Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini tampaknya masalah kesehatan semakin mendapatkan


perhatian dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya publikasi
tentang kesehatan di media massa maupun presentasi dan dialog tentang masalah
kesehatan di radio dan televisi. Disatu sisi keadaan tersebut diatas tentunya sangat
menggembirakan karena pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan akan meningkat. Tentu saja pengetahuan tentang kesehatan tidak
seluruhnya dan sepenuhnya dapat dipahami oleh masyarakat awam dan
pemahaman masalah kesehatan yang tidak memadai atau bahkan keliru justru
dapat memunculkan keresahan dalam masyarakat. Disamping karena kurangnya
pengetahuan dasar tentang kesehatan, ada kemungkinan bahwa pemahaman yang
keliru tersebut disebabkan oleh penjelasan tidak benar yang diberikan oleh
profesional bidan kesehatan. Dalam kaitannya dengan masalah infeksi
cytomegalovirus (CMV), kadang-kadang terjadi banyak kesimpangsiuran dalam
pemahaman beberapa aspek infeksi oleh virus ini, termasuk gambaran klinik, cara
diagnosis dan kriteria CMV yang perlu pengobatan (Lisyani, 2007).
Infeksi CMV biasanya dikelompokkan dalam infeksi TORCH yang
merupakan singkatan dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes
simpleks virus atau ada juga yang menambahkan others untuk huruf O-nya.
Seperti pada infeksi TORCH, infeksi CMV dipopulerkan sebagai penyakit yang
berdampak negatif terhadap janin atau fetus yang dikandung oleh wanita hamil
yang terinfeksi. Pada infeksi CMV, infeksi maternal atau ibu hamil kebanyakan
bersifat silent, asimtomatik tanpa disertai keluhan klinik atau gejala, atau hanya
menimbulkan gejala yang minim bagi ibu, namun dapat memberi akibat yang
berat bagi fetus yang dikandung, dapat pula menyebabkan infeksi kongenital,
perinatal bagi bayi yang dilahirkan. Keadaan seperti ini memang perlu diketahui
dan dideteksi agar dapat diberikan pengelolaan yang tepat, sebab infeksi prenatal
dapat berakibat fatal,

1
sedangkan infeksi kongenital atau perinatal yang pada awalnya berjalan tanpa
gejala dapat menjadi manifest di kemudian hari (Lisyani, 2007).
Infeksi CMV tidak selalu bergabung dalam infeksi TORCH, melainkan dapat
berdiri sendiri, karena selain pada ibu hamil dan fetus, dapat menyerang setiap
individu. Prevalensi infeksi sangat tinggi walupun umumnya bersifat silent.
Infeksi CMV ternyata dapat memicu banyak macam penyakit lain antara lain
keganasan, penyakit autoimun, bermacam inflamasi seperti radang ginjal-saluran
kemih, hati, saluran cerna, paru, mata dan infertilitas (Lisyani, 2006).
Diagnosis infeksi CMV tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan latar
belakang klinik saja, terlebih bila dijumpai keluhan atau hanya menimbulkan
keluhan yang mirip dengan infeksi virus pada umumnya. Deteksi secara
laboratorik diperlukan untuk menunjang diagnosis. Berbagai metode pemeriksaan
laboratorium telah dikembangkan dengan menggunakan bahan pemeriksaan
serum darah, urin dan cairan tubuh lain. Sejauh ini, pemeriksaan laboratorium
untuk mendeteksi CMV banyak dilakukan oleh pasangan pranikah, prahamil atau
wanita hamil yang mempunyai riwayat kelainan kehamilan termasuk keguguran
atau ingin punya anak, serta bayi baru lahir cacat. Namun, dengan memahami
seluk beluk infeksi CMV akan dapat dipahami bahwa deteksi laboratorik juga
diperlukan oleh setiap individu yang dicurigai terinfeksi CMV, baik hamil
maupun tidak hamil, wanita maupun pria, dewasa, anak maupun bayi baru lahir
(Lisyani, 2006).
Pengetahuan tentang CMV, respon imun terhadap CMV perlu didalami agar
dapat diketahui bagaimana tubuh berusaha memberikan perlindungan, bagaimana
kegagalan usaha perlindungan terjadi, sehingga mengakibatkan timbulnya
berbagai penyakit atau manifestasi klinik infeksi CMV. Interpretasi hasil
pemeriksaan laboratorium perlu dipelajari agar dapat diketahui adanya infeksi
asimtomatik, status infeksi, kemungkinan penyebaran infeksi baik didalam tubuh
sendiri ataupun di luar tubuh. Semua hal tersebut diperlukan dalam upaya
memberikan wawasan untuk membantu penatalaksanaan infeksi CMV,
melakukan pengobatan seawal mungkin, mencegah dampak negatif, baik pada
individu dengan kompetensi imun yang baik maupun immunocompromised atau
yang lemah, serta mencegah penyebaran atau penularan penyakit (Lisyani, 2007).
Cytomegalovirus ditemukan pada berbagai binatang, termasuk juga pada
manusia. Meskipun demikian infeksi CMV pada manusia hanya dapat ditularkan
oleh manusia. Binatang yang terinfeksi CMV tidak dapat menularkan CMV pada
manusia dan sebaliknya. Dengan kata lain CMV bersifat sangat spesifik, strain
tertentu hanya dapat menginfeksi binatang tertentu pula. Peranan CMV dalam
kehidupan semakin penting dalam 2 dekade terakhir ini terutama akibat dari
munculnya AIDS, terapi yang bersifat imunosupresif post transplantasi dan
imunodefisiensi lainnya. Selain itu infeksi CMV pada manusia merupakan
penyebab penting kelainan kongenital pada bayi dan anak (Edward & Mocarski,
1996).
Dalam membahas infeksi CMV perlu dipahami pengertian-pengertian berikut:
a) infeksi primer adalah infeksi yang terjadi pertama kali; b) reinfeksi adalah
infeksi yang terjadi lagi setelah infeksi primer dan CMV yang menginfeksi
berasal dari orang lain, bukan dari pasien itu sendiri; c) infeksi laten adalah
terdapat infeksi tetapi tidak ada aktifitas virus; d) reaktivasi/rekurensi adalah
kembalinya aktifitas virus setelah infeksi laten; e) infeksi persisten adalah infeksi
yang disertai dengan produksi virus baru secara terus menerus (Stehel & Sanchez,
2005).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Etiologi
Cytomegalovirus (CMV) merupakan salah satu anggota virus dari
famili herpesviridae, subfamili beta herpesviridae. Semua anggota dari
kelompok virus ini memiliki persamaan dalam hal kemampuannya untuk
menimbulkan infeksi yang laten seumur hidup. Masing-masing virus famili
herpesviridae memiliki perbedaan dalam hal preferensi untuk menginfeksi
hanya organ- organ atau sel-sel tertentu. Cytomegalovirus sebelumnya lebih
dikenal sebagai ‘virus kelenjar ludah’ dan istilah CMV baru dipakai ketika
Weller mengajukannya untuk menggambarkan manifestasi infeksi yang
berupa penyakit cytomegalic inclusion akibat dari pembesaran luar biasa dari
sel yang terinfeksi virus tersebut (Weller et al., 1963).
Cytomegalovirus adalah virus DNA (deoxyribonucleic acid) untai
ganda dengan ukuran genom kira-kira 240 kbp, termasuk yang tersebar
diantara virus herpes (famili herpesviridae) yang dapat hidup pada manusia,
tetapi antibodi terhadap satu strain pada umumnya juga bereaksi terhadap
strain lainnya selaras dengan homologi sekuen yang mencapai 95% (Huang
et al., 1976). Cytomegalovirus terdiri dari bagian envelope (mengandung
lipid), tegument, capsid dan memiliki genom DNA untai ganda berukuran
besar yang mampu mengkode lebih dari 227 macam protein struktural dan
lain-lain protein nonstruktural yang tidak jelas fungsinya. Cytomegalovirus
terdiri dari bermacam strain yang dapat dibedakan dengan cara melakukan
pencernaan tertentu terhadap genom ini. Protein CMV disebut dengan
singkatan p untuk protein, gp atau g untuk glikoprotein, pp untuk
phosphoprotein. Protein-protein tersebut dapat dijumpai pada bagian-bagian
CMV seperti envelope sekurang- kurangnya ada 5 macam, tegument juga 5
macam yang paling imunogenik serta paling banyak diproduksi, capsid ada 5
macam pula yang bersifat imunogenik. Glikoprotein paling imunogenik pada
envelope ialah glikoprotein B (gB). Semua antibodi yang terbentuk bersifat
netralisasi terhadap semua protein
imunogen ini kecuali terhadap glikoprotein 48 dari envelope yang terbentuk
awal (Stagno, 1994).

