Guideline Mikosis Paru PDPI-edit1
Guideline Mikosis Paru PDPI-edit1
PENDAHULUAN
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 1
Jamur Paru di Indonesia
Diagnosis mikosis paru masih dianggap sulit sehingga sering
terlambat dalam penatalaksanaan selanjutnya. Perkembangan
pengetahuan tentang mikosis memang belum sepesat penyakit yang
ditimbulkan bakteri atau virus. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, di
antaranya: mikosis paru jarang menimbulkan kematian mendadak,
gejala klinis dan hasil pemeriksaan seringkali tidak khas serta faktor
risiko yang luput dari perhatian. Pemahaman lebih baik mengenai
epidemiologi, patogenesis termasuk faktor risiko mikosis paru
diharapkan membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis serta
menentukan strategi penatalaksanaan yang lebih baik.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 2
Jamur Paru di Indonesia
BAB II
PROSEDUR DIAGNOSIS
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 3
Jamur Paru di Indonesia
Pada pemeriksaan fisis, mikosis paru sulit dibedakan dengan
penyakit paru lain, tergantung pada kelainan anatomi yang terjadi pada
paru. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis mikosis paru antara
lain pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium klinik tertentu,
serta pemeriksaan mikologi. Gambaran foto toraks pada sebagian besar
mikosis paru tidak menunjukkan ciri khas, dapat ditemukan infiltrat
interstisial, konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi pleura. Gambaran
yang khas dapat terlihat pada aspergiloma yaitu ditemukan fungus ball
pada pemeriksaan foto toraks. Hasil yang lebih baik didapat dari
pemeriksaan CT-scan toraks. Hasil laboratorium rutin yang mungkin
berkaitan dengan mikosis paru adalah peningkatan sel eosinofil.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 4
Jamur Paru di Indonesia
maupun eksudat dapat diambil dengan semprit steril dan langsung
dikirim tanpa penambahan cairan atau bahan pengawet.
Jaringan hasil biopsi memiliki arti klinik paling tinggi karena
penemuan jamur dalam jaringan dapat memastikan diagnosis mikosis.
Spesimen biopsi sebaiknya diambil dari tengah dan tepi lesi, selanjutnya
diletakkan di antara kasa steril yang sedikit dibasahi dengan larutan
garam faal sekedar untuk mencegah kekeringan. Jangan diberi bahan
pengawet karena akan mematikan jamur dalam jaringan sehingga tidak
dapat dilakukan proses pembiakan serta uji kepekaan jamur terhadap
obat antijamur. Spesimen darah untuk pemeriksaan serologi sebanyak
2,5-5 ml diambil dengan semprit steril tanpa bahan pengawet lalu
dikirim secepatnya ke laboratorium. Untuk biakan darah saja,
diperlukan 5-10 ml darah dan sebaiknya diberi antikoagulan.
Pengiriman spesimen harus disertai keterangan klinis pasien
secukupnya dan permintaan yang jelas. Hal itu akan mempermudah staf
laboratorium mengarahkan pemeriksaan yang diperlukan dan
menghindari kesalahan interpetasi hasil pemeriksaan.
1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik spesimen klinik secara langsung
maupun dengan pewarnaan harus selalu dilakukan karena dapat
mendiagnosis kemungkinan terdapatnya infeksi jamur secara
cepat, mudah dan murah, meskipun nilai diagnostiknya sangat
bervariasi (10 sampai >90%) bergantung pada spesies jamur yang
ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan
menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 5
Jamur Paru di Indonesia
Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan Giemsa, gomori
methenamin silver (GMS), calcofluor, maupun deteksi antibodi
monoklonal dengan pewarnaan imunofluoresens. Pemeriksaan
langsung sputum, bilasan bronkus, BAL atau spesimen lain dapat
mendeteksi elemen jamur secara umum berupa spora maupun
hifa. Pemeriksaan langsung cairan serebrospinal, bilasan bronkus
atau BAL dengan tinta India sangat bermanfaat dalam
mendiagnosis kriptokokosis. Pemeriksaan sputum pasien
terinfeksi HIV dengan pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan
sensitivitas 35-60%, sedangkan pemeriksaan BAL menunjukkan
sensitivitas 85-95% dalam mendiagnosis PCP. Induksi sputum
dilaporkan memiliki kesetaraan yang baik dengan BAL. Pewarnaan
imunofluorensens antibodi monoklonal meningkatkan sensitivitas
yang lebih baik dibandingkan pewarnaan biasa.
