Anda di halaman 1dari 31

“ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS”

TUNA GRAHITA, ANTI SOSIAL & TEMPER TRANTUM

Dosen Pengajar : Dra. Sudilah Mangku Wiyata, M.Pd

Disusun oleh :

Dwita Septiana Marissa (1905096004)

Nur Anisa Salsabilla (1905096008)

Putri ganti (1905096013)

Rara Asri Widyaningrum (1905096017)

Elsa Pratiwi (1905096021)

Christasia oktaviani (1905096024

Dina Apriliani (1905096030)

Nurul Idawani Nasution (1905096020)

BK A 2019

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

1. Anak berkebutuhan khusus

Anak berkebutuhan khusus ( ABK ) adalah anak yang mempunyai


kelainan/penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal baik secara fisik, mental,
intelektual, sosial maupun emosional. Berdasarkan pengertian tersebut anak yang
dikategorikan berkebutuhan khusus dalam aspek fisik meliputi kelainan seperti tunanetra,
tuna rungu, tuna wicara, dan tuna daksa. Masalah tersebut di selesaikan dengan
memberikan layanan pendidikan, bimbingan serta latihan dari guru maupun orang tua
untuk memahamu kebutuhan dan potensi anak agar dapat berkembang secara masksimal
sesuai kekhususannya.

Hal lain untuk memenuhi kebutuhan ABK adalah dengan mencukupi kebutuhan
gizi, aktivitas fisik dan gaya hidup lainnya yang membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak. Gaya hidup sehat adalah segala upaya untuk menerapkan kebiasaan
yang baik dalam menciptakan hidup sehat dan menghindari kebiasaan buruk yang dapat
mengganggu kesehatan. Indikator gaya hidup sehat antara lain : pola makan sehar dan
seimbang serta aktivitas fisik yang teratur.

2. Penyebab anak berkebutuhan khusus

a. Heriditer

Penyebab yang berdasarkan keturunan atau sering dikenal dengan genetik,yaitu


kelainan kromosome, pada kelompok faktor penyebab heriditer masih ada kelainan
bawaan non genetik, seperti kelahiran pre-mature dan BBLR ( berat bayi lahir
rendah). Yaitu berat bayikurang dari 2.500 gram, merupakan resiko terjadinya anak
berkebutuhan khusus.

b. Infeksi
Merupakan suatu penyebab dikarenkan adanya berbagai serangan penyakit infeksi
yang menyebabkan baik langsung maupun tidak langsung terjadinya kelainan seperti
infeksi TORCH ( toksplasma, rubella, cytomegalo virua, herpes ), polio , meningitis,
dan sebagainya.

c. Keracunan

Keracunan yang dimaksud dapat secara langsung pada anak, maupun lewat
perantara ibu ketika mengandung. Munculnya FAS ( fetal alcholol syndrome ) adalah
keracunan janin yang disebabkan ibu mengkonsumsi obat bebas tanpa pengawasan
dokter merupakan potensi keracunan pada janin. Jenis makanan yang dikonsumsi
bayi yang banyak mengandung zat-zat berbahaya merupakan salah satu penyebab

d. Trauma

Kejadian yang tak terduga, dan menimpa langsung pada anak, seperti proses
kelahiran yang sangat sulit sehingga memerlukan pertolongan yang mengandung
resiko tinggi, atau kejadian saat kelahiran saluran pernafasan anak tersumbat
sehingga menimbulkan kekurangan oksigen pada otak (asfeksia), terjadinya
kecelakaan yang menimpa pada organ tubuh anak terutama bagian kepala.

e. Kekurangan gizi

Masa tumbuh kembang sangat berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan anak


terutuma pada 2 tahun pertama kehidupan. Kekurangan gizi dapat terjadi karena
adanya kelainan metabolism maupun penyakit parasit pada anak seperti cacingan.

3. Pengertian Tuna Grahita

Tunagrahita adalah suatu kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan
ditandai oleh keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam komunikasi sosial. Anak
berkebutuhan khusus ini juga sering dikenal dengan istilah terbelakang mental karena
keterbatasan kecerdasannya.

Rendahnya kapabilitas mental pada anak tunagrahita akan berpengaruh terhadap


kemampuannya untuk menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Hendesche memberikan batasaan
bahwa anak anak tunagrahita adalah anak yang tidak cukup daya pikirnya, tidak dapat hidup
dengan kekuatan sendiri di tempat sederhana dalam masyarakat.

Berdasarkan pengertian-pengertian itu, dapat kita katakan bahwa anak tunagrahita adalah
suatu kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan
inteligensi serta ketidakcakapan terhadap komunikasi sosial. Anak tunagrahita juga sering dikenal
dengan istilah terbelakang mental disebabkan keterbatasan kecerdasannya yang mengakibatkan
anak tunagrahita ini sulit untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa.

4. Klasifikasi Tuna Grahita

Seorang konselor mengklasifikasikan anak tunagrahita dalam hal ini pada aspek penguatan
keluarga dalam bentuk perhatian serta pengasuhan yang mampu membuat si anak berkembang
secara optimal dengan memilih sebuah lingkungan yang tepat agar mampu mengoptimalkan
kemampuan anak tunagrahita. Seorang psikolog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita
mengarah kepada aspek indeks mental inteligensinya, indikasinya dapat dilihat angka hasil tes
kecerdasan, seperti 1Q0-25 dikategorikan idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbesil, dan 1Q 50-75
kategori debil atau moron. Seorang pedagogik dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita
didasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak. Dari penilaian tersebut
dapat dikelompokkan menjadi anak tunagrahita mampu didik, anak tunagrahita mampu latih, dan
anak tunagrahita mampu rawat.

A. Anak tunagrahita mampu didik IQ 68-52 adalah anak tunagrahita yang tidak mampu
mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat
dikembangkan melaluI pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. Kemampuan yang dapat
dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik, antara lain: (1) membaca, menulis, mengeja,
dan berhitung; (2) menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain; (3)
Keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja di kemudian hari. Kesimpulannya, anak
tunagrahita mampu didik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.

B. Anak tunagrahita mampu latih 1Q 51-36 adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan
sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan
bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita
mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu (1) belajar mengurus diri sendiri, misalnya makan,
pakaian, tidur atau mandi sendiri, (2) belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau sekitarnya,
(3) mempelajari kegunaan ekonomi di rumah di bengkel kerja atau di lembaga khusus.
Kesimpulannya anak tunagrahita mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk
mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial
kemasyarakatan menurut kemampuannya.

C. Anak tunagrahita mampu rawat 1Q 39-25 adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan
sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus
kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. A child who is an idiotic so low
intellectually that he does not learn to talk and usually does learn to take care of his bodily need
(Kirk & Johnson, 1951). Dengan kata lain, anak tunagrahita mampu rawat adalah anak
tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak
mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain (Patton, 1991).

Penilaian yang lain dari klasifikasi anak tunagrahita yang dalam hal ini dituturkan oleh Skala
Binet dan Skala Weschler. Dalam skala tersebut dijelaskan bahwa ada tiga hal sebagai berikut.

1. Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Menurut Skala Binet, kelompok ini
memiliki IQ antara 68-52, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki 1Q antara
69-55. Anak tunagrahita masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
Dengan bimbingan dan didikan yang baik, anak tunagrahita ringan akan dapat memperoleh
penghasilan untuk dirinya sendiri

2. Tunagrahita Sedang

Tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala
Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita sedang sangat sulit
untuk belajar secara akademik, seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun
mereka bisa belajar menulis secara sosial. Misalnya, menulis namanya sendiri (makan,
minum, mandi, memakai baju) dan mengerjakan pekerjaan rumah. Dalam kehidupan sehari-
hari, anak tunagrahita sedang sangat membutuhkan pengawasan yang terus-menerus agar
mampu terus berkesinambungan akan kebiasaan-kebiasaan yang akan terus teringat dan
mampu mengerjakan suatu hal yang sering dilakukannya.

3. Tunagrahita Berat

Tunagrahita berat severe ini sering disebut idiot. Karena 1Q pada anak tuna grahita berat
ini adalah 32-20 menurut Skala Binet dan menurut Skala Weschler (WiSC) antara 39-52.
tunagrahita sangatberat profound memiliki 1Q di bawah 19-24. Anak tunagrahita berat
memerlukan bantuan perawatan secara total, baik itu dalam hal berkaitan, mandi ataupun
makan. Bahkan, mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.

Berikut ini adalah pengklasifikasian anak tunagrahita untuk keperluan pembelajaran


menurut American Association on mental Retardation dalam Special Education in Ontario
Schools.

1. Educable

Anak tunagrahita educable ini masih mempunyai kemampuan akademik setara pada
anak kelas 5 sekolah dasar. Tunagrahita mampu dididik educable mentally retarded, ini
mempunyai 1Q dalam kisaran 50-73.

2. Trainable

Anak tunagrahita trainable mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri,


pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas kemampuannya untuk mendapat
pendidikan secara akademik. Tunagrahita mampu dilatih trainable mentally retarded.

3. Custodial

Anak tunagrahita custodial ini butuh perawatan secara baik. Dependent or profoundly
mentally retarded ini memiliki iQ di bawah 25. Anak ini mendapat latihan yang terus-
menerus dengan pelayanan khusus. Dalam hal ini guru atau terapi melatih anak tentang
dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini
biasanya memerlukan pengawasan dan dukungan yang berkesinambungan.

Secara klinis, tunagrahita dapat digolongkan pula atas dasar tipe atau ciri- ciri jasmaniah dan dapat di
jelaskan sebagai berikut.

1. Sindrom Down (Mongoloid) dengan ciri-ciri wajah khas Mongol, mata sipit, dan miring,
lidah dan bibir tebal dan suka menjulur, jari kaki melebar, kaki dan tangan pendek, kulit
kering, tebal,

2. kasar, dan keriput serta susunan geligi kurang baik. Hydrocephalus (kepala yang berisi
cairan); dengan kepala besar, raut muka kecil, tengkorak sering besar.
3. Microcephalus dan macrocephalus, dengan ciri-ciri ukuran kepala tidak proporsional (terlalu
kecil atau terlalu besar).

Penanganan yang perlu diberikan kepada anak tunagrahita ini adalah lebih fokus pada life
skill dan kemampuan merawat diri. Sebagian besar, muatan pendidikan bagi anak tunagrahita
difokuskan pada kedua hal tersebut.

Adapun tuntutan keberhasilan akademik memang penting bagi mereka. Pandangan yang selama
ini berkembang adalah bahwa anak- anak akan memiliki kesuksesan hidup jika nilai-nilai
akademik mereka tinggi. Orang dengan lQ tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak
terkendali dan impuls yang meledak-ledak. Orang dengan lQ tinggi dapat menjadi orang yang tak
cakap dalam kehidupan pribadinya. Terhadap pemikiran bahwa 1Q menyumbang paling banyak
20% bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80% ditentukan oleh faktor lain.

Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak


atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan- kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak menjamin
kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup seseorang.

Pandangan ini memberikan pemahaman bahwa anak tunagrahita akan berpeluang besar
dalam meraih kesuksesan hidup jika mampu mengembangkan kecerdasan lain di luar 1Q. Guru
dan orang tua dapat untuk membuat kesempatan untuk anak tunagrahita mengoptimalkan
kecerdasan anak. Pandangan baru yang berkembang bahwa ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti
bakat, hubungan sosial, kematangan emosional, kecerdasan spiritual dan banyak hal yang harus
bisa dioptimalkan dari anak berkebutuhan khusus tunagrahita.

5. KARAKTERISTIK ANAK TUNAGRAHITA

Karakteristik anak cacat mental mild (ringan) adalah mereka termasuk yang mampu didik, bila dilihat
dari segi pendidikan. Mereka pun tidak memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok, walaupun
perkembangan fisiknya sedikit agak lambat daripada anak rata-rata. Karakteristik anak cacat mental
moderate (menengah) adalah mereka digolongkan sebagai anak yang mampu latih, di mana mereka dapat
dilatih untuk beberapa keterampilan tertentu. Meskipun sering merespons lama terhadap pendidikan dan
pelatihan. Mereka dapat dilatih untuk mengurus dirinya sendiri serta dilatih untuk kemampuan membaca,
menulis sederhana.

Karakteristik anak cacat mental severe, adalah mereka memperlihatkan banyak masalah dan
kesulitan, meskipun di sekolah khusus. Oleh karena itu, mereka membutuhkan perlindungan hidup dan
pengawasan yang teliti. Mereka membutuhkan pelayanan dan pemeliharaan yang terus-menerus. Dengalı
kata lain, mereka tidak bisa mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain meskipun tugas-tugas
sederhana. Mereka juga mengalami gangguan bicara. Mereka hanya bisa berkomunikasi secara vokal
setelah pelatihan secara intensif. Tanda-tanda kelainan fisik lainnya adalah lidah sering kali menjulur
keluar, bersamaan dengan keluarnya air liur. Kepala sedikit besar dari biasanya. Kondisi fisik mereka
lemah. Mereka hanya bisa dilatih keterampilan khusus selama kondisi fisik memungkinkan. Karakteristik
anak cacat mental profound mempunyai problem yang serius, baik menyangkut kondisi fisik, inteligensi
serta program pendidikan yang tepat bagi mereka. Kelainan fisik lainnya dapat dilihat dari kepala yang
lebih besar dan sering bergoyang-goyang. Penyesuaian dirinya yang sangat kurang, dan bahkan sering
kali meminta bantuan orang lain karena mereka tak dapat berdiri sendiri. Mereka tampaknya
membutuhkan bantuan medis yang baik dan intensif.

6. ETIOLOGI ANAK TUNAGRAHITA

Pemahaman etiologi anak tunagrahita diharapkan dapat berguna dan dapat membantu para
pendidik dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak tunagrahita seperti yang
dikemukakan oleh smith (1998), sebagai berikut.

1. PENYEBAB GENETIK DAN KROMOSOM

Ketunagrahitaan yang disebabkan oleh faktor genetik yang dikenal dengan


phenylketonuria. Hal ini merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh gen orang tua
mengalami kurangnya produksi enzim yang memproses protein dalam tubuh sehingga
terjadinya penumpukan asam yang disebut asam phenylpyruvic. Penumpukan ini
menyebabkan kerusakan otak. Selain itu,mengakibatkan timbulnya penyakit Tay-Sachs,
yaitu adanya gen yang terpendam yang diwariskan oleh orang tua yang membawa gen ini.

