Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi masih menjadi masalah utama kesehatan di


Indonesia. Infeksi jamur paru atau mikosis paru dalam beberapa tahun
terakhir semakin mendapat perhatian karena frekuensinya semakin
meningkat. Hal itu seiring dengan meningkatnya faktor risiko, di
antaranya: penggunaan jangka panjang antibiotika berspektrum luas,
kortikosteroid, alat-alat kesehatan invasif (ventilator mekanik, kateter
vena sentral, dll), obat-obat sitostatika, penyakit kronik, keganasan,
transplantasi organ, maupun gangguan sistem imun lain.

Secara umum mikosis paru terjadi pada dua keadaan yaitu


menyertai kelainan paru kronik yang sudah ada dan keadaan
imunokompromis. Penyakit paru yang berisiko menimbulkan mikosis
paru adalah keganasan rongga toraks, TB paru dengan kerusakan paru
luas misalnya kavitas, bronkiektasis, penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) dan asma serta keadaan imunokompromis pascakemoterapi
atau penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Mikosis paru yang
paling sering dilaporkan adalah aspergilosis, pneumonia pneumositis
(PCP), kandidosis, kriptokokosis dan histoplasmosis. Epidemi AIDS
merupakan salah satu faktor penting yang berperan pada peningkatan
kejadian mikosis paru.

Penggunaan antimikroba secara luas (misalnya antivirus,


antijamur profilaksis dan fluorokuinolon untuk bakteri gram negatif)
bagi pasien imunokompromis telah meningkatkan risiko kolonisasi oleh
spesies jamur resisten serta meningkatnya kemungkinan infeksi jamur
sistemik termasuk aspergilosis invasif, antara lain pada pasien penerima
transplantasi organ dan pasien leukemia mieloid akut yang menerima
kemoterapi. Prevalensi kandidosis sistemik hampir tidak berubah dari
waktu ke waktu. Pneumonia pneumosistis dan mikosis endemik
termasuk histoplasmosis yang prevalensinya sempat menurun dalam
dekade terakhir, dilaporkan meningkat kembali karena meluasnya
penggunaan obat-obat imunosupresan.

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 1
Jamur Paru di Indonesia
Diagnosis mikosis paru masih dianggap sulit sehingga sering
terlambat dalam penatalaksanaan selanjutnya. Perkembangan
pengetahuan tentang mikosis memang belum sepesat penyakit yang
ditimbulkan bakteri atau virus. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, di
antaranya: mikosis paru jarang menimbulkan kematian mendadak,
gejala klinis dan hasil pemeriksaan seringkali tidak khas serta faktor
risiko yang luput dari perhatian. Pemahaman lebih baik mengenai
epidemiologi, patogenesis termasuk faktor risiko mikosis paru
diharapkan membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis serta
menentukan strategi penatalaksanaan yang lebih baik.

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 2
Jamur Paru di Indonesia
BAB II
PROSEDUR DIAGNOSIS

Prosedur diagnosis mikosis paru masih menjadi tantangan sampai


saat ini. Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat merupakan
langkah penting dalam prosedur diagnosis mikosis paru. Langkah
tersebut harus diikuti pemeriksaan penunjang yang tepat, meliputi:
pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi dan mikologi. Meningkatnya
kewaspadaan klinisi terhadap kemungkinan infeksi jamur paru dan
pemilihan modalitas diagnosis yang tepat, akan membuat
penatalaksanaan lebih baik.
Keluhan pasien mikosis paru mirip dengan keluhan penyakit paru
pada umumnya, tidak ada keluhan yang patognomonik. Perlu anamnesis
lebih teliti pada pasien dengan keadaan sebagai berikut:
 Pasien yang memiliki kondisi imunosupresi (neutropenia berat,
keganasan darah, transplantasi organ atau kemoterapi)
 Penggunaan jangka panjang alat-alat kesehatan invasif (ventilator
mekanik, kateter vena sentral dan perifer, kateter urin, kateter
lambung, water sealed drainage, dll)
 Pasien dengan kondisi imunokompromis akibat penggunaan
jangka panjang antibiotika berspektrum luas, kortikosteroid, obat
imunosupresi
 Penyakit kronik seperti keganasan rongga toraks, PPOK,
bronkiektasis, luluh paru, sirosis hati, insufisiensi renal, diabetes
 Gambaran infiltrat di paru dengan demam yang tidak membaik
setelah pemberian antibiotika adekuat dengan atau tanpa
adenopati
 Pasien dengan manifestasi mikosis kulit berupa lesi eritema
nodosum pada ekstremitas bawah terutama di daerah endemik
 Pasien terpajan atau setelah bepergian ke daerah endemik

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 3
Jamur Paru di Indonesia
Pada pemeriksaan fisis, mikosis paru sulit dibedakan dengan
penyakit paru lain, tergantung pada kelainan anatomi yang terjadi pada
paru. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis mikosis paru antara
lain pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium klinik tertentu,
serta pemeriksaan mikologi. Gambaran foto toraks pada sebagian besar
mikosis paru tidak menunjukkan ciri khas, dapat ditemukan infiltrat
interstisial, konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi pleura. Gambaran
yang khas dapat terlihat pada aspergiloma yaitu ditemukan fungus ball
pada pemeriksaan foto toraks. Hasil yang lebih baik didapat dari
pemeriksaan CT-scan toraks. Hasil laboratorium rutin yang mungkin
berkaitan dengan mikosis paru adalah peningkatan sel eosinofil.

