Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN BBDM

MODUL 6.3 SKENARIO 3

TUTOR PEMBIMBING

dr. Meita Hendrianingtyas, Sp.PK, Msi.Med

DISUSUN OLEH

Airiza Fatma Yossineura (22010117140106)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020
SKENARIO 3

BINGUNG

Ny Sugini, usia 76 tahun, dibawa IGD oleh anaknya karena bingung. Pada anamnesa, Ny

Sugini sering bicara ngelantur dan berteriak kalimat tidak jelas sejak tadi pagi. Menurut

anaknya sudah 5 hari ini Ny Sugini malas makan dan minum dan saat BAK jumlahnya

menjadi sedikit-sedikit serta mengeluh nyeri dan panas saat BAK. Riwayat penyakit

hipertensi dan kencing manis tidak diketahui. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan

umum lemah, GCS E3M6V4 , BB 45 kg, TB 160 cm, TD 120/80 mmHg, Nadi 120 x/menit,

lemah .RR 28 x/mnt, suhu 38ºC. Pada PF jantung dan paru dalam batas normal. GDS 256

mg/dl. Abdomen : nyeri tekan di supra pubis (+). Pada pemeriksaan ekstremitas kekuatan

motorik kanan dan kiri sama.

I. TERMINOLOGI
1. GCS E3M6V4: GCS E3M6V4 = GCS bernilai 13 (apatis), dengan keterangan
sebagai berikut :
- Eye 3 = dapat membuka mata dengan rangsangan suara.
- Motorik 6 = dapat mengikuti perintah pemeriksa
- Verbal 4 = bingung atau bicara meracau
2. GDS: GDS atau Gula Darah Sewaktu adalah kadar gula darah yang dapat
diperiksa langsung (tanpa syarat) kapanpun tiap harinya.
Normalnya nilai GDS cenderung stabil/tidak berubah drastis. Namun pada orang
yang pra diabetes atau yang memiliki kecenderungan diabetes, nilai GDS
cenderung tidak stabil, bahkan tinggi melebihi 200mg/dl.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana interpretasi pemeriksaan klinis pasien?
2. Apa hubungan nyeri suprapubik dengan keluhan BAK pasien?
3. Mengapa pasien bicara ngelantur/teriak kalimat tidak jelas?
4. Apa diagnosis sementara dari kasus tersebut?
5. Apa kaitannya kondisi pasien (BAK sedikit, susah makan) dengan kasus yang
ada?
III. HIPOTESIS
1. Interpretasi pemeriksaan klinis
Keadaan umum : disorientasi
Suhu tubuh : demam
Tekanan darah : normal
Nadi : takikardi
RR : takipneu
GCS : apatis
PF jantung dan paru : normal
PF abdomen : abnormal karena ada nyeri suprapubik
PF ekstremitas : normal
GDS : tinggi
2. Suspect infeksi saluran kemih bagian bawahkarena pada daerah suprapubik
terdapat vesika urinaria, wanita lebih sering terkena ISK karena saluran kencing
wanita lebih pendek dibanding pria. Ini menyebabkan bakteri lebih mudah masuk
ke vesika urinaria karena saluran kencing lebih dekat ke sumber bakteri
sepertidaerah dubur. Akibatnya, kuman mudah berkoloni di daerah tersebut
sehingga terjadilah infeksi (timbul reaksi inflamasi : Kalor dan dolor)
3. Sindrom delirium yang sesungguhnya sedang terjadi itu, juga merupakan salah
satu bentuk gejala yang muncul pada ISK. Penderita boleh jadi menjadi hipoaktif,
hiperaktif, pola tidurnya berubah, atau fungsi kognitifnya menurun. ISK sering
muncul dalam bentuk kegawatdaruratan akibat syncope, hal ini yang membawa
penderita ke unit gawat darurat. Penderita mungkin masih mampu aktif dan
kesadarannya kompos mentis namun tanpa alasan yang jelas mengalami syncope
di rumah.
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit
inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus, respons inflamasi
sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi
mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan efeknya
yang merusak neuron, Sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan
neurotransmiter. Proses inflamasi berperan menyebabkan delirium pada pasien
dengan penyakit utama di otak (terutama penyakit neurodegeneratif).
4. Infeksi saluran kemih
5. Keluhan pasien seperti nyeri dan panas ketika BAK, jumlah urin berkurang, dan
nyeri tekan suprapubik merupakan gejala dan tanda bahwa pasien mengalami
infeksi saluran kemih. ISK yang terjadi dapat disebabkan oleh keadaan yg dialami
pasien yaitu demensia, delirium, malas makan dan minum, dan gangguan mood.
 Fisiologis pasien terjadi kelainan pada gigi mulut seperti tanggal gigi, yang
menyebabkan malas makan.
 Akibat dari ISK, sitokin banyak diproduksi yang menyebabkan penekan
pada nafsu makan sehingga malas makan.

