Anda di halaman 1dari 4

MENGENAL 4 KETERAMPILAN DASAR BERBAHASA

1.1. Keterampilan Berbahasa


Keterampilan berbahasa meliputi empat aspek keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan
menulis. Keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut pada kenyataannya berkaitan erat satu sama lain.
Artinya, aspek yang satu berhubungan erat dan memerlukan keterlibatan aspek yang lain, tidak bisa tidak.
Karena hubungannya yang berkelindan alias sangat erat itulah maka keempat aspek keterampilan berbahasa
itu lazim disebut catur tunggal keterampilan berbahasa atau empat serangkai keterampilan berbahasa.
Aspek yang satu dengan yang lainnya berkaitan erat, saling bergantung, saling berhubungan-menentukan,
tidak dapat dipisahkan.

Singkatnya seseorang dapat dikatakan terampil berbahasa dengan baik, apabila orang itu menguasai
keempat aspek itu dengan sama baiknya. Artinya, dia itu terampil menyimak, terampil berbicara, terampil
membaca dan terampil menulis.

1.2. Aspek-Aspek Keterampilan Berbahasa


a. Menyimak
Menyimak merupakan keterampilan yang pertama kali dipelajari-dikuasai manusia. Sejak
manusia bayi, bahkan sejak dalam kandungan sang ibu, kita sudah mulai belajar menyimak.
Dilanjutkan ketika kita terlahir ke muka bumi, proses-belajar menyimak atau mendengarkan itu
terus-menerus kita lakukan, dengan mendengarkan-merekam terus menerus setiap kata-kata merdu
dari ayah bunda kita, orang-orang terdekat sang anak (Nurjamal dkk, 2011:2-3)

Ada dua jenis situasi dalam mendengarkan, yaitu situasi mendengarkan secara interaktif dan
situasi mendengarkan secara noninteraktif. Mendengarkan secara interaktif terjadi dalam
percakapan tatap muka dan percakapan di telepon atau yang sejenis dengan itu. dalam
mendengarkan jenis ini kita secara bergantian melakukan aktivitas mendengarkan dan berbicara.
Oleh karena itu, kita memiliki kesempatan untuk bertanya guna memperoleh penjelasan, meminta
lawan bicara mengulang apa yang diucapkan olehnya atau mungkin memintanya berbicara agak
lebih lambat. Kemudian, contoh situasi-situasi mendengarkan noninteraktif, yaitu mendengarkan
radio, TV, film, khotbah atau mendengarkan acara-acara seremonial. Dalam situasi mendengarkan
noninteraktif tersebut, kita tidak dapat meminta penjelasan dari pembicara, tidak bisa pembicara
mengulangi apa yang diucapkan dan tidak bisa meminta pembicaraan diperlambat (Mulyati
dkk,2008:1.10-1.11)

Musaba (2013:20) mengemukakan bahwa untuk menjadi penyimak yang baik, ada beberapa
upaya untuk dapat menyerap apa yang didengar, yaitu:

1) Bekal utama adalah dengan menjaga kesehatan alat dengar atau telinga kita. Sebaiknya, kita
pada waktu tertentu membersihkan lubang telinga kita, baik dengan melakukan sendiri (tentu
dengan hati-hati), maupun dengan menggunakan jasa dokter atau perawat. Betapapun juga
kondisi telinga yang baik akan memungkinkan kita menerima dengan baik segala suara atau
pembicaraan dari luar atau yang ditujukan kepada kita.
2) Siapkan mental dengan baik untuk menerima masukan dari luar. Kita harus secara tulus bersedia
untuk mendengarkan pembicaraan orang lain. Janganlah kita berpikiran antipasti atau ada
perasaan menolak sebelum menyimak sesuatu.
3) Yakinkan diri kita bahwa apa yang diberikan orang lain kepada kita bermanfaat untuk kemajuan
kita.
4) Kita hendaknya serius menyimak sesuatu, walaupun tetap memelihara suasana atau perasaan
kita agar tidak tegang.
5) Sambil menyimak hendaknya dapat melakukan perenungan (walau waktunya singkat) di saat-
saat kita menyimak. Hal ini akan berguna sekali dalam mengikuti seluruh rangkaian
pembicaraan orang lain, sekaligus untuk menghindarkan diri dari penyimpangan pemahaman
atau terputusnya makna materi yang didengar. Kita bisa mencatat hal-hal penting pada saat
menyimak. Namun, janganlah beranggapan bahwa apa yang didengar merupakan pendektian
materi yang disimak.
6) Jika kegiatan menyimak sudah berakhir, ada baiknya kita mencek ulang catatan yang pernah
kita buat untuk kemudian ditata lagi catatan tersebut, sehingga menjadi sebuah hasil simakan
yang memadai atau menjadi sebuah garis besar apa yang disimak.

