Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SEMINAR

TANAH LONGSOR

Disusun Oleh : Kelompok I

TITI FAHIRA 18130001


DITA ADITIA MAMONTO 18130003
ETY YULIA RAMADAN 18130005
ELMA M. C. DHAKA 18130006
SHANDI M. P. PANGESTU 18130008
FERDIANUS TAMO AMA 18130010
MALVIAN JORDHY HOLLE 18130015
YENNI M. SIHOMBING 18130018
SAHANA EVA LIANA 18130019
NI KADEK ARIANTI I. SWARI 18130020
LUH PUTU DONA S. PRATIWI 18130021
USWATUN HASANAH 18130022
CHRISTOPER 18130023
KEYZA PRISKA KAMBU 18130024

PROGRAM KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat serta
hidayah-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini membahas tentang, “Bencana Tanah Longsor” yang merupakan pembahasan
dalam mata kuliah.

Penulis berharap, makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal
ini dapat menambah wawasan kita mengenai pengembangan alenia/paragraf khususnya
bagi penulis. Penulis minta maaf jika ada di dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membanngun, penulis harapkan untuk
kesempurnaan makalah, agar dapat melalukan perbaikan semoga apa yang anda berikan
mendapat balasan dari Allah S.W.T.

Yogyakarta, 26 September 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB 1........................................................................................................................................1

Rumusan Masalah......................................................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................................3

Definisi tanah longsor................................................................................................................3

Penyebab tanah longsor.............................................................................................................3

Dampak yang disebabkan oleh bencana tanah longsor.............................................................3

Mitigasi Tanah Longsor.............................................................................................................3

Peran perawat dalam bencana....................................................................................................4

BAB III......................................................................................................................................7

KASUS......................................................................................................................................7

PEMBAHASAN 5W+1H..........................................................................................................7

Implikasi dalam Ilmu Keperawatan...........................................................................................8

BAB IV....................................................................................................................................12

KESIMPULAN........................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................13

iii
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara geografis, Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang
beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak
dipengaruhi oleh faktor geologi. Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan
massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau
buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alat mencari keseimbangan
baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan
terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Kontribusi
pengurangan kuat geser tanah pada lereng alam yang mengalami longsor disebabkan
oleh faktor yang dapat berasal dari alam itu sendiri, erat kaitannya dengan kondisi
geologi antara lain jenis tanah, tekstur (komposisi) dari pada tanah pembentuk lereng
sangat berpengaruh terjadinya longsoran, misalnya sensivitas sifat-sifat tanah
lempung, adanya lapisan tanah shale, loess, pasir lepas, dan bahan organic (Rahmat.
Dkk. 2020)
Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang mengakibatkan banyak
korban jiwa serta kerugian dalam bidang perekonomian.Tanah longsor sebagai
gerakan massa dari rombakan batuan yang tipe geraknya meluncur atau menggeser
(sliding/ slipping), berputar (rotational) yang disebabkan oleh gaya gravitasi sehingga
gerakannya lebih cepat dan kandungan airnya lebih sedikit. Longsor terjadi karena
proses alami dalam perubahan struktur muka bumi, yakni adanya gangguan kestabilan
pada tanah atau batuan penyusun lereng. Gangguan kestabilan lereng ini dipengaruhi
oleh kondisi geomorfologi terutama faktor kemiringan lereng, kondisi batuan ataupun
tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng. Meskipun
longsor merupakan gejala fisik alami, namun beberapa hasil aktifitas manusia yang
tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam juga dapat menjadi faktor penyebab
ketidakstabilan lereng yang dapat mengakibatkan terjadinya longsor, yaitu ketika
aktifitas manusia ini beresonansi dengan kerentanan dari kondisi alam yang telah
disebutkan di atas. Faktor-faktor aktifitas manusia ini antara lain pola tanam,
pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, konstruksi bangunan, kepadatan

