Anda di halaman 1dari 111

BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

Oleh : Kelompok 13

1. Fina Febriyani 205080500113019


2. Nova Rahma Dhiyanti 205080500113026
3. Mya dilfla iqlilla 205080501113001
4. Muhammad Fahri Mahardika 205080507113015
5. Denisa Nur Fadillah 205080507113017
6. Taryssa Sherly Sita Lorenza 205080501113021
7. Naufal Fadhlurrahman Casmadi 205080500113028
8. Monica Stefania 205080501113026
9. Albert Krisna Ferdiansyah 205080507113010
10. Yunda Arisa Azhar 205080507113004
11. Dhea Reysca Azzahra 205080500113020
12. Lambang Prastyo 205080501113003
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
BUKU KERJA PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

OSMOREGULASI

Oleh : Kelompok 13

1. Fina Febriyani 205080500113019


2. Nova Rahma Dhiyanti 205080500113026
3. Mya dilfla iqlilla 205080501113001
4. Muhammad Fahri Mahardika 205080507113015
5. Denisa Nur Fadillah 205080507113017
6. Taryssa Sherly Sita Lorenza 205080501113021
7. Naufal Fadhlurrahman Casmadi 205080500113028
8. Monica Stefania 205080501113026
9. Albert Krisna Ferdiansyah 205080507113010
10. Yunda Arisa Azhar 205080507113004
11. Dhea Reysca Azzahra 205080500113020
12. Lambang Prastyo 205080501113003
Asisten : Fifi Danita
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tekanan osmotik menurut Syakirin (2007), merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi fisiologi ikan sebagai organisme yang hidup didalam air.

Proses osmoregulasi berperan penting dalam menjaga tekanan osmotik tubuh

ikan. Upaya beradaptasi dengan lingkungannya, ikan harus mengatur

keseimbangan air dan garam dalam jaringan tubuhnya agar tidak kelebihan atau

kekurangan air.

Proses osmoregulasi menurut Amrillah, et al. (2015), terjadi juga pada

hewan perairan. Osmoregulasi merupakan upaya untuk mengontrol

keseimbangan ion-ion yang terdapat di dalam tubuhnya dengan lingkungan

melalui sel permeabel. Osmoregulasi terjadi karena perbedaan tekanan osmotik

antara cairan dalam tubuh dengan media (cairan luar tubuh). Proses

osmoregulasi ini sangat mempengaruhi metabolisme tubuh hewan perairan

dalam menghasilkan energi.

Osmoregulasi merupakan bagian penting dalam fisiologi ikan. Ikan

bertulang belakang menjaga osmolalitas cairan tubuh mereka dengan melakukan

osmoregulasi. Ikan air laut kehilangan sepertiga cairan tubuh mereka, sehingga

mereka beradaptasi dengan cara banyak minum dan mengeluarkan sedikit urin

untuk menjaga keseimbangan cairan tubuhnya. Ikan air tawar mempertahankan

keseimbangan cairan tubuh mereka dengan cara sedikit minum dan

mengeluarkan banyak urin. Insang, ginjal dan usus merupakan organ utama
osmoregulasi dan memiliki peran yang berbeda-beda untuk menjaga cairan

tubuh ikan (Wong et al., 2014).

Tekanan osmotik merupakan suatu hal yang harus dihadapi oleh

organisme yang hidup di perairan. Upaya organisme air untuk menjaga tekanan

osmotik tidak lepas dari proses osmoregulasi. Hal tersebut menyatakan bahwa

proses osmoregulasi sangat penting untuk kelangsungan hidup hewan air,

terutama untuk proses adaptasi dengan lingkungannya. Peran osmoregulasi juga

mempengaruhi proses metabolisme hewan air dalam menghasilkan energi. Ikan

memiliki beberapa organ tubuh seperti insang, kulit dan ginjal yang berperan

dalam menjaga cairan tubuh dalam osmoregulasi.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengerti dan memahami peranan

salinitas terhadap kehidupan ikan dan proses-proses fisiologis yang berkaitan

dengannya.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa) dapat mel

akukan percobaan untuk mengetahui pengaruh salinitas air (lingkungan) yang

berbeda terhadap kelangsungan hidup ikan.

1.3 Waktu dan Tempat


Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Osmoregulasi dilaksanakan

pada hari Sabtu, 13 November 2021 melalui video conference Google Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Osmoregulasi

Osmoregulasi adalah upaya yang dilakukan hewan akuatik untuk

mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam dan di luar tubuh melalui

mekanisme pengaturan tekanan osmotik sehingga proses-proses fisiologis

dalam tubuh berjalan normal (Ardi et al., 2016). Osmoregulasi terdapat proses:

1. Transpor Aktif

Transpor aktif menurut Isnaeni (2006), merupakan pergerakan zat-zat

yang membutuhkan energi. Proses ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi di

antaranya. Transpor aktif dibagi menjadi dua yaitu transpor aktif primer dan

transpor aktif sekunder. Transpor aktif primer memperoleh energi dari proses

hidrolisis ATP, sedangkan transpor aktif sekunder memperoleh energi dari

gradien elektrokimia Na+ atau H+, contohnya pompa Ca2+ pada sel otot dan

pompa Na+ dan K+ pada setiap sel. Pompa Na+ dan K+ bekerja untuk

mempertahankan Na diluar sel tetap lebih tinggi daripada di dalam sel, dan kadar

Kalium di dalam sel tetap lebih tinggi daripada diluar sel.


2. Transpor Pasif

Transpor pasif merupakan perpindahan zat tanpa memerlukan energi.

Transpor pasif dibagi menjadi dua proses, yaitu:

a. Difusi

Inayah (2016) menyatakan bahwa difusi adalah perpindahan zat dari

konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Peristiwa difusi tidak dapat terlepas

dari gradien konsentrasi yang merupakan perbedaan konsentrasi pada larutan.

b. Osmosis

Ariyanti dan Widiasa (2011) menyatakan bahwa osmosis merupakan

perpindahan zat pelarut (konsentrasi rendah) ke zat terlarut (konsentrasi tinggi)

melalui lapisan semipermeabel.

2.2 Membran Osmoregulasi


Membran osmoregulasi menurut Pudjaatmaka dan Qodratillah (2002),

diantaranya sebagai berikut:

1. Membran Permeabel adalah membran yang dapat ditembus zat pelarut

dan zat terlarut. Contoh: organ rusak.

2. Membran Semipermeabel adalah membran yang dapat ditembus

(permeabel) oleh beberapa zat. Contoh: empedu sapi.

3. Membran Impermeabel adalah membran yang tidak dapat ditembus

semua zat. Contoh: plastik, kaca, dan karet.

2.3 Pola Regulasi Ion dan Air

Pola regulasi ion dan air menurut Fujaya (2008) ada 3 macam, yakni

sebagai berikut:

1. Regulasi hipertonik atau hiperosmotik ialah pengaturan secara aktif

konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media atau

lingkungan, contoh pada ikan air tawar.

2. Regulasi hipotonik atau hipoosmotik ialah pengaturan secara aktif

konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media atau

lingkungan, contoh pada ikan air laut.


3. Regulasi isotonik atau isotonis ialah konsentrasi cairan tubuh sama

dengan konsentrasi media, misalnya ikan-ikan yang hidup pada daerah

estuari.

2.4 Toleransi Ikan atau Hewan Air terhadap Salinitas

Toleransi ikan atau hewan air terhadap salinitas menurut Ghufran dan

Kordi (2010), yaitu :

1. Eurihalin merupakan ikan yang dapat beradaptasi pada kisaran salinitas

yang cukup luas, contoh ikan bandeng (Chanos chanos), ikan nila

(Oreochromis niloticus), ikan kakap putih (Lates calcarifer) dan ikan mujair

(Oreochromis mossambica).

2. Stenohalin merupakan ikan yang mempunyai toleransi salinitas yang kecil

atau sempit, contoh ikan layang (Decapterus ruselli), ikan queen angelfish

(Holocanthus ciliaris), ikan lele (Clarias sp), ikan mas (Cyprinus carpio),

ikan zebra (Dascyllus melanurus).

2.5 Peran Organ Ikan pada Proses Osmoregulasi

Berikut beberapa organ ikan yang termasuk dalam proses osmoregulasi

ikan yakni:
1. Sel Chloride dalam insang berfungsi untuk transport dan memompa ion-

ion seperti Na+, K+, Ca+, Mg2+, Cl- (Martin et al., 2000).

2. Kulit berguna sebagai lapisan semipermeabel pada proses osmoregulasi

(Burhanuddin, 2014).

3. Ginjal pada ikan teleostei berfungsi untuk osmoregulasi. Nefron adalah

bagian ikan teleostei yang terdiri dari glomerulus untuk menyaring, dan

tubulus yang berfungsi untuk menyerap cairan dan diubah menjadi urin

(Robert, 2010).

4. Dinding usus bersifat semipermeabel yang dapat menyerap air dan ion-

ion terutama untuk menyerap ion-ion Mg (Greenwell et al., 2003).

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Proses Osmoregulasi

Faktor yang mempengaruhi proses osmoregulasi ada dua yaitu:

a. Faktor internal menurut Fujaya (1999) terdiri dari aktivitas, ukuran, umur,

genetik, spesies dan migrasi (katadromus dan anadromus).

b. Faktor eksternal menurut Boyd and Tucker (1998) terdiri dari salinitas dan

suhu.

2.7 Proses Osmoregulasi pada Ikan Air Tawar


Pamungkas (2012) menyatakan bahwa cairan tubuh ikan air tawar

mempunyai tekanan yang lebih besar dari lingkungan (hiperosmotik) sehingga

garam-garam cenderung keluar dari tubuh. Air dari lingkungan cenderung masuk

ke dalam tubuh ikan secara osmosis melalui permukaan tubuh yang bersifat

permeabel. Ikan air tawar mempertahankan keseimbangannya dengan tidak

banyak minum air, kulitnya diliputi mucus (mencegah garam masuk atau keluar

dan membantu pertukaran ion), melakukan osmosis lewat insang, produksi

urinnya encer, dan memompa garam melalui sel-sel khusus pada insang.

2.8 Proses Osmoregulasi pada Ikan Air Laut

Lantu (2010) menyatakan bahwa air laut mengandung konsentrasi garam

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan garam yang ada di tubuh ikan

(hipoosmotik). Hal ini menyebabkan air banyak keluar dari tubuh dan garam

cenderung masuk ke dalam tubuh, sehingga ikan harus menggunakan ginjalnya

untuk mengeluarkan kelebihan garam dalam bentuk urin yang pekat. Adaptasi

lain yang dilakukan yaitu ikan air laut akan banyak minum untuk menghindari

kekurangan air dalam tubuhnya.

2.8.1 Teleostei (Ikan Bertulang Sejati)

Ikan teleostei bersifat hipoosmotik terhadap air laut dan hiperosmotik

terhadap air tawar. Rahardjo et al. (2011) menyatakan bahwa ikan salmon dan

sidat ketika menghuni perairan tawar tidak banyak minum air, tetapi ketika di laut

minum air 4-15% dari bobot tubuhnya. Fungsi ginjal pun juga berubah dengan

laju filtrasi di glomerulus sangat menurun dan penyerapan kembali di tubuli ginjal
meningkat sehingga urin yang dikeluarkan turun menjadi sekitar 10% dari volume

urin di perairan tawar.

2.8.2 Hagfish

Bone and Moore (2008) menyatakan bahwa volume darah ikan hagfish

sangat isotonis terhadap air laut, sehingga tidak berosmoregulasi, melainkan

hanya terjadi regulasi ion karena komposisi Na+ dan Cl- dalam darah hagfish

sama dengan yang di air laut.

2.8.3 Elasmobranchii (Ikan Bertulang Rawan)

Affandi dan Usman (2002), menyatakan bahwa ikan elasmobranchii

menyimpan urea dan trimethilamin oxides (TMAO) di dalam darah agar cairan di

dalam tubuhnya isotonik atau sedikit hipertonik dari lingkungan. Saat

mempertahankan homoestatis ion, ikan akan mensekresikan garam (NaCl)

bukan dari insang melainkan dari rectal gland.

2.9 Sebab-Sebab Hewan Air Berosmoregulasi

Fujaya (2008), menyatakan bahwa keseimbangan antara substansi tubuh

dan lingkungan harus seimbang. Adanya membran sel permeabel sebagai

tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat. Perbedaan tekanan

osmosis cairan tubuh dan lingkungan.

2.10 Salinitas Perairan (Kadar Garam Terlarut)

Ghufran dan Kordi (2010), menyatakan bahwa berdasarkan kadar

salinitasnya, perairan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:


1. Air Tawar: 0-0,5 ppt

2. Air Payau: 0,5-17 ppt

3. Air Laut: >17 ppt

2.11 Komposisi Cairan dalam Empedu

Sheriha et al. (2014) menyatakan bahwa empedu sapi tersusun dari

beberapa komposisi diantaranya biliverdin (biru), bilirubin (kuning/urobilin), air,

kolestrol dan lemak.

2.12 Penentuan Air Bersalinitas


2.12.1 Persamaan

Larutan I = 2 ppt, larutan II = 45 ppt. Untuk membuat larutan dengan

konsentrasi 15 ppt sebanyak 10 liter dibutuhkan berapa liter dari masing- masing

larutan?

