Anda di halaman 1dari 11

pISSN : 2301 - 8968

JEKT ♦ 11 [1] : 97-107


eISSN : 2303 - 0186

Elastisitas Permintaan Produk Tembakau di Indonesia:


Studi Konsumsi Rokok Lintas Rumah Tangga

Mohtar Rasyid*)

Jurusan Ekonomi Pembangunan


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo Madura

ABSTRAK
Di tengah kesulitan pemerintah untuk menemukan sumber penerimaan negara, wacana kenaikan cukai
ini memang merupakan opsi yang bisa diterima. Akan tetapi, pihak industri tentu tidak akan tinggal
diam menyikapi isu ini. Dengan latar belakang tersebut, paper ini bertujuan untuk menganalisis efek
kuantitatif perubahan cukai terhadap permintaan rokok sekaligus implikasinya terhadap penerimaan
negara. Data yang digunakan adalah hasil survei Indonesia Family Life Survey (IFLS) rilis terbaru
(2014) yang menyediakan seksi khusus mengenai kebiasaan merokok. Menggunakan model estimasi
permintaan myopic, riset ini menghasilkan beberapa temuan penting. Pertama, respon permintaan rokok
terhadap cukai ternyata asimetris. Untuk kelas cukai yang berbeda, dihasilkan estimasi elastisitas harga
yang berbeda pula. Kedua, sebagai konsekwensi dari temuan sebelumnya, efek kenaikan rokok terhadap
penerimaan cukai juga tidak linear. Kenaikan cukai tidak selalu berimplikasi pada penurunan penerimaan
secara tajam. Tipe rokok dengan level harga yang relatif mahal, relatif memiliki jenis permintaan yang
relatif inelastik. Kenaikan harga cukai rokok pada segmen pasar kelas ini tidak banyak mengurangi
permintaan.

Kata kunci: Elastisitas Asimetri, Cukai Rokok, Penerimaan Negara, Data Mikro

Elasticity of Demand for Tobacco Products in Indonesia:


Cross-Household Consumption Study

ABSTRACT
In the midst of government difficulties to find sources of state revenues, the discourse on excise increases
is indeed an acceptable option. However, the industry certainly will not stay silent to address this issue.
Base on this background, this paper aims to analyze the quantitative effects of tax change on cigarette
demand as well as its implications for state revenues. The data used are the latest Indonesian Family
Life Survey (IFLS) survey results (2014) that provide a special section on smoking habits. Using myopic
request estimation model, this research yielded some important findings. First, the response of demand
for cigarettes to excise was asymmetric. For different excise class, different price elasticity estimates
are generated. Secondly, as a consequence of previous findings, the effect of cigarette increases on tax
revenue is also not linear. Excise increases do not necessarily imply a sharp decline in revenue. Type of
cigarettes with relatively high price levels; relatively have relatively inelastic demand type. The increase
in cigarette excise prices in this segment of the class market does not significantly reduce demand.

Keywords: elasticity, cigarette taxes, govermnent revenue, micro data

PENDAHULUAN murahnya harga rokok di Indonesia dibandingkan


Indonesia dikenal sebagai salah satu negara negara lain (ITIC, 2013). Rokok hampir selalu
dengan jumlah perokok aktif tertinggi di dunia menjadi kontroversi. Mengingat alasan kesehatan,
(dibawah China dan India). Di kawasan ASEAN, laju industri rokok dibatasi dengan berbagai regulasi
prevalensi merokok usia dewasa di Indonesia mulai kemasan, pemasaran, kandungan hingga
hingga saat ini masih menjadi nomor satu ketentuan larangan merokok di beberapa tempat
(SEATCA, 2014). Tingginya prevalensi merokok (periklanan). Batasan merokok juga berupa kuota
ini kemungkinan berasosiasi dengan relatif produksi yang dilekatkan melalaui mekanisme

* email: mohtar.rasyid@gmail.com 97
JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 12 No. 1 ▪ FEBRUARI 2019

