Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTEK

Admin dan Manajemen Kesehatan Lingkungan


“ Laporan Sistem Perencanaan Air Bersih dan Sarana Sanitasi
Pada Keadaan Darurat Akibat Banjir”

DISUSUN OLEH:

Greace Febrianti Sianturi P00933218012


Irma Yolanda Br Tarigan P00933218015
Irena Mutiara Periwi Ginting P00933218018
Josua Stepanus Panjaitan P00933218020
Jessica Natalia Br Ginting P00933218021
M. Rasyid Sidiq P00933218025
Putri Yullia P00933218029
Yustina Siregar P00933218040
Siti Nur Haliza P00933218034

Prodi D-IV Sanitasi Lingkungan Tk. IV

POLTEKKES KEMENKES RI MEDAN

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN


KABANJAHE

2021

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Definisi bencana menurut UU No. 24 tahun 2007 adalah rangkaian kejadian yang
mengancam dan mengganggu kehidupan atau penghidupan masyarakat yang
disebabkan baik oleh faktor alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa maupun harta benda, pengaruh psikologis, serta kerusakan alam
dan lingkungan (Khasan dan Widjanarko, 2011). Penyebab bencana alam salah satunya
adalah gangguan dari lingkungan sekitar dimana manusia juga termasuk diantaranya,
dimana hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan manusia
itu sendiri salah satunya terhadap kesehatan masyarakat. (Effendy, 1998).

Banjir adalah salah satu jenis bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, yaitu
ketika keadaan sungai, dimana aliran air tidak tertampung oleh palung sungai sehingga
terjadi limpasan atau genangan air pada lahan yang tidak seharusnya terdapat air.
Disebut pula ketika aliran air tidak dapat ditampung oleh saluran drainase sehingga
meluap ke tempat lain dan menimbulkan gangguan pada aktivitas manusia. (Mawardi
dan Sulaeman, 2011).

Dalam keadaan darurat seperti bencana alam akan sangat rentan terjadinya wabah
penyakit akibat terganggunya sistem sanitasi seperti sarana air bersih, pembuangan
tinja, dan limbah. Faktor sanitasi akan sangat bertambah kritis ketika berinteraksi
dengan perilaku atau kebiasaan buruk manusia. Apabila air kondisinya tidak memenuhi
syarat yang ditetapkan untuk di konsumsi manusia karena tercemar bakteri didukung
dengan perilaku manusia yang tidak sehat seperti pembuangan tinja yang tidak sesuai
standar, kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, maka dapat menimbulkan
wabah penyakit .

Meskipun terdapat jaringan air bersih pada kondisi yang normal akan tetapi saat terjadi
bencana banjir pengungsi kesulitan mendapatkan air bersih karena sumur penduduk
tertutup lumpur dan kotoran. Pasca bencana banjir pun penduduk kesulitan
mendapatkan air bersih, baik bagi penduduk yang tidak mau meninggalkan
pemukiman, maupun penduduk yang mengungsi di posko pengungsian. Sumur
penampung air (intake) yang terendam genangan banjir dalam beberapa hari. Selain itu
tempat pengungsian tidak tersedia sarana air bersih maupun sanitasi yang memadai,
karena bantuan pemerintah baru dating 2 sampai 3 hari setelah banjir terjadi. Padahal
kebutuhan air bersih bagi pengungsi banjir tidak dapat ditunda. Sementara pada pasca
banjir sumur penampang air terancam, baik secara kimia maupun secara bakteriologi.

B. Tujuan
Untuk merencanakan pembangunan sarana sanitasi dan mengidentifikasi sumber air
bersih alternatif bagi pengungsi saat bencana maupun pasca bencana banjir, dengan
cara menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah pengelolaan air bersih.
Diantaranya yaitu:
 Mencari sumber alternative atau tambahan sumber air terpusatkonvensional
 Memanfaatkan jumlah air yang terbatas pada sumber daya yang tersedia
dengan cara yang lebih efisien.