Pemeriksaan laboratorium mikologi merupakan prosedur


diagnosis mikosis paru yang sangat penting. Kualitas pemeriksaan ini
ditentukan oleh pemilihan, pengumpulan serta cara pengiriman bahan
klinik (spesimen) yang baik. Penanganan spesimen yang tidak memadai
dapat mengakibatkan ketidaktepatan diagnosis. Spesimen dapat diambil
dari sputum, bilasan bronkus, kurasan bronkoalveolar (BAL), jaringan
biopsi, darah, cairan pleura, pus, dll.
Spesimen harus diletakkan dalam wadah steril yang tertutup
rapat, tanpa bahan pengawet dan dilabel dengan baik. Selanjutnya
spesimen dikirim ke laboratorium dalam waktu paling lama dua jam
setelah prosedur pengambilan. Bila tidak memungkinkan segera
diproses dalam dua jam, spesimen dapat disimpan dalam suhu 4 0C.
Spesimen yang disimpan terlalu lama dapat menurunkan keberhasilan
pemeriksaan.
Sputum sebaiknya diambil pagi hari sebelum makan, dilakukan
tiga hari berturut-turut. Pasien harus berkumur dengan air matang
sebanyak 2-3 kali, selanjutnya berusaha mengeluarkan sputum dengan
membatukkannya. Induksi sputum lebih dianjurkan karena lebih
merepresentasikan spesimen saluran napas bawah/paru. Jumlah
sputum yang diperlukan sekitar 10-15 ml. Bilasan bronkus atau BAL
memiliki arti klinik lebih tinggi dibandingkan sputum, tetapi prosedur
pengambilannya lebih sulit. Spesimen tersebut dikirim dalam semprit
steril tanpa bahan pengawet atau diberi sedikit larutan garam faal bila
jumlahnya sangat sedikit. Spesimen yang berasal dari cairan pleura, pus

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 4
Jamur Paru di Indonesia
maupun eksudat dapat diambil dengan semprit steril dan langsung
dikirim tanpa penambahan cairan atau bahan pengawet.
Jaringan hasil biopsi memiliki arti klinik paling tinggi karena
penemuan jamur dalam jaringan dapat memastikan diagnosis mikosis.
Spesimen biopsi sebaiknya diambil dari tengah dan tepi lesi, selanjutnya
diletakkan di antara kasa steril yang sedikit dibasahi dengan larutan
garam faal sekedar untuk mencegah kekeringan. Jangan diberi bahan
pengawet karena akan mematikan jamur dalam jaringan sehingga tidak
dapat dilakukan proses pembiakan serta uji kepekaan jamur terhadap
obat antijamur. Spesimen darah untuk pemeriksaan serologi sebanyak
2,5-5 ml diambil dengan semprit steril tanpa bahan pengawet lalu
dikirim secepatnya ke laboratorium. Untuk biakan darah saja,
diperlukan 5-10 ml darah dan sebaiknya diberi antikoagulan.
Pengiriman spesimen harus disertai keterangan klinis pasien
secukupnya dan permintaan yang jelas. Hal itu akan mempermudah staf
laboratorium mengarahkan pemeriksaan yang diperlukan dan
menghindari kesalahan interpetasi hasil pemeriksaan.

Metode laboratorium untuk mendiagnosis mikosis paru dilakukan


melalui tiga pendekatan penting yaitu: pemeriksaan mikroskopik,
isolasi dan identifikasi jamur pada biakan serta deteksi respons
serologis terhadap jamur atau penandanya. Prosedur diagnostik
berdasarkan deteksi deoxyribonucleic acid (DNA) jamur saat ini sedang
dikembangkan. Biakan spesimen maupun hasil biopsi jaringan masih
menjadi baku emas diagnosis mikosis paru. Pemeriksaan uji kepekaan
jamur terhadap obat perlu dilakukan untuk menentukan pemilihan obat
antijamur yang tepat atau evaluasi terapi.

1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik spesimen klinik secara langsung
maupun dengan pewarnaan harus selalu dilakukan karena dapat
mendiagnosis kemungkinan terdapatnya infeksi jamur secara
cepat, mudah dan murah, meskipun nilai diagnostiknya sangat
bervariasi (10 sampai >90%) bergantung pada spesies jamur yang
ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan
menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India.

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 5
Jamur Paru di Indonesia
Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan Giemsa, gomori
methenamin silver (GMS), calcofluor, maupun deteksi antibodi
monoklonal dengan pewarnaan imunofluoresens. Pemeriksaan
langsung sputum, bilasan bronkus, BAL atau spesimen lain dapat
mendeteksi elemen jamur secara umum berupa spora maupun
hifa. Pemeriksaan langsung cairan serebrospinal, bilasan bronkus
atau BAL dengan tinta India sangat bermanfaat dalam
mendiagnosis kriptokokosis. Pemeriksaan sputum pasien
terinfeksi HIV dengan pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan
sensitivitas 35-60%, sedangkan pemeriksaan BAL menunjukkan
sensitivitas 85-95% dalam mendiagnosis PCP. Induksi sputum
dilaporkan memiliki kesetaraan yang baik dengan BAL. Pewarnaan
imunofluorensens antibodi monoklonal meningkatkan sensitivitas
yang lebih baik dibandingkan pewarnaan biasa.