cukai. Sungguhpun demikian, permintaan rokok aspek lainnya semakin gencar dilaksanakan.
relatif stabil. Walhasil, produk dengan cap Sikap pemerintah terhadap produk ini
“membunuh” ini masih bisa menyumbang lebih terlihat sangat gamang. Pada satu sisi, pemerintah
dari Rp100 Triliun dari penerimaan cukai 2014. memiliki tanggung jawab untuk melindungi
Artinya, harga yang tinggi tidak banyak menggeser masyarakat dari efek negatif atau rokok bagi
permintaan. Penerimaan negara dari cukai rokok kesehatan. Namun, pada sisi lain pemerintah
menunjukkan kecenderungan naik dari tahun sangat membutuhkan rokok sebagai sumber
ke tahun. Pada tahun 2010 tercatat penerimaan utama pendulang cukai. Akibatnya, setiap ada
negara dari cukai rokok sebesar 64 triliun rupiah, keingingan untuk menaikkan cukai rokok untuk
naik menjadi 68 triliun rupiah pada tahun 2011, menahan laju konsumsi, pemerintah terkesan
dan 80 triliun rupiah pada tahun 2012. Pada akhir ragu-ragu karena sangat takut kehilangan sumber
tahun 2014 diperkirakan penerimaan cukai rokok potensial penerimaan cukai dalam jumlah cukup
diatas 100 triliun rupiah. Besarnya penerimaan besar. Kenaikan cukai rokok relatif pelan sehingga
cukai, mendorong aksi penggunaan cukai rokok selalu lebih lambat dibandingkan dengan kenaikan
secara ilegal. Survei cukai rokok yang dilakukan riil pendapatan rumah tangga perokok. Ketakutan
oleh Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik ini mungkin cukup beralasan mengingat sejumlah
(PSEKP) UGM (2014) melaporkan bahwa nilai studi menunjukkan bahwa elastisitas permintaan
pelanggaran cukai rokok selama periode riset 2008 rokok di sejumlah negara berkembang relatif lebih
– 2014 mencapai sekitar 0,5 persen sampai 0,9 besar. Jika di negara maju elastisitas permintaan
persen dari nilai penerimaan cukai. Meski secara rokok mencapai sekitar -0,2 hingga -0,5 maka
prosentase kerugian ini relatif kecil, namun secara sebaliknya di negara berkembang bisa mencapai
total nilai kerugian negara ini tentunya cukup -0,5 hingga -1 (Chaloupka, Hu, Warner, Jakob, &
signifikan. Yurekli, 2000). Hasil ini telah dikonfirmasi oleh
Selain menggunakan piranti kebijakan Hidayat dan Tabrany (2010) dengan menggunakan
pembatasan berbasis harga (cukai), negara juga data rumah tangga di Indonesia. Studi empiris
membatasi peredaran rokok melalui aturan tersebut menemukan bahwa elastisitas permintaan
yang sangat ketat dalam kemasan produk rokok. rokok berkisar antara -0,28 (jangka pendek) hingga
Peraturan Pemerintah RI Nomor 109 tahun 2012 -0,73 (jangka panjang). Merujuk pada hasil riset
tentang “Pengamanan Bahan yang Mengandung ini, tentu dapat dimaklumi mengapa pemerintah
Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau” secara terkesan ragu-ragu untuk menaikkan cukai rokok
jelas menyebutkan dalam Pasal 24 ayat (1), yakni: secara signifikan.
setiap produsen dilarang untuk mencantumkan Sejumlah kajian empiris sejauh ini
keterangan atau tanda apapun yang menyesatkan sebagian besar menyimpulkan bahwa elastisitas
atau kata-kata yang bersifat promotif. Dalam pasal permintaan rokok di negara maju dengan tingkat
24 ayat (2) dijelaskan bahwa selain pelanggaran pendapatan yang relatif tinggi, ternyata relatif
sebagimana dimaksud pada ayat (1), setiap inelastik. Sebaliknya, di negara berkembang,
produsen dilarang mencantumkan kata “light”, termasuk Indonesia, cenderung relatif elastis.
“ultra light”, “mild”, “extra mild”, “low tar”, Studi empiris mengenai perilaku konsumsi rokok
“slim”, “special”, “full flavor”, “premium” atau kata sejauh ini belum membahas isu tentang variabilitas
lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, elastisitas permintaan terkait dengan berbagai tipe
rasa aman, pencitraan, kepribadian, atau kata-kata rokok yang beredar. Estimasi elastisitas sejauh ini
dengan arti yang sama. Pembatasan non-harga ini mengasumsikan bahwa elastisitas bersifat seragam
juga dapat secara kasat mata dilihat dari larangan tanpa mempertimbangkan jenis rokok. Pertanyaan
merokok di kawasan publik tertentu seperti rumah mengenai kemungkinan adanya elastisitas yang
sakit dan puskesmas, stasiun kereta api dan dalam berbeda-beda (asimetri) ini menjadi sangat relevan
seluruh gerbong serta kawasan peribadatan. Tidak untuk kasus Indonesia karena jenis rokok yang
ketinggalan, inisiasi privat berupa penempelan tersedia di pasaran sangat bervariasi mulai dari
slogan kawasan bebas rokok sudah semakin banyak merek, kemasan hingga proses pembuatan. Tak
ditemukan baik di rumah makan, tempat hiburan pelak, jenis cukai yang diberlakukan juga tidak
dan arena bermain. Singkatnya, pembatasan edar tunggal namun bermacam-macam tergantung dari
produk rokok baik dari aspek harga maupun dari jenis rokok yang ada. Untuk mengisi gap kajian
98
Elastisitas Permintaan Produk Tembakau di Indonesia: Studi Konsumsi Rokok Lintas Rumah Tangga [Mohtar Rasyid]

