Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN INDIVIDU TUTORIAL I

BLOK ORO MAKSILOFASIAL 2


MODUL 1 PENYAKIT KELENJAR SALIVA
Tutor Pendamping: drg. Rifaat Nurrahma, Sp.Pros.,Subsp., MFP (K).

Disusun Oleh:

Nama : Andi Amirrah Kalsum


NIM : J011211146
Kelompok : 12

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDIN
MAKASSAR
2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt. atas berkat dan rahmat- Nya-lah
saya dapat menyelesaikan laporan individu Tutorial Blok Oromaksilofasiak Modul 1 “
Penyakit Kelenjar Saliva” yang telah diberikan dengan tepat pada waktunya. Saya
berusaha semaksimal mungkin menyusun laporan ini dengan baik dan objektif.

Sayapun berterimakasih kepada pihak yang telah mendidik dan memberi


dorongan, yaitu :

1. Orang tua yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan doa yang tiada hentinya.
2. Ibu drg. Rifaat Nurrahma, Sp.Pros.,Subsp., MFP (K) selaku Tutor pembimbing
yang telah mendidik saya serta memberikan arahan hingga terselesaikannya laporan
ini.

Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, saya berharap adanya kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan laporan
selanjutnya. Atas segala kesalahan saya mohon maaf. Atas kritik dan sarannya saya
ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 7 November 2023

Andi Amirrah Kalsum

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Skenario..........................................................................................................1
1.3 Kata Kunci......................................................................................................1
1.4 Pertanyaan Penting........................................................................................ 2
1.5 Tujuan Pembelajaran......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 4
2.1 Definisi dan gejala dari gigi berlubang..............................................................4
2.2 Faktor-faktor yang menyebabkan gigi berlubang..............................................6
2.3 Klasifikasi dari gigi berlubang..........................................................................11
2.4 Diagnosis dan etiologi kasus yang terjadi pada skenario..................................18
2.5 Epidemiologi dari gigi berlubang sesuai pada scenario....................................20
2.6 Patomekanisme terjadinya karies pada gigi sesuai dengan skenario.................23
2.7 Gambaran klinis dari kasus pada skenario........................................................24
2.8 Jenis pemriksaan pada scenario.........................................................................26
2.9 Penatalaksanaan karies pada anak sesuai dengan skenario...............................31
2.10 Upaya untuk mencegah karies yang dapat dilakukan berdasarkan scenario...33

BAB III PENUTUP..................................................................................................36


3.1 Kesimpulan.......................................................................................................36
3.2 Saran.................................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................37

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


1.2 Skenario
Seorang pasien wanita berusia 43 tahun datang ke RSGMP Unhas dengan keluhan
pembengkakan yang disertai rasa sakit di sisi kiri wajahnya sejak empat hari. Riwayat nyeri
timbul tiba-tiba, bersifat terusmenerus, intensitas sedang, menjalar ke telinga kiri dan
bertambah berat saat mengunyah. Riwayat pembengkakan yang awalnya kecil dan lama
kelamaan berkembang hingga mencapai ukuran sekarang. Pembengkakan disertasi nyeri dan
asimetris wajah ini telah di alami sejak 5 tahun dan hilang timbul. Tidak ada Riwayat sakit
gigi atau gusi. Namun pasien pernah menderita penyakit TBC 5 tahun lalu, dan telah berobat
dengan teratur. Tanda-tanda vitalnya dalam batas normal. Kelenjar getah bening
submandibular tunggal teraba di sisi kiri berukuran kira-kira 0,5 x 1 cm, bentuknya kira-kira
lonjong, keras , lunak dan bergerak. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
menunjukkan wajah tidak simetris karena adanya pembengkakan tunggal yang menyebar
pada sepertiga kiri tengah dan bawah wajah. Pembengkakan meluas 3 cm dari komisura bibir
bagian anterior hingga lobus telinga kiri di posterior, 1 cm di atas tragus kiri di superior
hingga batas inferior mandibula di inferior. Kulit di atas pembengkakan tampak meregang.
Pada palpasi, pembengkakan konsistensinya keras hingga keras, lembut dan hangat pada
palpasi.

4
1.3 Kata Kunci
1. Pembengkakan yang disertai rasa sakit di sisi kiri
2. Riwayat nyeri timbul tiba-tiba , terus menerus intensitas sedang
3. Pembengkakan disertai asimetris wajah, dialami 5 tahun lalu dan hilang timbul
4. Tidak ada riwayat sakit gigi atau gusi
5. Palpasi, pembengkakan konsistensinya keras, lembut dan hangat pada palpasi
6. Menderita TBC 5 tahun
7. Kelenjar getah bening berukuran 0,5 x 1 cm
8. Bentuknya kira-kira lonjong , keras , lunak dan bergerak
9. Pembengkakan meluas 3 cm dari komisura bibir hingga lobus kiri posterior,
10. 1 cm di atas tragus kiri disuperior

1.4 Pertanyaan Penting


1. Apa definisi dari kelenjar saliva dan apa fungsinya saliva?
2. Apa saja klasifikasi kelenjar saliva?
3. Apa saja jenis penyakit kelenjar saliva?
4. Apa etologi dari kelenjar saliva?
5. Apakah terdapat hubungan penyakit sistemik dengan kasus diatas?
6. Apa jenis pemeriksaan berdasarkan skenario?
7. Apa diagnosis kasus sesuai skenario diatas?
8. Bagaimana perkembangan pada kelenjar saliva?
9. Apa diagnosis banding sesuai kasus di skenario?
10. Bagaimana patomekanisme kasus sesuai skenario?
11. Bagaimana penatalaksanaan kasus pada skenario?