C. Sasaran
Sasaran perencanaan dalam hal ini adalah warga atau masyarakat sekitar yang
terkena bencana banjir. Serta untuk menyebarluaskan konsep pengadaan sumber air
bersih bagi pengungsi saat terjadi bencana maupun pasca bencana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengadaan Air
1. Kuantitas Air
Dengan kondisi banjir akan sangat menyulitkan bagi warga untuk mendapatkan akses air
bersih yang layak karena sistem saluran air bersih tertutup oleh lumpur ataupun kotoran,
terlebih jika penduduk menolak untuk mengungsi dan tetap tinggal di pemukiman yang
terkena bencana. Kondisi sumur penampung air maupun sumur pompa terendam genangan
banjir dalam beberapa hari dapat menjadi masalah yang sulit diatasi ketika terjadi bencana.
Masalah lain yang timbul adalah ketika di tempat pengungsian tidak tersedia sarana air
bersih maupun sanitasi yang memadai karena sebagaimana biasanya bantuan dari
Pemerintah baru datang 2 sampai 3 hari setelah banjir terjadi, padahal kebutuhan air bersih
bagi pengungsi banjir tidak dapat ditunda. Sementara pada paska banjir sumur gali ataupun
sumur pompa tercemar baik secara kimia maupun bakteriologi.

Tolok ukur kunci kuantitas air bersih:


a. Persediaan air harus cukup untuk memberi minimal 15 liter air bersih per orang
setiap harinya
b. Volume aliran air minimal 0,125 liter/detik disetiap hari
c. Sumber air jaraknya tidak lebih jauh dari 500 meter dari pemukiman
d. 1 kran air untuk melayani 80-100 orang.

2. Kualitas Air

Kualitas air harus layak dan cukup volumenya untuk digunakan sebagai keperluan dasar
seperti minum, masak, dan mandi tanpa menyebabakan timbulnya risiko–risiko terhadap
kesehatan akibat pencemaran kimiawi atau radiologis dari penggunaan jangka pendek.
Tolak ukur kunci kualitas air :

1. Kandungan bakteri dari pencemaran kotoran manusia tidak lebih dari 10 coliform
per 100 mili liter pada sumber air yang tidak terdisinfektan,
2. Air harus didisinfektan lebih dahulu sebelum digunakan sehingga mencapai standar
yang bias diterima (yakni residu klorin pada kran air 0,2–0,5 miligram perliter dan
kejenuhan dibawah 5 NTU) untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada
penduduk yang jumlahnya lebih dari 10.000 orang, atau bagi semua pasokan air
pada waktu ada resiko atau sudah ada kejadian perjangkitan penyakit diare,
3. Pada air yang biasa diminum tidak terdapat dampak negatif yang signifikan
terhadap kesehatan pengguna air, akibat pencemaran kimiawi atau radiologis dari
pemakaian jangka pendek, konduksi tidak lebih dari 2000 jS /cm,
4. Prasarana dan Perlengkapan

Tolak ukur kunci :

1. Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang berkapasitas 10–20 liter,
dan tempat penyimpan air berkapasitas 20 liter. Alat–alat ini sebaiknya berbentuk
wadah yang berleher sempit dan/bertutup
2. Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.
3. Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini harus cukup banyak
untuk semua orang yang mandi secara teratur setiap hari pada jam–jam tertentu.
Pisahkan petak–petak untuk perempuan dari yang untuk laki–laki.
4. Bila harus ada prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga untuk
umum, satu bak air paling banyak dipakai oleh 100 orang

B. Pembuangan Kotoran Manusia

Masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah jamban yang cukup dengan akses yang
mudah dan jaraknya tidak jauh dari tempat pengungsian ataupun pemukiman, 5supaya bisa
diakses secara mudah dan cepat kapan saja diperlukan Tolok ukur kunci penyediaan
jamban:

1. Tiap jamban maksimal dipakai 20 orang


2. Jamban dipisah sesuai jenis kelamin
3. Letak jamban tidak lebih dari jarak tempuh 1 menit atau 50 meter dari pemukiman atau
pengungsian.
4. Letak jamban minimal berjarak 30 meter dari sumber air tanah.
5. Kealaman jamban minimal 1,5 meter di atas air tanah.
C. Pengelolaan Limbah Padat