1
penduduk dan usaha mitigasi. Dengan demikian dalam upaya pembangunan
berkelanjutan melalui penciptaan keseimbangan lingkungan diperlukan pedoman
penataan ruang kawasan rawan bencana longsor.
Menurut Arsyad 2016 terdapat syarat-syarat terjadinya longsor yaitu lereng cukup
curam sehingga volume tanah dapat bererak atau meluncur ke bawah, terdapat lapisan
di bawah permukaan tanah yang agak kedap air dan lunak yang berfungsi sebagai
bidang luncur, dan terdapat cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat di atas
lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh. Lapisan kedap air juga biasanya terdiri dari
lapisan liat yang tinggi atau lapisan batuan dan napal liat (clay shale). Gea & Pinem
2017 menambahkan bahwa ada tipe longsor sebanyak enam tipe yaitu rotasi, translasi,
pergerakan blok, rayapan tanah, runtuhan batu, serta aliran bahan rombakan yang
dikenal sebagai tipe yang sangat mematikan.
Bencana longsor kerap menimbulkan banyak korban jiwa dan harta, juga turut
merusak lingkungan. Banyaknya korban pada bencana tersebut menggambarkan
kurangnya kesiapan dan antisipasi masyarakat khususnya masyarakat yang tinggai di
daerah rawan bencana. Hal ini mencerminkan kurangnya pengetahuan dan minimnya
informasi fenomena bencana alam yang terjadi di daerah tersebut (Hidayati et al.,
2008). Meningkatkan kesiapsiagaan bencana akan membuat masyarakat mengetahui
cara merespon dalam menghadapi situasi darurat sehingga dapat mengurangi risiko
jatuhnya korban jiwa, kerugian harta bencana, dan berubahnya tata hidup masyarakat.
Pengetahuan yang dimiliki rumah tangga tentang tanah longsor akan
mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi
longsor. Oleh karena itu, rumah tangga seharusnya berpartisipasi dan memiliki
pemahaman tentang kesiapsiagaan menghadapi tanah longsor, untuk mengurangi
risiko, mengantisipasi bencana dan mengurangi dampak negatif yang kemungkinan
bisa terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka (Murbawan et al., 2017).

B. Rumusan Masalah
Bagaimana penatalaksanaan keperawatan bencana tanah longsor ?
C. Tujuan
1. Mengetahui penyebab penyebaran potensi bahaya longsor pada masyarakat di daerah
Cislok Sukabumi.

2
2. Mengetahui definisi tanah longsor.
3. Mengidentifikasi penyebab tanah longsor dan factor pemicu di daerah Cislok
Sukabumi.
4. Mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat tanah longsor.
5. Mengetahui pencegahan tanah longsor.
6. Untuk mengetahui peran perawat saat kebencanaan.
7. Untuk mengetahui aspek pemerintah dalam kebencanaan.
8. Mampu melakukan implementasi keperawatan sesuai dengan evidence based pada
daerah rawan bencana tanah longsor di daerah Cislok Sukabumi.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

Di Indonesia longsor menjadi bencana paling mematikan saat ini, hingga awal
bulan September 2016 terdapat 323 kejadian longsor yang menyebabkan 126 orang
meninggal dan 18.655 jiwa menderita. Dibandingkan dengan tahun 2015, jumlah
korban meninggal dan hilang pada tahun2016 mengalami peningkatan 54% (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, 2016). Data Indeks Rawan Bencana
menyebutkan bahwa Provinsi Jawa Timur berada pada urutan ketiga wilayah rawan
bencana yang ada di Indonesia (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2011).
Bentuk kerugian yang secara non-fisik seperti trauma terhadap peristiwa yang
pernah dialami merupakan salah satu dampak psikologis yang sering ditemui pada
masyarakat korban bencana alam adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
(Nurcahyani dkk, 2016). Kondisi demikian akan menimbulkan dampak psikologis
berupa gangguan perilaku mulai dari cemas yang berlebihan, mudah tersinggung, tidak
bias tidur, tegang, dan berbagai reaksi lainnya (Nurcahyani dkk, 2016).

Prevalensi (angka kejadian) gangguan kecemasan berkisar pada 6-7% dari


populasi umum (Cahyaningtyas, 2012). Diperkirakan jumlah yang menderita
gangguan kecemasan ini baik yang akut maupun kronik mencapai 5% dari jumlah
penduduk, dengan perbandingan antara wanita dan pria 2 : 1 (Hawari, 2001 dalam
Dewi dkk, 2013). Berda sarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
prevalensi penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional secara
nasional seperti gangguan kecemasan sebesar 6%. Gangguan kecemasan lebih sering
terjadi dan dialami oleh perempuan daripada laki-laki (Katona, 2012).