Selanjutnya faktor kromosom adalah Down's syndrome yang disebabkan oleh adanya
kromosom ekstra karena kerusakan atas adanya perpindahan. Hal ini terjadi pada kromosom
No. 21 sehingga terjadi 3 ekor yang disebut Trysomi.

2. PENYEBAB PADA PRAKELAHIRAN

Penyebab pada Prakelahiran terjadi ketika pembuahan. Hal yang paling berbahaya
adalah adanya penyakit Rubela (campak jerman) pada janin. Selain itu, adanya infeksi
penyakit Sifilis. Dalam hal lain yang juga dapat menyebabkan kerusakan otak adalah racun
dari alkohol dan obat-obatan ilegal yang digunakan oleh wanita hamil. Racun tersebut dapat
mengganggu perkembangan janin sehingga menimbulkan sebuah masalah ketunagrahitaan
yang akan terjadi pada anak-anak keturunannya tersebut.

3. PENYEBAB PADA SAAT KELAHIRAN

Penyebab ketunagrahitaan pada saat kelahiran adalah kelahiran prematur, adanya


masalah proses kelahiran seperti kekurangan oksigen, kelahiran yang dibantu dengan alat-
alat kedokteran berisiko terhadap anak yang akan menimbulkan trauma pada kepala.
Terjadinya kelahiran prematur yang tidak atau kurang mendapatkan perawatan dengan baik.

4. PENYEBAB SELAMA MASA PERKEMBANGAN ANAK-ANAK DAN REMAJA

Anak tunagrahita yang terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja adalah penyakit
radang selaput otak meningitis dan radang otak encephalitis yang tidak tertangani dengan
baik sehingga mengakibatkan kerusakan otak.

Mengutip penelitian di Muangthai, maka penyebab keterbelakangan mental adalah sebagai berikut.

a. Infeksi: 17,63%.

b. Trauma dan sebab-sebab fisik: 11,15%.

c. Gangguan/hambatan metabolisme, pertumbuhan dan gizi: 3,73%.

d. Gross brain disorder (post natal, kerusakan otak): 0,51%.

e. Prenatal unknown influence (pengaruh prenatal yang tidak jelas): 7,56%.

f. Chromosome abnormality (kelainan kromosom): 9,47%.

g. Prematurity (kelahiran dini): 3,64%.

h. Psychiatric disorder (gangguan psikiatrik): 1,87%.

i. Psycho-social deprivation (deprivasi sosial psikologis): 8.95%.

j. Unspecified (dan lain-lain): 35,49%.

Berdasarkan terminologi etiologi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab
tunagrahita dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

a. Sebab-Sebab yang Bersumber dari Luar


Sebab-sebab yang bersumber dari luar meliputi hal-hal berikut ini.

1) Maternal malnutrition, atau malnutrisi pada ibu yang tidak menjaga pola makan yang
sehat.

2) Keracunan atau efek substansi waktu ibu hamil yang bisa menimbulkan kerusakan pada
plasrma inti, misalnya penyakit sifilis, racun dari kokain, heroin, tembakau, dan alkohol.

3) Radiasi, misalnya sinar X-rays atau nuklir.

4) Kerusakan pada otak waktu kelahiran, misalnya pernah sakit keras, lahir karena alat bantu
pertolongan, lahir prematur atau LBW (Low Birth Weight).

5) Panas yang terlalu tinggi, misalnya pernah sakit keras, tifus, cacar dan sebagainya.

6) Infeksi pada ibu, misalnya rubela (campak Jerman) yang merupakan penyebab potensial
dari keterbelakangan mental, selain juga kebutaan. Rubela paling berbahaya pada tiga bulan
pertama usia kehamilan. Selain itu, sifilis dan herpes simpleks yang ditularkan ibu pada bayi
ketika melahirkan juga berpotensi menyebabkan keterbelakangan mental anak.

7) Gangguan pada otak, misalnya tumor otak, anoxia (deprivasi oksigen), infeksi pada otak,
hydrocephalus atau microcephalus.

8) Gangguan fisiologis, seperti Down syndrom, certinism.

9) Pengaruh lingkungan dan kebudayaan, misalnya pada anak-anak yang dibesarkan pada
lingkungan yang buruk. Kasus-kasus abusif, penolakan, atau kurang stimulasi yang ekstrem.

b. Sebab-Sebab yang Bersumber dari Dalam

Sebab yang bersumber dari dalam, yaitu sebab dari faktor keturunan. Sebab ini dapat
berupa gangguan pada plasma inti atau chromosome abnormality. Namun, beberapa tahun
belakangan ini banyak kasus retardasi mental ringan (mild) ternyata disebabkan oleh
sindrom-sindrom genetis tertentu.

Karena itu, muncul spekulasi bahwa di masa yang akan datang sindrom-sindrom
genetis baru akan ditemukan sebagai penyebab retardasi mental ringan (mild). Penyebab
Tunagrahita secara umum adalah sebagai berikut.

1) Infeksi dan atau intoksikasi.


2) Rudapaksa dan atau sebab fisik lain.

3) Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi atau nutrisi.

4) Penyakit otak yang nyata.

5) Kondisi setelah lahir/postnatal.

6) Akibat penyakit atau pengaruh sebelum lahir (prenatal) yang tidak diketahui.

7) Akibat kelainan kromosom.

8) Gangguan waktu kehamilan (gestational disorders).

9) Gangguan pascapsikiatrik gangguan jiwa berat (postpsychiatry disorders)

10) Pengaruh lingkungan.

11) Kondisi-kondisi lain yang tak tergolongkan.

Cara untuk mencegah adanya anak berkebutuhan khusus tunagrahita adalah sebagai berikut.

a. Diagnostik prenatal.

b. Imunisasi.

c. Tes darah.

d. Pemeliharaan Kesehatan.

e. Sanitasi Lingkungan.

f. Penyuluhan Genetik.

Tindakan Operasi.

h. Program Keluarga Berencana.

i. Intervensi Dini.

Dengan ditemukannya berbagai penyebab ketunagrahitaan sebagai hasil penyelidikan oleh


para ahli, maka dilakukan berbagai upaya untuk mencegah anak berkebutuhan khusus
tunagrahita.
Berbagai alternatif upaya pencegahan yang disarankan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut.

a. Penyuluhan genetik, yaitu suatu usaha mengomunikasikan berbagai informasi mengenai


masalah genetika. Penyuluhan ini dapat dilakukan melalui media cetak dan elektronik atau
secara langsung melalui posyandu dan klinik.

b. Diagnostik prenatal, yaitu usaha pemeriksaan kehamilan sehingga dapat diketahui lebih dini
apakah janin mengalami kelainan.