1.5 Tujuan Pembelajaran


1 Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi kelenjar saliva
2 Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi kelainan kelenjar saliva ( tampakan klinis)
3 Mahasiswa mampu menjelaskan jenis pemeriksaan sesuai skenario ( sialography)
4 Mahasiswa Mampu menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding pada skenario

5
5 Mahasiswa mampu menjelaskan patomekanisme sesuai skenario
6 Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan kasus sesuai skenario (Membahas
riwayat penyakit sistemik, karena infeksi silang.)

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi kelenjar saliva dan fungsinya saliva


2.1.2 Definisi Kelenjar Saliva
Sistem kelenjar saliva manusia terdiri dari kelenjar yang ditemukan di
dalam dan sekitar mulut dan tenggorokan. Glandula saliva atau kelenjar saliva
merupakan organ yang terbentuk dari sel-sel khusus yang mensekresi saliva
dan mempunyai saluran sendiri yang disebut duktus salivarius. Kelenjar ini
juga menyekresi enzim amilase, yaitu enzim yang memecah karbohidrat
menjadi maltosa. Saliva adalah cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna
yang terdiri dari campuran sekresi dari kelenjar saliva mayor dan minor yang
ada pada mukosa oral.1,2
2.1.2 Fungsi Saliva
Saliva berfungsi untuk untuk melembabkan rongga mulut, membantu
proses pencernaan, membantu melindungi gigi dari kerusakan (karies),
membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan kuman, mempunyai
aktivitas antibakteri dan sistem buffer, berpartisipasi dalam proses
penyembuhan luka karena terdapat faktor pembekuan darah dan epidermal
growth factor pada saliva, mengukur keseimbangan air dalam tubuh, dan
membantu dalam berbicara.1,2

1. Amin A, Tajrin A, Sandi A. Ranula: sebuah laporan kasus. Makassar


Dental Journal. 2014; 3(6): 2.
2. Kademani D, Tiwana PS. Atlas of oral and maxillofacial surgery. 1st
ed. St. Louis: Elsevier. 2016; pp. 50-5.

6
2.2 Klasifikasi kelenjar saliva
Di dalam tubuh, kelenjar dapat diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu
eksokrin dan endokrin. Kelenjar eksokrin merupakan kelenjar dengan sistem
saluran untuk mengangkut sekresinya, sedangkan kelenjar endokrin merupakan
kelenjar tanpa saluran yang bergantung pada suplai darah untuk pengiriman
produk sekresinya. Kelenjar saliva merupakan kelenjar eksokrin yang
mengeluarkan campuran bahan serosa atau musin. Kelenjar ini memproduksi
saliva, yang tiap harinya sekitar 1–1,5 L.1,2
Kelenjar saliva dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok eksokrin yang
berbeda berdasarkan ukurannya yaitu kelenjar saliva mayor dan minor.
1. Kelenjar saliva mayor.
Kelenjar saliva mayor menghasilkan 0,5-0,75L saliva setiap harinya.
Kelenjar saliva mayor terbagi atas kelenjar parotid, kelenjar submandibula,
dan kelenjar sublingual. Kelenjar parotid merupakan kelenjar yang mensekresi
serosa murni, sedangkan kelenjar submandibular dan sublingual adalah
kelenjar tipe campuran. Secara singkat, klasifikasi dari kelenjar saliva mayor
dapat dilihat pada tabel berikut.1