Gambar 1. Struktur Cytomegalovirus (CMV) (Sofro, 2014)

Siklus hidup (replikasi) CMV relatif lambat dibanding dengan virus


herpes lainnya. Pada kultur jaringan, CMV berkembang biak lebih lambat
daripada virus herpes simpleks atau virus varicella zoster dan diperlukan
beberapa minggu untuk tumbuh merata. Diperlukan antara 48-72 jam untuk
CMV sampai pada taraf yang dapat dideteksi. Kelambanan siklus hidup virus
ini selaras dengan lambannya produksi protein yang diketahui atau diduga
terlibat dalam replikasi DNA virus (Stinky, 1983).
2.2. Patogenesis
Infeksi CMV dimulai dengan interaksi antara virus dengan reseptor di
permukaan sel, kemudian diikuti dengan penetrasi dan maturasi. Interaksi
dan penetrasi ini dapat terjadi pada sel yang memungkinkan maupun yang
tidak memungkinkan bagi CMV untuk tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa
reseptor untuk CMV ini terdapat pada berbagai sel, dengan demikian sel
spesifik untuk
CMV ini lebih ditentukan oleh hal-hal setelah penetrasi (Smith & de Harven,
1974).
Infeksi CMV menyebabkan pembesaran sel disertai inklusi intranuklear.
Inti sel sering menunjukkan gambaran kromatin yang terdesak ke tepi, serta
inklusi yang dikelilingi oleh suatu halo yang jernih. Pada infeksi yang berat,
semua sistem organ dapat terlibat. Cytomegalovirus secara khas menginfeksi
sel-sel epitel duktal, sedangkan permukaan serosa dan mukosa juga terinfeksi
dengan derajat yang lebih ringan (Conpton et al., 1992).
Meskipun bersifat sitopatik dan mampu merusak jaringan, CMV
memiliki virulensi yang rendah. Replikasi virus yang lamban mengakibatkan
lebih banyak virion intraseluler daripada ekstraseluler serta lebih banyak
terdapat virion yang defektif. Disamping efek sitopatik CMV, respon imun
host dan vaskulitis yang bisa menyertai infeksi CMV menyebabkan disfungsi
organ yang terlibat (Stagno, 1990).
Setelah lepas dari sel yang terinfeksi, CMV dapat berikatan dan
diselubungi oleh α2-mikroglobulin sehingga virus dapat terlindung dari
antibodi penetral. Cytomegalovirus yang berasosiasi dengan sel menginduksi
sintesa protein yang terlokalisir pada permukaan sel dan dapat berperan
sebagai reseptor Fc immunoglobulin. Protein ini melindungi sel yang
terinfeksi terhadap efek sitotoksik sistem imun (Stagno, 1990).
Cytomegalovirus bersifat imunosupresif. Respon proliferasi limfosit
dihambat selama infeksi akut dan hal ini lebih memudahkan terjadinya
infeksi CMV yang persisten. Setelah menginfeksi CMV masuk ke dalam
peredaran darah dan tersebar di seluruh tubuh. Viremia berlangsung beberapa
minggu sampai dengan beberapa bulan. Pada infeksi subklinik
Imunoglobulin M (IgM) spesifik muncul pada awal infeksi dan menghilang
setelah 12-16 minggu. Imunoglobulin G (IgG) spesifik mencapai puncak
dalam 2 bulan pertama setelah infeksi menetap selama hidup (Stagno, 1990).
Cell-mediated immunity mengalami aktivasi pada infeksi CMV yang
bersifat subklinik tetapi mengalami hambatan pada infeksi simptomatik.
CMV
menjadi laten di berbagai organ, mungkin dalam makrofag dan sel dendritik
dan dapat aktif kembali akibat berbagai stimuli (Stagno, 1990).
Uraian di bawah ini terjadi hanya pada keadaan defisiensi sistem imun.
Keterlibatan sistem saraf pusat pada infeksi CMV secara makroskopik dilihat
dengan adanya ensefalitis fokal dan periependimitis. Ensefalitis dapat
mengenai sel-sel pada substantia alba dan grisea. Sel-sel yang mengandung
inklusi dapat ditemukan pada neuron, ependima, pleksus choroideus, selaput
otak dan endotel vaskuler. Resolusi ensefalitis akut mengakibatkan gliosis
dan kalsifikasi. Sel-sel yang mengandung inklusi viral juga dapat ditemukan
di dalam struktur telinga bagian dalam, termasuk organon corti dan epitel
stria vaskularis cochlea. Perubahan histopatologis yang berhubungan dengan
renitis dimulai dengan vaskulitis akut yang menyebar menuju choroid.
Kelainan mata yang dapat ditentukan meliputi khoriorenitis, neuritis optik,
katarak dan mikroftalmus (Stagno, 1994).
Keterlibatan hepar ditunjukkan dengan adanya hepatomegali, kenaikan
kadar ureum, transaminase dan hiperbilirubinemia. Secara histopatologis
dapat ditunjukkan dengan adanya kolangitis dan kolestasis intralobuler. Sel-
sel yang mengandung inklusi viral mungkin ditemukan pada epitel saluran
empedu, endotel kapiler dan sangat jarang pada sel parenkim hepar.
Kalsifikasi dapat dideteksi pada bayi yang mengalami infeksi kongenital.
Lesi-lesi tersebut tidak pernah berkembang menjadi penyakit hepar kronik
dan belum pernah dilaporkan adanya sirosis akibat infeksi CMV (Stagno,
1994).
Abnormalitas hematologi termasuk trombositopenia, anemia dan
hematopoesis ekstramedula sering ditemukan pada bayi yang terinfeksi
CMV. Hal ini dihubungkan dengan terjadinya splenomegali kongestif.
Infeksi CMV tidak menyebabkan perubahan pada ginjal secara makroskopik.
Secara mikroskopik sel-sel yang mengandung inklusi viral dapat ditemukan
pada tubulus distalis dan tubulus collectives. Infiltrasi sel mononuclear sering
terdapat pada daerah peritubuler ginjal. Kecuali pada pasien transplantasi
ginjal, infeksi CMV jarang menyebabkan disfungsi renal (Stagno, 1990).
Gambar 2. Alur masuk virus ke dalam sel inang (Rote, 2006)

