Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH BIOKIMIA

SALIVA

Pembimbing:
Edy Fachrial

DISUSUN OLEH:
Annisa Rizqi Ramadhani Sitio
213308010009

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karunia-
Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Biomikia dan Mikrobiologi Saliva ini dengan baik
dan tepat waktu untuk memenuhi tugas mata kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi.
Terimakasih saya ucapkan kepada bapak Edy Fachrial sebagai dosen mata kuliah biokimia
yang telah membantu dan mengajar saya dengan baik secara moral maupun teori serta dukungan dari
berbagai pihak lainnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari segi
penyusunan, tata bahasa maupun penulisannya. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk
saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi saya pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Medan, 21 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR......................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 4
1.3 Tujuan ................................................................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 5


2.1 Defenisi ............................................................................................................................. 6
2.2 Anatomi kelenjar saliva ..................................................................................................... 6
2.3 Histologi kelenjar saliva ..................................................................................................... 7
2.4 Mekanisme sekresi saliva ................................................................................................... 8
2.5 Laju aliran saliva ........................................................................................................... 9-10
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................................. 11
3.1 Defenisi saliva ................................................................................................................... 11
3.2 Komponen yang terkandung dalam saliva .................................................................. 12-14
3.3 Ciri-ciri saliva normal dan tidak normal ...................................................................... 14-15
3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi sekresi saliva ............................................................. 16
3.5 Mekanisme sekresi saliva ................................................................................................. 16
3.6 Penyakit-penyakit sistematik yang berkaitan dengan saliva ...................................... 17- 18
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................................ 19
4.1 Kesimpulan ....,.................................................................................................................. 19
4.2 Saran ........................,........................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Supartinah (2003) menjelaskan bahwa kesehatan rongga mulut seseorang tidak


dapat dipisahkan dari kesehatan umum individu tersebut, dimana keduanya adalah suatu
kesatuan. Masalah dalam rongga mulut dapat digunakan untuk pertanda kelainan tubuh
lainnya. Contohnya pada kasus penderita asma, dimana ketika pasien tersebut
mengonsumsi obat secara inhalansi maka 80% komponen obatnya akan tertinggal di dalam
mulut yang apabila tidak dibersihkan akan meningkatkan resiko gingivitis, insidensi
karies, kalkulus, dan erosi di gigi serta perubahan pada komposisi maupun volume saliva.
Penjelasan diatas mencerminkan rongga mulut dapat digunakan sebagai suatu indikasi
kesehatan.
Sinaga (2002) menjelaskan saliva dikenal pula dengan istilah salivia maupun air
ludah yang merupakan sekresi cairan dari glandula salivarius mayor dan glandula
salivarius minor yang sangat penting bagi rongga mulut itu sendiri. Komposisi saliva
secara garis besar terbagi menjadi komponen organik, anorganik, makromolekul dan air.
Komponen - komponen saliva yang berada pada komposisi normal akan mempengaruhi
keefektivitasan masing-masing fungsi saliva yang berbeda berdasar komponen
penyusunnya. Fungsi saliva diantaranya membantu proses pencernaan makanan,
membantu proses bicara, sebagai sistem pertahanan primer tubuh dalam bentuk antiviral,
anti bakteri, dan anti fungal selain itu ia juga berfungsi sebagai mekanisme self-cleansing
rongga mulut.
Saliva berdasar stimulasinya dibagi menjadi saliva yang tidak terstimulasi dan
saliva yang terstimulasi. Saliva yang tidak terstimulasi dapat selalu ditemukan dalam
waktu 24 jam dimana ia lebih akurat dalam pengecekan terkait kondisi sistemik pasien
dibanding pengecekan menggunakan saliva yang terstimulasi. Saliva yang terstimulasi
sendiri dapat ditemukan melalui beberapa proses yaitu mekanis, kimiawi, neuronal, psikis,
dan rasa sakit. Pembagian volume saliva yang tidak terstimulasi dengan volume saliva
yang terstimulasi akan menghasilkan volume saliva yang dikenal dengan curah saliva yang
kemudian digunakan sebagai salah satu indikator adanya kelainan saliva. Produksi saliva
oleh glandula salivarius baik mayor atau minor selain dipengaruhi ada tidaknya stimulasi,

4
juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain seperti usia dan jenis kelamin, serta keadaan fisik
seseorang yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya (Williamson, 2012).
Williamson, dkk (2012) menambahkan bahwa kini saliva dapat berfungsi sebagai
biomarker. Saliva sebagai biomarker disini sebagai pemeriksaan penunjang dalam
menegakkan diagnosis suatu penyakit. Penggunaan saliva sebagai biomarker mulai banyak
digunakan mengingat saliva lebih mudah dan lebih aman didapatkan dibanding komponen
darah serta lebih cepat waktu pengambilannya karena dapat dilakukan oleh pasien sendiri.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan saliva diataranya organisme spesifik,
kadar immunoglobulin, dan komponen saliva lainnya. Hal yang perlu diingat ketika
pemeriksaan saliva ini adalah adanya variasi yang besar antar individu, selain itu ia bersifat
multifaktor. Penjelasan diatas menjadi alasan mengapa mahasiswa kedokteran gigi perlu
mengetahui saliva sebagai biomarker dan diharapkan dapat diaplikasikan dalam penetapan
diagnosis ketika menjadi dokter gigi (Sinaga, 2002).

