Anda di halaman 1dari 10

A.

Persyaratan Sistem Evaluasi Kinerja


1. Relevansi
System evaluasi kinerja harus relevan atinya harus ada hubungannya dengan sejumlah
factor organisasi.
 Evaluasi kinerja harus ada hubungannya dengan strategi dan tujuan organisasi.
Evaluasi kinerja dikembangkan sebagai alat manajemen kinerja para pegawai agar
organisasi mampu merealisasikan strateginya. Jika strategi organisasi berubah, maka
evaluasi kinerja organisasi harus dikembangkan dan menyesuaikan diri dengan
perubahan strategi organisasi.
 Standar kinerja harus ada relevansinya dengan pencapaian strategi organisasi.
Indikator kinerja dan standar kinerja karyawan harus ada relevansinya dengan
pekerjaaan awal.
2. Reliabilitas
Reliabilitas yaitunkonsistensi penilaian dari system evaluasi kinerja. Sistem evaluasi kinerja
disebut realibel atau dapat dipercaya jika seorang karyawan dinilai oleh dua orang penilai
independent mempunyai nilai yang sama atau tidak terlalu berbeda.
3. Sensitivitas
Evaluasi kinerja harus sensitife artinya dapat membedakan kinerja sangat baik, baik, sedang,
buruk dan sangat buruk. Jika tidak maka evaluasi kinerja tidak sensitive sehingga seperti
ejekan orang awam “ nilai pegawai negeri pinter atau bodo dan rajin atau malas adalah
sama“
4. Akseptabilitas
Sistem evaluasi kinerja harus akseptabel, artinya dapat diterima oleh mereka yang berkaitan
dengan evaluasi kinerja. Mereka yang berhubungan dengan evaluasi kinerja pertama adalah
organisasi atau perusahaan yang membuat system evaluasi kinerja tersebut.
5. Pratikal
Sistem evaluasi kinerja harus praktis artinya mudah dipahami dan dapat dilaksanakan oleh
para manajer dengan sangat mudah. Jika tidak praktis akan terjadi penolakan dari para
manajer atau para karyawan. Praktis tidaknya system evaluasi kinerja ditentukan oleh
kriteria berikut :
 Sederhana, tidak rumit dan mudah dipahami oleh semua pegawai baik yang terdidik
maupun tidak terdidik.
 Tidak memerlukan waktu banyak
 Tidak beresiko tinggi yaitu tidak menimbulkan konflik antara penilai dan ternilai
6. Tidak melanggar undang-undang
Di negara – negara maju maupun Indonesia tidak ada undang-undang khusus yang
mengatur evaluasi kinerja. Akan tetapi jika organisasi memilih untuk menyusun dan
melaksanakan evaluasi kinerja, evaluasi tersebut harus tidak bertentangan dengan undang-
undang yang ada. Misalnya Pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
Peter Allan (1994) mengemukakan tiga belas persyaratan agar system evaluasi kinerja dapat
efektif yaitu :
 Sistem evaluasi kinerja harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari organisasi
 Faktor-faktor penilaian harus subyektif dan sekongkret mungkin
 Evaluasi kinerja harus bebas dari bias
 Prosedur dan administrasi evaluasi kinerja harus seragam
 Sistem evaluasi kinerja harus mudah di operasikan
 Hasil system evaluasi kinerja harus dipakai untuk mengambil keputusan
 Sistem evaluasi kinerja harus menyediakan suatu telah atau proses naik banding
 Sistem harus dapat diterima oleh para pemakai
 Sistem evaluasi kinerja harus dapat dioperasikan secara ekonomis
 Penilaian kinerja harus di dokumentasikan
 Penilai harus terlatih dan mempunyai kualifikasi untuk melakukan evaluasi kinerja
 Sistem evaluasi kinerja harus menyediakan cara memonitor dan mengevaluasi
pelaksanaanya
Manajemen puncak harus mendukung system evaluasi kinerja dengan jelas

B. Subjektivitas Dan Etika Kinerja

1. Subjektivitas dan Kesalahan Evaluasi Kinerja

Evaluasi kinerja harus dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu penelitian.