C. Imunisasi, dilakukan terhadap ibu hamil maupun anak balita. Dengan imunisasi ini dapat
dicegah penyakit yang mengganggu perkembangan bayi/anak.

d. Tes darah, dilakukan terthadap pasangan yang akan menikah untuk menghindari
kemungkinan menurunkan benih-benih kelainan.

e. Melalui program keluarga berencana, pasangan suami istri dapat mengatur kehamilan dan
menciptakan keluarga yang sejahtera baik fisik dan psikis.

f. Tindakan operasi, hal ini dibutuhkan apabila ada kelahiran dengan risiko tinggi, misalnya
kekurangan oksigen dan adanya trauma pada masa perinatal (proses kelahiran).

g. Sanitasi lingkungan, yaitu mengupayakan terciptanya lingkungan yang baik sehingga tidak
menghambat perkembangan bayi/anak.

h. Pemeliharaan kesehatan, terutama pada ibu hamil yang menyangkut pemeriksaan kesehatan
selama hamil, penyediaan vitamin, vitamin, menghindari radiasi, makanan dan minuman yang
beralkohol, dan sebagainya.

i. Intervensi dini, dibutuhkan oleh para orang tua agar dapat membantu perkembangan anaknya
secara dini. Diet sesuai dengan petunjuk ahli kesehatan.

Selain cara-cara tersebut di atas terdapat pula cara umum, yaitu dengan meningkatkan
taraf hidup masyarakat melalui peningkatan sosial-ekonomi, penyuluhan kepada masyarakat
mengenai pendidikan dini.

7. Defisit Anak Tunagrahita

Defisit berkebutuhan khusus dalam hal ini, yaitu defisit ana tunagrahita mencakup
beberapa area utama, sebagai berikut :
1. Atensi (perhatian) sangat diperlukan dalam proses belajar. Seseorang harus dapat
memusatkan perhatian sebelum ia mempelajari sesuatu.

2. Daya ingat. Kebanyakan dari mereka yang menderita keterbelakangan mental


mengalami kesulitan dalam mengingat informasi.

3. Perkembangan bahasa. Secara umum, anak tunagrahita mengikuti tahap-tahap


perkembangan bahasa yang sama dengan anak normal, tetapi perkembangan bahasa
mereka biasanya terlambat muncul, lambat mengalami kemajuan, dan berakhir pada
tingkat perkembangan yang rendah.

4. Self-regulation, yaitu kemampuan seseorang untuk mengatur tingkah lakunya sendiri.


Jadi, apabila seseorang diberikan sejumlah daftar kata yang perlu diingat kebanyakan
orang akan mengulanginya dengan cara menghafal atau menyimpan dalam ingatan.

5. Perkembangan sosial. Anak tunagrahita cenderung lebih sulit mendatkan teman dan
mempertahankan pertemanan yang disebabkan oleh beberap hal.

6. Motivasi. Jika cacat mental selalu mengalami kegagalan, maka dapat beresiko untuk
mengembangkan kondisi learned helplessness, dimana munculnya perasaan bahwa
seberapa besar pun usaha mereka, pasti akan menunjukkan kegagalan.

7. Prestasi akademik. Performa anak anak cacat mental yang ada pada semua area
kemampuan akademisnya berasa di bawa rata rata mereka semua seusia dengannya.

8. Dampak Anak Tunagrahita

Berikut ini akan dikemukakan beberapa damapak ketunagrahitaan, yaitu seagai berikut.

1. Dampak terhadap kemampuan akademik

Kapasitas belajar anak tunagrahita sangat terbatas, terlebih kapasitasnya


mengenai hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan membeo (Rote
learning) daripada dengan pengertian. Seperti, apabila mereka diberikan
pembelajaran matematika hanya berkisar beberapa menit mereka langsung
mengatakan bosan, susah, mengantuk. Namun bila diberikan pelajaran kesenian,
olahraga atau keterampilan mereka menunjukkan minat belajar yang baik dan
perhatian berlangsung dalam waktu yang lama dan lalu mereka meminta untuk
belajar lagi.

2. Sosial/emosional

Dampak sosial emosional anak tunagrahita dapat berasal dari


ketidakmampuannya dalam menerima dan melaksanakan norma sosial dan
pandangan masyarakat yang masih menyamakan keberadaan anak tunagrahita
dengan anggota masyarakat lainnya atau masyarakat masih menganggap bahwa anak
tunagrahita tidak dapat berbuat sesuatu karena ketunagrahitaanya.

Dampak ketunagrahitaanya dalam sosial dan emosional adalah anak


tunagrahita memiliki ketidakmampuan untuk memahami aturan sosial dan keluarga,
sekolah, serta masyarakat.

Anak tunagrahita semakin meluas dan bervariasi, karena alasan sebagai berikut:

1. Penyakit penyakit yang dialaminya semasa kanak kanak, remaja dan dewasa
sebagai akibat kerusakan otaknya.
2. Kurangnya love and care selama masa kanak kanak sehingga menyebabkan
gangguan penyesuaian diri yang diasosiasikan dengan berbagai problem tingkah
laku yang diperlihatkan.
3. Traffic accidents atau industrial accidents selama masa kanak kanak, remaja atau
dewasa yang dialaminya.

Di atas adalah bervariasinya anak berkebutuhan khusus tunagrahita dalam hal ini ada
cuplikan observasi anak berkebutuhan khusus tunagrahita antara lain sebagai berikut.

a. Anak Tunagrahita Dengan Sekolahnya

Berdasarkan hasil wawancara, tujuan praktis pendidikan anak tunagrahita di


sekolah luar biasa bagian c adalah agar anak anak ini bisa gembira dan mencapai rasa
aman dan ketenangan.
Tujuan disekolahnya anak anak agar penyesuaian diri mereka selsesi pendidikan
dasar, pada usia 17 tahun. Jadi, pada usia 18-19 tahun mereka diharapkan mampu:

1. menampilkan harga diri

2. melakukan hubungan sosial

3. dari segi ekonomi untuk membantu diri dalam kegiatan produksi

4. memperlihatkan tanggung jawab

b. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan anak tunagrahita adalah sebagai berikut

1. Dapat berdiri sendiri


2. Mempertahankan suatu macam pekerjaan tertentu.
3. Dapat menggunakan atau mengatur penghasilannya secara fungsional.
4. Mereka ini dapar melebur pada masyarakat, kerja secara terbuka.
5. Berdiri sendiri dengan pengawasan
6. Mempertahankan suatu macam pekerjaan
7. Tidak dapat mengatur atau menggunakan penghasilannya
8. Mereka dapat bekerja di bengkel kerja.
9. Menolong diri sendiri
10. Secara fundamental
11. Tidak menggangu
12. Mereka dapat tinggal dalam keluarga atau instansi (lembaga)

c. Anak Tunagrahita Dalam Masyarakat

Kelas khusus atau sekolah khusus untuk anak tunagrahita tidak menghasilkan
keutungan akademis apapun bilamana kurang diberikan latihan untuk sosialisasi.
Namun, masyarakat secara keseluruhan menaruh harapan yang begitu rendah pada
anak-anak ini dan sekaligus menghambat kemajuan mereka.

d. Anak Tunagrahita Dan Penyesuaian Sosialnya


Komponen penyesuaian sosial mencakup penyesuaian dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari (contoh : merawat diri sendiri, menata di dalam rumah dan
keterampilan untuk hidup mandiri), penyesuaian di dalam keluarga (meliputi :
komunikasi, kontribusi dan partisipasi), penyesuaian di dalam pekerjaan (meliputi
sikap terhadap tipe pekerjaan dan penyesuaian dalam pekerjaan)

9. Intervensi Atau Pendidikan Anak Tunagrahita

Pada dasarnya tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh anak tunagrahita tidak
berbeda dengan tujuan pendidikan pada umumnya sebab anak tunagrahita itu senditi lahir
di tengah-tengah masyarakat.