2. Biakan
Pemeriksaan biakan jamur yang berasal dari berbagai spesimen
respirasi memiliki nilai diagnostik bervariasi, tergantung pada
spesies jamur, asal spesimen serta derajat penyakit yang dialami
pasien. Pemeriksaan biakan memiliki nilai diagnostik tinggi
bahkan menjadi baku emas diagnosis infeksi jamur tertentu,
misalnya biakan darah merupakan baku emas diagnosis infeksi
Candida dalam darah (kandidemia), tetapi pemeriksaan biakan
tidak bermakna untuk diagnosis PCP karena P. jiroveci belum
dapat dibiak sampai saat ini. Pada histoplasmosis akut, sensitivitas
biakan hanya 15%, sedangkan pada histoplasmosis diseminata
sensitivitasnya >85%. Hasil pemeriksaan biakan membutuhkan
waktu beberapa hari sampai minggu, tetapi penting dilakukan
untuk identifikasi spesies secara konvensional maupun uji
kepekaan jamur terhadap obat-obat antijamur.
3. Serologi
Uji serologi secara tradisional digunakan untuk mendeteksi
reaktivitas antibodi pejamu terhadap elemen-elemen jamur. Nilai
diagnostiknya sangat terbatas, sehingga perlu berhati-hati dalam
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 6
Jamur Paru di Indonesia
menentukan interpretasi hasil. Dewasa ini telah dikembangkan
deteksi antigen yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi. Uji ini
didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang dilepaskan
ke dalam aliran darah atau cairan tubuh lain pada saat jamur
berproliferasi. Uji antigen Cryptococcus spp dari serum atau cairan
serebrospinal sangat bermanfaat dalam diagnosis kriptokokosis
karena nilai sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi. Uji antigen
Histoplasma spp. dari urin pasien memiliki nilai sensitivitas >90%
dan spesivisitas >95% dalam mendiagnosis histoplasmosis; tetapi
hasil uji antigen negatif tidak lantas menyingkirkan diagnosis. Uji
antigen galaktomanan Aspergillus spp menunjukkan nilai
sensitivitas 61-71% dan spesifisitas 89-93% dalam mendeteksi
aspergilosis invasif. Perlu diperhatikan kemungkinan hasil positif
palsu pada pasien yang mendapat terapi antibiotik golongan β-
laktam misalnya piperasilin-tazobaktam serta pasien dgn infeksi
Pencillium karena terdapatnya reaktivitas silang. Perkembangan
terkini menunjukkan manfaat pemeriksaan galaktomanan
Aspergillus pada spesimen BAL pasien yang diprediksi akan
mengalami aspergilosis invasif. Komponen jamur yang juga sedang
dikembangkan untuk modalitas diagnostik uji antigen adalah β-
1,3-glukan (merupakan komponen dinding sel pada hampir semua
jamur) dan kitin, tetapi penggunaannya masih sangat terbatas.
4. PCR
Pemeriksaan PCR maupun real-time PCR juga sedang
dikembangkan, tetapi masih digunakan secara terbatas karena
belum terdapatnya standarisasi dan validasi.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 7
Jamur Paru di Indonesia
(gejala klinis, pemeriksaan radiologi) serta hasil pemeriksaan mikologi.
Hal itu dapat dilihat pada tabel berikut :
Faktor Kriteria
+ Mikologi = Proven
pejamu + klinis
1. Faktor pejamu:
Netropenia (netrofil <500/mm3 selama >10 hari).
Menerima transplantasi sum-sum tulang alogenik
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 8
Jamur Paru di Indonesia
Menerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata
dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama >3
minggu.
Menerima terapi imunosupresan sel-T misalnya siklosporin,
penyekat TNF-α, antibodik monoklonal spesifik (misalnya
alemtuzumab), atau analog nukleosida dalam 90 hari terakhir.
Mengalami imunodefisiensi primer berat (misalnya penyakit
granulomatosa kronik atau imunodefisiensi berat lainnya).