………………………………………………………………. (1)
V1 × N1 = V2 × N2

Diketahui:

N larutan I = 2 ppt

N larutan II = 45 ppt
N larutan X = 15 ppt

V larutan X = 10 liter

Jawab : V1 × N1 = V2 x N2

(V larutan X × N larutan X) = (V larutan I × N larutan I) + (V larutan II × N

larutan II)

(10 × 15) = (V larutan I × 2) + ((10 – V larutan

I) × 45) 150 = 2X + ((450 – 45X)

150 = 450 – 43X

43X = 300

X = 6,97

V larutan I =

6,97 liter V

larutan II =

10 – 6,97

= 3,02 liter

2.12.2 Rumus Bujur Sangkar

Larutan I = 2 ppt, larutan II = 45 ppt. Untuk membuat larutan dengan

konsentrasi 15 ppt sebanyak 10liter dibutuhkan berapa liter dari masing- masing

larutan?
Larutan I 2 30

15 (konsentrasi larutan yang


dibutuhkan

Larutan II 45 13 +
43
Larutan I = liter = 6,98 liter

Larutan II = liter = 3,02 liter


3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsi

a. Pengamatan Empedu

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

osmoregulasi pengamatan empedu adalah:

 Freezer : Untuk menyimpan empedu sapi agar tetap segar

 Toples 3 L : Untuk tempat media objek yang akan diamati

 Kamera digital : Untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum

 Nampan : Untuk wadah empedu yang akan ditimbang dan

sebagai wadah alat dan bahan yang akan digunakan


 Stopwatch : Untuk menghitung waktu pengamatan empedu yang

diamati selama 20 menit dalam 1 jam


 Kain lap : Untuk membersihkan meja kerja dan toples

 Gunting : Untuk memotong benang kasur

 Bak besar : Untuk wadah pengkondisian empedu setelah di

dinginkan
 Penggaris : Untuk mengukur panjangnya benang kasur dan

menghomogenkan NaCl

b. Toleransi Salinitas
Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

osmoregulasi pengamatan empedu adalah:

 Toples 3 L : Untuk tempat media objek yang akan diamati


 Kamera digital : Untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum
 Timbangan digital : Untuk menimbang NaCl dengan ketelitian 10-2
 Stopwatch : Untuk menghitung waktu pengamatan empedu

yang diamati selama 20 menit dalam 1 jam


 Kain lap : Untuk membersihkan meja kerja dan toples
 Seser : Untuk mengambil ikan di akuarium
 Aerator set : Untuk menyuplai oksigen ke dalam akuarium
 Kabel roll : Untuk menghubungkan listrik
 Beaker glass : Untuk wadah penimbangan objek yang diamati

dengan menggunakan metode basah

(penimbangan tambahan air)


 Penggaris : Untuk mengukur panjangnya benang kasur dan

menghomogenkan NaCl
 Akuarium : Untuk wadah ikan sebelum pengamatan
 Nampan : Untuk tempat alat dan bahan yang akan

digunakan

3.1.2 Bahan dan Fungsi

a. Pengamatan Empedu
Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Osmoregulasi pengamatan empedu adalah:

Empedu sapi : Sebagai objek yang akan diamati


Air tawar : Sebagai media pengamatan
Benang Kasur : Sebagai pengikat empedu sapi
Kertas Label : Sebagai penanda perlakuan
Garam grasak (NaCl) : Sebagai bahan untuk membuat air

bersalinitas
Tisu : Sebagai pembersih alat yang digunakan

b. Toleransi Salinitas

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi osmoregulasi toleransi salinitas adalah:

Ikan Nila (O. niloticus) : Sebagai objek yang akan diamati


Ikan Lele Dumbo : Sebagai objek yang akan diamati

(Clarias gariepinus)
Ikan Damsel Biru : Sebagai objek yang akan diamati

(Chrysiptera cyanea)
Trash Bag : : Sebagai wadah sisa hasil praktikum

yang tidak terpakai


Air Tawar : Sebagai media hidup objek (ikan nila (O.

niloticus) dan ikan lele dumbo (Clarias

gariepinus))yang akan diamati


Air Laut : Sebagai media hidup objek (Ikan Damsel

Biru (Chrysiptera cyanea))yang akan

diamati
Garam grasak (NaCl) : Sebagai bahan untuk membuat air

bersalinitas
Kertas label : Sebagai penanda perlakuan
Tisu : Sebagai pembersih alat yang digunakan
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Pengamatan Osmosis pada Kentang

Gelas plastik 14 OZ

- Diisi air sebanyak ¾ bagian

NaCl
- Ditimbang sesuai dengan toleransi yang diinginkan
- Dilarutkan ke dalam air

Kentang

- Ditimbang berat awal (W0)


- Dimasukkan ke dalam gelas plastik dengan
perlakuan: Meja 1 = 0 ppt
Meja 2 = 20 ppt
Meja 3 = 40 ppt
- Diamati perubahannya setiap 20 menit selama 1 jam
- Ditimbang berat akhir (Wt)

Hasil
3.2.2 Pengamatan Difusi pada Teh Celup

Gelas plastik 14 OZ

- Diisi air sebanyak ¾ bagian

Air

- Disesuaikan air dengan suhu yang diinginkan

Teh celup

- Ditimbang berat awal (W0)


- Dimasukkan ke dalam gelas plastik dengan
perlakuan: Meja 1 = 15oC
Meja 2
= 25oC
Meja 3
= 35oC
- Diamati perubahannya setiap 20 menit selama 1 jam
- Ditimbang berat akhir (Wt)
Hasil
3.2.3 Toleransi Salinitas

Toples 3L

- Diisi air sebanyak ¾ bagian

NaCl

- Ditimbang sesuai toleransi yang diinginkan


- Dilarutkan ke dalam air

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Ikan Damsel Biru (Chrysptera cyanea)
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

- Ditimbang berat awal (W0)


- Dimasukkan ikan ke dalam toples dan diberi
perlakuan: Meja 1 = 0 ppt
Meja 2 = 20 ppt
Meja 3 = 40 ppt
- Diamati perubahannya setiap 20 menit selama 2 jam
- Ditimbang berat akhir (Wt)

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil Pengamatan Empedu

Pengamatan empedu berdasarkan data Praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur materi Osmoregulasi Pengamatan Empedu didapatkan hasil meja

2B yaitu pada waktu 13.45 kondisi air keruh dan menguning dengan berat awal

327,67 gram. Waktu 14.05 kondisi air menjadi keruh, empedu memucat, dan

membesar. Waktu 14.25 kondisi air menguning, empedu memucat dan

membesar. Waktu 15.05 bilirubin semakin pekat dan empedu semakin

membesar. Waktu 15. 25 kondisi air menjadi keruh, berwarna hijau kekuningan,

dan empedu menjadi pucat dengan beart 343, 79 gram. Hasil pengamatan

empedu meja 1B pada waktu 13.50 kondisi air jernih, ukuran empedu normal

dengan berat 175 gram. Waktu 14.10 kondisi air menguning, empedu sedikit

mengembang. Waktu 14.30 air semakin keruh dan empedu lebih mengembang.

Waktu 14.50 kondisi air lebih menguning dan empedu lebih mengembang. Waktu

15.10 kondisi air semakin menguning, pekat, dan empedu semakin

mengembang. Waktu 15.30 kondisi air semakin keruh dan empedu semakin

mengembang dengan berat 183,7 gram.

Salah satu proses fisiologis pada empedu mencakup sekresi molekul air

dan penyerapan ion terutama Na . Sekresi molekul air oleh empedu diapicu oleh
+

hormon aquaporin, sedangkan penyerapan ion pada empedu oleh cotransporter

apical sodium-dependent bile acid. Empedu memiliki berbagai macam protein

untuk mengikat ion-ion yang sesuai, sehingga memiliki sifat semi permiabel.

Proses sekresi air dan penyerapan ion merupakan usaha untuk

mempertahankan keseimbangan ion dan air didalam tubuhnya. Penyerapan


mineral dan sekresi empedu berperan dalam osmoregulasi yang berdampak

pada perubahan bentuk atau ukuran dan plastisitas dari sel (Wenxia, et al.,

2019). 

Osmoregulasi perlu dilakukan untuk menjaga agar ion dan tekanan

osmotik yang ada dalam tubuh seimbang dengan lingkungan luar. Empedu

memiliki peranan penting dalam mekanisme osmoregulasi, yakni dalam

pengambilan dan pengeluaran ion dalam tubuh. Sifat empedu yang semi

permiabel menyerap ion tertentu dari luar. Data yang didapat dari meja 2B

dengan salinitas lebih besar daripada meja B, menunjukkan perubahan empedu

yang lebih besar. Air menjadi lebih cepat keruh dan ukuran empedu membesar

dikarenakan ion dalam perairan yang lebih tinggi akan masuk kedalam empedu,

sehingga pada empedu terjadi sekresi air yang menyebabkan air menjadi keruh.

Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa penyesuaian kadar ion dan tekanan

osmotik perlu dilakukan untuk mendukung berjalannya fungsi fisiologis.

4.2 Analisis Hasil Toleransi Salinitas


a. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Hasil dari praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi osmoregulasi

yang mengamati toleransi salinitas pada ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

didapati hasil dari meja 2 (B) memiliki berat akhir yang berbeda dengan awal

pengamatan. Awal pengamatan ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Berat

awalnya sebesar 2,47 gr namun pada akhir pengamatan berat akhir 2,94 gr. Dari

hasil ini dapat diartikan berat mengalami peningkatan selama kurang lebih 2 jam

pengamatan. Pukul 13.45, waktu awal pengamatan ikan lele dumbo tidak

menunjukan suatu tingkah laku yang aneh dan masih normal. Pukul 14.05

kondisi ikan lele dumbo masih sama seperti awal yaitu menunjukan tingkah laku

normal. Pukul 14.25 sampai pukul 15.25 atau akhir pengamatan ikan tidak
menunjukan perbedaan dari tingkah laku masih sama seperti awal pengamatan

ikan terlihat normal dan tidak menunjukkan tingkah laku yang aneh. Hasil yang

didapati oleh meja 1 (B), ikan lele memiliki berat akhir 2,13 gr. Berat lele dumbo

waktu awal pengamatan adalah 2,49 gr, yang artinya mengalami penurunan

berat selama kurang lebih 2 jam pengamatan. Pukul 13.48 atau waktu awal

pengamatan ikan lele masih menunjukan tingkah laku yang normal. Pukul 14.28

kondisi ikan lele dumbo masih sama seperti awal yaitu menunjukan tingkah laku

normal. Pukul 14.48 ikan mulai menunjukan perbedaan tingkah laku, yaitu

pergerakan nya mulai pasif. Pukul 15.08 ikan lele terlihat cenderung berenang di

bawah. Pukul 15.28 kondisi ikan mulai memburuk karena ikan sudah mulai

memasuki kondisi sekarat. Pukul 15.48 ikan mati disebabkan tidak bisa

mentoleransi salinitas yang ada.

Abass et al. (2016) Perubahan iklim yang sedang berlangsung akan

mengurangi pasokan air tawar, air pantai akan menjadi lebih payau dan air

payau kemungkinan akan meningkat dalam kelimpahan (EPA, 2015);

kemampuan ikan lele untuk mentolerir kualitas air yang bervariasi dapat

mempengaruhi produksi, efisiensi produksi dan lokasi di mana mereka ditanam di

masa depan. Toleransi salinitas ikan lele saluran berubah dengan tahap

perkembangan ontogenetik. Allen dan Avault (1970) melaporkan bahwa lele

dapat mentolerir salinitas 16 ppt sebagai telur, 8 ppt saat menetas, 10 ppt

setelah penyerapan kuning telur, dan 11 hingga 12 ppt dari 5 hingga 6 bulan

hingga usia yang lebih tua. Pertumbuhan, konsumsi pakan, konversi pakan dan

kelangsungan hidup benih ikan lele (42 hingga 148 hari) yang diaklimatisasi

hingga 5 ppt mirip dengan benih yang dibudidayakan di air tawar (Allen dan

Avault, 1970). Embrio mentolerir salinitas 4-6 ppt ke atas, tetapi benur mati pada

salinitas ini. Perbedaan regangan yang signifikan mungkin ada untuk toleransi
salinitas atau mungkin ada parameter kualitas air lainnya yang dapat

mempengaruhi toksisitas tingkat salinitas yang lebih tinggi.

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil percobaan dan literatur

sebagai pembanding adalah ikan lele (Clarias sp) memiliki batas sanilitas yang

sempit atau kecil bahkan saat menginjak usia dewasa. Hasil dari praktikum

menunjukan perbedaan berat di awal dan akhir setiap perlakuan. Meja 2B

memiliki berat awal 2,47 gr dan berat akhir 2,94 gr sedangkan pada meja 1B

memiliki berat awal 2,49 gr dan berat akhir 2,13 gr.  Perubahan iklim yang

sedang berlangsung akan mengurangi pasokan air tawar, air pantai akan

menjadi lebih payau dan air payau kemungkinan akan meningkat dalam

kelimpaha. Ikan lele meiliki kemampuan mentoleransi salinitas yang bervariasi.

Ikan lele dapat mentolerir salinitas 16 ppt sebagai telur, 8 ppt saat menetas, 10

ppt setelah penyerapan kuning telur, dan 11 hingga 12 ppt dari 5 hingga 6 bulan

hingga usia yang lebih tua.

b. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Pengamatan ikan nila berdasarkan data Praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur materi Osmoregulasi pengamatan ikan nila didapatkan hasil kelompok

13 meja 1 jam 13.48 dengan berat awal 11,81 gram tidak ada perubahan. Waktu

15.48 ikan nila pergerakan kembali aktif pada 11,60 gram. Perlakuan meja 2

pada waktu 13.45 tingkah laku ikan nila pergerakan pasif, ikan berubah warna

abu-abu dengan berat awal 12,16 gram. Waktu 15.05 tingkah laku ikan pasif,

ikan berubah warna memudar sedikit pucat dengan berat akhir 9,69 gram.

Perlakuan pada meja 3 pada waktu 13.55 ikan tidak ada perubahan, dengan

berat akhir 7,62 gram. Waktu 15.35 tubuh tidak seimbang atau lemas, dengan

berat akhir 7,38 gram.


Menurut Kaya, et al., (2016), mekanisme osmoregulasi dan imunoregulasi

dan sistem kekebalan masih belum diselidiki. Oleh karena itu, gangguan

osmoregulasi, parameter imun dan perubahan histopatologi dapat diselidiki pada

organ spesifik ikan nila yang terpapar ZnO NP ukuran kecil dan besar. Paparan

kecil dan besar dilakukan pada konsentrasi 1 dan 10 mg/L, dan analisis toksisitas

komparatif dilakukan antara ukuran partikel yang berbeda. Perubahan ion-ion

tersebut menunjukkan peningkatan permeabilitas insang dan gangguan

osmoregulasi. Penghambatan terjadi pada insang, dilaporkan bahwa aktivitas

enzim menyebabkan terganggunya regulasi Nath dan Clion selama paparan

polutan. Plasma Na dan ion Cl pada ikan memainkan peran kunci dalam tekanan

osmotik.

Kesimpulan dari dua paragraf Pengamatan ikan nila berdasarkan data

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur pada Osmoregulasi Pengamatan ikan nila

menunjukkan tidak ada perubahan kelompok 13 meja pada 1 jam 13:48 dengan

berat awal 11,81 gram. Pukul 15.48, pergerakan ikan nila kembali aktif di angka

11,60 gram. Perlakuan pada Tabel 3 pada 13,55 ekor ikan tidak mengalami

perubahan, dengan berat akhir 7,62 gram. Pada pukul 15.35, tubuh tidak

seimbang atau lemah, dengan berat akhir 7,38 gram. Mekanisme osmoregulasi

dan imunoregulasi serta sistem imun masih belum tereksplorasi. Paparan kecil

dan besar dilakukan pada konsentrasi 1 dan 10 mg / l dan analisis toksisitas

komparatif dilakukan antara ukuran partikel yang berbeda. Perubahan ion ini

menunjukkan peningkatan permeabilitas insang dan gangguan osmoregulasi.

c. Ikan Damsel (Chrysiptera cyanea)

Pengamatan ikan damsel berdasarkan data Praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur materi Osmoregulasi pengamatan ikan damsel didapatkan hasil

kelompok 13 yaitu pada meja 1 jam 07.59 dengan berat awal 2,14 gram dan
tingkah laku ikan nya pasif serta tubuhnya berwarna hitam. Waktu 09.59 tingkah

laku ikan damsel pasif tetapi warna ikan berubah biru keunguan dengan berat

akhir 2,10 gram. Perlakuan meja 2 pada waktu 08.00 tingkah laku ikan damsel

pasif dan tubuh ikan berubah menjadi biru dengan berat awal 2,13 gram. Waktu

10.00 tingkah laku ikan tenang warna tubuh menjadi gelap dengan berat akhir

2,02 gram. Perlakuan pada meja 3 pada jam 08.10 tingkah laku ikan normal

dengan berat awal 1,84 gram.

Menurut Sybille Hess, et al., (2017), difusi merupakan pembesaran zat

dari ruang bekonsentrasi lebih tinggi ke ruang yang berkonsentrasi lebih rendah.

Terlepas dari mekanisme yang mendasarinya, pengurangan oksigen jarak difusi

dapat meningkatkan kerentanan ikan terhadap parasit dan patogen dan dapat

mengganggu ion dan osmoregulasi. Hubungan antara difusi dengan

osmoregulasi bahwa difusi dapat meningkatkan imun atau kerentanan ikan pada

parasit dan patogen. Difusi yang tidak terkontrol dapat merugikan karena dapat

mengganggu proses osmoregulasi. Ikan yang mempunyai tekanan osmotik yang

berbeda dengan lingkungannnya harus mencegah kelebihan air atau kekurangan

air, agar proses-proses fisologis, jenis kelamin dan perbedaan genotip.