IV. SKEMA

V. SASARAN BELAJAR
1. Definisi, etiologi konfusio akut
2. Tanda dan gejala konfusio akut
3. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Konfusio Akut
4. Tatalaksana konfusio akut
5. Status gizi pada lansia
6. Edukasi untuk pasien dan keluarga
VI. BELAJAR MANDIRI
1. Definisi, etiologi konfusio akut
Konfusio akut adalah suatu akibat gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang
ditandai dengan memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewaspadaan
dan terganggunya proses berfikir yang berakibat terjadinya disorientasi.

Terdapat 3 kelompok yang bisa dikatakan sebagai penyebab terjadinya


Konfusio Akut yaitu keadaan patologik intraserebral, keadaan patologik
ekstraserebral dan penyebab iatrogenik. Kehilangan / gangguan sensorik dan depresi
juga dapat memicu terjadinya Konfusio Akut.

1. Konfusio yang disebabkan oleh intraserebral yaitu Ensefalopati Hipertensi,


Oedema Serebral, Hydrosefalus, Defisiensi Vitamin B12, Meningitis,
serangan Iskemi otak sepintas dan yang disebabkan akibat penurunan
pasokkan nutrisi serebral adalah penyebab kardiovaskuler (seperti infark
miokard, iskemik koroner akut, gagal jantung, endokarditis), penyebab
respiratorik (seperti infeksi paru, emboli paru, penyakit obstruktif paru) dan
iatrogenik serta sebab lainnya seperti perdarahan dan anemia, hipoglikemia
dan keracunan.
2. Konfusio yang disebabkan oleh ekstraserebral terdiri dari penyebab toksik
(seperti infeksi misalnya infeksi paru, endokarditis bakterialis subakut,
toksemia, alkoholisme), kegagalan mekanisme homeostatik (seperti DM, gagal
hati, hipotermia, dehidrasi, gangguan elektrolit) dan gangguan lainnya seperti
insomnia, depresi, ileus paralitik, nyeri hebat, retensi urine dan obat-obatan.
3. Konfusio yang disebabkan iatrogenik terdiri dari obat-obatan yang
dihubungkan oleh konfusio akut (seperti amantadin, anti depresan, anti
histamine, anti hipertensif, anti parkinsonisme, atropik, analgesik kerja sentral,
kortikosteroid, sedatif, anti kolinergik, anti konvulsan, figoksin, opiat dan obat
penenang) dan obat-obat yang dihubungkan dengan gangguan memori (seperti
anti kolinergik, anti konvulsan tertentu, anti hipertensi tertentu, benzo-
diazepin, kortikosteroid, fenotiazin, obat psikotropik dan sedatif).

2. Tanda dan gejala konfusio akut


Gambaran klasik penderita konfusio akut adalah
a. Derajat kesadaran menurun, misalnya sulit untuk tetap bangun saat diperiksa
b. Gangguan presepsi, antara lain ilusi, delusi, halusinasi dan misinterpretasi
c. Terganggunya siklus bangun tidur dengan terjadinya insomnia, tetapi siang
hari tertidur
d. Aktivitas psikomotor meningkat atau menurun
e. Disorientasi waktu, tempat, dan orang
f. Gangguan memori

3. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Konfusio Akut


 Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Tanda-tanda dehidrasi : mata cekung, turgor, pengisian kapiler
c. Tanda-tanda vital : TD, nadi, RR, Suhu (meningkat atau menurun
merupakan tanda sepsis)
d. Mata yang tidak isokorik, deviasi ke satu arah, paresis atau paralisis
satu sisi mungkin mengarah ke dugaan stroke
e. Pemeriksaan paru, jantung, hati, limpa, ginjal
f. MMSE
g. CDT
 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap
- Melihat kemungkinan anemia berat
- Infeksipeningkatan leukosit darah
b. Pemeriksaan urine dan feses rutin
- Melihat riwayat UTI
c. Pemeriksaan gula darah
d. Tes fungsi ginjal
e. Tes fungsi hati
f. Status elektrolit dan kimia darah
- Glukosa darah
Electrolyte
- Magnesium imbalances,
- Kreatinin hiper/hipoglikemia,
gagal ginjal,
- Blood urea nitrogen (BUN)
dehidrasi malnutrisi,
gangguan fungsi
hepar
- Liver enzymes
g. Enzim jantung
h. Saturasi oksigen
i. Pemeriksaan radiologi
- Perubahan status mentalis mendadakCT Scan Kepala tanpa
kontras
- Terdapat riwayat batuk, demam, nafas cepat, nyeri dadaFoto
thorax dan EKG

4. Tatalaksana konfusio akut


Penatalaksanaan konfusio di rumah sakit meliputi pencegahan, diagnosis
awal, pencarian dengan seksama dan tatalaksana faktor-faktor pencetus, tindakan
suportif dan, bila perlu, pengobatan. Secara garis besar obat-obatan yang dapat
diberikan untuk mengurangi konfusio akut pada lansia adalah : amantadin, anti
depresan, anti histamin, anti parkinsoniasme, anti kolinergik, anti konvulsan, fikogsin,
opiat, dan obat penenang.
Walaupun tindakan suportif, penatalaksanaan farmakologik konfusio
untuk mengurangi kecemasan dan agitasi mungkin diperlukan untuk meyakinkan
keamanan pasien dan pegawai. Pasien dengan konfusio hipoaktif biasanya tidak
membutuhkan sedasi, meskipun dosis rendah antipsikotik mungkin diperlukan apabila
ada bukti distress halusinasi.
Meskipun terdapat banyak pengobatan yang tersedia untuk pengobatan
konfusio, terdapat beberapa kaidah yang hendaklah diterapkan untuk semua
obat. Obat obat diharapkan diberikan per oral pada dosis rendah, dengan pemberian
dosis lebih besar bila diperlukan. Pasien yang membutuhkan dosis multipel hendaklah
diawasi ketat. Sangat mendasar bahwa pemesanan teratur untuk pengobatan seringkali
perlu meninjau kembali respon pasien, efek samping, dan kelanjutan kebutuhan
pengobatan. Haloperidol popular karena awitan kerjanya cepat, keampuhan dan
rendah efek samping, meskipun ia mungkin tidak cocok untuk pasien dengan
kecenderungan gangguan gaya berjalan atau keseimbangan ekstrapiramidal.
Pengawasan kardiak adalah sangat esensial apabila dibutuhkan infus
berlanjutan.
Droperidol merupakan pilihan cadangan untuk pemakaian parenteral. Ia
bekerja lebih cepat, lebih sedatif, mempunyai waktu paruh lebih pendek, dan
kemungkinan lebih ampuh daripada haloperidol dengan lebih sedikit efek samping.
Biasanya dosis mulai pada lansia adalah 2 mg. Tetapi, sedasi mungkin menjadi suatu
masalah pada pasien lebih tua, dan terdapat resiko lebih tinggi hipotensi, khususnya
apabila diberikan secara intravena.
Fenotiazin lain, misalnya tioridazin dan klorpromazin, pada dosis awal 12,5-
25 mg, juga telah digunakan karena keampuhan mereka dan khasiat sedatif-nya,
meskipun ketenaran mereka mundur oleh karena kardiotoksis.