1. Tempat pembuangan dan pengumpulan sampah penduduk harus memiliki lingkungan


yang cukup bebas dari pencemaran pada lingkungan sekitarnya.
2. Tidak terdapat limbah medis yang bersifat toksik maupun B3 di daerah pemukiman atau
tempat–tempat umum.
3. Tempat pembuangan akhir untuk sampah berada dilokasi yang jauh dari pemukiman
sehingga tidak mengganggu kesehatan penduduk.
4. 2 drum sampah minimal untuk digunakan 80 – 100 orang di tempat umum.

Tolok ukur kunci tempat pembuangan sampah:

1. Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15 meter dari sebuah bak
sampah atau lubang sampah keluarga, atau lebih dari 100 meter jaraknya dari
tempat sampah umum.
2. Tersedia satu tempat sampah dengan kapasitas 100 liter per 10 keluarga bila
limbah rumah tangga sehari–hari tidak dikubur ditempat.

D. Pengelolaan Limbah Cair ( Pengeringan)

Masyarakat memiliki lingkungan hidup sehari–hari yang cukup bebas dari risiko pengikisan
tanah dan genangan air, termasuk air hujan, limbah cair rumah tangga, dan limbah cair dari
prasarana–prasarana medis. Hal–hal berikut dapat digunakan sebagai ukuran untuk melihat
keberhasilan pengelolaan limbah cair :

1. Tidak terdapat air yang menggenang disekitar sumber air untuk keperluan sehari–hari,
didalam maupun di sekitar tempat pemukiman
2. Air hujan dan luapan air/banjir langsung mengalir malalui saluran drainase. 3. Tempat
tinggal, jalan – jalan setapak, serta prasana – prasana pengadaan air dan sanitasi tidak
tergenang air, juga tidak terkikis oleh air.
BAB III
ISI

SISTEM PERENCANAAN

A. Penyediaan Air Bersih


1. Pemanenan Air Hujan
Pada saat kondisi banjir beberapa sumber air baku seperti sumur, mata air dan air
sungai telah terkena lumpur dan kotor, sementara jika menggunakan air bersih yang
berasal dari PDAM akan sangat terbatas kesediaannya, sebab untuk mengakses sumber
air yang difasilitasi oleh pemerintah akan sulit. Oleh karena itu salah satu solusi yang
dapat diterapkan adalah menggunakan air hujan dengan menggunakan instalasi yang
cukup sederhana dan dapat dirancang sendiri oleh masyarakat dengan biaya yang
terjangkau. Ketersediaan air bersih dari pemanenan air hujan dapat membantu
menghindarkan para pengungsi dari beberapa penyakit yang disebabkan oleh banjir
seperti penyakit pencernaan, diare, penyakit kulit. Karena biasanya distribusi bantuan air
bersih dari Pemerintah datangnya satu dua hari pasca banjir.

Kuantitas air bersih yang berasal dari rainwater harvesting bisa mencapai kapasitas
tampungan antara 500 - 750 liter pada tiap tempat pengungsian. Proses pemanenan air
hujan alternatif yang sangat baik untuk memperoleh air bersih pada kondisi darurat.
Bahkan dapat mengurangi genangan air yang mengakibatkan banjir serta
mempertahankan kualitas dan meningkatkan kuantitas air tanah (PerMenLH, 2009).