a. Kelenjar Parotid

7
Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva terbesar yang
mensekresikan saliva yang bersifat serous melalui duktus Stensen, yang
merupakan duktus utama kelenjar parotis. Duktus Stensen berdiameter
sekitar 1 hingga 3 mm dan panjang 6 cm. Duktus Stensen membuka ke
dalam rongga mulut melalui mukosa bukal sebagai punctum di vestibulum
bukal posterior rahang atas, biasanya berdekatan dengan gigi molar
pertama atau kedua rahang atas. Ukuran kelenjar parotis sekitar 6 × 3 cm
dan beratnya sekitar 15 hingga 30 gram. Kelenjar parotis terletak
superfisial pada aspek posterior otot masseter dan ramus mandibula di
bawah lengkungan zygomatic. Cabang utama nervus fasialis, membagi
kelenjar parotis menjadi lobus superfisial dan lobus dalam, yang berjalan
ke depan dari pintu keluar saraf dari foramen stylomastoideum untuk
menginervasi otot-otot ekspresi wajah. 2,3,4
Bagian superfisial (lobus superfisial) adalah daerah yang menutupi
permukaan lateral ramus mandibula dan otot masseter, lateral ke saraf
wajah. Sedangkan bagian dalam (lobus dalam) mengacu pada daerah yang
lebih kecil di belakang dan jauh ke ramus mandibula, medial ke saraf
wajah, dan terletak di antara prosesus mastoideus tulang temporal dan
ramus mandibula. Kelenjar parotis diinervasi oleh serabut simpatis dan
parasimpatis. Fungsi serabut simpatis kemungkinan besar adalah
vasokonstriksi, sedangkan fungsi serabut parasimpatis dari nervus
glossofaringeal kemungkinan besar adalah sekretori. Kelenjar parotis
mendapatkan vaskularisasi terbesar dari arteri fasialis transversal, cabang
terminal dari arteri karotis eksternal.2,3,4

8
Gambar 1. Kelenjar parotis. (Sumber: Hupp JR, Ellis E, Tucker
MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 7th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2019. Hal. 423)
b. Kelenjar Submandibular
Kelenjar submandibular adalah kelenjar saliva terbesar kedua,
sekitar setengah berat kelenjar parotis yaitu sekitar 7-15 gram yang
mensekresikan saliva yang bersifat seromukous. Kelenjar submandibular
terletak di "segitiga submandibular" leher, yang merupakan segitiga yang
dibentuk oleh perut anterior otot digastrik, perut posterior otot digastrik,
dan batas inferior mandibula. Bagian posterosuperior dari kelenjar
melengkung ke atas sekitar dan di atas batas posterior otot mylohyoid dan
bermuara di hilus ke duktus mayor kelenjar submandibular yang dikenal
sebagai duktus Wharton. Duktus ini melewati permukaan superior otot
mylohyoid di ruang sublingual, berdekatan dengan nervus lingual. Panjang
duktus Wharton sekitar 5 cm ke anterior menuju dasar anterior mulut yang
berjalan di atas nervus hipoglosus, jauh ke nervus lingual dan medial ke
kelenjar sublingual. Duktus Wharton membuat sudut hampir 450 baik
pada bidang sagital dan aksial dan keluar di papilla lateral ke frenulum
lingual di dasar anterior mulut. Anatomi saraf dari kelenjar mandibular
adalah saraf lingual dan ganglion submandibular terletak di superficial
kelenjar submandibular, sedangkan jauh ke kelenjar adalah saraf
hypoglossal. Kelenjar submandibular divaskularisasi oleh arteri submental

9
dan sublingual, cabang dari arteri lingual dan fasial, dengan arteri fasialis
berfungsi sebagai suplai darah arteri utamanya. 2,3,4

Gambar 2. Kelenjar submandibular. (Sumber: Hupp JR, Ellis E, Tucker


MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 7th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2019. Hal. 423)
c. Kelenjar Sublingual
Kelenjar sublingual merupakan kelenjar saliva terkecil dengan berat
sekitar 3-4 gram yang mensekresikan saliva yang bersifat mukous. Kelenjar
sublingual terletak di permukaan superior otot mylohyoid, di spasia
sublingual, dan dipisahkan dari rongga mulut oleh lapisan tipis mukosa
mulut di dasar anterior mulut. Duktus utama di seluruh kelenjar sublingual
disebut duktus Bartholin dan menyatu membentuk 8 hingga 20 duktus
Rivinus. Duktus Rivinus ini pendek dan berdiameter kecil, dan terbuka
secara individual, langsung ke dasar mulut anterior pada puncak mukosa
yang dikenal sebagai plica sublingualis atau sebagai alternatif, mereka dapat
terbuka secara tidak langsung melalui koneksi ke saluran submandibular dan
kemudian ke dalam rongga mulut melalui duktus Wharton. Kelenjar
sublingual diinervasi oleh nervus fasialis melalui ganglion submandibular
melalui nervus chorda tympani. Kelenjar sublingual divaskularisasi oleh
arteri sublingual dan submental, masing-masing cabang dari arteri lingual
dan fasialis.2,3,4

10
Gambar 3. Kelenjar sublingual. (Sumber: Hupp JR, Ellis E, Tucker MR.
Contemporary oral and maxillofacial surgery. 7th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2019. Hal. 426).

Kademani D, Tiwana PS. Atlas of oral and maxillofacial surgery. 1st ed.
St. Louis: Elsevier. 2016; pp. 50-5.
3. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 5th ed. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2021; pp. 810-46.
4. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial
surgery. 7th ed. Philadelphia: Elsevier. 2019; pp. 423-40.