1.2. Rumusan masalah


1. Apa itu saliva?
2. Komponen apa saja yang terkandung dalam saliva?
3. Apa saja macam-macam saliva?
4. Bagaimana kondisi normal saliva?
5. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sekresi saliva?
6. Bagaimana mekanisme sekresi saliva?
7. Apa saja penyakit yang terkait dengan saliva?

1.3. Tujuan
1. Mampu memahami dan menjelaskan definisi saliva
2. Mampu menjelaskan komponen yang terkandung dalam saliva
3. Mampu memahami dan menjelaskan macam-macam saliva
4. Mampu mengetahui dan memahami kondisi normal saliva yang kemudian terkait
dengan kelainannya
5. Mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi sekresi saliva
6. Mampu menjelaskan mekanisme sekresi saliva
7. Mampu menjelaskan pengaruh cerebral palsy terhadap sekresi saliva

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Saliva adalah suatu cairan tidak bewarna yang memiliki konsistensi seperti lendir dan
merupakan hasil sekresi kelenjar yang membasahi gigi serta mukosa rongga mulut. Saliva
dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar saliva mayor serta sejumlah kelenjar saliva minor yang
tersebar di seluruh rongga mulut, kecuali pada ginggiva dan palatum. Berikut adalah fungsi-
fungsi saliva.
1. Menjaga kelembaban dan membasahi rongga mulut.
2. Melumasi dan melunakkan makanan sehingga memudahkan proses menelan dan
mengecap rasa makanan.
3. Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan, sisa sel dan bakteri, sehingga
dapat mengurangi akumulasi plak gigi dan mencegah infeksi.
4. Menghambat proses dekalsifikasi dengan adanya pengaruh buffer yang dapat
menekan naik turunnya derajat keasaman (pH). Dalam 24 jam, kelenjar-kelenjar
saliva dapat mensekresi kira-kira 1 sampai 1,5 liter. Saliva disekresi karena adanya
rangsangan, baik secara langsung oleh ujung-ujung saraf yang ada di mukosa mulut
maupun secara tidak langsung oleh rangsangan mekanis, termis, kimiawi, psikis
atau olfaktori. Rangsang mekanik merupakan rangsang utama untuk meningkatkan
sekresi saliva. Sel-sel plasma dalam kelenjar saliva menghasilkan antibodi,
terutama dari kelas Immunoglobulin A (IgA) yang ditransportasikan ke dalam
saliva. Selain antibodi, saliva juga mengandung beberapa jenis enzim antimikrobial
seperti lisozim, laktoferin dan peroksidase serta beberapa komponen seperti growth
factor, yang berguna untuk menjaga kesehatan dari jaringan luka mulut dan dapat
membantu proses pencernaan, khususnya karbohidrat.

2.2. Anatomi Kelenjar Saliva


Saliva dihasilkan oleh kelenjar saliva yang terdiri atas sepasang kelenjar saliva mayor
serta beberapa kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari kelenjar parotis,
submandibularis, dan sublingualis. Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva terbesar,
terletak bilateral di depan telinga antara ramus mandibularis dan processus mastoideus dengan
bagian yang meluas ke muka di bawah lengkung zigomatik. Kelenjar submandbularis
merupakan kelenjar saliva terbesar kedua yang terletak pada dasar mulut di bawah korpus
6
mandibula. Salurannya bermuara melalui lubang yang terdapat di samping frenulum lingualis.
Kelenjar sublingualis adalah kelenjar saliva mayor terkecil dan terletak paling dalam, pada
dasar mulut antara mandibula dan otot genioglossus. Masing-masing kelenjar sublingualis
sebelah kanan dan kiri bersatu untuk membentuk massa kelenjar di sekitar frenulum lingualis.
Kelenjar saliva minor terdiri dari kelenjar lingualis, bukalis, labialis, palatinal, dan
glossopalatinal. Kelenjar-kelenjar ini berada di bawah mukosa dari bibir, lidah, pipi, serta
palatum.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Saliva