Rangkaian unit sistem pemanenan air hujan dapat menggunakan sistem rumah
tangga sehingga peralatan yang digunakan cukup sederhana yang diantaranya adalah
dengan memanfaatkan potensi yang ada di masyarakat seperti atap rumah warga. Air
hujan yang mengenai atap rumah kemudian ditangkap oleh talang dan air hujan dialirkan
pada bak tandon dengan memanfaatkan gravitasi. Komponen tersebut terdiri dari :

1. Atap rumah : Unit penangkap air hujan


2. Talang Air : Unit proses yang menangkap air dari atap rumah untuk kemudian
dialirkan melalui pipa.
3. Filter : Unit yang berfungsi menyaring air hujan, unit ini terbuat dari pipa
penyaring.
4. Pipa connection : material ini terbuat dari pipa PVC yang menghubungkan talang ke
wadah atau tandon.
5. Tandon penampung : sebagai wadah tampungan air , wadah ini dapat terbuat dari
drum atau tong bekas.
6. Sumur resapan : tanah yang digali menyerupai pembuatan sumur kemudian diisi
dengan batu kecil, memiliki manfaat sebagai tempat untuk menampung luapan air
dari tandon yang berlebih untuk kemudian dimasukkan kedalam tanah agar tanah
terisi oleh air hujan.

Kualitas air hujan yang dihasilkan telah sesuai dengan parameter yang ditetapkan oleh
Peraturan Menteri Kesehatan No.416 Tahun 1990 tanpa ditambahkan bahan kimia atau
desinektan lain, cukup dengan filterisasi dan air dimasak hingga mendidih agar dapat
dikonsumsi. Pembuatan sistem rainwater harvesting dengan model rumah tangga
membutuhkan biaya antara Rp 2 – 3 juta/unit, cukup murah apalagi jika biaya
pengerjaanya dilakukan dengan cara gotong royong oleh warga, maka biayanya akan
lebih murah.

Sistem ini sangat tepat digunakan pada wilayah rawan banjir pada saat maupun paska
bencana banjir untuk mendapatkan sumber air bersih yang kualitasnya terjaga apabla air
banjir yang resiko tercemar sangat tinggi. Hal ini sepadan dengan kebutuhan air bersih
yang diperlukan oleh pengungsi bencana banjir.

Menurut U.S. Agency for International Development (USAID) 2007 dijelaskan bahwa
kebutuhan air bersih yang diperlukan oleh pengungsi meliputi:

a. Kebutuhan untuk minum : 3 - 4 liter per orang per hari


b. Masak dan bersih-bersih : 2 – 3 liter per orang per hari
c. Kebutuhan untuk sanitasi : 6 – 7 liter per orang per hari
d. Kebutuhan untuk cuci pakaian : 4 – 6 liter per orang per hari
Sehingga total kebutuhan air bersih yang diperlukan oleh pengungsi adalah antara
15 – 20 liter per orang per hari.

Dengan pengembangan sistem pemanenan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air
bersih bagi pengungsi korban banjir adalah alternatif sumber air bersih yang tepat
melihat keterbatasan pemerintah dalam penyediaan air bersih ketika kondisi darurat,
sehingga ketersediaan air bersih tetap terjaga untuk mengantisipasi banjir yang akan
datang, maka kelompok siaga bencana dapat memotivasi masyarakat dan pemerintah
untuk mengurangi dampak banjir yang akan datang.
B. Sarana Sanitasi

Penyediaan Toilet Portable

Penduduk yang mengungsi terpaksa harus beramai-ramai tinggal di tempat yang


sekadarnya, dengan fasilitas yang minim. Tidak sedikit pengungsi yang mengalami
berbagai penyakit karena kurangnya kebersihan di lingkungan pengungsi terutama
dalam hal sanitasi (Antara, 2013). Toilet yang disediakan untuk pengungsi, seringkali
kurang memadai (Janggu, 2014). Salah satu penyebabnya adalah karena toilet portabel
yang biasanya disediakan oleh pemkab membutuhkan banyak waktu dalam
distribusinya, akibat dimensinya yang besar dan berat sehingga membutuhkan truk untuk
membawanya (Vella, 2010). Maka disimpulkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, diperlukan toilet khusus untuk pengungsi yang ringan dan praktis dibawa baik
oleh sukarelawan ke tempat pengungsian dengan medan yang tak dapat dilalui oleh
kendaraan bermotor, melindungi privasi penggunanya, dan meminimalisir kemungkinan
penularan penyakit di lokasi pengungsian.

