Anda di halaman 1dari 16

ETIKA PROFESI HUKUM

MEKANISME PENYELESAIAN PELENGGARAN KODE ETIK ADVOKAT

DISUSUN OLEH :

SRI RATNA DEWI / 1651107

VIONA PUSPITA / 1751024

CHRISTINA VATICA WURSOK / 1751049

VERNY RAHMADINI / 1751050

WILLIAM SANJAYA / 1751058

OKTOVIANUS LILING / 1751083

PARISATRIA DIKJAYASA / 1751106

NUR'ASIH BUDHI DHARMA PUTRI / 1751118

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Tim Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
pertolongan-Nya, Tim penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Harapan Tim Penulis semoga makalah ini dapat membantu dan menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca, sehingga Tim Penulis dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya akan lebih baik.
Sebagai insan biasa, Tim Penulis juga menyadari banyak kekurangan yang terdapat
dalam makalah ini, oleh karena itu Tim Penulis memohon kepada para pembaca agar
berkenan untuk memberikan saran dan kritik sehingga Tim Penulis dapat
menyempurnakannya.

Batam, 09 Desember 2018

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
a. Latar Belakang........................................................................................................................4
b. Rumusan Masalah...................................................................................................................5
c . Tujuan..........................................................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
2.1 Perbuatan keprofesian yang dianggap melanggar kode etik profesi advokat.......................6
2.2Tata cara orgaisasi advokat menyelesaikan pelanggaran kode etik profesi...........................7
2.3 Sanksi - Sanksi.........................................................................................................................13
BAB III...............................................................................................................................................15
PENUTUP..........................................................................................................................................15
a. Kesimpulan............................................................................................................................15
b. Saran.......................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Istilah dan pengertian Advokat sebagai profesi hukum dalam sejarah di negeri Belanda
lebih dikeal dengan istilah advocate dan procureur, yakni seseorang yang telah resmi
diangkat untuk menjelankan profesinya setelah memperoleh gelar Master in de rechten(Mr).
Akar kata advokat berasal dari kata latin yang berarti membela. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila hamper disetiap bjasa diseluruh dunia istilah atau kata tersebut
dikenal.

Di Indonesia istilah Advokat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang


Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang menyatakan : “Advokat adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”

Dalam menjalankan tugasnya, para Advokat berada dalam naungan organisasi advokat
yang mengatur dan mengawasi advokat. Organisasi advokat adalah instrument komunitas
profesi untuk mengatur dan mengawasi advokat dalam mejalankan tugas profesionalnya.
Oleh karena profesi haeus dijalankan secara bebas maka agar tidak disalah gunakan dan
meringankan masyarakat yang dilayai oleh advokat, maka perlu adanya pengawasan.
Pengawasan ini dilakukan oleh organisasi dengan saraa kode etik yang telah ditetapkan
sebelumnya, jadi kode etik adalah titik tolak untuk melihat apakah seorang advokat telah
melakukan malpraktik dibidang penegakan hokum. Kode etik yang ada merupakan standar
profesi bagi advokat dalam mejalankan tugas dan fungsinya. Kode etik yang ada sekaligus
menjadi alat utama mengawasi praktik profesi dari seorang advokat. Oleh karena itu, bias
dikatakan tugas utama organisasi prosefi adalah untuk terus menerus membuat dan
mengawasi pelaksanaan kode etik dan membuat serta mengembangkan standar profesi.

4
Secara konsep, penyelesaian suatu perkara yang diatur dalam hukum acara itulah yang
disebut dengan “proses peradilan”. Pada hakekatnya, proses peradilan ini adalah untuk
menjawab bagaimana menyelesaikan suatu konflik yang terjadi antara individu dengan
individu lainnya dalam masyarakat. Peradilan ini secara historis adalah merupakan substitusi
dari bentuk penyelesaian konflik yang dulu pernah dikenal. Dalam literatur dicatat beberapa
bentuk seperti diadu termasuk dengan binatang buas, dan seterusnya.1.’

Peradilan kode etik jelas tidak sama dengan peradilan yang menyelesaikan konflik, oleh
karena etika dan hukum itu sendiri adalah dua hal yang berbeda. Etika merupakan kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan moral yang menuntut suatu profesi untuk tidak
senantiasa benar saja tapi juga harus bertanggung jawab. Sementara itu, hukum disusun
sebagai sistem yang dibuat berdasarkan norma guna menyelesaikan konflik dan menegakkan
ketertiban umum.

