Anda di halaman 1dari 6

Dalam kehidupan sosial manusia tentu saling berhubungan antara satu dengan yang lain.

Dalam hal ini perlu adanya komunikasi. Kebutuhan komunikasi itupun semakin kompleks
seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia. Sehingga keadaan tersebut
menetapkan bahasa sebagai alat komunikasi manusia pada posisi yang paling penting. Agar
komunikasi tersebut berjalan dengan baik maka memerlukan bahasa yang mudah dipahami
bersama. (dimasukkan ke pendahuluan, barangkali hihi)
Suprasegmental adalah sesuatu yang menyertai fonem tersebut yang itu bisa berupa
tekanan suara (intonation), panjang-pendek (pitch), dan getaran suara yang menunjukkan
emosi tertentu. Muslich (2010) menjelaskan bahwa bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan
ada yang bisa disegmen-segmenkan, diruas-ruaskan, atau dipisah-pisahkan, misalnya semua
bunyi vokoid dan kontoid. Bunyi-bunyi yang bisa disegmentasikan ini disebut bunyi
segmental. Tetapi, ada juga bunyi yang tidak dapat disegmen-segmenkan karena
kehadirannya kehadirannya bunyi ini selalu mengiringi, menindih, atau menemani bunyi
segmental (baik vokoid maupin kontoid). Oleh karena itu sifatnya yang demikian, bunyi itu
disebut bunyi suprasegmental, alih-alih disebut bunyi nonsegmental.
Oleh para fonetisi, bunyi-bunyi suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis,
yaitu yang menyangkut aspek tinggi-rendah bunyi (nada), keras-lembut bunyi (tekanan),
panjang-pendek bunyi (tempo), dan kesenyapan (jeda).
1. Tinggi-rendah bunyi (nada)
Menurut Muslich (2010) ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan selalu melibatkan
nada, baik nada tinggi, sedang, maupun rendah. Hal ini desebabkan oleh adanya
faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu
diucapkan. Makin tegang pita suara, yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari
paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Begitu juga, posisi pita suara. Pita
suara yang bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi.
Sedangkan menurut Chaer (2009) nada atau pitch berkenaan dengan tinggi
rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi
getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi. Sebaliknya, kalau
diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai juga dengan
nada rendah.
Variasi nada yang menyertai unsur segmental dalam kalimat disebut intonasi, yang
biasanya dibedakan menjadi empat, yaitu:
a. Nada rendah, ditandai dengan angka 1 setingkat dengan nada do.
b. Nada sedang, ditandai dengan angka 2 setingkat dengan nada re.
c. Nada tinggi, ditandai dengan angka 3setingkat dengan nada mi.
d. Nada sangat tinggi, ditandai dengan angka 4 setingkat dengan nada fa.
Contoh dalam bahasa Indoneesia:
                        [sate||]              Sate                 ‘pemberitahuan bahwa ada sate’
                        [sate//]             Sate?               ‘menanyakan tentang sate’
                        [sate==]           Sate!                ‘memanggil penjual sate’
Bahkan secara nonlinguistik, nada pun bisa menunjukan kadar emosi penutur.
Misalnya, nada tinggi tajam menunjukan kemarahan, nada rendah menunjukan
kesusahan dan nada tinggi menunjukkan nada kegembiraan.
2. Keras-lembut bunyi (tekanan)
3. Panjang-pendek bunyi (tempo)
4. Kesenyapan bunyi (jeda)

Muslich (2010) menyatakan bahwa ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan pun tidak
pernah lepas dari keras atau lemahnya bunyi. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan energi
otot ketika bunyi itu diucapkan. Suatu bunyi dikatakan mendapat tekanan apabila energi
otot yang dikeluarkan lebih besar ketika bunyi itu diucapkan. Sebaliknya, suatu bunyi
dikatakan tidak medapat tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih kecil ketika
bunyi itu diucapkan.

Walaupun dalam praktiknya kerasnya bunyi juga berpengaruh pada ketinggian bunyi,
karena energi otot berpengaruh juga pada ketegangan pita suara, kedua bunyi
suprasegmental ini bisa dibedakan. Buktinya, tekanan keras dengan nada rendah pun
bisa diucapkan oleh penutur bahasa. Hal ini sangat bergantung pada fungsinya dalam
berkomunikasi.