4.3 Faktor Koreksi

Adapun faktor koreksi yang ada pada praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur tentang osmoregulasi adalah:

 Praktikum dilaksanakan secara daring sehingga adapun kendalanya

adalah jaringan internet.

 Kondisi rumah maupun tempat kita sedang praktikum sangat

berpengaruh sehingga tidak kondusif.


 Praktikan mendapatkan materi hanya melalui video dan power point dari

asisten praktikum sehingga terlalu sulit untuk dipahami karena

penyampaian tidak langsung.

 Waktu untuk pretest dan posttest sangatlah kurang dikarenakan kami

para praktikan menulis tangan untuk jawabannya, sehingga adapun

kesulitan dalam mengunggah foto jawaban.

 Pada saat praktikum berlangsung praktikan sebaiknya fokus dan tidak

bermain handphone.

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan

Osmoregulasi dalam bidang perikanan memiliki beberapa manfaat

seperti, sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi fisiologi ikan sebagai

salah satu organisme yang hidup di air. Osmoregulasi juga memiliki manfaat

ganda sebagai sarana untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan oleh sel

atau organisme hidup. Osmoregulasi sangat penting pada hewan air karena

tubuh ikan bersifat permeabel terhadap lingkungan maupun larutan garam.

Berperan aktif dalam menjaga tekanan osmotik tubuh ikan, yaitu suatu hal yang

harus dihadapi oleh organisme perairan. Proses osmoregulasi sangatlah

bermanfaat bagi kelangsungan hidup hewan air, terutama dalam proses

beradaptasi dengan lingkungannya. Metabolisme hewan air dalam menghasilkan

energi juga tidak terlepas dari bantuan osmoregulasi.


5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi osmoregulasi dapat


disimpulkan bahwa:
- Osmoregulasi adalah upaya yang dilakukan hewan akuatik untuk
mengontrol keseimbangan air dan ion dalam tubuh
- Proses osmoregulasi terbagi menjadi 2
a. Traspor aktif: memerlukan energi (ATP)
b. Traspor pasif: tidak memerlukan energi
Difusi: perpindahan zat dari konsentrasi tinggi ke rendah
Osmosis: perpindahan zat dari konsentrasi rendah ke tinggi
- Membran osmoregulasi ada 3
a. Membran permeable: membran yang dapat ditembus zat pelarut dan
zat terlarut
b. Membran semipermeable: membran yang dapat ditembus oleh
beberapa zat
c. Membran Impermeabel: membran yang tidak dapat ditembus semua
zat
- Pola regulasi Ion dan air ada 3
a. Regulasi hipertonik atau hiperosmotik
b. Regulasi hipotonik atau hipoosmotik
c. Regulasi isotonic atau isotonis
- Toleransi ikan atau hewan air terhadap salinitas
a. Eurihalin: toleransi terhadap salinitas dalam kisaran yang luas
b. Stenohalin: toleransi terhadap salinitas dalam kisaran yang sempit
- Faktor yang mempengaruhi proses osmoregulasi
a. Faktor internal: aktivitas, ukuran, umur, genetic, spesies, dan migrasi
b. Faktor ekasternal: salinitas dan suhu
- Perbedaan ginjal ikan air tawar dan ikan air laut
a. Ginjal air tawar: glomerulus besar dikarenakan ginjal membutuhkan
garam daripada air
b. Ginjal air laut: glomerulus kecil dikarenakan ginjal membutuhkan air
dibandingkan garam.
- Peran organ ikan
1. Sel chloride: untuk transport dan memompa ion-ion
2. Kulit : untuk osmoregulasi, bersifat semipermeable
3. Ginjal: glomerulus untuk menyaring, tubulus untuk menyerap cairan
4. Dinding usus: bersifat semipermeable yang dapat menyerap air dan
ion-ion
- Manfaat osmoregulasi dalam budidaya
a. Untuk mengetahui jenis ikan apa yang cocok untuk dibudidaya
b. Kemajuan teknologi untuk budidaya

5.2 Saran

Berdasarkan evaluasi pada faktor koreksi praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur diketahui bahwa kendala terbesar adalah pada koneksi internet.

Penjelasan materi bisa di perlambat temponya karena terlalu cepat. Pemberian

waktu untuk pretest dan postest bisa ditambah,dikarenakan beberapa praktikan

mengalami kendala sinyal. Pada google form bisa di tambah untuk maksimal

jumlah file yang akan di uploadnya. Bagi asisten praktikum yang slowrespon

mungkin bisa lebih aktif lagi, dikarenakan praktikum kita daring maka di butuhkan

koordinasi yang lebih lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Abass, N. Y., Elwakil, H. E., Hemeida, A. A., Abdelsalam, N. R., Ye, Z., Su, B., ...
& Dunham, R. A. (2016). Genotype–environment interactions for survival
at low and sub-zero temperatures at varying salinity for channel catfish,
hybrid catfish and transgenic channel catfish. Aquaculture, 458, 140-148.

Affandi, R. & Usman M. T. (2002). Fisiologi Hewan Air. Unri Press: Pekanbaru.

Amrillah, A. M., Widyarti, S. & Kilawati, Y. (2015). Dampak stress salinitas


terhadap prevalensi white spot syndrome virus (WSSV) dan Survival
Rate Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) pada kondisi terkontrol.
Research Journal of Life Science, 2(1), 110-123.
https://doi.org/10.21776/ub.rjls.2015.002.02.5

Ardi, I., Setiadi, E., Kristanto, A. H. & Widiyati, A. (2016). Salinitas optimal untuk
pendederan benih ikan betutu (Oxyeleotris marmorata). Jurnal Riset
Akuakultur, 11(4), 339-347.

Ariyanti, D. & Widiasa, I. N. (2011). Aplikasi teknologi reverse osmosis untuk


pemurnian air skala rumah tangga. TEKNIK, 32(3), 193-198.

Bone, Q. & Moore, R. (2008). Biology of Fishes. Taylor & Francis. 128pp.
https://doi.org/10.1201/9781134186310

Boyd, C. E. & Tucker, C. S. (1998). Pond Aquaculture Water Quality


Management. Kluwer Academic Publishers, Boston, Massachusettes,
700pp. https://doi.org/10.1007/978-1-4615-5407-3

Burhanuddin, A. I. (2014). Ikhtiologi, Ikan, dan Segala Aspek Kehidupannya.


Depublish Publisher: Yogyakarta. Hlm 363-365

Fujaya, Y. (2008). Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan.


Penerbit Rineka Cipta: Jakarta.

Inayah. (2017). Pengaruh detergen terhadap respon fisiologi, laju pertumbuhan


dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila pada skala laboratorium.
Prosiding Seminar Nasional Kemaritiman dan Sumberdaya Pulau-Pulau
Kecil, 1(1), 44-50.

Isnaeni, W. (2006). Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.

Kaya, H., Aydın, F., Gürkan, M., Yılmaz, S., Ates, M., Demir, V., & Arslan, Z.
(2016). A comparative toxicity study between small and large size zinc
oxide nanoparticles in tilapia (Oreochromis niloticus): Organ pathologies,
osmoregulatory responses and immunological parameters.
Chemosphere, 144, 571-582

Kordi K., M. G. H. & A. B. Tancung. (2010). Pengelolaan Lualitas Air Dalam Budi
Daya Perairan. Rineka Cipta: Jakarta. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta.
Lantu, S. (2010). Osmoregulasi pada hewan akuatik. Jurnal Perikanan dan
Kelautan, 4(1), 46-50. https://doi.org/10.35800/jpkt.6.1.2010.117

Martin, D. J., Garske, J.P, & Davis, M. K. (2000). Relation of the therapeutic
alliance with outcome and other variables: a meta-analytic review. J.
Consult Clin Psychl, 68(3), 438-500.

Pamungkas, W. (2012). Aktivitas osmoregulasi, respons pertumbuhan dan


energetic cost pada ikan yang dipelihara dalam lingkungan bersalinitas.
Media Akuakultur, 7(1), 44-51. https://doi.org/10.15578/ma.7.1.2012.44-
51

Pudjaatmaka, A. H. & Qodratillah, M. T. (2002). Kamus Kimia. Balai Pustaka:


Jakarta.

Rahardjo, M. F., Sjafei, D. S., Affandi, R. & Sulistiono. (2011). Ikhtiologi. CV


Lubuk Agung: Bandung. 396 hlm.

Robert S. N. G. (2010). Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata


Laksana. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.

Sheriha, G. M., Waller, G. R., Chan, T., & Tillman, A. D. (1968). Composition of
bile acids in ruminants Waller. Lipids, 3(1), 72-78.
https://doi.org/10.1007/BF02530972

Susanto, H. (2009). Pembenihan dan Pembesaran Patin. Penebar Swadaya:


Jakarta.

Syakirin, M. B. (2007). Mekanisme pompa Natrium Kalium (Na + - K+) pada


osmoregulasi ikan bertulang sejati (Teleost). Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan, 1(1), 24-33.

Wenxia, C., Aijun, M., Zhihui, H., Xinan, W., Zhibin, S., Zhifeng, L., Wei, Z.,
Jingkun, Y., Jinsheng, Z., & Jiangbo, Q. (2019). Transcriptomic analysis
reveals putative osmoregulation mechanisms in the kidney of euryhaline
turbot Scophthalmus maximus responded to hypo-saline seawater.
Journal of Oceanology and Lymnology. 38(13):1-13.

Wong, M. Khwok-Shing, Ozaki, H., Suzuki, Y., Iwasaki, W. & Takei, Y. (2014).
Discovery of osmotic sensitive transcription factor in fish intestine via a
tanscriptomic approach. BMC Genomics, 15(1134), 1-13.
https://doi.org/10.1186/1471-2164-15-1134

Yusuf, D. M., Sugiharto & Wijayanti, G. E. (2014). Perkembangan post-larva ikan


nilem Osteochilus hasselti C.V. dengan polapemberian pakan yang
berbeda. Scripta Biologica, 1(3), 185-192.
https://doi.org/10.20884/1.sb.2014.1.3.40.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Praktikum

a) Pengamatan Empedu (A)

Meja Waktu Keterangan W0 Wt


(gram) (gram)
1 07.59 Air bening, warna empedu pucat. 413,85
Air sedikit menguning, empedu sedikit
08. 19 membesar, warna sedikit pucat.
Air menguning, empedu membesar dan
08.39
warnanya kuning pucat.
Air menguning, empedu masih sama
08.59
dan warna kuningnya memucat.
Air menguning, empedu sedikit
09.19 membesar dan warnanya kuning
pucat.
Air semakin menguning, empedu
09.39
sama.
Air lebih menguning, empedu
09.59 membesar dan warnanya lebih kuning 429,35
pucat.
2 07.55 Air berwarna bening. 243,04
Air mulai menguning, empedu
08.15
mengembung.
Air lebih menguning, empedu
08.35
semakin mengembung.
Air semakin menguning, empedu
08.55
berwarna pucat.
Air semakin menguning karena
09.15
bilirubin, empedu terlihat kebiruan.
Air semakin menguning, empedu
09.35
membesar.
Air berwarna sangat kuning, empedu
09.55 251,1
membesar.
3 08.00 Empedu berwarna putih. 168,95
Empedu berwarna biru dan kuning
08.20
kehijauan.
Empedu berwarna hijau pekat dan
08.40
membesar.
Air menguning, empedu membengkak
09.00
dan berwarna biru kehijauan.
Empedu mengembang dan warnanya
09.20
semakin memudar.
Empedu mengembang dan warnanya
09.40
biru kehijauan.
Empedu semakin mengembang dan
10.00 173,6
  warnanya hijau kebiruan
b) Toleransi Salinitas (A)

 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

W0 Wt
Meja Waktu Tingkah Laku (gram)
(gram)
1 07.59 Pasif, berwarna tetap, air keruh. 10,95
08.19 Pasif, berwarna tetap, air keruh.
08.39 Pasif, berwarna pucat, air keruh.
08.59 Pasif, berwarna pucat, air keruh.
09.19 Pasif, berwarna pucat, air keruh.
Pasif, berwarna pucat, lemas, air
09.39
keruh.
Pasif, berwarna pucat, lemas, air
09.59 10,99
keruh.
2 08.00 Abu tua. 8,67
08.20 Memucat, ikan stress.
08.40 Memucat, ikan sangat stress.
09.10 Semakin pucat, lemas.
09.30 Pucat sekali, gerakan melemah.
09.50 Lemas, sirip rusak.
10.10 Sekarat. 2,36
3 08.10 Banyak bergerak. 7,14
Mengambang di atas (sedikit
08.30
bergerak).
08.50 Mengembang di atas (lemas).
Ekor memerah, mata putih, lendir
09.10
terlepas.
09.30 Tubuh pucat.
09.50 Mati.
10.10 Mati. 6,77
 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

W0 Wt
Meja Waktu Keterangan
(gram) (gram)
1 07.59 Aktif, warna tetap, air keruh. 11,92
08.19 Aktif, warna tetap, air keruh.
08.39 Aktif, warna tetap, air keruh.
08.59 Aktif, warna tetap, air keruh.
09.19 Aktif, warna tetap, air keruh.
09.39 Aktif, warna tetap, air keruh.
09.59 Aktif, warna tetap, air keruh. 11.95
2 08.00 Abu Tua 12,58
08.20 Semakin Gelap
08.40 Warna Tajam
09.00 Semakin Pucat
09.20 Warna Pudar
09.40 Beradaptasi
10.00 Beradaptasi 12.46
3 08.10 Ikan Normal 10.67
08.30 Ikan Normal
08.50 Ikan Normal
09.10 Ikan Normal
09.30 Ikan Normal
09.50 Ikan Normal
10.10 Ikan Normal 99,9
 Ikan Damsel Biru (Chrysiptera cyanea)

W0 Wt
Meja Waktu Tingkah Laku
(gram) (gram)
1 07.59 Pasif, warna tubuh ikan hitam. 2,14
08.19 Aktif, warna tubuh ikan biru.
08.39 Aktif, warna tubuh ikan keunguan.
08.59 Aktif, wrna tubuh ikan biru muda.
09.19 Pasif, warna tubuh ikan biru tua.
09.39 Pasif, warna tubuh ikan biru tua.
09.59 Pasif, warna tubuh ikan biru keunguan. 2,10
2 08.00 Pasif, warna tubuh biru. 2,13
08.20 Pasif, warna tubuh hitam.
08.40 Aktif, warna tubuh biru.
09.00 Tenang, warna tubuh semakin biru.
09.20 Normal, warna tubuh semakin pudar.
09.40 Tenang, warna tubuh biru.
10.00 Tenang, warna tubuh gelap. 2,02
3 08.10 Ikan normal. 1,84
Ikan stress berubah warna menjadi
08.30
hitam.
08.50 Warna tubuh ikan hitam.
09.10 Aktif, warna tubuh ikan hitam.
Ikan stress berubah warna menjadi
09.30
hitam.
Ikan stress berubah warna menjadi
09.50
hitam.
Ikan stress berubah warna menjadi 2,37
10.10 hitam.
Lampiran 1. Data Hasil Praktikum

 Pengamatan Empedu (B)

