PANCASILA
TENTANG NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
Disusun Oleh :
FLORA AMANDA
1
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, maka kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “NKRI ” dan dengan harapan semoga makalah ini bisa
bermanfaat dan menjadikan referensi bagi kita sehinga lebih mengenal tentang sejarah NKRI
Makalah ini juga sebagai persyaratan tugas akhir pada Mata Kuliah Pancasila .Akhir kata
semoga bisa bermanfaat bagi Para Mahasiswa, Pelajar, Umum Khususnya pada diri saya
sendiri dan semua yang membaca makalah ini semoga bisa di pergunakan dengan
semestinya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1
PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan 3
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian NKRI dan Hakikat Negara 4
B. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 4
C. Negara Kebangsaaan Pancasila 7
D. Hakikat Negara Integralistik 8
E. Butiran-Butiran NKRI 10
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan 16
B. Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan negara yang dilewati oleh
garis katulistiwa yang memiliki kekayaan alam sangat melimpah, beragam kebudayaan, adat
istiadat,suku, ras,bahasa dan lain-;ain.
Indonesia merdeka pada tahun 1945 setelah melalui begitu banyak halangan dan
rintangan. Setelah merdeka, ada beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari negara
indonesia. Namun indonesia tidak begitu saja melepaskan daerah-daerah itu dengan mudah
untuk mendirikan negara baru.
Keutuhan bangsa dan negara indonesia harus tetap dijaga secara utuh. Dengan adanya
Pancasila, seluruh rakyat indonesia yang berasal dari beragam latar belakang kebudayaan,
adat istiadat, suku, ras, dan bahasa dapat dipersatukan.
Dalam makalah ini kami membahas tentang NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) secara luas untuk menambah wawasan dalam proses pembelajaran mata kuliah
Pendidikan Pancasila. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita, walaupun masih
terdapat banyak kekurangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut
1. Apa pengertian NKRI dan Hakikat Negara ?
2. Bagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia ?
3. Bagaimana Negara Kebangsaan Pancasila ?
4. Bagaimana Hakikat Negara Integralistik ?
5. Apa Butiran-Butiran NKRI ?
C. Tujuan Penulisan
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian NKRI
2. Hakikat Negara
Bangsa Indonesia dalam panggung sejarah berdirinya di dunia memiliki suatu cara
khas yaitu dengan mengangkat nilai-nilai yang telah dimilikinya sebelum membentuk suatu
negara modern. Nilai-nilai tersebut adalah berupa nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan, serta
nilai religius yang beraneka ragam sebagai suatu unsur. Bangsa Indonesia terdiri atas
berbagai macam suku, kelompok, adat-istiadat, kebudayaan serta agama. Selain itu agama
5
Indonesia juga tersusun atas unsur-unsur wilayah negara yang terdiri atas beribu-ribu pulau,
sehingga dalam membentuk negara Bangsa Indonesia menentukan untuk mempersatukan
berbagai unsur yang beraneka ragam tersebut dalam suatu negara.
Berdasarkan ciri khas proses dalam rangka membentuk suatu negara, maka bangsa
Indonesia mendirikan suatu negara memiliki suatu karakteristik, ciri khas tertentu yang
karena ditentukan oleh keanekaragaman, sifat dan karakternya, maka bangsa ini mendirikan
suatu negara berdasarkan Filsafat Pancasila, yaitu suatu Negara Persatuan, suatu Negara
Kebangsaan serta Negara yang Bersifat Integralistik. Hal itu sebagaimana dirumuskan dalam
bukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV. Dasar nilai filosofis negara dalam
hubungannya dengan bentuk negara, sebagaimana terkandung dalam Pasal (1) Undang-
Undang Dasar 1945 berbunyi: “ Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik”. Sebagai suatu kajian hermeneutis, pandangan tentang paham berbentuk negara
yang dikemukakan tatkala bangsa Indonesia mendirikan negara, yaitu dalam Sidang BPUPKI
tanggal 31 Mei 1945. Sebagaimana dijelaskan di atas Soepomo mengemukakan
pandangannya dengan membahas tiga teori bentuk negara besar di dunia, yaitu (1) aliran
negara yang menyatakan bahwa negara terdiri atas teori perseorangan (individualisme),
sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousscau, Herbert Spencer,
dan Harold J. Laski (2) Aliran lain adalah teori ‘golongan’ dari negara (class theory)
sebagaimana diajarkan oleh Marx, Engles, dan Lenin. (3) Aliran negara integralistik yang
diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel.
