Anda di halaman 1dari 16

KERAJAAN MEDANG

Kedatuan Medang (bahasa Jawa Kuno: ; kaḍatuan mḍaŋ diucapkan [kaɖatuan məɖʰang'], bahasa
kadha to n mê dhang
Jawa: ꦏ ꦏ ꦏꦏꦏꦏꦏ ꦏꦏ ꦏꦏ , translit. kadhaton mêdhang) adalah kedatuan talasokrasi yang berdiri di Jawa
Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Didirikan oleh Sanjaya,
kedatuan diperintah oleh wangsa Sailendra dan wangsa Isyana.
Berdasarkan besar sejarahnya penduduk kedatuan ini sangat bergantung pada pertanian (agraris), terutama
pertanian padi, dan kemudian juga diuntungkan oleh perdagangan maritim. Menurut sumber-sumber asing dan
temuan arkeologis, kedatuan ini tampaknya berpenduduk cukup baik dan cukup makmur. Kedatuan
mengembangkan masyarakat yang kompleks, memiliki budaya yang berkembang dengan baik, dan mencapai
tingkat kemajuan teknologi dan peradaban yang halus.
Pada periode antara akhir abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9, terlihat mekarnya seni dan arsitektur Jawa
klasik tercermin dalam pertumbuhan pesat pembangunan candi, yang menghiasi lanskap pusat kedatuan
Medang di Mataram (wilayah geografis dataran Kewu). Candi yang terkenal dibangun pada era Medang
adalah Kalasan, Sewu, Borobudur dan Prambanan. Kedatuan Medang dikenal sebagai negeri pembangun
candi.
Kemudian wangsa yang memerintah kedatuan Medang terbagi menjadi dua kubu yang diidentifikasi
sebagai Sailendra pemuja Siwa dan Sailendra penganut Buddha Mahayana. Perang saudara terjadi. Hasilnya
adalah wangsa Sailendra dibagi menjadi dua kerajaan yang kuat; dinasti Sailendra (pemuja Siwa) berkuasa di
kedatuan Medang di Jawa dipimpin oleh Rakai Pikatan dan dinasti Sailendra (penganut Buddha) memerintah
di kedatuan Sriwijaya di Sumatra dipimpin oleh Balaputradewa. Perselisahan di antara mereka tidak berakhir
sampai 1016 ketika wangsa Sailendra yang berbasis di Sriwijaya menghasut Haji Wurawari, seorang vasal
kedatuan Medang, dari Lwaram yang memberontak Dharmawangsa Teguh, dan menyerbu ibukota Wwatan di
Jawa Timur. Serangan itu dilancarkan secara mendadak dan tak terduga. Akibatnya, kerajaan luluh lantak dan
tak menyisakan apapun kecuali sedikit saja yang selamat. Sriwijaya bangkit untuk menjadi kekaisaran
hegemonik di wilayah tersebut. Seorang bangsawan Medang yang bertahan, merebut kembali Jawa
Timur pada 1019, dan kemudian mendirikan kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Airlangga,
putra Udayana raja ke-8 Bedahulu di Bali dari wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang
putri Wangsa Isyana dari Medang. Peristiwa mahapralaya tersebut disebutkan dalam Prasasti Pucangan yang
dikeluarkan oleh Airlangga pada 1041 M.

Etimologi

Kompleks candi Prambanan awalnya terdiri dari ratusan candi, dibangun dan diperluas pada periode antara
pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung
Awalnya, kedatuan ini diidentifikasi melalui lokasinya di Yawadwipa (pulau Jawa) sebagaimana disebutkan
dalam prasasti Canggal (732 M). Prasasti itu mendokumentasikan dekrit Sanjaya, di mana ia menyatakan
dirinya sebagai penguasa universal Medang. Para sejarawan sebelumnya seperti Soekmono, mengidentifikasi
nama kedatuan ini sebagai Mataram, nama geografis bersejarah untuk menyatakan dataran Kewu, berada
dalam wilayah administratif Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini didasarkan pada lokasi di mana
sebagian besar peninggalan candi ditemukan. Etimologi nama "Mātaram" berasal dari istilah bahasa
Sanskerta yang memiliki arti "ibu".[6]
Nama Medang muncul kemudian dalam prasasti Anjuk Ladang, prasasti Sanggurah, prasasti Paradah dan
beberapa prasasti yang ditemukan di Jawa Timur. Sebagai akibatnya, para sejarawan cenderung
mengidentifikasi periode Jawa Timur (929-1016 M) dari kedatuan ini sebagai Medang untuk membedakannya
dengan periode Jawa Tengah (732-929 M).
Meninjau dari beberapa prasasti periode Jawa Timur dijumpai frasa yang tertera di dalam beberapa prasasti,
antara lain dalam prasasti Anjuk Ladang, prasasti Paradah yang menyebutkan:
... kita prasiddha maŋrakṣa kaḍatuan rahyaŋta i mḍaŋ i bhūmi mātaram ...
“ ”
Terjemahan inskripsi: "... [wahai sekalian] engkau (yang mulia), yang melindungi kedatuan rahyangta
(leluhurmu) di Medang, di bumi Mataram ..."
Frasa ini mengungkapkan nama kedatuan. Ini menunjukkan bahwa nama "Medang" sudah digunakan pada
periode Jawa Tengah sebelumnya. Ungkapan mḍaŋ i bhūmi mātaram berarti "Medang di tanah Mataram", yang
berarti Medang adalah nama kedatuan dengan pusatnya di tanah Mataram. Makna kita prasiddha di sini plural,
sehingga rahyaŋta boleh jadi merujuk kepada para leluhur [yang meninggal] di Mataram. [1]
Namun, dengan memeriksa frasa dalam prasasti Mantyasih lempeng 1b: baris 7-8 yang menyebutkan:
... rahyaŋta rumuhun. ri mḍaŋ. ri poh pitu. rakai mātaram. saŋ ratu sañjaya ...
“ ”
Terjemahan inskripsi: "... rahyangta (leluhurmu) dahulu. di medang. di poh pitu. rakai (penguasa) mataram.
sang ratu sanjaya ..."
Frasa ini mengungkapkan bahwa Sanjaya sebagai Rakai (penguasa) di tanah Mataram. Ini menunjukkan
bahwa nama "Medang" sudah digunakan pada periode Jawa Tengah. Ungkapan rahyaŋta rumuhun. ri mḍaŋ.
ri poh pitu berarti "leluhur dahulu ada di Medang di Poh Pitu", yang berarti Mataram adalah sebagai nama
wilayah administratif setingkat provinsi atau daerah khusus bagi kedatuan Medang. Asal usul
nama mdaŋ mungkin berasal dari nama lokal pohon "Medang", tumbuhan berbunga yang merujuk pada
genus Phoebe.[7]
Sanjaya mulanya mendirikan kadaton Medang di Bhumi Mataram kemudian dipindah istananya oleh Rakai
Pikatan ke Mamrati. Kemudian pada era Dyah Balitung (Rakai Watukura) istana Medang dipindahkan ke Poh
Pitu. Kembali lagi ke Bhumi Mataram pada era Dyah Wawa (Rakai Sumba).
Empu Sindok yang mendirikan wangsa Isyana memindahkan pusat kedatuan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur,
tanpa memutus hubungan dengan leluhur terdahulu ia menyebut leluhurnya dengan kalimat rahyaŋta i mḍaŋ i
bhūmi mātaram pada prasasti Anjuk Ladang dan prasasti Paradah.[8] Letusan Gunung Merapi yang parah
mungkin telah menyebabkan pemindahan pusat kedatuan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sejarawan
menyatakan bahwa, beberapa waktu pada masa pemerintahan Dyah Wawa dari Bhumi Mataram (924-929),
Gunung Merapi meletus dan menghancurkan ibu kota Medang di Mataram. Letusan Gunung Merapi ini dikenal
dengan sebutan Pralaya Mataram (bencana Mataram). Di Jawa Timur ibu kota baru Medang berada di
Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh, dan terakhir ke Wwatan pada
masa Dharmawangsa Teguh.
Nama "Mataram" kemudian muncul kembali pada abad ke-14 sebagai salah satu provinsi Majapahit,
penguasanya bernama Wikramawardhana bergelar Bhre Mataram. Kemudian pada abad ke-16
muncul Kesultanan Mataram yang terletak di daerah yang sama Bhumi Mataram sekitar Yogyakarta. Akibatnya,
sejarawan sebelumnya juga menyebut kerajaan ini sebagai Mataram Kuno untuk membedakannya dengan
Mataram Islam.
Penyebutan bersejarah nama Mataram tidak disamakan dengan kota Mataram yang terletak di pulau Lombok,
ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat. Dahulu sebelum menjadi kota Mataram pernah berdiri sebuah monarki
bernama kerajaan Cakranegara yang ditaklukan oleh Kerajaan Karangasem dari Bali pada awal abad ke-19.
Memang, kota Mataram dinamai setelah daerah bersejarah Bhumi Mataram di Jawa, karena itu adalah praktik
umum bagi orang Bali untuk memberi nama pemukiman mereka setelah peninggalan Majapahit.