W0 Wt
Meja Waktu Keterangan
(gram) (gram)
1 13.50 Air jernih, ukuran empedu normal. 175
Air menguning, empedu sedikit
14.10
mengembang.
Air semakin keruh, empedu lebih
14.30
mengembang.
Air lebih menguning, empedu lebih
14.50
mengembang.
Air semakin menguning dan pekat,
15.10
empedu semakin mengembang.
Air semakin keruh, empedu semakin 183,7
15.30
mengembang.
2 13.45 Air keruh dan menguning. 327,67
Air keruh, empedu memucat dan
14.05
membesar.
Air menguning, empedu memucat dan
14.25
membesar.
14.45 Air keruh, empedu membesar.
Bilirubin semakin pekat, empedu semakin
15.05
membesar.
Air keruh dan warna hijau kekuningan, 343,79
15.25
empedu memucat.
3 13.55 Tidak ada perubahan. 269,7
14.15 Air mulai keruh, empedu normal.
14.35 Air semakin keruh, empedu masih normal.
Air keruh, ukuran empedu mulai
14.55
membesar.
15.15 Air lebih keruh, empedu sedikit membesar.
15.35 Air keruh, empedu semakin membesar. 283,5
 Toleransi Salinitas (B)

 Ikan Lele Dumbo (Clarias Glariepinus)

Meja Waktu Tingkah Laku W0 (gram) Wt (gram)


13.48 Tidak ada 2,49
1
perubahan
14.08 Tidak ada
perubahan
14.28 Tidak ada
perubahan
14.48 Ikan bergerak pasif
15.08 Cenderung berada
di bawah
15.28 Ikan mulai sekarat
15.48 Ikan mati 2,13
13.45 Tidak ada 2,47
2
perubahan
14.05 Tidak ada
perubahan
14.25 Tidak ada
perubahan
14.45 Tidak ada
perubahan
15.05 Tidak ada
perubahan
15.25 Tidak ada 2,94
perubahan
13.55 Tidak ada 3,11
3
perubahan
14.15 Tidak ada
perubahan
14.35 Tidak ada
perubahan
14.55 Tidak ada
perubahan
15.15 Tidak ada
perubahan
15.35 Tidak ada 3,37
perubahan
 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Meja Waktu Tingkah Laku W0 Wt


(gram) (gram)
1 13.48 Tidak ada perubahan. 11,81
14.08 Tidak ada perubahan.
14.28 Pergerakan pasif.
14.48 Berenang di dasar.
15.08 Pergerakan pasif.
15.28 Pergerakan kembali aktif. 11,60
15.48 Pergerakan kembali aktif.
2 13.45 Warna abu-abu, pergerakan pasif. 12,16
14.05 Warna memudar, pergerakan cukup
aktif.
14.25 Warna memudar, pergerakan cukup
aktif.
14.45 Warna memudar, pergerakan pasif.
15.05 Warna memudar sedikit pucat,
pergerakan pasif. 9,69
15.25 Warna pudar, pergerakan pasif.
3 13.55 Tidak ada perubahan. 7,62
14.15 Tidak ada perubahan.
14.35 Tidak ada perubahan.
14.55 Tidak ada perubahan.
15.15 Pergerakan mulai melambat.
15.35 Tubuh tidak seimbang atau lemes. 7,38
15.55 Ikan sekarat.
 Ikan Damsel Biru (Chrisiptera cyanea)

Meja Waktu Tingkah Laku W0 Wt


(gram) (gram)
1 13.48 Tidak ada perubahan 0,8
14.08 Tidak ada perubahan
14.28 Tidak ada perubahan
14.48 Pergerakan Pasif.
15.08 Cenderung berada di dasar.
15.28 Mulai lemas dan hampir mati. 2,13
2 13.45 Tidak ada perubahan. 2,47
14.05 Tidak ada perubahan.
14.25 Tidak ada perubahan.
14.45 Tidak ada perubahan.
15.05 Tidak ada perubahan.
15.25 Tidak ada perubahan. 2.94
3 13.55 Tidak ada perubahan. 3,11
14.15 Tidak ada perubahan.
14.35 Tidak ada perubahan.
14.55 Tidak ada perubahan.
15.15 Tidak ada perubahan
15.35 Tidak ada perubahan 3,37
Lampiran 2. Dokumentasi 

a. Osmosis pada Kentang

Ti
Siapkan alat dan bahan yang akan mbang garam grasak sesuai
digunakan salinitas yang diinginkan, kemudian
masukkan ke dalam gelas berisi air

M
Larutkan garam pada gelas yang telah asukkan kentang ke dalam gelas
berisi air yang telah diberi perlakuan salinitas
berbeda

A
Amati selama 20 menit selama 1 jam mati perubahan yang terjadi pada
kentang lalu catat hasilnya
b. Difusi pada Teh Celup

C
Siapkan alat dan bahan yang akan elupkan teh ke dalam masing
digunakan masing gelas yang berisi air panas,
dingin, dan biasa.

Amati setiap perlakuan selama 1


menit, lalu catat hasilnya.
c. Toleransi Salinitas

Ti
Siapkan alat dan bahan yang akan mbang garam grasak sesuai
digunakan dengan salinitas yang diinginkan

Ti
Garam dilarutkan ke dalam air pada toples mbang ikan damsel biru, nila, dan lele
dengan toleransi yang berbeda sebelum diberi perlakuan

Ti
Masukkan ikan ke dalam toples yang mbang kembali semua ikan untuk
telah diberi perlakuan kemudian amati mendapatkan berat akhir, lalu dicatat.
setiap 20 menit selama 1 jam
Lampiran 3. Terminologi

OSMOREGULASI
Absorbsi : Proses pemisahan bahan dari suatu campuran gas dengan

cara pengikatan bahan tersebut pada permukaan absorben cair

yang diikuti permukaan.


Anadroumus : Migrasi ikan dari salinitas tinggi (laut) ke salinitas rendah

(sungai).
Bilirubin  : Komposisi pada empedu penghasil warna kuning.
Biliverdin  : Komposisi pada empedu penghasil warna biru.
Difusi  : Perpindahan zat terlarut dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi

rendah.
Eurihalin  : Organisme yang beradaptasi pada salinitas luas.
Filtrasi  : Proses penyaringan.
Hipertonik  : Larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang lebih

rendah dari larutan lainnya.


Hipotonik  : Larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut lebih rendah

dari larutan lainnya.


Isotonik : Larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut sama dengan

lingkungannya.
Katadromous  : Migrasi dari salinitas rendah (sungai) ke salinitas yang lebih

tinggi (laut).
Kolestrol  : Lemak yang terdapat di dalam aliran darah atau sel tubuh yang

sebenarnya dibutuhkan untuk pembentukan dinding sel dan

sebagai bahan baku hormon.


Lemak  : Senyawa kimia tidak larut dalam air yang disusun oleh unsur

karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O ).


2

Migrasi  : Perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang

mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang

menguntungkan untuk eksistensi hidup dan keturunannya


Osmoregulasi  : Upaya ikan untuk mempertahankan keseimbangan cairan atau

ion dalam tubuh dengan lingkungannya.


Osmosis  : Proses perpindahan zat pelarut dari larutan yang memiliki

konsentrasi rendah melalui membran semi permeable menuju


larutan yang memiliki konsentrasi tinggi hingga mencapai

keseimbangan.
Sel chloride : Bagian insang yang berperan dalam proses transport aktif dan

osmoregulasi yang terletak pada dasar lembaran-lembaran

insang.
Stenohalin : Kemampuan ikan beradaptasi dengan kisaran salinitas yang

sempit.
Transpor aktif  : Proses perpindahan zat dari konsentrasi tinggi menuju

konsentrasi rendah yang membutuhkan ATP atau energi dan

prosesnya terjadi dalam sel.


Transpor : Pergerakan molekul melalui membrane permeable tanpa

pasif  mengeluarkan energi kimia zat berpindah dari konsentrasi

tinggi ke konsentrasi rendah.


BUKU KERJA PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

RESPIRASI

Oleh : Kelompok 13

1. Fina Febriyani 205080500113019


2. Nova Rahma Dhiyanti 205080500113026
3. Mya dilfla iqlilla 205080501113001
4. Muhammad Fahri Mahardika 205080507113015
5. Denisa Nur Fadillah 205080507113017
6. Taryssa Sherly Sita Lorenza 205080501113021
7. Naufal Fadhlurrahman Casmadi 205080500113028
8. Monica Stefania 205080501113026
9. Albert Krisna Ferdiansyah 205080507113010
10. Yunda Arisa Azhar 205080507113004
11. Dhea Reysca Azzahra 205080500113020
12. Lambang Prastyo 205080501113003

Asisten : Fifi Danita

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pernapasan adalah proses pengikatan oksigen (O2) dan

pengeluaran karbondioksida (CO2) oleh darah melalui permukaan alat

pernapasan. Oksigen sebagai bahan pernapasan dibutuhkan oleh sel untuk

berbagai reaksi metabolisme. Kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh

kemampuannnya memperoleh oksigen yang cukup dari lingkungannya melalui

proses tersebut (Mahyuddin, 2008).

Insang ikan menurut Saputra, et al. (2013), merupakan organ respirasi

utama yang bekerja dengan mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi

(oksigen dan karbondioksida) antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam

air akan diabsorbsi ke dalam kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin

untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Pengeluaran karbondioksida

dari sel dan jaringan akan dilepaskan ke air di sekitar insang.

Proses respirasi ikan terdapat dua fase yaitu fase inspirasi dan fase

ekspirasi. Fase inspirasi dimulai dengan rongga mulut mula-mula membesar

karena insang bergerak ke samping akibat udara dalam mulut lebih kecil

daripada tekanan udara luar sehingga menyebabkan mulut terbuka dan air

masuk kedalam mulut. Fase ekspirasi ditandai dengan masuknya air ke rongga

mulut, kemudian celah mulut akan tertutup. Tutup insang akan kembali ke posisi

semula diikuti gerakan selaput ke samping, sehingga celah insang terbuka yang

meyebabkan air keluar serta terjadi pertukaran gas (Murtidjo et al., 2001).
1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengamati dan memahami

pengaruh suhu (lingkungan) terhadap proses respirasi yang dilakukan insang.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa) dapat

mengetahui pengaruh perlakuan suhu yang berbeda terhadap proses respirasi

pada ikan.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Respirasi dilaksanakan

pada hari Sabtu, 13 November 2021 melalui video conference Google Meet.
1. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Respirasi

Respirasi (pernapasan) adalah proses masuknya oksigen dengan cara

difusi kedalam tubuh ikan melewati organ insang dan keluarnya CO 2 ke

lingkungan perairan. Oksigen merupakan unsur terpenting bagi kelangsungan

hidup organisme. Kebutuhan oksigen dalam air harus tetap terjaga karena

kekurangan oksigen akan mengakibatkan biota yang dipelihara bersaing satu

sama lain untuk memenuhi kebutuhan oksigen, sehingga ikan stres bahkan

menyebabkan kematian total (Sahetapy, 2013).

Ikan membutuhkan oksigen untuk proses penguraian makanan dalam

tubuhnya dan semua komponen. Laju metabolisme berkaitan erat dengan

respirasi karena respirasi merupakan proses ekstraksi energi dari molekul

makanan yang bergantung pada adanya oksigen. Laju metabolisme biasanya

diukur dengan banyaknya oksigen yang dikonsumsi makhluk hidup persatuan

waktu. Hal ini memungkinkan terjadi karena oksidasi dari bahan makanan

memerlukan oksigen untuk menghasilkan energi yang dapat diketahui jumlahnya

juga, laju metabolismenya biasanya cukup diekspresikan dalam bentuk laju

konsumsi oksigen. Respirasi adalah suatu proses perombakan bahan makanan

dengan menggunakan oksigen, sehingga diperoleh energi dan gas CO2-

Energi yang dihasilkan dalam proses ini tidak langsung digunakan untuk aktivitas

sel dalam pembentukan ATP dari ADP dan H3PO4 (Akbulut, 2002).

Ikan bernapas menggunakan insang yang merupakan organ respirasi

pada ikan. Insang berfungsi dalam pertukaran gas, selain itu insang juga

berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, serta pengeluaran zat sisa

metabolisme yang mengandung nitrogen. Insang terletak diluar dan


berhubungan langsung dengan air sebagai media hidup ikan, maka organ inilah

yang pertama kali mendapat pengaruh apabila lingkungan air tercemar (Solikhah

dan Widyaningrum, 2015).

2.2 Mekanisme Pemapasan Ikan


2.2.1 Fase Inspirasi

Fase inspirasi menurut Murtidjo (2001), merupakan fase pengambilan

oksigen dan air ke dalam insang. Mekanisme inspirasi adalah sebagai berikut:

tutup insang menutup, mulut terbuka. Hal itu mengakibatkan tekanan dalam

mulut lebih kecil daripada tekanan udara diluar dan air dari luar masuk ke dalam

rongga mulut.

2.2.2 Fase Ekspirasi

Fase ekspirasi adalah fase pengeluaran air dan gas karbondioksida. Air

masuk ke dalam rongga mulut, celah mulut menutup, tutup insang membuka,

sehingga tekanan di dalam rongga mulut lebih besar dan menyebabkan air

keluar melewati celah tutup insang yang akan menyentuh lembaran-lembaran

insang. Hal ini menyebabkan pertukaran gas dimana oksigen berdifusi ke dalam

kapiler darah, kemudian CO2 berdifusi dari darah ke dalam air. Pertukaran O2

dan CO2 pada ikan terjadi pada fase ekspirasi (Murtidjo, 2001).

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respirasi

Respirasi pada ikan dipengaruhi faktor sebagai berikut:

1. Faktor Internal menurut Coche, et al. (1997), yaitu usia, spesies, sexual

maturity, ukuran, dan aktivitas ikan.

2. Faktor Eksternal menurut Stoss (1983), yaitu suhu, kadar O 2, CO2, pH,

dan kepadatan.
2.4 Alat Pernapasan Tambahan

Rahardjo, et al. (2011) menyatakan bahwa alat tambahan pernapasan

pada ikan, yaitu:

1. Labirin

Contoh ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan labirin yaitu

Gurami (Osphronemus goramy), Betok (Anabas testudineus) dan Sepat

(Trichogaster sp.).

2. Arborescent

Contoh ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan arborescent

organ yaitu ikan lele (Clarias sp.).

3 Kulit

Contoh ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan melalui kulit

tubuhnya yaitu ikan glodok (Oxudercinae sp).

2.5 Alur Respirasi pada Ikan

Sumber oksigen menurut Siagian dan Simarmata (2015), yaitu hasil

fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton, difusi oksigen di atmosfer, dan

arus. Alur pada respirasi pada ikan yakni air masuk melalui mulut dan seterusnya

mengalir melalui insang. Insang memiliki lembaran-lembaran halus yang

mengandung pembuluh-pembuluh darah. Pengikatan oksigen dan pelepasan

karbondioksida terjadi di insang. Oksigen dalam darah diedarkan ke seluruh

tubuh oleh nadi. Kondisi darah saat kehilangan oksigen, darah akan berkumpul

di pembuluh balik untuk kembali ke jantung. Kemudian jantung memompakan

darah ke insang lagi.