Pendapat Soepomo tersebut nampaknya senada dengan pandangan Soekarno, M.
Hatta dan Yamin, yang menekankan pentingnya integrasi baik individu maupun masyarakat.
Para pendiri Republik ini menyakini dan menyadari bahwa filsafat individualisme-liberalisme
tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Esensi negara kesatuan adalah terletak pada pandangan ontologis tentang hakikat
manusia sebagai subjek pendukung negara. Hakikat negara persatuan adalah masyarakat itu
sendiri. Dalam hubungan ini negara tidak memandang masyarakat sebagai suatu objek yang
berada di luar negara, melainkan sebagai sumber genetik dirinya, masyarakat sebagai suatu
unsur dalam negara yang tumbuh bersama dari berbagai golongan yang ada dalam
masyarakat untuk terselenggaranya kesatuan hidup dalam suatu interaksi saling memberi dan
menerima antar warganya. Negara kesatuan bukan dimaksudkan merupakan suatu kesatuan
dari negara bagian (federasi), melainkan kesatuan dalam arti keseluruhan unsur-unsur negara
yang bersifat fundamental. Oleh karena itu sifat kodrat manusia individu-makhluk sosial
sebagai basis ontologi negara kesatuan itu adalah merupakan kodrat yang diberikan oleh
Tuhan YME. Negara mengatasi semua golongan yang ada dalam masyarakat, negara tidak
memihak pada salah satu golongan, negara bekerja bagi kepentingan seluruh rakyat.
Masyarakat adalah produk dari interaksi antara segenap golongan yang ada didalamnya.
Dengan demikian negara adalah produk dari interaksi antara golongan yang ada dalam
masyarakat. Sebagai produk yang demikian maka ‘logic in it self’ bahwa negara mengatasi
setiap golongan yang ada dalam setiap golongan yang ada dalam masyarakat (Besar, 1995:
84).
Bangsa dan negara Indonesia adalah terdiri atas berbagai macam usut yang
membentuknya yaitu suku bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan serta agama secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan Pancasila sebagi suatu negara kesatuan sebagaimana termuat dalam Pembukaan
UUD 1945, Negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat. Ditegaskan kembali
Pokok Pikiran Pertama “....bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan yang melindungi
6
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Hakikat negara kesatuan dalam
pengertian ini adalah negara yang merupakan suatu kesatuan dari unsur-unsur yang
membentuknya, yaitu rakyat yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku bangsa, golongan,
kebudayaan, serta agama.
Pengertian ‘Persatuan Indonesia’ lebih lanjut dijelaskan secara resmi dalam
Pembukaan UUD 1945 yang termuat dalam berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 ,
bahwa bangsa Indonesai mendirikan negara Indonesia dipergunakan aliran ‘Negara
Persatuan’ yaitu negara yang mengatasi segala paham golongan dan paham perorangan. Jadi
‘Negara Persatuan’ bukanlah negara berdasarkan indivualisme, sebagaimana diterapkan di
negara liberal di mana negara hanya sebagai suatu iakatan individu saja.