Penelitian dilakukan berdasarkan data kinerja ternilaiyang sesungguhnya diobservasi oleh
penilai sepanjang masa penilaian. Data tersebut juga harus dikumpulkan dengan
menggunakan metode ilmiah: melakukan observasi kinerja, serta menggunakan instrumen
dan dokumentasi data kinerja. Akan tetapi, dalam praktiknya, penilai adalah manusia dan
ternialai juga manusia dan evaluasi kinerja dilaksanakan dilingkunganyang mengndung
faktor-faktor yang tidak dikehendaki dalam penilaian (extraneus factors). Faktor-faktor yang
tidak dikehandaki tersebut antara lain: hubungan antara penilai dan ternilai, prejudis,
subjektivitas penilai, hubungan baik atau buruk, dan keadaan ketika evaluasi kinerja
dilakukan. Penilai memberi tanpa mempertimbangkan bahwa kinerjanya tinggi. Berikut ini
adalah jenis eror atau kesalahan evaluasi kinerja:
a. Leniency error
Leniency error atau kesalahan lembek adalah kesalahan dimana penilai memberikan
nilai lebih daripada seharusnya. Penilai memberi nilai lebih tinggi dari yang seharusnya
jika evaluasi kinerja dilaksanakan secara objektif. Penilaian lembek akan membebani
keuangan perusahaan karena makin banyak kayawan yang mendapatkan kenaikan gaji
dan pangkat. Implikasinya, akan terjadi kenaikan biY SDM. Jika kesalahan ini terjadi pada
perusahaan padat karya, perusahaan dapat mengalami kerugian terus-menerus.
b. Severity error
Severity error atau kesalahan keras teradi jika penilai mengevaluasi karyawan dan
memberi nilai lebih rendah dari yang seharusnya. Penilai memberikan nilai lebih rendah
dari yang seharusnya jika dibandingkan dengan penilaian yang dilakukan secara objektif.
Severity error merugikan karyawan dan menguntugkan perusahaan. Akibatnya, makin
sedikit karyawan yang mendapatkan kenaikan pangkat dan gaji sehingga akan
menimbulkan keresahan atau greviance diantara para karyawan.

c. Central tendency error


Central tendency atau kesalahan titik tengah terjadi karena penilai memberi nili
sebagian terbesar ternilai dengn nilai rata-rata. Penilai menilai ternilai dengan nilai
mendekati titik tengah atau rata-rata. Jika kesalahan ini terjadi, pegawai yang kinerjanya
baik dirugikan karena mendapat nilai rat-rata. Sedangkan pegawai dengan kinerjanya
rendah merasa diuntungkan.
d. Hallo error
Halo error, horn effect, atau kesalahan halo terjadi jika penilai memberika nilai yang
sama dari sejumlah indikator kinerja. Penilai memberikan nilai berdasarkan persepsi
umumnya mengenai ternilai, bukan berdasarkan persepsi umumnya mengenai ternilai
buka berdasarkan penilaian di setiap indikator kinerjanya. Hallo error menimbulkan
masalah bagi perusahaan dan pegawai yang dinilai. Jika hallo error menyebabkan
seorang pegawi yang mendapatkan nilai baik disemua indikator kinerjanya, ia menjadi
individu yang sempurna atau pegawai super. Penilaian ini merugikan perusahaan karena
hasil evaluasi kinerja tidak mencerminkan kualitas pegawai sesungguhnya yang sangat
diperlukan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan.
e. High potential error
High potential error atau kesalahan potensi tinggi, yaitu kesalahan yang mengacaukan
potensial ternilai di masa mendatang dengan kinerja ternilai sekarang. Peruahaan yang
merekrut dan memilihnya untuk masuk dalam pencarian bakat baru dalam proram
pelatihan.
f. Similar-to-me error
Similar-totme error atau kesalahan sama dengan saya, yaitu penilai menilai ternilai –
perilaku, sikap, kebiasaan, dan sebagainya – seperti atau mirip penilai, lebih tinggi
daripada ternialai lainnya. Kesalahan ini terjadi karena penilai menggunakan dirinya
sebagai standar kinerja, bukan menggunakan standar kinerja karyawan.