2. Kriteria klinis:
Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CT-
scan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada dalam
area konsolidasi.
Minor:
- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada,
sesak napas, hemoptisis, dll).
- Pemeriksaan fisis pleural rub.
- Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria
mayor.
3. Kriteria mikologi:
Pemeriksaan langsung positif (ditemukannya elemen jamur
pada pemeriksaan mikroskopik langsung maupun sediaan
pewarnaan) atau biakan jamur positif.
Pemeriksaan tidak langsung:
o deteksi antigen galaktomanan dari BAL, LCS atau >2 sampel
darah untuk mendiagnosis aspergilosis menunjukkan hasil
positif.
o deteksi β-d-glucan dalam serum untuk mendiagnosis infeksi
jamur invasif (selain kriptokokosis dan zigomikosis)
menunjukkan hasil positif.
o deteksi antigen kriptokokus positif.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 9
Jamur Paru di Indonesia
Definisi diagnosis mikosis invasif probable
- Paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu
- DAN satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor pada
lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis
atau radiologi.
- DAN satu kriteria mikologi.
1. Faktor pejamu:
Netropenia (netrofil <500/mm3 selama >10 hari).
Demam persisten selama >96 jam, refrakter terhadap antibiotik
adekuat.
Suhu tubuh >380C atau <360C DAN terdapat faktor predisposisi
berikut:
- prolonged netropenia (>10 hari) dalam 60 hri terakhir
- penggunaan obat imunosupresif saat ini (<30 hari)
- pernah mengalami epidose infeksi jamur invasif sebelumnya
- koeksistensi AIDS
Gejala klinis yang mengindikasikan penyakit graft-versus-host
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (>3 minggu).
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 10
Jamur Paru di Indonesia
2. Kriteria klinis:
Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CT-
scan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada dalam
area konsolidasi.
Minor:
- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada,
sesak napas, hemoptisis, dll).
- Pemeriksaan fisis pleural rub.
Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria mayor.
3. Kriteri mikologi:
Pemeriksaan langsung positif (ditemukannya elemen jamur pada
pemeriksaan mikroskopik langsung maupun sediaan pewarnaan)
atau biakan jamur positif.
Pemeriksaan tidak langsung:
- deteksi antigen galaktomanan dari BAL, LCS atau >2 sampel
darah untuk mendiagnosis aspergilosis menunjukkan hasil
positif.
- deteksi β-d-glucan dalam serum untuk mendiagnosis infeksi
jamur invasif (selain kriptokokosis dan zigomikosis)
menunjukkan hasil positif.
- deteksi antigen kriptokokus positif.
- kelainan paru dan hasil biakan bakteri negatif dari spesimen
saluran napas bawah termasuk BAL, sputum dan darah.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 11
Jamur Paru di Indonesia
BAB III
PENATALAKSANAAN
Sukses
Respons Membaik selama periode pengamatan, resolusi semua gejala klinis dan kelainan
komplit radiologi, serta bukti mikologi (eradikasi jamur).
Respons Membaik selama periode pengamatan, perbaikan gejala klinis dan kelainan
parsial radiologi, serta bukti biakan jamur steril atau penurunan beban/jumlah jamur yang
ditentukan secara kuantitatif dengan petanda laboratorium.
Gagal
Respons Membaik selama periode pengamatan, perbaikan minor atau tanpa perbaikan
menetap dalam penyakit jamur, tetapi tidak ada bukti progresif berdasarkan kriteria klinis,
(stable) radiologis dan laboratoris.