A. Definisi Tanah Longsor


Tanah longsor adalah proses perpindahan massa batuan (tanah) akibat gaya
berat (gravitasi). Longsor terjadi karena adanya gangguan kesetimbangan gaya yang
bekerja pada lereng, yaitu gaya penahan dan gaya peluncur. Gaya peluncur
dipengaruhi oleh kandungan air, berat massa tanah itu sendiri berat beban bangunan.
Ketidakseimbangan gaya tersebut diakibatkan adanya gaya dari luar lereng yang

4
menyebabkan besarnya gaya peluncur pada suatu lereng menjadi lebih besar daripada
gaya penahannya, sehingga menyebabkan massa tanah bergerak turun (Naryanto,
2011; Naryanto et al., 2016). Tanah longsor adalah bencana alam yang mengakibatkan
hilangnya nyawa manusia dan menyebabkan kerusakan luas pada properti dan
infrastruktur. Tanah longsor, secara umum mencakup semua gerakan ke bawah atau
tiba-tiba material permukaan seperti tanah liat, pasir, kerikil dan batu. Tanah longsor
merupakan salah satu bencana utama yang merusak di daerah pegunungan, yang
diaktifkan karena pengaruh gempa bumi dan curah hujan (Pareta, 2012).

B. Penyebab tanah longsor

Tanah longsor terjadi karena dua faktor utama yaitu faktor pengontrol dan
faktor pemicu. Faktor pengontrol adalah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi
material itu sendiri seperti kondisi geologi, kemiringan lereng, litologi, sesar dan kekar
pada batuan. Faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material
tersebut seperti curah hujan, gempa bumi, erosi kaki lereng dan aktivitas manusia
(Naryanto, 2013; Naryanto, 2017).

C. Dampak Yang Disebabkan Oleh Bencana Tanah Longsor

Selain terjadinya pegerakan akibat ketidakmampuan tanah menahan volume


air yang cukup besar , tanah longsor juga dapat menyebabkan terjadinya banjir
bandang yang membawa material seperti lumpur dan juga batuan , sehingga
menyebabkan dampak yang cukup besar bagi tempat yang di laluinya . Adapun
dampak yang terjadi berupa banyaknya korban meninggal dunia, banyak masyarakat
yang kehilangan tempat tinggal ,kerusakan infrastruktur, lahan pertanian yang hilang
akibat tertimbun tanah dan banyak juga korban luka akibat bencana alam ini (Fatiatun,
2019).

D. Mitigasi Tanah Longsor

Pengurangan resiko bencana tanah longsor dibedakan menjadi 3 yaitu


struktural ,Non-struktural dan peminimalan resiko. Mitigasi struktural dilakukan
dengan mengurangi tingkat kemiringan sudut lereng dengan menggunakan teknik
terasiring. Selain itu pembangunan dinding penahan yang berasal dari batuan dan

5
tanah juga dibangun untuk mengurangi efek tanah longsor. Pada mitigasi non-
struktural, daerah rawan bencana tanah longsor ditandai dengan adanya rambu-rambu.
Mitigasi non-struktural ini juga dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat
daerah rawan tanah longsor. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda akan
terjadinya tanah longsor, penyebabnya, cara mengurangi dan mengatasi bahaya tanah
longsor. Mitigasi bencana yang terakhir yaitu peminimalisasi resiko dengan
melakukan penataan ulang dan pengalihan pemanfaatan lahan berdasarkan bencana
tanah longsor yang telah terjadi. Sebelum pelaksaan kegiatan ini, pnyusunan peta
bahaya tanah longsor perlu dilakukan sebagai pedomannya (Fatiatun, 2019).

E. Peran Perawat Dalam Bencana

Peran Perawat (Sebelum, Sesaat, dan Setelah Bencana). Kompetensi yang dimiliki
perawat pada saat Bencana adalah Pencegahan/mitigasi, Kesiapsiagaan, Respon dan
Rehabilitasi/Pemulihan (Alfred et al., 2015).

1) Kompetensi Pencegahan/Mitigasi

Mitigasi digambarkan sebagai landasan manajemen darurat. Mitigasi


didefinisikan Merupakan tindakan berkelanjutan yang mengurangi atau
menghilangkan risiko jangka Panjang bagi manusia dan harta benda dari
bencana alam atau buatan manusia dan Dampaknya, mitigasi terjadi sebelum
bencana. Mitigasi meliputi kegiatan masyarakat Untuk mencegah bencana,
mengurangi kemungkinan terjadinya bencana, dan Mengurangi kerusakan
akibat bencana (Mistric & Sparling, 2010). Peran yang dilakukan perawat yaitu
pengurangan risiko, pencegahan penyakit dan Promosi kesehatan dan
pengembangan dan perencanaan kebijakan. Dalam hal ini Perawat melakukan
kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain seperti organisasi Masyarakat,
pemerintah, dan tokoh masyarakat untuk melakukan pendidikan dan Simulasi
bencana dalam skala besar (Alfred et al., 2015). Perawat juga memiliki peran
Dalam mempelajari bencana berdasarkan pengalaman sebelumnya, perlu
mencari tau Kebijakan bencana regional yang sudah ada/berlaku (Arrieta et al.,
2008).