Kelenjar ludah biasanya terinfeksi CMV pada infeksi yang bersifat


kongenital. Inklusi viral juga ditemukan pada mukosa oesofagus, lambung
dan usus. Keterlibatan jaringan paru secara mikroskopik dapat ditunjukkan
dengan adanya sel-sel yang mengandung inklusi viral pada epitel alveolus
dan bronkus. Disfungsi paru biasanya hanya terjadi pada kasus-kasus
imunodefisiensi (Stagno, 1990).
2.3. Epidemiologi
Manusia merupakan satu-satunya reservoir CMV dan penularan virus
terjadi melalui kontak langsung ataupun tidak langsung. Sumber-sumber
virus meliputi sekresi orofaring, urin, semen, sekresi servik dan vagina, air
susu ibu, air mata, feses dan darah (Reinolds et al., 1975).
Infeksi CMV bersifat endemik terjadi sepanjang tahun dan tidak
tergantung pada musim. Faktor sosio-ekonomi yang tidak menguntungkan
menyebabkan tingkat kejadian infeksi yang tinggi, baik melalui pengeluaran
secara horizontal maupun vertikal. Higiene yang jelek berpengaruh terhadap
tingkat kejadian infeksi serta tidak ada bukti bahwa faktor ras berpengaruh
terhadap kepekaaan infeksi CMV. Dilaporkan bahwa antara 0,2%-2,2% bayi
yang lahir di Amerika terinfeksi CMV in utero, sedangkan 8%-16% bayi
terinfeksi dalam kurun waktu 6 bulan setelah lahir akibat penularan melalui
air susu ibu. Tingkat penularan CMV yang lebih tinggi terjadi di negara-
negara berkembang, 80% anak dan dewasa telah terinfeksi oleh CMV
(Stagno, 1994). Pada populasi dengan keadaan sosial ekonomi yang baik,
kurang lebih 60- 70% orang dewasa, menunjukkan hasil pemeriksaan
laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Keadaan ini meningkat kurang
lebih 1% setiap tahun. Pada keadaan sosial ekonomi yang jelek, atau di
negara berkembang, lebih dari atau sama dengan 80-90% masyarakat
terinfeksi oleh CMV. Lisyani dalam observasi selama setahun di tahun 2004,
mendapatkan dari 395 penderita tanpa keluhan yang memeriksakan diri untuk
antibodi anti-CMV, 344 menunjukkan hasil pemeriksaan IgG seropositif, 7
dari 344 penderita tersebut juga disertai IgM positif dan 3 penderita hanya
menunjukkan hasil IgM positif. Total seluruhnya 347 orang atau 87,8%
menunjukkan seropositif. Hasil observasi ini menyokong pendapat bahwa
sangat banyak masyarakat kita yang terinfeksi oleh CMV dan sebagian besar
sudah berjalan kronik dengan hanya IgG
seropositif, tanpa menyadari bahwa hal tersebut telah terjadi (Lisyani, 2007).
Anak yang terinfeksi CMV dapat mengeluarkan virus melalui urin dan
saliva selama bertahun-tahun. Penularan infeksi dari anak kepada ibu
berperan penting dalam perolehan infeksi CMV pada orang dewasa. Adanya
CMV yang persisten dalam saliva, sekresi serviks dan semen orang dewasa
menunjukkan bahwa infeksi dapat ditularkan melalui kontak seksual (Lang,
1972).
2.4. Gejala Klinik
Infeksi CMV pada orang normal biasanya tidak menimbulkan tanda dan
gejala klinik. Infeksi ini jarang berkembang menjadi sindroma
mononucleosis yang secara klinik tidak dapat dibedakan dari sindroma
mononucleosis yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr. Delapan persen
sindroma ini disebabkan oleh CMV. Gejala yang muncul meliputi demam
yang persisten, mialgia, adenopati servikal dan gejala nonspesifik lainnya.
Meskipun jarang terjadi,
mononucleosis yang disebabkan oleh CMV dapat menimbulkan komplikasi
pneumonia, hepatitis, kelainan susunan saraf pusat (sindrom Guillain Barre),
meningitis aseptik dan berbagai abnormalitas imunologi lain. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan adanya limfositosis atipik, peningkatan
transaminase dan tidak adanya antibodi heterofil (Reinolds et al., 1975).
Post perfusion syndrome merupakan infeksi CMV yang didapat setelah
transfusi. Pada kasus ini terdapat splenomegali, demam dan limfositosis
atipik yang muncul dalam 3-6 minggu setelah transfusi dan dapat sembuh
spontan. Pada resipien transplantasi, infeksi CMV dapat memunculkan
gejala-gejala yang meliputi demam yang lama, leukopenia, trombositopenia,
trombositopenia, limfositosis atipik dan peningkatan serum transaminase.
