Anda di halaman 1dari 12

A.

Pelanggaran HAM Pasca Jajak Pendapat di Timor-Timur

Kemerdekaan negara Timor Leste pada tanggal 20 Mei Tahun 2002 diawali dengan
pelaksanaan jajak pendapat(referendum) yang difasilitasi oleh UNAMET (United Nations
Mission in East Timor) yang dibentuk oleh PBB, dengan hasil akhir dari total suara sah
438.968 sebanyak 344.580 suara (78,50%) memilih opsi merdeka, sedangkan 94.388 suara
(21,50%) memilih opsi tetap bergabung dengan Indonesia. Tingkat partisipasi dalam
referendum sangat tinggi,  mencapai 98,6% dari seluruh pemilih terdaftar yang
tercacat 451.792 orang. Dengan hasil tersebut  Timor Timur resmi lepas dari kekuasaan
Indonesia dan untuk sementara berada di bawah otoritas PBB. Namun proses perwujukan
kemerdekaan timor leste tidak berjalan mulus tanpa masalah terdapat sejarah kelam
pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) yang terjadi pasca jajak pendapat tersebut.

Jauh sebelum Timor Leste merdeka, masyarakat Timor-Timur(nama sebelum merdeka)


secara garis besar terpecah menjadi 2 kubu, yaitu kelompok “pro integrasi” yang mendukung
bersatunya timor-timur kedalam Indonesia, dan kelompok “anti integrasi” yang
menginginkan kemerdekaan negara Timor Leste. Pada praktiknya kala itu kedua kubu
tersebut memiliki pergerakan dengan cara yang berbeda, ketika kelompok anti integrasi
memutuskan menggunakan jalur politik, berbeda dengan kelompok pro integrasi yang
menggunakan jalur kekerasan(senjata) atau kerap disebut sebagai kelompok Milisi(Militer
dari Sipil). Beberapa kelompok milisi Pro Integrasi tersebut antara lain:1

1. Tim Alfa (Lautem), dipimpin Joni Marques.


2. Saka/Sera (Baucau), dipimpin Serka (Sersan Kepala) Kopassus Joanico da Costa.
3. Pedjuang 59 – 75 Makikit (Viqueque), dipimpin Martinho Fernandes.
4. Ablai (Manufahi), dipimpin Nazario Corterel.
5. AHI (Aileu), dipimpin Horacio.
6. Mahidi (Ainaro), dipimpin Cancio de Carvalho.
7. Laksaur (Covalima), dipimpin Olivio Mendoca Moruk.
8. Aitarak (Dili), dipimpin Eurico Guterres.
9. Sakunar (Oecussi), dipimpin Simao Lopes.
10. BMP (Besi Merah Putih) (Liquica), dipimpin Manuel de Sousa.
11. Halilintar (Bobonaro-Maliana), dipimpin Joao de Tavares.
12. Dadurus (Bobonaro), dipimpin Natalino Monteiro.
13. Jati Merah Putih (Lospalos), dipimpin Edmundo de Conceicao Silva.
14. Darah Merah Integrasi (Ermera), dipimpin Lafaek Saburai.

Memasuki akhir tahun 1998 hingga tahun 1999 PBB dan beberapa organisasi internasional
lainnnya yang bergerak di bidang HAM mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengizinkan
Timor Timur melakukan jajak pendapat, menanggapi hal ini sebagian masyarakat indonesia
1
Jery Indrawan, Analisisi Faktor Penyebab Konflik di Timor Timur Sebelum Kemerdekaannya Oleh Indonesia,
dalam Jurnal fisip, Vol 5, No. 2. 2013, Hal. 25.
meminta pemerintah untuk segara menyelesaikan persoalan Timor-Timur, hal ini dilakukan
bukan karena pertimbangan Timor-Timur layak untuk mendapat kemerdekaan, melainkan
karena desakan yang terus-menerus deberikan oleh pihak internasional.