Makalah ini sendiri akan membahas tentang profesi advokat dimana dalam konsepnya
advokat adalah officer of the court atau dalam bahasa Undang-Undang No 18 tahun 2003
tentang Advokat, advokat adalah penegak hukum. Sebagai penegak hukum, penegakan etika
dari perspektif profesi advokat sangat kontekstual dibahas dan oleh karenanya pembahasan
selanjutnya akan diikuti tentang bagaimana posisi dan peranan organisasi profesi advokat
dalam penegakan etika tersebut itu.

b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sebuah perbuatan keprofesian dianggap melanggar kode etik profesi
advokat?
2. Bagaimana tata cara orgaisasi advokat menyelesaikan pelanggaran kode etik profesi?

c. Tujuan
1. Untuk mengetahui perbuatan keprofesian yang dianggap melanggar kode etik profesi
advokat.
1
Mardjono Reksodiputro, “Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana”, Kumpulan Karangan buku kedua, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.

5
2. Untuk mengetahui tata cara orgaisasi advokat menyelesaikan pelanggaran kode etik
profesi.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perbuatan keprofesian yang dianggap melanggar kode etik profesi advokat
Dalam melakukan tugas dan kewajibannya, seorang advokat dituntut untuk
berperilaku dan bertingkah laku secara professional. Hal ini dapat kita lihat dengan
banyaknya ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perilaku dan etika dalam profesi
advokat.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, seorang advokat dilarang melakukaan hal-
hal berikut: 2

1. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya.


2. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya.
3. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata atau mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan
atau pengadilan.
4. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehornatan, atau harkat dan
martabat profesinya.
5. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau kode etik
profesi advokat.

Apabila dalam praktik hokum sehari-hari terdapat advokat yang melakukan


pelanggaran tersebut diatas, maka terhadap masyarakat khususnya pengguna jasa advokat
dapat melakukan tindakan hukum beruba melaporkan advokat yang bersangkutan kepada
Dewan Kehormatan organisasi dimana advokat tersebut bernaung, agar dapat diambil
tindakan secara hukum. Baik hukum yang bersifat organisatoris maupun hukum yang
bersifat umum.

2
A patra M.zein,ed., Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Sentralisme Production.Jakarta:2006,h.81

6
2.2 Tata cara orgaisasi advokat menyelesaikan pelanggaran kode etik profesi
Kewenangan dewan Kehormatan Advokat untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran
kode etik profesi advokat diatur dalam pasal 26 Ayat 5,6, dan 7 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 Tentang Advokat yang berbunyi:

“Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode


etik profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.”

“Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung


jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur
pidana.”

“Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi
Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.”

Berkaitan dengan ketentuan pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang


Advokat diatas , perlu dibentuk Dewan kehormatan Organisasi Advokat di daerah-daerah
guna mengefektifkan pengawasannya terhadap setiap pelanggaran kode etik profesi advokat.
Dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Advokat dijelaskan bahwa:

1. Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat


Pusat maupun di tingkat Daerah.
2. Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan
Kehormatan di tingkat Pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir.
3. Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas unsur Advokat.
4. Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Kehormatan membentuk
majelis yang susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di
bidang hukum dan tokoh masyarakat.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan
Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik.

7
Beranjak dari tugas dan tanggung jawab Dewan Kehormatan Advokat diatas, maka
majelis yang dibentuk oleh Dewan Kehehormatan dimana anggotanya terdiri atas unsur
advokat, pakar atau ahli dibidang hukum dan tokoh masyarakat, yang aka memeriksa dan
mengadili pelanggaran kode etik oleh advokat. Keterlibatan seorang tokoh masyarakat ini
merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian yang sangat serius, karena hal tersebut
diatas menyangkut kredibilitas tokoh masyarakat tersebut yang memerlukan pengujian secara
public sehingga betul-betul dapat dipercaya dalam keikutsertaannya sebagai anggota tim
pemeriksa advokat yang melakuka pelanggaran kode etik profesinya.

2.3 Prosedur Sidang Pelanggaran Kode Etik Advokat


1. Tahap Pengaduan.
Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”) menetapkan pada Pasal 11 ayat (1) bahwa
pengaduan dapat diajukan oleh “pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan.”
Pasal ini dijabarkan lebih rinci oleh Pasal 2 ayat (1) Keputusan Dewan Kehormatan Pusat
PERADI No. 2 tahun 2007 bahwa yang dapat mengajukan pengaduan adalah:
a. Klien;
b. Teman sejawat;
c. Pejabat Pemerintah;
d. Anggota Masyarakat;
e. Komisi Pengawas;
f. Dewan Pimpinan Nasional PERADI;
g. Dewan Pimpinan Daerah PERADI di lingkungan mana berada Dewan Pimpinan
Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota;
h. Dewan Pimpinan Cabang PERADI dimana Teradu terdaftar sebagai anggota (vide,
Pasal 2 ayat 1).