2.3. Histologi kelenjar saliva


Kelenjar saliva merupakan kelenjar merokrin yang bentuknya berupa tubuloasiner atau
tubuloaveoler. Bagian dari kelenjar saliva yang menghasilkan sekret disebut asini. Berikut
adalah sel-sel yang menyusun asini kelenjar saliva.
a. Asini serous
Asini serous tersusun dari sel-sel berbentuk piramid yang mengelilingi lumen kecil dan
berinti bulat. Di basal sel terdapat sitoplasma basofilik dan di apeks terdapat butir-butir pro-
enzim eosinofilik, yang akan disekresikan ke lumen asini menjadi enzim. Hasil sekresi aini
serous berisi enzim ptialin dan bersifat jernih dan encer seperti air.
b. Asini mukous
Asini mukous tersusun dari sel-sel berbentuk kuboid sampai kolumner yang
mengelilingi lumen kecil dan memiliki inti pipih atau oval yang terletak di basal. Sitoplasma
asini mukous yang berada di basal sel bersifat basofilik sedangkan daerah inti dan apeks berisi
musin yang bewarna pucat. Hasil sekresi asini mukous berupa musin yang sangat kental.
c. Asini campuran

7
Asini campuran mempunyai struktur asini serous serta mukous. Bagian serous yang
menempel pada bagian mukous tampak sebagai bangunan berbentuk bulan sabit.
Pada kelenjar saliva juga ditemukan struktur lain yaitu mioepitel. Mioepitel terdapat di
antara membran basalis dan sel asinus. Sel ini berbentuk gepeng, berinti gepeng, memiliki
sitoplasma panjang yang mencapai sel-sel sekretoris, dan memiliki miofibril yang kontraktil di
dalam sitoplama sehingga membantu memeras sel sekretoris mengeluarkan hasil sekresi. Hasil
sekresi kelenjar saliva akan dialirkan ke duktus interkalatus yang tersusun dari sel-sel
berbentuk kuboid dan mengelilingi lumen yang sangat kecil. Beberapa duktus interkalatus akan
bergabung dan melanjut sebagai duktus striatus atau duktus intralobularis yang tersusun dari
sel-sel kuboid tinggi dan mempunyai garis-garis di basal dan tegak lurus dengan membrana
basalis yang berfungsi sebagai transport ion. Duktus striatus dari masing–masing lobulus akan
bermuara pada saluran yang lebih besar yang disebut duktus ekskretorius atau duktus
interlobularis.

Gambar 2. Histologi Kelenjar Saliva

2.4. Mekanisme sekresi saliva


Saliva disekresi sekitar 0,5 sampai 1,5 liter per hari. Tingkat perangsangan saliva
tergantung pada kecepatan aliran saliva yang bervariasi antara 0,1 sampai 4 ml/menit. Pada
kecepatan 0,5 ml/menit sekitar 95% saliva disekresi oleh kelenjar parotis (saliva encer) dan
kelenjar submandibularis (saliva kaya akan musin), sisanya disekresi oleh kelenjar sublingual
dan kelenjar-kelenjar di lapisan mukosa mulut. Sekresi saliva yang bersifat spontan dan
kontinu, tanpa adanya rangsangan yang jelas, disebabkan oleh stimulasi konstan tingkat rendah
ujung ujung saraf parasimpatis yang berakhir di kelenjar saliva berfungsi untuk menjaga mulut
dan tenggorokan tetap basah setiap waktu.
Sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui reflek saliva terstimulasi dan refleks saliva
tidak terstimulasi. Refleks saliva terstimulasi terjadi sewaktu kemoreseptor atau reseptor
8
tekanan di dalam rongga mulut berespon terhadap adanya makanan. Reseptor-reseptor tersebut
memulai impuls di serat saraf aferen yang membawa informasi ke pusat saliva di medula
batang otak. Pusat saliva kemudian mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke
kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi saliva. Gerakan mengunyah merangsang sekresi
saliva walaupun tidak terdapat makanan karena adanya manipulasi terhadap reseptor tekanan
yang terdapat di mulut. Pada refleks saliva tidak terstimulasi, pengeluaran saliva terjadi tanpa
rangsangan oral. Hanya berpikir, melihat, membaui, atau mendengar suatu makanan yang lezat
dapat memicu pengeluaran saliva melalui refleks ini.

Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf otonom yang
mensarafi kelenjar saliva. Stimulasi simpatis dan parasimpatis meningkatkan sekresi saliva
tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda. Rangsangan parasimpatis
berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah
besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit
dengan konsistensi kental dan kaya mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan sekresi
saliva dalam jumlah sedikit, mulut terasa lebih kering daripada biasanya saat sistem simpatis
dominan, misalnya pada keadaan stres.

2.5. Laju aliran saliva


Laju aliran saliva sangat mempengaruhi kuantitas saliva yang dihasilkan. Laju aliran
saliva tidak terstimulasi dan kualitas saliva sangat dipengaruhi oleh waktu dan berubah
sepanjang hari. Terdapat peningkatan laju aliran saliva saat bangun tidur hingga mencapai
tingkat maksimal pada siang hari, serta menurun drastis ketika tidur. Refleks saliva terstimulasi
melalui pengunyahan atau adanya makanan, asam dapat meningkatkan laju aliran saliva hingga
10 kali lipat atau lebih.

9
Pada orang normal, laju aliran saliva dalam keadaan tidak terstimulasi sekitar 0,3-0,4
ml/menit. Jumlah sekresi saliva per hari tanpa distimulasi adalah 300 ml. Sedangkan ketika
tidur selama 8 jam, laju aliran saliva hanya sekitar 15 ml. Dalam kurun waktu 24 jam, saliva
rata-rata akan terstimulasi pada saat makan selama 2 jam. Lalu saliva berada dalam kondisi
istirahat selama 14 jam, dengan total produksi saliva 700-1500 ml. Sisanya merupakan saliva
dalam kondisi istirahat.17 Ketika saliva distimulasi, laju aliran saliva meningkat hingga
mencapai 1,5-2,5 ml/menit. Pasien disebut xerostomia jika saat terstimulasi laju aliran saliva
kurang dari 0,7 ml/menit.21 Aliran saliva distimulasi oleh rasa dan pengunyahan, termasuk
rasa permen karet yang mengandung xylitol dan pengunyahannya. Peningkatan laju 11 aliran
saliva akan meningkatkan pH karena adanya ion bikarbonat sehingga kemampuan
mempertahankan pH saliva (kapasitas dapar) juga akan meningkat. Ion kalsium dan fosfat juga
meningkat sehingga akan terjadi keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi.

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Definisi Saliva


Saliva merupakan salah satu dari cairan di rongga mulut yang diproduksi dan
diekskresikan oleh kelenjar saliva dan dialirkan ke dalam rongga mulut melalui suatu saluran.
Saliva terdiri dari 98% air dan selebihnya adalah elektrolit, mukus dan enzim-enzim. Saliva
diekskresi hingga 0.5 – 1.5 liter oleh tiga kelenjar saliva mayor dan minor yang berada di sekitar
mulut dan tenggorokan untuk memastikan kestabilan di sekitar rongga mulut.
a. Kelenjar Saliva
Kelenjar-kelenjar saliva mayor terletak agak jauh dari rongga mulut dan sekretnya
disalurkan melalui duktusnya kedalam rongga mulut. Kelenjar saliva mayor terdiri dari
kelenjar parotis yang terletak dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula, kelenjar
submandibularis yang terletak dibagian bawah korpus mandibula dan kelenjar sublingualis
yang terletak dibawah lidah. Selain itu terdapat juga kelenjar saliva minor yang terdiri dari
kelenjar labial, kelenjar bukal, kelenjar Bladin-Nuhn, kelenjar Von Ebner dan kelenjar Weber.
• Kelenjar Saliva Mayor
Kelenjar parotis merupakan kelenjar ludah terbesar yang terletak di anterior dari aurikel
telinga dimana posisinya antara kulit dan otot masseter. Duktus kelenjar ini bermuara pada
vestibulus oris pada lipatan antara mukosa pipi dan gusi dihadapan molar 2 atas. Kelenjar ini
dibungkus oleh jaringan ikat padat dan mengandung sejumlah besar enzim antara lain amilase
lisozim, fosfatase asam, aldolase, dan kolinesterase. Saluran keluar utama disebut duktus
stenon (stenson) terdiri dari epitel berlapis semu. Kelenjar submandibularis merupakan
kelenjar yang memproduksi air liur terbanyak dan mempunyai saluran keluar (duktus
ekskretoris) yaitu duktus Whartoni yang bermuara pada dasar rongga mulut pada frenulum
lidah, dibelakang gigi seri bawah. Seperti juga kelenjar parotis, kelenjar ini terdiri dari jaringan
ikat yang padat. Kelenjar sublingualis mempunyai banyak duktus yang menyalurkan ke dalam
rongga mulut. Duktus kelenjar ini disebut duktus Rivinus. Duktus ini terletak berdekatan
dengan papilla dari duktus kelenjar submandibular.
• Kelenjar Saliva Minor
Kebanyakan kelenjar saliva minor merupakan kelenjar kecil-kecil yang terletak di
dalam mukosa atau submukosa. Kelenjar minor hanya menyumbangkan 5% dari pengeluaran

11
ludah dalam 24 jam. Kelenjar-kelenjar ini diberi nama berdasarkan lokasinya atau nama pakar
yang menemukannya.
Kelenjar labial (glandula labialis) terdapat pada bibir atas dan bibir bawah dengan
asinus-asinus seromukus. Kelenjar bukal (glandula bukalis) terdapat pada mukosa pipi, dengan
asinus-asinus seromukus. Kelenjar Bladin-Nuhn (Glandula lingualis anterior) terletak pada
bagian bawah ujung lidah. Kelenjar Von Ebner (Gustatory Gland = albuminous gland) dan
Kelenjar Weber terletak pada pangkal lidah. Kelenjar Von Ebner dan Weber disebut juga
glandula lingualis posterior.

3.2. Komponen yang Terkandung Dalam saliva


Komponen-komponen saliva, yang dalam keadaan larut disekresi oleh kelenjar saliva,
dapat dibedakan atas komponen organik dan anorganik. Namun demikian, kadar tersebut masih
terhitung rendah dibandingkan dengan serum karena pada saliva bahan utamanya adalah air
yaitu sekitar 99.5%. Komponen anorganik saliva antara lain : Sodium, Kalsium, Kalium,
Magnesium, Bikarbonat, Khlorida, Rodanida dan Thiocynate (CNS), Fosfat, Potassium dan
Nitrat. Sedangkan komponen organik pada saliva meliputi protein yang berupa enzim amilase,
maltase, serum albumin, asam urat, kretinin, musin, vitamin C, beberapa asam amino, lisosim,
laktat, dan beberapa hormon seperti testosteron dan kortisol.
a. Komponen Anorganik
1. Klorida
Ion klorida merupakan salah satu kandungan anorganik saliva yang memiliki
fungsi untuk mengaktivasi enzimatik α-amilase.
2. Kalsium dan fosfat
Fungsi dari kalsium dan fosfat pada saliva adalah untuk melakukan
remineralisasi email, sehingga ketika terjadi demineralisasi email dari perlekatan
bakteri tersebut dapat digagalkan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kalsium dan fosfat
memiliki salah satu fungsi saliva sebagai self cleansing.
3. Rodanida dan Thiosinat
Rodanida dan thiosinat berperan sebagai agen antibakterial yang sistem
kerjanya bekerja sama dengan sistem laktoperosidase.
4. Bikarbonat
Bikarbonat memiliki fungsi dan peranan sebagai buffer terpenting. Peran
buffer tersebut ialah dapat mengembalikan pH saliva kembali mendekati normal saat
keadaan terlalu asam maupun terlalu basa (Hashim, 2010).
12
b. Komponen Organik
Komponen organik penyusun saliva ini secara umum terdiri dari protein, lipid, glukosa,
asam lemak, asam amino, amoniak, dan vitamin. Komponen organik utamanya ialah protein
yang memiliki kuantitaf pentingnya yaitu enzim α-amilase. Protein yang terkandung tersebut
merupakan protein yang kaya prolin, musin, dan imunoglobulin. Protein juga mampu untuk
meningkatkan ketebalan acquired pellicle, sehingga mampu untuk menghambat pengeluaran
ion fosfat dan kalsium dari enamel. Produksi dari protein ini berasal dari lapisan luar epitel
glandula salivarius (Hashim, 2010).
Macam-macam komponen organik pada saliva terkait fungsi, antara lain :
1) α-amilase
Enzim α-amilase ini merupakan penggerak awal mula terjadinya pencernaan
karbohidrat di dalam mulut. Enzim tersebut merupakan kesatuan karbohidrat kecil yang
dapat memecahkan polisakarida menjadi monosakarida, sehingga lebih mudah dicerna
(Hashim, 2010).
2) Lisozim
Lisozim memiliki peranan penting sebagai agen antibakterial yang dapat
melisiskan bakteri dengan cara merusak dinding selnya dan membilas bahan makanan
yang berperan sebagai pertumbuhan bakteri (Hashim, 2010).
3) Kalikren
Kalikren merupakan protein tertentu didalam saliva yang merupakan faktor
pembekuan darah XII, VII, IX, dan platelet (Hashim, 2010).
4) Laktoperosidase
Latoperosidase berfungsi untuk mengkatalis oksidasi CNS (thiosinat) menjadi
OSCN (hypothiosinat), sehingga dapat menghambat pertukaran dan pertumbuhan zat
bakteri (Hashim, 2010).
5) Mucin
Kandungan mucin didalam rongga mulut memiliki peranan dan fungsi penting
dalam mencegah terjadinya kekeringan didalam rongga mulut, membentuk makanan
menjadi bolus, dan sebagai agen antibakteri serta antivirus. Terlibatnya mucin sebagai
agen antibakteri dan antivirus tersebut disebabkan oleh kandungan IgA di dalam saliva
(Hashim, 2010).

13
6) Gustin
Komponen gustin dalam saliva memiliki pernanan dalam proses pengecapan,
karena gustin tersebut mampu untuk memaksimalkan fungsi dari kuncup kecap
(Hashim, 2010).
7) Immunoglobulin
Immunoglobulin terlibat pada sistem penolakan fisik dan agen antibakteri.
Immunoglobulin terdiri dari sebagian besar IgA sekretorik (SIgA) dan sebagian kecil
IgM dan IgG. Aktivitas antibakteri SIgA yang terdapat dalam mukosa mulut bersifat
mukus dan bersifat melekat dengan kuat, sehingga antigen dalam bentuk bakteri dan
virus akan melekat erat dalam mukosa mulut yang kemudian dilumpuhkan oleh SIgA.
Bakteri mulut yang diselubungi oleh SIgA lebih mudah difagositosis oleh leukosit
(Amerongen, 1991 dan Rensburg, 1995).

8) Protein Kaya Prolin


Protein kaya prolin membentuk suatu kelas protein dengan berbagai fungsi
penting yaitu mempertahankan konsentrasi kalsium di dalam saliva agar tetap konstan
yang menghambat demineralisasi dan meningkatkan remineralisasi (Amerongen,
1991).
9) Sistem Peroksidase
Peroksida berperan sebagai sistem antibakteri yang banyak hadir pada kelenjar
parotis, terdiri dari hidrogen peroksida, tiosanat dan laktoproksidase (Rensburg, 1995).
Sistem ini menghambat produksi asam dan pertumbuhan bakteri streptokokus dan
laktobasilus yang ikut menjaga pH rongga mulut sekaligus mengurangi terjadinya
karies akibat asam yang dihasilkan oleh bakteri (Grant, 1988).
10) Laktoferin
Laktoferin merupakan hasil produksi sel epitel kelenjar dan leukosit PMN
yang mempunyai efek bakterisid yang merupakan salah satu fungsi proteksi terhadap
infeksi mikroorganisme ke dalam tubuh manusia (Roth, 1981). Laktoferin juga
mengikat ion ion Fe³+, yang diperlukan bagi pertumbuhann bakteri (Amerongen, 1991).

3.3. Ciri-Ciri Saliva Normal dan Tidak Normal


a. Ciri saliva normal
1) Rata-rata laju sekresi : Unstimulated 0,3-0,4 ml/menit
14
Stimulated 1-3 ml/menit
(Tenevuo, 1994)
2) Tidak berwarna, tidak berbuih, dan jernih (Amerogen, 1991).
1) pH berkisar 6,0 – 7,4, dengan rata-rata 6,8 pada semua kondisi, tanpa stimulasi
(Hofman, 2001).
2) Terdiri dari air (90%), komponen organik (0,2%), dan komponen anorganik
(0,3%) ( Talwar, 2006).
3) Komposisi dari komponen anorganik:
a) Bikarbonat: 5,7 ± 2,7 mmol/L
b) Sodium: 8,5 – 24 mmol/L
c) Potasium: 12,5 – 16 mmol/L
d) Kalsium: 2,3 – 2,5 mmol/L
e) Clorida: 2,5 – 17,5 mmol/L
f) Fosfor: 7,5 – 21 mmol/L
(Talwar, 2006)
4) Rata-rata laju sekresi pada keadaan tertentu:
a) Tidur: 0,1 ml/menit
b) Terjaga: 0,3 ml/menit
a. Mengunyah: 4 ml/menit
(Hofman, 2001)
b. Ciri saliva tidak normal
1) Hiposalivasi atau xerostomia adalah suatu keadaan dimana rata-rata laju sekresi
saliva dibawah dari kadar normal. Terkadang menimbulkan gejala mulut
terbakar (Hashim, 2010 dan Bradley, 2010).
2) Hipersalivasi atau disebut juga dengan sialorrhea merupakan suatu keadaan
dimana rata-rata laju sekresi salisi melibihi dari kadar normal. Hipersalivasi
minor akan menyebabkan iritasi lokal. Sedangkan hipersalivasi mayor akan
mengakibatkan angular cheilitis (Neil, 2004).
3) Rata-rata laju sekresi:
a) Unstimulated dibawah 0,1 ml/menit termasuk hiposalivasi dan dikatakan
rendah bila berkisar 0,1-0,25 ml/menit.
b) Stimulated dibawah 0,7 ml/menit termasuk hiposalivasi dan dikatakan rendah
bila berkisar 0,7-1 ml/menit.
(Tenovuo, 1994)
15
3.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sekresi Saliva
Kelenjar saliva memproduksi saliva hampir setengah liter setiap hari. Beberapa faktor
mempengaruhi sekresi saliva dengan merangsang kelenjar saliva melalui cara-cara berikut:
1) Faktor mekanis yaitu dengan mengunyah makan yang keras atau permen karet.
2) Faktor kimiawi yaitu melalui rangsangan seperti asam, manis, asin, pahit dan pedas.
3) Faktor neuronal yaitu melalui sistem syaraf autonom baik simpatis maupun
parasimpatis.
4) Faktor Psikis yaitu stress yang menghambat sekresi saliva.
5) Rangsangan rasa sakit, misalnya oleh radang, gingivitis, dan pemakaian protesa yang
dapat menstimulasi sekresi saliva.

3.5. Mekanisme Sekresi Saliva


Saliva disekresi sekitar 1 sampai 1,5 liter setiap hari tergantung pada tingkat
perangsangan. Kecepatan aliran saliva bervariasi dari 0,1-4,0 ml/menit. Pada kecepatan 0,5
ml/menit sekitar 95% saliva disekresi oleh kelenjar parotis dan kelenjar submandibularis;
sisanya disekresi oleh kelenjar sublingual dan kelenjar saliva minor. Sekresi saliva dipengaruhi
oleh kinerja dari saraf otonom parasimpatis dan simpatis. Saraf otonom ini di atur oleh medulla
oblongata. Saraf ini bekerja saat ada stimulasi atau tidak ada stimulasi. stimulasi dapat berupa
tekanan atau rasa dari makanan dan reseptor sensorik. Stimulus pada saraf parasimpatis akan
menyebabkan pelepasan ion-ion dan air. Sedangkan stimulus pada saraf simpatis akan
menyebabkan pelepasan protein-protein yang terdapat di dalam sel-sel asinar. Stimulus dari
otot-otot mastikasi dan ligamen periodontal akan merangsang nuklei saliva inferior dan
superior pada otak yang juga dipengaruhi oleh korteks serebri. Kerteks serebri merupakan pusat
pengaturan dr medula oblongata sedangkan motoriknya diatur oleh cerebral, khususnya
cerebrum.

Ketika ada rangsangan, reseptor sensorik akan mengirimkan signal yang akan
ditangkap oleh korteks serebri. Lalu korteks akan menstimulasi medulla oblongata yang
kemudian medulla oblongata merangsang saraf simpatik dan parasimpatik. Kedua saraf ini
termasuk saraf otonom semua tetapi kerjanya mempengaruhi kelenjar saliva yang berbeda.
Ketika ada rangsang, parasimpatik yang lebih dominan bekerja sehingga saliva yang
keproduksi cenderung banyak dan encer karena diproduksi oleh kelenjar parotis dan
submandibula yang mayoritas sekretnya berupa serous. Sedangkan ketika tidak ada rangsang

16
yang dominan bekerja adalah saraf simpatik yang akan menstimulasi kelenjar sublingual
memproduksi sekret berupa mukous dan volumenya sedikit.

Selain stimulasi sekresi yang bersifat konstan, sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui
dua jenis refleks saliva yang berbeda, yaitu:
1) Refleks saliva sederhana, atau tidak terkondisi
Refleks saliva sederhana terjadi saat baroreseptor di dalam rongga mulut merespons
adanya makanan. Saat diaktifkan, reseptor-reseptor tersebut memulai impuls di serabut saraf
afferen yang membawa informasi ke pusat saliva di medula spinalis. Pusat saliva kemudian
mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan
sekresi saliva. Gerakan gigi juga mendorong sekresi saliva walaupun tidak terdapat makanan
karena adanya manipulasi terhadap baroreseptor yang terdapat di mulut.
2) Refleks saliva didapat, atau terkondisi.
Pada refleks saliva didapat, sekresi saliva dihasilkan tanpa rangsangan oral. Hanya
dengan berpikir, melihat, membaui, atau mendengar suatu makanan yang lezat dapat memicu
pengeluaran saliva melalui refleks ini.
Pusat saliva di medula mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf-saraf
otonom. Baik stimulasi simpatis maupun parasimpatis berfungsi meningkatkan sekresi saliva,
tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda. Stimulasi parasimpatis
berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah
besar dan kaya enzim, sedangkan stimulasi simpatis menghasilkan volume saliva yang jauh
lebih sedikit dengan konsistensi kental dan kaya mukous.

3.6. Penyakit-Penyakit Sistemik yang Berkaitan dengan Saliva


a. Lupus Eritematosus Sistemik (LES). LES ini dapat menyebabkan berkurangnya
produksi saliva atau xerostomia (Sultana dan Sham, 2011).
b. Rheumatoid arthritis. Penyakit ini dapat menyebabkan mulut kering (Sllm dan
Thomas, 2012).
c. Autoimmune Pancreatitis. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan fungsi
saliva dikarenakan pemakaian obat golongan steroid (Witt, 2005).
d. Parkinson’s disease. Penyakit tersebut dapat menyebabkan hipofungsi dari
glandula salivarius (Bradley, 2010).

17
e. Kanker. Kemoterapi dan Radioterapi yang digunakan dalam pengobatan kanker
dapat mengakibatkan xerostomia dan disfungsi kelenjar saliva (Sllm dan Thomas,
2012).
f. HIV/AIDS. Xerostomia dapat muncul pada HIV/AIDS, Selain itu HIV/AIDS juga
sering menyebabkan pembengkakan pada glandula salivarius major (Sllm dan
Thomas, 2012).
g. Hepatitis A, B, C. Hepatitis dapat menyebabkan xerostomia (Janjua, dkk., 2012).
h. Diabetes Mellitus (DM). DM dapat mengakibatkan pembesaran glandula salivarius
dan mulut kering (Witt, 2005).
i. Kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi. Pemakaian obat antihipertensi
mengakibatkan mulut kering (Scully, 2003).
j. Malnutrisi. Kekurangan kalori dan protein menyebabkan berkurangnya volume
saliva, pH rendah dan waktu alir saliva yang rendah (Suparlinah, 2003).
k. Hypotiroidism. Penyakit ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran saliva (Witt,
2005).

18
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Saliva merupakan cairan oral yang merupakan hasil sekresi dari kelanjar saliva.
Komponen terbesar saliva adalah air (hampir 99%) dan sisanya merupakan bahan organik
dan bahan anorganik. Baik bahan organik maupun anorganik tersebut ada yang berbentuk
mikromolekul maupun makromolekul. Bahan organik saliva antara lain protein, asam
lemak dan lipid, serta glukosa. Sedangkan bahan anorganik antara lain bikarbonat, kalium
kalsium, natrium, klorida, fosfat dan thiosianat.
Saliva normal memiliki rata-rata laju sekresi 0,3 – 0,4 ml/menit tanpa stimulasi,
sedangkan apabila distimulasi dapat mencapai 1-3 ml/menit. Nilai pH normal saliva adalah
6,0 – 7,4 dengan rata-rata 6,8 pada semua kondisi tanpa stimulasi. Kemudian saliva juga
memiliki nilai-nilai ambang normal tertentu untuk setiap komponennya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi curah saliva sangat beragam, seperti posisi, aktivitas, jenis rangsangan yang
diterima. konsumsi obat-obatan serta beberapa siklus seperti siklus sirkadian dan sirkanual.
Sekresi saliva dipengaruhi oleh kinerja dari saraf otonom parasimpatis dan simpatis.
Berbagai penyakit sistemik maupun penyakit lokal dapat menyerang saliva. Beberapa
penyakit sistemik yang erat kaitannya dengan saliva adalah Diabetes Melitus, HIV, serta
Hepatitis .
4.2. Saran
Kebanyakan orang beranggapan bahwa air liur atau saliva tidak mempunyai arti apa-
apa dan ia sering dilihat sebagai suatu benda yang menjijikkan. Sebaliknya tanpa kita sadari,
cairan di dalam rongga mulut ini bukan saja penting untuk pencernaan makanan tetapi juga
dapat memberi informasi tentang kondisi tubuh dan digunakan secara meluas untuk
mendiagnosa penyakit lokal dan sistemik. Untuk itu diharapkan mahasiswa dapat
memahami lebih dalam mengenai saliva baik kondisi normalnya maupun fungsinya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Amerogen, A. V. N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah, Edisi 1, UGM, Yogyakarta

Bradley, P., J., 2010, Otorhinolaryngology, Head & Neck Surgery, Springer-Verlag,
Heidelberg

Grant, D. A. ; B. S. Irving. ; G. E. Frank. 1988. Orbans Periodontics a Concept Theory and


Pratice. 4th ed. St. Louis : The C. V. Mosby Co. 99 101

Hashim, A. B., 2010, Saliva Sebagai Media Diagnosa, Tesis, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Sumatera Utara, Medan

Hofman, L. F., 2001, Innovative non-or Minimally-Invasive Technologies for Monitoring


Health and Nutrition Status in Mothers and Young Children, Journal Nutrition

Janjua, O., S., Manzoor, A., Syed, M., Jamil, R., Abbas, T., dan Amjad, A., 2012, Frequency
of Xerostomia in Patients Suffering From Hepatitis B and C, Pakistan Oral & Dental
Journal, 32(1): 42-45

Kidd, E. A. M., Joyston, S., 1991, Dasar-dasar Karies: Penyakit dan Penanggulangannya,
(diterjemahkan oleh: Narwan Sumawinata dan Safrida Faruk), EGC, Jakarta

Rensburg, B. G. J. V. 1995. Oral Biology. Chicago: Quintessenc Publishing Co. Inc

Roth, G. I. ; R. Calmes. 1981. Oral Biology. St. Louis : The C. V. Mosby Co. 8 : 196-232

Scully, C., 2003, Drug Effects on Salivary Glands: Dry Mouth, Oral Diseases, 9: 165-176

Sherwood, L., 2011, Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem, (diterjemahkan oleh: Bhram U.
Pendit), Ed. 6, EGC, Jakarta

20

Anda mungkin juga menyukai