g. Stereotyping error
Stereotyping error atau kesalahan stereotip, yaitu kecendurungan perilaku
menggeneralisasikelompok tertentu dan mengabaikan perbedaaan individual. Kesalahan
ini terjadi karena penilai menggunakan dirinya sebagai standar kinerja karyawan.
h. Regency error
Dalam regency error atau kesalahan baru-baru ini, penilai memberikan nilai berdasarkan
kinerja ternilai akhir-akhir ini-satu atau dua bulan terkahir sebelum penilaian dengan
mengabaikan kinerja ternilai sepanjang bulan-bulan sebelumnya. Jika kinerja ternialai
akhir-akhir ini baik, penilai akan memberi nilai baik. Jika ternialai buruk, penilai akan
meberikan nilai buruk.
i. Spillover effect
Spillover effect atau efek tumpah adalah nilai evaluasi masa lalu yang digunakan untuk
menilai evaluasi kinerja yang sedang dilakukan walaupun kinerja ternilai sudah berubah.
Jika nilai evaluasi terdahulu buruk, maka nilai sekarang juga buruk. Jika nilai terdahulu
baik, nilai sekarang juga baik.
j. Contrast effect
Contrast efect atau efek kontrasi adalah kecenderungan penilai untuk mebandingkan
ternialai dengan pegawai lainnya (pembanding), bukan membandingkan kinerja ternialai
dengan standar kinerjanya. Pegawai yang dijadikan pembanding oleh penilai umumnya
adalah pegawai yang kinerjanya minimal, baik atau dianggapnya baik. Jika perbandingan
dilakukan berdasarkan penilaian kinerja masih ada manfaatnya. Evaluasi kinerja yang
mengandung contrast effect akan mendapat tantangan dari para pegawai yang
dirugikan.

2. Penyebab Kesalahan atau Error


Evaluasi kinerja yang akurat akan merefleksikan tingkat kinerja pegawai sesungguhnya.
Keputusan manajemen yang berdasarkan hasil evaluasi kinerja yang akurat akan
menguntungkan organisasi dan para pegawai begitu pula sebaliknya. Kesalahan dalam
evaluasi kinerja disebabkan oleh beberapa factor berikut :
Penyebab Kesalahan
Jenis Kesalahan Pertimbangan Informasi T idak Hati Nurani/Pribadi
Prosedur Standar Kinerja Ingatan T idak Baik
Politik Organisasi Lengkap Penilai
Leniency X X X X
Severity X X X X
Central T edency X X X X
Halo Error X X
Recency X X X X X
Similar to me error X X