Progresif Bukti progresivitas penyakit berdasarkan kriteria klinis, radiologis dan laboratoris.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 13
Jamur Paru di Indonesia
BAB IV
OBAT ANTIJAMUR
14
12 L-AmB
ABCD
10 ABLC
Terbinafin
8 Itrakonazol
6 Flukonazol
Ketokonazol
4 5-FC
Mikonazol
2
0
1950 1960 1970 1980 1990 2000
7
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 14
Jamur Paru di Indonesia
1. Golongan Polien
Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin dan
natamisin. Cara kerjanya adalah membuat kerusakan pada
membran sel jamur dengan cara berikatan dengan ergosterol
(komponen penting dinding sel), sehingga permeabilitas seluler
meningkat dan terjadi kebocoran isi sel yang berakibat kematian
jamur (efek fungisidal). Saat ini golongan polien yang tersedia di
Indonesia adalah amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan
nistatin.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 15
Jamur Paru di Indonesia
Pada pasien dewasa tanpa neutropenia, AmB diberikan sampai 14
hari setelah hasil terakhir kultur darah negatif dan terdapat
perbaikan klinis.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 16
Jamur Paru di Indonesia
Nistatin, secara struktural mirip dengan amfoterisin B, namun
tidak diberikan parenteral karena toksisitasnya. Nistatin biasanya
bersifat fungistatik secara in vivo tetapi dapat juga bersifat
fungisida pada konsentrasi tinggi atau terhadap organisme yang
sangat peka. Obat itu tersedia dalam bentuk oral maupun topikal,
dan tidak memiliki interaksi obat yang signifikan karena hampir
tidak diserap dalam usus. Efek samping jarang terjadi, tetapi
dalam dosis yang besar dapat menimbulkan mual, muntah, diare,
dan nyeri perut.
2. Golongan allylamines
Terbinafin adalah antijamur allylamine yang memiliki efek
menghambat enzim mono-oksigenase squalene, enzim penting
dalam biosintesis sterol pada jamur. Pemberiannya dapat
dilakukan topikal maupun oral terutama untuk terapi mikosis
superfisialis. Terbinafin yang tersedia di Indonesia adalah dalam
bentuk obat topikal yang biasa digunakan untuk mikosis
superfisial.
3. Flusitosin
Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi Candida, Cryptococcus.
Cara kerjanya dengan mengganggu sintesis asam nukleat. Mudah
mengalami resistensi. Absropsi oral baik, t½ 4 jam, diekskresi
dalam urin. Obat ini terdistribusi baik dalam SSP dan dapat
dikombinasikan dengan amfoterisin-B untuk infeksi jamur
sistemik. Efek samping meliputi: netropenia, trombositopenia.
Perlu dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya
gangguan fungsi ginjal. Obat ini tidak tersedia di Indonesia.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 17
Jamur Paru di Indonesia
4. Golongan azol
Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol telah
digunakan dalam praktek klinis. Golongan azol diklasifikasikan
menjadi dua kelas yang berbeda:
a. imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol dan ketokonazol)
b. triazol (flukonazol, itrakonazol, vorikonazol dan
posakonazol).
a. Imidazol
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 18
Jamur Paru di Indonesia
dan beberapa jamur dimorfik (misalnya Blastomyces dermatitidis
dan Coccidioides spp). Penyerapan ketokonazol di saluran cerna
akan lebih baik bila disertai dengan minuman asam seperti soda
berkarbonasi. Perlu diperhatikan efek samping ketokonazol
terhadap hati (hepatotoksik) serta interaksi signifikan dengan
obat-obat lain sehingga penggunaannya sangat dibatasi.
b. Triazol
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 19
Jamur Paru di Indonesia
Vorikonazol, diperkenalkan pada tahun 2002, memiliki spektrum
aktivitas yang luas terhadap Aspergillus spp termasuk Aspergillus
terreus yang resisten terhadap amfoterisin-B, galur resisten
Candida spp, Fusarium spp, Scedosporium apiospermum,
Trichosporon spp, serta berbagai golongan kapang. Aktivitas
vorikonazol dilaporkan tidak efektif terhadap jamur golongan
Zygomycetes. Vorikonazol tidak memerlukan lingkungan asam
untuk penyerapannya sehingga bioavailability-nya lebih baik
dibandingkan dengan ketokonazol atau itrakonazol. Vorikonazol
sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 1-2 jam setelah makan
karena makanan tinggi lemak dapat menurunkan absorpsinya.
Efek samping yang dapat ditemukan misalnya gangguan
pengihatan sementara (fotofobia, penglihatan kabur, atau
perubahan warna) serta halusinasi. Ekskresi vorikonazol tidak
terpengaruh pada keadaan gagal ginjal, tetapi sediaan parenteral
memerlukan dosis penyesuaian pada kasus kerusakan ginjal, dan
tidak boleh diberikan pada pasien dengan bersihan kreatinin
(CrCl) <50 ml/menit. Vorikonazol dikaitkan dengan interaksi
beberapa obat (rifampisin, barbiturat, karbamazepin dapat
menurunkan konsentrasi vorikonazol), hal itu terutama
disebabkan oleh inhibisi vorikonazol terhadap CYP2C19, CYP2C9,
dan CYP3A4. Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet/suspensi
oral dan cairan intravena. Metabolisme obat ini berlangsung di
hati, sedangkan eliminasinya di ginjal.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 20
Jamur Paru di Indonesia
Tabel 3.2. Indikasi dan dosis obat golongan azol
Obat Indikasi Dosis Dosis penyesuaian Dosis penyesuaian
ginjal hati
Flukonazol Kandidosis Loading dose200 mg, lalu 100- CCL < 50 ml/min: Belum ditentukan
(oral, intravena) orofarings 200 mg/hr, selama 7-14 hari loading dose, lalu
dosis ↓ 50%
Kandidosis 400 mg loading dose,lalu 200-
esophagus 400 mg/hr, selama 14-21 hari Hemodialisis:
diberikan dosis
Meningitis Terapi induksi, dilanjutkan dosis harian 100% (sesuai
kriptokokosis konsolidasi 400 mg/hr, lalu dosis indikasi) setiap kali
rumatan 200 mg/hr selesai HD
Histoplasmosis/ 400-800 mg/hr
blastomikosis/
koksidoidomikosis
Kandidosis Loading dose 800 mg, lalu 400
invasif/kandidemia mg/hr
Itrakonazol Kandidosis 200 mg/hr CCL < 10 ml/min: ↓ Belum ditentukan
(hanya oral) orofarings atau dosis 50%
esofagus
HD: 100 mg tiap 12-
Histoplasmosis / 200-400 mg/hr (dalam dosis 24 jam
blastomikosis terbagi bila > 200 mg/hr)
Koksidioidomikosis 400-600 mg/hr dalam 2 dosis
terbagi
Vorikonazol Loading dose (x 2 dosis): CCL < 50 ml/min: Child-Pugh Class A
(oral atau Intravena – 6 mg/kg tiap 12 jam. pemberian oral lebih or B: dosis rumatan
intravena) dianjurkan ↓ 50%
Oral-400 mg tiap12 jam
Child-Pugh Class C:
Dosis rumatan belum ditentukan
Intravena- 3-4 mg/kg tiap 12 jam
Oral – 200 mg tiap 12 jam
Posakonazol Profilaksis infeksi 200 mg, 3x sehari Belum diketahui Belum ditentukan
(oral) jamur invasif
Kandidosis 100 mg 2x sehari( x 2 dosis), lalu
orofarings 100 mg/hr selama 13 hr
Kandidosis 400 mg 2x sehari (lama
orofarings yang pemberian bervariasi tergantung
refrakter thd respons pasien)
flukonazol dan/atau
itrakonazol
Dikutip dari Proceeding ATS 2008
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 21
Jamur Paru di Indonesia
5. Golongan ekinokandin
Ekinokandin merupakan antijamur golongan baru, cara kerjanya
melalui penghambatan sintesis enzim 1,2-β-D dan 1,6-β-D-glucan
synthase. Enzim itu penting dalam produksi glukan (komponen
penting dinding sel jamur) yang mengakibatkan ketidakstabilan
osmotik sehingga sel jamur tidak dapat mempertahankan
bentuknya dan berujung pada kematian jamur. Glukan tidak
ditemukan pada dinding sel mamalia sehingga efek samping
ekinokandin terhadap sel manusia sangat sedikit.
Dinding sel C. neoformans terutama terdiri atas 1,3-α atau 1,6-α-
glucan, sehingga jamur itu lebih resisten terhadap ekinokandin.
Terdapat beberapa kelas ekinokandin yaitu: kaspofungin,
mikafungin, dan anidulafungin. Semua golongan ekinokandin
memiliki keterbatasan bioavailabilitas oral dan hanya tersedia
dalam sediaan intravena.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 22
Jamur Paru di Indonesia
berinteraksi dengan obat-obat lain karena obat ini merupakan
inhibitor CYP3A4 yang lemah.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 23
Jamur Paru di Indonesia
ALGORITMA PENATALAKSANAAN
OAJ sesuai FR
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 24
Jamur Paru di Indonesia