“PATIENT SAFETY”
Dosen Pengampuh :
Ns. Petronela Mamentu, S.Kep., M.Kep
Disusun Oleh
Kelompok 3 :
1. Sri Sulastri Ilahude (1801008)
2. Serni Untu (1801033)
3. Fiona V.I Sabentar (1801057)
4. Dwi Wahyuni Umasangaji (1801060)
5. Febriyanti Basri Nopo (1801063)
6. Vivi Faddrianti Koimakie (1801085)
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………2
DAFTAR ISI………………………………………………………….......3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………...4-5
A. Latar Belakang……………………………………………………4
B. Rumusan Masalah………………………………………………...5
C. Tujuan…………………………………………………………….5
BAB II PEMBAHASAN………………………...…………………….....6-14
A. Resiko Keselamatan Pasien Yang Mungkin
Terjadi Dalam Pelayanan Kesehatan.……………………………6
B. Indicator Keselamatan Pasien…….………………………………9
C. Manajemen Keselamatan Pasien….…………………..…………10
BAB III ANALISA JURNAL……………………………………………15-24
BAB IV PENUTUP……………………………………………………...25
A. Kesimpulan………………………………………………………25
B. Saran……………………………………………………………..25
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………26
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keselamatan pasien dan mutu pelayanan kesehatan seharusnya merupakan
prinsip dasar dalam pelayanan kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan perlu
melakukan perubahan paradigma pelayanan dari “Quality”, menjadi “Quality and
Safety”. Fasilitas pelayanan kesehatan bukan hanya fokus kepada peningkatan mutu
pelayanan namun turut menerapkan keselamatan pasien secara konsisten. Perbaikan
pada kualitas pelayanan seharusnya sejalan dengan meningkatnya keselamatan
pasien dan meminimalkan terjadinya insiden. Peningkatan pada kedua hal tersebut
merupakan harapan oleh semua pihak, seperti rumah sakit, pemerintah, pihak
jaminan kesehatan, serta pasien, keluarga dan masyarakat. Namun, hasil penelitian
menunjukkan bahwa masih memiliki jalan panjang untuk benar-benar meningkatkan
keselamatan pasien.
Masalah keselamatan pasien dari sejak terbitnya publikasi “To Err is Human”
pada tahun 2000 hingga studi-studi terkini, masih menunjukkan penerapan
keselamatan pasien masih belum sesuai dengan harapan. Prinsip “First, do no harm”
tidak cukup kuat untuk mencegah berkembangnya masalah keselamatan pasien.
Hasil penelitian di Amerika pada akhir tahun 1990-an ditemukan angka 3,7% dan
2,9% angka kejadian tidak diharapkan (KTD) pada pasien rawat inap. Pengukuran
dengan Global Trigger Tool menunjukkan bahwa angka KTD sebesar 33,2% (29-
36%) atau setiap 91 dari 1000 pasien per hari, terjadi peningkatan 10 kali lipat.
Studi Iberoamerican Study of Adverse Events (IBEAS) di 58 rumah sakit dari 5
negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa KTD sebesar 10,5%.
Pada tahun 2013, kesalahan medis (medical error) menjadi penyebab kematian
ketiga di Amerika Serikat, sekitar lebih dari 250.000 kematian per tahun. Survei
terbaru tahun 2017 masih menemukan sekitar 21% pasien memiliki pengalaman
kesalahan medis. Ketika kesalahan medis terjadi, itu turut berdampak pada kesehatan
fisik dan emosional pasien, finansial/keuangan serta hubungan keluarga. Di Amerika
Serikat, setiap tahun 1 dari 20 orang dewasa mengalami kesalahan diagnostik
(diagnostic error). Kesalahan diagnostik bisa memiliki konsekuensi serius, yang
dapat menyebabkan kesenjangan perawatan, prosedur yang tidak perlu, tes ulang
(repeat testing) dan membahayakan pasien. ECRI Institute menyatakan bahwa
4
banyak kematian di rumah sakit yang dengan perjalanan alami penyakit mungkin
merupakan hasil dari kesalahan diagnostic.