b. Berbicara
Tiada hari tampa berbicara. Kenyataan ini berlaku umum, bagi setiap orang, di mana pun, kapan
pun, dan apa pun profesinya. Menurut taksiran seorang pakar komunikasi, kita mampu
memproduksi kata sebanyak 1.000 – 8.000 kata setiap harinya. Ini satu aset dan potensi yang sangat
besar, tetapi kenyataan untuk berbicara di depan umum, misalnya berpidato, memberikan
sambutan, memandu acara berdoa, ternyata tidak semua orang siap mengambil peran itu. Bahkan
tidak sedikit yang memilih diam, dengan berbagai dalih, bahkan rela disebut kuper, daripada
menerima tawaran berbicara di depan umum.

Sejatinya, berbicara itu bisa dikatakan mudah-mudah gampang, asal menguasai pokok
pembicaraan, mampu menguasai diri, dan bisa menguasai situasi. Berbicara itu sendiri adalah
kemampuan seseorang mengemukakan gagasan-pikiran, pendapat, pandangan secara lisan-
langsung kepada orang lain baik bersemuka-bertatap muka langsung maupun tidak langsung,
misalnya, melalui media radio, televisi.

Sehubungan dengan keterampilan berbicara, secara garis besar ada tiga jenis situasi berbicara,
yaitu interaktif, semiinteraktif, dan noninteraktif. Situasi-situasi berbicara interaktif, misalnya
percakapan secara tatap muka dan berbicara lewat telepon yang memungkinkan adanya pergantian
antara berbicara dan mendengarkan, dan juga memungkinkan kita meminta klarifikasi,
pengulangan atau kita dapat meminta lawan bicara memperlambat tempo bicara dari lawan bicara.
Kemudian, ada pula situasi berbicara semiinteraktif, misalnya dalam berpidato di hadapan umum
secara langsung. Dalam situasi ini, audiens memang tidak dapat melakukan interupsi terhadap
pembicaraan, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar dari ekspresi wajah dan bahasa
tubuh mereka. Beberapa situasi berbicara dapat dikatakan betul-betul bersifat noninteraktif,
misalnya berpidato melalui radio atau televisi (Mulyati dkk,2008:1.11)

Musaba (2013:22) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan keterampilan berbicara


seseorang dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, caranya dengan banyak membaca;
pengalaman baca yang banyak akan sangat bermanfaat untuk kelancaran seseorang dalam
berbicara,
2) Rajinlah memperhatikan orang lain dalam berbicara, terutama mereka yang telah mahir
berbicara (orator) untuk mengambil hal-hal penting tentang cara mereka menyampaikan
sesuatu,
3) Berlatih pidato sendiri di rumah, bisa di muka cermin,
4) Ikutilah berbagai forum yang banyak melibatkan kegiatan berbicara, misalnya berupa diskusi,
seminar, dialog, dan lainnya,
5) Membiasakan diri untuk berbicara pada forum-forum seperti yang disebutkan di butir di atas,
6) Bersedia menjadi pembicara dalam diskusi, pembawa acara (protokol), pembaca doa, pemandu
diskusi atau dialog, dan sejenisnya sesuai dengan kegemaran dan minat masing-masing, dan
7) Ada baiknya membaca buku yang berisi petunjuk atau pedoman bagaimana berbicara yang baik.

c. Membaca
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis.
Tujuan utama dalam membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi,
memahami makna bacaan. Tarigan (2008:106) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan minat
membaca, perlu sekali berusaha untuk menyediakan waktu untuk membaca dan memilih bahan
bacaan yang baik, ditinjau dari norma-norma kekritisan yang mencakup norma-norma estetik,
sastra dan moral.