Komplikasi pada kasus-kasus tersebut dapat berupa infeksi traktus
gastrointestinal dengan perforasi, hepatitis dan pneumonia (Reinolds et al.,
1975).
Pada pasien acquired immune deficiency syndrome (AIDS), infeksi
CMV dapat mengenai hampir semua sistem organ, tetapi yang paling sering
terkena adalah paru, sistem gastrointestinal dapat meliputi esofagitis,
gastritis, enterokolitis serta infeksi pada hepar dan pankreas. Retinitis dengan
tanda perdarahan dan pelepasan retina merupakan infeksi susunan saraf pusat
yang paling penting. Infeksi CMV pada bayi dapat disertai gejala
(simtomatik) atau tanpa gejala (asimtomatik) pada saat lahir. Gambaran
klinik yang muncul meliputi tuli, retinitis, retardasi mental dan cerebral
palsy. Pada infeksi kongenital yang asimtomatik, gambaran klinik mungkin
baru muncul setelah 4 tahun (tuli, quadriparesis, mikrosefali) (Reinolds et al.,
1975).
2.5. Diagnosis CMV
Diagnosis CMV pada manusia tidak dapat didasarkan hanya atas
gambaran gejala klinik karena banyak infeksi lain yang dapat memberikan
gejala yang sama. Adanya infeksi CMV harus dipastikan dari hasil
pemeriksaan laboratorik (Stagno, 1990).
2.5.1. Diagnosis pada subyek yang imunokompeten
Diagnosis laboratorik infeksi CMV akut pada orang dewasa normal
didasarkan atas hasil pemeriksaan serologi. Walaupun sekresi virus
terjadi setelah infeksi akut, tetapi kuantitas dan lamanya sangat
bervariasi. Disamping itu, orang yang terinfeksi pada masa lalu dapat
secara intermiten mengeluarkan virus. Dengan demikian isolasi virus
merupakan cara diagnosis yang kurang dipercaya. Infeksi pada orang
normal ditunjukkan dengan adanya serokonversi IgG spesifik.
Peningkatan IgG 4 kali lipat atau lebih dalam waktu dua minggu
menunjukkan adanya infeksi akut. Deteksi IgM spesifik juga dipakai
untuk menunjukkan infeksi akut, terutama bila hanya satu sampel
serum yang tersedia (Stagno, 1990).
2.5.2. Diagnosis infeksi CMV pada wanita hamil
Mengingat akibat yang serius pada fetus karena transmisi virus
dari ibu diperlukan informasi status serologi wanita hamil dan
penentuan apakah infeksi aktif sedang berlangsung. Pendekatan
diagnosis yang didasarkan pada status serologi sebelum konsepsi (Gail
et al., 1993).
Wanita hamil yang seropositif sebelum konsepsi tidak perlu
pemeriksaan serologi selama kehamilan kecuali bila terdapat gambaran
klinik pada ibu maupun janin yang kemungkinan mengarah pada
infeksi CMV. Hal ini disebabkan kurang dari 1% wanita hamil yang
seropositif sebelum konsepsi dapat menularkan CMV pada janin.
Lagipula seandainya terjadi penularan, infeksi pada janin hanya bersifat
ringan. Resiko infeksi CMV pada janin meningkat bila infeksi yang
terjadi pada ibu merupakan infeksi primer. Meskipun janin dapat
terinfeksi setiap saat selama kehamilan tetapi kelainan kongenital yang
berat terutama terjadi bila penularan pada janin berlangsung pada umur
kehamilan kurang dari 12 minggu (Gail et al., 1993).
Selain pemeriksaan serologi untuk deteksi antibodi spesifik, isolasi
virus atau pemeriksaan antigen dalam darah dapat dilakukan untuk
memastikan adanya infeksi aktif yang sedang berlangsung pada wanita
hamil. Meskipun demikian, kemungkinan untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan positif adalah kecil (Gail et al., 1993).
2.5.3. Diagnosis infeksi CMV kongenital
a. Diagnosis prenatal
Diagnosis prenatal yang definitif diperlukan untuk menentukan
langkah kebijakan selanjutnya. Isolasi virus atau deteksi virus dengan
tehnik PCR dari cairan amnion (amniocentesis) dilakukan saat umur
kehamilan antara 21-23 minggu. Pemeriksaan laboratorik ini dapat
direkomendasikan pada wanita hamil yang mengalami infeksi CMV
primer atau infeksi CMV tipe lain yang sedang aktif sampai umur
kehamilan 21 minggu (Gail et al., 1993).
Diagnosis prenatal dengan bahan pemeriksaan dari cairan amnion
dilakukan setelah umur kehamilan 20 minggu karena janin baru bisa
kencing setelah umur tersebut (virus dikeluarkan bersama urin oleh
janin ke dalam cairan amnion) (Gail et al., 1993).
b. Diagnosis postnatal