Sejarah
Berdirinya Medang

Prasasti Canggal (732), disimpan di Museum Nasional Indonesia


Catatan awal kedatuan Medang ada dalam prasasti Canggal (732), ditemukan di dalam kompleks Candi
Gunung Wukir di dusun Canggal, barat daya kabupaten Magelang. Prasasti ini, ditulis dalam bahasa
Sanskerta menggunakan aksara Pallawa, menceritakan tentang pendirian Siwalingga (lambang Siwa) di bukit
di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di pulau bernama Yawadwipa (Jawa) yang diberkahi
dengan banyak beras dan emas. Pembentukan lingga berada di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini
menceritakan bahwa di Yawadwipa dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang bijaksana, adil dalam tindakannya,
perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Setelah mangkatnya Sanna negara berkabung,
jatuh dalam perpecahan. Pengganti raja Sanna yaitu putra saudara perempuannya Sannaha bernama Sanjaya.
Dia menaklukkan daerah-daerah di sekitar kerajaannya, dan pemerintahannya yang bijak memberkati
tanahnya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi semua rakyatnya. [9][10]
Pada prasasti Taji dan prasasti Timbangan Wungkal ditemukan istilah Sanjayawarsa (Kalender Sanjaya),
disebutkan dalam prasasti tersebut bahwa tahun 1 Sanjaya sama dengan tahun 717 Masehi. Tidak diketahui
dengan pasti apakah tahun 717 M ini merupakan tahun kelahiran Sanjaya, atau tahun berdirinya
kedatuan. [11] Menurut prasasti Canggal, Sanjaya mendirikan kedatuan baru di tengah pulau Jawa bagian
selatan. Namun tampaknya itu merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya yang diperintah
oleh Sanna.
Kisah Sanna, Sannaha dan Sanjaya juga dijelaskan dalam Carita Parahyangan, sebuah naskah dari periode
kemudian yang disusun sekitar akhir abad ke-16. Secara garis besar kisah dari naskah Carita Parahyangan ada
kesamaan tokoh dengan prasasti Canggal. Meskipun manuskrip itu tampaknya diromantisir, dan tidak
memberikan perincian tertentu tentang periode tersebut, namun nama dan tema cerita yang hampir persis
dengan prasasti Canggal tampaknya menegaskan bahwa manuskrip tersebut didasarkan atas peristiwa
sejarah.
Kejayaan Medang

Replika temuan Wonoboyo, temuan artefak emas dan perak, dipamerkan di Museum Prambanan. Temuan Wonoboyo
asli disimpan di Museum Nasional Indonesia
Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung (rentang antara 760-910) yang berlangsung
selama 150 tahun, sebagai penanda puncak kejayaan dari peradaban Jawa kuno. Di periode ini marak
mekarnya seni dan arsitektur Jawa kuno, ketika sejumlah candi dan monumen megah didirikan membentang
cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu. Candi yang paling terkenal adalah candi
Sewu, Borobudur dan Prambanan. Wangsa Sailendra dikenal sebagai pembangun candi yang hebat

Negeri pembangun candi


Dari abad ke-7 hingga pertengahan ke-10, kedatuan Medang terdapat berkembangnya peradaban yang
megah, terutama seni arsitektur Jawa Kuno berupa bangunan-bangunan suci Hindu-Buddha yang
membentang cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu.
Candi paling awal dibangun era Medang adalah candi Gunung Wukir, berdasarkan prasasti Canggal, candi ini
didirikan pada saat pemerintahan raja Sanjaya, pada tahun 732 M (654 Saka). Prasasti Canggal memiliki
banyak informasi terkait dengan awal berdirinya Medang. Berdasarkan prasasti tersebut, candi Gunung Wukir
mungkin memiliki nama asli Kunjarakunja. Hampir lima puluh tahun kemudian candi Buddha tertua dibangun
di wilayah dataran Kewu, candi Kalasan, terkait dengan prasasti Kalasan (778 M) dan Rakai Panangkaran.
Sejak saat itu, kedatuan Medang kedapatan proyek pembangunan candi yang tersebar di dataran
Kewu dan dataran Kedu, seperti candi Sari, candi Sewu, candi Lumbung, candi Ngawen, candi Mendut, candi
Pawon, dan puncaknya pada era raja Samaratungga yang memprakarsai pembangunan candi Borobudur,
candi monumental besar, berbentuk seperti gunung yang diselingi dengan stupa dan selesai dibangun pada
825 M.
Arsitektur monumental lainnya yaitu candi Prambanan, awalnya dibangun pada masa pemerintahan Rakai
Pikatan (838-850), dan diperluas pembangunannya masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (850-890) ke Dyah
Balitung (899-911), bangunan candi tersebut juga disebutkan dalam prasasti Siwagrha. Prambanan merupakan
kompleks candi Hindu yang didedikasikan untuk Trimurti, tiga dewa tertinggi (Siwa, Brahma, Wisnu). Itu adalah
candi Hindu terbesar yang pernah dibangun di Indonesia, bukti kemegahan arsitektur dan pencapaian budaya
Medang.
Candi Hindu lainnya yang berasal dari Medang adalah: candi Sambisari, candi Gebang, candi Barong, candi
Ijo, dan candi Morangan. Meskipun Siwais, umat Buddha tetap berada di bawah perlindungan kerajaan. Candi
Sewu yang didedikasikan untuk Manjusri (Buddha) menurut prasasti Kelurak mungkin awalnya dibangun
oleh Rakai Panangkaran, tetapi kemudian pembangunannya diperluas dan selesai pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan (seorang raja beragama Hindu-Siwa), yang menikah
dengan Pramodhawardhani seorang putri raja Samaratungga beragama Buddha. Sebagian besar rakyatnya
mempertahankan agama lama mereka; Hindu dan Buddha, hidup berdampingan secara harmonis. Candi
Buddha seperti candi Plaosan, candi Banyunibo dan candi Sojiwan juga dibangun pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani.

Peralihan kekuasaan

Ratu Boko, sebuah bukit berbenteng, disebut dalam Prasasti Siwagrha sebagai lokasi pertempuran.
Tidak diketahui apakah Balaputradewa diusir dari Yawadwipa (Jawa) karena sengketa suksesi dengan Rakai
Pikatan, atau apakah dia sudah memerintah di Swarnadwipa (Sumatra). Belum diketahui secara pasti,
tetapi Balaputradewa dari wangsa Sailendra akhirnya berkuasa di Sumatra dan dinobatkan sebagai raja
di Sriwijaya. Sejarawan berpendapat bahwa ini dikarenakan ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira,
menikah dengan Dewi Tara putri Dharmasetu dari Sriwijaya, ini menjadikan Balaputradewa sebagai pewaris
tahta Sriwijaya. Balaputradewa raja Sriwijaya kemudian menyatakan klaimnya sebagai ahli waris yang
sah wangsa Sailendra dari garis ayahnya, Samaragrawira raja keempat Medang di Jawa, sebagaimana
dinyatakan dalam prasasti Nalanda (860 M).[10] :108

Prasasti Siwagrha (856 M) menyebutkan tentang peperangan yang menantang pemerintahan Rakai Pikatan,
namun prasasti itu tidak menyebutkan siapa musuh yang menantang otoritas Rakai Pikatan. Para sejarawan
sebelumnya menyatakan musuh yang dimaksud Balaputradewa, namun kemudian sejarawan lain
menyarankan ada musuh lain, alasan tersebut karena saat itu Balaputradewa sudah memerintah di Sriwijaya.
Prasasti Siwagrha hanya menyebutkan bahwa pertempuran terjadi di sebuah benteng di atas bukit yang
dilindungi oleh sebagian besar dinding batu, bukit benteng ini diidentifikasikan dengan Situs Ratu Boko. Anak
tertua dari Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani adalah Rakai Gurunwangi Dyah Saladu. Akhirnya
pemberontakan berhasil dikalahkan oleh putra bungsu Rakai Pikatan, Dyah Lokapala yang juga dikenal
sebagai Rakai Kayuwangi. Sebagai hadiah atas tindakan heroik dan keberaniannya, orang-orang dan banyak
penasihat Rakai Pikatan mendesak agar Lokapala harus dinobatkan sebagai putra mahkota bukannya
Gurunwangi, meskipun merupakan saudara tertua. Hilangnya Gurunwangi dalam suksesi, telah menimbulkan
pertanyaan di antara para sejarawan. Sebelumnya dianggap bahwa nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu
merujuk pada karakter wanita (putri), meskipun lebih mungkin bahwa Gurunwangi adalah seorang pangeran.
Pemberontakan ini tampaknya telah berhasil mengambil alih ibukota di Mataram selama periode tertentu.
Setelah mengalahkan perampas, Rakai Pikatan menemukan bahwa pertumpahan darah ini telah membuat ibu
kota di Mataram kacau, sehingga ia memindahkan kadaton ke Mamrati atau Amrati yang terletak di suatu
tempat di Dataran Kedu (lembah sungai Progo), barat laut dari Mataram.
Kemudian Rakai Pikatan memutuskan untuk turun tahta demi putra bungsunya Dyah Lokapala (memerintah
850-890). Rakai Pikatan pensiun, meninggalkan urusan duniawi dan menjadi seorang pertapa bernama Sang
Prabhu Jatiningrat. Acara ini juga ditandai dengan upacara penahbisan citra Siwa di candi utama Prambanan.
Boechari menyatakan bahwa musuh yang menantang Rakai Pikatan adalah Rakai Walaing pu Kumbhayoni,
seorang Siwais yang kuat dan juga cabang dari dinasti yang berkuasa saat ia mengklaim sebagai keturunan
raja yang memerintah Jawa.

Berpindah ke timur

Candi Sambisari terkubur lima meter di bawah reruntuhan vulkanik gunung Merapi.
Sekitar tahun 929 M, pusat kedatuan dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok,[10] yang
:128

mendirikan wangsa Isyana. Penyebab pasti dari perpindahan ini masih belum pasti. Sejarawan telah
mengusulkan berbagai kemungkinan penyebab; dari bencana alam, wabah epidemi, politik dan perebutan
kekuasaan, hingga motif keagamaan atau ekonomi.
Menurut teori van Bemmelen, yang didukung oleh Prof. Boechari, perpindahan tersebut disebabkan
letusan gunung Merapi yang parah.[13] Sejarawan berpendapat bahwa, beberapa waktu pada masa
pemerintahan Dyah Wawa dari Mataram (924-929), gunung Merapi meletus dan menghancurkan ibu kota
Medang di Mataram. Letusan gunung Merapi yang besar dan bersejarah ini dikenal sebagai Pralaya Mataram
(bencana Mataram). Bukti letusan ini dapat dilihat di beberapa candi yang hampir terkubur di bawah abu Merapi
dan puing-puing Merapi, seperti candi Sambisari, candi Morangan, candi Kedulan, candi Kadisoka, dan candi
Kimpulan.
Studi terbaru menunjukkan, bahwa bergerak ke arah timur bukanlah peristiwa yang tiba-tiba. Selama periode
Medang di Jawa Tengah, kedatuan kemungkinan besar telah berkembang ke arah timur dan membangun
pemukiman di sepanjang sungai Brantas di Jawa Timur. Lebih mungkin bahwa langkah itu dilakukan secara
bertahap dalam jangka panjang. Penyebab perpindahan itu juga dimotivasi oleh berbagai faktor; baik alam,
ekonomi atau politik. Prasasti Sanggurah, berasal dari tahun 982 M - ditemukan di Malang , Jawa Timur pada
awal abad ke-19 - menyebutkan nama raja Jawa, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri
Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa),[14] yang kemudian memerintah wilayah Malang. Ini menunjukkan bahwa
bahkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, wilayah Malang di Jawa Timur sudah termasuk dalam wilayah
Kedatuan Medang. Prasasti tersebut memuat unsur-unsur tentang pergeseran kekuasaan yang akibatnya
terjadi ke Jawa Timur.

Prasasti Anjuk Ladang (937), diterbitkan oleh Mpu Sindok selama konsolidasi kekuasaannya di Jawa Timur.
Menurut prasasti Turryan (929 M), Mpu Sindok memindahkan ibukota ke Tamwlang dan kemudian
memindahkannya lagi ke Watugaluh. Sejarawan mengidentifikasi nama-nama itu dengan daerah Tambelang
dan Megaluh dekat Jombang, Jawa Timur. Meskipun Mpu Sindok membangun dinasti baru atau wangsa
Isyana, Mpu Sindok sangat terkait erat dengan leluhurnya di Bhumi Mataram, sehingga ia dianggap sebagai
kelanjutan dari garis keturunan Raja Jawa yang membentang dari Sanjaya. Selama masa
pemerintahannya Mpu Sindok menciptakan cukup banyak prasasti, sebagian besar terkait dengan
pembentukan tanah Sima (tanah bebas pajak), prasasti-prasasti ini antara lain; Prasasti Linggasutan (929),
Prasasti Gulung-Gulung (929), Prasasti Cunggrang (929), Prasasti Jru-Jru (930), Prasasti Waharu (931),
Prasasti Sumbut (931), Prasasti Wulig (935), dan Prasasti Anjuk Ladang (937).
Apa pun alasan sebenarnya di balik perpindahan pusat politik Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur,
peristiwa ini menandai akhir dari sebuah era kebesaran Sailendra di Mataram. Memang, aktivitas
pembangunan candi telah turun-menurun sejak era Dyah Balitung dalam skala, kualitas dan kuantitas, namun
periode Jawa Timur kedatuan Medang tidak meninggalkan jejak nyata dari struktur candi apa pun yang
sebanding dengan era Sailendra di Jawa Tengah sebelumnya. Mungkin kedatuan Medang tidak lagi memiliki
niat dan sumber daya untuk memulai proyek konstruksi skala besar.
Hubungan dengan Bali

Bodhisattva Manjusri dari Goa Gajah, Bali, menunjukkan pengaruh kesenian wangsa Sailendra.
Mpu Sindok digantikan oleh putrinya Isyana Tunggawijaya.[10] Menurut prasasti Gedangan (tanggal 950), Ratu
:129

Isyana menikah dengan Sri Lokapala, seorang bangsawan dari Bali. Dia kemudian digantikan oleh
putranya Makutawangsawardhana. Menurut prasasti Pucangan (tanggal 1041), Raja Makutawangsawardhana
memiliki seorang putri bernama Mahendradatta, Makutawangsawardhana digantikan oleh
putranya Dharmawangsa Teguh.
Kemudian, Dharmawangsa memindahkan ibukota lagi ke Wwatan, diidentifikasi sebagai daerah Wotan dekat
Madiun sekarang ini. Adik Dharmawangsa, Mahendradatta kemudian menikah dengan Udayana Warmadewa,
raja Bedahulu di Bali. Laporan ini menunjukkan bahwa entah bagaimana Bali telah diserap ke dalam lingkup
pengaruh (mandala) Kedatuan Medang. Dalam perkembangan sastra, Raja Dharmawangsa juga
memerintahkan menterjemahkan Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno pada tahun 996.

Hubungan dengan Sriwijaya


Kedatuan Medang memiliki hubungan yang intens dengan Sriwijaya di Sumatra. Pada periode sebelumnya,
hubungan keduanya sangat dekat dan erat, karena raja-raja Sailendra di Jawa telah membentuk aliansi dengan
raja-raja Sriwijaya di Sumatra dan kedua kerajaan bergabung dalam satu dinasti. Namun pada periode
berikutnya, hubungan itu memburuk menjadi peperangan, ketika Dharmawangsa Teguh melancarkan upaya
untuk menaklukkan Palembang, dan pembalasan yang dilakukan Sriwijaya terhadap Medang. Di daerah timur,
Medang menaklukkan Bali, dan pulau itu menjadi wilayah mandala Medang.

Hubungan luar negeri


Artikel utama: Hubungan orang Jawa dengan Australia dan Waqwaq
Prasasti Kaladi (sekitar 909 M), menyebutkan Kmir (orang Khmer dari Kerajaan Khmer) bersama
dengan Campa (Champa) dan Rman (Sen) sebagai orang asing dari daratan Asia Tenggara yang sering
datang ke Jawa untuk berdagang. Prasasti itu menunjukkan jaringan perdagangan maritim telah dibangun
antara kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara dan Jawa. [16]

Prasasti Keping Tembaga Laguna (sekitar 900 M) dari daerah Laguna de Bay di Luzon, Filipina. Prasasti ini
menyebutkan pamegat dari "Medang" sebagai salah satu pihak berwenang dalam penyelesaian hutang yang terutang
kepada pamegat senapati dari "Tundun".
Nama Medang juga disebutkan dalam Prasasti Keping Tembaga Laguna (sekitar 900 M), ditemukan di
Lumban, Laguna ,Filipina. Penemuan prasasti, yang ditulis dalam aksara Kawi dalam berbagai bahasa Melayu
Kuno yang mengandung banyak kata pinjaman dari bahasa Sanskerta dan beberapa elemen kosakata non-
Melayu yang asalnya ambigu antara Jawa Kuno dan Tagalog Kuno, menunjukkan bahwa orang atau pejabat
Medang telah memulai perdagangan antar pulau dan hubungan luar negeri di daerah-daerah sejauh Filipina.
Catatan Arab abad ke-10 Ajayeb al-Hind (Keajaiban India) memberikan laporan invasi di Afrika oleh bangsa
yang disebut Wakwak atau Waqwaq,[17] mungkin adalah orang-orang Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari
:110

kerajaan Medang,[18] pada 945-946 M. Mereka tiba di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 kapal
:39

dan berusaha merebut benteng Qanbaloh, meskipun akhirnya gagal. Alasan serangan itu adalah karena
tempat itu memiliki barang-barang yang cocok untuk negara mereka dan China, seperti gading, kulit kura-kura,
kulit macan kumbang, dan ambergris, dan juga karena mereka menginginkan budak hitam dari orang
Bantu (disebut Zeng atau Zenj oleh orang Arab, Jenggi oleh orang Jawa) yang kuat dan menjadi budak yang
baik.[19] Menurut Prasasti Waharu IV (931 M) dan Prasasti Garaman (1053 M), [20][21] Kerajaan Medang
dan Kerajaan Kahuripan zaman Airlangga (1000-1049 M) di Jawa mengalami masa kemakmuran panjang
sehingga membutuhkan banyak tenaga terutama untuk membawa hasil panen, mengemas, dan
mengirimkannya ke pelabuhan. Tenaga kerja berupa orang kulit hitam diimpor dari Jenggi (Zanzibar), Pujut
(Australia), dan Bondan (Papua).[18] Menurut Naerssen, mereka tiba di Jawa dengan jalan perdagangan (dibeli
:73

oleh pedagang) atau ditawan saat perang dan kemudian dijadikan budak.

Mahapralaya

Kapal kuno yang digambarkan di Borobudur. Pada 990 Dharmawangsa Teguh melancarkan serangan angkatan laut
terhadap Sriwijaya di Sumatra.
Pada 990, Dharmawangsa melancarkan invasi angkatan laut melawan Sriwijaya[10] dalam upaya untuk
:130

menaklukkan Palembang. Berita invasi Jawa ke Sriwijaya dicatat oleh Dinasti Song dari Tiongkok. Pada 988,
seorang utusan dari San-fo-tsi (Sriwijaya) dikirim ke pengadilan Tiongkok di Guangzhou. Setelah tinggal
selama dua tahun di Tiongkok, utusan itu mengetahui bahwa negaranya telah diserang oleh She-po (Jawa)
sehingga membuatnya tidak dapat kembali pulang. Pada 992 utusan dari She-po (Jawa) tiba di pengadilan
Tiongkok dan menjelaskan bahwa negara mereka telah terlibat dalam perang berkelanjutan dengan Sriwijaya.
Pada 999 utusan Sriwijaya berlayar dari Tiongkok ke Champa dalam upaya untuk pulang, namun ia tidak
menerima kabar tentang kondisi negaranya. Utusan Sriwijaya kemudian berlayar kembali ke Tiongkok dan
memohon bantuan Kaisar Tiongkok untuk melindungi, terhadap pendudukan Jawa. [23] :229

Invasi Dharmawangsa mengakibatkan raja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa untuk mencari perlindungan
dari Tiongkok.[10] Di tengah krisis yang disebabkan oleh invasi Jawa, ia mendapatkan dukungan politik
:141

Tiongkok dengan memenuhi tuntutan Kaisar Tiongkok. Pada 1003, sebuah catatan sejarah Dinasti Song
melaporkan bahwa utusan San-fo-tsi yang dikirim oleh raja Sri Cudamani Warmadewa, memberi tahu bahwa
sebuah kuil Buddha telah didirikan di negara mereka untuk berdoa meminta umur panjang Kaisar Tiongkok,
dengan demikian meminta kaisar China, dengan demikian meminta kaisar China, untuk memberikan nama dan
bel untuk kuil ini yang dibangun untuk menghormatinya. Dengan gembira, Kaisar Cina menamai kuil itu Ch'eng-
t'en-wan-shou ('sepuluh ribu tahun menerima berkah dari surga, yaitu Tiongkok) dan bel segera dilemparkan
dan dikirim ke Sriwijaya untuk dipasang di kuil. [23]
:6

Setelah 16 tahun perang, pada 1006, Sriwijaya berhasil mengusir penjajah Medang dan membebaskan
Palembang. Serangan ini membuka mata Maharaja Sriwijaya tentang betapa berbahayanya kedatuan Medang,
dan ia berencana untuk membalas dan menghancurkan musuh barunya.
Sebagai balasan, pada 1016-1017, pasukan Sriwijaya membantu Haji Wurawari untuk memberontak pada
Medang. Dia melancarkan invasi dari Lwaram, menyerang dan menghancurkan istana Medang, membunuh
raja Dharmawangsa dan sebagian besar keluarganya. [10] :130
Haji Wurawari adalah pemimpin sebuah
pemerintahan bawahan Medang.[12] Serangan mendadak dan tak terduga ini terjadi selama upacara
:201

pernikahan putri Dharmawangsa, yang membuat pengadilan tidak siap dan terkejut.
Bencana ini dicatat dalam kisah Jawa sebagai Mahapralaya, berakhirnya kedatuan Medang. [10] Dengan :144

kematian raja Dharmawangsa dan jatuhnya ibukota Medang, di bawah tekanan militer Sriwijaya, kedatuan
akhirnya runtuh dan jatuh dalam kekacauan. Dengan tidak adanya penguasa tertinggi Medang, para panglima
perang di provinsi-provinsi daerah dan pemukiman di Jawa Tengah dan Jawa Timur memberontak dan
melepaskan diri dari pemerintah pusat Medang dan membentuk daerah otonom atau pemerintahan mereka
sendiri. Razia dan perampokan merajalela merusak situasi negara. Ada kerusuhan dan kekerasan lebih lanjut
beberapa tahun setelah kehancuran Medang.
Airlangga, putra Raja Udayana Warmadewa dari Bedahulu dan Ratu Mahendradatta,[10] juga keponakan Raja
:129

Dharmawangsa yang terbunuh dan sisa keluarga wangsa Isyana yang bertahan, berhasil melarikan diri dan
pergi ke pengasingan di hutan Wanagiri di pedalaman Jawa Tengah. Dia kemudian mengumpulkan dukungan
rakyat, menyatukan kembali sisa-sisa Kedatuan Medang dan mendirikan kembali kerajaan (termasuk Bali)
dengan nama Kerajaan Kahuripan pada 1019. Kahuripan dapat dianggap sebagai negara penerus Medang,
dan dari sini Pada titik itu, kerajaan itu dikenal sebagai Kahuripan, [10] dengan ibukotanya terletak di dekat
:144–147

muara sungai Brantas, di suatu tempat di sekitar Surabaya, Sidoarjo atau Pasuruan di Jawa Timur.
Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kedatuan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar 'Ratu'.
Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan 'Datu' yang berarti
"pemimpin". Dalam bahasa Jawa, istilah 'Ratu' digunakan sebagai sinonim 'Datu', sehingga di Jawa istilah
Karaton (Karatuan) digunakan sebagai sinonim Kadaton (Kadatuan).
Ketika Rakai Panangkaran berkuasa, gelar 'Ratu' digantikan dengan gelar 'Sri Maharaja'. Hal ini dapat dilihat
dalam daftar raja-raja pada Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya saja yang bergelar Sang
Ratu.
Aparat birokrasi
Pada periode awal di Jawa Tengah, terdapat sebuah gelar yang banyak termaktub dalam prasasti-prasasti dari
abad ke-8 hingga abad ke-10, yaitu gelar 'Raka' (kadang ditulis Rakai). Sesudah masa itu, gelar Raka
cenderung tidak lagi dipakai, diganti dengan 'Rakryan' yang merupakan gabungan dari kata raka dan aryan,
merujuk kepada tingkat jabatan administrasi negara yang tingkatannya sepadan dengan gelar raka.
Penggunaan gelar rakryan mulai ramai dipergunakan pada periode Jawa Timur dan berlangsung hingga zaman
kerajaan Kadiri, Singasari, dan Majapahit.
Raka adalah seorang pemimpin atau penguasa yang telah berhasil menguasai sejumlah wanua
(desa/kelurahan) dan watak (kecamatan). Wanua adalah wilayah kecil yang dipimpin oleh seorang Rama
(bapak desa), dan gabungan dari sejumlah Wanua (desa/kelurahan) disebut Watak (kecamatan) yang dipimpin
para Raka. Dewan yang terdiri atas para Rama disebut Karaman (arti harfiahnya "tanah para rama").
Pada awal abad ke-8 hingga awal abad ke-10 di Jawa Tengah dikenal empat pangkat jabatan yang disimpan
setelah gelar Raka i Mahamantri, yaitu Hino, Halu, Sirikan, dan Wka. Walau prasasti-prasasti tidak
menyebutkan secara rinci tingkat kepangkatan dari keempat jabatan tersebut. Namun kemungkinan besar
Raka i Mahamantri Hino menduduki hierarki tertinggi, tecermin dari penggunaan gelar tersebut ketika orang
bersangkutan kemudian menyandang gelar raja.
Raka i Mahamantri (Rakryan Mapatih)
 Raka i Mahamantri Hino
 Raka i Mahamantri Halu
 Raka i Mahamantri Sirikan
 Raka i Mahamantri Wka
Tidak menutup kemungkinan pula bahwa keempat pangkat hino-halu-sirikan-wka dapat diduduki oleh mereka
yang bukan keturunan langsung raja namun masih memiliki hubungan kekerabatan dengan raja. Namun pada
era Jawa Timur, jabatan Rakryan (sebagai pengganti Raka) Mahamantri tidak lagi harus dipegang kerabat atau
putra raja.
Gelar yang dipakai di Kedatuan Medang berdasarkan temuan prasasti antara lain:
 Penguasa Negara: Datu, Ratu, Sri Maharaja
 Jabatan Administrasi: Rakryan/Rakeyan
1. Rakryan Binihaji: dijabat oleh istri raja
2. Rakryan Kanuruhan: gelar setingkat perdana menteri
3. Rakryan Mahamantri: dijabat oleh pewaris takhta (putra mahkota), diduduki oleh mereka yang bukan
keturunan langsung raja namun masih memiliki kekerabatan dengan sang raja
4. Rakryan Mapatih: wakil utusan raja, jabatan setingkat perdana mentri
 Penguasa Daerah:
1. Raka/Rakai/Rake: kepala daerah (regent), menguasai sejumlah Watak (kecamatan) dan Wanua
(desa/kelurahan)
2. Rama: menguasai Wanua
3. Karaman: dewan yang terdiri atas para Rama
Ibu kota

Prāsāda (menara) candi Prambanan dilihat dari bukit Ratu Boko, daerah di Dataran Kewu adalah lokasi Bhūmi Mātaram.
Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya
istana Kedatuan Medang diperkirakan berdiri (mḍaŋ i bhūmi mātaram). Nama ini ditemukan dalam beberapa
prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk Ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk
menyebut nama administratif dataran Kewu, meskipun tidak selamanya kedatuan ini berpusat di sana.
Sebenarnya, pusat kedatuan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi ibu kota Medang berdasarkan prasasti
dan catatan sejarah di antaranya:
Disebutkan
Nama raja Istana Ibu kota Provinsi dalam prasasti Inskripsi
atau catatan
... sthīraŋga-
vidite .. liŋgam
Bhumi Mataram Daerah lakṣaṇa-lakṣitam
Canggal (732
(sekarang Dataran Istimewa .. śrī sañjaya
M)
Sanjaya – Kewu) Yogyakarta śāntye ...
Mantyasih (907
Poh Pitu Jawa ... ri mḍaŋ. ri poh
M)
(sekarang Magelang) Tengah pitu. rakai
mātaram. saŋ
ratu sañjaya ...
Bhumi Sambhara Tri ... niŋ kamūlān i
Jawa
Samaratungga – (sekarang Dataran Tepusan (824 bhūmi sambhāra
Tengah
Kedu) M) ...
... ginlar ri
Mamrati Jawa Siwagrha (856 mamratipurastha
Mpu Manuku Mamratipura
(sekarang Temanggung) Tengah M) mḍaŋ kaḍatuan
...
Yawapura
Jawa catatan dinasti
Dyah Balitung (She-p’o- – –
Tengah Tang
tch’eng)
P’o-lu-chia- Jawa catatan dinasti
Mpu Daksa – –
sse Tengah Tang
... śrī mahārāja
Tamwlang Jawa
Mpu Sindok – Turyyan (929 M) makaḍatuan i
(sekarang Jombang) Timur
tamwlaŋ ...
... mḍaŋ i bhūmi
Watugaluh Jawa Paradah (943
Mpu Sindok – mātaram i
(sekarang Jombang) Timur M)
watugaluh ...
... saŋ hyaŋ
Dharmawangsa Wwatan Jawa Pucangan (1041 dharma

Teguh (sekarang Madiun) Timur M) parahyaŋan i
wwatan ...'
Catatan:
1
Bhumi Mataram secara geografi merujuk pada istilah lampau dataran Kewu, lokasi dari banyak
ditemukannya penemuan arkeologi, prasasti, dan candi-candi yang mengawali dalam sejarah Indonesia.
2
Hipotesis berdasarkan Prof. Dr. R. M. Ng. Poerbatjaraka, Prof. Dr. Marwati Djoened Poesponegoro, dan
Prof. Dr. Nugroho Notosusanto

Wangsa yang berkuasa

Prasasti Sojomerto memuat keluarga Dapunta Sailendra, leluhur dari Wangsa Sailendra.
Teori dual wangsa Sailendra-Sanjaya yang diajukan Bosch dan De Casparis ini ditentang oleh beberapa
sejarawan Indonesia di periode selanjutnya. Sebuah teori alternatif, yang diusulkan oleh Poerbatjaraka,
menunjukkan bahwa hanya ada satu kerajaan dan satu dinasti, kerajaan disebut sebagai Medang, dengan
ibukota di Bhumi Mataram, dan dinasti yang berkuasa adalah Sailendra.
Teori ini didukung dengan interpretasi Boechari tentang Prasasti Sojomerto dan studi Poerbatjaraka pada
naskah Carita Parahyangan. Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Sailendra pada Prasasti
Sojomerto adalah cikal bakal raja-raja keturunan Sailendra yang berkuasa di Jawa dan Sumatra. Poerbatjaraka
berpendapat bahwa Sanjaya dan semua keturunannya adalah anggota keluarga Sailendra, yang awalnya
adalah pemeluk agama Hindu-Siwa. Kemudian berdasarkan Prasasti Raja Sankhara; putra Sanjaya, Rakai
Panangkaran, masuk agama Buddha Mahayana. Dari rangkain peristiwa sejarah tersebut keturunan Sailendra
yang kemudian memerintah Medang menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana dan menjadi pelindung
agama Buddha di Jawa hingga akhir masa pemerintahan Samaratungga.[24] Hindu Siwa memperoleh kembali
perlindungan kerajaan pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, yang berlangsung sampai akhir Kerajaan
Medang. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung, candi Hindu
Trimurti Prambanan dibangun dan diperluas di sekitar Yogyakarta.
Dengan perkataan lain, mungkin sekali pendapat Poerbatjaraka adalah benar mengenai asal usul wangsa
Sailendra, yaitu mereka adalah pribumi asli Nusantara dan bahwa hanya ada satu wangsa saja, wangsa
Sailendra yang anggotanya semula penganut agama Hindu-Siwa (Saiwa), tetapi sejak pemerintahan Rakai
Panangkaran menjadi penganut agama Buddha Mahayana untuk kemudian kembali lagi menjadi penganut
agama Saiwa sejak pemerintahan Rakai Pikatan.

Daftar penguasa Medang


Kedatuan Medang diperintah oleh wangsa atau raja-raja Sailendra dan Isyana yang berkuasa di Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Periode Jawa Tengah
Kuru
n Nama Apanase (daerah Disebutka
Nama abhiseka Tahun
wakt pribadi lungguh) n dalam
u
Prasasti
Canggal
Rakai Mātaram Prasasti 732
732— Śrī Sañjaya
– Rahyangta ri Mḍang Mantyasih 907
760 Sang Ratu Sañjaya
Rahyangta i Hāra Prasasti 908
Wanua
Tengah III
Prasasti 778
760— Dyaḥ Śrī Mahārāja Rakai Indra Sanggrāmadhanañjaya
Kalasan 907
780 Pañcapaṇ Panangkaran Śrī Sanggrāmadhanañjaya
Prasasti 908
Kuru
n Nama Apanase (daerah Disebutka
Nama abhiseka Tahun
wakt pribadi lungguh) n dalam
u
a (Dyaḥ Mantyasih
Sankhara) Prasasti
Wanua
Tengah III
Prasasti
Mantyasih
780— Śrī Mahārāja Rakai 907
– Dharmmottungadeva Prasasti
800 Panunggalan 908
Wanua
Tengah III
Prasasti
Nalanda
Prasasti 860
800— Dyaḥ Śrī Mahārāja Rakai
Samaragrawira Mantyasih 907
819 Manara Warak
Prasasti 908
Wanua
Tengah III
Prasasti
Pengging
Rakryan i Garung Prasasti 819
819—
– Śrī Mahārāja Rakai Samarattungga Mantyasih 907
838
Garung Prasasti 908
Wanua
Tengah III
Prasasti
Munduan
Prasasti
Siwagrha
807
Prasasti
856
Śrī Mahārāja Rakai Wantil
Dyaḥ 856
Pikatan Prasasti
838— Salaḍū 863
Rakai Mamrati Sang Jatiningrat Argapura
850 (Mpu 907
Rakai Gurunwangi Prasasti
Manuku) 908
Rakai Patapan Mantyasih
Pertengaha
Prasasti
n abad ke-9
Wanua
Tengah III
Prasasti Can
di Plaosan
Prasasti
Siwagrha
Prasasti
Dyaḥ 856
Argapura
856— Lokapāla Śrī Mahārāja Rakai 863
Śrī Sajjanotsavattungga Prasasti
880 (Mpu Kayuwangi 907
Mantyasih
Lokapāla) 908
Prasasti
Wanua
Tengah III
Prasasti Er
Hangat
880— Dyaḥ 888
– Śrī Jayakīrtivardhana Prasasti
885 Tagwas 908
Wanua
Tengah III
Prasasti Poh
Śrī Mahārāja Rake Dulur
885— Dyaḥ 890
Limus – Prasasti
887 Dewendra 908
Rake Panumwangan Wanua
Tengah III
Kuru
n Nama Apanase (daerah Disebutka
Nama abhiseka Tahun
wakt pribadi lungguh) n dalam
u
Prasasti
Dyaḥ Munggu
887— Bhadra Śrī Mahārāja Rake Antan 887

890 (Dyaḥ Gurungwangi Prasasti 908
Ranu) Wanua
Tengah III
Prasasti
Mantyasih
890— Dyaḥ Śrī Mahārāja Rakai 907
– Prasasti
898 Jěbang Watuhumalang 908
Wanua
Tengah III
Prasasti
Dyaḥ Mantyasih
Śrī Mahārāja Rakai Śrī Dharmmodaya
Balitung Prasasti 907
898— Watukura Mahāsambu
(Dyaḥ Wanua 908
910 Śrī Mahārāja Rakai Śrī
Garuda Tengah III 910
Galuḥ Īśvarakesvarasamarottungga
Mukha) Prasasti
Tulangan
Rakryān Mapatiḥ i Hino Prasasti
Dyaḥ Śrī Mahārāja Dakṣottama
910— Pu Dakṣottama Palepangan 906
Dakṣottam Bāhubajrā Prapakṣakṣaya
919 Bāhubajrapratipakṣakṣa Prasasti 910
a Uttunggavijaya
ya Tulangan
Śrī
919— Dyaḥ Śrī Mahārāja Rakai Prasasti
Sajjanasanatanuragatunggade 919
924 Tlodhong Layang Lintakan
va
Prasasti
Culanggi
Śrī Mahārāja Rakai 927
924— Dyaḥ Prasasti
Sumba Śrī Vijayalokanamottungga 928
929 Wawa Wulakan
Rakai Pangkaja 982
Prasasti
Sanggurah

Periode Jawa Timur[sunting | sunting sumber]


Apanase
Kurun Nama Disebutkan dalam
(daerah Nama anumerta Tahun
waktu pribadi prasasti
lungguh)
Rakai
Mahamantri
929— Mpu Halu Śrī Mahārāja Īśāna Prasasti Turryan 929
947 Sindok Rakai Vikramādharmottunggadeva Prasasti Anjuk Ladang 937
Mahamantri
Hino
947— Prasasti Gedangan 950
– – Śrī Īśāna Tunggavijaya
985 Prasasti Pucangan 1041
985—
– – Śrī Makutavaṃsa Vardhana Prasasti Pucangan 1041
990
Śrī Mahārāja Īśāna
990—
– – Dharmavaṃsa Teguh Prasasti Pucangan 1041
1016
Anantavikramottunggadeva
Situs budaya Medang
Situs arsitektur Medang
Nam Diba
Gambar Lokasi Diprakarsai Keterangan
a ngun
Candi Borobudur adalah
candi Buddha peninggala
770 M
n Sailendra terbesar di
(awal
Magelang, Jaw dunia. Dibangun pada
kontruk
Candi a Tengah Gunadharma (arsitek), S pertengahan abad ke-7,
si)
Borobu amaratungga (era) kemudian situs bersejarah
7.608°S 825 M
dur Sailendra (klien) ini ditetapkan
110.204°E (selesai
oleh UNESCO sebagai
dibagun
salah satu Situs Warisan
)
Dunia (UNESCO’s World
Heritage Sites).
Candi Sewu merupakan
Klaten, Jawa kompleks
782 M Rakai
Tengah candi Buddha peninggala
Candi (selesai Panangkaran, Rakai
n Sailendra terbesar
Sewu 7.7435°S dibagun Pikatan (era)
kedua
110.4935°E ) Sailendra (klien)
di Indonesia setelah
Candi Borobudur.

Klaten, Jawa
Candi Tengah
Rakryan Sanjiwana (era)
Sojiwa 842 M –
Sailendra (klien)
n 7°45′39″S 110°
29′45″E

Candi Prambanan adalah


kompleks
candi Hindu terbesar
Sleman, Daera
di Indonesia yang
h Istimewa
dibangun pada abad ke-8.
Yogyakarta 850 M
Candi Rakai Pikatan, Dyah Candi ini ditetapkan
Klaten, Jawa (awal
Pramb Balitung (era) oleh UNESCO sebagai
Tengah kontruk
anan Sailendra (klien) salah satu Situs Warisan
si)
Dunia (UNESCO’s World
7°45′8″S 110°2
Heritage Sites), sekaligus
9′30″E
salah satu
candi Hindu terindah
di Asia Tenggara.