2. Kelenjar saliva minor


Fungsi kelenjar minor tidak untuk menghasilkan saliva untuk bercampur
dengan makanan, melainkan untuk mengeluarkan sejumlah kecil saliva ke
permukaan untuk menjaga agar mukosa tetap lembab. Beberapa kelenjar ini
adalah sel serous murni, sebagian besar adalah sel mucous murni, dan sisanya
bercampur tetapi kebanyakan mucous. Kelenjar saliva minor tidak memiliki
sistem duktus yang panjang; sehingga ada banyak kumpulan kelenjar ini di
seluruh mulut, masing-masing dengan bukaan duktusnya sendiri.5
Diperkirakan terdapat lebih dari 750 kelenjar saliva minor, dengan
ukuran mulai dari 1 hingga 5 mm. Antara 800 dan 1000 kelenjar saliva minor
terdapat di seluruh bagian rongga mulut yang ditutupi oleh membran mukosa.
Kelenjar saliva minor terbagi atas beberapa kelenjar, yaitu kelenjar labial,
kelenjar bukal, kelenjar palatinal, tonsil (kelenjar Weber), retromolar (kelenjar

11
Carmalt), dan kelenjar lingual. Kelenjar lingual dibagi menjadi tiga kelompok
kelenjar, yaitu kelenjar apikal inferior (dari Blandin dan Nuhn), taste buds
(kelenjar Ebner), dan kelenjar lubrikasi posterior.2,3,4
a) Kelenjar labial, terdapat di bibir maksila dan mandibua dengan muara
pada permukaan dalam. Saliva yang dihasilkan merupakan campuran
tapi sebagian besar bersifat mucous.5
b) Kelenjar bukal, terdapat di daerah pipi bagian dalam. Kelenjar ini
mirip dengan kelenjar labial, hanya berbeda lokasi.5
c) Kelenjar palatina, terletak di palatum mole dan bagian posterior dan
lateral dari palatum durum. Saliva yang dihasilkan bersifat mucous.5
d) Kelenjar glossopalatina, membentang dari bagian lateral posterior
palatum turun ke lipatan anterior jaringan di depan tonsil palatina.
Saliva yang dihasilkan bersifat mucous.5
e) Kelenjar lingual5
1) Kelenjar lingual anterior, berada di dekat ujung lidah dan
bermuara di permukaan bawah atau ventral. Saliva yang
dihasilkan sebagian besar bersifat mucous.
2) Kelenjar lingual von Ebner, terletak di bawah papila vallate
dan bermuara di cekungan sekitar kelenjar. Saliva yang
dihasilkan bersifat serous.
3) Kelenjar lingual posterior, terletak di sekitar tonsil lingualis
pada sepertiga posterior lidah. Saliva yang dihasilkan bersifat
mucous.

Kademani D, Tiwana PS. Atlas of oral and maxillofacial surgery.


1st ed. St. Louis: Elsevier. 2016; pp. 50-5.
3. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 5th ed.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2021; pp. 810-46.
4. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary oral and
maxillofacial surgery. 7th ed. Philadelphia: Elsevier. 2019; pp.
423-40.

12
5. Isselhard B. Anatomy of Orofacial Structures a Comprehensive
Approach. 8th ed. (Brand R, Isselhard D, Erdmand K, eds.).
Elsevier; 2019. pp. 353-5.

2.3 Jenis penyakit kelenjar saliva


1) Kelainan perkembangan6
a. Atresia adalah kelainan kongenital dimana tidak adanya satu atau dua
duktus salivarius mayor yang menyebabkan xerostomia atau kista retensi
mukosa. (biasanya terlihat pada duktus submandibular)
b. Aplasia adalah tidak adanya satu atau lebih kelenjar saliva yang
menyebabkan xerostomia, dan pasien yang terkena lebih rentan terhadap
karies gigi.
c. Abberancy/penyimpangan merupakan varian anatomi di mana kelenjar
ludah normal berkembang pada posisi yang abnormal.
2) Kelainan fungsional 3,6
a. Xerostomia, didefinisikan sebagai sensasi subyektif dari mulut kering yang
mungkin atau mungkin tidak terkait dengan penurunan output saliva.
Keadaan ini dapat terkait dengan pengurangan sekresi saliva. Secara klinis,
mulut kering tampak dengan saliva yang berbusa, kental, dan lengket. Lidah
tampak kasar dan berfissure dengan atrofi papila filiformis. Selain itu ada
beberapa tanda dan gejala klinis lain dari xerostomia seperti bibir pecah-
pecah, nyeri akibat pengelupasan, serta mukosa bukal pucat dan juga dapat
menunjukkan retakan/celah.
b. Sialorrhea (ptyalism), merupakan sekresi saliva yang berlebihan. Kelainan
ini dapat berupa aliran saliva deras yang ringan, intermiten atau terus
menerus.
3) Inflamasi
a) Sialadenitis, merupakan kondisi inflamasi yang mempengaruhi kelenjar
saliva. Faktor etiologi utama sialadentis dapat berupa faktor infeksi maupun
non infeksi. Infeksi virus, infeksi bakteri, reaksi alergi dan penyakit
sistemik merupakan penyebab utama sialadenitis.3,6