1. Kebutuhan pendidikan
2. Jenis mata pelajaran
3. Waktu belajar
4. Kemampuan bina diri
5. Kebutuhan sosial emosi
6. Kebutuhan fisik kesehatan
7. Kelas transisi
8. Sekolah khusus (sekolah luar biasa bagian c dan c1)
9. Pendidikan terpadu
10. Program sekolah di rumah
11. Pendidikan inklusif
12. Panti (griya) rehabilitasi

10. Strategi Penyusunan Kurikulum Pendidikan Anak Tunagrahita

Strategi penyusunan kurikulum pendidikan anak tunagrahita adalah sebagai berikut.

1. Bagi anak tunagrahita ringan

Pada dasarnya isi kurikulumnya sama dengan anak normal, namun secara
kualitatif sedikit lebih rendah daripada anak normal. Dapat ditambah dengan
berbagai latihan keterampilan.
2. Bagi anak tunagrahita menengah

Isi kurikulum baik kuantitas maupun kualitasnya lebih rendah daripada anak
normal. Bobot latihan keterampilan disarankan lebih banyak.

3. Bagi anak tunagrahita berat

Orientasi isi pengajaran pada lingkungan di dekatnya. Penekanan pada latihan


keterampilan, seperti :

1. Latihan gerakan tertentu,


2. Latihan mengenal warna,
3. Latihan menganal bunyi,
4. Latihan mengurus diri,
5. Latihan membuat mainan dan sebagainya.

11. Jenis-Jenis Implikasi Pendidikan/Terapi Yang Diburuhkan Anak Tunagrahita

Jenis implikasi pendidikan sera terapi bagi anak berkebutuhan khusus tunagrahita
dibutuhkan adalah sebagai berikut.

1. Fisioterapi
Fisioterapi adalah suatu terapi awal yang diperlukan oleh anak tunagrahita
karna tunagrahita terlahir dengan tonus yang lemah. Terapi awal ini berguna untuk
menguatkan otot-otot mereka sehingga kelemahannya dapat diatasi dengan latihan
penguatan otot.
2. Terapi wicara
Terapi wicara adalah suatu terapai yang diperlukan untuk anak tunagrahita
atau anak bermasalah dengan keterlambatan bicara. Deteksi dini diperlukan untuk
mengetahui seawal mungkin gangguan kemampuan komunikasi, sebagai dasar
untuk memberikan pelayanan terapi wicara.
3. Terapi okupasi
Terapi ini diberikan untuk dasar anak dalam hal kemandirian, kognitif atau
pemahaman, dan kemampuan sensorik dan motoriknya.
4. Terapi remedial
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan akademis skil,
jadi bahan bahan dari sekolah bisa dijadikan acuan program.
5. Terapi kognitif
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan
perceptual, misalnya anak yang tidak bisa berkonsentrasi, anak yang mengalami
gangguan pemahaman dll
6. Terapi sensori intergrasi
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan pengintegrasian
sensori, misalnya sensori visual, sensori taktil, sensori pendengaran, sensori
keseimbangan, pengintegrasian antara otak kanan dan otak kiri, dll.
7. Terapi snoezelen
Snoezelen adalah suatu aktivitas terapi yang dilakukan untuk mempengaruhi
cns melalui pemberian stimulasi pada sistem sensori primer, seperti visual, auditori
dll. Terapi ini diberikan pada anak yang mengalami gangguan perkembangan
motorik, misalnya anak yang mengalami keterlambatan berjalan.

12. Peran Bimbingan Konseling Bagi Anak Tunagrahita

Peran bimbingan konseling bagi anak kebutuhan khusus tunagrahita adalah sebagai
berikut.

1. Bimbingan dan konseling sebagai layanan

Bimbingan dan konseling sebagai layanan sedikitnya memerlukan 4


pendekatan (pendekatan krisis, remidial, pencegahan, dan perkembangan). Sebagai
profesi (konselor), maka dibutuhkan aturan0aturan dan penatalaksanaan layanan agar
tidak tumpang tindih dengan profesi lain terutama dengan profesi guru.

2. Kebutuhan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus

Mengenai kebutuhan layanan bimbingan dan konseling ini thompson dkk.


(2004) menuliskan garis besarnya sebagai berikut.
a. Anak harus mengenal dirinya sendiri
b. Menemukan kebutuhan abk yang spesifik sesuai dengan kelainannya. Kebutuhan
ini muncul menyertai kelainannya.
c. Menemukan konsep diri
d. Memfasilitasi penyesuaian diri terhadap kelainan/kecacarannya.
e. Berkoordinasi dengan ahli lain
f. Melakukan konseling terhadap keluarga abk
g. Membantu perkembangan abk agar berkembang efektif, memiliki keterampilan
hidup mandiri
h. Membuka peluang kegiatan rekreasi dan mengambangkan hobi
i. Mengembangkan keterampilan personal dan sosial
j. Bersama-sama merancang perencanaan pendidikan formal, pendidikan
tambahan, dan peralatan yang dibutuhkan.
Bimbingan merupakan upaya memberi bantuan untuk membantu individu
mencapai perkembangan yang optimal. Bimbingan dan konseling yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan upaya memfasilitasi ATGS agar perkembangan
secara optimal, mampu melakukan pengambilan keputusan secara mandiri agar
terlepas dari permasalahan yang membebaninya.

3. Pengertian bimbingan konseling bagi ATGS

SLB sebagai intunsi yang menyelenggarakan pendidikan bagi ATGS,


pelaksanaan bimbingan dan konseling belum ditangani secara proporsional. Dengan
kondisi demikian tugas guru pembimbing dilaksanakan oleh guru-guru dalam
menangani masalah siswa. Layanan guru sebagai pembimbing ATGS akan
mengalami berbagai kendala sesuai dengan kondisi karakteristik siswa.

Sunardi (2005) menyatakan tentang tujuan bimbingan di SLB meliputi


beberapa persoalan seperti berikut ini :

a. Membantu peserta didik agar dapat melewati setiap masa transisi perkembangan
dengan baik
b. Membantu peserta didik dalam mengatasi hambatan belajar dan hambatan
perkembangan atau masalah yang dihadapinya melalui pemenuhan kebutuhan
khususnya.
c. Membantu menyiapkan perkembangan mental anak-anak untuk masuk ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi
d. Membantu peserta didik dalam mencapai taraf kemandirian dan kebahagiaan
hidup
e. Membantu lingkungan, khususnya orang tua dalam memahami anak sebagai
individ dengan segala keunikannya
f. Membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan khusus anaknya yang timbul
sebagai dampak keluarbiasaan.