Bhinneka Tunggal Ika: sebagaimana diketahui bahwa walaupun bangsa Indonesia
terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang memiliki karakter, kebudayaan serta adat-
istiadat yang beraneka ragam, namun keseluruhannya merupakan suatu kesatuan dan
persatuan negara dan bangsa Indonesia. Hakikat makna Bhinneka Tunggal Ika yang
memberikan sesuatu pengertian bahwa meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri atas
bermacam-macam suku bangsa yang memiliki adat-istiadat, kebudayaan serta karakter
berbeda-beda, memiliki agama yang berbeda-beda dan terdiri atas beribu-ribu kepulauan
wilayah nusantara Indonesia, namun keseluruhannya adalah merupakan suatu persatuan,
yaitu persatuan bangsa dan negara Indonesia. Perbedaan itu adalah merupakan suatu bawaan
kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan YME, namun perbedaan itu untuk dipersatukan
disintesiskan dalam suatu sintesis yang positif dalam suatu negara kebersamaan, negara
persatuan Indonesia (Notonegoro, 1975: 106)
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia adalah sebagai makhluk
Tuhan YME yang memiliki sifat kodrat sebagai makhluk individu yang memiliki kebebasan
dan juga sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Sebagaimana
dijelaskan di depan, menurut Yamin, bangsa Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu
bangsa dalam panggung politik internasional yaitu suatu bangsa yang modern yang memiliki
kemerdekaan dan kebebasan, berlangsung melalui tiga fase, yaitu zaman kebangsaan
Sriwijaya, negara kebangsaan zaman Majapahit. Kedua zaman negara kebangsaan tersebut
adalah merupakan kebangsaan lama, dan kemudian pada gilirannya masyarakat Indonesia
membentuk suatu Nationals Staat, atau suatu Etat Nationale, yaitu suatu negara kebangsaan
Indonesia Modern menurut susunan kekeluargaan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
serta kemanusiaan (sekarang Negara Proklamasi 17 Agustus 1945).
a. Hakikat Bangsa
Manusia sebagai makhluk Tuhan YME pada hakikatnya memiliki sifat kodrat sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Suatu bangsa bukanlah suatu manifestasi kepentingan
individu saja yang diikat secara imperatif dengan suatu peraturan perundangan-undangan
sebagaimana dilakukan oleh negara liberal. Demikian juga suatu bangsa bukanlah suatu
totalitas kelompok masyarakat yang menenggelamkan hak-hak individu sebagaimana terjadi
pada bangsa sosialis komunistis.
b. Teori Kebangsaan
Dakam tumbuh berkembangnya suatu bangsa atau juga disebut sebagai
‘Nation’, terdapat berbagai macam teori besar yang merupakan bahan komporasi bagi proses
pendirian negara Indonesia, untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki sifat dan
karakter sendiri.
7
C. Negara Kebangsaan Pancasila
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang, sejak
zaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit serta dijajah oleh bangsa asing selama tiga
setengah abad. Unsur masyarakat yang membentuk bangsa Indonesia terdiri atas berbagai
macam suku bangsa, berbagai macam adat-istiadat kebudayaan dan agama, serta berdiam
dalam suatu wilayah yang terdiri dari beribu-ribu pulau. Oleh karena itu, keadaan yang
beraneka ragam tersebut bukanlah merupakan suatu perbedaan untuk dipertentangkan,
melainkan perbedaan itu justru merupakan suatu daya penarik ke arah suatu kerjasama
persatuan dan kesatuan dalam suatu sintesis dan sinergi yang positif, sehingga
keanekaragaman itu justru terwujud dalam suatu kerjasama yang luhur.
Adapun unsur-unsur yang membentuk nasionalisme (bangsa) Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Kesatuan Sejarah: bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dari suatu proses sejarah, yaitu
sejak zaman prasejarah, zaman Sriwijaya, Majapahit, kemudian datang penjajah, tercetus
Sumpah Pemuda 1928 dan akhirnya memproklamasikan sebagai bangsa yang merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945, dalam suatu wilayah negara Republik Indonesia.
b. Kesatuan Nasib: yaitu bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki kesamaan nasib yaitu
penderitaan penjajahan selama tiga setengah abad dan memperjuangkan demi kemerdekaan
secara bersama dan akhirnya mendapatkan kegembiraan bersama atas karunia Tuhan Yang
Maha Esa tentang kemerdekaan.
c. Kesatuan Kebudayaan: Walaupun bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan,
namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yaitu kebudayaan nasional Indonesia.