Leniency eror dan severity eror terjadi jika formulasi standar kinerja dan performance level
descriptor tidak didefinisikan dengan baik. Kesalahan tersebut juga disebabkan evaluasi
kinerja dilaksankan melalui prosedur pengumpulan data , penilaian dan kesimpulan yang
berpusat pada penilai. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa organisasi tidak mencegah
penilai menaikkan atau menurunkan dari nilai yang seharusnya. Dalam leniency eror penilai
dapat terjadi penilaian secara subjektif yang disebabkan perasaan penilai terhadap ternilai
sehingga mempengaruhi hasil penilaiannya.
Severity eror mencermikan bahwa penilai tidak menyukai ternilai mungkin karena bias atau
prejudis ras, suku, jenis kelamin, agama, atau personal bias. Kesalahan ini juga bias terjadi
karena penilai menerapkan standar yang tinggi kepada setiap pegawai, hal ini juga bias
disebabkan karena perusahaan ingin menahan promosi karena masalah keuangan.
Centran tendency eror dapat terjadi karena prosedur administrasi penilaian. Hal ini dapat
terjadi jika prosedur mensyaratkan penilai untuk menyiapkan administrasi secara terperinci
apabila ingin memberikan nilai baik atau sangat baik.
Halo eror terjadi karena impresi penilai terhadap seseorang ternilai didasarkan pada
karakteristik tertentu misalnya kesopanan, kecerdasan, atau kecantikan bukan standar
kinerja pegawai.
Evaluasi kinerja harus dilakukan dalam kerangka waktu tertentu . Jika penilai tidak
melakukan observasi dan mendokumentasikan kinerja ternilai, ia akan lupa dan tidak
mengingat indicator kinerja ternilai sepanjang periode penilaian. Kegagalan dalam
mengingat ini disebut dengan memory decay atau kerusakan ingatan.
Similar to me error terjadi karena standar kinerja pegawai tidak dapat diukur. Standar
kinerja dapat ditafsirkan sekehendak penilai. Akibatnya penilai mengukur kinerja ternilai
tidak berdasarkan standar kinerja akan tetapi membandingkan dengan dirinya sendiri. Jika
penilai perfeksionis maka akan jarang yang mendapatkan penilaian baik.
Kesalahan atau tidak objektifnya penilai dalam memberi nilai evaluasi kinerja dapat terjadi
secara sengaja maupun tidak disengaja.
A. Kesalahan yang tidak disengaja
1. Penilai tidak atau kurang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk
melakukan evaluasi kinerja
2. Cognitive information processing (CIP). Menurut teori CIP (Fisher , Schoenfeldt dan
Shaw, 1990) evaluasi kinerja merupakan tugas ingatan yang kompleks. Dalam
pelaksanaan evaluasi kinerja penilai harus melakukan hal – hal berikut ini :
a) Memperoleh informasi mengenai kinerja seorang pegawai ternilai yang terjadi
dalam waktu tertentu, jenis, kuantitas, dan kualitas informasi tersebut sangat
banyak.
b) Mengodekan dan menyimpan informasi dalam ingatan penilai
c) Menemukan kembali informasi tersebut dikemudian hari ketika diminta untuk
menilai kinerja pegawai.
d) Membobot dan mengkombinasikan informasi dalam penilaian kinerja
menyeluruh.
Informasi tentang kinerja karyawan sangat banyak karena indikatornya banyak.
Disamping itu penilai juga harus menyimpan informasi tentang jumlah stafnya. Penilai
hanya mampu mempelajari dan mengingat jumlah informasi tentang kinerja pegawai
yanga sangat terbatas. Penilaian menunjukkan bahwa mereka menggunakan berbagai
metode untuk memadatkan informasi yang mereka terima. Keadaan ini menyebabkan
penilai dapat melakukan kesalahan dalam memproses dan menilai evaluasi kinerja.
Salah satu jalan pintas kognitif yang dipakai penilai dalam memproses informasi
mengenai ternilai adalah dengan menggunakan skema – skema. Skema – skema adalah
kategori yang dipakai seseorang untuk mengorganisasikan informasi dan
mengklasifikasikan seseorang, yang mana setiap skema berhubungan dengan satu set
sifat yang disebut prototipe. Prototipe melukiskan karakteristik esensial yang diperlukan
untuk diklasifikasikan ke dalam skema tersebut. Prototipe supervisor mengenai pekerja
baik adalah tidak pernah absen , dapat menulis dengan baik, menyelesaikan proyek
tepat waktu dan dapat berhubungan baik dengan rekan kerjanya.
Ketika menilai kinerja seorang karyawan, supervisor akan menentukan pada skema yang
mana karyawan ditempatkan. Supervisor akan memanggil semua informasi mengenai
karyawan termasuk prototipe skema. Seorang karyawan yang mempunyai nilai tinggi
pada kehadiran kerja akan juga memiliki nilai positif pada semua aspek kinerja walaupun
kinerjanya tidak baik dalam bidang itu. Seorang karyawan yang dikategorikan sebagai
pekerja buruk juga dapat dinilai rendah pada semua kriteria walaupun supervisor
mungkin tidak mengobservasi kinerja buruk dalam sejumlah dimensi.
Menurut penilaian Angelo S. Denisi dan Lawrence H. Peters (1960) salah satu cara untuk
menghindari kesalahan penilai mengenai penyimpanan dan penemuan kembali
informasi ternilai adalah dengan menggunakan catatan harian. Penilai dengan membuat
catatan harian akan jarang membuat kesalahan penilaian daripada penilai yang tidak
membuat catatan harian.