Guru dituntut untuk menyikapi kemandirian ATGS yang rendah dengan


mengembangkan layanan bimbingan di sekolah. Dengan memberdayakan lingkungan
agar jangkauan bimbingan lebih luas. Salah satu program yang dapat dilakukan yakni
dengan memberdayakan lingkungan terdekat ATGS. Dengan demikian, program
bimbingan terbuka lebih luas dengan memperpanjang jangkauan program bimbingan
yang tidak dapat dilakukan secara langsung. Kegiatan bimbingan dengan memperluas
jangkauan disebut dengan istilah outreach counseling.
ANTI SOSIAL
A. Pengertian Anti Sosial

Menurut Oxford psychology, anti sosial adalah perilaku yang merugikan orang
lain dan merugikan masyarakat. Pendapat senada dijelaskan Kahleen Stassen Berger
(2003 hal 302). Perilaku anti sosial sering dipandang sebagai sikap dan perilaku yang
tidak diperimbangkan penilaian dan keberadaan orang lain ataupun masyarakat umum
disekiar. Tindakan anti sosial sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat luas karena
seorang anti sosial tidak suka dengan keteraturan sosial (social order). Kemudia menurut
pendapat Burt, Donnellan, Iacono & McGue (2011: 634) perilaku antisosial adalah sebgai
perilaku yang menyimpang dari norma-norma, baik aturan keluarga, sekolah, masyarakat
dan hukum.
B. Faktor – factor Anti Sosial

Perilaku antisosial diuraikan oleh Fortin bahwa penyebab perilaku antisosial pada
anak-anak yakni :
1. Faktor Pribadi (personal risk factor)
a. Kapasitas Mental: Emosi dan Intelegensi

Kemampuan dalam berpikir mempengruhi banyak hal seperti kemampuan


belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi, berpengaruh
sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelektual
tinggi akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu, kemampuan
intelektual tinggi, kemampuan berbahasa baik, dan pengendalian emosi secara
seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak.
b. Kesehatan anak

Anak-anak biasanya sulit untuk patuh bila mereka lelah, sakit, lapar, atau
sedang ada tekanan emosional. Keadaan fisik yang tidak baik membuat seseorang
tidak dapat berpikir positif. Perasaan negatif lebih banyak muncul dan hal ini
membuat anak tidak bersedia mematuhi hal yang diperintahkan.
c. Jenis Kelamin
Anak laki-laki lebih berperilaku anti sosial. Anak laki-laki banyak
membentuk geng kelas yang menonjol. Anak laki-laki pada umumya cenderung
sok berkuasa dan menganggap remeh pada anak perempuan.
d. Umur

Umur memengaruhi pembentukan sikap dan pola tingkah laku individu,


makin bertambahnya umur diharapkan seseorang bertambah pula kedewasaannya,
makin mantap pengendalian emosi, dan makin tepat dalam segala tindakannya.
Kadang dijumpai ketidak sesuaian sikap yang dilakukan oleh anak sekolah dasar,
sikapnya seperti anak kecil, manja, minta dituruti segala keinginannya.
e. Kedudukan dalam keluarga

Keluarga yang terdiri atas beberapa anak, sering kali anak tertua merasa
dirinya paling berkuasa dibandingkan dengan anak kedua atau ketiga. Anak
bungsu mempunyai sifat ingin dimanjakan oleh kakak-kakaknya maupun orang
tuanya.
2. Keluarga (family risk factor)

Perilaku anti sosial yang ditimbulkan dari faktor resiko keluarga diantaranya
adalah:
a. Kekurangan disiplin

Orang tua sulit mengatakan “tidak” pada anak. Sehingga anak


beranggapan bahwa semua yang dia inginkan pasti dituruti oleh orang tua. Hal
inilah yang membuat anak berani untuk menolak yang tidak sesuai dengan apa
yang diinginkan dan menjadi sikap yang keras serta menjadi anak yang mau
menang sendiri.
b. Pemberian displin yang sangat keras.

Orang tua menuntut anaknya untuk berlaku perfect (sempurna).


Pemaksaan dan tuntunan inilah yang membuah anak bersikap melawan dan
‘protes’ dengan berperilaku yang sebaliknya.
c. Pemberia disiplin yang tidak konsisten.
Orang tua yang tidak konsisten dalam memberi disiplin seperti kadang
orang tua mengiyakan perbuatan anak tersebut dan kadang melarangnya.
Ketidakkonsisten ini membuat anak bingung kemudia ‘mencoba-coba’ untuk
menolak perintah orang tua.
d. Orang tua berada dalam keadaan stress atau konflik.
3. Sekolah (family risk factor)

Dalam dunia persekolahan merupakan proses sosialisasi anak yang seharusnya


terarah pada prakteknya tidaklah berjalan baik. pendidikan sebagai proses
pengoperasian ilmu yang normatif, yang akan memberi warna kehidupan sosial anak
di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang namun
terkadang tidaklah mencapai tujuan yang optimal. Pendidikan dalam arti luas harus
diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga,
masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman norma perilaku yang benar secara sengaja
seharusnya diberikan kepada anak yang belajar di kelembagaan pendidikan atau
sekolah.
4. Sosial (social risk factors)
a. Pergaulan dengan Anak Lain

Pola tingkah laku anak tidak bisa terlepas dari pola tingkah laku anak-anak
lain di sekitarnya. Anak-anak lain yang menjadi teman pergaulannya sering kali
memengaruhi kepribadian individu, dari teman bergaul tersebut anak akan
menerima norma-norma atau nilai- nilai sosial yang ada dalam masyarakat.

b. Media Massa

Berbagai tayangan di televisi tentang tindak kekerasan, film-film yang


berbau pornografi, sinetron yang berisi kehidupan bebas dapat memengaruhi
perkembangan perilaku individu. Anak- anak yang belum mempunyai konsep
yang benar tentang norma-norma dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat, sering
kali menerima mentah- mentah semua tayangan itu. Penerimaan tayangan-
tayangan negatif yang ditiru mengakibatkan perilaku social negative atau
menyimpang.
C. Jenis-jenis
a. Menurut Wiramihardja (2012 : 111) terdapat 2 jenis perilaku anti sosial, yaitu
 perilaku terbuka (overt), perilaku terbuka ini ditampilkan oleh otot maupun
kerangka badan seperti berjalan, memukul dan lain lain.
 Perilaku tertutup (covert), perilaku yang gerak-geriknya tidak langsung
menyatakan maksudnya seperti marah yang diperlihatkan dengan muka merah
atau perilaku non-agresif seperti perilaku melanggar peraturan dengan
berbohong.
b. Menurut Schaefer dan Millman (1981), ada 3 karakteristik anak anti sosial
khususnya pada anak yang tidak patuh, yaitu :
 The Passive Resistant Type, yaitu anak menjadi diam atau menghindari
perintah dengan cara pasif, mengikuti perintah tetapi dengan setengah hati.
 The Openly Defiant Type, yaitu anak secara langsung menolak perintah
secara verbal.
 The Spiteful Type of Noncompliance, yaitu anak melakukan hal yang
sebaliknya dari yang diperintahkan.
c. T. Sutjihati Somantri (2006:43-45) menjelaskan bahwa bentuk tingkah laku sosial
yang dijumpai pada masa anak-anak dilandasi oleh pola tingkah laku yang
terbentuk pada masa bayi, tetapi beberapa diantaranya merupakan bentuk tingkah
laku yang baru. Beberapa diantaranya merupakan bentuk tingkah laku yang tidak
sosial bahkan anti sosial.