Variasi tekanan ini bisa dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) tekanan keras yang
ditandai dengan [´], tekanan sedang ditandai dengan [−], tekanan rendah ditandai
dengan [`], dan tidak ada tekanan, yang ditandai dengan tidak adanya tanda diakritik.
Dalam bahasa-bahasa tertentu, variasi tekanan ini ternyata bisa membedakan makna
pada tataran kata, tekanan selalu bersifat silabis, yaitu tekanan yang diarahkan pada
silaba tertentu. Pada tataran kalimat, tekanan bersifat leksis, yaitu tekanan yang
diarahkan pada kata tertentu yang ingin ditonjolkan.

Chaer (2009) menjelaskan bahwa tekanan atau stres menyangkut masalah keras


lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat
sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras.
Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat,
sehingga amplitudonya menyempit pasti dibarengi dengan tekanan lunak. Tekanan ini
mungkin terjadi secara sporadis; mungkin juga telah berpola, mungkin juga bersifat
distingtif, artinya dapat membedakan makna; tapi mungkin juga tidak distingtif.

Pada tataran kata, tekanan pada suku kata tertentu juga bisa membedakan makna,
Misalnya:
Belanda:          dóórlopen        Tekanan pada silaba I             ‘berjalan terus’
                                    doorlópen        Tekanan pada silaba II            ‘menempatkan’
Inggris:            réfuse                          Tekanan pada silaba I             ‘sampah’
refúse              Tekanan pada silaba II            ‘menolak’
            Batak Toba      símbur             Tekanan pada silabaI             ‘hujan rintik’
                                    Simbúr             Tekanan pada silaba II            ‘cepat besar’

Pada tataran kalimat, tekanan kata tertentu bisa membedakan maksud kalimat.
Misalnya, dalam kalimat bahasa Indonesia berikut:
1. Saya membeli buku. (tekanan pada saya).
Maksudnya adalah yang membeli buku adalah saya, bukan kamu atau dia.
2. Saya membeli buku. (tekanan pada membeli).
Maksudnya adalah Saya benar- benar membeli, bukan mencuri buku.
3. Saya membeli buku. (tekanan pada buku).
Maksudnya adalah yang saya beli memang buku, bukan yang lain.

3. Panjang-Pendek (Durasi, Duration)


Bunyi-bunyi segmental juga dapat dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu
diucapkan. Bunyi panjang untuk vokoid diberi tanda satuan mora, yaitu satuan waktu
pengucapan, dengan tanda titik. Tanda titik satu [.] menandakan satu mora, tanda titik
dua [:] menandakan dua mora, dan tanda titik tiga [:.] menandakan tiga mora.
Sementara itu, bunyi-bunyi untuk kontoid diberi tanda rangkap, dengan istilah geminat.
Geminat berbeda debga homorgan. Secara fonetik, gaminat adalah rentetan

artikulasi yang sama benar (identik) sehingga menimbulkan pemanjangan kontoid;


sedangkan homorgan adalah bunyi-bunyi bahasa yang dibentuk dengan alat atau daerah
artikulasi yang sama, tetapi dengan cara kerja agak berbeda. Misalnya, bunyi [t] dan [d]
adalah bunyi homorgan karena sama-sama apiko-dental, tetapi terdapat perbedaannya,
yaitu tidak bersuara dan bersuara.

Chaer (2009) menjelaskan bahwa durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya
atau lama singkatnya suatu bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua
di sebelah kanan bunyi yang diucapkan (...:), atau tanda garis kecil di atas bunyi
segmental yang diucapkan (-). Dalam bahasa Indonesia durasi ini tidak bersifat fonemis,
tidak dapat membedakan makna kata; tetapi dalam beberapa bahasa lain seperti
bahasa Arab, unsur durasi bersifat fonemis.

Dalam bahasa-bahasa tertentu variasi panjang pendek bunyi ini ternyata bisa
membedakan makna (sebagai fonem), bahkan bermakna (sebagai morfem).
Misalnya:

1. Belanda:      [ban]                ‘kusil’


                        [ba:n]               ‘jalan’
Vokoid panjang membedakan makna atau fonemis.
2.Tagalog        [kaibi:gan]       ‘teman’
                        [kai:bigan]       ‘kekasih’
Vokoid panjang membedakan makna atau fonemis.
3. Bugis           [mapeje]          ‘asin’
                        [mappeje]        ‘membuat garam’
Kontoid panjang mempunyai makna atau morfemis
4. Arab                        [habibi]            ‘kekasih’
[habibi:]           ‘keasihku’
Kontoid panjang mempunyai makna atau morfemis

Dalam bahasa Indonesia, aspek durasi ini tidak membedakan makna atau tidak fonemis,
juga tidak mempunyai makna atau tidak morfemis.