Di Indonesia, penelitian Utarini et al. menunjukkan bahwa angka KTD sangat
bervariasi, untuk kesalahan diagnosis yaitu 8,0% hingga 98,2% dan kesalahan
pengobatan sebesar 4,1% hingga 91,6%. Terus berkembangnya penelitian tentang
keselamatan pasien di berbagai daerah, namun sampai saat ini belum ada studi
nasional.
Fasilitas pelayanan kesehatan harus dapat menjamin keamanan dan
mutupelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien, pengaturan
keselamatan pasien bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan fasilitas
pelayanan kesehatan melalui penerapan manajemen risiko dalam seluruh aspek
pelayanan yang disediakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja resiko keselamatan pasien yang mungkin terjadi dalam pelayanan
Kesehatan?
2. Apa saja indicator keselamatan pasien?
3. Bagaimana cara untuk melakukan manajemen resiko?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui resiko keselamatan pasien yang mungkin terjadi dalam
pelayanan Kesehatan
2. Untuk mengetahui indicator keselamatan pasien
3. Untuk mengetahui manajemen resiko
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Resiko Keselamatan Pasien Yang Mungkin Terjadi Dalam Pelayanan
Kesehatan
a. Definisi Patient Safety
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi
untuk meminimalkan resiko (Depkes RI, 2008).
Menurut Nursalam (2011), pasien safety adalah penghindaran, pencegahan dan
perbaikan dari kejadian yang tidak diharapkan atau mengatasi cedera-cedera dari
proses pelayanan kesehatan. Program keselamatan pasien adalah suatu usaha untuk
menurunkan angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada
pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga sangat merugikan baik pasien itu
sendiri maupun pihak rumah sakit (Cecep, 2013).
c. Definisi Resiko
Resiko merupakan variasi dalam hal-hal yang mungkin terjadi secara alami di
dalam suatu situasi. Risiko adalah ancaman terhadap kehidupan, properti atau
keuntungan finansial akibat bahaya yang terjadi. Secara umum risiko dikaitkan
dengan kemungkinan (probabilitas) terjadinya peristiwa diluar yang diharapkan. Jadi,
risiko adalah peluang terjadinya sesuatu yang akan berdampak pada tujuan. Secara
umum risiko dapat diklasifikasikan menurut berbagai sudut pandang yang
tergantung dari kebutuhan dalam penanganannya :
1. Resiko murni dan risiko spekulatif (Pure risk and speculative risk). Dimana
risiko murni dianggap sebagai suatu ketidakpastian yang dikaitkan dengan
adanya suatu luaran (outcome), yaitu kerugian.
2. Resiko terhadap benda dan manusia. Dimana risiko terhadap benda adalah risiko
yang menimpa benda, seperti rumah terbakar, sedangkan risiko terhadap manusia
adalah risiko yang menimpa manusia seperti, cidera kematian.
3. Resiko fundamental dan risiko khusus (fundamental risk and particular risk).
Risiko fundamental adalah risiko yang kemungkinannya dapat timbul pada
hampir sebagian besar anggota masyarakat dan tidak dapat disalahkan pada
seseorang atau beberapa orang sebagai penyebabnya, contoh risiko fundamental :
bencana alam, peperangan. Risiko khusus adalah risiko yang bersumber dari
peristiwa-peristiwa yang mandiri dimana sifat dari risiko ini adalah tidak selalu
bersifat bencana, bisa dikendalikan atau umumnya dapat diasuransikan. Risiko
hanya dapat ditangani dengan baik apabila ada kejelasan sasaran.
7
a) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan risiko bahaya tertusuk,
terpotong, tergores, dan lain-lain. Contohnya tertusuk jarum suntik.
b) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Contohnya kereta dorong
untuk mengangkut pasien dan barang-barang logistik. Risiko yang dapat
terjadi adalah pasien jatuh dari brankart/tempat tidur, terjepit /tertabrak kereta
dorong, dan lain-lain.
c) Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam.
d) Resiko jatuh dari ketinggian, terpeleset, tersandung, dan lain-lain.