13
b) Infeksi bakteri3
 Acute bacterial sialadenitis, dapat disebabkan oleh organisme komensal
seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
viridans, Pneumococcus, Actinomycetes. Penyakit ini ditandai dengan nyeri
mendadak pada sudut rahang, yang bersifat unilateral.
 Chronic bacterial sialadenitis, dapat disebabkan oleh mikroorganisme S.
viridans, Escherichia coli, Proteus atau Pneumococci. Penyakit ini dimulai
sebagai pembengkakan unilateral di sudut rahang.
c) Infeksi virus
 Mumps, merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh paramyxovirus.
Infeksi menyebar melalui droplet atau kontak langsung saliva. Selama fase
prodromal penyakit, pasien mungkin mengeluh demam ringan, nyeri otot,
sakit kepala dan malaise diikuti oleh pembesaran kelenjar parotis unilateral
atau bilateral yang menyebabkan nyeri yang parah di bawah telinga dan
tiba- tiba terjadi pembengkakan kelenjar saliva yang keras, kenyal atau
elastis saat mastikasi.3,6
 HIV, Pada pasien terinfeksi HIV biasanya terjadi lesi kelenjar saliva yang
dapat bersifat neoplastik atau non- neoplastik. Kondisi ini ditandai dengan
xerostomia dengan pembesaran kelenjar saliva unilateral atau bilateral
dengan penurunan produksi air mata.6
 Hepatitis C virus, ditemukan dapat mempengaruhi kelenjar saliva dan
menyebabkan peradangan kelenjar. Pasien yang terinfeksi mengalami
pembengkakan kelenjar parotis ringan dengan gejala mata kering dan mulut
kering yang minimal atau tanpa gejala sama sekali.6

4) Traumatik/obtstruktif
a) Mucocele, kelaninan kelenjar saliva yang terjadi akibat trauma dari duktus
saliva, terutama kelenjar saliva minor. Hal ini biasanya terjadi karena
menggigit bibir atau adanya gangguan di bawah permukaan mukosa.
Produksi saliva berikutnya kemudian dapat menyebar di bawah mukosa
permukaan ke dalam jaringan lunak. Seiring waktu, sekresi menumpuk di

14
dalam jaringan dan dapat menghasilkan pseudokista (kista tanpa lapisan
epitel sejati) yang berisi saliva yang kental. Lesi ini paling sering terjadi
pada mukosa bibir bawah dan dikenal sebagai mukokel.4
b) Ranula, merupakan lesi yang paling umum dari kelenjar sublingual. Ranula
terkadang dapat dianggap sebagai mucocele dari kelenjar saliva sublingual.
Ranula dihasilkan dari retensi saliva mukous pada sistem duktus kelenjar
sublingual, atau ekstravasasi mukous akibat gangguan duktus yang
disebabkan oleh peradangan atau trauma. Ranula dimulai sebagai
pembengkakan unilateral tanpa rasa sakit disatu sisi dasar mulut.
Pembengkakan berfluktuasi dan bisa berada di superfisial atau lebih ke
dalam terhadap otot mylohyoid.3,4
c) Stomatitis nikotin, yang disebabkan kebiasaan merokok dan atau konsumsi
alkohol/cairan panas. Gambaran klinis menunjukkan area palatum durum
yang memutih karena hiperkeratosis yang disebabkan oleh iritasi termal.
Iritasi ini juga menyebabkan inflamasi dan dilatasi bukaan duktus kelenjar
saliva minor.6
d) Sialolithiasis, adalah pembentukan sialolith (kalkuli saliva, batu saliva) di
dalam duktus saliva atau kelenjar, yang menyebabkan obstruksi mekanis
pada aliran saliva. Insidensi yang dilaporkan adalah sekitar 1:15–20.000.
Sekitar 80–94% dari sialolith terbentuk di duktus atau kelenjar
submandibular, 5–18% di duktus atau kelenjar parotis dan 2–7% atau
kurang di kelenjar sublingual.3
Adapun manifestasi klinis dari sialolithiasis disebut dengan “meal
time syndrome”, dimana pasien mengeluhkan adanya rasa sakit dan
pembengkakan selama dan setelah makan, saat produksi saliva sedang
berada di puncaknya. Rasa sakit dan pembengkakan akan berkurang secara
bertahap saat istirahat, namun akan kambuh berulang kali bila ada kondisi
yang merangsang produksi dari saliva. Obstruksi duktus oleh sialolith
menyebabkan terhambatnya aliran saliva dan menimbulkan peningkatan
tekanan yang menyebabkan nyeri hebat.3