6
2) Kesiapsiagaan

Tahap kedua dari manajemen darurat adalah kesiapan. Kesiapan yang


dimaksud Mengambil bentuk rencana atau prosedur yang dirancang untuk
menyelamatkan nyawa Dan meminimalkan kerusakan ketika terjadi keadaan
darurat. Perencanaan, pelatihan, Dan latihan bencana adalah elemen penting
dari kesiapsiagaan. Meskipun dasar Kesiapsiagaan adalah merencanakan jenis-
jenis kegiatan yang akan terjadi sebelum, Selama, dan segera setelah bencana
terjadi (Mistric & Sparling, 2010). Hal-hal yang dilakukan perawat selama fase
ini yaitu mengidentifikasi praktik etis, Praktik hukum, dan akuntabilitas,
kemampuan komunikasi dan berbagi informasi, serta Memperisapkan rencana
untuk penanganan bencana dilapangan (Alfred et al., 2015). Perawat dapat
mengenali tugas dan fungsinya selama merespon masa bencana serta Risiko
terhadap diri dan keluarga. Perawat juga berperan dalam melakukan
komunikasi Komando terhadap perawat yang lain. Perawat utama ditunjuk
berdasarkan pengalaman Dan kemampuan berfikir kritis. Perawat utama
memberikan instruksi penentuan lokasi Evakuasi dan pertolongan sedangkan
perawat pelaksana lapangan memberikan Informasi terkait kondisi dan situasi
di lapangan. Perawat harus berkerja dalam tim Menentukan kebutuhan dalam
melakukan pertolongan pertama (kesiapan tim, alat-alat Medis). Perawat
dituntut mampu menyiapkan diri dalam menghadapi situasi bencana. Terlepas
dari kondisi psikologis yang dialami perawat selama bencana, perawat harus
Mampu bersikap profesional pada kondisi tersebut (Arrieta et al., 2008).

3) Kompetensi Respons
Fase ketiga manajemen bencana adalah fase respons. Tahap respons meliputi
Tindakan yang diambil untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kerusakan
lebih Lanjut selama dan segera setelah bencana atau situasi darurat. Fase
respons melibatkan Penerapan rencana kesiapsiagaan ke dalam tindakan
(Mistric & Sparling, 2010). Peran yang dilakukan perawat pada fase ini yaitu
perawat berpartisipasi dalam Penyaluran dan pembagian distribusi bantuan
yang tersedia kepada pengungsi, merawat Individu dan keluarga, perawatan

7
psikologis dan melakukan perawatan khusus pada Populasi rentan (Alfred et
al., 2015). Perawat juga dituntut mampu mengidentifikasi Pengungsi dengan
kebutuhan-kebutuhan khusus dikarenakan pemberian perawatan Akan berbeda
daripada pengungsi biasa (Arrieta et al., 2008). Contohnya pasien dengan
penyakit kronis seperti diabetes perlu diperhatikan dari aspek pemenuhan
nutrisi dan pengontrolan gula darah.
4) Kompetensi pemulihan/rehabilitasi
Fase keempat dari manajemen bencana adalah fase pemulihan. Fase pemulihan
dibagi menjadi kegiatan jangka pendek dan jangka panjang. Kegiatan jangka
pendek didefinisikan sebagai kegiatan yang menawarkan bantuan dan
rehabilitasi segera. Untuk penyedia layanan kesehatan, kegiatan jangka pendek
meliputi bantuan kehidupan yang vital dan penyediaan layanan yang
diperlukan untuk kesejahteraan langsung pasien dan kenyamanan dasar.
Kegiatan jangka panjang bertujuan untuk memulihkan kesehatan pasien
sebanyak mungkin sehingga mereka dapat kembali ke rutinitas kehidupan
sehari-hari (Mistric & Sparling, 2010). Pada fase ini peranan perawat meliputi
pemulihan individu, keluarga, dan komunitas jangka pendek dan panjang
(Alfred et al., 2015). Hal yang dilakukan perawat yaitu dapat melakukan
inventarisasi persedian tempat penampungan dan logistik darurat. Dengan
melakukan hal tersebut dapat mempersiapkan kondisi penampungan jangka
panjang (Arrieta et al., 2008).
F. Koordinator Pada Kebencanaan
Peran pemerintah dalam penanggulangan bencana alam di atur di dalam UU
Nomor 24 Tahun 2007 pasal 10. Pemerintah membentuk Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Lalu dibentuk lembaga daerah yaitu Pembentukan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Undang-undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana juga terdapat tanggung jawab
penyelenggaraan penanggulangan bencana yang tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah saja tetapi melibatkan seluruh unsur
masyarakat.