2. Biakan
Pemeriksaan biakan jamur yang berasal dari berbagai spesimen
respirasi memiliki nilai diagnostik bervariasi, tergantung pada
spesies jamur, asal spesimen serta derajat penyakit yang dialami
pasien. Pemeriksaan biakan memiliki nilai diagnostik tinggi
bahkan menjadi baku emas diagnosis infeksi jamur tertentu,
misalnya biakan darah merupakan baku emas diagnosis infeksi
Candida dalam darah (kandidemia), tetapi pemeriksaan biakan
tidak bermakna untuk diagnosis PCP karena P. jiroveci belum
dapat dibiak sampai saat ini. Pada histoplasmosis akut, sensitivitas
biakan hanya 15%, sedangkan pada histoplasmosis diseminata
sensitivitasnya >85%. Hasil pemeriksaan biakan membutuhkan
waktu beberapa hari sampai minggu, tetapi penting dilakukan
untuk identifikasi spesies secara konvensional maupun uji
kepekaan jamur terhadap obat-obat antijamur.

3. Serologi
Uji serologi secara tradisional digunakan untuk mendeteksi
reaktivitas antibodi pejamu terhadap elemen-elemen jamur. Nilai
diagnostiknya sangat terbatas, sehingga perlu berhati-hati dalam

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 6
Jamur Paru di Indonesia
menentukan interpretasi hasil. Dewasa ini telah dikembangkan
deteksi antigen yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi. Uji ini
didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang dilepaskan
ke dalam aliran darah atau cairan tubuh lain pada saat jamur
berproliferasi. Uji antigen Cryptococcus spp dari serum atau cairan
serebrospinal sangat bermanfaat dalam diagnosis kriptokokosis
karena nilai sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi. Uji antigen
Histoplasma spp. dari urin pasien memiliki nilai sensitivitas >90%
dan spesivisitas >95% dalam mendiagnosis histoplasmosis; tetapi
hasil uji antigen negatif tidak lantas menyingkirkan diagnosis. Uji
antigen galaktomanan Aspergillus spp menunjukkan nilai
sensitivitas 61-71% dan spesifisitas 89-93% dalam mendeteksi
aspergilosis invasif. Perlu diperhatikan kemungkinan hasil positif
palsu pada pasien yang mendapat terapi antibiotik golongan β-
laktam misalnya piperasilin-tazobaktam serta pasien dgn infeksi
Pencillium karena terdapatnya reaktivitas silang. Perkembangan
terkini menunjukkan manfaat pemeriksaan galaktomanan
Aspergillus pada spesimen BAL pasien yang diprediksi akan
mengalami aspergilosis invasif. Komponen jamur yang juga sedang
dikembangkan untuk modalitas diagnostik uji antigen adalah β-
1,3-glukan (merupakan komponen dinding sel pada hampir semua
jamur) dan kitin, tetapi penggunaannya masih sangat terbatas.

4. PCR
Pemeriksaan PCR maupun real-time PCR juga sedang
dikembangkan, tetapi masih digunakan secara terbatas karena
belum terdapatnya standarisasi dan validasi.

Diagnosis dini sangat penting untuk memperoleh luaran klinis


optimal. Keterlambatan diagnosis akan mengakibatkan keterlambatan
penatalaksanaan yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas.
Dalam penegakan diagnosis mikosis paru dikenal beberapa istilah yang
menentukan derajat diagnostik itu sendiri yaitu: proven, probable dan
possible. Derajat diagnostik tersebut ditentukan oleh tiga kriteria yaitu:
faktor pejamu (faktor risiko, penyakit yang mendasari), kriteria klinis

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 7
Jamur Paru di Indonesia
(gejala klinis, pemeriksaan radiologi) serta hasil pemeriksaan mikologi.
Hal itu dapat dilihat pada tabel berikut :

Diagnosis Mikosis Paru


Biopsi
jaringan
Faktor Kriteria
pejamu + klinis + Mikologi = Probable

Faktor Kriteria Negatif


pejamu + klinis + atau tidak = Possibble
dilakukan

Faktor Kriteria
+ Mikologi = Proven
pejamu + klinis

Gambar 1. Skema diagnosis mikosis paru (sistemik/invasif)

Definisi diagnosis mikosis invasif proven


- Pemeriksaan histologi atau sitokimia menunjukkan elemen jamur
positif dari hasil biopsi atau TTNA dengan bukti disertai kerusakan
jaringan (secara mikroskopik atau radiologi).
- ATAU biakan positif dari spesimen yang berasal dari tempat steril
serta secara klinis dan radiologi menunjukkan kelainan lesi yang
sesuai dengan infeksi.
- ATAU pemeriksaan mikroskopik/antigen Cryptococcus dari LCS

Kriteria diagnosis proven

1. Faktor pejamu:
 Netropenia (netrofil <500/mm3 selama >10 hari).
 Menerima transplantasi sum-sum tulang alogenik

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 8
Jamur Paru di Indonesia
 Menerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata
dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama >3
minggu.
 Menerima terapi imunosupresan sel-T misalnya siklosporin,
penyekat TNF-α, antibodik monoklonal spesifik (misalnya
alemtuzumab), atau analog nukleosida dalam 90 hari terakhir.
 Mengalami imunodefisiensi primer berat (misalnya penyakit
granulomatosa kronik atau imunodefisiensi berat lainnya).

2. Kriteria klinis:
Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CT-
scan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada dalam
area konsolidasi.

Minor:
- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada,
sesak napas, hemoptisis, dll). 
- Pemeriksaan fisis pleural rub.
- Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria
mayor.  