Tes diagnostik standar untuk infeksi CMV kongenital adalah
isolasi virus dari urin dalam 3 minggu pertama setelah lahir atau
deteksi IgM spesifik (mendeteksi kira-kira 70% kasus). Tehnik PCR
untuk mendeteksi CMV dalam serum merupakan cara yang cepat,
sensitif dan spesifik untuk diagnosis infeksi CMV kongenital pada bayi
(Gail et al., 1993).
c. Diagnosis pada resipien allograf
Cara-cara serologi memiliki nilai diagnsotik yang terbatas karena
tidak dapat membedakan antara infeksi CMV biasa dengan infeksi
yang bersifat invasif. Disamping itu, pemakaian obat imunosupresif
akan menghambat produksi antibodi spesifik. Isolasi virus dari urin
atau saliva hanya memberi bukti adanya virus, tetapi tidak memberikan
konfirmasi bahwa CMV sebagai penyebab infeksi. Deteksi CMV dan
biopsi jaringan merupakan pendekatan diagnosis yang bisa diterima.
Resipien allograft yang seropositif perlu dipantau dengan pemeriksaan
antigen CMV secara
berkala untuk mendeteksi infeksi aktif yang dapat terjadi kapan saja
selama mendapat terapi imunosupresif (Drew et al., 1984).
Diagnosis laboratorik infeksi CMV pada kasus dengan penderita
AIDS adalah sama seperti resipien allograft.
2.6. Pemeriksaan Laboratorium CMV
a. Serologi
Tes serologi metoda enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
atau enzyme linked immunofluorescent assay (ELFA) merupakan cara
yang paling sering dilakukan yaitu untuk menetapkan IgM, IgG, IgG
avidity spesifik anti-CMV dalam sirkulasi. Antibodi yang dideteksi
dengan metoda serologi in vitro adalah antibodi terhadap protein
nonstruktural dari CMV dan bukan merupakan antibodi terhadap protein
struktural yang bersifat protektif in vivo. Hal ini berarti penetapan antibodi
anti-CMV in vitro hanya dapat dipakai untuk tujuan menunjang diagnosis
dan tidak bersifat protektif in vivo, karena struktur antigen dari antibodi ini
tidak dijumpai baik pada permukaan sel terinfeksi CMV ataupun CMV
sendiri yang bersifat infeksius. Antibodi anti-protein nonstruktural ini
dijumpai menetap bertahun-tahun bahkan sepanjang hidup (Crowe, 1997).
Pemeriksaan serologi untuk menetapkan antibodi atau
immunoglobulin (Ig) merupakan pemeriksaan yang umum dikerjakan.
Penetapan antibodi anti-CMV IgM spesifik dalam serum, meskipun tidak
sempurna benar, merupakan metoda laboratorik yang dapat diterima untuk
menilai infeksi akut, primer dan infeksi kongenital. Pada keadaan dengan
IgM negatif atau nonreaktif, bukan berarti penderita sembuh, karena tetap
dapat timbul reaktivasi, replikasi, reinfeksi. Demikian pula hasil IgM
positif tidak hanya terbatas pada infeksi primer akut, karena dapat juga
dijumpai hasil positif pada reaktivasi atau reinfeksi (Lipitz et al., 1997).
Karena prevalensi tinggi, nilai diagnostik serologi ini terbatas untuk
penentuan infeksi aktif dalam populasi orang dewasa. Namun,
penggunaan antibodi spesifik CMV mungkin bermanfaat dalam diagnosis
dari infeksi onset baru (CMV IgM positif (+), elevasi dalam IgG). Kasus
pada kelompok
resiko reaktivasi CMV dapat diidentifikasi dengan metode ini. Sensitifitas
dan nilai-nilai spesifisitas dari serologi dapat kita lihat masing-masing
adalah 63,7% dan 99,5% (Tabel 1).
b. Kultur
Hal ini tergantung pada prinsip isolasi virus dalm kultur jaringan
fibroblast. Darah, jaringan, urin, ludah dan dahak sampel dapat digunakan
untuk kultur konvensional. Meskipun spesifisitas tinggi (89%-100%),
sensitifitas tes ini adalah cukup rendah (45%-78%). Kelemahan lainnya
adalah masa inkubasi yang panjang, jumlah virus yang cukup dan tingkat
tinggi negatif palsu. Dari beberapa literatur, kami menemukan spesifisitas
dari tes ini adalah 99,8% dan sensitifitas 42,6% (Tabel 1).
Kultur virus merupakan gold standard untuk infeksi CMV, namun
metoda ini memerlukan waktu 7-10 hari. Spesimen harus diambil selama
stadium akut, yaitu ketika terjadi pelepasan virus tertinggi. Pemulihan
terjadi sporadik dan hasil tidak dapat dipercaya bila diambil selama
stadium penyembuhan.
Tabel 1. Sensitifitas dan spesifisitas berbagai macam metode (Costello &
Yungbluth, 1998)