Pada tahun 1999, tepatnya pada periode April hingga September terdapat beberapa kali
bentrokan antara kelompok pro integrasi(milisi) dengan kelompok anti integrasi, diantaranya
yaitu pada tanggal 18 april di Dili yang menewaskan sekitar 20 orang dari kelompok anti
integrasi, serta pada tanggal 5-6 april pada peristiwa pembunuhan di kelompok anti integrasi
di daerah Liquica dibawah kepemimpinan Eurico Gutteres yang di dasari pembalasan
dendam kelompok pro integrasi akibat penganiayaan dan pembakaran rumah mereka.2
Mantan Gubernur Timor-Timor Jose Abilio Soares mengatakan bahwa rakyat Timor-Timur
pro integrasi marah karena menurut pendapat mereka, hasil jajak pendapat telah direkayasa
pihak UNAMET dan kelompok anti integrasi, Menanggapi hal tersebut Panglima TNI kala
itu Jenderal Purnawiran Wiranto juga menyatakan bahwa kerusuhan yang terjadi dipicu oleh
merebaknya rasa kekecewaan kelompok pro integrasi atas ketidak adilan yang dilakukan oleh
UNAMET. Awalnya Yurisdiksi pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM di Timor-
Timur dibatasi karena ditetapkan bahwa pengadilan ini hanya bisa memeriksa perkara-
perkara tindak kekerasan HAM berat yang terjadi pada masa sesudah jajak pendapat 30
Agustus 1999 yang artinya mengesampingkan ratusan tindak pidana HAM yang dilakukan
sepanjang tahun itu. Yurisdiksi ini selanjutnya diperbaiki dan diperluas melalui Keppres
kedua, Keppres No. 96 Tahun 2001. Karenanya Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur ini
diberikan wewenang untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi antara April dan September
1999. Inilah pertama kalinya dalam sejarah peradilan di Indonesia, kasus pelanggaran HAM
berat yang melibatkan perwira tinggi militer dan polri, serta pimpinan sipil diajukan ke
pengadilan (yang juga pertama di Indonesia), yaitu Pengadilan HAM Ad Hoc.

Dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM tersebut, tuduhan keterlibatan TNI dan Polri
dalam mendukung kelompok milisi pun mencuat, tuduhan tersebut dapat dikatakan beralasan
karena secara konsep pertahanan keamanan Indonesia milisi memang merupakan bagian dari
sistem pertahanan nasional Indonesia yang menganut konsepsi perlawanan rakyat semesta
untuk menghadapi setiap bentuk ancaman dan keselamatan bangsa dan negara. Dalam sistem
ini seluruh potensi dan kekuatan nasional dikerahkan dalam upaya pertahanan keamanan
negara termasuk diantaranya militer dari kalangan sipil.

Hal ini ditambah dengan temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bahwa para komandan
TNI di Timor Timur mengendalikan pasokan distribusi, dan penggunaan senjata oleh
kelompok-kelompok milisi dan melakukan hal ini secara terorganisir. Mereka(TNI) dinilai
mengetahui bahwa senjata-senjata tersebut akan digunakan oleh pihak pro otonomi, dan
bahwa pelanggaran HAM berat akan dilakukan dalam kampanye tersebut. KKR menemukan
bahwa pola-pola perbuatan bersama dan dukungan tersebut muncul dari keterkaitan

2
Srie Sunarsi, Tesis : “Pelanggaran HAM yang Terjadi Pasca Jajak Pendapat Di Timor Timur” (Semarang: Undip,
2008), Hal. 95.
struktural3 antara TNI dan milisi dan kelompok sipil lainnya yang sudah cukup lama
berkembang, sejak awal perang saudara di Timor Timur pada tahun 1974.4