8
Kalau melihat cakupannya yang begitu luas dengan memasukkan “Anggota
Masyarakat” sebagai pihak yang berhak mengadu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pada prinsipnya setiap orang yang “berkepentingan dan merasa dirugikan” atas pelanggaran
kode etik oleh seorang advokat boleh mengajukan pengaduan kepada PERADI.
Pengaduan harus disampaikan secara tertulis dan jelas mengenai identitas para pihak,
hal yang diadukan dan alasannya, tuntutan yang dimohonkan serta bukti-bukti yang dianggap
perlu. Pengaduan ditujukan kepada:
a. Dewan Kehormatan Daerah yang wilayahnya mencakup Dewan Pimpinan
Daerah/Cabang dan/atau
b. Dewan Pimpinan Daerah/Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota; dan/atau
c. Dewan Pimpinan Nasional.

Selanjutnya, berkas pengaduan dibuat dalam 7 (tujuh) rangkap dan didaftarkan pada
bagian registrasi dan membayar biaya pengaduan. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
menerima pengaduan, Dewan Kehormatan Daerah sudah harus selesai memeriksa dan
menyatakan lengkap atau tidak lengkapnya berkas pengaduan. Dalam hal berkas dinyatakan
lengkap, maka dalam 7 (tujuh) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah harus membentuk
Majelis Kehormatan Daerah yang akan memeriksa dan memutus pengaduan tersebut.
Majelis Kehormatan Daerah yang akan memeriksa perkara terdiri dari 5 (lima) orang
anggota, diantaranya 3 (tiga) orang berasal dari unsur advokat yang menjadi anggota Dewan
Kehormatan Daerah, 2 (dua) orang lagi dari unsur non-advokat, yang terdiri dari 1 (satu)
orang ahli di bidang hukum dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat. Yang menjadi Ketua
Majelis harus dari unsur advokat. Majelis ini dapat mengadakan pemeriksaan pendahuluan
atas berkas pengaduan dan apabila dianggap perlu maka Pengadu akan diberi kesempatan
untuk memperbaiki surat pengaduannya.
Selanjutnya, Majelis Kehormatan Daerah menyampaikan surat pemberitahuan kepada
Teradu dengan melampirkan 1 (satu) rangkap berkas pengaduan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak surat pengaduan dinyatakan lengkap. Setelah menerima surat
pemberitahuan, dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja Teradu harus memberikan
jawabannya secara tertulis kepada Majelis Kehormatan Daerah. Apabila jangka waktu
tersebut sudah lewat dan Teradu tidak memberikan jawaban, maka dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari kerja Majelis Kehormatan Daerah sudah harus mengirim surat pemberitahuan

9
kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak surat
pemberitahuan kedua tersebut diterima Teradu tetap tidak memberikan jawaban secara
tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya. Dengan demikian, Majelis
Kehormatan Daerah dapat segera memeriksa pengaduan dan menjatuhkan putusan tanpa
kehadiran Teradu.

Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu:

a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, yang memeriksa pengaduan tingkat pertama


b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat, yang memeriksa pada tingkat terakhir.

Mengenai biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:

a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu
sebagai anggota
c. Pengadu/Teradu.

2. Tahap Persidangan

Dalam hal Teradu telah memberikan jawaban atas pengaduan tersebut, maka dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak jawaban diterima, Majelis sudah harus
menetapkan hari sidang pertama dan menyampaikan panggilan kepada Pengadu dan Teradu.
Panggilan ini harus diterima oleh Pengadu dan Teradu paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sebelum hari sidang.
Di sisi lain, Pengadu sendiri dapat mencabut pengaduannya sebelum sidang pertama
dimulai. Namun demikian, apabila sidang pertama sudah berjalan, pencabutan hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan dari Teradu. Pengadu dan Teradu sendiri harus hadir secara
pribadi di persidangan. Apabila Pengadu berhalangan hadir karena suatu alasan yang sah, ia
dapat diwakili oleh keluarganya bila pengaduannya berkaitan dengan kepentingan
pribadi/keluarga, atau oleh pengurus/pemimpin bila terkait dengan kepentingan badan