3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsinya

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Respirasi adalah:

 Heater masak : Untuk memanaskan air yang akan

digunakan
 Stopwatch : Untuk menghitung waktu pengamatan

respirasi
 Handtally counter : Untuk menghitung pembukaan operculum

pada ikan nila (Oreochromis niloticus)


 Ember : Untuk tempat ikan
 Seser sedang : Untuk mengambil ikan dari ember atau

akuarium
 Thermometer Hg : Untuk mengukur suhu pada toples
 Kabel roll : Untuk menyambung arus listrik
 Aerator set : Untuk menyuplai oksigen pada ikan di

akuarium
 Akuarium : Untuk wadah ikan sebelum diamati
 Kamera digital : Untuk mendokumentasikan hasil

praktikum
 Cool box : Untuk wadah penyimpan es batu
 Nampan : Untuk wadah alat dan bahan yang

digunakan
 Toples 3 L : Untuk tempat media pengamatan

3.1.2 Bahan dan Fungsinya

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Respirasi adalah:

 Ikan Nila (O. niloticus) : Sebagai objek yang akan diamati


 Es batu : Sebagai penurun suhu air yang dibutuhkan

 Plastik bening : Sebagai penutup toples agr tidak ada udara

yang masuk

 Karet gelang : Sebagai pengikat plastik bening

 Kertas label : Sebagai pemberi tanda pada toples dan

tanda ikan

 Tisu : Sebagai pembersih alat yang digunakan

 Trash bag : Sebagai wadah sampah setelah praktikum


3.2 Skema Kerja

Toples 3L

- Diisi air sebanyak ¾ bagian


- Diisi air hingga penuh
- Disesuaikan suhu air dengan perlakuan
- Diukur suhu dengan thermometer Hg dalam toples
- Ditunggu media air sampai pada suhu
perlakuan: Meja 1 = 150C
Meja 2 =
250C Meja
3 = 350C
-
1 Ekor Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

- Dimasukkan ke dalam toples


- Ditunggu selama 5 menit agar ikan beradaptasi
- Diukur DO awal (DO0) dengan DO meter
- Ditutup toples dengan plastik
- Dihitung bukaan operkulum ikan selama 10 menit dengan
handtally counter
- Diulangi sebanyak 3 kali
- Diukur DO akhir (DOt) dengan DO meter

Konsumsi DO =

Keterangan:
∆ DO = Perubahan DO
DO0 = DO awal
DOt = DO akhir

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil

  Hasil yang didapat dari pelaksanaan praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur materi Respirasi pada meja 2B yaitu jumlah bukaan operkulum pada

ulangan ke 1, 2, dan 3 secara berturut-turut diperoleh 146,137, dan 88 kali.

Jumlah total bukaan operkulum yang terjadi sebanyak 371 kali. Rata-rata dari

bukaan operkulum adalah 123,6 kali. Pengamatan kebutuhan oksigen pada meja

1B didapatkan data dari perlakuan suhu 25 C, dengan nilai DO sebesar 4,7 mg/l,
o
0

DO  sebesar 4,1 mg/l, berat tubuh ikan 7 gram, dan ΔDO 0,08 mg/l. Konsumsi
t

DO meja 2B dihitung berdasarkan data dan rumus yang telah disajikan dan

diperoleh hasil 0,0068. Kelompok 11 mendapatkan hasil yaitu jumlah bukaan

operkulum pada ulangan ke 1, 2, dan 3 secara berturut-turut diperoleh 41, 37,

dan 25 kali. Jumlah total bukaan operkulum yang terjadi sebanyak 103 kali. Rata-

rata bukaan operkulum yang terjadi adalah 34,3 kali. Pengamatan kebutuhan

oksigen pada meja 1B didapatkan data dari perlakuan suhu 15 C, dengan nilai
o

DO sebesar 6,8 mg/l, DO  sebesar 4,6 mg/l, berat tubuh ikan 4 gram, dan ΔDO
0 t

0,55 mg/l. Konsumsi DO kelompok 11 dihitung berdasarkan data dan rumus yang

telah disajikan, dan diperoleh hasil 0,3025.

Benoit, et al., (2013) Ikan melakukan respirasi untuk mendapatkan

oksigen dari luar, yang selanjutnya akan digunakan untuk berbagai proses

metabolisme didalam tubuh. Mekanisme respirasi dipengaruhi oleh beberapa hal,

seperti suhu, kedalaman, ukuran tubuh, jenis ikan, dan aktivitas. Suhu perairan

memegang peran yang besar bagi organisme yang ada didalamnya untuk

mrlakukan proses biokimia atau metabolisme. Suhu yang tinggi akan membuat

metabolisme semakin besar, yang mana akan membutuhkan oksigen dalam


jumlah besar sehingga meningkatkan proses respirasi. Kedalaman akan

berdampak pada suhu perairan, semakin dalam perairan, maka semakin rendah

pula suhunya yang membuat beberapa organisme akan mengalamu penurunan

laju metabolisme yang juga menurunkan frekuensi respirasinya. Tubuh yang

besar akan memerlukan oksigen dalam jumlah yang banyak, sehingga ikan yang

bertubuh besar memiliki frekuensi respirasi yang tinggi untuk mendapatkan lebih

banyak oksigen. Aktivitas ikan erat kaitannya dengan metabolisme yang

menghasilkan energi untuk menjalankannya. Ikan yang aktif akan cenderung

memiliki konsumsi oksigen yang lebih besar daripada ikan yang pasif (Benoit, et

al., 2013).

Ikan pada perlakuan meja 2B menunjukkan total dan rata-rata bukaan

operkulum lebih tinggi daripada meja 1B. Hal ini menunjukkan bahwa ikan meja

2B melakukan respirasi lebih besar daripada meja 1B. Data pada pengamatan

DO menunjukkan konsumsi DO pada meja 2B lebih kecil daripada 1B, bisa

disimpulkan bahwa ikan meja 2B melakukan respirasi lebih banyak untuk

mendapatkan oksigen daripada meja 1B, dikarenakan konsentrasi DO meja 2B

yang rendah dan suhu yang lebih tinggi. Data tersebut sesuai dengan

pernyataan dari literatur yang mana suhu akan berpengaruh terhadap respirasi.

Suhu yang tinggi akan meningkatkan kebutuhan oksigen, sehingga frekuensi

respirasi juga meningkat

.
4.2 Analisis Grafik

Grafik tentang pengamatan DO dilakukan 2 perlakuan dengan

menggunkan suhu yang berbeda – beda, masing – masing dari meja 1,2,3 yakni

15°C, 25°C, dan 35°C. Setelah itu, setiap toples pada meja diisi oleh 1 ikan nila

(Oreochromis niloticus). Dan ditutup dengan plastic, tunggu 10 menit pertama

untuk masing – masing meja 1 – 3 yakni 5 mg/l, 5,1 mg/l, dan 4 mg/l. Dan untuk

pengukuran terakhir sebesar 4,5 mg/l, 4,2 mg/l, dan 3 mg/l. Dari hasil tadi maka

kita bisa mengetahui bahwa konsumsi oksigen untuk tiap – tiap toples berbeda,

karena hal tersebut dipengaruhi oleh laju metabolisme dimana semakin tinggi

suhu maka semakin tinggi pula laju metabolisme dimana kebutuhan oksigen

semakin tinggi juga.

4.3 Faktor Koreksi 

Adapun faktor koreksi pratikum Fisiologi Hewan Akuakultur pada tanggal

13 Oktober 2021 yaitu:

 Suara dari asisten praktikum sempat terputus-putus

 Saat penjelasan materi terlalu cepat


Untuk sistem postest pada google form hanya bisa mengirimkan 1 file, namun

jawaban dari postest sendiri lumayan banyak.

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur terutama pada materi respirasi

memiliki banyak manfaat dalam bidang perikanan. Dengan melakukan praktikum

ini dapat menambah wawasan baru mengenai peran operculum pada ikan dalam

mengetahui kondisi oksigen di perairan. Kita juga dapat mengetahui apa saja

faktor yang mempengaruhi O2 untuk respirasi. Kita juga dapat mengetahui cara

menghitung kebutuhan oksigen pada ikan, sehingga memudahkan kita untuk

mengontrol suplai oksigen pada proses budidaya. Selain itu juga kita dapat

mengetahui alat pernafasan tambahan pada ikan. Materi respirasi ini juga

memberikan pandangan pada kita agar mempertimbangkan mengenai seberapa

besar padat tebar pada kolam dan juga penambahan oksigen pada kolam.
5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi respirasi dapat


disimpulkan bahwa:
- Respirasi adalah proses pertukaran oksigen melalui insang dan
karbondioksida ke lingkungan perairan
- Tujuan respirasi dilakukan
a. Menyeimbangkan antara karbondioksida dengan oksigen
b. Menjaga kestabilan ion
c. Pembentukaan energi
- Tahapan dalam respirasi
a. Inspirasi: mengambil oksigen, mulut terbuka, insang tertutup, dan
tekanan rongga mulut turun
b. Ekspirasi: mengeluarkan karbondioksida, mulut tertutup, insang
terbuka, dan tekanan rongga mulut naik
- Faktor yang mempengaruhi respirasi
a. Faktor internal: usia, tingkat kematangan gonad, ukuran, aktivitas
b. Faktor eksternal: suhu, kadar oksigen dan karbondioksida, Ph,
kepadatan.
- Alat pernapasan tambahan
a. Labirin pada ikan gurami (Osphronemus goramy)
b. Arborescent pada ikan lele (Clarias sp.)
c. Kulit pada ikan glodok (Oxudercinae sp.)
d. Vertikula pada ikan gabus (Channa sp.)
- Sumber oksigen berasal dari hasil fotosintesis dan difusi oksigen
- Manfaat respirasi pada budidaya
a. Untuk ,engetahui padat tebar kolam
b. Untuk memperkirakan penggunaan aerasi
5.2 Saran

Berdasarkan evaluasi pada faktor koreksi praktikum Fisiologi Hewan

Akuakultur diketahui bahwa kendala terbesar adalah pada koneksi internet.

Penjelasan materi bisa di perlambat temponya karena terlalu cepat. Pemberian

waktu untuk pretest dan postest bisa ditambah,dikarenakan beberapa praktikan

mengalami kendala sinyal. Pada google form bisa di tambah untuk maksimal

jumlah file yang akan di uploadnya. Bagi asisten praktikum yang slowrespon

mungkin bisa lebih aktif lagi, dikarenakan praktikum kita daring maka di butuhkan

koordinasi yang lebih lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Akbulut, N. E. (2002). The plankton composition of Lake Mogan in Central


Anatolia,27(1), 107-116.

Benoit, H.P., Plante, S., Kroiz, M., & Hurlbut, T. (2013). A comparative analysis of
marine fish species susceptibilities to discard mortality: effects of
environmental factors, individual traits, and phylogeny. Journal of Marine
Science, 70(1), 99 –113. doi:10.1093/icesjms/fss132.

Coche, A. G., Munir, J. F. & Laughlin, T. ( 1997). Management for Freshwater


Fish Culture: Ponds and Water Practices. Food and Agriculture
Organization of the United Nation. Rome. 233 hlm.

Mahyuddin, K. (2008). Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya:


Jakarta. hlm 12.

Murtidjo, B. A. (2001). Beberapa Metode Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius:


Yogyakarta. 108 hlm.

Rahardjo, M. F., Sjafei, D. S., Affandi, R. & Sulistiono. (2011). Ikhtiologi. CV


Lubuk Agung: Bandung. 396 hlm.

Sahetapy, J. M. F. (2013). Pengaruh perbedaan voume air terhadap tingkat


konsumsi oksigen ikan nila (Oreochromis sp.). Jurnal Triton, 9(2), 127-
130.

Saputra, H. M., Marusin, N. & Santoso, P. (2013). Struktur histologis insang dan
kadar hemoglobin ikan Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di danau
Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas. 2(2), 138- 144.

Siagian, M. & Simarmata, A. H. 2015. Profil vertikal oksigen terlarut di Danau


Oxbow Pinang Dalam, Desa Buluh Cina-Siak Hulu, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau. Jurnal Akuatika. 6(1), 87-94.

Solikhah, T. & Widyaningrum, T. (2015). Pengaruh surfaktan terhadap


pertumbuhan dan histopatologi insang ikan nila Oreochromis niloticus)
sebagai materi pembelajaran siswa SMA kelas X. JUPEMASI-PBIO.
2(1), 248-255.

Stoss, J. (1983). Fish gamete preservation and spermatozoan physiology. In: W.


S. Hoar, D. J. Randall and E.M. Donaldson (Eds). Fish Physiology. 9B.
Academic Press, New York. https://doi.org/10.1016/S1546-
5098(08)60306-4.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Praktikum

a. Jumlah Bukaan Operkulum (A)

MEJA ULANGAN ∑ BUKAAN OPERKULUM RATA-RATA


1 2 3
1 41 37 25 103 34,3
2 105 94 95 294 98
3 151 157 161 469 156,3

b. Tabel DO (A)

MEJA PERLAKUAN SUHU DO  


0 DO t BERAT TUBUH IKAN (gr) ∆DO
(mg/l) (mg/l) (mg/l)
1 15°C 5 4,5 8 0,06
2 25°C 5,1 4,2 4 0,9
3 35°C 4 3 6 1,67
Lampiran 1. Data Hasil Praktikum

a. Jumlah Bukaan Operkulum (B)

ULANGAN
MEJA ∑ BUKAAN OPERKULUM RATA-RATA
1 2 3
1 55 65 54 174 58
2 146 137 88 371 123,6
3 131 117 141 389 129

b. Tabel DO (B)

DO DO BERAT TUBUH IKAN ∆DO


MEJA PERLAKUAN SUHU
0 t

(mg/l) (mg/l) (gr) (mg/l)


1 15°C 6,8 4,6 4 0,55
2 25°C 4,7 4,1 7 0,08
3 35°C 2,7 4,5 7 0,25
Lampiran 2. Dokumentasi

Siapkan alat dan bahan yang digunakan Memberikan es pada toples pertama
yang berisi air ¾ bagian untuk pelakuan
air dingin dan ukur suhu pada toples
dengan thermometer Hg

Memberi air panas pada toples kedua Memasukkan Ikan Nila pada toples
yang berisi air ¾ bagian untuk perlakuan pertama dengan perlakuan air dingin
air hangat dan ukur suhu pada toples dan diadaptasikan selama 5 menit
dengan thermometer Hg

Memasukkan Ikan Nila pada toples Ukur DO awal menggunakan DO meter


kedua dengan perlakuan air hangat dan pada kedua toples
diadaptasikan selama 5 menit

Tutup kedua toples perlakuan dingin dan Hitung bukaan operculum ikan selama
hangat dengan plastik dan karet gelang 10 menit dengan handtally counter
pada kedua toples dan ulangi sebanyak
3 kali
Perhitungan hasil dilakukan dengan
Ukur DO akhir dengan DO meter rumus konsumsi DO
Lampiran 3. Terminologi

Arborescent : Alat pernafasan tambahan pada ikan lele (Clarias sp.).


Aerob : Sebuah reaksi katabolisme yang memerlukan suasana

aerobik dengan proses keberadaan oksigen sangat

dibutuhkan yang menghasilkan energi dengan jumlah

yang besar.
Dissolved Oxygen : Jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari

fotosintesis dan absorbs atmosfer.


Fase ekspirasi : Keluarnya CO dari dalam tubuh.
2

Fase inspirasi : Masuknya O dalam tubuh.


2

Fitoplankton : Plankton berjenis tumbuhan yang mampu

berfotsintesis dan menghasilkan oksigen.


Fotsintesis : Salah satu cara tumbuhan untuk menghasilkan

makanan satu energi.


Labirin : Alat pernafasan tambahan pada ikan berupa lipatan

epithelium.
Metabolisme : Pertukaran zat antara suatu sel atau suatu organisme

secara keseluruhan dengan lingkungannya.