Singkatnya kemudian Presiden Habibie Memutuskan sejumlah anggota TNI dan Polri
diadili dengan tuduhan pelanggaran HAM berat sebelum dan sesudah jajak pendapat di
Timor Timur. Pihak kejaksaan Indonesia pun telah menetapkan 18 tersangka. Mereka
adalah5:

1. Mayjen Adam Damiri (Pangdam Udayana),

2. Brigjen Timbul Silaen (Kapolda Timor Timur),

3. Abilio Jose Osario Soares (gubernur Timor Timur),

4. Brigjen F.X. Tono Suratman (Danrem Dili),

5. Kol. (sekarang Brigjen.) M. Noer Muis,

6. Eurico Guterres, wakil panglima PPI/pemimpin laskar Aitarak,

7. Letkol (sekarang Kol.) Yayat Sudradjat (komandan Satgas Tribuana)

8. Letkol Endar Priyatno (Dandim Dili)

9. Letkol Soejarwo (Dandim Dili),

10. Letkol Hulman Gultom (Kapolres Dili),

11. Letkol Asep Kuswandi (Dandim Liquica),

12. Letkol Adios Salova (Kapolres Liquica),

13. Leonito Martins (bupati Liquica),

14. Kol. Herman Sedyono (bupati Covalima),

15. Letkol Liliek Koeshadianto (Dandim Suai),

16. Letkol Gatot Subiaktoro (Kapolres Suai),

17. Kapten Achmad Syamsudin (kepala staf Dandim Suai),

3
Lorraine Rangga Boro, “jajak pendapat Timor Timur dalam Perspektif Perlidungan Hukum Konvensi Jenewa
1949, Pascasarjana Universitas Nusa Cendana NTT, Jilid 43, No. 3, Juli 2014, Hal. 382.
4

5
Ibid, Hal. 122.
18. Letnan Sugito (komandan sektor militer Suai).

Pemerintah memutuskan untuk menggelar pengadilan HAM Timor Timur setelah


mendapatkan desakan dan tekanan, terutama dari negara donor dan organisasi HAM asing.
Tercatat paling tidak 39 anggota IFET, ditambah 89 organisasi dan individu dari 39 negara,
meminta Sekjen PBB Kofi Annan membentuk pengadilan Internasional untuk para tersangka
pelaku kejahatan di Timor Timur. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menggelar
sidang para tersangka berdasarkan hukum indonesia dengan memberlakukan asas nasionalitas
aktif dimana negara berhak mengadili warga negara nya yang melakukan tindak pidana di
manapun termasuk di luar wilayah negara tersebut.

B. Fungsi Peradilan HAM Ad Hoc sebagai Peradilan yang Menangani Kasus


Pelanggaran HAM Berat Pasca Jajak Pendapat di Timor-Timur

P. Burgess dalam Kursus HAM untuk Pengacara XI yang dilaksanakan oleh Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat atau Institute for Policy Research and Advocacy mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah
dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh
subyek-subyek hukum internasional untuk mencapai suatu tujuan tertentu.6
Secara teoritis penegakan hukum pidana internasional dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:7
a. Penegakan hukum pidana internasional secara langsung
Dalam kata lain berarti direct enforcement system adalah penegakan hukum pidana
internasional oleh Mahkamah Internasional yang pada saat ini telah ada pengadilan
permanen khusus untuk menangani kejahatan pidana internasional yaitu Mahkamah
Pidana Internasional yang lahir berdasarkan Statuta Roma.
b. Penegakan hukum pidana internasional secara tidak langsung
Dalam kata lain berarti indirect enforcement system adalah penegakan hukum
pidanainternasional melalui hukum pidana nasional masing-masing negara di mana
kejahatan internasional tersebut terjadi.
c. Penegakan hukum pidana dengan model campuran
Dalam kata lain berarti hybird model adalah penegakan hukum pidana internasional
melalui hukum nasional dan hukum internasional seperti yang pertama kali dilakukan
terhadap para pelaku killing field di kamboja.

Jika dikaitkan dengan kasus timor-timur, maka dapat disimpulkan bahwa penegakan
terhadap kasus timor-timur dilakukan secara tidak langsung, hal ini karena penyelesaiannya
menggunakan hukum Indonesia.
6
Patrcik Burgess, Hukum Pidana Internasional, diakses melalui https://referensi.elsam.or.id/2014/09/hukum-
pidana-internasional/ pada 28 Agustus 2021.
7
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009, hlm 69.
Menurut Bassiouni sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita dikatakan bahwa terdapat
22 jenis kejahatan internasional, yaitu Agression, War Crimes, Undawfull Use of Weapons,
Crime Against Humanity, Genocide, Racial Discrimination and Aparthein, Slyvery and
Related Crimes and Torture, Unlawful Human Experimentation, Piracy, Aircraft Hijacking,
Threat and Use of Force Against Internationally Protected person, Taking of Civilian
Hostages, Drug Offenses, International Traffic in Obsence Publication, Destruction and/or
Theft of National Treasures, Environmental Protection, Theft of Nuclear Materials,
Unlawfful Use of the Mails, Interference of the Subamarine Cables, Falsdication and
Counterfeiting, Bribery of Foreign Public Officials.8

Kemudian jika mengacu pada pasal 5 ayat (1) Statute Roma dikatakan yang termasuk
dalam kejahatan internasional, yaitu Kejahatan genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan,
Kejahatan perang, dan Kejahatan agresi. Adapun dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 7 Statuta
Roma dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan ialah lah
satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau
sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya
serangan itu:

a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
e. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-
aturan dasar hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan
sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
h. pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat; (h)
Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas
atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan
dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan
berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang
dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi
Mahkamah;
i. Penghilangan paksa;
j. Kejahatan apartheid;
k. Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan
penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.9

Dapat disimpulkan bahwa pemusnahan masyarakat ialah termasuk kejahatan internasional


yang bersifat pelanggaran HAM berat.

8
Romli Atmasasmita, Pengantar hukum  pidana Internasional, Eresco, Bandung, 1995, hlm 43.
9
Statuta Roma.
Hak asasi manusia sendiri ialah hak yang melekat pada manusia sejak kelahirannya dan
berfungsi sebagai jaminan moral dalam menunjang penikmatan atas sebuah kehidupan yang
layak pada taraf yang paling minimum.10 Menurut pakar ilmu politik, Mariam Budiardjo,
dikatakan bahwa HAM ini bersifat universal, oleh karenanya dalam keberlakuannya, HAM
tidaklah diperbolehkan untuk membeda-bedakan atas dasar bangsa, ras, agama, golongan,
hingga jenis kelamin.11

Berdasarkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), hak asasi
manusia diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu HAM yang bersifat derogable rights atau
hak yang boleh dikurangi pemenuhannya dan HAM yang bersifat non derogable rights atau
hak yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Salah satu contoh
HAM yang bersifat non deroable rights ialah hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. 12
Pelanggaran terhadap hak yang bersifat non derogable inilah yang kemudian dapat dikatakan
sebagai pelanggaran HAM yang berat.13

Jika mengacu pada penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang
berat" adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar
putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara
paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
discrimination).14
Dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
dikatakan bahwa pelanggaran HAM berat meliputi dua bentuk, yaitu kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.15 Berdasarkan pasal 6 Statuta Roma perihal kejahatan dalam
yurisdiksi mahkamah (International Criminal Court) genosida diartikan sebagai, “…any of
the following acts committed with intend to destroy, in whole or in part, a national, ethnical,
racial or religious groups…”. Sedangkan kejahatan kemanusiaan berdasarkan pasal 7 Statuta
Roma, kejahatan kemanusiaan diartikan sebagai, “…any of the following acts when
committed as part of a widespread or systematic attack against any civilian population, with
knowledge of the attack…”.16

Selain genocide dan crimes against humanity sebagai bentuk gross violence of human
rights yang terdapat dalam Rome Statute, kejahatan lainnya yang dikualifikasikan sebagai
bentuk pelanggaran HAM berat adalah war crimes (kejahatan perang) dan the crime of
aggression (kejahatan agresi). Kejahatan perang menurut statuta tersebut berarti pelanggaran
berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949. Sementara kejahatan agresi
belum didefinisikan sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (2) Statuta Roma.

10
Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Komunal, Lamamera, Yogyakarta, 2008, hlm 69.
11
Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 1982, hlm 120.
12
International Covenant on Civil and Political Rights.
13
Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, Mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam, Jakarta, 2002,
hlm. Xxiii.
14
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
15
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
16
Statuta Roma 1998.
Selanjutnya, berdasarkan UU Pengadilan HAM, UU ini menganut asas nasional aktif, asas ini
berarti bahwa hukum atau perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi warga negara
Indonesia yang melakukan kejahatan baik di dalam maupun di luar batas teritorial wilayah
negara Repubil Indonesia. asas tersebut secara implisit tertuang dalam pasal 5 yang
menyatakan bahwa Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik
Indonesia oleh warga negara Indonesia. Lingkup kewenangan Pengadilan HAM ini hanya
dibatasi terhadap seseorang yang telah berusia 18 tahun pada saat kejahatan tersebut
dilakukan.17

Kemudian, ada beberapa letentuan mengenai hukum acara dalam UU Pengadilan


HAM yang memiliki kekhususan bila dibandingkan dengan yang ada di KUHAP. Kehususan
ini dapat dilihat dari aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses pengadilan HAM.
Dalam UU Pengadilan HAM pihak yang melakukan penyelidikan ialah Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan yang melakukan penyidikan ialah Jaksa Agung. Jaksa
agung pun dalam melakukan penyidikan dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri dari unsur
pemerintah dan masyarakat.

Penuntutan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung yang juga
dapat membentuk tim Ad Hoc dengan melibatkan pemerintah dan masyarakat. Sementara
pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh majelis Pengadilan HAM yang
berjumlah 5 (lima) orang, terdiri dari 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim Ad Hoc. Hakim ad-hoc tersebut diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung untuk masa jabatan 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Adapun jika telah
melampaui waktu lima tahun, maka jaksa agung dapat mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan (SP3). Penyidikan ini masih dapat dilanjutkan lagi, apabila terapat
alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk selanjutnya dilakukan
penuntutan.18

Selanjutnya terkait ketentuan pidana dalam UU Pengadilan HAM, dalam UU ini


hampir semua ancaman pidananya dirumuskan secara indeterminate sentence, ini berarti
bahwa terdapat ketentuan batas minimum dan batas maksimum pidana yang dapat dijatuhkan.
Perumusan ini sejatinya baik dalam rangka melakukan upaya pencegahan, mengingat
masyarakat akan berfikir dua kali untuk melakukan kejahatan yang dirumuskan dalam UU
Pengadilan HAM, khususnya bagi delik-delik yang membahayakan masyarakat.

Hal lain yang berkaitan dengan ketentuan pidana adalah tanggung jawab atasan dari
seorang komandan militer atau seorang atasan baik polisi maupun sipil lainnya. Seorang
atasan dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana dalam yurisdiksi Pengadilan
HAM yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah dan pengendaliannya yang efektif.
Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian secara patut
17
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
18
5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
oleh atasan yang mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa bawahan tersbeut sedang
atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat.

Demikian pula atasan yang tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan
dalam lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan. Pertanggungjawaban pidana yang demikian juga dapat
dimintakan kepada seorang atasan baik polisi maupun sipil lainnya terhadap pelanggaran
HAM berat yang dilakukan oleh bawahannya dan berada di bawah kekuasaan serta
pengendaliannya yang efektif.

Tindak pidana tersebut adalah atasan mengetahui atau secara sadar mengabaikan
informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang atau baru saja
melakukan pelanggaran HAM berat. Demikian pula atasan tersebut tidak mengambil
tindakan yang layak dan diperlukan dalam lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang
berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan.19
Ketentuan ini dapat dilihat dalam pasal 42 UU Pengadilan HAM, yang mana berbunyi:
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan
militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam
yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah
komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak
dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau dasar keadaan saat
itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru
saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak
dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat
yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
bawahannya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif,
karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara
patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang
secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam
ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan

19

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.


tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Ketentuan pidana yang berkaitan dengan tanggung jawab atasan dirumuskan seperti
tersebut di atas dalam bentuk delik omisi. Artinya, tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan. Delik omisi selalu merupakan delik formal. Menetapkan dapat dipidananya suatu
kelalaian, menganggap adanya kewajiban untuk melakukan perbuatan positif tertentu.
Sampson merumuskan crime by omission sebagai pengambilalihan tanggung jawab atas suatu
tugas atau kewajiban yang seharusnya dilakukan namun tidak diperbuat oleh si pelaku.20
Selanjutnya, jika melihat pasal 43 UU Pengadilan dapat diketahui bahwa jika terdapat
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum adanya UU Pengadilan HAM, maka
pelanggaran HAM ini diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM
ad hoc ini dibentuk atas usul DPR RI dengan keputusan presiden dan pengadilan ini berada
dilingkungan peradilan umum.21

Adapun ketika dikontekstualkan terhadap kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur,


kasus ini pada intinya terjadinya pasca jajak pendapat yang melawan pro integrasi dan anti
integrasi yang kemudian menimbulkan bentrokan yang mengakibatkan pembunuhan serta
penyiksaan yang melibatkan para komandan militer, sipil serta pemerintahan daerah. Kasus
inipun terjadi sebelum UU Pengadilan HAM dibentuk, sehingga berkeitan dengan
pemeriksaan dan keputusannya dilakukan oleh pengadilan HAM ad hoc. Adapun berikut
merupakan tabel yang menunjukkan terkait tuntutan dan putusan pengadilan HAM ad hoc
yang dibentuk untuk mengatasi pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-Timur.

No. Berkas Perkara Tuntutan JPU Putusan


1 Abilio Jose Osario 10 tahun 6 bulan Bebas
Soares (Gubernur Tim-
Tim)
2 Timbul Silaen (Kapolda 10 tahun Bebas
Tim-Tim)
3 Herman Sedyono 10 tahun – 10 Bebas
(Bupati Kovalima) tahun 6 bulan
Liliek Koeshadiayanto
(Dandim Kovalima)
Gatot Subyaktoro
(Kapolres Kovalima)
Achmad Syamsudin
(Kasdim Kovalima)
Sugito (Danramil Suai)
4 Endar Prianto (Dandim 10 tahun Bebas
Dilli)
20
Fraser Sampson, Blackstone’s Police Manual Crime, Blackstone Press Limited, 2001, hlm. 10
21
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
5 Soejarwo (Dandim 10 tahun Bebas
Dilli)
6 Hulman Gultom 10 tahun Bebas
(Kapolres Dilli)
7 Asep Kuswani (Dandim 10 tahun Bebas
Liquica) Adios Salova
(Kapolres Liquica)
Leonito Martens
(Bupati Liquica)
8 Yayat Sudrajat 10 tahun Bebas
(Dansatgas Tribuana)
9 Adam Damiri (Pangdam Bebas Bebas
IX Udayana)
10 Nur Moeis (Danrem 10 tahun Bebas
164)
11 Tono Suratman 10 tahun Bebas
(Danrem 164)
12 Eurico Guterres (Wakil 10 tahun 10 tahun
Panglima PPI/
Komandan Aitarak)