2) Risiko bahaya radiasi :
a) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang
mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh di rumah
sakit: diunit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.
b) Bahaya radiasi non pengion adalah radiasi elektromagnetik dengan energi
yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau radiasi
gelombang mikro.
3) Resiko bahaya akibat kebisingan adalah kebisingan akibat alat kerja atau
lingkungan kerja yang melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin
berada di ruang boiler, generator listrik, dan peralatan yang menggunakan
alat-alat cukup besar dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau dan
dikendalikan.
4) Resiko bahaya akibat pencahayaan adalah pencahayaan pada lingkungan
kerja yang kurang atau berlebih.
5) Resiko bahaya listrik adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus
listrik.
6) Resiko bahaya akibat iklim kerja adalah berupa suhu ruangan dan tingkat
kelembaban.
7) Resiko bahaya akibat getaran adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di
rumah sakit tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang
menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian housekeeping /
rumah tangga yang menggunakan mesin pemotong rumput (bagian taman).
10
C. Manajemen Resiko
a. Definisi Manajemen Resiko
Manajemen resiko dalam pelayanan kesehatan digunakan untuk memberikan
lingkungan yang aman dan efektif bagi pasien, pengunjung, dan karyawan sehingga
dapat mencegah dan mengurangi kerugian institusi. Pontensial menjadi fokus
kegiatan manajemen risiko (Pozgar, 2007, Carol, 2009) termasuk biaya (Dukers,
2009)
Manajemen risiko adalah usaha adalah usaha yang secara rasional untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian dari resiko yang dihadapi. Risiko
tidak cukup dihindari, tapi harus dihadapi dengan cara-cara memperkeci
kemungkinan terjadinya suatu kerugian (Kasidi, 2010:4).
Manajemen risiko adalah kemampuan seorang manajer untuk menata
kemungkinan variabilitas pendapatan dengan menekan sekecil mungkin tingkat
kerugian yang diakibatkan oleh keputusan yang diambil dalam menggarap situasi
yang tidak pasti (Iban Sofyan, 2005:2).
11
3. Manajemen risiko adalah bagian dari pengambilan keputusan (part of decision
making)
Manajemen risiko membantu pengambil keputusan mengambil keputusan
dengan informasi yang cukup. Manajemen risiko dapat membantu
memprioritaskan tindakan dan membedakan berbagai pilihan alternatif tindakan.
Pada akhirnya, manajemen risiko dapat membantu memutuskan apakah suatu
risiko dapat diterima atau apakah suatu penanganan risiko telah memadai dan
efektif.
4. Manajemen risiko secara eksplisit menangani ketidakpastian (explicitly
addresses uncertainty)
Manajemen risiko menangani aspek-aspek ketidakpastian dalam pengambilan
keputusan, sifat alami dari ketidakpastian itu, dan bagaimana menanganinya.
5. Manajemen risiko bersifat sistematis, terstruktur, dan tepat waktu (systematic,
structured and timely)
Suatu pendekatan sistematis, tepat waktu, dan terstruktur terhadap manajemen
risiko memiliki kontribusi terhadap efisiensi dan hasil yang konsisten, dapat
dibandingkan, serta andal.
6. Manajemen risiko berdasarkan informasi terbaik yang tersedia (based on the best
available information)
Masukan untuk proses pengelolaan risiko didasarkan oleh sumber informasi
seperti pengalaman, umpan balik, pengamatan, prakiraan, dan pertimbangan
pakar. Meskipun demikian, pengambil keputusan harus terinformasi dan harus
mempertimbangkan segala keterbatasan data atau model yang digunakan atau
kemungkinan perbedaan pendapat antar pakar.
7. Manajemen risiko dibuat sesuai kebutuhan (tailored)
Manajemen risiko diselaraskan dengan konteks eksternal dan internal organisasi
serta profil risikonya.