Metode Diagnostik Sensitivitas Spesifisitas PPV NPV


Serologi (IgM) 63,7 99,5 99,5 65,3
Kultur 42,6 99,8 98,7 85,5
Histopatologi 23,2 100 100 23,2
Antigen 83,7 96,3 95,8 85,9
PCR 91 92,1 94,5 87,4
Ket: PPV (Postive Predictive Value); NPV (Negative Predictive Value)
Isolasi dilakukan dari saliva atau urin, kadang-kadang dari darah perifer.
Kultur virus tidak dapat membantu untuk membedakan infeksi primer
dengan infeksi lama, karena virus sering dijumpai pada reaktivasi
asimtomatik (Costello & Yungbluth, 1998).
c. Histopatologi dan Imunohistokimia (IHC)
Dalam kasus dengan kolitis serius, tingkat CMV dilaporkan 21%-
34% dalam jaringan usus. Tingkat ini adalah antara 33%-36% dalam
kasus-kasus refrakter steroid. Untuk deteksi infeksi CMV pada jaringan
atau dalam
sampel biopsi, spesifisitas dan sensitivitas dari kombinasi histopatologi
dan IHC (antibodi monoklonal terhadap antigen CMV awal langsung)
cukup tinggi. Dalam jaringan, deteksi histopatologi CMV dapat diberikan
pengecatan H & E inklusi intranuklear dan intrasitoplasma khas.
Meskipun metode ini diterima sebagai standar emas untuk diagnosis
penyakit aktif CMV, inklusi virus tidak dapat dengan mudah dilihat,
karena sangat jarang. Biopsi mukosa yang dangkal mungkin tidak selalu
bersifat diagnostic. Sensitivitas IHC lebih tinggi dari pewarnaan H & E.
Selain itu, dalam rekomendasi ECCO tentang pencegahan diagnosis dan
untuk infeksi oportunistik pada penyakit radang usus juga mencatat bahwa
spesifisitas histopatologi dan imunohistokimia penyelidikan pada penyakit
CMV adalah hingga 100% (Rahier et al., 2009).
d. Antigen Test
Infeksi dalam jaringan dapat dideteksi namun lebih mudah terlihat
pada sel. Antigenemia dapat diketahui dengan mendeteksi antigen CMV
pp65, yaitu fosfoprotein tegumen virus yang merupakan salah satu antigen
CMV paling imunogenik dalam lekosit netrofil segmen darah tepi.
Pemeriksaan lekosit darah tepi merupakan tes yang valid dan sensitif
untuk menilai kesembuhan CMV, namun memerlukan waktu lebih lama
dari metoda serologi. Metoda pengecatan imunofloresens dengan
menggunakan antibodi monoklonal untuk mendeteksi early antigen
memiliki sensitifitas 84% (Stehel & Sanchez, 2005).
Deteksi protein pp65 akhir struktural dalam lekosit menggunakan
imunofluoresens pewarnaan pp65 monoklonal antibodi spesifik. Hal ini
dapat diterapkan pada darah dan cairan serebrospinal. Hasil diperoleh
dalam 8-24 jam. Jika tidak tersedia untuk mengukur viral load pada pasien
imunosupresif dengan PCR, di beberapa pusat, tes ini cukup cepat untuk
melihat infeksi dan pengobatan anti virus. Tingkat sensitifitas dan
spesifisitas telah dilaporkan masing-masing antara 60%-100% dan 83%-
100%. Sensitifitas dari metode Ag pp65 87,5% dan spesifisitas 92,9%
sebagai perbandingan dalam studi di mana telah dilakukan tehnik kultur
virus. Namun karena ini adalah metode semi kuantitatif dan juga evaluasi
hasil adalah subyektif merupakan kelemahan utama yang ada pada metode
ini. Mengenai Ag pp 65 CMV telah ditemukan sensitifitas 96,3% dan
spesifisitas 83,7% (Stehel & Sanchez, 2005).
e. Tes PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode lain untuk menunjang diagnosis infeksi CMV adalah
Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA dari CMV.
Bahan pemeriksaan yang sering dipakai adalah urin, darah dan jaringan.
Deteksi CMV dengan hibridisasi DNA atau amplifikasi PCR diperlukan
untuk memperkuat hasil serologi. Metoda PCR mempunyai sensitivitas
89,2% dan spesifisitas 95,8%. Peneliti lain melaporkan bahwa spesifisitas
metoda PCR adalah 100% untuk menunjang hepatitis CMV. Hasil PCR