Jadi, kebudayaan nasional Indonesia tumbuh dan bekembang di atas akar-akar kebudayaan
daerah yang menyusunnya.
d. Kesatuan Wilayah: bangsa ini hidup dari mencapai penghidupan dalam wilayah Ibu Pertiwi,
yaitu satu tumpah darah Indonesia.
e. Kesatuan Asas Kerokhanian: bangsa ini sebagai satu bangsa memiliki kesamaan cita-cita,
kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup yang berakar dari pandangan hidup
masyarakat Indonesia sendiri yaitu pandangan hidup Pancasila (Notonegoro, 1975:106).
Pancasila sebagai asas kerokhanian bangsa dan negara pada hakikatnya merupakan
suatu asas kebersamaan, asas kekeluargaan serta religius. Dalam pengertian inilah maka
bangsa Indonesia dengan keanekaragamannya tersebut membentuk suatu kesatuan integral
sebagai suatu bangsa yang merdeka. Bangsa Indonesia yang membentuk suatu persekutuan
hidup dengan mempersatukan keanekaragaman yang dimilikinya dalam suatu kesatuan
integral yang disebut negara Indonesia, Soepomo pada sidang pertama BPUPKI tanggal 31
Maret 1945, mengusulkan tentang paham integralistik yang dalam kenyataan objektivnya
berakar pada budaya bangsa. Pemikiran Soepomo tentang negara integralistiktersebut adalah
sebagai berikut:
“Maka semangat kebatinan, struktur kerokhanian dari bangsa Indonesia bersifat dan
cita-cita persoalan hidup, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia bathin, antara
makrokosmos dan mikrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia
sebagai golongan manusia itu tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia dianggap
mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri menurut kodratnya dan
8
segala-segalanya ditujukan kepada keseimbangan lahir dan bathin. Manusia sebagai
seseorang tidak terpisah dari seseorang yang lain atau dunia luar, dari golongan manusia,
maka segala sesuatu bercampur baur bersangkut paut, segala sesuatu berpengaruh dan
kehidupan mereka bersangkut paut” (Sekretariat Negara, 1995).
Kesatuan integral bangsa bangsa dan negara Indonesia dipertegas dalam pokok
pikiran pertama, “....Negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia”. Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu penjelmaan dari sifat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam pengertian yang demikian ini
maka manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang saling tergantung, sehingga hakikat
manusia itu bukanlah total individu dan juga bukan total makhluk sosial. Relasi yang saling
tergantung tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah merupakan suatu suatu totalitas
makhluk individu dan makhluk sosial. Adapun penjelmaan dalam wujud persekutuan hidup
bersama adalah terwujud dalam suatu bangsa yang memiliki kesatuan integralistik (Besar,
1995: 77, 78). Dalam pengertian ini paham integralistik memberikan suatu prinsip bahwa
negara adalah suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya, negara mengatasi
semua golongan bagian-bagian yang membentuk negara, negara tidak memihak pada suatu
golongan betapapun golongan tersebut sebagai golongan terbesar. Negara dan bangsa adalah
untuk semua unsur yang membentuk kesatuan tersebut.
Paham integralistik yang terkandung dalam Pancasila meletakkan azas kebersamaan
hidup, mendambakan keselarasan dalam hhubungan antar individu maupun masyarakat.
Dalam pengertian ini paham negara integralistik tidak memihak pada yang kuat, tidak
mengenal dominasi mayoritas dan juga tidak mengenal tirani minoritas. Maka di dalamnya
terkandung nilai kebersamaan, kekeluargaan, ke-“Bhinneka Tunggal Ikaan”,nilai religius,
serta keserasian (Parieta, 1995:274).