3. Kriteria mikologi:
 Pemeriksaan langsung positif (ditemukannya elemen jamur
pada pemeriksaan mikroskopik langsung maupun sediaan
pewarnaan) atau biakan jamur positif.
 Pemeriksaan tidak langsung:
o deteksi antigen galaktomanan dari BAL, LCS atau >2 sampel
darah untuk mendiagnosis aspergilosis menunjukkan hasil
positif.
o deteksi β-d-glucan dalam serum untuk mendiagnosis infeksi
jamur invasif (selain kriptokokosis dan zigomikosis)
menunjukkan hasil positif.
o deteksi antigen kriptokokus positif.

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 9
Jamur Paru di Indonesia
Definisi diagnosis mikosis invasif probable
- Paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu
- DAN satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor pada
lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis
atau radiologi.
- DAN satu kriteria mikologi.

Diagnosis mikosis invasif possible


- Paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu
- DAN satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor dari
lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis
atau radiologi ATAU satu kriteria mikologi.

Kriteria diagnosis probable dan possible

1. Faktor pejamu:
 Netropenia (netrofil <500/mm3 selama >10 hari).
 Demam persisten selama >96 jam, refrakter terhadap antibiotik
adekuat.
 Suhu tubuh >380C atau <360C DAN terdapat faktor predisposisi
berikut:
- prolonged netropenia (>10 hari) dalam 60 hri terakhir
- penggunaan obat imunosupresif saat ini (<30 hari)
- pernah mengalami epidose infeksi jamur invasif sebelumnya
- koeksistensi AIDS
 Gejala klinis yang mengindikasikan penyakit graft-versus-host
 Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (>3 minggu).

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 10
Jamur Paru di Indonesia
2. Kriteria klinis:
Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CT-
scan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada dalam
area konsolidasi.
Minor:
- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada,
sesak napas, hemoptisis, dll). 
- Pemeriksaan fisis pleural rub.
Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria mayor.

3. Kriteri mikologi:
 Pemeriksaan langsung positif (ditemukannya elemen jamur pada
pemeriksaan mikroskopik langsung maupun sediaan pewarnaan)
atau biakan jamur positif.
 Pemeriksaan tidak langsung:
- deteksi antigen galaktomanan dari BAL, LCS atau >2 sampel
darah untuk mendiagnosis aspergilosis menunjukkan hasil
positif.
- deteksi β-d-glucan dalam serum untuk mendiagnosis infeksi
jamur invasif (selain kriptokokosis dan zigomikosis)
menunjukkan hasil positif.
- deteksi antigen kriptokokus positif.
- kelainan paru dan hasil biakan bakteri negatif dari spesimen
saluran napas bawah termasuk BAL, sputum dan darah.

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 11
Jamur Paru di Indonesia
BAB III
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan mikosis paru berkaitan erat dengan: jenis jamur,


status imun pejamu, lokasi infeksi, kepekaan jamur terhadap obat,
terapi antijamur sebelumnya, penanganan sumber infeksi dan faktor
risiko. Penatalaksanaan ini terdiri atas medikamentosa dan bedah.
Terapi medikamentosa dilakukan dengan memberikan obat antijamur
(OAJ), yang terdiri atas beberapa golongan obat:
 golongan polien
 golongan alilamin
 golongan flusitosin
 golongan azol
 golongan ekinokandin

Obat antijamur dapat diberikan sebagai terapi definitif, pre-


emptive (targeted prophylaxis), empirik dan profilaksis. Terapi
definitif diberikan kepada pasien dengan diagnosis proven. Terapi pre-
emptive (targeted prophylaxis) diberikan kepada pasien dengan
diagnosis probable. Terapi empirik diberikan kepada pasien dengan
diagnosis possible. Terapi profilaksis diberikan kepada pasien dengan
faktor pejamu khusus (misalnya pasien transplantasi organ, leukemia,
keganasan dengan leukopenia tanpa demam), tetapi tidak ditemukan
gejala infeksi.

Pembedahan merupakan terapi definitif aspergiloma terutama


pada kasus aspergiloma tunggal. Pada pasien dengan hemoptisis ringan
dilakukan bed rest, postural drainage atau terapi simtomatik lain. Pada
pasien dengan hemoptisis berulang atau hemoptisis masif, pembedahan
dilakukan dengan mempertimbangkan risiko/toleransi operasi. Jika
toleransi operasi tidak memungkinkan, dipertimbangkan embolisasi,
atau pemberian antijamur transtorakal-intrakavitas.

Lama pemberian pengobatan mikosis paru tergantung kepada


jenis jamur dan OAJ yang diberikan. Evaluasi pengobatan harus
dilakukan untuk melihat respons obat dan toksisitas yang ditimbulkan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 12
Jamur Paru di Indonesia
OAJ. Toksisitas obat dinilai dari klinis, misalnya mual muntah, ikterus
dan pemeriksaan fungsi hati (terutama bila mendapat OAJ golongan
azol), fungsi ginjal (terutama bila mendapat OAJ golongan polien). Tabel
1 menunjukkan kriteria respons terapi OAJ

Tabel 1. Respons terapi OAJ


Luaran klinis, Kriteria
respons

Sukses

Respons Membaik selama periode pengamatan, resolusi semua gejala klinis dan kelainan
komplit radiologi, serta bukti mikologi (eradikasi jamur).

Respons Membaik selama periode pengamatan, perbaikan gejala klinis dan kelainan
parsial radiologi, serta bukti biakan jamur steril atau penurunan beban/jumlah jamur yang
ditentukan secara kuantitatif dengan petanda laboratorium.

Gagal

Respons Membaik selama periode pengamatan, perbaikan minor atau tanpa perbaikan
menetap dalam penyakit jamur, tetapi tidak ada bukti progresif berdasarkan kriteria klinis,
(stable) radiologis dan laboratoris.