B. Kesalahan yang disengaja


Penilai dengan sengaja tidak berlaku objectif atau melakukan kesalahan dalam evaluasi
kinerjanya. Tindakan penilai ini dilakukan dalam kaitannya dengan politik organisasi
dalam melaksanakan penilaiannya. Penilai menaikkan atau menurunkan nilai tertinggi
dengan sengaja dalam rangka memanejemeni kinerja ternilai. Berikut ini alasan penilai
menaikkan nilai tertinggi secara sengaja :
1. Meningkatkan kemungkinan kenaikan gaji ternilai rendah.
2. Mendorong pegawai yang kinerjanya menurun karena menghadapi problem
personal atau problem yang terjadi dalam lingkungan kehidupan pribadinya.
3. Penilai menghindari konfrontasi dengan ternilai.
4. Menghadiahkan ternilai karena berupaya secara maksimal untuk meningkatkan
kinerjanya walaupun kinerjanya masih berada dibawah standar.
5. Memindahkan pegawai yang tidak disukai keunit lainnya.
Penilai juga sering menurunkan nilai ternilai dengan sengaja. Berikut ini tujuan
menurunkan nilai ternilai :
1. Memberikan shock therapy agar ternilai kembali memacu kinerjanya sesuai dengan
standar kinerjanya.
2. Seyiap organisasi memiliki karyawan yang menjadi biang kerok , pemberontak, tau
sulit dikendalikan karena bertindak semuanya dan sulit diatur. Untuk memberikan
pelajaran kepada pegawai tersebut , nilai evaluasi kinerjanya diberi nilai yang rendah
untuk menunjukkan siapa yang berkuasa diorganisasi.
3. Membangun dokumentasi kuat tertulis untuk memberhentikan pegawai.
Menurut Dick Grote (2002) salah satu cara meminimalkan terjadi kesalahan dalam
evaluasi kinerja adalah penilai membahas kinerja ternilai dengan atasan penilai
sebelum memberikan nilai akhir terhadap ternilai. Menurut Grote cara ini dapat
mengurangi kesalahan yang dilakukan penilai. Atasan penilai dan penilai mungkin
akan mengoreksi dan memberi saran terhadap kinerja ternilai. Atasan penilai dapat
memperluas cakupan organisasional evaluasi kinerja dengan membandingkan
kinerja karyawan disuatu unit kerja dengan kinerja karyawan di unit lainnya.

3. Etika Evaluasi Kinerja


Evaluasi kinerja harusnya dilakukan secara objektif sesuai dengan teori dalam ilmu evaluasi
kinerja. Ketidakobjektifan melaksanakan evaluasi kinerja akan menimbulkan masalah
hubungan industrial. Evaluasi kinerja tidak boleh dilaksanakan berdasarkan kesukaan atau
ketidaksukaan penilai terhadap ternilai. Oleh karena itu dalam penilaian evaluasi kierja perlu
memperhatikan norma – norma etika sebagai berikut :
1. Keadilan. Setiap pegawai harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam evaluasi
inerja. Keadilan atau justice dalam evaluasi kinerja dapat dikelompokkan sebagai berikut
:
a) Keadilan procedural adalah keadilan mengenai prosedur yang digunakan dalam
proses evaluasi kinerja.
b) Keadilan distributive (distributive justice) adalah keadilan atas hasil evaluasi kinerja.
c) Keadilan interaksional adalah keadilan interaksi interpersonal dalam proses evaluasi
kerja.
2. Persamaan. Penilai dan ternilai harus mempunyai rasa persamaan. Dalam posisi
apapun , pegawai harus berupaya menilai dan berbicara dengan bebas, tidak dibatasi
oleh rasa takut atau segan.
3. Diskriminasi . Undang – undang ketenagakerjaan diseluruh dunia melarang diskriminasi .
Pemerintah dan perusahaan dilarang melakukan diskriminasi atas dasar ras, suku
bangsa, umur, agama, dan jenis kelamin.
4. Terbuka. Penilai dan ternilai harus saling terbuka dalam proses dan hasil penilaian.
Ternilai harus mengetahui standar kinerja, proses evaluasi kinerja, serta tujuan
organisasi melaksanakan evaluasi kinerja.
5. Rahasia. Evaluasi kinerja harus dilaksanakan secara rahasia. Prosesnya harus dilakukan
secara rahasia dan hasilnya hanya dapat diketahui oleh penilai dan ternilai, pegawai
lainnya tidak boleh mengetahui.
6. Kebohongan. Evaluasi kinerja harus bebas dari kebohongan. Kebohongan dalam evaluasi
kinerja dapat terjadi. alasan melakukan kebohongan dalam evaluasi kinerja, antara lain :
a. menghemat biaya tenaga kerja ketika memberikan kenaikan upah;
b. membalas dendam pada para karyawan;
c. menghindari pembalasan dendam ternilai;
d. menghalangi karyawan berkualitas untuk mendapatkan promosi;
e. mendorong para karyawan untuk meningkatkan kinerja mereka;
f. membangun kasus pendisiplinan dan pemutusan hubungan kerja terhadap seorang
karyawan;
g. mematuhi perintah supervisor;
h. menghindari pemecatan;
i. menghindari membuat penilaian;
j. mempromosikan atau memindahkan karyawan jelek.
Dalam evaluasi kinerja, penilai dapat berbohong sepanjang proses evaluasi kinerja, yaitu
ketika mengobservasi kinerja, mendokumentasi kinerja, mengisi instrumen, den ketika
wawancara evaluast kinerja dilakukan. Kebohongan dalam evaluasi kinerja dapat terjadi
karena hal-hal berikut ini :
1. Analisis pekerjaan (job analysis) yang tidak efektif, Hasil analisis pekerjaan merupakan
dasar penyusunan job description, indikator kinerja, dan standar kinerja evaluasi kinerja.
2. Proses observasi dan pendokumentasian kinerja buruk, Salah satu masalah dalam
evaluasi kinerja adalah penilai tidak mengobservasi kinerja karyawan sepanjang masa
evaluasi kinerja, tetapi hanya sebagian dari masa tersebut.
3. Instrumen evaluasi kinerja buruk, instrumen evaluasi kinerja mungkin tidak
berhubungan dengan pekerjaan dan kinerjanya, atau tidak disusun berdasarkan job
analysis yang valid dan reliabel
4. Kerahasiaan evaluasi kinerja, Penilai mengevaluasi kinerja seorang pegawai dengan
tepat sesuai dengan ketentuan sistem evaluasi kinerja dan memberitahukannya hanya
kepada ternilai.
5. Penundaan walau evaluasi kinerja. Penilai dapat menunda waktu penilaian kinerja
sehingga merugikan temilai. Misalnya, evaluasi kinerja yang dilakukan melewati waktu
pemberian bonus . Jadi, temilai tidak mendapatkan bonus walaupun hasil penilaian baik.
Kebohongan dalam evaluasi kinerja hares dicegah oleh manajemen, penilai, dan ternilai.
Evaluasi kinerja yang mengandung kebohongan tidak hanya merugikan karyawan, tetapi
juga organisasi secara keseluruhan. Berikut ini sejumlah upaya untuk menghilangkan
kebohongan dalam evaluasi kinerja :
a. Dukungan dan kebijakan manajemen, Manajemen mengevaluasi perilaku etika pars
penilai dengan mengomunikasikan kebijakan organisasi mengenai sistem evaluasi
kinerja dan kodeetik organisasi.
b. Evaluasi sistem evaluasi kinerja secara periodik, Sistem evaluasi kinerja hares disusun
berdasarkan job analysis yang valid dan reliabel.
c. Peraturan evaluasi kinerja, Evaluasi kinerja dalam suatu organisasi harus diatur oleh
peraturan organisasi.
d. Pelatihan evaluasi kinerja, Pelatihan khusus evaluasi kinerja diberikan kepada semua
pegawai. Pelatihan tersebut merupakan bagian dari orientasi pegawai baru.
e. Naik banding dan menilai penilai. Sistem evaluasi kinerja hares mempunyai prosedur
banding jika temilai tidak puas atas penilaian penilai.