Pemikiran negara integralistik yang telah berakar pada budaya bangsa Indonesia sejak
zaman dahulu kala pada hakikatnya terdiri atas bagian-bagian yang secara mutlak
membentuk suatu kesatuan. Bangsa Indonesia terdiri atas manusia-manusia sebagai individu,
keluarga-keluarga, kelompok-kelompok, golongan-golongan, suku bangsa-suku bangsa,
adapun wilayah terdiri atas pulau-pulau keseluruhannya itu merupakan suatu kesatuan baik
lahir maupun bathin.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk jasmani rokhani, makhluk pribadi dan
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, serta manusia adalah makhluk individu dan
makhluk sosial. Keseluruhan unsur hakikat manusia tersebut adalah merupakan suatu totalitas
yang bersifat ‘majemuk tunggal’ atau ‘monopluralis’. Sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial yang merupakan sifat dasar dari totalitas manusia dalam negara.
Dalam negara sebagai suatu totalitas senantiasa terdapat sejumlah subjek yang senantiasa
berelasi antara satu dengan lainnya. Relasi yang memacu ke arah terbentuknya kebersamaan
yang bersifat totalitas hanyalah relasi yang ekuivalensi, yaitu di satu sisi mengandung
kemiripan atau kesamaan. Kemiripan membuat subjek saling membutuhkan dengan lain
perkataan ‘saling tergantung’. Perpaduan antara ‘saling relevan’ dengan ‘saling tergantung’
inilah yang menggerakkan terjadinya interaksi antar subjek serta tanggapan yang memadai
terhadap kondisi saling tergantung adalah ‘saling memberi’ antar subjek, bilamana mereka
menghendaki terpeliharanya eksistensinya dalam negara. Hanya dengan perantara interaksi
antar subjek dengan saling memberi serta saling tergantung, maka dapat memelihara
eksistensinya dalam kebersamaan. Hal ini telah terekspresi dalam akar budaya Indonesia
dalam ungkapan-ungkapan, “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, “Persatuan
Indonesia”, “Wawasan Nusantara”, serta “Bhinneka Tunggal Ika”.
9
Totalitas dalam kehidupan negara itu, secara alami memberikan karakteristik pada
manusia (1) manusia adalah makhluk yang saling tergantung antara satu dan lainnya maupun
dengan lingkungannya, (2) tugas hidup manusia secara kodrat adalah memberi kepada
lingkungannya. (Besar, 1995: 77, 78).
Jati diri integralistik Indonesia memang sebagai suatu paham tersendiri di samping
paham-paham besar dunia yaitu individualisme, liberalisme, dan sosialisme-komunisme.
10
F. Butiran-Butiran NKRI
Penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari
Tuhan baik material maupun spiritual. Hal ini ditegaskan oleh Moh. Hatta, bahwa sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita
untuk menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan
dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini maka politik negara mendapat dasar moral yang
kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin kerohanian rah jalan kebenaran, keadilan,
kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.
11
Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila adalah bukan negara sekuler yang
memisahkan negara dengan agama, karena hal ini tercantum dalam pasal 29 ayat (1) yang
intinya bahwa negara sebagai persekutuan hidup adalah Berketuhanan Yang Maha Esa.
Konsekuensinya segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus sesuai
dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari Tuhan.
Negara Pancasila pada hakikatnya megatasi segala agama dan menjamin kehidupan
agama dan umat beragama, karena beragama adalah hak asasi yang bersifat mutlak. Pasal 29
ayat (2) memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara untuk memeluk agama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan masing-masing.
Hubungan negara dengan agama menurut paham Theokrasi bahwa antara negara
dengan agama tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, pemerintahan
dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat,
bangsa dan negara didasarkan atas firman-firman Tuhan.