Progresif Bukti progresivitas penyakit berdasarkan kriteria klinis, radiologis dan laboratoris.

Kematian Kematian dalam periode pengamatan, regardless of attribution

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 13
Jamur Paru di Indonesia
BAB IV
OBAT ANTIJAMUR

Harus diperhatikan pemberian obat antijamur (OAJ) yang adekuat,


dalam waktu dan dosis tepat sehingga dapat mencegah toksisitas.
Selama bertahun-tahun, satu-satunya obat antijamur yang tersedia
adalah amfoterisin-B dan golongan azol. Dalam beberapa dekade
terakhir telah ditemukan obat antijamur baru dengan mekanisme aksi
lebih baik, spektrum lebih luas, dan efek samping lebih sedikit. Gambar
berikut menunjukkan sejarah penemuan obat antijamur.

14
12 L-AmB
ABCD
10 ABLC
Terbinafin
8 Itrakonazol
6 Flukonazol
Ketokonazol
4 5-FC
Mikonazol

2
0
1950 1960 1970 1980 1990 2000
7

Gambar 3.1. Sejarah penemuan obat antijamur dalam 50 tahun terakhir

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 14
Jamur Paru di Indonesia
1. Golongan Polien
Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin dan
natamisin. Cara kerjanya adalah membuat kerusakan pada
membran sel jamur dengan cara berikatan dengan ergosterol
(komponen penting dinding sel), sehingga permeabilitas seluler
meningkat dan terjadi kebocoran isi sel yang berakibat kematian
jamur (efek fungisidal). Saat ini golongan polien yang tersedia di
Indonesia adalah amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan
nistatin.

Amfoterisin-B diperkenalkan pada tahun 1950an, merupakan


terapi standar berbagai infeksi jamur sistemik sebelum azol
berspektrum luas dan ekinokandin diperkenalkan. Amfoterisin-B
memiliki aktivitas terhadap hampir semua infeksi jamur invasif,
termasuk Candida spp, Aspergillus spp, Cryptococcus, Histoplasma,
dan Zygomyces. Perlu diperhatikan bahwa Candida lusitaniae,
Scedosporium prolificans dan Aspergillus terreus memiliki
resistensi primer terhadap Am-B. Dosis standar Am-B deoksikolat
adalah 0,7-1 mg/kgBB/hari.
Selanjutnya diperkenalkan Am-B dalam formulasi lain yang
memiliki spektrum aktivitas luas dan toksisitas lebih kecil, yaitu:
amfoterisin-B liposomal (Ambisome) dan kompleks lipid
amfoterisin-B (Abelcet). Dosis standar Am-B formula lipid adalah
3-6 mg/kgBB/hari.
Toksisitas yang dapat terjadi pada pemberian Am-B meliputi
nefrotoksisitas termasuk gagal ginjal akut, toksisitas hematologi,
reaksi terkait infus (misalnya demam, menggigil, sakit kepala,
mual, muntah) dan gangguan elektrolit (misalnya hipokalemia,
hipomagnesemia, hipernatremia, asidosis metabolik). Pemberian
infus lambat (biasanya lebih dari 4 jam) dan premedikasi dengan
antipiretik, antihistamin dapat dilakukan untuk mencegah reaksi
terkait-infus. Pemberian infus garam fisiologis sebelum terapi
dapat menurunkan nefrotoksisitas yang diinduksi obat. Untuk
meminimalkan nefrotoksisitas, dapat dipilih Am-B formula lipid,
serta mengoreksi kelainan elektrolit misalnya hipokalemia dan
hipomagnesemia.

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 15
Jamur Paru di Indonesia
Pada pasien dewasa tanpa neutropenia, AmB diberikan sampai 14
hari setelah hasil terakhir kultur darah negatif dan terdapat
perbaikan klinis.

Tabel 3.1. Indikasi dan dosis amfoterisin-B

Sediaan Indikasi Dosis

Amfoterisin B Aspergilosis invasif, 0.25–1 mg/kg/hari


deoksikolat (Fungizone) blastomikosis, kandidosis,
koksidioidomikosis,
mukcormikosis, basidiobolus,
conidiobolus 0.7–1 mg/kg/hari

Histoplasmosis, sporotrikosis 0.5–1 mg/kg/hari

Kriptokokus ringan-sedang atau 0.7–1 mg/kg/hari


non-SSP
0.7 mg/kg/hari
Kriptokokosis berat atau SSP
Kompleks lipid 5 mg/kg/hari
amfoterisin B (Abelcet) Meningitis kriptokokal (+HIV)

Infeksi jamur invasif pada pasien


Amfoterisin B liposomal yang refrakter atau intoleran 3 mg/kg/hari
(Ambisome) terhadap terapi amfoterisin-B
konvesional
6 mg/kg/hari
Terapi empiris pada pasien
demam, netropenia, dan diduga 3–5 mg/kg/hari
mengalami infeksi jamur
Amfoterisin B colloidal Meningitis kriptokokal (+ HIV) 3–4 mg/kg/hari
dispersion (Amphotec) Infeksi Aspergillus sp., Candida sp.,
dan atau Cryptococcus sp.