8
Manajemen kesiapsiagaan yang Melibat semua unsur dan atau lapisan dari
Pemerintah pusat, daerah dan masyarakat Dalam Undang-undang RI No. 24 Tahun
2007 memfokuskan pada 5 aspek yaitu:
1) Perencanaan, mengkaji bagaimana Rencana tanggap darurat yang Meliputi
prosedur tetap dan Pembagian tugas masing-masing Elemen sesaat setelah
bencana Terjadi.
2) Pengorganisasian, mengkaji Pengorganisasian dan pelatihan, Yaitu
pembentukan organisasi Masyarakat yang siaga bencana serta Pelatihan untuk
peningkatan Pengetahuan. Pengorganisasian dan Pelatihan ini perlu dilakukan
agar Masyarakat yang berisiko bencana Mempunyai wadah untuk
Mengembangkan diri, baik itu Melalui pelatihan atau memberikan Contoh bagi
yang lainnya.
3) Aksi, melihat bagaimana Pelaksanaan dari perencanaan yang Sudah disusun
oleh organisasi yang Sudah terbentuk. Komponen yang Termasuk dalam aspek
ini berupa Sistem peringatan dini, penyediaan Kebutuhan dasar, lokasi
evakuasi, Dan penyediaan barang serta Peralatan pemulihan prasarana dan
Sarana.
4) Kontrol, mengkaji bagaimana Pengawasan yang dilakukan oleh Pihak yang
berada di luar organisasi Masyarakat ini, seperti pemerintah Setempat yang
berwewenang. Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap
organisasi Kebencanaan akan memberikan Pengaruh positif terhadap
Masyarakat.
5) Evaluasi yaitu penilaian terhadap Bencana yang dilakukan pada saat Simulasi
ataupun pada saat bencana benar-benar terjadi Kesiapsiagaan masyarakat
dalam pengurangan risiko bencana, lembaga penanggulangan bencana dalam
hal ini adalah Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Jawa Barat, PMI
Kabupaten Sumedang dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten Sumedang harus mampu untuk berkoordinasi dan saling bekerja
sama.

9
BAB III

TINJAUAN KASUS

Pada hari kamis, 23 September 2021 pukul 23.00 WIB terjadi peristiwa tanah longsor
di desa Pacitan, kecamatan Pacitan kabupaten Nganjuk, Jawa timur dipicu oleh hujan
lebat yang mengguyur daerah tersebut sejak seminggu yang lalu. Bencana ini menimbun
107 orang dalam 30 rumah sejauh ini menyebabkan setidaknya 15 orang meninggal,
sekitar 20 masih dicari dan 60 selamat. Rumah warga setempat mengalami rusak berat
akibat tertimbun tanah longsor, serta kerugian material diperkirakan mencapai 2 M.
Basarnas mengatakan proses pencarian korban pada awalnya dilakukan secara manual
oleh tim SAR gabungan dan relawan sambil menunggu alat-alat berat sampai. Upaya
pertolongan pertama dihadapkan kendala seperti listrik padam, hambatan jaringan
komunikasi, jalanan yang terjal, berbatu dan ditambah cuaca hujan rintik menyulitkan tim
untuk melakukan evakuasi.

PEMBAHASAN 5W + 1H

1. Apa itu tanah longsor?


Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang mengakibatkan
banyak korban jiwa serta kerugian dalam bidang perekonomian.Tanah longsor
sebagai gerakan massa dari rombakan batuan yang tipe geraknya meluncur atau
menggeser (sliding/ slipping), berputar (rotational) yang disebabkan oleh gaya
gravitasi sehingga gerakannya lebih cepat dan kandungan airnya lebih sedikit.
Seperti yang terjadi pada kasus di desa Pacitan Jawa timur tanah longsor terjadi dan
menyebabkan banyak korban dan kerugian bagi masyarakat.