empiris inilah maka paper ini secara khusus akan eksternalitas yang cukup tinggi dari aktivitas
mengupas respon asimetri elastisitas permintaan tersebut. Salah satu contoh, merokok memiliki
rokok untuk mendapat estimasi elastisitas yang pengaruh negatif terhadap perokok pasif dalam
lebih presisi. Selanjutnya hasiln estimasi tersebut bentuk tingginya biaya kesehatan (the health costs
dapat diterapkan untuk melakukan simulasi of secondhand smoke). Contoh lain, merokok dapat
perubahan penerimaan pajak jika pemerintah memiliki implikasi yang tidak ringan terhadap
bermaksud menaikkan cukai rokok. kesehatan janin baik dalam jangka pendek maupun
Kajian yang komprehensif tentang perilaku jangka panjang. Eksternalitas dalam bentuk
merokok sudah banyak dilakukan baik di dalam implikasi kesehatan terhadap perokok pasif dan
negeri maupun di dalam negeri. Beberapa kajian janin masih diperdebatkan karena tipe eksternalitas
bahkan ada yang dipublikasikan secara rutin tersebut seharusnya sudah dipertimbangkan dalam
dalam beberapa periodik. Salah satunya adalah keputusan individu dalam merokok. Dengan kata
kajian ekonomi tembakau di Australia yang lain, implikasi eksternalitas yang muncul mungkin
dilakukan secara komprehensif sejak tahun 1989 tidak sebesar yang diperkirakan.
(Scollo & Winstanley, 2012). Studi yang dilakukan Pendekatan lama dalam memandang
sangat lengkap mulai dari konsumsi rokok, efek perilaku merokok mungkin tidak cukup dijadikan
kesehatan rokok, penerapan cukai, periklanan pijakan justifikasi regulasi rokok. Gruber (2003)
hingga kontrol terhadap konsumsi rokok. Riset menjelaskan beberapa point penting. Pertama,
rokok dengan topik khusus mengenai perilaku asumsi bahwa konsumen memiliki informasi
merokok di kalangan remaja dilakukan di China yang lengkap (fully informed) patut diragukan.
(Zhao, Konishi, & Glewwe, 2010). Penelitian ini Sebagaimana dimaklumi bahwa inisiasi merokok
secara meyakinkan menemukan adanya parental dimulai sejak masa remaja. Anak muda sebagai
effect dalam perilaku merokok remaja. Kebiasaan perokok pemula mungkin telah memperoleh
merokok remaja sebagian besar diwariskan oleh informasi yang cukup banyak tentang bahaya
kebiasaan merokok orang tuanya. Tentu saja merokok. Namun sebagian besar masih kurang
temuan ini tidak terlalu mengejutkan. Hasil lain menyadari akan konsekwensi dari “kecanduan”
yang menarik adalah dengan mengontrol variabel akibat merokok. Sebuah survei menunjukkan
lama sekolah, ditemukan kaitan antara kebiasaan bahwa diantara 56 persen remaja yang mengatakan
merokok dengan hasil test matematika. Merokok tidak akan merokok pada lima tahun mendatang,
satu batang per hari saat usia dini menyebabkan hanya 31 persen remaja yang betul-betul berhenti
penurunan skor matematika sebesar 0,1 standar merokok pada lima tahun setelah survei pertama.
deviasi. Namun, peneliti tidak menemukan bukti Sebaliknya, sebanyak 72 persen remaja yang
signifikan antara kebiasaan merokok ini dengan sebelumnya menyatakan akan menjadi perokok,
test bahasa dan lama sekolah (years of schooling). kenyatannya justru 74 persen yang menjadi perokok
Karakteristik konsumsi rokok yang aktif. Kedua, perokok aktif dalam prakteknya sulit
bersifat khas, telah menjadi kajian khusus dari untuk betul-betul berhenti merokok meskipun
para ahli. Sebagaimana komoditi lain pada sebenarnya mereka sangat menginginkan untuk
umumnya, keputusan konsumen untuk merokok menghentikan kebiasaan tersebut.
ditentukan oleh pertimbangan biaya (cost) dan Gruber (2003) secara lebih jauh
keuntungan (benefit). Prinsip dasar yang berlaku menawarkan arternatif model konsumsi rokok
juga sama, yakni konsumen akan merokok jika dengan menambahkan fitur time-inconsistent
kenikmatan dari merokok melampaui biaya yang dalam utilitas konsumen. Sejumlah studi
akan ditimbulkan, termasuk biaya kesehatan dari menunjukkan bahwa sangat mudah bagi perokok
merokok. Konsumen juga diasumsikan sadar bahwa untuk mengatakan bahwa tidak mengapa mereka
merokok akan membawa konsekwensi kecanduan. merokok “hari ini” dengan janji akan berhenti
Mengingat sifatnya yang khas, konsumsi rokok pada “esok hari”. Namun “esok hari” tidak pernah
termasuk salah satu aktivitas yang harus diatur datang. Setelah hari esok tiba menjadi hari ini,
oleh negara. Salah satu bentuk regulasi pemerintah perokok kembali pada kebiasaan lama. Kasus ini
adalah pengenaan pajak atau cukai untuk setiap mungkin sama dengan janji diet yang selalu gagal
pembelian rokok. Justifikasi pengenaan cukai direalisasikan. Intinya, diperlukan self-control
untuk konsumsi rokok adalah adanya potensi bagi perokok untuk benar-benar mengendalikan
99
JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 12 No. 1 ▪ FEBRUARI 2019

