal dehidrasi dicegah dengan proses ini dan kelebihan garam harus
dihilangkan, karena ikan laut dipaksa oleh kondisi osmotik untuk
mempertahankan air, volume air seni lebih sedikit dibandingkan dengan ikan air
tawar. Tubulus ginjal mampu berfungsi sebagai penahan air. Jumlah glomerulus
ikan laut cenderung lebih sedikit dan bentuknya lebih kecil dari pada ikan air
tawar (Pamungkas, 2012).
2.2.2.Osmoregulasi pada Reptilia
Hewan dari kelas reptil meliputi ular, buaya dan kura-kura memiliki kulit
yang kerimg dan bersisik. Keadaan kulit yang kering dan bersisik tersebut
diyakini merupakan cara beradaptasi yang baik terhadap kehidupan darat, yakni
agar tidak kehilangan banyak air. Untuk lebih menghemat air, hewan tersebut
menghasilkan zat sisa bernitrogen dalam bentuk asam urat, yang pengeluarannya
hnya membutuhkan sedikit air. selain itu, Reptil juga melakukan penghematan air
dengan menghasilkan feses yang kering bahkan kadal dan kura-kura pada saat
mengalami dehidrasi mampu memanfaatkan urin encer yang dihasilkan dan
disimpan dikandung kemihnya dengan cara mereabsorbsinya (Lantu, 2010).

Universitas Sriwijaya
BAB 3
METODE PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Fisiologi Hewan ini dilaksanakan pada hari selasa tanggal 1
Oktober 2019 dari pukul 08.00 sampai dengan selesai. Bertempat di
Laboratorium Fisiologi Hewan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum antara lain timbangan analitik, gelas
ukur, gelas beker, pipet tetes, batang pengaduk dan toples. Bahan yang digunakan
dalam praktikum ini antara lain Betta splendes, Berudu katak, NaCl dan akuades.

3.3. Cara Kerja


200 ml larutan NaCl dibuat dengan konsentrasi 5%, 10%, 15% dan 25%.
Konsentrasi NaCl tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam toples yang
berbeda-beda. Hewan uji dimasukkan pada masing-masing toples. Lama waktu
dihitung dan dicatat pada setiap konsentrasi yang berbeda-beda.

Universitas Sriwijaya
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai
berikut:
4.1.1. Tabel Hasil Pengamatan Osmoregulasi Berudu

Objek Waktu mati/kelompok


(Berudu) 1 2 3 4 5
Konsentrasi 5% 26
15% 24
25% 18

4.1.2. Tabel Hasil Pengamatan Osmoregulasi Betta splendes

Objek Waktu mati/kelompok


(Betta splendes) 6 8 10
Konsentrasi 5%
15 %
25%

Universitas Sriwijaya
4.2. Pembahasan
Praktikum ini menggunakan bahan antara lain berudu dan Betta splendes
yang dimasukkan ke dalam berbagai konsentrasi NaCl. Berudu digunakan
digunakan kelompok 1-5 sedangkan Betta splendes digunakan oleh kelompok 6, 8
dan 10. Hasilnya pada Berudu antara lain waktu berudu mulai bergerak pasif
bahkan mengalami kematiannya berbeda-beda pada setiap konsentrasi NaCl. Pada
konsentrasi 5% waktu kematian berudu adalah 26 menit, konsentrasi 15% waktu
kematian adalah 24 menit dan pada konsentrasi 25% waktu kematiannya adalah
18 menit. Hasil tersebut mengartikan bahwa semakin besarnya konsentrasi NaCl
atau salinitas yang diberikan maka semakin cepat waktu kematian pada suatu
organisme. Menurut Rahman et al. (2017), salinitas di perairan menimbulkan
tekanan-tekanan osmotik yang bisa berbeda dari tekanan osmotik di dalam tubuh
organisme sehingga menyebabkan organisme tersebut harus melakukan
mekanisme osomoregulasi di dalam tubuhnya sebagai upaya menyeimbangkan
tekanan osmotik tubuh dengan osmotik lingkungan di luar tubuh.
Ikan yang digunakan pada praktikum osmoregulasi ini adalah Betta splendes
atau ikan cupang. Hasilnya juga sama seperti berudu yaitu pada konsentrasi yang
berbeda maka waktu kematiannya pun akan berbeda-beda. Ketika kami mencoba
untuk menambahkan kadar dari NaCl ke dalam air dan melihat respon dari ikan
tersebut, hasilnya adalah ikan tersebut langsung mengampang ke atas air dan tidak
memberikan gerakan apapun dan ketika kami memasukkan ikan tersebut pada air
biasa tanpa kadar NaCl, ikan tersebut kembali ke keadaan semula dan bergerak
seperti biasa. Menurut Pamungkas (2012), ikan yang tidak mampu mengontrol
proses osmoregulasi yang terjadi dalam tubuhnya akan mengalami stress dan
berakibat pada kematian. Hal ini terjadi karena tidak adanya keseimbangan
konsentrasi larutan tubuh dengan lingkungan, terutama pada saat ikan dipelihara
pada lingkungan yang berada di luar batas toleransinya. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa pada saat salinitas lingkungan tidak sesuai dengan konsentrasi garam
fisiologis dalam tubuh ikan, maka energi di dalam tubuh yang seharusnya
digunakan untuk pertumbuhan ikan digunakan untuk pertumbuhan akan
digunakan untuk penyesuaian konsentrasi dalam tubuh dengan lingkungannya
sehingga mengakibatkan proses pertumbuhan terhambat.

Universitas Sriwijaya
BAB 5
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan, maka didapatkan


beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Waktu berudu dan ikan mulai bergerak pasif bahkan mengalami kematiannya
berbeda-beda pada setiap konsentrasi NaCl.
2. Semakin besarnya konsentrasi NaCl atau salinitas yang diberikan maka
semakin cepat waktu kematian pada suatu organisme.
3. Ikan yang tidak mampu mengontrol proses osmoregulasi yang terjadi dalam
tubuhnya akan mengalami stress dan berakibat pada kematian.
4. Salinitas lingkungan yang tidak sesuai dengan konsentrasi garam fisiologis
dalam tubuh ikan mengakibatkan proses pertumbuhan terhambat.

Universitas Sriwijaya
DAFTAR PUSTAKA

Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta : Kanisius.

Lantu, S. 2010. Osmoregulasi pada Hewan Akuatik. Jurnal Perikanan dan


Kelautan. 6(1): 46-55.

Novian, S. D., Diana, R., Anggoro, S. 2013. Kebiasaan Makanan dan


Osmoregulasi sebagai Landasan Domestikasi Keong Macan. Journal of
Management of Aquatic Resources. 2(3): 249-252.

Pamungkas, W. 2012. Aktivitas Osmoregulasi, Respons Pertumbuhan dan


Energetic Cost pada Ikan yang Dipelihara dalam Lingkungan Bersalinitas.
Jurnal Media Akuakultur. 7(1): 44-50.

Purnamasari, R dan Santi, D. R. 2017. Fisiologi Hewan. Surabaya : Program Studi


Arsitektur UIN Sunan Ampel.

Rahman, S. A., Athirah, A., Asaf, R. 2017. Konsentrasi Pengenceran Salinitas


terhadap Kemampuan Osmoregulasi Ikan Capungan Banggai. Jurnal
SAINTEK Peternakan dan Perikanan. 1(1): 66-68.

Taufik, I dan Kusrini, E. 2006. Peran Hormon dan Syaraf pada Osmoregulasi
Hewan Air. Jurnal Media Akuakulltur. 1(2): 81-84.

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai