Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH GERONTIK

ASKEP PADA LANSIA DENGAN PERUBAHAN FISIOLOGIS

Oleh

Kelompok 1

1. Andrian Sahid
2. Aisyah Tasya
3. Anisa Irma
4. Dendi
5. Dwi Ratna Ningsih
6. Fidarlin Hulu
7. Indri Yulistiani
8. Messy Wulandari

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES PAYUNGNEGERI
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah mata ajar Keperawatan Gerontik “Askep pada lansia
dengan perubahan fisiologis”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Pekanbaru, 15 Desember 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................
BAB II ASUHAN KEPERAWATANKLIEN DENGAN GANGGUAN
MUSKULOSKELETAL
A. Anatomi dan Fisiologi................................................................................
B. Sistem Rangka ...........................................................................................
C. Fungsi Tulang.............................................................................................
D. Pembagian Tulang......................................................................................
E. Histologi Tulang.........................................................................................
F. Klasifikasi Tulang Berdasarkan Bentuknya................................................
G. Sistem Artikular..........................................................................................

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN


SISTEM PERSARAFAN
A. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf Pada Lansia.............................................
B. Masalah-masalah Akibat Perubahasan Sistem Persrafaab Pada Lansia.....
C. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan memandang proses penuaan dari perspective yang luas dapat


membimbing kearah strategi yang lebih kreatif untuk melakukan intervensi
terhadap lansia. Perubahan structural yang paling terlihat terjadi pada otak itu
sendiri, walaupun bagian lain dari system saraf pusat juga terpengaruh. Perubahan
ukuran otak yang di akibatkan oleh atropi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel
otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh
kehilangan neuron.
Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen juga telah
diketahui akan terjadi selama proses penuaan. Perubahan dalam system neurologis
dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 10%
kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Penurunan dopamine dan beberapa
enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap terjadinya perubahan neurologis
fungsional. Secara fungsional, mungkin terdapat suatu perlambatan reflek tendon
profunda.
Sedangkan Konsep gerak tidak hanya diartikan sebagai perpindahan
tempat saja akan tetapi gerakan dari bagian-bagian tubuh disebut juga sebagai
suatu gerakan. Contohnya, pada saat kita menulis, kita tidak berpindah tempat
hanyatangan kita saja yang bergerak. Pada saat kita menulus, kita dikatakan juga
sedang bergerak.
            Manusia bergerak berpindah tempat atau hanya menggerakkan bagian
tubuhnya saja sesuai dengan keinginananya. Gerakan tubuh manusia terjadi
karena adanya kerjasama anatar tulang danotot. Tulang tidak mempunyai
kemampuan untuk menggerakkan dirinya, oleh karena itu tulang disebut sebagai
alat gerak pasif. Sedanangkan otot mempunyai kemmapuan untuk berkontraksi
dan berelaksasi sehingga dapat menggerakkan tulang, oleh karena itu otot disebut
sebagai alat gerak pasif.

4
B. Tujuan Penulisan
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini untuk mengetahui tentang
asuhan keperaeatan pada lansia dengan perubahan fisiologis
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis rumuskam masalah sebagai berikut
“ Bagaimana menentukan asuhan keperawatan pada lansia dengan perubahan
fisiologis?”

5
6
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN GANGGUAN MUSKULOSKELETAL

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


a. Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, sendi, otot dan jaringan konektif
yang berhubungan (kartilago, tendon dan ligamen).
b. Sistem muskuloskeletal merupakan sistem tubuh yang terdiri dari otot
(muskulo) dan tulang-tulang yang membentuk rangka (skelet). Otot
adalah jaringan tubuh yang mempunyai kemampuan mengubah energi
kimia menjadi energi mekanik (gerak). Sedangkan rangka adalah bagian
tubuh yang terdiri dari tulang –tulang yang memungkinkan tubuh
mempertahankan bentuk, sikap dan posisi. Sistem muskuloskeletal
memberi bentuk bagi tubuh. Sistem muskuloskeletal melindungi organ-
organ penting, misalnya otak dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak,
jantung dan paru-paru terdapat pada rongga dada (cavum thorax) yang
dibentuk oleh tulang-tulang kostae (iga).

B. SISTEM RANGKA
a. Dipelihara oleh “Sistem Haversian” yaitu sistem yang berupa rongga yang
di tengahnya terdapat pembuluh darah.
b. Terjadi proses pembentukan jaringan tulang baru dan reabsorpsi jaringan
tulang yang telah rusak.

C. FUNGSI TULANG
a. Menyokong memberikan bentuk
b. Melindungi organ vital.
c. Membantu pergerakan.
d. Memproduksi sel darah merah pada sumsum.
e. Penyimpanan garam mineral.

7
D. PEMBAGIAN TULANG
1. Tulang axial ( tulang pada kepala dan badan)
Seperti : tl. tengkorak, tl. vertebrae, tl. rusuk dan sternum.

2. Tulang appendicular (tulang tangan dan kaki)


Seperti : extremitas atas (scapula, klavikula, humerus, ulna, radius,
telapak tangan), extremitas bawah (pelvis, femur, patela, tibia, fibula,
telapak kaki)

E. HISTOLOGI TULANG
a) Ada 2 tipe tulang : a. Kompaktum→ kuat, tebal, padat.
b. Kankellous → lebih kopong, renggang

b) Di antara lapisan tersebut terdapat ruang kecil → “lacuna”


c) Cairan yang mengisi “Osteocyte”
d) Osteocyte adalah sel pembentuk tulang.
e) Osteoblast (sel pembentuk) dan osteoclast (reabsorbsi tulang).
f) Suplai darah pada tulang didapat dari arteriole sepanjang kanal Haversin.
g) Tulang juga dipersyarafi oleh syaraf-syaraf.

F. KLASIFIKASI TULANG BERDASARKAN BENTUKNYA


1. Tulang panjang (tl. humerus, radius), mengandung epifisis, kartilago
artikular, diafisis, periosteum dan rongga medular.
Epifisis : Terletak di pangkal tulang panjang. Pada bagian
ini otot berhubungan dengan tulang dan membuat
sendi menjadi stabil.
Kartilage artikular : Membungkus pangkal tulang panjang dan
membuat permukaan tulang panjang menjadi
halus.
Diafisis : Bagian tulang panjang yang utama memberikan
struktural pada tubuh.

8
Metafisis : Bagian tulang yang mengembang di antara
epifisis dan diafisis.

Periosteum : Jaringan konektif fibrosa yang membungkus


tulang.

R. medular : Terletak di tengah-tengah diafisis.

2. Tulang pendek seperti karpal, tarsal


3. Tulang pipih, melindungi organ tubuh dan sebagai tempat melekatnya
otot.
4. Tulang sesamoid, bentuknya kecil, melingkar, berhubungan dengan
sendi dan melindungi tendon, seperti patela.
G. SISTEM ARTIKULAR
a. Artikulasi/persendian : hubungan antara dua tulang atau lebih.
b. Namun tidak semua persendian dapat melakukan pergerakan :
1) Synarthrosis :
- Sendi yang tidak dapat melakukan pergerakan sama sekali

2) Amphiarthrosis :
- Sendi dengan pergerakan sedikit/terbatas, seperti tl. simphisis pubis

3) Diarthrosis ( Sendi Sinovial )


- Sendi dapat bergerak bebas.
- Sendi ini mengandung :
a. Rongga artikular (ruang dengan membran sinovial,
memproduksi cairan sinovial untuk melicinkan sendi)
b. Ligamen
c. Kartilago
- Sendi ini dapat melakukan gerakan :
a. Protraksi (gerakan bagian tubuh ke arah depan/maju seperti
pergerakan mandibula)
b. Fleksi/ekstensi dll.

9
H. SISTEM MUSKULAR
a. 40-50 % BB manusia.
b. Pergerakan terjadi karena adanya kontraksi.
c. Tipe-tipe otot :
1) Otot jantung
2) Otot polos
3) Otot lurik atau rangka.

I. KARTILAGE
a. Kartilage adalah jaringan konektif yang tebal yang dapat menahan
tekanan.
b. Kartilage umum terdapat pada tulang embrio
c. Umumnya kartilage ini berubah secara bertahap menjadi tulang dengan
proses ossifikasi tetapi beberapa kartilage tidak berubah setelah dewasa..

J. LIGAMEN DAN TENDON


a. Ligamen dan tendon tersusun dari jaringan konektif fibrosa yang tebal,
mengandung serabut kolagen dalam jumlah yang sangat besar. Tendon
menghubungkan otot ke tulang.
b. Tendon merupakan perpanjangan dari pembungkus otot yang berhubungan
langsung dengan periosteum.
c. Ligamen menghubungkan tulang dan sendi dan memberikan kestabilan
pada saat pergerakan.

K. FRAKTUR
a. Hilangnya kesinambungan substansi tulang dengan atau tanpa pergeseran
fragmen-fragmen fraktur.
b. Terputusnya hubungan/kontinuitas jaringan tulang.

10
Sebab:
a. Trauma :
a) Langsung (kecelakaan lalulintas)
b) Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk
sehingga terjadi fraktur tulang belakang )
b. Patologis : Metastase dari tulang
c. Degenerasi
d. Spontan : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.

JENIS FRAKTUR
a. Menurut jumlah garis fraktur :
a) Simple fraktur (terdapat satu garis fraktur)
b) Multiple fraktur (terdapat lebih dari satu garis fraktur)
c) Comminutive fraktur (banyak garis fraktur/fragmen kecil yang lepas)
b. Menurut luas garis fraktur :
a) Fraktur inkomplit (tulang tidak terpotong secara langsung)
b) Fraktur komplit (tulang terpotong secara total)
c) Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada
perubahan bentuk tulang)
c. Menurut bentuk fragmen :
a) Fraktur transversal (bentuk fragmen melintang)
b) Fraktur obligue (bentuk fragmen miring)
c) Fraktur spiral (bentuk fragmen melingkar)
d. Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar :
a) Fraktur terbuka (fragmen tulang menembus kulit), terbagi 3 :
I. Pecahan tulang menembus kulit, kerusakan jaringan sedikit,
kontaminasi ringan, luka <1 cm.
II. Kerusakan jaringan sedang, resiko infeksi lebih besar, luka >1
cm.
III. Luka besar sampai ± 8 cm, kehancuran otot, kerusakan
neurovaskuler, kontaminasi besar.
b) Fraktur tertutup (fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar)

11
TANDA KLASIK FRAKTUR
a. Nyeri
b. Deformitas
c. Krepitasi
d. Bengkak
e. Peningkatan temperatur lokal
f. Pergerakan abnormal
g. Ecchymosis
h. Kehilangan fungsi
i. Kemungkinan lain.

PATOFISIOLOGI

Fraktur

Periosteum, pembuluh darah di kortek

dan jaringan sekitarnya rusak

 Perdarahan
 Kerusakan jaringan di ujung tulang

Terbentuk hematom di canal medula

Jaringan mengalami nekrosis

Nekrosis merangsang terjadinya peradangan, ditandai :

12
1. Vasodilatasi
2. Pengeluaran plasma
3. Infiltrasi sel darah putih

Tahap penyembuhan tulang


1. Haematom :
a. Dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan haematom
b. Setelah 24 jam suplay darah ke ujung fraktur meningkat
c. Haematom ini mengelilingi fraktur dan tidak diabsorbsi selama
penyembuhan tapi berubah dan berkembang menjadi granulasi.
2. Proliferasi sel :
a. Sel-sel dari lapisan dalam periosteum berproliferasi pada sekitar
fraktur
b. Sel ini menjadi prekusor dari osteoblast, osteogenesis berlangsung
terus, lapisan fibrosa periosteum melebihi tulang.
c. Beberapa hari di periosteum meningkat dengan fase granulasi
membentuk collar di ujung fraktur.
3. Pembentukan callus :
a. Dalam 6-10 hari setelah fraktur, jaringan granulasi berubah dan
terbentuk callus.
b. Terbentuk kartilago dan matrik tulang berasal dari pembentukan callus.
c. Callus menganyam massa tulang dan kartilago sehingga diameter
tulang melebihi normal.
d. Hal ini melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan,
sementara itu terus meluas melebihi garis fraktur.
4. Ossification
a. Callus yang menetap menjadi tulang kaku karena adanya penumpukan
garam kalsium dan bersatu di ujung tulang.
b. Proses ossifikasi dimulai dari callus bagian luar, kemudian bagian
dalam dan berakhir pada bagian tengah
c. Proses ini terjadi selama 3-10 minggu.

13
5. Consolidasi dan Remodelling
a. Terbentuk tulang yang berasal dari callus dibentuk dari aktivitas
osteoblast dan osteoklast.

Komplikasi
1. Umum :
a. Shock
b. Kerusakan organ
c. Kerusakan saraf
d. Emboli lemak
2. D i n i :
a. Cedera arteri
b. Cedera kulit dan jaringan
c. Cedera partement syndrom.
3. Lanjut :
a. Stffnes (kaku sendi)
b. Degenerasi sendi
c. Penyembuhan tulang terganggu :
a) Mal union
b) Non union
c) Delayed union
d) Cross union
Tata laksana
1. Reduksi untuk memperbaiki kesegarisan tulang (menarik).
2. Immobilisasi untuk mempertahankan posisi reduksi, memfasilitasi union :
a. Eksternal → gips, traksi
b. Internal → nail dan plate
3. Rehabilitasi, mengembalikan ke fungsi semula.

14
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Riwayat perjalanan penyakit.
2. Riwayat pengobatan sebelumnya.
3. Pertolongan pertama yang dilakukan
4. Pemeriksaan fisik :
a. Identifikasi fraktur
b. Inspeksi
c. Palpasi (bengkak, krepitasi, nadi, dingin)
d. Observasi spasme otot.
5. Pemeriksaan diagnostik :
a. Laboratorium (HCt, Hb, Leukosit, LED)
b. RÖ
c. CT-Scan
6. Obat-obatan : golongan antibiotika gram (+) dan gram (-)
a. Penyakit yang dapat memperberat dan mempermudah terjadinya fraktur :
a) Osteomyelitis acut
b) Osteomyelitis kronik
c) Osteomalacia
d) Osteoporosis
e) Gout
f) Rhematoid arthritis

15
PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL

DATA SUBYEKTIF
a. Data biografi
b. Adanya nyeri, kekakuan, kram, sakit pinggang, kemerahan,
pembengkakan, deformitas, ROM, gangguan sensasi.
c. Cara PQRST :
a) Provikatif (penyebab)
b) Quality (bagaimana rasanya, kelihatannya)
c) Region/radiation (dimana dan apakah menyebar)
d) Severity (apakah mengganggu aktivitas sehari-hari)
e) Timing (kapan mulainya)
d. Pengkajian pada sistem lain
a. Riwayat sistem muskuloskeletal, tanyakan juga tentang riwayat
kesehatan masa lalu.
b. Riwayat dirawat di RS
c. Riwayat keluarga, diet.
d. Aktivitas sehari-hari, jenis pekerjaan, jenis alas kaki yang
digunakan
e. Permasalahan dapat saja baru diketahui setelah klien ganti baju,
membuka kran dll.
DATA OBYEKTIF
a. Inspeksi dan palpasi ROM dan kekuatan otot
b. Bandingakan dengan sisi lainnya.
c. Pengukuran kekuatan otot (0-5)
d. Duduk, berdiri dan berjalan kecuali ada kontra indikasi.
e. Kyposis, scoliosis, lordosis.
PROSEDUR DIAGNOSTIK
1. X-ray dan radiography
2. Arthrogram (mendiagnosa trauma pada kapsul di persendian atau
ligamen). Anestesi lokal sebelum dimasukkan cairan kontras/udara ke
daerah yang akan diperiksa.

16
3. Lamnograph (untuk mengetahui lokasi yang mengalami destruksi atau
mengevaluasi bone graf).
4. Scanograph (mengetahui panjang dari tulang panjang, sering dilakukan
pada anak-anak sebelum operasi epifisis).
5. Bone scanning (cairan radioisotop dimasukkan melalui vena, sering
dilakukan pada tumor ganas, osteomyelitis dan fraktur).
6. MRI
7. Arthroscopy (tindakan peneropongan di daerah sendi)
8. Arthrocentesis (metode pengambilan cairan sinovial)
MASALAH-MASALAH YANG UMUM TERJADI
1. Gangguan dalam melakukan ambulasi.
a. Berdampak luas pada aspek psikososial klien.
b. Klien membutuhkan imobilisasi → menyebabkan spasme otot dan
kekakuan sendi
c. Perlu dilakukan ROM untuk menguragi komplikasi :
a) Kaki (fleksi, inverse, eversi, rotasi)
b) Pinggul (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi)
c) Lutut (ekstensi)
d) Jari-jari kaki (ektensi, fleksi)

2. Nyeri; tindakan keperawatan :


a. Merubah posisi pasien
b. Kompres hangat, dingin
c. Pemijatan
d. Menguragi penekanan dan support social
e. Apabila nyeri di sendi, perlu dikaji :
a) Kejadian sebelum terjadinya nyeri
b) Derajat nyeri pada saat nyeri pertama timbul
c) Penyebaran nyeri
d) Lamanya nyeri
e) Intensitas nyeri, apakah menyertai pergerakan
f) Sumber nyeri
g) Hal-hal yang dapat mengurangi nyeri.

17
3. Spasme otot
a. Spasme otot (kram/kontraksi otot involunter)
b. Spasme otot dapat disebabkan iskemi jaringan dan hipoksia.

c. Tindakan keperawatan :
a) Rubah posisi
b) Letakkan guling kecil di bawah pergelangan kaki dan lutut
c) Berikan ruangan yang cukup hangat
d) Hindari pemberian obat sedasi berat → dapat menurunkan aktivitas
pergerakan selama tidur
e) Beri latihan aktif dan pasif sesuai program
INTERVENSI
1. Istirahat
a. Istirahat adalah intervensi utama
b. Membantu proses penyembuhan dan meminimalkan inflamasi,
pembengkakan dan nyeri.
c. Pemasangan bidai/gips.
2. Kompres hangat
a. Rendam air hangat/kantung karet hangat
b. Diikuti dengan latihan pergerakan/pemijatan
c. Dampak fisiologis dari kompres hangat adalah :
a) Perlunakan jaringan fibrosa
b) Membuat relaks otot dan tubuh
c) Menurunkan atau menghilangkan nyeri
d) Meningkatkan suplai darah/melancarkan aliran darah.
3. Kompres dingin
a. Metoda tidak langsung seperti cold pack
b. Dampak fisiologis adalah vasokonstriksi dan penerunan metabolic
c. Membantu mengontrol perdarahan dan pembengkakan karena trauma
d. Nyeri dapat berkurang, dapat menurunkan aktivitas ujung saraf pada
otot
e. Harus hati-hati, dapat menyebabkan jaringan kulit nekrosis

18
f. Tidak sampai > 30 menit.

TRAKSI

PRINSIP PEMASANGAN TRAKSI


1. Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik.
2. Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat
agar reduksi dapat dipertahankan.
3. Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus.
4. Traksi dapat bergerak bebas melalui katrol.
5. Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai.
6. Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman.
KEUNTUNGAN PEMAKAIAN TRAKSI
1. Menurunkan nyeri spasme
2. Mengoreksi dan mencegah deformitas
3. Mengimobilisasi sendi yang sakit
KERUGIAN PEMAKAIAN TRAKSI
1. Perawatan RS lebih lama
2. Mobilisasi terbatas
3. Penggunaan alat-alat lebih banyak.
BEBAN TRAKSI
1. Dewasa = 5 - 7 Kg
2. Anak = 1/13 x BB
MACAM-MACAM PEMAKAIAN TRAKSI
1. Traksi kulit/skin traksi
a. Penarikan tulang yang patah melalui kulit dengan menggunakan skin
traksi, plester
b. Ex. : traksi Buck, traksi Bryant.
2. Traksi tulang/traksi skeletal
a. Penarikan tulang yang mengalami fraktur melalui tulang
b. Ex. : traksi Russel

19
JENIS TRAKSI
1. Traksi kulit Buck’s
a. Traksi yang paling sederhana dan dipasang untuk jangka waktu yang
pendek.
b. Indikasi :
a) Untuk mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma sebelum dioperasi
b) Digunakan pada anak.
c. Komplikasi :
a) Perban elastis dapat mengganggu sirkulasi
b) Timbul alergi kulit
c) Dapat timbul ulserasi akibat tekanan pada maleolus
d) Pada lansia, traksi yang berlebihan dapat merusak kulit yang rapuh.
2. Traksi Russell’s
a. Modifikasi dari traksi Buck’s
b. Digunakan untuk fraktur lutut
c. Digunakan pada orang dewasa
d. Komplikasi :
a) Perlu bedrest → decubitus, pneumoni
b) Penderita bergerak, beban turun → traksi tidak adekuat
c) Infeksi
3. Cervical traksi
a. Digunakan pada fraktur cervical, maxillaries, clavicula
b. Beban 4-6 pounds
c. Komplikasi :
a. Dapat terjadi gangguan integritas kulit
b. Alergi
c. Klien tidak nyaman dan melelahkan
4. Pelvic traksi
a. Digunakan pada dislokasi dan fraktur pelvis, fraktur tulang belakang

20
DETEKSI DINI KOMPLIKASI
 Yang mungkin terjadi pada fraktur
1. Emboli paru, gejala :
a. Nyeri dada
b. Dispnea
c. Nadi cepat dan lemah
2. Emboli lemak → ss. Tulang dan kerusakan jaringan

system pernapasan

- perubahan status mental

- tacycardi

3. Ganggren → infeksi anaerob → bakteri Clostridium welchii


Gejala : gg. mental, demam, TD↓, RR ↑

21
GIPS

INDIKASI
1. Immobilisasi dan penyangga fraktur
2. Stabilisasi dan istirahatkan
3. Koreksi deformitas
4. Mengurangi aktivitas pada pada daerah yang terinfeksi
5. Membuat cetakan tubuh orthotik
a. Gips yang ideal adalah dapat membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
b. Penggunaan gips sesudah operasi lebih memungkinkan klien untuk mobilisasi
dari pada pasien ditraksi.
Yang perlu diperhatikan pada pemasangan gips
1. Gips yang pas tidak akan menyebabkan perlukaan
2. Gips patah tidak bisa digunakan
3. Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien.
4. Sebelum pemasangan perlu dicatat apabila ada luka
5. Untuk mencegah masalah pada gips :
a. Jangan merusak atau menekan gips
b. Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips/menggaruk.
c. Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama.
WINDOWS
Dilakukan untuk :

1. Memeriksa luka
2. Membuka jahitan
3. Memeriksa adanya penekanan
4. Membuang/mengangkat benda asing
5. mengurangi penekanan.

PEMBUKAAN
1. Dibuat garis terlebih dahulu
2. Mata gergaji hanya memotong benda yang keras

22
3. Pemotongan dihentikan bila pasien merasa kepanasan
4. Selama pemotongan, mata gergaji ditekan dengan lembut
5. Pada saat memotong, anggota ekstremitas harus disangga.
6. Cuci dan keringkan, beri pelembab
7. Ajarkan aktivitas bertahap.

23
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERSARAFAN

A. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf Pada Lansia


Sistem persarafan pada manusia yang normal, maupun pada lansia yang telah
mengalami perubahan adalah sebagai berikut :

1. Otak
Perbandingan pada otak yang normal dan otak pada lansia yang telah mengalami
perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut :
a. Normal
Otak terletak di dalam rongga kepala, yang pada orang dewasa sudah tidak dapat
lagi membesar, sehingga bila terjadi penambahan komponen rongga kepala akan
meningkatkan tekanan intra cranial.
Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375
gram pada usia 20 tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun
penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak
berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100
million sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls
listrik dari susunan saraf pusat.

b. Lansia
Penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat mengirimkan
signal kepada beribu-ribu sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi
penebalan atropi cerebral (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun.
Secara berangsur angsur tonjolan dendrite dineuron hilang disusul
membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi
fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment
wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom
atau mitokondria. RNA, Mitokondria dan enzyme sitoplasma menghilang, inklusi
dialin eosinofil dan badan levy, neurofibriler menjadi kurus dan degenerasi

24
granulovakuole. Corpora amilasea terdapat dimana-mana dijaringan otak.
Berbagai perubahan degenerative ini meningkat pada individu lebih dari 60 tahun
dan menyebabkan gangguan persepsi, analisis dan integrita, input sensorik
menurun menyebabkan gangguan kesadaran sensorik (nyeri sentuh, panas, dingin,
posisi sendi). Tampilan sesori motorik untuk menghasilkan ketepatan melambat.

2. Saraf Otonom
Perbandingan pada saraf otonom yang normal dan saraf otonom pada lansia yang
telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut :
a. Normal
• Saraf simpatis
Bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan pernafasan serta menurunkan
aktifitas saluran cerna.
• Saraf parasimpatis
Bekerjanya berlawanan dari saraf simpatis.
b. Lansia
Pusat penegndalian saraf otonom adalah hipotalamus. Beberapa hal yang
dikatakan sebagai penyebab terjadinya gangguan otonom pada usia lanjut adalah
penurunan asetolikolin, atekolamin, dopamine, noradrenalin. Perubahan pada
“neurotransmisi” pada ganglion otonom yang berupa penurunan pembentukan
asetil-kolin yang disebabkan terutama oleh penurunan enzim utama kolin-
asetilase.
Terdapat perubahan morfologis yang mengakibatkan pengurangan jumlah
reseptor kolin. Hal ini menyebabkan predisposisi terjadinya hipotensi postural,
regulasi suhu sebagai tanggapan atas panas atau dingin terganggu, otoregulasi
disirkulasi serebral rusak sehingga mudah terjatuh.

25
3. Sistem Saraf Perifer
Perbandingan pada sistem saraf perifer yang normal dan sistem saraf perifer pada
lansia yang telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut:

a. Normal
• Saraf aferen
Berfungsi membawa informasi sensorik baik disadari maupun tidak, dari kepala,
pembuluh darah dan ekstermitas. Saraf eferen menyampaikan rangsangan dari
luar ke pusat.
• Saraf eferen
Berfungsi sebagai pembawa informasi sensorik dari otak menuju ke luar dari
susunan saraf pusat ke berbagai sasaran (sel otot/kelenjar).
b. Lansia
• Saraf aferen
Lansia terjadi penurunan fungsi dari saraf aferen, sehingga terjadi penurunan
penyampaian informasi sensorik dari organ luar yang terkena ransangan.

• Saraf eferen
Lansia sering mengalami gangguan persepsi sensorik, hal tersebut dikarenakan
terjadinya penurunan fungsi saraf eferen pada sistem saraf perifer.

4. Medulla spinalis
Perbandingan pada sistem saraf perifer yang normal dan sistem saraf perifer pada
lansia yang telah mengalami perubahan/penurunan fungsi adalah sebagai berikut:

a. Normal
Fungsinya :
 Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu, Cornu motorik/ cornu ventralis.
 Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks lutut.
 Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
 Mengadakan komun ikasi antara otak dan semua bagian tubuh.

26
b. Lansia
Medulla spinalis pada lansia terjadi penurunan fungsi, sehingga mempengaruhi
pergerakan otot dan sendi di mana lansia menjadi sulit untuk menggerakkan otot
dan sendinya secara maksimal.

B. Masalah-masalah Akibat Perubahan Sistem Persarafan Pada Lansia


Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki dari atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
dan memperbaiki kerusakan yang di derita (Constantinides, 1994).
Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara ilmiah.
Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup. Proses
menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama cepatnya. Adakalanya
orang belum tergolong lanjut usia (masih muda) tetapi kekurangan –
kekurangannya yang menyolok (deskripansi). Adapun masalah-masalah
perubahan sistem persarafan pada lansia adalah sebagai berikut, yaitu :
1. Gangguan pola istirahat tidur
Seringkali lansia mengalami perubahan pola tidur atau perbandiangan bangun dan
pengaturan suhu pada lansia. Keluhan utama pada lansia sebenarnya adalah lebih
banyak terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam tidur.
Gangguan pola tidur dan pengaturan suhu terjadi akibat adanya penurunan pada
hypothalamus pada lansia.
2. Gangguan gerak langkah (GAIT)
Pada usia lanjut secara fisiologik terdapat perubahan gerak langkah menjadi lebih
pendek dengan jarak kedua kaki lebih lebar, rotasi pinggul menurun dan gerak
lebih lambat (Hadi Martono, 1992).
Keadaan ini sering diperberat oleh gangguan mekanik akibat penyakit yang
menyertai, antara lain adanya arthritis, deformasi sendi, kelemahan fokal atau
menyeluruh, neuropati, gangguan visual atau vestibuler atau gangguan integrasi di
SSP (Friedman, 1995).
3. Gangguan persepsi sensori

27
Perubahan sensorik terjadi pada jalur sistem sensori dimulai dari reseptor hingga
ke korteks sensori, merubah transmisi atau informasi sensori. Pada korteks lobus
parietal sangat penting dalam interpretasi sensori dengan pengendaian
penglihatan, pendengaran, rasa dan regulasi suhu. Hilang atau menurunnya
sensori rasa nyeri, temperature dan rabaan dapat menimbulkan masalah pada
lansia.
4. Gangguan eliminasi BAB dan BAK
Perubahan sistem saraf pada lansia juga sering terjadi pada sistem pencernaan
maupun pada sistem urinari. Hal ini disebabkan karena pada lansia terjadi
penurunan sistem saraf perifer, dimana lansia menjadi tidak mampu untuk
mengontrol pengeluaran BAB maupun BAK, sehingga bisa menimbulkan
beberapa masalah, seperti konstipasi, obstipasi, inkontinensia urin, dll.
5. Kerusakan komunikasi verbal
Pada lansia sering terjadi kerusakan komunikasi verbal, hal ini disebabkan karena
terjadi penurunan atau ketidakmampuan untuk menerima, memproses,
mentransmisikan dan menggunakan sistem simbol. Adapun yang menjadi
penyebab lain masalah tersebut dikarenakan terjadinya perubahan pada
persarafan.

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalogram (EEG)
Elektroensefalogram ini adalah rekaman catatan grafik dari gelombang aktivitas
listrik otak.
2. Elektromiogram (EMG)
Merupakan pemeriksaan untuk mengukur dan mencatat elektrik otot skeletal dan
konduksi saraf.
3. CT scan
Computed Tomography Scanning dapat memberikan gambaran secara mendetail
bagian-bagian dari otak. Misalnya dapat menentukan bentuk, ukuran dan posisi,
mendeteksi adanya perdarahan, dan edema.

28
4. Magnetic resonance imaging (MRI)
Magnetik Resonance Imaging menggunakan medan magnet dan sinyal-sinyal
frekuensi radio. Perubahan-perubahan energi yang dihasilkan akan diukur dan
digunakan komputer MRI untuk menghasilkan gambar. Gambar akan tampak
sebagai potongan-potongan dua dimensi.
5. Indeks Katz
Indeks Katz dalam aktivitas sehari-hari (ADL) merupakan alat yang digunakan
untuk menentukan hasil tindakan dan prognosis pada lanjut usia. Indeks Kartz
meliputi keadekuatan pelaksanaan dalam enam fungsi seperti mandi, berpakaian,
toileting, berpindah, kontinen, dan makan (Kart, 1963).
6. Pengkajian status kognitif/afektif (status mental)
Pemeriksaan status mental memberikan sampel perilaku dan kemampuan mental
dalam fungsi intelektual. Pemeriksaan singkat terstandarisasi digunakan untuk
mendeteksi gangguan kognitif sehingga fungsi intelektual dapat di uji melalui
satu/dua pertanyaan untuk masing-masing area. Saat instrumen skrining
mendeteksi terjadinya gangguan, pemeriksaan lebih lanjut kemudian akan
dilakukan.
7. Short portable mental status questionnaire (SPMSQ)
Digunakan untuk mendeteksi adanya tingkat kerusakan intelektual. Pengujian
terdiri dari 10 pertanyaan yang berkenaan dengan orientasi, riwayat pribadi,
memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan diri, memori jauh,
dan kemampuan matematis atau perhitungan (Pfeiffer, 1975).

29
Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Perubahan
Sistem Persarafan

A. Pengkajian
Pengkajian ini meliputi identitas klien, status kesehatan saat ini, riwayat kesehatan
masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik sistem persarafan, pola
aktifitas sehari-hari, serta pengkajian psikososial dan spiritual.
Identitas klien
Identitas pasien meliputi :
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Status perkawinan
e. Agama
f. Suku
Status kesehatan saat ini:
a. Status kesehatan secara umum
b. Keluhan kesehatan saat ini
c. Pengetahuan/pemahaman dan penatalaksanaan masalah kesehatan
Riwayat kesehatan masa lalu:
a. Penyakit masa kanak-kanak
b. Penyakit serius atau kronik
c. Pernah mengalami trauma
Riwayat kesehatan keluarga:
a. Hipertensi
b. Kejang
c. Arthritis, masalah kesehatan mental
d. Stroke
e. Kematian mendadak yang tidak jelas sebabnya
Pemeriksaan fisik sistem persarafan:
a. Memeriksa keadaan umum pasien.
b. Test fungsi cerebral/kortikal.

30
c. Test fungsi saraf cranial.
d. Test fungsi motorik dan cerebellum.
e. Test fungsi sensori.
Pola aktivitas sehari-hari:
a. Tingkat latihan dan aktivitas.
b. Pekerjaan :
• pola bekerja
• pemajanan terhadap benda-benda toksik.
c. Riwayat perjalanan, yang terakhir.
Pengkajian psikososial dan spiritual:
a. Psikososial
b. Spiritual
c. Konsep Diri :
• Gambaran Diri
• Ideal diri
• Harga Diri
• Peran
• Identitas Diri
d. Identifikasi masalah emosional

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa-diagnosa berikut ini adalah sebagian diagnosa yang dapat di angkat
pada pasien lansia dengan gangguan sistem persarafan yang di kutip dari diagnosa
keperawatan NANDA.
1. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan
kognitif.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.
3. Gangguan persepsi sensori (visual, auditori, kinestetik, pengecapan, taktil,
penciuman) berhubungan dengan perubahan penerimaan sensori, transmisi
dan integrasi.
4. Gangguan pola eliminasi BAB dan BAK berhubungan dengan penurunan
neuromuskuler.

31
5. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan perubahan frekuensi
dan jadwal tidur.
6. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan/penurunan
sistem saraf.

C. Intervensi
Di bawah ini adalah intervensi dan kriteria hasil dari diagnosa keperawatan yang
telah di angkat yang di kutip dati buku diagnosa keperawatan dengan intervensi
NIC dan kriteria hasil NOC.
1. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan
kognitif.
Tujuan :
 Pasien bebas dari resiko cedera.
 Tidak memperlihatkan tanda cedera fisik.

Intervensi :
 Kaji status mental dan fisik.
 Lakukan strategi untuk mencegah cedera yang sesuai untuk status
fisiologis.
 Pertahankan tindakan kewaspadaan.
 Singkirkan atau lepaskan alat-alat yang dapat membahayakan pasien.
 Hindari tugas-tugas yang membahayakan.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.


Tujuan :
 Pasien akan mengidentifikasikan aktifitas dan/atau situasi yang
menimbulkan kecemasan yang berkontribusi pada intoleransi aktivitas.
 Pasien dapat menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS).

Intervensi :
 Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas.

32
 Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas.
 Hindari menjadwalkan aktivitas selama periode istirahat.
 Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala dan ambulasi yang
dapat di toleransi.

3. Gangguan persepsi sensori (visual, auditori, kinestetik, pengecapan, taktil,


penciuman) berhubungan dengan perubahan penerimaan sensori, transmisi dan
integrasi.
Tujuan :
 Pasien dapat menunjukkan kemampuan kognitif.
 Pasien dapat mengidentifikasikan diri, orang, tempat, dan waktu.

Intervensi :
 Pantau perubahan status neurologis pasien.
 Pantau tingkat kesadaran pasien.
 Identifikasikan factor yang berpengaruh terhadap gangguan persepsi
sensori.
 Pastikan akses dan penggunaan alat bantu sensori.
 Tingkatkan jumlah stimulus untuk mencapai tingkat sensori yang sesuai.

4. Gangguan pola eliminasi BAB dan BAK berhubungan dengan penurunan


neuromuskuler.
Tujuan :
 Pasien dapat memenuhi kebutuhan eliminasi seperti biasa.
 Pasien mampu mengidentifikasikan apabila ingin melakukan eliminasi.
Intervensi :
 Kaji pola eliminasi BAB dan BAK klien.
 Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas optimal.

33
 Berikan privasi dan keamanan saat pasien melakukan eliminasi.

5. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan perubahan frekuensi dan


jadwal tidur.
Tujuan :
 Tidak ada masalah dengan pola, kualitas, dan rutinitas istirahat tidur.
 Menunjukkan kesejahteraan fisik dan psikologis.

Intervensi :
 Pantau pola tidur pasien dan catat hubungan faktor-faktor fisik yang dapt
mengganggu pola tidur pasien.
 Berikan/ciptakan lingkungan yang tenang sebelum tidur.
 Bantu pasien untuk mengidentifikasikan faktor-faktor yang mungkin
menyebabkan kurang tidur, seperti ketakutan, masalah yang tidak
terselesaikan, dan konflik.
 Bantu pasien untuk membatasi tidur di siang hari dengan menyediakan
aktivitas yang meningkatkan kondisi terjaga.

6. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan/penurunan


sistem saraf pusat.
Tujuan :
 Pasien dapat berkomunikasi dengan baik.
Intervensi :
 Kaji kemampuan berbicara, menulis, membaca, dan memahami simbol.
 Anjurkan kunjungan keluarga secara teratur untuk memberikan stimulasi
sebagai komunikasi.
 Anjurkan pasien untuk berkomunikasi secara perlahan

34
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sistem muskuloskeletal merupakan sistem tubuh yang terdiri dari otot


(muskulo) dan tulang-tulang yang membentuk rangka (skelet). Otot adalah
jaringan tubuh yang mempunyai kemampuan mengubah energi kimia menjadi
energi mekanik (gerak). Sedangkan rangka adalah bagian tubuh yang terdiri dari
tulang –tulang yang memungkinkan tubuh mempertahankan bentuk, sikap dan
posisi. Sistem muskuloskeletal memberi bentuk bagi tubuh. Sistem
muskuloskeletal melindungi organ-organ penting, misalnya otak dilindungi oleh
tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru terdapat pada rongga dada
(cavum thorax) yang dibentuk oleh tulang-tulang kostae (iga).

Sistem persarafan pada manusia yang normal, maupun pada lansia yang telah
mengalami perubahan

35
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan


(terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC.


Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.


Volume II (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I.


(terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Pajajaran. Bandung.

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

36
37
38
39

Anda mungkin juga menyukai