Bentuk-bentuk tingkah laku anti sosial yang sering dijumpai pada masa anak-anak
adalah:
 Negativisme, Negativisme adalah merupakan gabungan antara keyakinan diri,
perlindungan diri, dan penolakan yang berlebihan. Negativisme merupakan
akibat situasi sosial, misalnya disiplin yang terlalu keras atau sikap orang
dewasa yang idak toleran.
 Agresi, Agresi merupakan tindakan nyata yang mengancam sebagai ungkapan
rasa benci. Anak akan menunjukkan kecenderungan untuk mengulangi
tindakan agresinya bila tindakan tersebut memberikan hasil yang
menyenangkan bagi dirinya, terutama mengenghadapi frustasi atau
kecemasan yang dirasannya. Beberapa penyebab munculnya agresi pada
anak-anak antara lain frustasi, keinginan untuk menarik perhatian, kebutuhan
akan perlindungan karena rasa tidak aman, dan identifikasi dengan orang tua
yang agresif.
 Tingkah laku menguasai, Tingkah laku menguasai diartikan sebagai tindakan
untuk mencapai atau mempertahankan penguasaan suatu situasi sosial.
Bentuk tingkah laku anti sosial dapat membuat anak menarik diri dari
lingkungan sosial dan pada akhirnya anak tidak diterima dalam kelompok
sebaya.
D. Upaya
a) Upaya Orang Tua atau Keluarga dalam Menerapkan Pola Asuh Authorative
sebagai Pencegahan Dini Perilaku Anti Sosial Telah kita sepakati bahwa faktor
keluarga sangat berperan dalam pembentukan perilaku anti sosial anak. Oleh
karenanya agar anak tidak berperilaku anti sosial maka orang tua harus
menerapkan pola asuh authoritative, yaitu menciptakan aturan yang
dikombinasikan dengan cinta dan alasan yang jelas dan cara penyampaiannya
dapat diterima oleh anak, menghindari perilaku kekuasaan (pola asuh
autoritharian) atau perilaku mengalah (pola asuh permisif) yang ekstrim. Dalam
pola asuh authorative orang tua serta keluarga tidak memberikan disiplin yang
sangat keras, orang tua tidak menuntut anak untuk berlaku perfect (sempurna),
tidak memaksa dan menginginkan disiplin ’instant’ pada anak. Orang tua serta
keluarga harus memberikan pola disiplin yang konsisten. Sehingga anak tidak
‘mencoba-coba’ untuk menolak perintah orang tua, siapa tahu kali ini ia berhasil
untuk tidak jadi melakukan hal yang diperintahkan. Orang tua serta keluarga
harus hidup dalam kasih sayang, memberikan teladan yang baik sertamampu
bekerjasama dalam peran pengasuhan pada anak dengan baik dan berkualitas.
Selain pengasuhan authorative Orang tua serta keluarga harus memenuhi,
mencukupi serta menaga keadaan fisik dan mental anak dengan baik. Anak jangan
sampai kelelahan atau sakit, serta jaga mental anak agar tetap dalam kondisi baik
sehingga emosionalnya tidak tertekan, sehingga anak dapat merasakan
ketenangan, kebahagiaan dan tetap berpelilaku baik. Orang tua harus mengajarkan
anak untuk bersosialisasi dengan berbagai latar belakang ststus sosial dan
ekonomi dengan anak lain yang beragam, agar tidak merasa atau mengkelaskan
diri sebagai anak yang elit atau sebaliknya terisolir. Orang tua serta keluarga
harus menanamkan pola bahwa dalam urutan anak dalam keluarga harus saling
menyayangi dan memiliki peranan sesuai dengan kemampuan anak. Orang tua
harus mengontrol pergaulan anak. Jangan biarkan hidup dalam lingkungan yang
buruk, sehingga pola tingkah laku anak teteap terjaga dengan baik. Orang tua
harus melatih intelegensi anak. Intelegensi anak yang tinggi pada umumnya tidak
mengalami kesulitan dalam bergaul, belajar, dan berinteraksi di masyarakat,
sebaliknya anak yang intelegensinya di bawah normal akan mengalami berbagai
kesulitan dalam belajar di sekolah maupun menyesuaikan diri di masyarakat.
Orang tua harus mengajarkan perberbedaan pada anak laki-laki dan anak
perempuan namun harus menghargai perbedaan jenis kelaminkelamin tersebut.
Orang tua harus mendidik anak dengan memperhatikan usia atau umur anak
dimana terdapat perbedaan yang harus harus diketahui peranan, tanggung jawab
sebagai anak sesuai umurnya agar anak dapat berbuat baik pada temannya, pada
orang tuanya atau pada masyarakat.
b) Upaya Orang Tua atau Keluarga Membawa Anak Anti Sosial Terapi Perilaku
Dialektikal pada Ahli Terapis Jika anak sudah terlanjur berperilaku anti sosial
pada taraf melanggar hukum negara, maka orang tua harus membawa anaknya
untuk melakukan terapi gangguan kepribadian, terapi perilaku dialektikal disebut
berasal dari analisa Teori Dialektikal : sebuah pendekatan yang mengombinasikan
empati dan penerimaan yang terpusat pada klien dengan penyelesaian masalah
kognitif behavioural dan pelatihan keterampilan sosial yang diperkenalkan oleh
Marsha Linehan(1987). Terapi perilaku dialektika mememiliki tiga tujuan
menyeluruh bagi para individu ambang. 1. Mengajari mereka untuk mengubah
dan mengendalikan memosionalitas dan perilaku ekstrem mereka 2. Mengajari
mereka untuk menoleransi perasaan tertekan 3. Membantu mereka memercayai
pikiran dan emosi mereka sendiri.
c) Upaya Guru dalam Menerapkan Metode Pembelajaran Kooperatif. Perilaku Anti
sosial dapat ditangani dengan berbagai cara. Rosen, Glennie, Dalton, Lennon &
Bozick (2010: 147-148) menyatakan bahwa perilaku anti sosial dapat ditangani
dengan mengembangkan perilaku sosial anak melalui pembelajaran kooperatif,
metode ini mampu membangun rasa percaya diri, semangat belajar, suasana yang
menyenangkan terlebih mampu menumbuhkan kerja sama, saling menhormati
sesama teman. Berdasarkan pendapat ahli tersebut, maka penerapan metode
belajar Kooperatif dapat mewujudkan keterampilan sosial dengan baik, dengan
demikian perialku anti sosial dapat terkikis. Upaya sedari awal untuk
mengembangkan sikap keterampilan sosial, salah satunya adalah penerapan
model pembelajaran di kelas yang bisa merangsang siswa untuk memiliki
keterampilan sosial itu sendiri, misalnya adalah model kooperatif learning. Hal ini
dipertegas oleh pendapat Ibrahim et,al (2007) menyatakan, Cooperatif Learning di
kembangkan untuk mencapai setidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu :
1.) Hasil Belajar Akademik, 2) Penerimaan terhadap individu, 3) Pengembangan
keterampilan sosial.
d) Upaya Guru dalam Memberi Perhatian Psikologi dan Perkembangan Multiple
Intelegensi Anak Proses pendidikan di sekolah harus berlangsung dengan
memperhatikan psikologi dan sesuai perkembangan multiple intelegensi anak.
Anak usia sekolah dasar mulai mengalami ketidak- senangan berdiferensiasi di
dalam rasa malu cemas dan kecewa sedangkan kesenangan, berdiferensiasi ke
dalam harapan dan kasih sayang. Oleh karena itu, jangan sampai siswa-siswi
membenci atau guru atau bidang studi tertentu, sehingga bergantung pada
kemampuan guru untuk menyelenggarakan conditioning reinforcement aspek-
aspek emosional tersebut. Gejala “seperti takut, cemas, marah, sedih, iri cemburu,
senang, kasih sayang, simpati merupakan beberapa proses manifestasi dari
keadaan emosional pada diri seorang anak sekolah dasar.
e) Upaya Masyarakat Menumbuhkan Norma Sosial. Tidak bisa dielakan bahwa kita
hidup bermasyarakat. Sejatinya masyarakat dalam hal ini orang yang tinggal
disekeliling kita adalah orang dengan pendidikan yang baik terutama dalam
memahami pendidikan, perkembangan dan pertumbuhan anak. Namun tentulah
tidak semua masyarakat disekeliling kita Misalnyadalam masyarakat dapat
member teladan pada anak sehingga anak berkembang dengan peribadi yang baik.
Upaya masyarakat dalam menumbuhkan norma sosial misalnya hidup rukun,
gotong royong, bekerjasama, saling menolong.
f) Upaya Media Massa Memberikan Tuntunan dan Tontonan yang Baik Media
Massa harus memberikan tontonan dan tuntunan yang baik bagi anak, yaitu
tayangan yang tidak mengedepankan unsur kekerasan fisik, kekerasan seksual,
pelanggaran terhadap norma. Membuat tayangan khusus bagi anak yang sesuai
dengan perkembangan dan pertumbuhan anak juga dipandang perlu sebagai upaya
permodelan pada anak nilai dan norma- noma yang baik, misalnya tayangan yang
mengedepankan nilai senang menolong, bekerja sama, atau saling membantu dan
lain sebagainya.
TEMPER TRANTUM