kebiasaan merokok. Dari sinilah kemudian UGM, 2016). Riset ini merupakan tindak lanjut
argumentasi cukai sebagai regulasi harga dari kajian tentang implikasi kebijakan bebas cukai
menemukan landasan pijakan teoritisnya. Melalui di kawasan khusus (MD FEB UGM, 2015). Tanpa
aturan cukai rokok, aktivitas merokok dalam ada pengawasan yang memadahi, kebijakan cukai
pandangan konsumen adalah sesuatu yang sifatnya yang ditujukan untuk mengendalikan konsumsi
costly. Instrumen cukai memang bukan sarana tidak cukup efektif.
(devices) terbaik karena penggunaannya bisa Selain menggunakan pendekatan
memicu adanya penyelundupan rokok, pemalsuan parsial, studi empiris mengenai komoditi rokok
cukai dan lain sebagainya. Sungguhpun demikian, juga dilakukan dengan topik beragam dengan
pengendalian ini tetap diperlukan. metodologi yang kompleks. Ekpu dan Brown
Baik pendekatan lama maupun pendekatan (2015) menggunakan pendekatan analisis meta
baru mengenai konsumsi rokok sama-sama untuk menguji perilaku merokok di beberapa
mendukung diperlukannya peran pemerintah negara maju selama periode 1992 hingga tahun
dalam mengatur harga rokok. Akan tetapi, 2014 dengan merangkum beberapa jurnal ilmiah,
argumentasi yang dimunculkan bisa berbeda. laporan medis dan jurnal kesehatan. Hasil kajian
Pendekatan lama lebih mengedepankan faktor menunjukkan bahwa sekitar 15 persen pengeluaran
eksternalitas dari merokok, sementara pendekatan aggregat di bidang kesehatan negara-negara maju
baru lebih menitikberatkan pentingnya instrumen disebakan oleh kebiasaan merokok. Sungguhpun
cukai sebagai alat kontrol bagi perokok supaya demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa disamping
lebih dapat “mengendalikan” kebiasaan biaya yang muncul, industri rokok cukup banyak
merokok. Bagi kelompok rumah tangga miskin, memberi keuntungan ekonomi. Manfaat ekonomi
elastisitas harga dari rokok cenderung lebih tinggi tersebut tidak hanya dalam bentuk penerimaan
dibandingkan dengan rumah tangga kaya. Artinya, dari pajak namun juga dalam bentuk penyerapan
peningkatan harga betul-betul akan mengurangi tenaga kerja. Kompleksitas masalah rokok yang
konsumsi rokok secara signifikan bagi rumah dibahas oleh para ahli seolah dapat membentuk
tangga miskin. Demikian halnya, elastisitas harga cabang baru dalam disiplin ilmu ekonomi, yakni
rokok relatif lebih tinggi bagi perokok remaja ekonomika tembakau (Marti, 2011). Kajiannya
dibandingkan dengan kelompok dewasa. Jika tidak hanya terbatas pada analisis biaya manfaat
ditilik dari perspektif lama, pengenaan cukai rokok secara ekonomi, namun juga rokok dalam
akan menyebabkan perokok menjadi worse-off. perspektif kesehatan, lingkungan dan juga aspek
Sebaliknya dari persepektif baru (cukai sebagai lainnya yang terkait.
pengendali), pengenaan cukai justru berimplikasi Organisasi paper ini tersusun sebagai
positif terhadap perokok. Untuk diskusi lebih berikut. Bagian pendahuluan berisi tentang latar
lanjut, dapat ditelusuri dalam artikel Grubel dan belakang penulisan dan dilanjutkan dengan telaah
Mullainathan (2002). teoritis serta riset terdahulu. Selanjutnya seksi
Para ahli juga secara khusus menelaah metodologi memuat model analisis permintaan
fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi untuk rokok dengan pendekatan myopic. Dalam bagian
sin commodity (O' Donoghue & Rabin, 2006; ini pula dibahas isu-isu terkait dengan estimasi
Lockwood & Taubinsky, 2015). Secara konsisten utama serta variasi teknik analisis untuk menjamin
hasil riset menunjukkan bahwa piranti cukai masih hasil yang robust. Setelah itu dalam bagian analisis
menjadi alat yang paling efektif untuk menahan dan pembahasan akan disampaikan hasil estimasi
laju konsumsi rokok (dan juga sin commodity serta simulasi efek kenaikan cukai terhadap
lainnya). Sungguhpun demikian, peran penegakan penerimaan negara. Paper ini akan ditutup dengan
hukum juga akan sangat membantu efektivitas seksi kesimpulan dan saran kebijakan.
kebijakan pembatasan konsumsi rokok. Dengan
menggunakan pendekatan eksperimentasi DATA DAN METODOLOGI
laboratorium, peneliti MD FEB UGM menemukan Para ahli telah mengusulkan beberapa
bukti empiris bahwa penindakan yang tepat akan model estimasi konsumsi rokok dari model
mengurangi secara optimal kasus kecurangan standar, model rasional adiktif dan model miopik
dalam penerapan pita cukai termasuk adanya adiktif (Hidayat & Thabrany, 2010). Berdasarkan
pemalsuan dan penghindaran cukai (MD FEB studi Hidayat dan Thabrany (2010), model miopik
100
Elastisitas Permintaan Produk Tembakau di Indonesia: Studi Konsumsi Rokok Lintas Rumah Tangga [Mohtar Rasyid]