8. Manajemen risiko memperhitungkan faktor manusia dan budaya (takes human
and cultural factors into account)
Manajemen risiko organisasi mengakui kapabilitas, persepsi, dan tujuan pihak-
pihak eksternal dan internal yang dapat mendukung atau malah menghambat
pencapaian tujuan organisasi.
9. Manajemen risiko bersifat transparan dan inklusif (transparent and inclusive)
12
Pelibatan para pemangku kepentingan, terutama pengambil keputusan, dengan
sesuai dan tepat waktu pada semua tingkatan organisasi, memastikan manajemen
risiko tetap relevan dan mengikuti perkembangan. Pelibatan ini juga
memungkinkan pemangku kepentingan untuk cukup terwakili dan
diperhitungkan sudut pandangnya dalam menentukan kriteria risiko.
10. Manajemen risiko bersifat dinamis, iteratif, dan responsif terhadap perubahan
(dynamic, iterative and responsive to change)
Seiring dengan timbulnya peristiwa internal dan eksternal, perubahan konteks
dan pengetahuan, serta diterapkannya pemantauan dan peninjauan, risiko-risiko
baru bermunculan, sedangkan yang ada bisa berubah atau hilang. Karenanya,
suatu organisasi harus memastikan bahwa manajemen risiko terus menerus
memantau dan menanggapi perubahan.
11. Manajemen risiko memfasilitasi perbaikan dan pengembangan berkelanjutan
organisasi (facilitates continual improvement and enhancement of the
organization)
Organisasi harus mengembangkan dan mengimplementasikan strategi untuk
memperbaiki kematangan manajemen risiko mereka bersama aspek-aspek lain
dalam organisasi mereka.
13
7. Membangun kemampuan mensosialisasikan pemahaman mengenai risiko dan
pentingnya pengelolaan risiko.
8. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui penyediaan informasi tingkat risiko
yang digambarkan dalam peta risiko (risk map) yang berguna bagi manajemen
dalam pengembangan strategi dan perbaikan proses manajemen risiko secara
terus menerus dan berkesinambungan.
14
BAB III
ANALISA JURNAL
HUBUNGAN BEBAN KERJA FISIK DAN MENTAL PERAWAT DENGAN
PENERAPAN PASIEN SAFETY PADA MASA PANDEMI COVID 19 DI UPT
PUSKESMAS RAWAT INAP KABUPATEN PESAWARAN
15
cidera (KNC), kejadian tidak cidera (KTC),
kejadian potensial cidera (KPC) dan sentinel
(permenkes, 2011 dalam (Qomariah, S. N., &
Lidiyah, U. A. 2015). Secara keseluruhan program
pasien safety sudah diterapkan, namun masalah
dilapangan merujuk pada konsep pasien safety,
karena walaupun sudah pernah mengikuti
sosialisasi, tetapi masih ada pasien cedera, risiko
jatuh, risiko salah pengobatan, pendelegasian yang
tidak akurat saat operan pasien yang
mengakibatkan keselamatan pasien menjadi kurang
maksimal (Lombogia, A., Rottie, J., & Karundeng,
M. 2016).
Tujuan : Diketahui hubungan antara variabel
beban kerja fisik dan mental dengan penerapan
pasien safety pada perawat di UPT Puskesmas
Rawat Inap Kabupaten Pesawaran
Metode : Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
dengan menggunakan metode survey analitik dan
pendeketan cross sectional. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh perawat rawat inap di
UPT Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Pesawaran
yaitu berjumlah 40 orang.
Hasil : Uji statistik beban kerja fisik chi-square,
didapat P-Value = 0,019 sehingga P-Value 0,05)
maka Ha ditolak dengan nilai Oods Ratio 1.857
Kesimpulan : terdapat hubungan beban kerja fisik
perawat dengan penerapan pasien safety pada masa
pandemi covid 19 di UPT Puskesmas Rawat Inap
Kabupaten Pesawaran dan tidak ada hubungan
beban kerja mental perawat dengan penerapan
pasien safety pada masa pandemi covid 19 di UPT
Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Pesawaran.