Respirasi : Proses pertukaran O dan CO yang terjadi di alat
2 2

pernafasan.
BUKU KERJA PRAKTIKUM
FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

SISTEM PENCERNAAN

Oleh : Kelompok 13

1. Fina Febriyani 205080500113019


2. Nova Rahma Dhiyanti 205080500113026
3. Mya dilfla iqlilla 205080501113001
4. Muhammad Fahri Mahardika 205080507113015
5. Denisa Nur Fadillah 205080507113017
6. Taryssa Sherly Sita Lorenza 205080501113021
7. Naufal Fadhlurrahman Casmadi 205080500113028
8. Monica Stefania 205080501113026
9. Albert Krisna Ferdiansyah 205080507113010
10. Yunda Arisa Azhar 205080507113004
11. Dhea Reysca Azzahra 205080500113020
12. Lambang Prastyo 205080501113003

Asisten : Fifi Danita


PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pakan merupakan salah satu komponen penting dalam kegiatan

budidaya ikan. Pakan juga merupakan unsur terpenting dalam menunjang

pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Sumber materi dan energi dari

pakan yang digunakan untuk menopang kelangsungan hidup serta pertumbuhan

ikan merupakan komponen terbesar (50-70%) dari biaya produksi (Yanuar,

2017). Salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi pakan adalah tingkat

kecernaan pakan oleh ikan. Tingkat kecernaan pakan oleh ikan bergantung pada

jenis atau spesies serta lingkungan.

Pencernaan menurut Hartono, et al. (2015), merupakan proses yang

terjadi di dalam saluran pencernaan dengan memecah makanan menjadi bagian-

bagian yang lebih sederhana. Pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa

sederhana dapat diabsorpsi melalui dinding saluran pencernaan. Senyawa ini

kemudian masuk ke dalam darah dan diedarkan keseluruh tubuh. Proses ini

dilakukan karena ikan membutuhkan materi (nutrien) dan energi untuk bertahan

hidup. Nutrien yang dibutuhkan dalam hal ini berupa protein, lemak dan

karbohidrat.

Sistem pencernaan sama pentingnya dengan makanan yaitu untuk

bertahan hidup pada hewan. Karakteristik anatomi dari sistem pencernaan ini

tergantung pada makanan. Karakteristik anatomi juga bergantung pada habitat

dan kandungan nutrisi pada organisme. Morfologi saluran pencernaan ikan


menjelaskan bagaimana makanan diperoleh dan dicerna oleh ikan (Nawulawa et

al., 2013). Proses pencernaan makanan dipercepat oleh enzim pencernaan.

Enzim ini dihasilkan oleh kelenjar pencernaan. Sekresi enzim yang dihasilkan

oleh kelenjar pencernaan berasal dari hati, kantung empedu, lambung, dan usus.

Saluran pencernaan pada ikan secara umum dari awal hingga akhir yaitu mulut,

rongga mulut, pharynx, esophagus, lambung, pylorus, usus dan anus.

Daya cerna ikan nila (Oreochromis niloticus) atau ikan omnivora selama

5-6 jam. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Wicaksono, et al. (2013). Penelitian

tersebut menyatakan bahwa jumlah feses terbanyak terdapat pada usus setelah

pemberian pakan selama 5-6 jam. Nilai kecernaan suatu bahan makanan atau

suatu makanan sangat penting sebagai dasar dalam menilai mutu makanan.

Disamping itu, nilai kecernaan dapat menggambarkan kemampuan ikan dan

kualitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh ikan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengenali dan menjelaskan

organ-organ sistem pencernaan dan mengetahui sistem pencernaan,

mengetahui daya cerna ikan dan menghitung waktu pengosongan lambung.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa) mengetahui

dan dapat menjelaskan mekanisme pencernaan, mengerti cara penentuan daya

cerna ikan terhadap makanan dan waktu pengosongan lambung serta faktor-

faktor yang mempengaruhinya.


1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Sistem Pencernaan

dilaksanakan pada hari Minggu, 14 November 2021 melalui video conference

Google Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pencernaan

Burhanuddin (2014) menyatakan bahwa mencerna makanan merupakan

suatu proses di dalam tubuh organisme yang mengubah atau menyederhanakan

bahan-bahan makanan agar dapat diserap oleh dinding usus sehingga berguna

bagi tubuh. Pencernaan adalah proses pemecahan komponen makanan berupa

karbohidrat, protein dan lemak yang dikonsumsi oleh organisme dari bentuk

kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Pencernaan makanan dapat

terjadi secara mekanis dengan bantuan gigi atau penggantinya dan secara kimia

dengan bantuan enzim pencernaan atau senyawa kimia yang dihasilkan oleh

mikroorganisme.

2.2 Fungsi Saluran Pencernaan

Beberapa fungsi saluran pencernaan diantaranya yaitu:

● Mendorong atau mengaduk isi dari gastrointestin (Burhanuddin, 2014).

● Mensekresi cairan-cairan pencernaan (Setiawati et al., 2013).

● Mencerna makanan (Ahmadi et al., 2012).

● Mengabsorbsi makanan (Ahmadi et al., 2012).

2.3 Urutan Saluran Pencernaan Ikan


Fungsi dari masing-masing saluran pencernaan ikan menurut

Burhanuddin (2014), yaitu sebagai berikut:

1. Mulut berfungsi sebagai alat untuk mengambil dan menghisap makanan.

2. Rongga mulut berfungsi untuk mempermudah jalannya makanan ke

saluran pencernaan berikutnya, penerima rasa dan penyeleksi makanan.

3. Faring,pada ikan herbivora berfungsi sebagai penyaring plankton. Faring

pada ikan karnivora dan omnivora berfungsi sebagai penghalus makanan

karena terdapat gigi faring. Lapisan permukaan faring hampir sama

dengan rongga mulut, masih ditemukan organ pengecap (paringeal).

4. Esofagus berfungsi sebagai alat untuk menelan makanan dan

penyerapan garam melalui difusi (ikan air laut).

5. Lambung berfungsi sebagai penampung makanan dan mencerna

makanan secara kimiawi. Lambung pada ikan herbivora terdapat gizard

(lambung khusus) berfungsi untuk menggerus makanan (pencernaan

secara fisik). Lambung ditutupi oleh sel mukus yang mengandung

mukopolisakarida yang agak asam sebagai pelindung dinding lambung

dari kerja asam klorida.

6. Pilorus berfungsi sebagai katup pengatur pengeluaran makanan dari

lambung menuju usus. Beberapa ikan memiliki pyloric caeca sebagai

perluasan bidang untuk penyerapan sari makanan.

7. Usus berfungsi sebagai tempat penyerapan sari-sari makanan dan

kemudian diedarkan melalui darah.


8. Rektum berfungsi sebagai tempat penyerapan air dan ion-ion sehingga

feses ikan lebih padat.

9. Kloaka berfungsi sebagai tempat berakhirnya saluran pencernaan dan

saluran urogenital. Ikan bertulang sejati tidak memiliki kloaka, sedangkan

ikan bertulang rawan memiliki kloaka.

10. Anus merupakan ujung saluran pencernaan yang berfungsi sebagai

tempat pengeluaran feses.

2.4 Organ Pencernaan

Organ pencernaan merupakan organ yang menghasilkan enzim untuk

proses pencernaan. Adapun organ pencernaan meliputi:

1. Lambung

Fujaya (2008), menyatakan bahwa di dalam lambung menghasilkan

beberapa enzim antara lain:

● HCl berfungsi untuk memecah jaringan (makanan), mempertahankan

osmolaritas lambung, mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin,


menurunkan pH sesuai dengan aktivitas enzim pepsin dan mencegah

pertumbuhan bakteri.

● Enzim pepsin berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.

2. Hati dan Kantung Empedu

Hati berwarna merah kecoklatan, letaknya di bagian depan rongga badan

dan meluas mengelilingi usus. Hati mempunyai saluran empedu yang menuju ke

dalam kantong empedu. Hati berfungsi sebagai tempat metabolisme karbohidrat,

protein dan lemak serta memproduksi cairan empedu. Kantung empedu (vesica

velea) berfungsi menampung cairan empedu yang disekresikan oleh organ hati

(Burhanuddin, 2014).

3. Pankreas

Letak pankreas berada setelah lambung dan enzim yang diekskresikan

menuju usus. Pankreas menurut Fujaya (2008), menghasilkan beberapa enzim

antara lain:
● Enzim proteolytic berfungsi untuk melanjutkan dan menguraikan protein

yang dimulai dari lambung oleh pepsin.

● Enzim amylolytic berfungsi untuk menguraikan ikatan polisakarida.

● Enzim lipolytic berfungsi untuk menguraikan 2 ikatan triasilgliserol

menjadi 2 asam lemak bebas dan 1 monogliserol. Enzim lipolytic dibagi

menjadi 3:

a. Enzim tripsin berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.

b. Enzim amilase berfungsi untuk menguraikan ikatan polisakarida.

c. Enzim lipase berfungsi untuk menguraikan lemak menjadi asam lemak

melalui pemecahan ikatan ester.

4. Usus

Driskell (2008), menyatakan bahwa enzim didalam usus terdiri dari:


● Enzim phosphatase alkaline berfungsi untuk melepas fosfat dari

komponen organik seperti protein.

● Enzim tri peptidase berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.

● Enzim selulase, amilase berfungsi untuk menguraikan dekstrin

(polisakarida). Enzim selulase lebih banyak ditemukan pada ikan

herbivora, sedangkan enzim amilase lebih banyak ditemukan pada ikan

karnivora dan omnivora.

2.5 Prinsip Pencernaan

Prinsip pencernaan berdasarkan mekanismenya dibagi menjadi dua

menurut Zidni, et al. (2018) antara lain:

● Pencernaan secara mekanik

Proses pencernaan bahan makanan secara mekanik atau fisik dimulai

dari bagian rongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi dalam proses

pemotongan dan penggerusan makanan.

● Pencernaan secara kimiawi

Proses pencernaan secara kimiawi dipercepat oleh sekresi kelenjar


pencernaan, seperti lambung dan usus. Kelenjar pencernaan menghasilkan

enzim pencernaan berguna dalam membantu proses penghancuran makanan.

2.6 Proses Pencernaan

Proses pencernaan menurut Fujaya (2008), terdiri dari 3 proses meliputi:

● Pencernaan Karbohidrat

Pencernaan karbohidrat dimulai pada lambung. Hal ini dikarenakan ikan

tidak memiliki air liur. Makanan didalam lambung akan bercampur dengan enzim

amilase yang mengubah pati menjadi dekstrin, kemudian dari lambung makanan

akan masuk ke usus. Amilase pada pankreas memecah pati menjadi disakarida.

Enzim laktase dalam usus mengubah disakarida menjadi galaktosa dan fruktosa.

Galaktosa dan fruktosa pada dinding usus diubah menjadi glukosa. Terdapat

pula enzim sellulase (mengubah sellulosa menjadi sellobiose), kemudian oleh

enzim sellobiase (sellobiose dihidrolisis menjadi glukosa). Bentuk glukosa pada

karbohidrat dapat diserap oleh sel dinding usus (entrocyte).

● Pencernaan Protein
Pencernaan protein dimulai di lambung ditandai dengan adanya enzim

pepsin yang mengubah protein menjadi peptida. Peptida dihidrolisis menjadi

oligopeptida oleh enzim tripsin di segmen usus, selanjutnya oligopeptida

dihidrolisis oleh enzim peptidase menjadi asam amino.

● Pencernaan Lemak

Pencernaan lemak dimulai dari lambung, triasilgliserol dalam makanan

mengalami emulsifikasi di usus. Lipase pankreas mengubah triasilgliserol dalam

usus menjadi 2 asam lemak dan 1 monoasilgliserol.

2.7 Digestibility

Geremew, et al. (2015) menyatakan bahwa digestibility merupakan

banyaknya nutrisi pakan yang mampu dicerna di dalam pencernaan. Daya cerna

makanan yang semakin tinggi menunjukan semakin banyak nutrisi yang diserap.

Pengetahuan tentang gizi bagi daya cerna sangat penting karena dapat

mengetahui potensi bahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan.

2.8 Faktor yang Mempengaruhi Digestibility


Cepat lambatnya proses digestibility yang terjadi pada ikan dipengaruhi

oleh dua faktor menurut Boangmanalu, et al. (2016) antara lain:

● Faktor Internal: kondisi fisiologis ikan, stadia, umur, jenis kelamin dan

jenis ikan (herbivora, karnivora, omnivora).

● Faktor Eksternal: kondisi lingkungan, komposisi pakan, waktu dan

frekuensi pemberian pakan serta padat tebar.

2.9 Gastric Evacuation Time (GET)

Rogge dan Taft (2010), menyatakan bahwa Gastric Evacuation Time

(GET) adalah waktu yang dibutuhkan perut atau lambung untuk mengosongkan

pencernaan hingga dikeluarkannya feses pertama kali. Waktu pengosongan

lambung pada ikan berhubungan dengan frekuensi pemberian pakan. Frekuensi

pakan dan komposisi pakan merupakan hal yang berpengaruh pada GET.

2.10 Faktor yang Mempengaruhi Gastric Evacuation Time (GET)

Faktor yang mempengaruhi GET menurut Rogge dan Taft (2010), terdiri

atas 2 faktor yaitu:


1. Faktor internal: umur ikan, organ pencernaan, digestibility, kondisi fisiologi

ikan dan ukuran ikan.

2. Faktor eksternal: jenis pakan, waktu pemberian pakan dan suhu.

2.11 Hubungan Gastric Evacuation Time (GET) dan Digestibility

Currie, et al. (2015) menyatakan bahwa Gastric Evacuation Time (GET)

merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan cepat lambatnya GET

menunjukkan efektivitas pakan yang diserap. Proses pencernaan termasuk

sebuah fase dimana sebagian besar makanan dicerna dan kemudian sisa

makanan dikeluarkan secara perlahan sebagai feses. Hubungan Gastric

Evacuation Time dan Digestibility adalah ketika digestibility tinggi, maka GET

akan semakin cepat, sedangkan ketika digestibility rendah maka GET akan

semakin lama.

2.12 Jenis pakan

Pakan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu pakan alami, pakan buatan,

dan pakan tambahan.

● Pakan alami: pakan yang berasal dari alam. Contoh: fitoplankton dan
zooplankton (Setyawan et al., 2014).

● Pakan buatan: pakan yang sengaja dibuat, misal oleh pabrik tertentu

yang kadar nutrisinya sudah ditentukan. Contohnya pelet (Niode et al.,

2017).

● Pakan tambahan: pakan yang hanya diberikan sebagai alternatif atau

tambahan nutrisi. Contoh: keong mas, bekicot, daun pepaya (Roy, 2013).
3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsi

a. Digestibility

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan Digestibility adalah:

 Toples Kapasitas 5L : Untuk wadah media yang berisi air dan

ikan nila (Oreochromis nilticus) yang akan

diamati
 Akuarium : Untuk wadah media hidup ikan nila

(Oreochromis niloticus) sebelum diamati


 Timbangan digital : Untuk menimbang ikan nila (Oreochromis

niloticus) dengan ketelitian 10-2.