5. Status gizi pada lansia


Status gizi merupakan keseimbangan antara asupan zat gizi dan kebutuhan
akan zat gizi tersebut. Status gizi juga didefinisikan sebagai keadaan kesehatan
seseorang sebagai refleksi konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh.
Status gizi pada lanjut usia dipengaruhi beberapa hal. Perubahan fisiologis,
komposisi tubuh, asupan nutrisi dan keadaan ekonomi merupakan hal-hal yang dapat
memicu terjadinya berbagai masalah gizi pada usia lanjut.
Perubahan Fisiologis yang Mempengaruhi Status Gizi pada Lanjut Usia
Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya
penurunan anatomik dan fungsional atas organ tubuhnya makin besar. Peneliti Andres
dan Tobin (dalam Kane, Ouslander, & Brass, 2004) menjelaskan bahwa fungsi
organorgan akan menurun sebanyak satu persen setiap tahunnya setelah usia 30 tahun.
Penurunan fungsional dari organ-organ tersebut akan menyebabkan lebih
mudah timbulnya masalah kesehatan pada lanjut usia. Masalah gizi yang seringkali
terjadi pada lanjut usia juga dipengaruhi oleh sejumlah perubahan fisiologis
(Darmojo,2010). Adapun perubahan fisiologis tersebut sebagai berikut:
a. Komposisi Tubuh
Komposisi tubuh dapat memberikan indikasi status gizi dan tingkat
kebugaran jasmani seseorang. Pada abad ke-19 ditemukan berbagai senyawa
kimiawi yang ternyata ada pula pada jaringan dan cairan tubuh
(Darmojo,2010).
Akibat penuaan pada lansia massa otot berkurang sedangkan massa
lemak bertambah. Massa tubuh yang tidak berlemak berkurang sebanyak
6,3%, sedangakan sebanyak 2% massa lemak bertambah dari berat badan
perdekade setelah usia 30 tahun. Jumlah cairan tubuh berkurang dari sekitar
60% berat badan pada orang muda menjadi 45% dari berat badan wanita usia
lanjut.(Kawas & Brookmeyer, 2001; Arisman,2004 )
Penurunan massa otot akan mengakibatkan penurunan kebutuhan
energi yang terlihat pada lansia. Keseimbangan energi pada lansia lebih lanjut
dipengaruhi oleh aktifitas fisik yang menurun. Pemahaman akan hubungan
berbagai keadaan tersebut penting dalam membantu lansia mengelola berat
badan mereka (Darmojo,2010).
b. Gigi dan Mulut
Gigi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat kesehatan dan
gizi yang baik. Perubahan fisiologis yang terjadi pada jaringan keras gigi
sesuai perubahan pada gingiva anak-anak. Setelah gigi erupsi, morfologi gigi
berubah karena pemakaian atau aberasi dan kemudian tanggal digantikan gigi
permanen. Pada usia lanjut gigi permanen menjadi kering, lebih rapuh,
berwarna lebih gelap, dan bahkan sebagian gigi telah tanggal (Arisman,2004).
Dengan hilangnya gigi geligi akan mengganggu hubungan oklusi gigi
atas dan bawah dan akan mengakibatkan daya kunyah menurun yang semula
maksimal dapat mencapai 300 poinds per square inch dapat mencapai 50
pound per square inch. Selain itu, terjadinya atropi gingiva dan procesus
alveolaris yang menyebabkan akar gigi terbuka dan sering menimbulkan rasa
sakit semakin memperparah penurunan daya kunyah. Pada lansia saluran
pencernaan tidak dapat mengimbangi ketidaksempurnaan fungsi kunyah
sehingga akan mempengaruhi kesehatan umum (Darmojo,2010).
c. Indera Pengecap dan Pencium
Dengan bertambahnya umur, kemampuan mengecap, mencerna, dan
mematobolisme makanan berubah. Penurunan indera pengecap dan pencium
pada lansia menyebabkan sebagian besar kelompok umur ini tidak dapat lagi
menikmati aroma dan rasa makanan.
Gangguan rasa pengecap pada proses penuaan terjadi karena
pertambahan umur berkorelasi negatif dengan jumlah ’taste buds’ atau tunas
pengecap pada lidah. Cherie Long (1986) dan Ruslijanto (1996) dalam
Darmojo (2010) menyatakan 80% tunas pengecap hilang pada usia 80 tahun.
Wanita pasca monopause cenderung berkurang kemampuan merasakan manis
dan asin. Keadaan ini dapat menyebabkan lansia kurang menikmati makanan
dan mengalami pemurunan nafsu makan dan asupan makanan.Gangguan rasa
pengecap juga merupakan manifestasi penyakit sistemik pada lansia
disebabkan kandidiasis mulut dan defisiensi nutrisi terutama defisiensi seng
(Seymour,2006).
d. Gastrointestinal
Motilitas lambung dan pengosongan lambung menurun seiring dengan
meningkatnya usia. Lapisan lambung lansia menipis. Di atas usia 60 tahun,
sekresi HCL dan pepsin berkurang. Akibatnya penyerapan vitamin dan zat
besi berkurang sehingga berpengaruh pada kejadian osteoporosis dan
osteomalasia pada lansia.
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makan dari faring ke
lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut
(Guyton&Hall,2004). Pada manusia lanjut usia, reseptor pada esofagus kurang
sensitif dengan adanya makanan. Hal ini menyebabkan kemampuan peristaltik
esofagus mendorong makanan ke lambung menurun sehingga pengosongan
esofagus terlambat (Darmojo,2010)
Berat total usus halus (di atas usia 40 tahun) berkurang, namun
penyerapan zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal, kecuali
kalsium dan zat besi (di atas usia 60 tahun). Di usus halus juga ditemukan
adanya kolonisasi bakteri pada lansia dengan gastritis atrofi yang dapat
menghambat penyerapan vitamin B. Selain itu, motilititas usus halus dan usus
besar terganggu sehingga menyebabkan konstipasi sering terjadi pada lansia
(Setiati,2000).
e. Hematologi
Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada usia lanjut sebagai
akibat dari proses menua pada sistem hematopoetik. Berdasarkan pengamatan
klinik dan laboratorik, didapatkan bukti bahwa pada batas umur tertentu,
sumsum tulang mengalami involusi, sehingga cadangan sumsum tulang pada
usia lanjut menurun. Beberapa variabel dalam pemeriksaan darah lengkap (full
blood count) seperti kadar hemoglobin, indeks sel darah merah
(MCV,MCH,MCHC), hitung leukosit,trombosit menunjukkan perubahan yang
berhubungan dengan umur.
Anemia kekurangan zat besi adalah salah satu bentuk kelainan
hematologi yang sering dialami pada lansia . Penyebab utama anemia
kekurangan zat besi pada usia lanjut adalah karena kehilangan darah yang
terutama berasal dari perdarahan kronik sistem gastrointestinal akibat berbagai
masalah pencernaan seperti tukak peptik, varises esofagus, keganasan
lambung dan kolon(Darmojo,2010).
Menurunnya cairan saluran cerna (sekresi pepsin) dan enzim-enzim
pencernaan proteolitik mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien.