4. Pelecehan Seksual dan Evaluasi Kinerja


Pelecehan seksual (sexual harassment) dapat terjadi dalam proses evaluasi kinerja dan
aspek manajemen SDM lainnya. Pelecehan seksual adalah perilaku seksual, perilaku verbal,
tertulis, dan atau, fisik—agen yang tidak dikehendaki oleh target yang bertujuan pada
terjadinya hubungan seksual dengan menggunakan kekuasan dan atau janji-janji. Agen
adalah orang yang melakukan pelecehan seksual, sedangkan target adalah orang yang
dilecehkan.
1. Perilaku seksual, Pelecehan merupakan perilaku seksual. Perilaku seksual adalah
perilaku yang mengarahkan pada terjadinya hubungan seksual. Perilaku tersebut bisa
berbentuk perilaku verbal, yaitu perkataan dan ucapan, misalnya merayu, membujuk,
dan mengajak berhubungan seksual.
2. Tidak dikehendaki oleh target, Pelecehan seksual dilakukan oleh agen—orang yang
melecehkan—kepada target—orang yang dilecehkan. Perilaku tersebut tidak
dikehendaki oleh target.
3. Menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau janji-janji. Agen menggunakan kekuasaan
yang dimilikinya terhadap target agar terjadi hubungan seksual
Pelecehan seksual dapat muncuI dalam tiga bentuk, yaitu quid pro quo, hostile environment
harassment. dan sexual favoritism (Deidre Takeyama dan Brian H. Kleiner, 1998).
1. Quid pro quo, adalah pelecehan seksual yang langsung dikaitkan dengan pemberian atau
tidak memberikan keuntungan ekonomi. Dalam hal ini, agen akan memberikan sesuatu
— pekerjaan, promosi, gall, nilai evaluasi kinerja tinggi —sebagai imbalan hubungan
seksual atau tidak memberikan keuntungan tersebut jika target tidak mau memenuhi
hubungan seksual yang diminta agen.
2. Hostile environment harassment, adalah pelecehan seksual yang berdasarkan pada
perilaku tidak rasional, campur tangan terhadap kinerja seseorang, atau menciptakan
suatu lingkungan kerja yang intimidatif, permusuhan, dan ancaman. Lingkungan tersebut
dikelompokkan menjadi tujuh kelompok berikut :
a. Menggoda, lelucon, pernyataan, atau pertanyaan seksual.
b. Tekanan untuk berkencan.
c. Surat, telepon, e-mail, bahan-bahan yang bersifat seksual.
d. Pandangan dan isyarat seksual penuh nafsu.
e. Menyentuh, mendekap, memojokkan, dan mencubit seksual.
f. Tekanan untuk berhubungan seksual.
g. Upaya untuk memerkosa atau serangan seksual.
3. Sexual favouritism, Sexual favouritism muncul jika target mendapatkan nilai evaluasi
tinggi dan promosi sesudah memenuhi permintaan seksual agen walaupun target tidak
menghendakinya. Dalam situasi seperti ini, pegawai lainnya mungkin mengalami
pelecehan seksual karena promosinya ditolak. Penolakan tersebut terjadi karena agen
mempunyai target sebagai pegawai favorit.
Pelecehan seksual tidak hanya dilakukan oleh pegawai pria terhadap pegawai wanita.
Pegawai wanita juga melecehkan pegawai pria bawahannya. Dalam evaluasi kinerja,
pelecehan seksual tidak hanya merugikan organisasi,tetapi juga dapat merusak moral dalam
interaksi sosial organisasi. Bagi organisasi, kenaikan nilai dalam evaluasi kinerja menambah
jumlah pegawai yang akan naik gaji dan naik pangkat. Kejadian ini membebani keuangan
organisasi, beban yang seharusnya tidak terjadi. Pelecehan seks juga bertentangan dengan
kode etik organisasi, merusak moral, dan iklim etika organisasi yang jika diketahui orang lain
akan merusak citra organisasi.
Untuk mencegah tetjadinya pelecehan seksual di organisasi yang mapan, dibuat peraturan
khusus mengenai pelecehan seksual dan bagaimana menyelesaikannya jika terjadi
pelecehan sosial. Peraturan tersebut antara lain berisi pengertian pelecehan seksual teknik
mendeteksi terjadinya pelecehan seksual, apa yang harus dilakukan target jika terjadi
pelecehan seksual, apa yang dilakukan organisasi jika terjadi pelecehan seksual, dan sanksi
apa yang dilakukan oleh organisasi terhadap agen.