 Sectio set : Untuk membedah ikan yang diamati
 Kaca arloji : Untuk alas menimbang sisa pakan dan

feses
 Desikator : Untuk menyerap uap air pada kain
 Oven : Untuk mengeringkan pakan basah dan

feses
 Loyang : Untuk tempat kain saring saat di oven.
 Beaker glass Untuk wadah yang berisi ikan nila

(Oreochromis niloticus) saat ditimbang


 Stopwatch Untuk menghitung durasi pengamatan
 Aerator Untuk menyuplai oksigen di akuarium
 T aerator Untuk menyambungkan selang aerator
 Selang aerator Untuk menyalurkan aerator
 Batu aerator Untuk membentuk gelombang aerasi
 Kain lap Untuk mengkondisikan ikan agar tidak

stress.
 Nampan Untuk wadah alat dan bahan yang

dibutuhkan
 Seser Untuk mengambil dan memindahkan ikan

ke dalam toples
 Saringan teh Untuk menyaring sisa pakan basah dan

feses ikan di dalam akuarium


 Kabel roll Untuk menghubungkan ke aliran listrik
 Kamera digital Untuk mendokumentasikan hasil

pengamatan dan kegiatan praktikum


 Gunting Untuk membantu membedah ikan nila

(Oreochromis niloticus).
 Pinset Untuk mengeluarkan organ pencernaan

pada ikan
 Cutter Untuk membantu membedah ikan nila

(Oreochromis niloticus)
 Kalkulator Untuk menghitung digesbility
 Selang sifon Untuk menyifon sisa pakan pada toples

b. Gastric Evacuation Time (GET)

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan Gastric Evacuation Time (GET) adalah:

 Toples Kapasitas 5L : Untuk wadah ikan nila (Oreochromis

niloticus).
 Bak : Untuk wadah ikan sementara

 Akuarium : Untuk wadah media yang berisi air dan ikan

nila (Oreochromis niloticus) yang akan


diamati.
 Timbangan digital : Untuk menimbang berat lambung ikan

dengan ketelitian 10-2.


 Sectio set : Untuk menimbang ikan nila (Oreochromis

niloticus).
 Kaca arloji : Untuk alas sisa pakan dan feses saat

penimbangan.
 Stopwatch : Untuk mengukur waktu pengamatan.

 Aerator : Untuk menyuplai oksigen dalam toples

 T aerator : Untuk menyeimbangkan selang aerator.

 Selang aerator : Untuk mengeluarkan oksigen.

 Batu aerator : Untuk membentuk gelembung aerasi

(oksigen).
 Kain Lap : Untuk mengkondisikan ikan agar tidak stress.

 Nampan : Untuk wadah alat dan bahan yang

dibutuhkan.
 Seser : Untuk mengambil dan memindahkan ikan ke

dalam toples
 Kamera digital : Untuk mendokumentasikan jalannya

praktikum
 Kabel rol : Untuk menghubungkan ke aliran listrik.

3.1.2 Bahan dan Fungsi

a. Digestibility

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan Digestibility adalah :


 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) : Sebagai ikan yang akan diamati.
 Lumut jaring (Chaetomorfa sp.) : sebagai pakan alami bersifat nabati.
 Cacing sutra (Tubifex sp.) : Sebagai pakan alami bersifat

hewani.
 Trash Bag : Sebagai tempat wadah sisa hasil

praktikum
 Pelet : Sebagai pakan buatan.
 Kertas label : Sebagai penanda tiap perlakuan
 Tisu : Sebagai pembersih alat yang

digunakan
 Kain saring (15 cm x 15 cm) : Sebagai penyerap air pada feses.
 Kertas buram : Sebagai alas untuk menimbang

lambung dan alas pakan.


 Air : Sebagai media hidup ikan nila

(Oreochromis niloticus)

b. Gastric Evacuation Time (GET)

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan Gastric Evacuation Time (GET) adalah :

 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) : Sebagai ikan yang akan

diamati.
 Lumutjaring (Chaetomorfa sp.) : Sebagai pakan alami bersifat

nabati.
 Cacing sutra (Tubifex sp.) : Sebagai pakan alami bersifat

hewani.
 Trash Bag :, Sebagai tempat wadah sisa

hasil praktikum.
 Pelet : Sebagai pakan buatan.
 Kertas label : Sebagai penanda perlakuan.
 Tisu : Sebagai pembersih alat dan

bahan
 Kertas buram : Sebagai alas untuk
menimbang lambung dan

alas pakan.
 Air :, Sebagai media hidup ikan

nila (Oreochromis niloticus)


3.2 Skema Kerja
3.2.1 Daya Cerna (Digestibility)

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Dipuasakan selama >24 jam

Toples

-Diisi air bagian


-Diberi aerasi
-Ditimbang ikan nila (Oreochromis niloticus)
-Dimasukkan ke toples

Pakan

- Ditimbang 5% dari berat tubuh ikan


Perlakuan jenis pakan: 1 = Lumut Jaring (Chaetomorfa
sp.)
2 = Cacing Sutra
(Tubifex sp.) 3 =
Pellet
-Diberi pada ikan secara terus menerus hingga kenyang (ad libitum)
-Ditunggu dengan lama waktu 6 jam

Kain 15 x 15 cm

-Dioven dengan suhu 100ºC selama 15 menit


-Didesikator selama 15 menit
-Kain ditimbang
-Kain diletakkan dalam saringan
-Diambil sisa pakan dan feses dengan saring berbeda
-Dioven sisa pakan dan feses kemudian ditimbang
-Dihitung Digestibility dengan rumus:

Digestibility: ×100%

Keterangan:
BTM = Berat Total Makanan (gram)
= Total pakan diberikan – (sisa pakan
kering+sisa pakan di perairan)
BTF = Berat Total Feses (gram)

Hasil
3.2.2 Waktu Pengosongan Lambung (Gastric Evacuation Time)

Ikan NilaOreochromis
( niloticus
)

Dipuasakan selama >24 jam


Toples

-Diisi air bagian


-Diberi aerasi
-Diambil 4 ekor ikan dan ditimbang ikannila (
Oreochromis )
niloticus
-Dimasukkan ke masing-masing toples

Ikan NilaOreochromis
( niloticus
) 1, sebagai ikan kontrol

-Ditimbang erat
b tubuh
-Dibedah
-Ditimbang berat lambung
Ikan NilaOreochromis
( niloticus
) 2, 3, 4 sebagai ikan uji

-Ditimbang berat tubuh


-Diberi pakan 5% dari berat tubuh ikan
Perlakuan jenis pakan: 1 = Lumut Jaring (Chaetomorfa sp.)
2 = Cacing Sutra
(Tubifexsp.)
3 = Pellet
-Diamati selama 6 jam
-Dibedah masing -masing sesuai perlakuan ketika feses keluar pertama
kali dan ditetapkan sebagai GET
x jam
-Diambil lambung dan ditimbang
-Dihitung GET dengan rumus:
Rumus Ikan yang Tidak Mengeluarkan Feses Setelah 6 jam
X (gr/jam) =

GET (jam) =

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil


4.1.1 Digestibility

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem pencernaan dengan

pengamatan digestibility, pada meja 2B didapatkan hasil sebagai berikut.

Perlakuan pakan yang diberi ialah jenis pakan pellet, dengan total pakan

sebanyak 1,8 gr. Berat kain saring sebesar 1,794 gr dan berat pakan kering

sebesar 0,53 gr. Hasil BTM sebesar 1,23 didapatkan dari total pakan yang

diberikan – (sisa pakan kering + sisa pakan di perairan). Hasil berat total feses

atau BTF sebesar 0,0096 dengan hasil persentase digestibility sebesar 99,28%.

Pengamatan pembanding digestibility pada meja 1B didapatkan hasil sebagai

berikut. Perlakuan pakan yang diberi ialah jenis pakan Lumut jaring (Chaemorfa

sp.), dengan total pakan sebanyak 0,82 gr. Berat kain saring sebesar 1,7245 gr.

Hasil berat berat pakan kering sebesar 0,68 gr. Hasil BTM sebesar 1,11

didapatkan dari total pakan yang diberikan – (sisa pakan kering + sisa pakan di

perairan). Hasil berat total feses atau BTF sebesar 0,0106 dengan hasil

persentase digestibility sebesar 98,31%

Hassan et al. (2018) Kecernaan semua nutrisi termasuk karbohidrat,

protein dan mineral dipengaruhi oleh enzim eksogen (Felix & Selvaraj, 2004).

Selain itu, aktivitas enzim endogen seperti tripsin, kimotripsin, lipase dan amilase

dalam usus juvenil ikan dapat ditingkatkan dengan suplementasi xilanase.

Penerapan enzim eksogen dapat digunakan untuk menonaktifkan ANF dan

akibatnya menghasilkan peningkatan tingkat pencernaan dan penyerapan nutrisi

protein nabati untuk hewan air. Peningkatan panjang usus ikan nila dapat

dikaitkan dengan peningkatan aktivitas pencernaan untuk mencapai


keseimbangan pencernaan dan sesuai dengan peningkatan rasio kandungan

protein. Ikan omnivora membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna protein

nabati daripada makanan berbasis protein hewani.

Kesimpulan yang diperoleh dari percobaan yang dilakukan dan literatur

sebagai pembanding adalah terdapat perbedaan kecernaan total pakan pada

semua perlakuan. Pada meja 2B memiliki presentase digestibility sebesar

99,28% sedangkan pada meja 1B memiliki presentase digestibility sebesar

98,31%. Perbedaan dari hasil presentase digestibility dapat disebabkan oleh

perbedaan perlakuan yang dilakukan. Kecernaan semua nutrisi termasuk

karbohidrat, protein dan mineral dipengaruhi oleh enzim eksogen. kan omnivora

membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna protein nabati daripada

makanan berbasis protein hewani. Penambahan suplementasi xylanase dapat

meningkatkan aktivitas enzim endogen seperti tripsin, kimotripsin, lipase dan

amilase dalam usus juvenil ikan.

4.1.2 Gastric Evacuation Time (GET)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem pencernaan dengan

pengamatan Gastric Evacuation Time (GET), pada meja 2B didapatkkan hasil

sebagai berikut. Perlakuan pakan yang diberikan adalah jenis pellet, cacing sutra

(Tubifex sp.), dan lumut jaring (Chaetomorfa sp.). Perlakuan pakan pellet

menghasilkan berat lambung ikan yang tidak mengeluarkan feses adalah 0 gram

dan berat lambung ikan kontrol sebesar 0 gram. Hasil Gastric Evacuation Time

(GET) yang didapatkan pada perlakuan pakan pelet adalah 99 menit. Perlakuan

pakan cacing sutra (Tubifex sp.) menghasilkan berat lambung ikan yang tidak

mengeluarkan feses adalah 0 gram dan berat lambung ikan kontrol sebesar 0

gram. Hasil Gastric Evacuation Time (GET) yang didapatkan pada perlakuan
pakan cacing sutra (Tubifex sp.) adalah 153 menit. Perlakuan pakan lumut jaring

(Chaetomorfa sp.) menghasilkan berat lambung ikan yang tidak mengeluarkan

feses adalah 0,3322 gram dan berat lambung ikan kontrol sebesar 0,284 gram.

Hasil Gastric Evacuation Time (GET) yang didapatkan pada perlakuan pakan

lumut jaring (Chaetomorfa sp.) adalah 2491 menit. Pengamatan pembanding

Gastric Evacuation Time (GET) pada meja 1B didapatkan hasil sebagai berikut.

Perlakuan pakan yang diberikan adalah lumut jaring (Chaetomorfa sp.), pellet,

cacing sutra (Tubifex sp.), dan lumut jaring (Chaetomorfa sp.). Perlakuan pakan

lumut jaring (Chaetomorfa sp.) menghasilkan berat lambung ikan yang tidak

mengeluarkan feses adalah 0  gram dan berat lambung ikan kontrol sebesar 0

gram. Hasil Gastric Evacuation Time (GET) yang didapatkan pada perlakuan

pakan lumut jaring (Chaetomorfa sp.) adalah 228 menit. Perlakuan pakan pellet

menghasilkan berat lambung ikan yang tidak mengeluarkan feses adalah 0 gram

dan berat lambung ikan kontrol sebesar 0 gram. Hasil Gastric Evacuation Time

(GET) yang didapatkan pada perlakuan pakan pelet adalah 4 menit. Perlakuan

pakan cacing sutra (Tubifex sp.) menghasilkan berat lambung ikan yang tidak

mengeluarkan feses adalah 0 gram dan berat lambung ikan kontrol sebesar 0

gram. Hasil Gastric Evacuation Time (GET) yang didapatkan pada perlakuan

pakan cacing sutra (Tubifex sp.) adalah 228 menit. Perlakuan pakan lumut jaring

(Chaetomorfa sp.) menghasilkan berat lambung ikan yang tidak mengeluarkan

feses adalah 0  gram dan berat lambung ikan kontrol sebesar 0 gram. Hasil

Gastric Evacuation Time (GET) yang didapatkan pada perlakuan pakan lumut

jaring (Chaetomorfa sp.) adalah 105 menit.

Menurut Zidni, et al. (2018), pakan yang dikonsumsi oleh ikan akan

melalui proses digesti dalam sistem pencernaan sebelum nutrisi dari pakan

tersebut dimanfaatkan untuk proses biologis. Proses digesti dimulai dari

lambung, dilanjutkan pada intestine, dan berakhir pada anus. Proses digesti
pada lambung dapat dihitung dengan cara pengosongan lambung ikan terlebih

dahulu. Laju pengosongan lambung dipengaruhi oleh temperatur air dan pakan

yang dikonsumsi. Laju digesti atau pengosongan lambung umumnya

berhubungan dengan laju metabolisme ikan. Semakin lama waktu, maka isi

lambung akan semakin berkurang dan mempengaruhi bobot ikan.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil percobaan yang dilakukan pada

setiap perlakuan dan literatur adalah terdapat perbedaan waktu pada setiap

perlakuan pakan. Hasil Meja 2B pada perlakuan pakan pelet hasil GET nya

adalah 99 menit, perlakuan pakan cacing sutra (Tubifex sp.) hasil GET nya

adalah 153 menit, perlakuan pakan lumut jaring (Chaetomorfa sp.) hasil GET nya

adalah 2491 menit. Hasil perlakuan setiap pakan pada meja 1B yaitu, pada

perlakuan pakan lumut jaring (Chaetomorfa sp.) hasil GET nya adalah 228 dan

105 menit, pada Perlakuan pakan pellet 4 menit, dan pada perlakuan pakan

cacing sutra (Tubifex sp.) hasil GET nya adalah 228 menit. pakan yang

dikonsumsi oleh ikan akan melalui proses digesti dalam sistem pencernaan

sebelum nutrisi dari pakan tersebut dimanfaatkan untuk proses biologis. Semakin

lama waktu, maka isi lambung akan semakin berkurang dan mempengaruhi

bobot ikan.
4.2 Analisis Grafik
4.2.1 Digestibility

Data praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Pencernaan

Digestibility diperoleh data total pakan (gram), berat kain saring (gram), berat

pakan kering (gram), BTM, BTF, dan digestibility. Grafik disajikan berdasarkan

data meja 2A dan meja 2B. Meja 2A dan 2B masing-masing diberi perlakuan

pakan lumut jaring (Chaetomorfa) dan pelet. Meja 2A dan 2B diperoleh data total

pakan sebanyak 0,82 gram dan 1,82 gram. Berat kain saring pada meja 2A dan

2B adalah 1,74245 gram dan 1,749 gram. Berat pakan pada meja 2A dan 2B

adalah 0,68gram dan 0,53 gram. Berat BTM dari meja 2A dan 2B adalah 1,11

gram dan 1,23 gram. Berat BTF dari meja 2A dan 2B adalah 0,0106 gram dan

0,0096 gram.  Berdasarkan data yang didapat, perlakuan pada meja 2A dan 2B

masing-masing mendapatkan nilai digestibility 98,31% dan 99,28%.


4.2.2 Gastric Evacuation Time (GET)

Pemberian pakan pada meja 1 dengan Chaermorfa sp. diperoleh hasil

bahwa GET terjadi pada menit ke 10. Pakan diberikan dengan cara diberikan

sedikit demi sedikit lalu ditunggu sampai ikan nila (Oreochromis niloticus)

mengeluarkan feses untuk yang pertama kali. Berat lambung ikan kontrolnya

adalah 0.33 gram. daya cerna pada pakan yang diberikan pada ikan antara lain

dipengaruhi oleh waktu pakan, laju pengosongan lambung dan kapasitas

lambung. Kapasitas lambung pada masing-masing ikan berbeda-beda sehingga

frekuensi pemberian pakan juga tergantung pada masing-masing ikan.