A. Definisi Temper Tantrum

Temper trantum adalah suatu ledakan amarah yang sering terjadi pada anak usia tiga
sampai enam tahun yang ditandai dengan tindakan menangis, menjeritjerit, melempar
benda, bergulingguling, memukul dan aktivitas destruktif lainnya.

B. Temper trantum menurut para ahli

Temper tantrum adalah salahsatu dari sekian banyak kelainan pada kebiasaan-
kebiasaan anak, sebagai suatu usaha untuk memaksakan kehendaknya pada orang tua,
yang biasanya tampak dalam bentuk menjerit-jerit, berteriak dan menangis sekeras-
kerasnya, berguling-guling di lantai dan sebagainya (Kartono, 1991: 13).

Temper tantrum merupakan luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol.
Kejadian ini seringkali muncul pada anak usia 15 bulan sampai 5 tahun. Tantrum terjadi
pada anak yang aktif dengan energi yang melimpah (Hasan, 2011: 185).

Menurut Hurlock (1998: 115) temper tantrum adalah ledakan amarah yang kuat,
ketakutan yang hebat dan iri hati yang tidak masuk akal. Hal ini tampak mencolok pada
anak-anak usia 2,5 sampai 3,5 dan 5,5 sampai 6,5 tahun. Ledakan amarah mencapai
puncaknya antara usia dua dan empat tahun, setelah itu amarah berlangsung tidak
terlampau lama.

Temper tantrum merupakan gangguan tingkah laku yang terjadi pada anak usia tiga
sampai tujuh tahun, gangguan ini ditandai dengan adanya suatu pola tingkah laku
dissosial, agresif atau menentang yang berulang dan menetap (Maslim, 2003: 137).

Temper tantrum merupakan suatu ledakan emosi yang kuat sekali, disertai rasa
marah, serangan agresif, menangis, menjerit-jerit, menghentak-hentakkan kedua kaki dan
tangan pada lantai atau tanah (Chaplin, 2009:502).

Menurut Salkind (2002: 408) temper tantrum adalah perilaku destruktif dalam bentuk
luapan yang bisa bersifat fisik (memukul, menggigit, mendorong), maupun verbal
(menangis, berteriak, merengek) atau terus menerus merajuk.

C. Penyebab temper trantum

Hampir setiap anak mengalami temper tantrum dan pada umumnya hal ini terjadi
pada hampir seluruh periode awal masa kanakkanak (Hurlock, 1998: 114). Temper
tantrum sering terjadi karena anak merasa frustasi dengan keadaannya, sedangkan ia tidak
mampu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata atau ekspresi yangdiinginkannya
(Hasan, 2011: 187). Menurut Salkind (2002:408), temper tantrum terjadi pada anak yang
pemalu, penakut, dan sering cemas terhadap orang asing. Keterlambatan dalam
perkembangan

bahasa, gangguan pendengaran, gangguan system syaraf pusat dapat menyebabkan


temper tantrum. Lingkungan anak akan mempengaruhi intensitas dan frekuensi tantrum.

Pada anak usia 2-3 tahun, tantrum terjadi karena anak usia tersebut biasanya
sudah mulai mengerti banyak hal dari yang didengar, dilihat maupun dialaminya, tetapi
kemampuan bahasa atau berbicaranya masih sangat terbatas (Hasan, 2011: 187).

D. Jenis Temper Trantum

1. Tantrum Manipulatif

Biasanya, tantrum manipulatif akan muncul jika keinginan anak tidak dipenuhi.
Tantrum manipulatif adalah tindakan yang dilakukan oleh anak-anak ketika
keinginannya tidak terpenuhi dengan baik. Ini adalah tantrum yang dibuat-buat oleh
anak-anak untuk membuat orang lain memenuhi keinginannya. Perlu diingat, tantrum
manipulatif tidak terjadi pada semua anak. Kebanyakan tantrum manipulatif muncul
akibat adanya penolakan.

2. Tantrum Frustasi

Umumnya tantrum frustasi yang terjadi disebabkan karena anak belum bisa
mengekspresikan dirinya dengan baik. Anak dengan berusia 18 bulan rentan alami
kondisi ini akibat merasa kesulitan mengatakan dan mengekspresikan apa yang
dirasakan pada orang lain. Namun tidak hanya itu, anak akan mengalami tantrum
frustasi karena dipengaruhi beberapa faktor, seperti kelelahan, kelaparan, atau gagal
melakukan sesuatu.

E. Ciri-ciri Anak yang Mudah Mengalami Temper Tantrum.

Menurut Hasan (2011:185) tantrum terjadi pada anak yang aktif dengan energi yang
berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap lebih sulit,
dengan ciri-ciri sebagai berikut:

(1) Memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur;

(2) Sulit menyukai situasi, makanan, dan orang-orang baru;

(3) Lambat beradaptasi terhadap perubahan;

(4) Suasana hati lebih sering negative;

(5) Mudah terprovokasi, gampang merasa marah, dan kesal;


(6) Sulit dialihkan perhatiannya;

F. Cara mengatasi anak Temper Trantum

Ada beberapa cara mengatasi anak mengalami temper trantum, yaitu :

1. Tetap tenang.

2. Cari tahu penyebab temper trantum.

3. Alihkan perhatiannya, karena anak tantrum cenderung mudah beralih ke hal baru.

4. Jangan memukul si anak.

Anda mungkin juga menyukai