ternyata lebih sesuai dengan kasus di Indonesia. berpotensi menghasilkan estimator yang bias.
Konstruksi model tersebut adalah: Pertama, variabel kebiasaan merokok yang
Cit = α + β1Cit-1 + β2Pcit + β3x'it + vi +εit (1) digunakan sebagai proksi untuk mengindikasikan
Fitur miopik dari model diatas akan adanya sifat miopik adiktif bersifat endogen.
ditentukan oleh koefisien β_1 yang melekat dengan Masalah endogenitas ini juga telah didiskusikan
variabel konsumsi pada periode sebelumnya secara panjang lebar oleh Hidayat dan Thabbrany
(Cit-1). Sementara itu, koefisien utama model diatas (2010). Kedua, terdapat faktor unobserved
adalah β2 yang secara teknis menggambarkan dalam level rumah tangga yang layak dicurigai
marjinal konsumsi akibat perubahan harga. mempengaruhi elastisitas permintaan rokok.
Dalam studi empiris, koefisien ini menunjukkan Individu dalam lingkungan rumah tangga yang
elastisitas harga jika variabel harga dan konsumsi relatif permisif terhadap rokok, relatif memiliki
yang digunakan dihitung dalam bentuk logaritma. gaya kebisaan merokok yang lebih lama. Untuk
Variabel kontrol yang digunakan terdiri dari mengatasi masalah endogenitas yang berpotensi
karakteristik responden seperti usia, jenis kelamin, bias, penelitian ini menggnakan pendekatan
status dalam rumah tangga serta status perkawinan. instrumental variables melalui regresi dua
Semua variabel kontrol ini diwakili oleh vektor x' tahap (2SLS). Kandidat variabel intrumen yang
dalam model (1) diatas. Selain faktor terobservasi, digunakan dalam penelitian ini adalah besarnya
model diatas juga mengakomodasi unobserved tarif cukai. Sebagai instrumen kebijakan, variabel
factor yang memiliki peran penting terhadap besarnya cukai secara konseptual adalah eksogen.
keputusan konsumsi, seperti preferensi konsumen. Selain itu, besarnya cukai tentu berhubungan
Model estimasi diatas dalam paper ini dengan kebiasaan merokok. Ditilik dari syarat
akan dimodifikasi dengan mempertimbangkan penggunaan variabel instrumen, instrumen cukai
beberapa faktor. Pertama, karakteristik kecanduan secara teori telah memenuhi syarat eksogenitas
(adiktif) dari merokok tidak hanya dapat dilihat dan syarat relevansi. Penjelasan yang lebih dalam
dari konsumsi rokok periode sebelumnya (apalagi mengenai syarat eksogenitas dan relevansi ini
periode sebelumnya ternyata relatif sangat jauh). dapat dilihat dalam Wooldridge (2009).
Beberapa alternatif variabel dapat digunakan Penggunaan instrumental variables untuk
seperti kebiasaan merokok per bungkus/hari mengestimasi model (2) secara teori memang dapat
dan intensitas merokok dalam periode tertentu. memperbaiki problem endogenitas di level individu.
Kajian Grubel (2003) secara jelas menyiratkan Akan tetapi, sebagaimana telah disinggung,
aspek kebisaan merokok ini dengan rinci. Kedua, masalah tidak hanya datang dari level individu.
kebiasaan merokok sangat besar kemungkinan Dalam level rumah tangga ditenggarai terdapat
diakibatkan oleh faktor keluarga atau rumah efek yang berpotensi mempengaruhi hubungan
tangga. Dalam istilah Zao et.al (2010) masalah merokok dengan variabel penjelas utama. Untuk
ini disebut sebagai parental effect. Mengingat mengisolasi pengaruh dalam level rumah tangga,
adanya pertimbangan tersebut, maka model (1) penelitian ini menggunakan pendekatan fixed effect
dimodifikasi dengan memasukkan variabel lain level rumah tangga. Pendekatan ini dilakukan
yang relevan serta unit analisis berjenjang: level dengan menyusun kembali semua variabel dalam
individu dan rumah tangga. bentuk deviasi terhadap rata-ratanya.
Cih = α + β1C̅ ih + β2Pcih + β3x'ih + vi + dh + εih (2) C̈ ih = β1C̈̅ ih + β2P̈ cih + β3ẍ'ih + ε̈ih (3)
Konstruksi model (2) diatas sesuai dengan Relevansi penggunaan berbagai metode
data dengan tipe silang tempat (cross-section). estimasi yang digunakan dalam paper ini akan
Sifat adiktif diwakili oleh variabel C̅ ih yang terkonfirmasi melalui hasil uji empiris. Secara
menunjukkan rata-rata kebiasaan merokok. Untuk teori, pengabaian terhadap masalah endogeneity
mengakomodasi parental effect, model diatas dalam kasus konsumsi rokok ini berpotensi
menambahkan unsur dh yang bernilai sama untuk mengakibatkan hasil estimasi yang undervalue.
responden dengan unit rumah tangga yang sama, Sebagai akibatnya, kesimpulan penelitian yang
namun bervariasi jika responden berasal dari diperoleh mengenai perilaku merokok bisa jadi
rumah tangga yang berbeda. tidak konsisten.
Aplikasi Ordinary Least Square (OLS) Data yang digunakan dalam penelitian
untuk mengestimasi model (1) atau model (2) ini adalah hasil Survei Aspek Kehidupan Rumah
101
JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 12 No. 1 ▪ FEBRUARI 2019

Tabel 1. Rangkuman Statistik Variabel Utama

Sumber: Kecuali data tentang cukai, semua data disarikan dari IFLS-5 (2014).

Tangga Indonesia (SAKERTI) atau lebih dikenal 2007 (IFLS-4) sudah terkumpul sebanyak 13.995
sebagai Indonesia Family Life Survey (IFLS). rumah tangga sampel. Untuk kasus kebiasaan
IFLS merupakan survei data panel rumah tangga merokok, IFLS menyediakan hasil survei dalam
yang dimulai sejak tahun 1993 (IFLS-1). Basis Buku 3B Seksi Kebiasaan Merokok. Saat ini, IFLS
sampel yang digunakan adalah rumah tangga telah dirilis untuk survei gelombang ke lima pada
pada tahun 1993 yang di interview kembali pada tahun 2014. Responden yang diwawancarai adalah
gelombang survei selanjutnya. Sampling dilakukan anggota rumah tangga usia 15 tahun ke atas. Pada
dengan strategi stratifikasi pada level provinsi IFLS-5 (2014) terdapat sekitar 34.000 responden
dilanjutkan dengan stratifikasi pada level kota usia dewasa, namun yang berhasil diwawancarai
atau desa. Dengan alasan efisiensi dan efektivitas, secara konsisten dalam seksi kebiasaan merokok
maka hanya 13 provinsi di Indonesia yang terpilih adalah sekitar 6.000 responden.
sebagai sampel. Sampel terdiri dari 4 provinsi Tabel 1 menyajikan rangkuman statistik
di Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, variabel utama dalam penelitian ini. Data penelitian
Sumatera Selatan dan Lampung), 5 provinsi di diambil dari Seksi Kebisaan Merokok (KM) dalam
Jawa (DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta Buku 3B IFLS wave ke 5 yang rilis pada tahun
dan Jawa Timur). Representasi sampel adalah 83 2014. Data mengenai cukai rokok tidak tersedia
persen populasi Indonesia. dalam survei IFLS namun diperoleh dari rilis Bea
Pada masing-masing provinsi tersebut, dan Cukai RI.
dipilih secara acak sejumlah Enumeration Area
(EA) menggunakan sample frame SUSENAS HASIL DAN PEMBAHASAN
1993. Rumah tangga sampel dalam SUSENAS Estimasi model konsumsi rokok dimulai
1993 mencakup sekitar 60.000 rumah tangga. dengan versi yang paling sederhana hingga
Dengan metode ini terpilih 321 EA dari 13 provinsi menambah beberapa variabel kontrol yang
terpilih. Untuk masing-masing EA dipilih secara relevan. Model sedernana menggunakan variabel
acak rumah tangga sampel yang menghasilkan utama dalam satuan level, sementara model
rumah tangga sebanyak 7.730 rumah tangga pengembangan menggunakan satuan pengukuran
sebagai sampel. Selanjutnya dari rumah tangga logaritma untuk memperoleh estimator elastisitas
terpilih, hanya 7.224 rumah tangga yang kemudian permintaan. Hasil estimasi model dasar dapat
benar-benar berhasil diwawancara. Sampel rumah diperhatikan dalam Tabel 2 sebagai berikut.
tangga ini diikuti hingga gelombang survei Kolom (1) dalam Tabel 2 menyajikan
berikutnya dan mengembang karena adanya rumah estimasi dasar model permintaan rokok
tangga baru yang memisahkan diri dari rumah memggunakan variabel jumlah permintaan dan
tangga awal (split household) sehingga pada survei tingkat harga masing-masing diukur dalam satuan
102
Elastisitas Permintaan Produk Tembakau di Indonesia: Studi Konsumsi Rokok Lintas Rumah Tangga [Mohtar Rasyid]