15
5) Autoimun
a. Sarcoidosis, adalah kondisi inflamasi autoimun granulomatosa kronis yang
menyebabkan kerusakan jaringan oleh limfositik T, infiltrasi fagositik
mononuklear, dan pembentukan granuloma. Kelenjar parotis terkena pada
10%- 30% kasus. Gambaran klinis: pembesaran kelenjar parotis yang keras
dan bilateral, biasanya tanpa gejala. Pasien mungkin mengeluhkan mulut
kering.6
b. Sjogrens syndrome, dengan tampakan klinis mata kering dan mulut kering
karena hipofungsi lakrimal dan kelenjar saliva. Hal ini menyebabkan rasa
sakit, sensasi terbakar dan ulserasi pada mukosa mulut/konjungtiva. Berbagai
kelenjar lain seperti hidung, bronkial, vagina, dll. juga dapat menunjukkan
hiposekresi. Artritis reumatoid paling sering menyertai gejala di atas pada
sindrom Sjögren sekunder. Tetapi pasien dengan sindrom Sjögren primer
terlihat menunjukkan pembesaran kelenjar parotis, purpura, limfadenopati,
dll.6
6) Non inflamasi non neoplastic
Sialadenosis, adalah pembesaran kelenjar non-inflamasi non- infeksi yang
biasanya mengenai parotis secara bilateral. Kondisi ini paling sering terlihat
pada wanita menyebabkan hiposalivasi yang dapat terjadi akibat gangguan
sistemik.6
7) Necrotizing sialometaplasis
Necrotizing sialometaplasis adalah proses inflamasi nonneoplastik
reaktif yang biasanya mengenai kelenjar ludah minor di palatum namun dapat
juga melibatkan kelenjar saliva minor di lokasi manapun. Necrotizing
sialometaplasia tidak jelas asalnya tetapi diperkirakan akibat infark vaskular
lobulus kelenjar ludah. Penyebab potensial berkurangnya aliran darah ke area
yang terkena termasuk trauma, injeksi anestesi lokal, merokok, diabetes
melitus, penyakit pembuluh darah, dan tekanan dari prostesis gigi tiruan.
Rentang usia yang biasa dari pasien yang terkena adalah antara 23 dan 66
tahun. Lesi biasanya tampak besar (1 sampai 4 cm), tidak nyeri atau nyeri,

16
daerah ulserasi yang dalam di lateral garis tengah palatal dan dekat
persimpangan palatum keras dan lunak.6,7
8) Tumor4
a. Benign
Beberapa contoh tumor jinak yang terjadi pada kelenjar saliva
diantaranya yaitu: Papillary Cystadenoma Lymphomatosum, Pleomorphic
Adenoma, BasalCell Adenomas, Oncocytoma, Canalicular Adenoma,
Myoepithelioma, Sebaceous Adenoma, and Ductal Papilloma.6
Adenoma pleomorfik, merupakan kasus yang paling sering terjadi.
Sebesar 50% dari semua kasus tumor kelenjar saliva dan 90% dari kasus
tumor jinak kelenjar saliva adalah Adenoma pleomorfik. Penyakit ini
biasanya menyerang kelenjar saliva mayor dan minor. Adenoma
pleomorfik paling sering terjadi pada kelenjar parotis, diikuti oleh kelenjar
saliva minor pada palatum dan bibir. Tumor dimulai sebagai nodul kecil
yang tidak nyeri, baik di sudut mandibula atau di bawah cuping telinga.
Nodul perlahan-lahan bertambah besar, yang secara khas menunjukkan
pertumbuhan intermiten. Tumor berbatas tegas, berkapsul, konsistensinya
keras, dan dapat menunjukkan area degenerasi kistik.3
Warthin’s tumor (Papillary Cystadenoma Lymphomatosum),
merupakan tumor jinak yang tumbuh lambat dan mempengaruhi kelenjar
parotis. Tumor ini sangat jarang terjadi pada kelenjar submandibular atau
kelenjar saliva minor. Tumor muncul sebagai massa yang keras, tidak ada
nyeri tekan, berbatas tegas di daerah angulus atau ramus mandibula atau di
bawah cuping telinga.3
b. Malignant
Beberapa contoh tumor ganas yang terjadi pada kelenjar saliva
diantaranya yaitu: Adenoid Cystic Carcinoma, Hyalinising Clear Cell
Carcinoma, Mucoepidermoid Carcinoma, Acinic Cell Carcinoma, Adeno
carcinoma, Carcinoma.6
Mucoepidermoid carcinoma, merupakan tumor ganas kelenjar
saliva yang paling umum. Gambaran klinis dari tumor ini tergantung pada

17
derajat tumor yang terbagi menjadi tiga, yaitu low grade, intermediate
grade dan high grade. Tumor tingkat rendah (low grade) berperilaku
hampir seperti tumor jinak dengan prognosis yang sangat baik, sedangkan
tumor tingkat tinggi (high grade) berperilaku sangat agresif.3
Adenoid cystic carcinoma, merupakan tumor yang mungkin
sebagai pembengkakan yang tumbuh lambat dan 50% kasus terjadi pada
parotis. Tumor ini kadang-kadang dapat menyerupai tumor jinak secara
klinis dan histologis, tetapi memiliki potensi kerusakan dan invasi lokal
yang lebih besar, biasanya invasi perineural. Tumor ini adalah tumor
ganas kedua yang paling umum dari kelenjar saliva.3

3. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial surgery. 5th ed. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2021; pp. 810-46.
4. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial
surgery. 7th ed. Philadelphia: Elsevier. 2019; pp. 423-40.
6. Krishnamurthy S. Salivary Gland Disorders: A Comprehensive
Revieew. World Journal Of Stomatology. 2015; 4(2): 56.
7. Fragiskos. Oral Surgery. Greece: Springer. 2017. pp. 327-34.