Paham Liberal
Manusia menurut paham liberalisme memandang bahwa manusia sebagai manusia
pribadi yang utuh dan lengkap dan terlepas dari manusia lainnya. Manusia sebagai individu
memiliki potensi dan senantiasa berjuang untuk dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah
maka dalam hidup masyarakat bersama akan menyimpan potensi konflik, manusia akan
menjadi ancaman bagi manusia lainnya. Negara menurut liberalisme harus tetap menjamin
kebebasan individu, dan untuk itu maka manusia secara bersama-sama mengatur negara.
Atas dasar fundamental hakikat manusia tersebut maka dalam kehidupan masyarakat
bersama yang disebut negara, kebebasan individu sebagai basis demokrasi, bahkan hal ini
merupakan unsur yang fundamental. Liberalisme tetap pada suatu prinip bahwa rakyat adalah
merupakan ikatan dari individu-individu yang bebas, dan ikatan hukumlah yang mendasari
kehidupan bersama dalam negara.
12
kesepakatan individu-individu sebagai warga negaranya. Dalam sistem negara liberal
membedakan dan memisahkan antara negara degan agama atau bersifat sekuler.
2. NKRI adalah Negara Kebangsaan Yang Berkemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Negara Indonesia adalah Negara Persatuan, dalam arti bahwa negara adalah
merupakan suatu kesatuan dari unsur-unsur yang membentuk negara baik individu maupun
masyarakat sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia. Hakikat negara persatuan bahwa negara
adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat pada hakikatnya mewakili diri pada
penyelenggaraan negara, menata dan mengatur dirinya dalam mencapai tujuan
hidupnya. Negara kesatuan bukan dimaksudkan merupakan suatu kesatuan dari negara
bagian (federasi), melainkan kesatuan dalam arti keseluruhan unsur-unsur negara yang
bersifat fundamental. Oleh karena itu sifat kodrat manusia individu-individu sosial sebagai
basis ontologis negara kesatuan itu adalah merupakan kodrat yang diberikan oleh Tuhan
YME.
13
Nilai filosofis persatuan, dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan menjadi kunci
kemajuan suatu bangsa.
Negara menurut filsafat pancasilaadalah dari oleh dann untuk rakyat. Hakikat rakyat
adalah sekelompok manusia yang bersatu yang memiliki tujuan tertentu dan hidup dalam satu
wilayah negara. Di berbagai negara, sistem demokrasi diterapkan misalnya Perdana Menteri
dipilih oleh parlemen. Berdasarkan berbagai teori dan konsep pemikiran demokrasi dan
praktis demokrasi, maka demokrasi seyogyanya dipahami dan perspektif yang komprehensif,
yaitu meliputi aspek filosofis, normatif, dan praktis. Aspek filosofis menyangkut dasar
filosofis demokrasi yang menjadi dasar hakikat sesuai dengan landasan ontologis. Aspek
normatif menyangkut bagaimana norma-norma sebagai asa dan aturan dalam demokrasi
dikembangkan berlandaskan dasar filosofis masyarakat, bangsa, dan negara.
Prinsip demokrasi ini didasarkan pada suatu filsafat kenegaaraan bahwa manusia
adalah sebagai makhluk individu yang bebas artinya kebebasan individu sebagai dasar
fundamental dalam pelaksanaan demokrasi. Menurut Held (1995:10), bahwa demokrasi
perwakilan liberal merupakan suatu pembaharuan kelembagaan pokok untuk mengatasi
problema keseimbangan antara kekuasaan memaksa dan kebebasan. Kebebasan yang
dimaksudkan adalah jaminan kebebasan secara individual, baik dalam kehidupan politik,
ekonomi, sosial, keagamaan bahkan kebebasan anti agama. Konsekuensi dari implementasi
sistem dan prinsip demokrasi adalah berkembang persaingan bebas, terutama dalam
kehidupan ekonomi sehingga akibatnya individu yang tidak mampu menghadapi persaingan
tersebut akan tenggelam.
14
musyawarah. Jadi, dalam pelaksanaan demokrasi tidak hanya didasarkan atas prinsip
kuantitas metematis belaka, melainkan dalam berbagai aspek ditentukan dengan musyawarah,
dengan berbagai pertimbangan akan tetapi paradigmanya demi kesejahteraan rakyat.