6. Edukasi untuk pasien dan keluarga


 Reorientasi  pasang jam dinding dan kalender  memulihkan orientasi
 Memulihkan siklus tidur  memdamkan lampu, meminum susu hangat,
mendengarkan musik yang tenang  dapat tidur tanpa meminum obat
 Mobilisasi  latihan lingkup gerak sendi dan mobilisasi bertahab 
mobilisasi dapat pulih
 Penglihatan  menggunakan kacamata  meningkatkan kemampuan untuk
penglihatan
 Pendengaran  menggunakan alat bantu dengar  meningkatkan
kemampuan pendengaran
 Rehidrasi  deteksi dini rehidrasi, tingkatkan cairan oral  agar tidak terjadi
dehidrasi

Daftar Pustaka :

1. Depkes RI. 2003. Pedoman Tata Laksana Gizi Usia Lanjut Untuk Tenaga Kesehatan.
Direktorat Gizi Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat: Jakarta.
2. Fatimah-Muis S, Puruhati N.Gizi Pada Lansia. Dalam: Matono H, Pranaka K. Buku
ajar Boedhi-Damojo: geriatric (ilmu kesehatan usia lanjut). Jakarta: Balai Penerbit
FKUI: 2010.
3. Martono H. Gangguan kesadaran dan kognitif pada usia lanjut (konfusio akut dan
dementia). Dalam: Martono H, Pranaka K. Buku ajar Boedhi-Darmojo geriatri (ilmu
kesehatan usia lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2010.
4. Supariasa, I Dewa Nyoman. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Kedokteran
EGC.
5. Hesti, Harris S, Mayza A, Prihartono J. Pengaruh Gangguan Kognitif Terhadap
Gangguan Keseimbangan Pada Lanjut Usia. Neurona.2008;25:26- 31.

Anda mungkin juga menyukai