Aspergilosis invasif pada pasien


dengan gangguan ginal atau tidak
dapat menerima toksisitas
amfoterisin-B konvensional dalam
dosis efektif dan pada pasien
dengan aspergilosis invasif yang
mengalami kegagalan dengan
terapi amforeisin-B konvesional
sebelumnya.
Dikutip dari Proceeding ATS 2010

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 16
Jamur Paru di Indonesia
Nistatin, secara struktural mirip dengan amfoterisin B, namun
tidak diberikan parenteral karena toksisitasnya. Nistatin biasanya
bersifat fungistatik secara in vivo tetapi dapat juga bersifat
fungisida pada konsentrasi tinggi atau terhadap organisme yang
sangat peka. Obat itu tersedia dalam bentuk oral maupun topikal,
dan tidak memiliki interaksi obat yang signifikan karena hampir
tidak diserap dalam usus. Efek samping jarang terjadi, tetapi
dalam dosis yang besar dapat menimbulkan mual, muntah, diare,
dan nyeri perut.

2. Golongan allylamines
Terbinafin adalah antijamur allylamine yang memiliki efek
menghambat enzim mono-oksigenase squalene, enzim penting
dalam biosintesis sterol pada jamur. Pemberiannya dapat
dilakukan topikal maupun oral terutama untuk terapi mikosis
superfisialis. Terbinafin yang tersedia di Indonesia adalah dalam
bentuk obat topikal yang biasa digunakan untuk mikosis
superfisial.

3. Flusitosin
Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi Candida, Cryptococcus.
Cara kerjanya dengan mengganggu sintesis asam nukleat. Mudah
mengalami resistensi. Absropsi oral baik, t½ 4 jam, diekskresi
dalam urin. Obat ini terdistribusi baik dalam SSP dan dapat
dikombinasikan dengan amfoterisin-B untuk infeksi jamur
sistemik. Efek samping meliputi: netropenia, trombositopenia.
Perlu dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya
gangguan fungsi ginjal. Obat ini tidak tersedia di Indonesia.

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 17
Jamur Paru di Indonesia
4. Golongan azol
Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol telah
digunakan dalam praktek klinis. Golongan azol diklasifikasikan
menjadi dua kelas yang berbeda:
a. imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol dan ketokonazol)
b. triazol (flukonazol, itrakonazol, vorikonazol dan
posakonazol).

Cara kerja obat golongan azol adalah dengan mengganggu sintesis


ergosterol, suatu komponen penting dalam membran sel jamur.
Efek ini terjadi melalui penghambatan enzim lanosterol 14-α
demetilase yang berperan mengubah lanosterol menjadi
ergosterol, sehingga terjadi gangguan struktur dan fungsi normal
membran sel. Selanjutnya pertumbuhan jamur akan terhambat
(efek fungistatik), meskipun beberapa penelitian in vitro
melaporkan efek fungisidal itrakonazol dan vorikonazol terhadap
Aspergillus spp pada dosis standar.
Obat golongan azol pada umumnya ditoleransi baik oleh tubuh.
Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan
gastrointestinal (misalnya mual, muntah, diare), hepatotoksisitas
(transaminitis sampai hepatitis, kolestasis). Obat golongan azol
tidak boleh diberikan pada perempuan hamil (kategori C). Obat
golongan azol dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom P-
450, sekaligus merupakan inhibitor poten sitokrom P-450 yang
memungkinkan terjadinya interaksi dengan berbagai obat
terutama imunosupresan, misalnya statin, benzo-diazepin, dll).

a. Imidazol

Klotrimazol dan mikonazol tersedia dalam berbagai sediaan obat


topikal seperti krim, losio, sampo, tablet vagina, tablet isap, dan
solusio yang terutama digunakan untuk terapi kandidosis vagina
dan mukokutan. Ketokonazol merupakan antijamur golongan
azol bentuk oral pertama yang tersedia untuk terapi infeksi jamur
superfisial maupun sistemik. Obat itu mempunyai aktivitas
terhadap berbagai spesies Candida, dermatofit, Malassezia furfur,

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 18
Jamur Paru di Indonesia
dan beberapa jamur dimorfik (misalnya Blastomyces dermatitidis
dan Coccidioides spp). Penyerapan ketokonazol di saluran cerna
akan lebih baik bila disertai dengan minuman asam seperti soda
berkarbonasi. Perlu diperhatikan efek samping ketokonazol
terhadap hati (hepatotoksik) serta interaksi signifikan dengan
obat-obat lain sehingga penggunaannya sangat dibatasi.

b. Triazol

Flukonazol, merupakan triazol generasi pertama, memiliki


spektrum aktivitas lebih luas, bioavailability hampir 100 % karena
tidak mengalami first-past metabolism, dan penyerapannya tidak
dipengaruhi asam lambung. Flukonazol aktif terhadap hampir
semua Candida spp (kecuali C. krusei dan C. glabrata),
Cryptococcus neoformans, beberapa jamur dimorfik, M. furfur,
Prototheca, serta dermatofit. Flukonazol tersedia dalam sediaan
oral (dosis 50 mg dan 150 mg) maupun intravena (dosis 200 mg).
Flukonazol merupakan penghambat isoenzim CYP2C9, CYP2C19,
dan CYP3A4, sehingga penggunaannya harus memperhatikan
kemungkinan interaksi obat dengan obat lain. Obat ini juga dapat
memasuki cairan otak dengan baik.

Itrakonazol, biasanya diberikan secara oral (sediaan intravena


tidak tersedia di Indonesia). Spektrum aktivitasnya mirip dengan
flukonazol, tetapi juga memiliki aktivitas terhadap Aspergillus spp,
golongan dematiaceae (misalnya Alternaria, Bipolaris, Curvularia)
serta Sporothrix schenckii. Itrakonazol tidak efektif terhadap
Zygomycetes dan Fusarium spp. Pemberian itrakonazol sebaiknya
dihindari pada pasien dengan gagal jantung karena efek
inotropiknya, terutama pada pasien yang menerima dosis oral
harian total 400 mg. Pemberian kapsul oral itrakonazol harus
diminum bersamaan dengan makanan/minuman asam
(berkarbonasi) untuk meningkatkan penyerapannya.