Tujuan negara dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945. Hal inilah yang merupakan
cita-cita ideal filosofis bagi negara Indonesia (Assiddiqie). Nampaknya pada reformasi ini
lebh menekankan pada aspek negara hukum formal, yaitu hasil reformasi lebih utama pada
aspek politik hukum. Menurut Darwin, dalam reformasi dewasa ini demokrasi dikatakan
mengalami deficit yaitu perolehan atau manfaat yang diterima masyarakat denagn hadirnya
demokrasi, lebih rendah dibandingkan dengan ongkos demokrasi baik dalam arti finansial
yang dikeluarkan dan ditanggung oleh rakyat, maupun negara untuk menggelar pesta
demokrasi tersebut. Jadi, sistem demokrasi Indonesia belum efektif, karena biaya yang
dikeluarkan untuk mensejahterakan rakyat, dipaksa dikeluarkan untuk membiayai demokrasi
yang kenyataannya tidak menyentuh kedaulatan rakyat. Seperti juga adanya korupsi yang
dilakukan oleh para wakil rakyat, hal ini tidak sesuai dengan demokrasi menurut Filsafat
Pancasila, yang mendasarkan demokrasi pada kedaulatan rakyat.
Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang berarti
bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sifat
kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan dalam hidu
bersama (Keadilan Sosial). Dalam hidup bersama baik dalam masyarakat, bangsa, dan negara
harus terwujud suatu keadilan (Keadilan Sosial), yang meliputi tiga hal yaitu: (1)keadilan
distributif (keadilan membagi), yaitu negara terhadap warganya, (2) keadilan legal (keadilan
bertaat), yaitu warga terhadap negaranya untuk mentaati peraturan perundangan, dan
(3) keadilan komutatif (keadilan antar sesama warga negara), yaitu hubungan keadilan antara
warga satu dengan lainnya secara timbal balik (Notonegoro, 1975).
Sebagai suatu negara berkeadilan sosial maka negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila sebagai suatu negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap warganya
dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan warganya
(tujuan khusus). Adapun tujuan dalam pergaulan antar bangsa di masyarakat internasional
bertujuan: “ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial”.
Realisasi dan perlindungan keadilan dalam hidup bersama dalam suatu negara
kebangsaan, mengharuskan negara untuk menciptakan suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam pengertian inilah maka negara kebangsaan yang berkeadilan sosial harus merupakan
suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Sehingga sebagai suatu negara hukum harus
terpenuhi adanya tiga syarat pokok yaitu: (1) pengakuan dan perlindugan atas hak-hak asasi
15
manusia, (2) peradilan yang bebas, dan (3) legalitas dalam arti hukum dalam segala
bentuknya.
Dalam realisasinya Pembangunan Nasional adalah suatu upaya untuk mencapai tujuan
negara, sehingga Pembangunan Nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan sebagai
dasar operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam pemerintahan
negara. Dalam realisasinya pemerintah mengembangkan Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Pertimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut
dijelaskan bahwa Pemerintah Pusat memberikan otonomi yang seluas-luasnya dalam
mengatur dan menjalankan roda pemerintahan daerah masing-masing, dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Berdasarkan asas keadilan sebagaimana terkandung dalam sila kelima Pancasila,
seharusnya tidak meninggalkan hakikat negara persatuan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, karena
praktek otonomi daerah yang tidak mendasarkan pada prinsip negara persatuan dewasa ini
menimbukan disparitas di bidang ekonomi, sosial, politik bahkan kebudayaan. Prinsipnya
berdasarkan sila kelima Pancasila, prinsip demokrasi melalui otonomi daerah harus tetap
diarahkan pada tujuan pokok negara yaitu kesejahteraan seluruh rakyat dan tetap meletakkan
pada prinsip persatuan.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik
yang sifatnya membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
18