16
Saran agar meminimalisir pekerjaan yang tidak
terselesaikan dan resiko terjadinya kesalahan dalam
melakukan tindakan keperawatan.
INTRODUCTION/PENGANTAR
17
yang telah dipakai oleh peneliti sebelumnya yaitu
Kambuaya (2016), beban kerja mental
menggunakan kuisioner yang telah dipakai
sebelumnya oleh Puspitasari (2012) dengan jumlah
28 pertanyaan, dan pasien safety menggunakan
kuisioner yang telah dipakai oleh Renggayuni
(2016) dengan jumlah 15 pertanyaan
- Eligibilty criteria / 6 Indonesian Journal of Health Development 2
Kriteria Kelayakan (2), 108-118, 2020
- Information sources / 7 Lombogia, A., Rottie, J., & Karundeng, M. (2016).
Sumber Informasi Hubungan Perilaku Dengan Kemampuan Perawat
Dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien (Patient
Safety) Di Ruang Akut Instalasi Gawat Darurat
RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. Jurnal
Keperawatan, 4(2).
Vanchapo, Antonius Rino. (2020). Beban Kerja
dan Stres Kerja. Pasuruan : CV Qiara Media
Yudi, D., Tangka, J. W., & Wowiling, F. (2019).
Hubungan Beban Kerja Fisik Dan Mental Perawat
Dengan Penerapan Patient Safety Di Igd Dan Icu
Rsu Gmim Pancaran Kasih Manado. Jurnal
Keperawatan, 7(1).
- Search / Cari 8 Beban kerja fisik, beban kerja mental, pasien safety
- Study selection / Seleksi 9 Manajemen Keperawatan
studi
- Data collection procces / 10 Pengumpulan Data
Proses Pengumpulan Data Berdasarkan data di UPT Puskesmas Rawat Inap
Tegineneng Kabupaten Pesawaran pada tahun
2019. Dilaporkan angka Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD) sebesar 10,5% dan Kejadian
Nyaris Cedera (KNC) sebesar 6,15%. Sedangkan,
UPT Puskesmas Rawat Inap Kedondong
berdasarkan capaian keselamatan pasien tahun
18
2019 diketahui bahwa pada indikator pengkajian
awal klinis yang terisi lengkap mencapai 50%
kepatuhan CTPS dengan 6 langkah cuci tangan
80% dan kapatuhan penggunaan APD 80%.
Data yang didapat pada tahun 2019 di UPT
Puskesmas Rawat Inap Hanura Kecamatan Teluk
Pandan Kabupaten Pesawaran, bahwa perawat
mengalami beban kerja fisik sebesar 20,5% dan
beban kerja mental sebesar 35,7% pada tahun 2018.
Kemudian pada UPT Puskesmas Rawat Inap
Tegineneng, beban kerja fisik sebesar 24,9% dan
beban kerja mental sebesar 39,4%
- Data Item / Item Data 11 Karakteristik respoden
Berdasarkan tingkat Pendidikan : menunjukkan
tingkat pendidikan yang dimiliki perawat diruang
rawat inap di puskesmas rawat inap kabupaten
pesawaran. Dari 40 responden dapat diketahui
bahwa mayoritas atau sejumlah 23 responden
(57.5%) di ruang rawat inap memiliki jenjang
terakhir D3 keperawatan, sedangkan 17 responden
(42.5%) yang lain memiliki jenjang pendidikan
terakhir S1 ners.
Berdasarkan Usia : Distribusi frekuensi
berdasarkan usia menunjukkan bahwa usia
responden paling banyak pada usia dewasa awal
26-35 tahun, yaitu sebanyak 29 orang responden
(72.5%), di usia remaja akhir 17-25 tahun yaitu
sebanyak 4 orang responden (10.0%) dan pada usia
dewasa akhir 36-45 tahun yaitu sebanyak 7 orang
responden (17.5%).