10
2. Siapa Yang Terdampak Bencana Tanah Longsor Dan Siapa Yang Bertanggung
jawab Dalam Penanggulangan Bencana Tanah Longsor Diwilayah Tersebut ?
Peran pemerintah dalam penanggulangan bencana alam di atur di dalam UU
Nomor 24 Tahun 2007 pasal 10. Pemerintah membentuk Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Lalu dibentuk lembaga daerah yaitu
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Dan pemerintah
setempat.
Pada kasus yang terdampak bencana tanah longsor adalah masyarakat disekitar
wilayah tanah longsor dengan jumlah 107 orang dalam 15 orang meninggal, sekitar
20 masih dicari dan 60 orang selamat. Dan yang bertanggungjawab dalam
penanggulangan bencana tanah longsor adalah pemerintah daerah setempat yang
terdiri dari kepala desa cisolok, camat dan bupati sukabumi, presiden, BNPB, BPBD.
3. Dimana peristiwa bencana tanah longsor terjadi?
Di desa pacitan, kecamatan pacitan kabupaten Nganjuk, Jawa timur. Data
Indeks Rawan Bencana menyebutkan bahwa Provinsi Jawa Timur berada pada
urutan ketiga wilayah rawan bencana yang ada di Indonesia (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, 2011). Hal ini barkaitan dengan prevelensi dari BNPB
2011, yang mengatakan jawa timur berada pada urutan ketiga wilayah rawan
bencana salah satunya tanah longsor yang ada di Indonesia.
4. Kenapa Tanah Longsor bisa terjadi?
Tanah longsor terjadi karena dua faktor utama yaitu faktor pengontrol dan
faktor pemicu. Faktor pengontrol adalah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi
material itu sendiri seperti kondisi geologi, kemiringan lereng, litologi, sesar dan
kekar pada batuan. Faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya
material tersebut seperti curah hujan, gempa bumi, erosi kaki lereng dan aktivitas
manusia (Naryanto, 2017). Sedangkan yang terjadi di daerah cisolok, sukabumi,
jawa barat tanah longsor terjadi karena hujan deras yang mengguyur wilayah
tersebut selama seminggu sehingga menyebabkan tanah rawan longsor. Hal ini
sudah sesuai dengan teori Naryanto 2017 penyebab tanah longsor terjadi karena
factor pemicu yaitu curah hujan deras dan terjadi selama seminggu.
5. Kapan pencegahan, kesiapsiagaan dan pemulihan mulai dilakukan?

11
Mitigasi dilakukan sebelum terjadi bencana, mitigasi meliputi kegiatan
masyarakat Untuk mencegah bencana, mengurangi kemungkinan terjadinya bencana,
dan Mengurangi kerusakan akibat bencana (Mistric & Sparling, 2010). Pada tahap
kesiapsiagaan ini dikakukan saat terjadi bencana, kesiapan yang dimaksud
Mengambil bentuk rencana atau prosedur yang dirancang untuk menyelamatkan
nyawa dan meminimalkan kerusakan ketika terjadi keadaan darurat. Perencanaan,
pelatihan, Dan latihan bencana adalah elemen penting dari kesiapsiagaan. Meskipun
dasar Kesiapsiagaan adalah merencanakan jenis-jenis kegiatan yang akan terjadi
sebelum, Selama, dan segera setelah bencana terjadi (Mistric & Sparling, 2010).
Pemulihan bertujuan untuk memulihkan kesehatan pasien sebanyak mungkin
sehingga mereka dapat kembali ke rutinitas kehidupan sehari-hari (Mistric &
Sparling, 2010). Pada tahap ini dilakukan setelah terjadinya bencana.
Sedangkan dikasus proses mitigasi belum pernah laksanakan sehingga masyarakat
tidak mempunyai kesiapsiagaan sehingga menyebabkan banyak korban.
6. Bagimana Implikasi Keperawatan
Menurut Dwitanta, 2020 implikasi keperawatan pada fase pra bencana
menjabarkan kompetensi yang dimiliki perawat seperti mitigasi. Peran yang
dilakukan perawat yaitu pengurangan risiko, pencegahan penyakit dan promosi
kesehatan dan pengembangan dan perencanaan kebijakan. Dalam hal ini perawat
melakukan kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain seperti organisasi
masyarakat, pemerintah, dan tokoh masyarakat untuk melakukan pendidikan dan
simulasi bencana dalam skala besar (Alfred et al., 2015). Perawat juga memiliki
peran dalam mempelajari bencana berdasarkan pengalaman sebelumnya, perlu
mencari tau kebijakan bencana regional yang sudah ada/berlaku (Arrieta et al.,
2008).
Menurut Wijaya, 2015 implikasi keperawatan pada fase tanggap darurat bencana
dimulai dari respon psikologis first responder fase akut, kemauan perawat sebagai
survivor untuk memberikan pertolongan, sampai regulasi penempatan perawat di
daerah-daerah yang jauh dari kota. Dalam kasus tanah longsong yang terjadi di desa
Pacitan Jawa timur perawat memberikan pertolongan pertama seperti merawat
korban yang membutuhkan perawatan baik secara medis maupun psikologis.

12
Perawat juga memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan
sehari-hari dan juga memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan
khusus bayi, peralatan kesehatan.