Sleman, Daera
h Istimewa
Rakai
Candi Yogyakarta Abad
Panangkaran (era) –
Sari ke-8
Sailendra (klien)
7°45′41.49″S 1
10°28′27″E
Nam Diba
Gambar Lokasi Diprakarsai Keterangan
a ngun

Sleman, Daera
Candi h Istimewa Rakai
Abad
Kalasa Yogyakarta Panangkaran (era) –
ke-8
n 7.770°S Sailendra (klien)
110.470°E

Sleman, Daera
h Istimewa
Candi Rakai
Yogyakarta Abad
Ratu Panangkaran (era) –
ke-8
Boko Sailendra (klien)
7°46′12″S 110°
29′20″E

Sleman, Daera
Candi h Istimewa
Abad
Geban Yogyakarta Sailendra (klien) –
ke-8
g 7.751454°S
110.416117°E

Magelang, Jaw
Candi a Tengah Abad
Sailendra (klien) –
Pawon 7.60616°S ke-9
110.219522°E

Sleman, Daera
Candi h Istimewa
Abad Rakai Garung (era)
Sambi Yogyakarta –
ke-9 Sailendra (klien)
sari 7.7625°S
110.4469°E

Klaten, Jawa
Candi Tengah
Abad Rakai Pikatan (era)
Plaosa –
ke-9 Sailendra (klien)
n 7°44′25″S 110°
30′16″E

Yogyakarta, D
aerah Istimewa
Candi
Yogyakarta Abad
Banyu Sailendra (klien) –
ke-9
nibo
7°46′40″S 110°
29′38″E

Sleman, Daera
h Istimewa
Candi Abad Rakai Walaing (era)
Yogyakarta –
Barong ke-9 Sailendra (klien)
7.7754785°S
Nam Diba
Gambar Lokasi Diprakarsai Keterangan
a ngun
110.4972972°
E

Semarang, Ja
Candi
wa Tengah
Gedon Abad
Sailendra (klien) –
g ke-9
7°12′37″S 110°
Songo
20′31″E

Klaten, Jawa
Candi Tengah Abad
Sailendra (klien) –
Merak 7.669735°S ke-9
110.551275°E

Klaten, Jawa
Candi Tengah Abad
Sailendra (klien) –
Bubrah 7.7466°S ke-9
110.4929°E

Sleman, Daera
h Istimewa
Candi Yogyakarta Abad
Sailendra (klien) –
Ijo ke-10
7°47′2″S 110°3
0′44″E

Museum
 Museum Karmawibhangga: Museum ini menampilkan gambar relief Karmawibhangga yang terukir pada
kaki tersembunyi Borobudur, beberapa blok batu Borobudur yang terlepas, serta temuan artefak arkeologi
yang ditemukan di sekitar Borobudur dan yang berasal dari berbagai situs-situs purbakala di Jawa
Tengah.
 Museum Samudra Raksa: Koleksi utama pameran museum ini adalah rekonstruksi Kapal
Borobudur dalam ukuran sesungguhnya yang telah menempuh perjalanan napak tilas mengarungi
Samudra Hindia dari Jakarta menuju Accra, Ghana pada tahun 2003—2004.
 Balai Konservasi Borobudur: adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang bertujuan untuk melestarikan cagar budaya di seluruh Indonesia.
 Museum Candi Prambanan: merupakan sebuah museum yang berada di dalam Kompleks Taman Wisata
Candi Prambanan. Museum ini berisi koleksi benda-benda bersejarah dan berharga berupa arca, artefak,
gerabah, gambar struktur Candi Siwa, fosil hewan hingga legenda Roro Jonggrang.
Warisan

Upacara Waisak nasional di Borobudur, candi monumental peninggalan Sailendra yang berasal dari Medang sangat
penting untuk dijumpai pada hari raya umat Buddha di Indonesia.
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti tersebar di Jawa, Medang juga membangun
banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Era ini dipandang sebagai zaman keemasan dari
peradaban Jawa kuno, yang telah meninggalkan warisan abadi dalam budaya dan sejarah Indonesia.
Candi Borobudur dan Prambanan yang monumental dan megah ini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai
salah satu Situs Warisan Dunia (UNESCO’s World Heritage Sites), dan menjadi sumber kebanggaan nasional,
tidak hanya bagi orang Jawa tetapi juga bagi bangsa Indonesia.[27]

Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur.


Tidak diduga bahwa dalam Sejarah Indonesia ditemukan sebuah peradaban unggul yang begitu kuat dalam
membangun kontruksi bangunan dan pembangunan candi, yang menunjukkan penguasaan teknologi, tenaga
kerja, manajemen sumber daya, penyempurnaan estetika dan seni, juga pencapaian arsitektur, di era kedatuan
Medang. Periode antara akhir abad ke-8 hingga akhir abad ke-9, antara masa pemerintahan Rakai
Panangkaran ke Dyah Balitung, telah meninggalkan sejumlah candi yang mengesankan; antara lain
adalah candi Borobudur, candi Sewu, dan candi Prambanan.

Pertunjukan Wayang Wong di panggung terbuka Sendratari Ramayana Prambanan. Era Medang telah meninggalkan
dampak besar untuk budaya Jawa.
Era kedatuan Medang dianggap sebagai periode klasik peradaban Jawa; karena selama periode ini budaya,
seni dan arsitektur Jawa berkembang dan berkembang lebih jauh, mengkonsolidasikan dan memperpadukan
unsur kepercayaan asli orang Jawa dengan pengaruh-pengaruh dharma. Dengan memasukkan kerangka
acuan dan elemen Hindu-Buddha ke dalam budaya, seni, dan arsitektur Jawa, dan Sanskertanisasi bahasa
Jawa, orang Jawa telah merumuskan gaya Hindu-Buddha Jawa dan mengembangkan peradaban yang cerdik.
Gaya seni Sailendra Jawa ini, baik dalam seni pahat dan arsitektur, dikemudian masa memengaruhi seni
daerah lainnya, khususnya seni Sriwijaya di Sumatra, Semenanjung Melayu dan Thailand selatan.
Seni dan arsitektur pembangunan candi Angkor Wat juga dipercaya dipengaruhi oleh seni dan
arsitektur Sailendra di Jawa; kesamaan yang mencolok dari candi Bakong di Kamboja dengan candi
Borobudur di Magelang, menunjukkan bahwa candi Bakong terinspirasi oleh desain Borobudur.[28]
Selama periode Medang sejumlah kitab dharma baik dari Hindu atau Buddha, telah mempengaruhi budaya
Jawa. Misalnya, kisah-kisah Jataka dan Lalitawistara, juga epos Ramayana dan Mahabharata diadopsi ke
dalam versi Jawa. Kisah-kisah dan epos ini selanjutnya akan membentuk budaya Jawa dan seni pertunjukan,
seperti tarian Jawa dan seni wayang.

Anda mungkin juga menyukai