Digestibility tinggi maka GETnya cepat, sedangkan digestibility rendah maka

GETnya lama. Hal ini dikarenakan tingkat kemampuan mencerna makanan

berbanding lurus dengan waktu pengosongan lambung.


4.3 Faktor Koreksi

Adapun faktor koreksi pratikum Fisiologi Hewan Akuakultur pada tanggal

13 Oktober 2021 yaitu:

- Suara dari asisten praktikum sempat terputus-putus

- Saat penjelasan materi terlalu cepat

- Untuk sistem postest pada google form hanya bisa mengirimkan 1 file,

namun jawaban dari postest sendiri lumayan banyak.

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur terutama pada materi respirasi

memiliki banyak manfaat dalam bidang perikanan. Dengan melakukan

praktikum ini dapat menambah wawasan baru mengenai peran operculum

pada ikan dalam mengetahui kondisi oksigen di perairan. Kita juga dapat

mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi O2 untuk respirasi. Kita juga

dapat mengetahui cara menghitung kebutuhan oksigen pada ikan, sehingga

memudahkan kita untuk mengontrol suplai oksigen pada proses budidaya.

Selain itu juga kita dapat mengetahui alat pernafasan tambahan pada ikan.

Materi respirasi ini juga memberikan pandangan pada kita agar

mempertimbangkan mengenai seberapa besar padat tebar pada kolam dan

juga penambahan oksigen pada kolam.


5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem pencernaan dapat

disimpulkan bahwa :

• Pencernaan merupakan proses pemecahan komponen makan seperti

karbohidrat, protein, lemak dari bentuk kompleks menjadi senyawa yang lebi

sederhana agar dapat dicerna oleh tubuh.

• Proses pencernaan dibagi menjadi :

1. Pencernaan Mekanik, yakni pencernaan yang terjadi dalam rongga mulut

dan dibantu oleh gigi

2. Pencernaan Kimiawi yakni pencernaan yang terjadi dalam lambung dan

usus yang dibantu oleh enzim.

• Saluran pencernaan pada ikan :

1. Mulut berfungsi untuk mengambil dan menghisap makanan

2. Rongga mulut untuk pengecap makanan, penerima rasa

3. Faring untuk organ pengecap

4. Esofagus untuk jalan menuju lambung dan penyerapan garam

5. Lambung untuk tempat pencernaan secara kimiawi dengan enzim

6. Pylorus untuk saluran yang menghubungkan lambung dan usus

7. Usus untuk tempat penyerapan sari – sari makanan

8. Rectum untuk tempat penyerapan air berlebih

9. Kloaka untuk tempat bermuaranya saluran pencernaan dan saluran

urogenital (untuk ikan bertulang rawan)

10. Anus untuk pengeluaran feses (pada ikan bertulang sejati)

• Hubungan proses digestibility dengan gastric evaluation time (GET)


adalah jika ikan dapat menyerap nutrisi pakan dengan cepat maka nilai

GET akan cepat. Begitupun sebaliknya jika digestibility lambat maka nilai

GET akan lambat.

5.2 Saran

Percobaan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi sistem

pencernaan terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi seperti penambahan

jumlah timbangan yang terbatas agar waktu penimbangan berlangsung efisien.

Alat section set sebaiknya ditambah jumlahnya agar efisien saat pembedahan

ikan. Sebaiknya ikan yang digunakan di cek kondisinya agar data yang didapat

valid. Ukuran ikan sebaiknya lebih besar agar mudah dalam pembedahan ikan.

Sebaiknya selang sifon ditambah agar tidak terjadi kekurangan bahan.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, H., Iskandar & Kurniawati, N. (2012). Pemberian probiotik dalam pakan
terhadap pertumbuhan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) pada
pendederan II. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(4), 99-107.

AKADEMIKA, 6(2), 99-112. https://doi.org/10.31314/akademika.v6i2.51

Boangmanalu, R., Wahyuni, T. H. & Umar, S. (2016). Kecernaan bahan kering,


bahan organik dan protein kasar langsung yang mengandung tepung
limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) sebagai subsitusi tepung
ikan pada boiler. Jurnal Peternakan Integratif, 4(3), 329-340.

Burhanuddin, A.I. (2014). Ikhtiologi, Ikan dan Segala Aspek Kehidupannya.

Currie, K., Lange, B., Herbert, E. W., Harris, O. J. & Stone, D. A. J. (2015).
Gastrointestinal evacuation time, but not nutrient digestibility of greenlip
abalone, Haliotis laevigata Donovan, is affected by water temperature
and age. Aquaculture, 448, 219-228.
https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2015.01.037.

Driskell, J. A. (2008). Nutrition and exercise concerns of middle age. CRC


Press: New York. https://doi.org/10.1201/9781420066029

Fujaya, Y. (2008). Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan.

Geremew, A. (2015). Digestibility of soybean cake, niger seed cake and linseed
cake in juvenile nile tilapia, Oreochromis niloticus L. Aquaculture
Research and Development, 6(5), 1-5.

Hartono, R., Fenita, Y. & Sulistyowati, E. 2015. Uji in vitro kecernaan bahan
kering, bahan organik dan produksin-nh3 pada kulit buah durian (Duriozi
bethinus) yang difermentasi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)
dengan perbedaan waktu inkubasi. Jurnal Sains Perternakan Indonesia,
10(2), 87-94. https://doi.org/10.31186/jspi.id.10.2.87-94

Mahyuddin, K. (2008). Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar


Swadaya.Jakarta

Nawulawa, V. T., Kato, C. D., Rutaisire, J., Beukes, N., Pletschke, B. &
Whiteley, C. (2013). Enzyme activity in the nile perch gut: implications to
nile perch culture. International Journal of Fisheries and Aquaculture,
5(9), 221-228.

Niode, A. R., Nasriani & Irdja, A. M. (2017). Pertumbuhan dan kelangsungan


hidup benih ikan nila (Oreochromis niloticus) pada pakan buatan yang
berbeda.

Rogge, C.M. & Taft, D. R. (2010). Preclinical Drug Development. CRC Press:
USA. Roy, R. (2013). Budi Daya Sidat. Agro Media Pustaka. Jakarta
Selatan.

Setiawati, J. E., Tarsim, Adiputra, Y. T. & S. Hudaidah. (2013). Pengaruh


penambahan probiotik pada pakan dengan dosis berbeda terhadap
pertumbuhan, kelulushidupan, efisiensi pakan dan retensi protein ikan
patin (Pangasius hypophthalmus). Jurnal Rekayasa Dan Teknologi
Budidaya Perairan, 1(2), 151-162. https://doi.org/10.31938/jsn.v4i1.70

Setyawan, T., Sugiarti, L. & Wardoyo, S. E. (2014). Kajian banyaknya pupuk


kandang terhadap perkembangbiakan kutu air (Daphnia sp.) di rumah
kaca sebagai pakan alamidalam budidaya ikan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Biologi dan Kimia, 4(1), 1-10.

Thongprajukaew, K., Kovitvadhi, S., Kovitvadhi, U., & Preprame, P. (2017).


Effects of feeding frequency on growth performance and digestive
enzyme activity of sex-reversed Nile Tilapia, Oreochromis niloticus
(Linnaeus, 1758). Agriculture and Natural Resources, 51(4), 292-298.

Wicaksono, R., Agustono & Lokapirnasari, W. P. (2013). Pengukuran


kecernaan lemak kasar, bahan organik dan energi pada pakan ikan nila
(Oreochromis niloticus) dengan menggunakan teknik pembedahan.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 5(2), 201-204.

Yanuar, V. (2017). Pengaruh pemberian jenis pakan yang berbeda terhadap


laju pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis niloticus) dan kualitas air
di akuarium pemeliharaan. ZIRAA’AH, 42(2), 91-99.

Yuniati, D., Utomo, N. B. P., Setiawati, M., & Alimuddin, A. (2018). Growth
Performance and enzyme activities in catfish [Pangasianodon
hypophthalmus] fed with water hyacinth-based diet. BIOTROPIA-The
Southeast Asian Journal of Tropical Biology, 25(2), 140-147.

Zidni, I., Afrianto, E., Mahdiana, I., Herawati, H. & Ibnu, B. S. (2018). Laju
pengosongan lambung ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila
(Oreochoromis niloticus). Jurnal Perikanan dan Kelautan, 9(2), 147-15.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Praktikum

 Digestibility A

Total Berat Berat


Pakan Kain pakan Digestibi
Meja Perlakuan BTM BTF
5% Saring kering lity (%)
Pakan (gr) (gr)
(gr)
Lumut
1 1,386 1,7245 0,33 -0,4544 0,535 217,88
Jaring
(Chaetom 2
orfa sp.)
Cacing
2 Sutra 0,94 1,6540 0 0,94 0,623 33,6
(Tubifex 5
sp.)
3 Pellet 1,19 1,794 0 0,1855 0,594 40,86
0
 Digestibility B

Total Berat Berat


Pakan Kain pakan Digestibi-
Meja Perlakuan BTM BTF
5% Sarin kering lity (%)
Pakan
(gr) g (gr) (gr)

Lumut Jaring
1 00,82 1,7245 0,68 1,11 0,0106 98,31
(Chaetomorf
a sp.)
2 Pellet 11,82 1,794 0,53 1,23 0,0096 99,28
Cacing Sutra
3 22,33 1,6540 0 1 0,0074 38
 Gastric Evacuation Time (GET) (A)

Berat Lambung
Ikan yang tidak Berat Lambung
Meja Perlakuan Pakan mengeluarkan Ikan GET
feses Kontrol (gram) (menit)
(gram)
Lumut jaring
- - 127,5
(Chaetomorfa sp.)
1 Pellet - - 3540
Cacing sutra - - 208,7
(Tubifex sp.)
Lumut jaring
- - 125
(Chaetomorfa sp.)
2 Pellet - - 298
Cacing sutra
- - 336
(Tubifex sp.)
Lumut jaring
- - 134
(Chaetomorfa sp.)
3 Pellet 1,2578 0,2822 295
Cacing sutra
(Tubifex sp.) - - 125

 Gastric Evacuation Time (GET) (B)

Berat Lambung
Ikan yang tidak Berat Lambung
Meja Perlakuan Pakan mengeluarkan Ikan GET
feses Kontrol (gram) (menit)
(gram)
Lumut jaring
- - 228
(Chaetomorfa sp.)
1 Pellet - - 4
Cacing sutra - - 228
(Tubifex sp.)
Lumut jaring
- - 105
(Chaetomorfa sp.)
2 Pellet - - 99
Cacing sutra
- - 153
(Tubifex sp.)
Lumut jaring
0,3322 0,284 2491
(Chaetomorfa sp.)
3 Pellet - - 146
Cacing sutra
(Tubifex sp.) - - 464
Lampiran 2. Dokumentasi

a. Digestibility 

Menyiapkan ikan nila yang sudah Ikan nila ditimbang untuk menentukan
dipuasakan, lalu diberi aerasi pada toples jumlah pakan yang akan diberikan.
berisi air ¾ bagian.

Masukkan ikan nila ke dalam toples, yang


nantinya akan diberi perlakuan pakan Timbang pakan yang akan digunakan
berbeda sesuai dengan perhitungan 5% dari
berat badan ikan

Setiap ikan diberikan pakan terus


menerus hingga kenyang, kemudian Kain saring dimasukkan ke dalam
ditunggu selama 6 jam. oven dengan suhu 100˚C selama 15
menit.
Setelah dioven, kemudian kain saring Dilakukan pengambilan feses dan sisa
didesikator selama 15 menit kemudian pakan ikan pada air dari setiap toples.
ditimbang.

Kemudian, sisa pakan basah dan feses Dilakukan penimbangan terhadap sisa
ikan dikeringkan dengan menggunakan pakan dan feses yang sudah dioven.
oven.

perhitungan hasilnya dilakukan dengan


menggunakan rumus digestibility.
b. Gastric Evacuation Time (GET)

Menyiapkan ikan nila yang sudah Masukkan tiga ikan nila pada setiap toples
dipuasakan, lalu diberi aerasi yang akan diberi perlakuan pakan berbeda.
pada toples berisi air ¾ bagian.

Lakukan pembedahan terhadap ikan nila


Lakukan penimbangan pada ikan kontrol.
keempat sebagai ikan kontrol.

Ikan nila yang ada pada toples 1, 2, dan 3


Lakukan penimbangan terhadap diberikan pakan, lalu ditunggu selama 6 jam.
berat lambung ikan kontrol.
Ketika feses keluar pertama kali Ketika feses tidak keluar selama 6 jam
selama 6 jam pengamatan, maka pengamatan, maka ikan dibedah untuk diambil
dicatat sebagai GET. lambungnya.

Kemudian, lambung diambil dan


ditimbang.

Perhitungan hasilnya dilakukan dengan


menggunakan rumus GET.
Lampira 3. Terminologi

Absorbsi : Penyerapan ke dalam organ tertentu


Ad libtium : Metode perhitungan pemberian pakan sesuai berat tubuh
Amilase : Enzim pengurai polisakarida menjadi lebih sederhana
Desikator : Alat yang berfungsi untuk menghilangkan kadar air bahan
Digestibility : Banyaknya nutrisi pakan yang mampu dicerna di dalam

pencernaan
Ester : Senyawa organik yang terbentuk melalui penggantian satu

(atau lebih) atom hidrogen pada gugus hidroksil dengan suatu

gugus organik (biasa dilambangkan dengan R').


GET : Waktu yang dibutuhkan perut atau lambung untuk

mengosongkan pencernaan hingga dikeluarkannya feses

pertama kali.
Gastrointestin : Sebutan untuk organ lambung dan juga usus baik usus besar

maupun usus halus.


Gizard : Lambung khusus untuk menggerus makanan
Hidrolisis : Reaksi kimia dimana air akan dipecah kedalam bentuk kation

dan anionnya
Lipase : Enzim pengurai lemak menjadi asam lemak
Osmoralitas : Ukuran konsentrasi zat terlarut dalam suatu larutan
Pepsin : Enzim yang mengubah molekul protein menjadi potongan-

potongan protein (pepton)


Pepsinogen : Bentuk inaktif dari enzim pepsin
Peptida : Rangkaian asam amino yang bekerja menghasilkan protein
Peristaltik : Gerakan otot-otot yang berkontraksi untuk mendorong

makanan sepanjang saluran pencernaan


Peritonium : Membran serosa rangkap yang sebesar dalam tubuh untuk

menyangga organ di dalam rongga perut dan melindunginya

dari infeksi
Phospate : Enzim yang berperan penting untuk mengolah protein agar

alkaline bisa lebih mudah dicerna tubuh


Polisakarida : Karbohidrat yang memiliki polimer yang panjang dan tersusun

dari ratusan hingga ribuan monosakarida


Pyloric caeca : Organ pencernaan yang menghasilkan enzim untuk membantu
pencernaan pada ikan
Pilorus : katup pengatur pengeluaran makanan dari lambung menuju

usus.
Rektum : Bagian dari usus besar yang berada di bagian akhir.
Selulase : Enzim pengurai dekstrin (polisakarida)
Stadia : Penggamabaran umur dalam siklus hidup
Tri peptidase : Enzim pengurai ikatan peptida
Tripsin : Enzim pengurai protein menjadi asam amino

Anda mungkin juga menyukai