IMPLIKASI DALAM ILMU KEPERAWATAN

Menurut Dwitanta, 2020 implikasi keperawatan pada fase pra bencana menjabarkan
kompetensi yang dimiliki perawat seperti mitigasi. Peran yang dilakukan perawat yaitu
pengurangan risiko, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan dan pengembangan dan
perencanaan kebijakan. Dalam hal ini perawat melakukan kolaborasi dengan tenaga
kesehatan yang lain seperti organisasi masyarakat, pemerintah, dan tokoh masyarakat
untuk melakukan pendidikan dan simulasi bencana dalam skala besar (Alfred et al., 2015).
Perawat juga memiliki peran dalam mempelajari bencana berdasarkan pengalaman
sebelumnya, perlu mencari tau kebijakan bencana regional yang sudah ada/berlaku
(Arrieta et al., 2008).

Menurut Wijaya, 2015 implikasi keperawatan pada fase tanggap darurat bencana
dimulai dari respon psikologis first responder fase akut, kemauan perawat sebagai
survivor untuk memberikan pertolongan, sampai regulasi penempatan perawat di daerah-
daerah yang jauh dari kota.

Menurut Putra, dkk 2015 implikasi keperawatan pada fase tanggap darurat bencana,
perawat memiliki peran sebagai berikut :

1. Pencarian dan penyelamatan


a. Melokalisasi korban
b. Memindahkan korban dari daerah berbahaya ke tempat
pengumpulan/penampungan.
c. Memeriksa status kesehatan korban (triase di tempat kejadian).
d. Memberi pertolongan pertama jika diperlukan.
e. Memindahkan korban ke pos medis lapangan jika diperlukan.
2. Triase
a. Identifikasi secara cepat korban yang membutuhkan stabilisasi segera
(perawatan di lapangan).

13
b. Identifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan
darurat (life saving surgery).
c. Pasien harus diidentifikasi dan diletakkan secara cepat dan tepat,
mengelompokkan korban sesuai dengan keparahan pada masingmasing warna
tag yaitu kuning dan merah.
d. Area tindakan harus ditentukan sebelumnya dan diberi tanda.
e. Penemuan, isolasi dan tindakan pasien terkontaminasi/terinfeksi harus
diutamakan.
3. Pertolongan pertama
a. Mengobati luka ringan secara efektif dengan melakukan teknik pertolongan
pertama, seperti kontrol perdarahan, mengobati shock dan menstabilkan patah
tulang.
b. Melakukan pertolongan bantuan hidup dasar seperti manajemen perdarahan
eksternal, mengamankan pernafasan, dan melakukan teknik yang sesuai dalam
penanganan cedera.
c. Mempunyai keterampilan Pertolongan pertama seperti membersihkan jalan
napas, melakukan resusitasi dari mulut-mulut, melakukan CPR/RJP, mengobati
shock, dan mengendalikan perdarahan.
d. Membuka saluran udara secepat mungkin dan memeriksa obstruksi saluran
napas harus menjadi tindakan pertama, jika perlu saluran udara harus dibuka
dengan metode Head-Tilt/Chin-Lift.
e. Mengalokasikan pertolongan pertama pada korban dengan perdarahan, maka
perawat harus mnghentikan perdarahan, karena perdarahan yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kelemahan dan apabila akhirnya shock dapat
menyebabkan korban meninggal.
4. Proses pemindahan korban
a. Pemeriksaan kondisi dan stabilitas pasien dengan memantau tandatanda vital.
b. Pemeriksaan peralatan yang melekat pada tubuh pasien seperti infus, pipa
ventilator/oksigen, peralatan immobilisasi dan lain-lain.
5. Perawatan di rumah sakit

14
a. Mengukur kapasitas perawatan rumah sakit. Lokasi perawatan di rumah sakit
Hubungan dengan perawatan di lapangan. Arus pasien ke RS harus langsung
dan terbuka.
b. Arus pasien harus cepat dan langsung menuju RS, harus ditentukan, tempat
tidur harus tersedia di IGD, OK, ruangan dan ICU
6. Rapid Health Assesment
Menilai kesehatan secara cepat melalui pengumpulan informasi cepat dengan
analisis besaran masalah sebagai dasar mengambil keputusan akan kebutuhan
untuk tindakan penanggulangan segera.
7. Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana
a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-
hari.
b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.
c. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan
kesehatan di RS.
d. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
e. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi,
peralatan kesehatan.
f. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular
maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya
berkoordinasi dengan perawat jiwa.
g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi
yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun
reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan
kelemahan otot).
h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan
dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan
psikiater.
Menurut Dwitanta, 2020 implikasi keperawatan pada fase pasca bencana /
pemulihan dibagi menjadi kegiatan jangka pendek dan jangka panjang. Kegiatan

15
jangka pendek didefinisikan sebagai kegiatan yang menawarkan bantuan dan
rehabilitasi segera. Untuk penyedia layanan kesehatan, kegiatan jangka pendek
meliputi bantuan kehidupan yang vital dan penyediaan layanan yang diperlukan untuk
kesejahteraan langsung pasien dan kenyamanan dasar. Kegiatan jangka panjang
bertujuan untuk memulihkan kesehatan pasien sebanyak mungkin sehingga mereka
dapat kembali ke rutinitas kehidupan sehari- hari (Mistric & Sparling, 2010). Pada fase
ini peranan perawat meliputi pemulihan individu, keluarga, dan komunitas jangka
pendek dan panjang (Alfred et al., 2015). Hal yang dilakukan perawat yaitu dapat
melakukan inventarisasi persedian tempat penampungan dan logistik darurat. Dengan
melakukan hal tersebut dapat mempersiapkan kondisi penampungan jangka panjang
(Arrieta et al., 2008).

BAB IV

KESIMPULAN

Jadi Tanah longsor adalah proses perpindahan massa batuan (tanah) akibat gaya berat
(gravitasi). Longsor terjadi karena adanya gangguan keseimbangan gaya yang bekerja pada
lereng, yaitu gaya penahan dan gaya peluncur. Tanah longsor terjadi karena dua faktor
utama yaitu faktor pengontrol dan faktor pemicu. . Adapun dampak yang terjadi berupa
banyaknya korban meninggal dunia, banyak masyarakat yang kehilangan tempat tinggal
,kerusakan infrastruktur, lahan pertanian yang hilang akibat tertimbun tanah dan banyak
juga korban luka akibat bencana alam ini

Pengurangan resiko bencana tanah longsor dibedakan menjadi 3 yaitu structural, Non-
struktural dan peminimalan resiko. Peran Perawat (Sebelum, Sesaat, dan Setelah Bencana).

16
kompetensi yang dimiliki perawat pada saat Bencana adalah Pencegahan/mitigasi,
Kesiapsiagaan, Respon dan Rehabilitasi/Pemulihan

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2016). Konservasi Tanah Dan Air. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Hidayati, N. & Purwaningsih. (2008). Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantisipasi
Bencana Alam Di Kabupaten Cilacap. Jakarta: LIPI Press.
Murbawan, I., Ma’ruf, A. & Manan, A. (2017). Kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam
Mengantisipasi Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Wanggu (Studi Bencana
Banjir Di Kelurahan Lepo-Lepo Kota Kendari. Ecogreen, 3(2), 59-69
Rahmat, Hayatul Khairul. Dkk. 2020. Persepsi Resiko Dan Kesiapsiagaan Rumah Tangga
Dalam Menghadapi Bencan Tanah Longsor Di Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Bogor.Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Humaniora Volume 6 (2),
Agustus.

17
Putra, A., dkk. 2015. Peran Dan Kepemimpinan Perawat Dalam Manajemen Bencana
Pada Fase Tanggap Darurat. Idea Nursing Journal, 6(1), 25-31.

Dwitanta, S. (2020). Peran Perawat dan Kesiapan Darurat dalam Menghadapi Bencana
pada Penderita Diabetes: Tinjauan Literatur. Indonesian Journal of Nursing
Health Science, 5(1).

Wijaya, S. (2015). Pengalaman Perawat Sebagai Survivor Dan Pemberi Pertolongan


Kesehatan Saat Respon Tanggap Darurat Pada Korban Bencana Tsunami
Tahun 2004 Di Lhoknga Dan Lhoong Aceh Besar. Jurnal Kesehatan Wiraraja
Medika, 5(2).

Naryanto, 2019. Analisis Penyebab Kejadian dan Evaluasi Bencana Tanah Longsor di
Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa
Timur Jurnal Ilmu Lingkungan,

Fatiatun dkk, 2019. Analisa Bencana Tanah Longsor Serta Mitigasinya. Jurnal Kajian
Pendidikan Sains

Dwitanta. 2020. Peran Perawat dan Kesiapan Darurat dalam Menghadapi Bencana
pada Penderita Diabetes: Tinjauan Literatur. Indonesian Journal of Nursing
Health Science

Ristiani. Manajemen Kesiapsiagaan Dalam Menghadapi Potensi Bencana Di


Kabupaten Sumedang. Jurnal Pemerintahan dan Keamanan Publik,

18

Anda mungkin juga menyukai