4. Kesenyapan (Jeda, Junture)


Menurut Muslich (2010) yang dimaksud dengan penghentian adalah pemutusan suatu
arus bunyi-bunyi segmental ketika diujarkan oleh penutur. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kesenyapan di antara bunyi-bunyi yang terputus itu. Kesenyapan itu bisa berapa
di posisi awal, tegah, dan akhir ujaran.

Kesenyapan awal terjadi ketika bunyi itu akan diujarkan, misalya ketika akan
mengujarkan kalimat Ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sebelumnya.
Kesenyapan tengah terjadi antara ucapan kata-kata dalam kalimat, misalnya antara
ucapan kata ini dan buku pada Ini buku; atau ucapan artarsuku kata, misalnya antara
suku kata i dan ni pada kata ini, walaupun kesenyapan itu sangat singkat. Kesenyapan
akhir terjadi pada akhir ujaran, misalnya ujaran akhir kalimat Ini buku terjadi kesenyapan
yang tak terbatas sesudahnya.

Sedangkan Chaer (2009) menjelaskan jeda atau persendian berkenaan dengan hentian
bunyi dalam arus ujaran. Disebut jeda karena adanya hentian itu, dan disebut
persendian karena di tempat perhentian itulah terjandinya persambungan dua segmen
ujaran. Jeda ini dapat bersifat penuh atau bersifat sementara. Biasanya dibedakan
adanya sendi dalam (internal juncture) dan sendi luar (open juncture).

Sendi dalam menunjukkan batas antara satu silabel dengan silabel yang lain. Sendi
dalam ini yang menjadi batas silabel biasanya ditandai dengan tanda (+). Contoh:
[am+bil]
[lak+sa+na]
[ke+le+la+war]

Sendi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari silabel. Dalam hal ini biasanya
dibedakan adanya:
a. Jeda antarkata dalam frase, ditandai dengan garis miring tunggal (/)
b. Jeda antarfrase dalam klausa, ditandai dengan garis miring ganda (//)
c. Jeda antarkalimat dalam wacana/ paragraf, ditandai dengan garis silang ganda (#)
Tekanan dan jeda dalam bahasa Indonesia sangat penting karena tekanan dan jeda itu
dapat mengubah makna kalimat. Contoh:
# buku // sejarah / baru #
# buku / sejarah // baru #

Kalimat pertama bermakna ‘buku mengenai sejarah baru’; sedangkan kalimat kedua
bermakna ‘buku baru mengenai sejarah’.

Kesenyapan awal dan akhir hujan ujaran ditandai dengan palang rangkap [#],
kesenyapan diantara kita ditandai dengan palang rangkap pendek [#], sedangkan
kesenyapan diantara suku kata ditandai dengan palang tunggal [+]. Dengan demikian,
kalimat Ini buku kalau ditranskripsikan dengan memperhatikan kesenyapan terlihat
sebagai berikut.
                        [ # i + ni # bu + ku # ]

Kesenyapan juga bisa disebut sendi (juncture) karena kesenyapan itu sekaligus klausa,
frase, kata, morfem, silaba, maupun, fonem.

Transkripsi fonetis yang lengkap mestinya juga memperhatikan aspek bunyi


suprasegmental ini. Hanya saja, karena pada bahasa- bahasa tertentu bunyi- bunyi
suprasegmental ini tidak fungsional dalam membedakan makna, fonetisi cenderung
mengabaikannya. Hanya aspek suprasegmental yang dianggap fungsional saja yang
diperhatikan.

Menurut Muslich (2010) dalam penuturan, keempat jenis suprasegmental tersebut


selalu menyertai bunyi- bunyi segmental. Kerja sama keempat jenis suprasegmental
sejak awal hingga akhir penuturan tersebut disebut intonasi. Jadi, intonasi pada
dasarnya bercirikan gabungan nada, tekanan, durasi, dan kesenyapan. Tidak hanya nada
saja, walaupun nada memang sangat menonjol dalam intonasi ujaran.

Anda mungkin juga menyukai