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 19
Jamur Paru di Indonesia
Vorikonazol, diperkenalkan pada tahun 2002, memiliki spektrum
aktivitas yang luas terhadap Aspergillus spp termasuk Aspergillus
terreus yang resisten terhadap amfoterisin-B, galur resisten
Candida spp, Fusarium spp, Scedosporium apiospermum,
Trichosporon spp, serta berbagai golongan kapang. Aktivitas
vorikonazol dilaporkan tidak efektif terhadap jamur golongan
Zygomycetes. Vorikonazol tidak memerlukan lingkungan asam
untuk penyerapannya sehingga bioavailability-nya lebih baik
dibandingkan dengan ketokonazol atau itrakonazol. Vorikonazol
sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 1-2 jam setelah makan
karena makanan tinggi lemak dapat menurunkan absorpsinya.
Efek samping yang dapat ditemukan misalnya gangguan
pengihatan sementara (fotofobia, penglihatan kabur, atau
perubahan warna) serta halusinasi. Ekskresi vorikonazol tidak
terpengaruh pada keadaan gagal ginjal, tetapi sediaan parenteral
memerlukan dosis penyesuaian pada kasus kerusakan ginjal, dan
tidak boleh diberikan pada pasien dengan bersihan kreatinin
(CrCl) <50 ml/menit. Vorikonazol dikaitkan dengan interaksi
beberapa obat (rifampisin, barbiturat, karbamazepin dapat
menurunkan konsentrasi vorikonazol), hal itu terutama
disebabkan oleh inhibisi vorikonazol terhadap CYP2C19, CYP2C9,
dan CYP3A4. Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet/suspensi
oral dan cairan intravena. Metabolisme obat ini berlangsung di
hati, sedangkan eliminasinya di ginjal.

Posakonazol, merupakan antijamur golongan azol terbaru,


diperkenalkan pada tahun 2006. Obat itu memiliki aktivitas
antijamur luas, termasuk terhadap Candida spp yang resisten
terhadap golongan azol sebelumnya, maupun zygomycetes.
Posakonazol hanya tersedia dalam sediaan oral yang memiliki
bioavailability rendah, tetapi bila diberikan bersamaan dengan
makanan berkadar lemak tinggi, bioavailability posakonazol akan
meningkat 400%. Efek samping yang paling sering ditemukan
adalah gangguan saluran cerna dan peningkatan kadar enzim hati.

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 20
Jamur Paru di Indonesia
Tabel 3.2. Indikasi dan dosis obat golongan azol
Obat Indikasi Dosis Dosis penyesuaian Dosis penyesuaian
ginjal hati
Flukonazol Kandidosis Loading dose200 mg, lalu 100- CCL < 50 ml/min: Belum ditentukan
(oral, intravena) orofarings 200 mg/hr, selama 7-14 hari loading dose, lalu
dosis ↓ 50%
Kandidosis 400 mg loading dose,lalu 200-
esophagus 400 mg/hr, selama 14-21 hari Hemodialisis:
diberikan dosis
Meningitis Terapi induksi, dilanjutkan dosis harian 100% (sesuai
kriptokokosis konsolidasi 400 mg/hr, lalu dosis indikasi) setiap kali
rumatan 200 mg/hr selesai HD
Histoplasmosis/ 400-800 mg/hr
blastomikosis/
koksidoidomikosis
Kandidosis Loading dose 800 mg, lalu 400
invasif/kandidemia mg/hr
Itrakonazol Kandidosis 200 mg/hr CCL < 10 ml/min: ↓ Belum ditentukan
(hanya oral) orofarings atau dosis 50%
esofagus
HD: 100 mg tiap 12-
Histoplasmosis / 200-400 mg/hr (dalam dosis 24 jam
blastomikosis terbagi bila > 200 mg/hr)
Koksidioidomikosis 400-600 mg/hr dalam 2 dosis
terbagi
Vorikonazol Loading dose (x 2 dosis): CCL < 50 ml/min: Child-Pugh Class A
(oral atau Intravena – 6 mg/kg tiap 12 jam. pemberian oral lebih or B: dosis rumatan
intravena) dianjurkan ↓ 50%
Oral-400 mg tiap12 jam
Child-Pugh Class C:
Dosis rumatan belum ditentukan
Intravena- 3-4 mg/kg tiap 12 jam
Oral – 200 mg tiap 12 jam
Posakonazol Profilaksis infeksi 200 mg, 3x sehari Belum diketahui Belum ditentukan
(oral) jamur invasif
Kandidosis 100 mg 2x sehari( x 2 dosis), lalu
orofarings 100 mg/hr selama 13 hr
Kandidosis 400 mg 2x sehari (lama
orofarings yang pemberian bervariasi tergantung
refrakter thd respons pasien)
flukonazol dan/atau
itrakonazol
Dikutip dari Proceeding ATS 2008

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 21
Jamur Paru di Indonesia
5. Golongan ekinokandin
Ekinokandin merupakan antijamur golongan baru, cara kerjanya
melalui penghambatan sintesis enzim 1,2-β-D dan 1,6-β-D-glucan
synthase. Enzim itu penting dalam produksi glukan (komponen
penting dinding sel jamur) yang mengakibatkan ketidakstabilan
osmotik sehingga sel jamur tidak dapat mempertahankan
bentuknya dan berujung pada kematian jamur. Glukan tidak
ditemukan pada dinding sel mamalia sehingga efek samping
ekinokandin terhadap sel manusia sangat sedikit.
Dinding sel C. neoformans terutama terdiri atas 1,3-α atau 1,6-α-
glucan, sehingga jamur itu lebih resisten terhadap ekinokandin.
Terdapat beberapa kelas ekinokandin yaitu: kaspofungin,
mikafungin, dan anidulafungin. Semua golongan ekinokandin
memiliki keterbatasan bioavailabilitas oral dan hanya tersedia
dalam sediaan intravena.