- Hasil Penelitian 12 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada
perawat di puskesmas rawat inap kabupaten
pesawaran dapat diketahui bahwa besarnya
19
signfikasi adalah 0,019<0,05. Hal ini menjawab
hipotesis bahwa apabila tingkat signifikan <0,05
H0 ditolak. Maka, hasil tersebut dapat dinyatakan
bahwa ada hubungan beban kerja fisik dengan
penerapan pasien safety di UPT puskesmas rawat
inap kabupaten pesawaran. Penyebab terjadinya
hubungan beban kerja fisik perawat dengan
penerapan pasien safety yaitu tidak memiliki
kecukupan tenaga perawat mempunyai risiko lebih
tinggi dalam menimbulkan dampak merugikan bagi
pasien seperti peningkatan angka kejadian infeksi,
shock, dan kegagalan untuk memberikan
pertolongan kepada pasien.
Kejadian tidak diharapkan tersebut kemungkinan
terjadi disebabkan karena ketidakseimbangan
antara jumlah pasien dengan jumlah perawat yang
bekerja di puskesmas tersebut, sehingga perawat
mendapat beban kerja yang lebih banyak daripada
kemampuan maksimal perawat tersebut, sehingga
perawat mengalami beban kerja fisik dan
menimbulkan tindakan tidak aman. Kolerasi dari
hubungan beban kerja fisik dengan penerapan
pasien safety dapat dilihat dari hasil analisis
diperoleh nilai Oods Ratio 0.198(95% CI: 0.049-
0.801) artinya responden dengan beban kerja fisik
berlebih mempunyai risiko 0.198 menghasilkan
keselamatan pasien tidak aman.
20
signifikan >0,05 H0 diterima. Maka, hasil tersebut
dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan beban
kerja mental perawat dengan penerapan pasien
safety di UPT puskesmas rawat inap kabupaten
pesawaran. Dikarenakan perawat – perawat yang
ada terbiasa bekerja dengan beban kerja mental
yang tinggi sehingga tetap dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik. Dalam penerapan pasien
safety, keadaan mental sangat berpengaruh dalam
meningkatkan konsentrasi dalam bekerja sehingga
tingkat kesalahan yang dilakukan dapat dicegah
dan diminimalisir.
Namun, ada beberapa faktor lain yang
mempengaruhi yaitu adanya kerjasama yang baik
dalam membangun kesadaran perawat. Kerjasama
yang baik akan membuat pekerjaan tiap perawat
tidak terasa lebih berat sehingga setiap pelayanan
yang diberikan dapat efektif. Kolerasi dari
hubungan beban kerja mental dengan penerapan
pasien safety dapat dilihat dari hasil analisis
diperoleh nilai Oods Ratio 1.846 (95% CI: 0.488-
6.978) artinya responden dengan beban kerja
mental sedang mempunyai risiko 1.846
menghasilkan keselamatan pasien tidak aman.
- Kesimpulan 13 P ( Problem )
21
: Data yang didapat pada tahun 2019 di UPT
PICOT Puskesmas Rawat Inap Hanura Kecamatan Teluk
Pandan Kabupaten Pesawaran, bahwa perawat
mengalami beban kerja fisik sebesar 20,5% dan
beban kerja mental sebesar 35,7% pada tahun 2018.
Kemudian pada UPT Puskesmas Rawat Inap
Tegineneng, beban kerja fisik sebesar 24,9% dan
beban kerja mental sebesar 39,4%.
I ( Intervention )
aspek yang harus terus dipertahankan yaitu perawat
dipuskesmas rawat inap di kabupaten pesawaran
selalu memeriksa ulang dokumen pasien sebelum
melaksanakan tindakan perawatan yang akan
menghasilkan perawatan pasiendengan benar dan
meminimalisir kesalahan terhadap tindakan
keperawatan.