5. Audit Etika Evaluasi Kinerja


Proses pelaksanaan dan hasil evaluasi kinerja sangat penting dalam pencapaian strategi dan
tujuan organisasi. Evaluasi kinerja merupakan alat manajemen kinerja yang mengarahkan
serta mengontrol kinerja setiap pegawai dan kinerja akhir pegawai. Kinerja akhir pegawai
sangat menentukan kinerja organisasi dalam mencapai tujuannya. Jika evaluasi kinerja
dilaksanakan penuh dengan subjektivitas, tidak etis, dan berbohong dapat memengaruhi
komitmen organisasi, kepuasan kerja, dan motivasi kerja para pegawai. Semua hal tersebut
akan bermuara pada menurunnya kinerja pegawai.
Audit pelaksanaan evaluasi kinerja perlu dilakukan agar hal tersebut tidak terjadi, di
samping pelatihan evaluasi kinerja kepada seluruh pegawai dan manajer. Audit ini sebaiknya
merupakanbagian dari audit SDM. Di sejumlah organisasi, apabila pegawai yang dinilai atau
pejabat penilai terbukti membuat kekeliruan sehingga penilaian tidak sesuai dengan kinerja
yang sebenarnya, maka yang bersangkutan dapat dikenai sanksi.
Audit evaluasi kinerja juga digunakan untuk menentukan apakah sistem evaluasi kinerja
suatu organisasi perlu diubah atau tidak. Jika hasil audit menyatakan bahwa para penilai
atau ternilai mengeluh kan sistem evaluasi kinerja, maka penelitian lebih lanjut mengenai
sistem evaluasi kineria perlu dilakukan. Standar kinerja mungkin sudah tidak sesuai dengan
perkembangan organisasi.

Anda mungkin juga menyukai