Kaspofungin disetujui pada tahun 2001 untuk terapi aspergilosis


invasif yang tidak dapat menolerir atau yang tidak membaik
dengan pengobatan antijamur lainnya. Obat ini juga disetujui
untuk terapi kandidosis esofagus, abses intra-abdomen,
peritonitis, dan infeksi rongga pleura yang disebabkan Candida
spp. Secara empiris, obat ini digunakan untuk terapi demam yang
tidak diketahui penyebabnya pada pasien neutropenia.
Kaspofungin secara substansial tidak mengganggu sistem enzim
CYP450, tetapi dapat mengalami metabolisme hepatik signifikan.
Pada pasien dengan penyakit hati, diperlukan penyesuaian dosis
obat.

Mikafungin disetujui pada tahun 2005 dan terutama digunakan


untuk terapi kandidosis esofagus serta profilaksis pada pasien
yang menjalani transplantasi sel induk (stem cell). Mikafungin
terikat sangat erat dengan protein (> 99%), terutama albumin.
Pada konsentrasi terapi relevan, mikafungin tidak mengganti
pengikatan bilirubin terhadap albumin secara kompetitif, sehingga
tidak akan menyebabkan kernicterus (kerusakan otak akibat
penyakit kuning yang berlebihan). Mikafungin juga relatif sedikit

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 22
Jamur Paru di Indonesia
berinteraksi dengan obat-obat lain karena obat ini merupakan
inhibitor CYP3A4 yang lemah.

Anidulanfungin disetujui FDA pada tahun 2006 untuk terapi


kandidosis esofagus, kandidemia, peritonitis, dan abses intra-
abdomen akibat Candida spp. Anidulafungin tidak mengalami
metabolisme di hati dan bukan merupakan substrat, inducer, atau
inhibitor enzim CYP450. Hasil degradasi dikeluarkan dalam tinja
melalui saluran empedu dan jumlah yang sangat kecil juga
ditemukan di urin, sehingga pasien yang memiliki insufisiensi
ginjal atau hati tidak memerlukan dosis penyesuaian.

Tabel 3.3. Obat antijamur golongan ekinokandin


OAJ Spektrum Dosis Adverse Reactions Interaksi Keterangan
Aktivitas Obat
Kaspofungin Candida , IV: 35-70 mg/hari Gangguan sal. cerna, , Siklosporin, Penurunan
Aspergillu hipotensi, rash, rifampin dosis
s demam, menggigil, diperlukan
sakit kepala, pada kasus
hipokalemia, anemia, gangguan
peningkatan kadar hati sedang
enzim hati, flebitis
Mikafungin Candida,  Kandidosis Gangguan sal. cerna, Tidak ada Tidak
Aspergillu esofagus demam, sakit kepala, interaksi diperlukan
s IV:150 mg/hari. hipokalemia, obat utama dosis
 Profilaksis HSCT hipomagnesemia, penyesuaian
IV: 50 mg/hari. netropenia
 Kandidemia atau
kandidosis invasif
IV: 100mg/hari
Anidulafungin Candida,  Kandidosis esofagus Jarang terjadi adverse Tidak ada Tidak
Aspergillu IV: 100 mg hari ke-1, reactions interaksi diperlukan
s dilanjutkan 50 mg/ obat utama dosis
hari penyesuaian
 Kandidemia
IV: 200 mg hari ke-1,
dilanjutkan 100mg/
hari
Dikutip dari Proceeding ATS 2010

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 23
Jamur Paru di Indonesia
ALGORITMA PENATALAKSANAAN

GEJALA / FAKTOR RISIKO

Fungus Ball FOTO TORAKS Lesi Lain

CT-Scan, Operasi (bila CT-Scan, Induksi sputum, Bronkoskopi (BAL),


Pemeriksaan lain mungkin) + OAJ Biopsi, TTNA, Pem. Mikologi)
termasuk
pemeriksaan
mikologi
(konfirmasi Bila operasi FR (+), Possibl Probabl Proven
tidak mungkin INF (-) e Inf. e Inf.
jamur)

Evaluasi OAJ Profi- Empirik Pre- Defi-


Respons laksis emptive nitive

(+) (-) Usahakan


tatalaksana OAJ sampai OAJ sesuai jenis
invasif minimal faktor risiko jamur dan OAJ
(Konvernostomi, teratasi  sampai gejala
Teruskan OAJ kavernoplasti) ¾ minggu dan mikologi (-)

OAJ sesuai FR

Sampai teratasi Sampai gejala / OAJ sesuai jenis OAJ sesuai


mikologi jamur (-) jamur dengan jenis
mikologi

Gejala Klinis 2 minggu setelah


perbaikan klinis,
radiologi dan
Evaluasi Mikologi Hati-hati mikologi

____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 24
Jamur Paru di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai