SALIVA
Pembimbing:
Edy Fachrial
DISUSUN OLEH:
Annisa Rizqi Ramadhani Sitio
213308010009
Penulis
2
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR......................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 4
1.3 Tujuan ................................................................................................................................ 5
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain seperti usia dan jenis kelamin, serta keadaan fisik
seseorang yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya (Williamson, 2012).
Williamson, dkk (2012) menambahkan bahwa kini saliva dapat berfungsi sebagai
biomarker. Saliva sebagai biomarker disini sebagai pemeriksaan penunjang dalam
menegakkan diagnosis suatu penyakit. Penggunaan saliva sebagai biomarker mulai banyak
digunakan mengingat saliva lebih mudah dan lebih aman didapatkan dibanding komponen
darah serta lebih cepat waktu pengambilannya karena dapat dilakukan oleh pasien sendiri.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan saliva diataranya organisme spesifik,
kadar immunoglobulin, dan komponen saliva lainnya. Hal yang perlu diingat ketika
pemeriksaan saliva ini adalah adanya variasi yang besar antar individu, selain itu ia bersifat
multifaktor. Penjelasan diatas menjadi alasan mengapa mahasiswa kedokteran gigi perlu
mengetahui saliva sebagai biomarker dan diharapkan dapat diaplikasikan dalam penetapan
diagnosis ketika menjadi dokter gigi (Sinaga, 2002).
1.3. Tujuan
1. Mampu memahami dan menjelaskan definisi saliva
2. Mampu menjelaskan komponen yang terkandung dalam saliva
3. Mampu memahami dan menjelaskan macam-macam saliva
4. Mampu mengetahui dan memahami kondisi normal saliva yang kemudian terkait
dengan kelainannya
5. Mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi sekresi saliva
6. Mampu menjelaskan mekanisme sekresi saliva
7. Mampu menjelaskan pengaruh cerebral palsy terhadap sekresi saliva
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Saliva adalah suatu cairan tidak bewarna yang memiliki konsistensi seperti lendir dan
merupakan hasil sekresi kelenjar yang membasahi gigi serta mukosa rongga mulut. Saliva
dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar saliva mayor serta sejumlah kelenjar saliva minor yang
tersebar di seluruh rongga mulut, kecuali pada ginggiva dan palatum. Berikut adalah fungsi-
fungsi saliva.
1. Menjaga kelembaban dan membasahi rongga mulut.
2. Melumasi dan melunakkan makanan sehingga memudahkan proses menelan dan
mengecap rasa makanan.
3. Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan, sisa sel dan bakteri, sehingga
dapat mengurangi akumulasi plak gigi dan mencegah infeksi.
4. Menghambat proses dekalsifikasi dengan adanya pengaruh buffer yang dapat
menekan naik turunnya derajat keasaman (pH). Dalam 24 jam, kelenjar-kelenjar
saliva dapat mensekresi kira-kira 1 sampai 1,5 liter. Saliva disekresi karena adanya
rangsangan, baik secara langsung oleh ujung-ujung saraf yang ada di mukosa mulut
maupun secara tidak langsung oleh rangsangan mekanis, termis, kimiawi, psikis
atau olfaktori. Rangsang mekanik merupakan rangsang utama untuk meningkatkan
sekresi saliva. Sel-sel plasma dalam kelenjar saliva menghasilkan antibodi,
terutama dari kelas Immunoglobulin A (IgA) yang ditransportasikan ke dalam
saliva. Selain antibodi, saliva juga mengandung beberapa jenis enzim antimikrobial
seperti lisozim, laktoferin dan peroksidase serta beberapa komponen seperti growth
factor, yang berguna untuk menjaga kesehatan dari jaringan luka mulut dan dapat
membantu proses pencernaan, khususnya karbohidrat.
7
Asini campuran mempunyai struktur asini serous serta mukous. Bagian serous yang
menempel pada bagian mukous tampak sebagai bangunan berbentuk bulan sabit.
Pada kelenjar saliva juga ditemukan struktur lain yaitu mioepitel. Mioepitel terdapat di
antara membran basalis dan sel asinus. Sel ini berbentuk gepeng, berinti gepeng, memiliki
sitoplasma panjang yang mencapai sel-sel sekretoris, dan memiliki miofibril yang kontraktil di
dalam sitoplama sehingga membantu memeras sel sekretoris mengeluarkan hasil sekresi. Hasil
sekresi kelenjar saliva akan dialirkan ke duktus interkalatus yang tersusun dari sel-sel
berbentuk kuboid dan mengelilingi lumen yang sangat kecil. Beberapa duktus interkalatus akan
bergabung dan melanjut sebagai duktus striatus atau duktus intralobularis yang tersusun dari
sel-sel kuboid tinggi dan mempunyai garis-garis di basal dan tegak lurus dengan membrana
basalis yang berfungsi sebagai transport ion. Duktus striatus dari masing–masing lobulus akan
bermuara pada saluran yang lebih besar yang disebut duktus ekskretorius atau duktus
interlobularis.
Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf otonom yang
mensarafi kelenjar saliva. Stimulasi simpatis dan parasimpatis meningkatkan sekresi saliva
tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda. Rangsangan parasimpatis
berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah
besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit
dengan konsistensi kental dan kaya mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan sekresi
saliva dalam jumlah sedikit, mulut terasa lebih kering daripada biasanya saat sistem simpatis
dominan, misalnya pada keadaan stres.
9
Pada orang normal, laju aliran saliva dalam keadaan tidak terstimulasi sekitar 0,3-0,4
ml/menit. Jumlah sekresi saliva per hari tanpa distimulasi adalah 300 ml. Sedangkan ketika
tidur selama 8 jam, laju aliran saliva hanya sekitar 15 ml. Dalam kurun waktu 24 jam, saliva
rata-rata akan terstimulasi pada saat makan selama 2 jam. Lalu saliva berada dalam kondisi
istirahat selama 14 jam, dengan total produksi saliva 700-1500 ml. Sisanya merupakan saliva
dalam kondisi istirahat.17 Ketika saliva distimulasi, laju aliran saliva meningkat hingga
mencapai 1,5-2,5 ml/menit. Pasien disebut xerostomia jika saat terstimulasi laju aliran saliva
kurang dari 0,7 ml/menit.21 Aliran saliva distimulasi oleh rasa dan pengunyahan, termasuk
rasa permen karet yang mengandung xylitol dan pengunyahannya. Peningkatan laju 11 aliran
saliva akan meningkatkan pH karena adanya ion bikarbonat sehingga kemampuan
mempertahankan pH saliva (kapasitas dapar) juga akan meningkat. Ion kalsium dan fosfat juga
meningkat sehingga akan terjadi keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi.
10
BAB III
PEMBAHASAN
11
ludah dalam 24 jam. Kelenjar-kelenjar ini diberi nama berdasarkan lokasinya atau nama pakar
yang menemukannya.
Kelenjar labial (glandula labialis) terdapat pada bibir atas dan bibir bawah dengan
asinus-asinus seromukus. Kelenjar bukal (glandula bukalis) terdapat pada mukosa pipi, dengan
asinus-asinus seromukus. Kelenjar Bladin-Nuhn (Glandula lingualis anterior) terletak pada
bagian bawah ujung lidah. Kelenjar Von Ebner (Gustatory Gland = albuminous gland) dan
Kelenjar Weber terletak pada pangkal lidah. Kelenjar Von Ebner dan Weber disebut juga
glandula lingualis posterior.
13
6) Gustin
Komponen gustin dalam saliva memiliki pernanan dalam proses pengecapan,
karena gustin tersebut mampu untuk memaksimalkan fungsi dari kuncup kecap
(Hashim, 2010).
7) Immunoglobulin
Immunoglobulin terlibat pada sistem penolakan fisik dan agen antibakteri.
Immunoglobulin terdiri dari sebagian besar IgA sekretorik (SIgA) dan sebagian kecil
IgM dan IgG. Aktivitas antibakteri SIgA yang terdapat dalam mukosa mulut bersifat
mukus dan bersifat melekat dengan kuat, sehingga antigen dalam bentuk bakteri dan
virus akan melekat erat dalam mukosa mulut yang kemudian dilumpuhkan oleh SIgA.
Bakteri mulut yang diselubungi oleh SIgA lebih mudah difagositosis oleh leukosit
(Amerongen, 1991 dan Rensburg, 1995).
Ketika ada rangsangan, reseptor sensorik akan mengirimkan signal yang akan
ditangkap oleh korteks serebri. Lalu korteks akan menstimulasi medulla oblongata yang
kemudian medulla oblongata merangsang saraf simpatik dan parasimpatik. Kedua saraf ini
termasuk saraf otonom semua tetapi kerjanya mempengaruhi kelenjar saliva yang berbeda.
Ketika ada rangsang, parasimpatik yang lebih dominan bekerja sehingga saliva yang
keproduksi cenderung banyak dan encer karena diproduksi oleh kelenjar parotis dan
submandibula yang mayoritas sekretnya berupa serous. Sedangkan ketika tidak ada rangsang
16
yang dominan bekerja adalah saraf simpatik yang akan menstimulasi kelenjar sublingual
memproduksi sekret berupa mukous dan volumenya sedikit.
Selain stimulasi sekresi yang bersifat konstan, sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui
dua jenis refleks saliva yang berbeda, yaitu:
1) Refleks saliva sederhana, atau tidak terkondisi
Refleks saliva sederhana terjadi saat baroreseptor di dalam rongga mulut merespons
adanya makanan. Saat diaktifkan, reseptor-reseptor tersebut memulai impuls di serabut saraf
afferen yang membawa informasi ke pusat saliva di medula spinalis. Pusat saliva kemudian
mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan
sekresi saliva. Gerakan gigi juga mendorong sekresi saliva walaupun tidak terdapat makanan
karena adanya manipulasi terhadap baroreseptor yang terdapat di mulut.
2) Refleks saliva didapat, atau terkondisi.
Pada refleks saliva didapat, sekresi saliva dihasilkan tanpa rangsangan oral. Hanya
dengan berpikir, melihat, membaui, atau mendengar suatu makanan yang lezat dapat memicu
pengeluaran saliva melalui refleks ini.
Pusat saliva di medula mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf-saraf
otonom. Baik stimulasi simpatis maupun parasimpatis berfungsi meningkatkan sekresi saliva,
tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda. Stimulasi parasimpatis
berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah
besar dan kaya enzim, sedangkan stimulasi simpatis menghasilkan volume saliva yang jauh
lebih sedikit dengan konsistensi kental dan kaya mukous.
17
e. Kanker. Kemoterapi dan Radioterapi yang digunakan dalam pengobatan kanker
dapat mengakibatkan xerostomia dan disfungsi kelenjar saliva (Sllm dan Thomas,
2012).
f. HIV/AIDS. Xerostomia dapat muncul pada HIV/AIDS, Selain itu HIV/AIDS juga
sering menyebabkan pembengkakan pada glandula salivarius major (Sllm dan
Thomas, 2012).
g. Hepatitis A, B, C. Hepatitis dapat menyebabkan xerostomia (Janjua, dkk., 2012).
h. Diabetes Mellitus (DM). DM dapat mengakibatkan pembesaran glandula salivarius
dan mulut kering (Witt, 2005).
i. Kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi. Pemakaian obat antihipertensi
mengakibatkan mulut kering (Scully, 2003).
j. Malnutrisi. Kekurangan kalori dan protein menyebabkan berkurangnya volume
saliva, pH rendah dan waktu alir saliva yang rendah (Suparlinah, 2003).
k. Hypotiroidism. Penyakit ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran saliva (Witt,
2005).
18
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Saliva merupakan cairan oral yang merupakan hasil sekresi dari kelanjar saliva.
Komponen terbesar saliva adalah air (hampir 99%) dan sisanya merupakan bahan organik
dan bahan anorganik. Baik bahan organik maupun anorganik tersebut ada yang berbentuk
mikromolekul maupun makromolekul. Bahan organik saliva antara lain protein, asam
lemak dan lipid, serta glukosa. Sedangkan bahan anorganik antara lain bikarbonat, kalium
kalsium, natrium, klorida, fosfat dan thiosianat.
Saliva normal memiliki rata-rata laju sekresi 0,3 – 0,4 ml/menit tanpa stimulasi,
sedangkan apabila distimulasi dapat mencapai 1-3 ml/menit. Nilai pH normal saliva adalah
6,0 – 7,4 dengan rata-rata 6,8 pada semua kondisi tanpa stimulasi. Kemudian saliva juga
memiliki nilai-nilai ambang normal tertentu untuk setiap komponennya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi curah saliva sangat beragam, seperti posisi, aktivitas, jenis rangsangan yang
diterima. konsumsi obat-obatan serta beberapa siklus seperti siklus sirkadian dan sirkanual.
Sekresi saliva dipengaruhi oleh kinerja dari saraf otonom parasimpatis dan simpatis.
Berbagai penyakit sistemik maupun penyakit lokal dapat menyerang saliva. Beberapa
penyakit sistemik yang erat kaitannya dengan saliva adalah Diabetes Melitus, HIV, serta
Hepatitis .
4.2. Saran
Kebanyakan orang beranggapan bahwa air liur atau saliva tidak mempunyai arti apa-
apa dan ia sering dilihat sebagai suatu benda yang menjijikkan. Sebaliknya tanpa kita sadari,
cairan di dalam rongga mulut ini bukan saja penting untuk pencernaan makanan tetapi juga
dapat memberi informasi tentang kondisi tubuh dan digunakan secara meluas untuk
mendiagnosa penyakit lokal dan sistemik. Untuk itu diharapkan mahasiswa dapat
memahami lebih dalam mengenai saliva baik kondisi normalnya maupun fungsinya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Amerogen, A. V. N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah, Edisi 1, UGM, Yogyakarta
Bradley, P., J., 2010, Otorhinolaryngology, Head & Neck Surgery, Springer-Verlag,
Heidelberg
Hashim, A. B., 2010, Saliva Sebagai Media Diagnosa, Tesis, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Sumatera Utara, Medan
Janjua, O., S., Manzoor, A., Syed, M., Jamil, R., Abbas, T., dan Amjad, A., 2012, Frequency
of Xerostomia in Patients Suffering From Hepatitis B and C, Pakistan Oral & Dental
Journal, 32(1): 42-45
Kidd, E. A. M., Joyston, S., 1991, Dasar-dasar Karies: Penyakit dan Penanggulangannya,
(diterjemahkan oleh: Narwan Sumawinata dan Safrida Faruk), EGC, Jakarta
Roth, G. I. ; R. Calmes. 1981. Oral Biology. St. Louis : The C. V. Mosby Co. 8 : 196-232
Scully, C., 2003, Drug Effects on Salivary Glands: Dry Mouth, Oral Diseases, 9: 165-176
Sherwood, L., 2011, Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem, (diterjemahkan oleh: Bhram U.
Pendit), Ed. 6, EGC, Jakarta
20