C ( Comparation )
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Penelitian Desiana Yudi (2019)
hubungan beban kerja fisik dan mental perawat
dengan penerapan pasien safetydi IGD dan ICU
RSU GMIM Pancaran Kasih Manado. Dari hasil
analisis hubungan antara beban kerja fisik dengan
penerapan pasien safety menunjukkan bahwa dari
13 responden yang memliki beban kerja fisik
sedang, 5 perawat (16,6%) dikategorikan baik
dalam menerapkan pasien safety dan 8 perawat
(36,7%) dikategorikan kurang dalam menerapkan
pasien safety. Sedangkan dari 17 responden yang
memeliki beban kerja tinggi, 7 perawat (23,4%)
dikategorikan baik dalam menerapkan pasien safety
dan 10 perawat (33,3%) dikategorikan kurang
dalam menerapkan pasien safety. Hasil akhir dari
22
analisis menggunakan uji Chi Square di dapatkan
nilai p value 0,023 yang berarti bahwa nilai p value
(0,023).
Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang
dilakukan oleh penelitian Yunita Sari Purba (2015)
dengan judul “ Hubungan beban kerja mental dan
perilaku perawat pelaksana dengan keselamatan
pasien di UGD RS Menteng Mitra Afia Jakarta“.
Dengan hasil penelitian menjelaskan bahwa dari 33
responden yang kategori beban kerja mentalnya
optimal terdapat 9 responden (27.3%) hasil
keselamatan pasien tidak aman, dan 24 responden
(72.7%) hasil keselamatan pasiennya aman,
sedangkan dari 29 responden yang beban kerja
mentalnya overload terdapat 17 responden (70%)
responden yang hasil keselamatan pasiennya tidak
aman, dan 7 responden (29.2%) hasil keselamatan
pasien aman. Hasil uji dengan Chi Square di
ketahui p value = 0,000 Bila p> 0,05 ada hubungan
yang bermakna antara beban kerja mental perawat
dengan keselamatan pasien. Dari hasil analisis
diperoleh pula nilai Oods Ratio 0.154 artinya
responden dengan beban kerja mental optimal
mempunyai peluang 0.154 untuk menghasilkan
keselamatan pasien yang aman.
O ( Outcome )
Hasil analisis menggunakan chi-square, didapat P-
Value = 0,019 sehingga P-Value 0,05) Jadi dapat
disimpulkan tidak ada hubungan beban kerja
mental perawat dengan penerapan pasien safety
pada masa pandemi covid 19 di UPT Puskesmas
Rawat Inap Kabupaten Pesawaran. Dari hasil
analisis diperoleh pula nilai Oods Ratio 1.846
23
artinya responden dengan beban kerja mental
berlebih mempunyai risiko 1.846 untuk
menghasilkan keselamatan pasien tidak aman.
T ( Time )
Penelitian dilakukan pada tanggal 24 -29 Juli 2020
di UPT Puskesmas Rawat Inap Kabupaten
Pesawaran.
24
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi
untuk meminimalkan resiko (Depkes RI, 2008).
B. Saran
Melibatkan perawat, pasien dan keluarga pasien untuk mencapai keamanan pasien
dikarenakan merupakan kewajiban perawat dan hak pasien maupun keluarga pasien
untuk mendapat informasi tentang diagnosis, tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi demi
berjalannya pasien safety yang aman dan memenuhi standar yang telah di atur dalam
Kemenkes No. 11 Tahun 2017.
25
DAFTAR PUSTAKA
Arini, T. (2018). Budaya Keselamatan Pasien Berbasis Pemberdayaan Struktural
Dengan Kepuasan Kerja Perawat (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
Utarini A, Koentjoro T, At Thobari J. Accreditation of health care organization, health
professional and higher education institution for health personnel, Health Project V,
Central Java Province. Centre for Heal th Service Managament, Faculty of Medicine,
Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta, 2000.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien.
Jakarta. 2017.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017. Manajemen Keselamatan Pasien.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/MANAJEMEN-
KESELAMATAN-PASIEN-Final-DAFIS.pdf
https://www.researchgate.net/publication/298387368_Manajemen_Risiko_Rumah_Sakit,
diakses pada tanggal 07 Desember 2018.
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Hukum
Kesehatan.
26