2.4 Etiologi dari kelenjar saliva

2.5 Jenis pemeriksaan berdasarkan skenario


Adapaun pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
pada kasus berdasarkan skenario

a. Pemeriksaan Subjektif 14
1) Informasi Umum (Data Pasien)
Informasi ini berisi tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat,
ras, dan pekerjaan. Pada scenario, pasien berusia 60 tahun dan berjenis
kelamin laki- laki.
2) Keluhan Utama

18
Beberapa hal yang penting ditanyakan adalah semua gejala
pasien, kronologis, durasi, perkembangan gejala, riwayat, dan
pengobatan yang telah dikakukan.
3) Riwayat Kesehatan (medik)
Mengetahui ada tidaknya penyakit pasien yang dialami pasien,
riwayat alergi anestetikum atau obat-ibatan, serta alergi makanan atau
masalah medis seperti kardiovaskular, system pernafasan, gangguan
tiroid, dan lainnya.
4) Riwayat dental
Dokter gigi menanyakan apakah pernah dilakukan perawatan
endodontik sebelumnya, kemudian frekuensi menyikat gigi juga perlu
ditanyakan karena hal ini dapat menunjukkan sikap kooperatif pasien.

5) Riwayat Keluarga
Bagian dari Riwayat ini berhubungan dengan kebiasaan pribadi
serta Riwayat sosial pasien. Selain itu, juga memberikan gambaran tentang
gaya hidup pasien.

b. Pemeriksaan Objektif 15,16


Pemeriksaan fisik harus mencakup palpasi bimanual dasar mulut
dalam arah posterior ke anterior untuk kelenjar submandibular dan palpasi
intraoral di sekitar duktus Stensen untuk kelenjar parotis. Kelenjar yang
terkena mungkin terasa kencang dan lembut. Dalam kasus kelenjar
submandibular, sisi dasar mulut yang terkena dapat terangkat dan
meradang. Berdasarkan skenario, ada benjolan di bawah lidah kanan.
1) Pemeriksaan intraoral
Pemeriksaan intraoral meliputi mukosa bukal, labial, palatum,
dasar mulut, lidah, region retromolar, kelenjr ludah, serta gigi dan
oklusinya. Ketika pasien membuka mulut, hal yang pertama dilihat
adalah kebersihan mulut atau ada tidaknya infeksi. Pada pemeriksaan
intraoral dilakukan inspeksi dan palpasi.

19
2) Pemeriksaan ekstraoral
Pemeriksaan ekstraoral dapat dibagi menjadi pemeriksaan frontal
dan pemeriksaan profil. Struktur yang diperiksa meliputi wajah, kulit,
jaringan lunak, tengkorak, sendi TMJ, system limfatik, kelenjar ludah
dan mata. Pemeriksaan ini meliputi inspeksi dan palpasi.
3) Pemeriksaan penunjang
Pada beberapa kasus, diperlukan pemeriksaan penunjang, yaitu
pemeriksaan radiologi, sialografi, sialoendoscopy, sialochemistry,
ultrasonografi, CT-Sscan. Dan MRI untuk bentuk visual yang lebih baik,
serta diameter dan posisi lesi dengan organ di dekatnya.
a) Pemeriksaan radiografi
Pemeriksaan kelenjar submandibula dapat dilakukan dengan
menggunakan radiografi panoramik atau oklusal untuk melihat duktus
kelenjar. Radiografi panoramik menunjukkan kedua area kelenjar
submandibula dan kelenjar parotis, tetapi memerlukan pemeriksaan
yang lebih spesifik untuk diagnosis. Sialolith nampak dengan
gambaran radiopak, namun sialolith dengan ukuran lebih kecil tidak
dapat terdeteksi sehinnga banyak sialolith yang tidak terdiagnosis.17,18
b) Sialografi
Sialografi merupakan pemeriksaan untuk melihat kondisi duktus
menggunakan media kontras. Dengan pemeriksaan ini, kita dapat
mengidentifikasi adanya irregurelitas pada dinding duktus, serta adanya
polip mucous plug atau fibrin pada area granulomatosa. Media kontras
ini akan membuat hasil bacaan radiografi radiopak yang bertujuan untuk
mengidentifikasi adanya obstruksi pada duktus. Tampakan struktur
duktus submandibula meruncing menuju ke pinggiran yang disebut
tampakan bush in winter. Pemeriksaan dimulai dengan melakukan
identifikasi terhadap duktus stensen dan Wharton. Selanjutnya dilakukan
dilatasi duktus.14,15