Tabel 2. Estimasi Model Utama

Robust standard errors in parentheses


*** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

level. Sesuai dugaan teori, tingkat harga memiliki dalam bentuk logaritma. Hasil estimasi penting
pengaruh negatif terhadap permintaan. Beberapa dapat diperhatikan dalam baris pertama yang
variabel penjelas disertakan dalam model dasar menunjukkan besarnya elastisitas permintaan.
ini seperti usia merokok pertama kali (agefirst), Kolom (2) Tabel 2 pada dasarnya
jumlah rata-rata merokok biasanya (day_bks) dan mereplikasi model estimasi dalam kolom (1)
intensitas merokok (intents). Kecuali faktor usia dengan modifikasi pengukuran konsumsi dan
awal merokok, semua variabel penjelas relatif harga. Sebelum melakukan interpretasi terhadap
signifikan dalam level konvensional (lima persen hasil estimasi tersebut, terlebih dahulu dapat dilihat
atau satu persen). performa model dalam kolom (2) dengan kolom
Estimasi model dasar memiliki keunggulan (1). Koefisien populer yang sering digunakan
interpretasi yang lebih langsung. Namun demikian, dalam analisis ekonometrika adalah R-squared.
hampir sebagian riset permintaan bertujuan untuk Model dasar dalam kolom (1) menunjukkan hasil
menemukan koefisien elastisitas permintaan. R-squared sebesar 5,6 persen, sementara untuk
Koefisien elastisitas permintaan dapat diperoleh kolom (2) adalah sebesar 22,1 persen. Secara jelas,
melalui model double log, yakni mengukur performa model dalam kolom (2) ditinjau dari
variabel utama (variable of interest) dengan satuan kualifikasi goodness of fit, relatif lebih unggul.
logaritma. Diskusi lebih rinci mengenai hal ini Untuk itulah maka dalam analisis selanjutnya,
dapat ditelusuri lebih jauh dalam Gujarati (2003). model logaritma ini akan digunakan sebagai acuan
Kolom (2) dalam Tabel 2 menyajikan hasil estimasi dasar bagi pengembangan model berikutnya. Nilai
permintaan rokok dengan variabel konsumsi -0,46 dapat diinterpretasikan bahwa jika terdapat
dan harga yang masing-masing telah dinyatakan keinaikan harga rokok sebesar 1 persen, maka
103
JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 12 No. 1 ▪ FEBRUARI 2019

Tabel 3. Estimasi Model OLS, 2SLS dan FIXED

Robust standard errors in parentheses


*** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

permintaan rokok akan turun sebesar -0,46 persen. kolom (3) memperlihatkan adanya tambahan
Hasil ini menyiratkan bahwa efek kenaikan harga variabel bebas antara lain usia responden (age);
rokok terhadap konsumsi rokok relatif inelastis. jenis kelamin (female); status dalam rumah
Jika dikomparasikan dengan riset Chaloupka tangga (head) dan status pernikahan (married).
et.al (2000) hasil ini terlihat bertentangan. Riset Kehadiran variabel tambahan dalam model ini
mengenai elastisitas permintaan rokok secara secara umum menyumbang beberapa perubahan
umum banyak menemukan bahwa elastisitas terhadap performa model. Pertama, meskipun
permintaan rokok di negara berkembang relatif relatif kecil, terjadi penambahan dalam koefisien
lebih sensitif terhadap perubahan harga (dengan R-square. Kedua, ini yang lebih penting, terjadi
elastisitas permintaan diatas 0,5 hingga 1). perubahan dalam koefisien elastisitas permintaan
Hasil estimasi elastisitas permintaan rokok dari -0,46 menjadi -0,47. Betapapun relatif
rokok sebagaimana disajikan dalam kolom (2) kecilnya tambahan magnitute dari koefisien
Tabel 2 tentu bukanlah hasil final. Hasil tersebut elastistitas pasca tambahan variabel, hasil ini tetap
diperoleh tanpa mengontrol lebih dalam terhadap menyiratkan bahwa dengan penambahan variabel
adanya pengaruh faktor lain yang relevan. Faktor kontrol yang relevan, efek bersih dari koefisien
lain yang relevan dapat berasal dari aspek yang penjelas terhadap variabel terikat menjadi lebih
dapat diobservasi dan aspek atau faktor yang tidak presisi.
terobservasi. Faktor-faktor terobservasi dapat Selain memperbaiki performa estimasi
langsung disertakan dalam model. Sebagaimana model, penambahan variabel baru menghasilkan
telah dibahas dalam bagian model analisis, faktor beberapa temuan yang cukup menarik. Pertama,
penting yang menjadi penentu konsumsi rokok faktor umur ternyata berpengaruh negatif terhadap
adalah karakteristik responden. Tabel 2 dalam konsumsi rokok. Semakin tua usia responden maka
104
Elastisitas Permintaan Produk Tembakau di Indonesia: Studi Konsumsi Rokok Lintas Rumah Tangga [Mohtar Rasyid]

Tabel 4. Estimasi Model Permintan Rokok Asimetri

Robust standard errors in parentheses


*** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
semakin jarang konsumsi rokok yang lakukan. kepala rumah tangga. Keempat, ini juga menarik
Temuan ini tentu cukup relevan jika dikaitkan untuk diperhatikan, merokok lebih sedikit dilakukan
dengan fakta bahwa efek rokok terhadap konsumen oleh responden yang sudah menikah. Temuan ini
biasanya terjadi dalam jangka panjang. Begitu bisa jadi diterima oleh karena kebiasaan merokok
gejala kesehatan muncul, maka nasehat dokter kerap “diminta” untuk dikurangi setelah menikah
manapun terhadap perokok akan sama: hentikan jika pasangan hidup tidak merasa nyaman dengan
merokok atau, jika belum bisa, kurangilah! Kedua, asap rokok. Apapun itu bentuknya, penambahan
faktor jenis kelamin juga mempengaruhi kebiasaan variabel karakteristik responden sedikit banyak
merokok. Hasil investigasi empiris menunjukkan mempengaruhi performa model.
bahwa perokok perempuan lebih banyak merokok Memasukkan semua variabel kontrol
dibandingkan dengan perokok laki-laki. Temuan yang relevan dalam model harus dilakukan untuk
ini menarik karena hampir semua studi laporan menghindari bias akibat pengabaian variabel
tentang prevalensi merokok, perokok perempuan penting (ommited variables). Dalam banyak kasus,
relatif lebih sedikit. Investigasi terhadap kasus ini variabel penting tersebut justru bersifat tak dapat
tentu sangat menarik namun berada di luar pokok diobservasi secara langsung. Variabel un-observed
bahasan paper ini. Ketiga, merokok lebih banyak ini dalam model estimasi (2) diwakli oleh unsur
dilakukan oleh kepala rumah tangga dibandingkan vi dan dh. Masing-masing subsrcipt i dan h
dengan anggota rumah tangga yang lain. Dalam menunjukkan asal faktor un-observed tersebut,
kultur budaya Indonesia, kepala rumah tangga masing-masing dalam level individu atau rumah
memang relatif lebih mudah menjadi perokok tangga.
aktif dibandingkan yang lain karena fungsi kontrol Untuk melihat dampak kontrol terhadap
terhadap rumah tangga biasanya dipegang oleh faktor un-observed, penelitian ini melakukan
105
JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN Vol. 12 No. 1 ▪ FEBRUARI 2019

estimasi ulang dengan beberapa pendekatan yang tipe rokok. Hasil estimasi menunjukkan bahwa
berbeda. Pertama, melakukan teknik 2SLS untuk terdapat perbedaan rata-rata konsumsi rokok yang
mengontrol endogeneity dalam level individu. signifikan antar tipe rokok. Selanjutnya kolom (3)
Kedua, melakukan kombinasi teknik 2SLS dengan menyajikan hasil estimasi elastisitas permintaan
FIXED effect untuk mengontrol un-observed factor rokok dengan menambahkan variabel interaksi
secara simultan baik untuk level individu maupun antara tingkat harga dengan tipe rokok. Teknik ini
rumah tangga. Hasil estimasi beberapa pendekatan dilakukan untuk menangkap adanya kemungkinan
yang berbeda tersebut dapat diperhatikan secara perbedaan elasisitas pemintaan rokok untuk tipe
lebih seksama dalam Tabel 3. Kolom (1) Tabel 3 yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan
menyajikan hasil olah estimasi OLS; kolom (2) bahwa terdapat perbedaan signifikan elasititas
estimasi 2SLS dan kolom (3) FIXED effect. permintaan rokok untuk jenis rokok yang berbeda.
Kolom (1) Tabel 3 mereplikasi ulang Singkatnya, respon konsumen terhadap perubahan
estimasi dalam Tabel 2 pada kolom (3). Dengan harga sangat ditentukan oleh tipe rokok yang
menggunakan pendekatan OLS, elastisitas dikonsumsi. Dengan kata lain, respon permintaan
permintaan rokok tercatat sebesar -0,47. rokok terhadap perubahan harga relatif bersifat
Selanjutnya dalam kolom (2) di Tabel 3, disajikan asimetris.
hasil estimasi menggunakan pendekatan 2SLS
dengan instrumental variabel besarnya cukai. KESIMPULAN DAN SARAN
Elastisitas permintaan rokok tetap negatif, namun Beberapa hasil kajian penting ditemukan
dengan besaran yang lebih besar, yakni sebesar dalam riset ini. Pertama, konsumsi rokok di
-0,58. Selanjutnya dalam kolom (3) disajikan hasil Indonesia masih relatif elastis terhadap perubahan
estimasi 2SLS dengan kombinasi FIXED effect harga. Dengan melakukan kontrol yang tepat,
pada level rumah tangga. Hasil estimasi koefisien maka elastisitas konsumsi rokok berkisar berkisar
elastisitasnya menjadi lebih tinggi secara absolut, antara -0,4 hingga -0,7. Hasil ini mempertegas
yakni sebesar -0,78. Hasil estimasi ini menegaskan sinyalemen bahwa ruang bagi pemerintah untuk
bahwa dengan melakukan kontrol terhadap semua membatasi konsumsi rokok melalui mekanisme
faktor yang secara teori dianggap relevan, maka harga masih terbuka lebar. Penggunaan tarif
estimasi elasisitas permintan terhadap produk cukai yang tepat akan berpotesi menahan tingkat
rokok di Indonesia semakin mendekati estimasi prevalensi merokok di Indonesia yang masih
dari kajian sebelumnya di negara berkembang lain, sangat besar. Kedua, elastisitas rokok terhadap
yakni sekitar -0,5 sampai -1. harga ternyata tidak seragam atau asimetris. Riset
Sejauh ini estimasi pengukuran elastisitas dalam paper ini menemukan bukti bahwa untuk
mengasumsikan bahwa respon konsumen rokok dengan tipe kretek filter, relatif lebih inelastik
terhadap semua jenis rokok akan seragam. Dalam dibandingkan dengan rokok kretek non-mesin.
kenyataannya, terdapat beberapa tipe rokok yang Hasil simulasi secara jelas menunjukkan bahwa
beredar dipasaran. Di Indonesia terdapat beberapa respon asimetris permintaan rokok terhadap cukai
jenis rokok seperti Rokok Kretek, Rokok Filter memiliki implikasi berupa masih relatif tingginya
dan Rokok Putih. Berbagai tipe rokok tersebut penerimaan negara meskipun tarif cukai dinaikkan
memiliki pangsa pasar yang berbeda-beda sesuai cukup besar.
dengan selera masing-masing konsumen. Rokok Saran kebijakan yang direkomendasikan
kretek, lebih banyak diminati oleh perokok usia adalah penggunaan mekanisme cukai sebagai
lanjut dan dari kalangan masyarakat dengan pengendali konsumsi rokok masih dapat
kemampuan ekonomi menengah kebawah. Pangsa dilaksanakan dengan memperhatikan tipe dan
terbesar konsumen rokok di Indonesia adalah jenis golongan. Dengan kata lain, perubahan
Rokok Filter dan Rokok Putih (rokok impor). tarif cukai tidak bisa dilakukan secara seragam
Tabel 4 menyajikan estimasi elastisitas karena baik struktur produksi maupun konsumsi
permintaan rokok dengan memasukkan jenis rokok memiliki tipe yang khas. Rokok dengan
rokok yang berbeda. Kolom (1) menyajikan karakteristik permintaan yang relatif inelastik
estimasi dasar sebagaimana telah dihitung dalam (seperti rokok filter dan rokok putih) dapat lebih
tabel sebelumnya. Kolom (2) menyajikan hasil diprioritaskan untuk dinaikkan tarif cukainya.
estimasi elastisitas dengan menambahkan dummy Sebaliknya, rokok dengan karakter permintaan
106
Elastisitas Permintaan Produk Tembakau di Indonesia: Studi Konsumsi Rokok Lintas Rumah Tangga [Mohtar Rasyid]

yang elastis (rokok kretek) tidak perlu diterapkan MD FEB UGM. (2015). Survei Pita Cukai Rokok
kenaikan tarif yang sangat besar. Riset ini masih di Kawasan FTZ dan Sekitarnya.
bersifat permulaan dan belum mengekspose model Yogyakarta: Program Magister Sains dan
permintaan alternatif secara lebih komprehensif. Doktor FEB UGM.
Diharapkan, riset lanjutan akan memenuhi tuntutan
pengembangan penelitian ini di masa yang akan O' Donoghue, T., & Rabin, M. (2006). Optimal Sin
datang. Taxes. Journal of Public Economics ,
1825-1849.
DAFTAR REFERENSI
Chaloupka, F. J., Hu, T., Warner, K., Jakob, R., PSEKP UGM. (2014). Survei Cukai Rokok
& Yurekli, A. (2000). The Taxation of Nasional 2014. Yogyakarta: Pusat Studi
Tobacco Product. In F. Chaloupka, Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas
Tobacco Control in Developing Countries Gadjah Mada.
(pp. 237-272). New York: Oxford
University Press. Scollo, M., & Winstanley, M. (2012). Tobacco
in Australia: Facts and Issues 4 Edition.
Ekpu, V., Brown, & K., A. (2015). The Economic Melbourne: Cancer Council Victoria.
Impact of Smooking and Reducing
Smoking Prevalence: Review of Evidence. SEATCA. (2014). ASEAN Tobacco Tax Report
Tobacco Use Insight , 1-35. Card: Excecutive Summary. Bangkok:
South East Asia Tobacco Control Alliance.
Gruber, J. (2003). Smoking's Internalities.
Regulation , 52-57. Wooldridge, J. M. (2009). Introductory
Econometrics, A Modern Approch.
Gruber, J., & Mullainathan, S. (2002). Do Cengage Learning.
Cigarette Taxes Make Smokers Happier?
Cambridge: National Bureau of Economic Zhao, M., Konishi, Y., & Glewwe, P. (2010).
Research. Does Smoking Make One Dumber?
Evidence from Teenagers in Rural
Gujarati, D. N. (2003). Basic Econometrics. Fourth China. University of Pennsylvania.
Edition. New York: McGraw Hill.

Hidayat, B., & Thabrany, H. (2010). Cigarette


Smoking in Indonesia: Examination of
Myopic Model of Addictive Behaviour.
International Journal of Environmental
Research and Public Health , 2473-2485.

ITIC. (2013). Asia-11 Illicit Tobacco Indicator


2012. Washington DC: International Tax
and Ivenstment Center.

Lockwood, B., & Taubinsky, D. (2015). Regressive


Sin Taxes. Harvard University.

Marti, J. (2011). Three Essay on The Economics of


Smooking. University of Neuchatel.

MD FEB UGM. (2016). Optimalization of Excise


Revenue in Indonesia. Yogyakarta: Program
Magister Sains dan Doktor FEB UGM.
107

Anda mungkin juga menyukai