kualitatif positif menunjukkan replikasi virus dalam sel namun tidak dapat
dipakai untuk menjelaskan resiko perkembangan penyakit dan transmisi
ke fetus. Beberapa penelitian melaporkan bahwa dengan mengukur
kuantitas partikel virus per millimeter dapat menjelaskan perbedaan antara
infeksi primer dengan reaktivasi dan reinfeksi. Muatan virus (viral load)
pada infeksi primer lebih tinggi daripada reinfeksi (Lipitz et al., 1997).
Deoxyribonucleic acid (DNA) CMV dapat dideteksi dengan teknologi
PCR yang digunakan dalam mendeteksi asam nukleat virus (DNA atau
RNA). Polymerase Chain Reaction kuantitatif lebih sensitif daripada
metode PCR kualitatif. Hasil PCR dalam darah lebih sensitif dibandingkan
dalam plasma. Selain itu, sebagai metode non invasif, DNA CMV
penyakit kolon dalam tinja memiliki sensitivitas tinggi daripada dalam
darah dan jaringan PCR (Lipitz et al., 1997).
Proses yang cepat (16-48 jam), sensitivitas tinggi dan persyaratan
sampel dalam jumlah yang lebih sedikit merupakan keuntungan dari PCR.
Dalam dua studi yang berbeda, Piiaparinen dkk dan Sia dkk menemukan
sensitivitas yang tinggi masing-masing 91% dan 84% dan spesifisitas
masing-masing 94% dan 95% metode PCR untuk diagnosis CMV (Lipitz
et al., 1997).
f. Pemeriksaan lain
Identifikasi inklusi CMV intranukleus sel epitel tubulus ginjal pada
sediaan sedimen urin adalah spesifik bukan sensitif untuk menunjukkan
replikasi virus. Cara ini mudah dan sederhana hanya menggunakan
sediaan mikroskopik sedimen urin rutin dengan pengecatan Sternheimer-
Malbin. Keterampilan, pengalaman dan kesabaran pemeriksa dibutuhkan
untuk melakukan pemeriksaan ini. Konfirmasi pemeriksaan rutin dapat
dilanjutkan dengan melakukan pengecatan Papanicolaou, namun perlu
diperhatikan bahwa prosedur pemeriksaan dengan pengecatan
Papanicolaou memerlukan pencucian sedimen beberapa kali, sehingga
sangat mungkin sel-sel ikut terbuang (Lisyani, 2006).
2.7. Pengobatan dan pencegahan
Obat-obat infeksi virus yaitu acyclovir, gancyclovir, dapat diberikan
untuk infeksi CMV. Pemberian imunisasi dengan plasma hiperimun dan
globulin dikemukakan telah memberi beberapa keberhasilan untuk
mencegah infeksi primer dan dapat diberikan kepada penderita yang akan
menjalani cangkok organ. Namun demikian, program imunisasi terhadap
infeksi CMV, belum lazim dijalankan di negeri kita. Pada pemberian
transfusi darah, resipien dengan CMV negatif idealnya harus mendapat
darah dari donor dengan CMV negatif pula (Stagno, 1994).
Deteksi laboratorik untuk infeksi CMV, idealnya dilakukan pada setiap
donor maupun resipien yang akan mendapat transfusi darah atau cangkok
organ. Apabila terdapat peningkatan kadar IgG anti- CMV pada
pemeriksaan serial yang dilakukan 2x dengan selang waktu 2-3 minggu,
maka darah donor seharusnya tidak diberikan kepada resipien mengingat
dalam kondisi tersebut infeksi atau reinfeksi masih berlangsung (Lisyani,
1992).
Seorang calon ibu, hendaknya menunda untuk hamil apabila secara
laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari ibu
yang menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk
mengetahui infeksi kongenital (Lisyani, 2007).
Higiene dan sanitasi lingkungan perlu diperhatikan untuk mencegah
penularan atau penyebaran. Infeksi CMV tidak menimbulkan keluhan
apabila individu berada dalam kondisi kompetensi imun yang baik, oleh
karena itu pola hidup sehat dengan makan minum yang sehat dan bergizi,
sangat diperlukan agar sistem imun dapat bekerja dengan baik untuk
meniadakan atau membasmi CMV. Istirahat yang cukup juga sangat
diperlukan, karena istirahat termasuk ”pengobatan terbaik” untuk infeksi
virus pada umumnya (Lisyani, 2007).