Kegiatan membaca termasuk keterampilan berbahasa yang tergolong aktif-reseptif sebagaimana


menyimak. Membaca disebut aktif karena dalam proses membaca terdapat keaktifan seseorang
dalam mengeja, menyerap atau mengolah apa yang dibaca, sehingga proses tersebut mengarah pada
upaya memahami bahan atau materi bacaan yang dihadapinya. Perbuatan membaca merupakan
proses yang cukup kompleks. Proses membaca melibatkan dua faktor penting, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Nurhadi (dalam Musaba, 2013:23) mengemukakan kedua faktor tersebut.
Faktor internal meliputi: intelegensi, minat, sikap, bakat, motivasi, tujuan membaca, dsb. Faktor
eksternal meliputi sarana membaca, lingkungan, dan latar belakang sosial ekonomi, kebiasaan, dan
tradisi membaca.

d. Menulis
Menulis adalah keterampilan produktif dengan menggunakan tulisan. Menulis dapat dikatakan
suatu keterampilan berbahasa yang paling rumit di antara jenis-jenis keterampilan berbahasa yang
lainnya. Ini karena menulis bukanlah sekedar menyalin kata-kata dan kalimat-kalimat; melainkan
juga mengembangkan dan menuangkan pikiran-pikiran dalam suatu struktur tulisan yang teratur
(Mulyati dkk,2008:1.13)

Menulis memiliki banyak manfaat yang dapat dipetik dalam kehidupan ini, di antaranya adalah:

1) Peningkatan kecerdasan
2) Pengembangan daya inisiatif dan kreativitas
3) Penumbuhan keberanian, dan
4) Pendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi
Berdasarkan fungsi bahasanya, Nurhadi (2017:12-13) menyebutkan ada lima tujuan menulis,
yaitu:

1) Menulis untuk menyampaikan informasi, seperti menulis artikel, menulis buku ilmu
pengetahuan, dan membuat laporan
2) Menulis untuk menciptkan dan memelihara hubungan sosial, seperti menulis surat, menulis
undangan, menulis memo, mengirim sms
3) Menulis untuk mengontrol perilaku orang lain, seperti menulis petunjuk, membuat undang-
undang/peraturan, atau membuat tata tertib
4) Menulis untuk menyatakan pendapat, seperti menulis buku harian, menulis surat pembaca, atau
tajuk rencana di surat kabar, dan
5) Menulis untuk mengungkapkan kreativitas imajinasi seseorang, seperti menulis cerita, menulis
puisi, atau menulis naskah drama.
Menulis melibatkan serangkaian kegiatan yang terdiri atas tahap prapenulisan, penulisan, dan
pascapenulisan. Fase prapenulisan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempersiapkan
sebuah tulisan. Di dalamnya terdiri dari atas kegiatan memilih topik, tujuan, dan sasaran karangan,
mengumpulkan bahan, serta menyusun kerangka karangan. Berdasarkan kerangka karangan
kemudian dilakukan pengembangan butir demi butir atau ide demi ide ke dalam sebuah tulisan
yang runtut, logis, dan enak dibaca. Itulah fase penulisan. Selanjutnya, ketika buram (draft)
karangan selesai, dilakukan penyuntingan dan perbaikan. Itulah fase pascapenulisan, yang mungkin
dilakukan berkali-kali untuk memperoleh sebuah karangan yang sesuai dengan harapan penulisnya.

Anda mungkin juga menyukai