Menurut buku Standar Toilet Umum Indonesia oleh Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata, definisi toilet umum adalah fasilitas sanitasi yang mengakomodasi
kebutuhan membuang hajat yang digunakan oleh masyarakat umum, tanpa membedakan
usia maupun jenis kelamin penggunanya. Definisi portabel menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang mudah dibawa-bawa, atau dijinjing. Sehingga
dapat dikatakan, arti dari toilet umum portabel adalah fasilitas sanitasi untuk
mengakomodasi kebutuhan membuang hajat masyarakat umum tanpa membedakan usia
maupun jenis kelamin pengguna yang mudah untuk dibawa. berikut adalah gagasan
mengenai produk yang akan dirancang:

1. Berdimensi kecil ketika tidak dirakit/ didirikan sehingga dapat dibawa oleh dua orang
dewasa dengan kesehatan yang prima ke lokasi pengungisan.
2. Mudah didirikan oleh sukarelawan dengan tingkat pendidikan yang bervariasi, dan
hanya memerlukan maksimal 10 menit dalam mendirikannya.
3. Kriteria nomor 2 menyediakan kemudahan dalam memindah produk dari satu lokasi
pengungsian ke lokasi pengungsian yang lain.
4. Menjamin privasi dan kebersihan penggunanya, jika digunakan sesuai dengan fungsi
normalnya.
5. Menggunakan material yang kuat, ringan, tahan air sehingga dapat digunakan hingga
maksimal 90 hari.
Proses perancangan dimulai dari pembuatan alternatif awal, lalu dilakukan pembobotan
untuk memilih alternatif desain yang lalu akan menjadi pedoman pembuatan studi model.
Ketiga alternatif desain terpilih lalu akan disaring melalui pembobotan yang akan
membuahkan satu final desain yang akan menjadi pedoman pembuatan prototype.
Prototype dibuat menggunakan bahan terpal pvc, fiberglass, plywood, dan pipa pvc.
Material yang terpilih untuk pembuatan rangka adalah pipa nylon, namun karena kendala
harga yang mahal dan kesulitan untuk mencarinya, maka prototype dibuat menggunakan
material pipa pvc.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegiatan pengabdian masyarakat ini telah berhasil meningkatkan akses warga
pengungsi terhadap air bersih dan sarana sanitasi. Kegiatan tersebut masih perlu
dievaluasi dengan melihat prevalensi penyakit yang akan timbul dan
membandingkan dengan masa sebelum terjadinya bencana banjir

B. Saran
Penggunaan air bersih bagi pengungsi yang berasal dari air hujan, sebaiknya
dilakukan filtrasi lagi karena diduga terdapat bakteri e.coli sehingga jika air tersebut
akan dikonsumsi untuk air minum harus dimasak terlebih dahulu

Sebaiknya system pemanenan air hujan dilakukan secara berbasis masyarakat yang
bersifat gotong royong sehingga dapat dievaluasi dengan mengestimasi biaya.
Karena penting untuk mengenali faktor biaya untuk menentukan bagaimana cara
membayar system kompleks semacam itu dapat mengimbangi keuntungan dalam
efisiensi ekonomi.
Daftar Pustaka

Rizkyanto, Muhammad. (2015). Pengaruh Ketersediaan Sarana Sanitasi Dasar dan Status Rawan
Banjir Terhadap Kejadian Diare. Semarang: UNNES. Diakses melalui
ib.unnes.ac.id/23331/1/6411410037.pdf

Roviq, Abdul. (2011). Pemanenan Air Hujan Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pengungsi
Bencana Banjir. Semarang: UNDIP. Diakses melalui
http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/prosbio/article/view/3052

Reina. (2015). Perancangan Toilet Portabel Bagi Para Pengungsi Bencana Alam di Lokasi
Pengungsian. Diakses http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/prosbio/article/view/3052 melalui 15

Liaw, C.H. (2010). Rooftop Rainwater Harvesting for Water Supply and Flood Mitigation in Urban
Areas. Taiwan: National Taiwan Ocean University. Diakses Melalui
http://dw.crackmypdf.com/0167148001492725765/CIB_DC25524.pdf

Anda mungkin juga menyukai