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

a. Simpulan

1. Penetapan diagnosis laboratoris dapat ditetapkan melalui pemeriksaan


serologi, kultur, histopatologi, deteksi antigen dan PCR.
2. Pemeriksaan serologi (IgM) sering digunakan untuk menilai adanya infeksi
akut.
3. Pemeriksaan kultur merupakan gold standar, namun perlu waktu yang
lama (7-10 hari) dan tidak dapat membedakan infeksi primer dan infeksi
lama.
4. Metode histopatologi dan IHC meskipun mempuntai sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi namun tetap sulit dalam pelaksanaannya.
5. Sensitivitas maupun spesifisitas uji diagnostic CMV untuk tiap=tipa
metode bergantung onset klinis dan waktu pengambilan.
6. Infeksi CMV pada manusia perlu dicermati secara mendalam, sebab sejak
dari gambaran klinik dan diagnosis memberikan gambaran sangat spesifik
dan perlu diteliti lebih lanjut.
b. Saran
1. Pemberian imunisasi dengan plasma hiperimun dan globulin telah
memberi beberapa keberhasilan untuk mencegah infeksi primer dan dapat
diberikan kepada penderita yang akan menjalani cangkok organ.
2. Seorang ibu sebaiknya menunda kehamilan apabila secara laboratorik
dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari ibu yang
menderita infeksi CMV perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk mengetahui
infeksi kongenital.
3. Higiene dan sanitasi lingkungan perlu diperhatikan untuk mencegah
penularan atau penyebaran.
4. Istirahat yang cukup sangat diperlukan, karena istirahat termasuk
”pengobatan terbaik” untuk infeksi virus pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Conpton, T., Nepomuceno, R., Nowlin, D.M. 1992. Human cytomegalovirus penetrate by
pH-independent fusion at the cell surface. Virobiologi; 101:387-95

Costello, M. & Yungbluth, M. 1998. Viral infection. In: Henry JB ed. Clinical Diagnosis
and Management by Laboratory Methods. 19th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1083-
114

Crowe, S. 1997. Virus infections of the immune system. In: Stites DP, Terr AI, Parslow TG
eds. Medical immunology. 9th ed. New Jersey: Appleton & Lange; 760-1

Drew, W.L., Sweet, E.S., Miner. 1984. Multiple infection by cytomegalovirus with AIDS:
Documentation by southern blot hybridation. J. Infect Dis: 150; 952

Edwards, S. & Mocarski, Jr. 1996. Cytomegalovirus and their replication. In: Fields, B.N.,
knipe, D.M., and Howley, P.M. (eds): Virology, 3 nd ed. Lippicot-raven Publisher,
Philadelphia.

Gail, L.W., Yezid Guiteretz, David, H.W., Purtilo, T., Shanley, J.D. 1993. Diagnosis
Pathology of Infection Disease; Lea and Fbringer, Philadelphia

Huang, E.S., Kilpatrick, B.A., Huang, Y.T., Pagano, J.S. 1976. Detection of Human
Cytomegalovirus and analysis of strain variation. Yale. J. Bio Med; 49:29-43

Lang, D.J. & Kummer, J.F. 1972. Demonstration of Cytomegalovirus in semen. N Engl J.

Lipitz, S., Yagel, S., Shalev, E., Achiron, R., Mashiach, S., Schiff, E. 1997. Prenatal
diagnosis of fetal primary cytomegalovirus infection. Obstetric and Gynecology;
89(5);763-7

Lisyani, B.S. 1992. Aspek Imunologik dan Laboratorik Infeksi TORCH. Temu Ilmiah
POGI Cabang Semarang

Lisyani, B.S. 2006. The association between tubular cell intranuclear inclusions and serum
anti-cytomegalovirus Igg and urinary inflammatory elements. Jurnal Kedokteran Yarsi;
14(2): 87-94

Lisyani, B.S. 2007. Kewaspadaan terhadap infeksi cytomegalovirus serta kegunaan


deteksi secara laboratorik. RSDK-FK Undip Semarang: 1-62

Rahier, J.F., Ben-Horin, S., Chowers, Y., et al., 2009. European evidence-base consensus
on the prevention, diagnosis and management of opportunistic infections in
inflammatory bowel disease. Jour of Crohn’s and colitis; 3: 47-91

Reinolds, D.W., Stagno, S., Hosty, T.S., Tiller, M., Alford, C.A. 1975. Maternal
cytomegalovirus infection and perinatal infection. N Engl Med; 289: 1-5
Smith, J.D., de Harven, E. 1974. Herpes simplex viruses and human cytomegalovirus
replication in WI-cells II. An ultra structure study of viral penetration. J. Virol; 14: 945-
56

Sofro, M.A.U. 2014. Infeksi Citomegalovirus (CMV). Available at


http://rskariadi.co.id/article/view/infeksi-citomegalovirus-cmv.html. Diunduh tanggal
15 Juli 2015

Stagno, S. 1990. Cytomegalovirus in infection disease of fetus and newborn infant.


Remington and Klein J (Eds), WB Sounders Comp. Philadelphia.

Stagno, S. 1994. Cytomegalovirus. In: Hoeprich PD, Colin M, Ronald AR eds.Infectious


Diseases. 5 th ed.Philadelphia: JB Lippincott :312-53

Stehel, E.K., Sanchez, P.J. 2005. Cytomegalovirus infection in the fetus and neonate. Neo
Reviews; 4(1):38-94

Stinky, M.F. 1983. Moleculer biology of megalovirus In Roizman B. Eds. Herpes Viruses.
New York Plenum: 67-113

Weller, T.H., Hanshaw, J.B., Scott, D.E. 1963. Serological Differentiation of Viruses
Responsible for Cytomegalic Virus Inclusion Disease. Virology; 12: 130-132

Anda mungkin juga menyukai