20
Gambar 4. Pemeriksaan penunjang dengan Sialografi
c) Sialoendoscopy
Endoskopi kelenjar ludah (sialoendoscopy) adalah prosedur
khusus yang menggunakan kamera kecil (endoskop) dengan cahaya di
ujung kanul fleksibel. Kamera ini dimasukkan ke dalam lubang duktus
setelah pelebaran lubang. Sialendoskopi memungkinkan visualisasi
langsung dari batu saliva dan saluran saliva, sehingga memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik. Selain membantu dalam
diagnosis sialolithiasis, teknik ini juga digunakan saat penanganan dan
pengangkatan sialolith. Penelitian telah menunjukkan sialoendoskopi
menjadi alternatif yang aman dan efektif untuk teknik bedah terbuka
konvensional dengan profil komplikasi yang lebih menguntungkan.17,19
d) Sialochemistry
Sialochemistry merupakan metode yang mudah dan non invasif
dalam diagnosis dengan analisis kimiawi saliva. Parameter yang
diukur meliputi laju aliran saliva, natrium, kalium, klorida, fosfat,
kalsium, urea, protein total, kreatinin, dan albumin. Sialochemistry
dapat digunakan dalam penilaian fungsional endokrin, pemantauan
konsentrasi obat, pengukuran antibodi- antigen, dan pengujian
diagnostik dinamis. Pada prinsip konsentrasi natrium dan kalium, yang
biasanya berubah dengan perubahan laju aliran saliva diukur, serta
perubahan tertentu dalam konsentrasi relatif elektrolit ini terlihat pada
penyakit kelenjar ludah tertentu. Misalnya, konsentrasi natrium (Na)

21
yang meningkat dengan konsentrasi kalium (K) yang menurun dapat
mengindikasikan sialadenitis inflamasi.19,20
e) Ultrasonografi
Pemeriksaan ini bergantung pada transmisi suara frekuensi
tinggi, yangdilemahkan saat melewati jaringan, dengan kecepatan
yang bergantung pada sifat akustik jaringan tersebut dan pada
frekuensi bentuk gelombang yang masuk. Hasil ultrasonografi ini
bertujuan untuk mendeteksi batu pada glandula saliva atau deposit
massa yang berada di antara ataupun di luar glandula.14

Gambar 5. Pemeriksaan penunjang dengan Ultrasonografi


f) Computed Tomographic Scan (CT-Scan)
Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan.
CT-Scan menjadi pemeriksaan adekuat untuk mendiagnosis
sialolithiasus apabila ukuran batu besar. Kerugian penggunaan CT-
Scan adalah kurang dapat menetukan lokasi sialolith secara cepat dan
tepat serta tidak dapat memberikan gambaran anomaly duktus kelenjar
saliva.16,21

22
Gambar 6. Pemeriksaan penunjang CT-Scan
g) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan pada kelenjar
saliva. Dengan pemeriksaan ini, akan tampak perbedaan antara
struktur duktus dan parenkim. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi struktur duktus pada kelenjar parotis dan
submandibular dengan melakukan sialografi kontras magnetic
resonance.16,21

14. Balaji SM, Balaji PP, Laskin DM. Textbook of Oral & Maxillofacial Surgery.
3rd ed. New Delhi: Elsevier; 2018. pp. 50-80, 1178-80, 1429.
15. Anil NM. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th Ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Partner Publisher. 2021. pp.7-19, 810-22.
16. Pachsia S, Mandai G, Ghorsh S. Submandibular sialolithiasis. Clinics and
Practice. 2019;9(1): 32, 34-5.
17. Hammet JT, Walker C. Sialolithiasis. Treasure Island: StatPearls Publishing;
2022. P.3
18. Aoun G, El-Outa A, Nasseh I. Sialoliths: a retrospective radiological study.
Current Research in Dentistry 2021;11(1.5):1-2.

23
19. Miloro M, Kolokythas A. Diagnosis and management of salivary gland
disorders. Dalam: Hupp JR, Ellis E, Tucker MR, editor. Contemporary oral and
maxillofacial
surgery. 7th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019. Pp. 423-36, 439-41.
20. Bakyalakshmi K, Jayachandran S, Vedeswari PC. Sialometry and
sialochemistry - A diagnostic tool in Sjogren’s Syndrome. IOSR Journal of Dental
and Medical
Sciences. 2017;16(9):53-4.
21. Elvira, Yusuf M. Diagnosis dan Terapi Sialolithis Kelenjar Liur. J Unair Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok. 2011. pp. 49-55.
2.6 Diagnosis kasus sesuai skenario
2.7 Diagnosis banding sesuai kasus di skenario
2.8 Patomekanisme kasus sesuai skenario
2.9 Penatalaksanaan kasus pada skenario

BAB III
PENUTUP

24

Anda mungkin juga menyukai