Dengan mencermati putusan pengadilan HAM ad hoc pada kasus pelanggaran HAM
berat di Timor Timur maka terdapat delik yang berkaitan dengan tanggung jawab atasan
(Pasal 42 UU No. 26 tahun 2000) yaitu bahwa putusan yang menjelaskan tanggung jawab
atasan hanya berkaitan dengan adanya hubungan antara atasan dan bawahan, antara pelaku
dan terdakwa, yang telah memenuhi adanya unsur keterlibatan (involvement), hubungan
(connection), pengetahuan (knowledge) atau maksud (intend) dari seorang atasan dengan
suatu tindakan kejahatan. Selain itu juga pertanggungjawaban seorang atasan terhadap
kejahatan pada kasus tersebut didasarkan pada terjadinya pelanggaran. Ada dua alasan yang
harus menjadi dasar pertimbangan untuk menilai bahwa suatu pelanggaran terhadap tugas
telah mengakibatkan terjadinya kejahatan. Pertama, pelanggaran terhadap tugas atau dinas
tersebut harus mempunyai hubungan langsung atau menjadi penyebab utama dari timbulnya
kejahatan. Dalam hal ini, kejahatan tidak akan terjadi jika tidak terjadi pelanggaran terhadap
kewajiban dinas. Kedua, atasan harus memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah
terjadinya tindak pidana/ kejahatan tersebut. Jika atasan tidak memiliki kewenangan atau
kekuasaan untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah, menghentikan dan
menindak kejahatan dan pelakunya sekaligus, maka tentu saja tidak tepat untuk menuntut
pertanggungjawaban pidana.

Dengan mencermati analisis diatas, maka dapat ditinjau dari perspektif Asas Strict
Liability dan Vicarious Liability

a. Asas Strict Liability


Menurut doktrin strict liability, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk
tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (means rea).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat perbedaan pendapat mengenai
doktrin ini. Sebagian pendapat menyatakan bahwa prinsip “Tidak terdapat sama sekali
kesalahan” harus dapat diterapkan, kecuali apabila dijumpai kesalahan besar pada
pelaku. sedangkan yang lain mengatakan bahwa penerapan doktrin ini harus dibuat
persyaratan yang lebih ketat, tergantung pada kasus-kasus bersangkutan. Kejahatan
tersebut secara otomatis dapat dipersalahkan walaupun ia tidak secara langsung
melakukan perbuatan tetapi karena adanya hubungan antara atasan dan bawahan,
perbuatan tersebut berkaitan dengan tugas, seorang atasan harus bertanggung jawab.
Sedangkan dalam hal pelanggaran HAM berat walaupun ia bukan militer namun
kesalahan dapat juga berlaku pada sipil pasal 42 ayat (2) yang dalam hal ini adalah
walikota atau bupati atau gubernur.

b. Asas Vicarious Liability


Doktrin ini merupakan suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada
seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi
dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang berkaitan dengan pekerjaan
atau jabatannya. Dengan demikian dalam pengertian “vicarious liability” ini,
walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak
mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan,
bahkan dalam hal tertentu ia dipertanggungjawabkan sebagai pelaku (pembuat).

Jika dibandingkan antara “strict liability” dan “vicarious liability” nampak jelas
bahwa persamaan dan berbedaannya. Persamaannya bahwa keduanya tidak mensyaratkan
adanya “mens rea” atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya
dimana dalam hal “strict liability” pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan
pada pelakunya, sedangkan pada “vicarious liability” pertanggungjawaban pidananya bersifat
tidak langsung.22

22
Yusriyadi dan Ani Purwanti, Pelanggaran HAM yang Terjadi pada Pasca Jajak Pendapat di Timor-Timur,
diakses Thesis Program Magister Ilmu Hukum, melalui Microsoft Word - LEMBAR PENGESAHAN DAN LAIN-
LAIN (undip.ac.id) pada 28 Agustus 2021.

Anda mungkin juga menyukai