10
hukum. Pengadu dan Teradu dapat didampingi Penasihat dan masing-masing pihak berhak
mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti. Apabila Pengadu tidak hadir tanpa alasan yang sah
pada sidang pertama walaupun sudah dipanggil secara patut, maka Majelis Kehormatan
Daerah akan memanggil Pengadu untuk kedua kali dan apabila Pengadu tetap tidak hadir
maka pengaduannya dinyatakan gugur.
Pada sidang kedua, dilakukan pemeriksaan bukti-bukti, saksi atau ahli. Pada tahap ini,
Majelis Kehormatan Daerah berwenang menetapkan keabsahan alat bukti yang diajukan
selama
persidangan tersebut.
Selanjutnya, pada sidang ketiga, Majelis Kehormatan Daerah akan memberikan
kesempatan kepada masing-masing pihak untuk mengajukan Kesimpulan. Pada sidang yang
ketiga ini, Pengadu maupun Teradu tidak perlu hadir secara pribadi.
Baik sidang pertama, kedua maupun ketiga sebagaimana diuraikan di atas diadakan
secara tertutup. Namun demikan, sidang terakhir dengan agenda pembacaan putusan bersifat
terbuka dimana pembacaan putusan Majelis Kehormatan Daerah tersebut dapat dilakukan
tanpa kehadiran para pihak yang bersangkutan setelah sebelumnya diberitahu tentang hari,
tanggal dan waktu persidangan tersebut.
Berdasarkan Pasal II Butir 4.7 Surat Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI
Nomor 3 tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Perkara Pengaduan Dewan
Kehormatan Pusat dan Daerah, Majelis Kehormatan Daerah menyelesaikan pemeriksaan
perkara selambat-lambatnya dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak
dibentuknya Majelis Kehormatan, kecuali dalam kondisi tertentu diperlukan waktu lebih
lama dari 120 (seratus dua puluh) hari kerja, maka harus dibuatkan laporan untuk dimintakan
persetujuan Ketua Dewan Kehormatan Daerah.

3. Putusan Tingkat Pertama

Putusan Majelis Majelis Kehormatan Daerah diambil secara mufakat namun apabila
tidak tercapai mufakat maka Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Anggota Majelis
yang kalah dalam pemungutan suara dapat membuat dissenting opinion yang dimuat di dalam
Putusan. Majelis Majelis Kehormatan Daerah dapat mengambil Putusan berupa:

a) Menyatakan pengaduan dari Pengadu tidak dapat diterima;


b) Menolak pengaduan dari Pengadu;

11
c) Menerima pengaduan dari Pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi kepada
Teradu.

Sementara itu, sanksi yang diberikan dalam Putusan Majelis Kehormatan Daerah
dapat berupa:
a) Teguran lisan sebagai peringatan biasa;
b) Teguran tertulis sebagai peringatan keras;
c) Pemberhentian sementara dari profesi selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
d) Pemberhentian tetap dari profesinya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
Putusan Dewan Kehormatan Daerah akan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Nasional
PERADI untuk dieksekusi, kecuali Pengadu dan/atau Teradu mengajukan banding.

4. Putusan Tingkat Banding


Majelis Kehormatan Pusat sendiri dapat mengeluarkan Putusan Tingkat Banding berupa:
a) Menguatkan putusan Dewan Kehormatan Daerah;
b) Mengubah atau memperbaiki putusan Dewan Kehormatan Daerah; atau
c) Membatalkan putusan Dewan Kehormatan Daerah denga mengadili sendiri.

Putusan Majelis Kehormatan Pusat mempunyai kekuatan hukum tetap sejak


diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak. Putusan Majelis
Kehormatan Pusat tersebut bersifat final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat
dalam forum manapun, termasuk dalam Musyawarah Nasional PERADI.
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan,
salinan keputusan Dewan Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;
b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang bersangkutan
d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan
e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu.

12
Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi
untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi.

Pada akhirnya, Dewan Pimpinan Nasional wajib melaksanakan eksekusi putusan


Dewan Kehormatan Pusat yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap serta
mengumumkannya3

2.3 Sanksi - Sanksi


Dalam Pasal 16 Kode etik Advokat Mengatur tentang sanksi-sanksi yang dapat dikenakan
terhadap peklanggaran kode etik yang dilakukan oleh advokat yaitu;

1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:


a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat
dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi
kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang
pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya
berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau
bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi
melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran
kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan
profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan
terhormat.

3
Luhut M.P Pangaribuan, "Penegakan Etika Bagi Advokat", http://www.peradi.co/media/file/artikel/penegakan-etika-bagi-
advokat1.pdf, diakses pada tanggal 6 Desember 2019.

13
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan
untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu
dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah
Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.4

4
Kode Etik Advokat

14
BAB III

PENUTUP
a. Kesimpulan
Advokat dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tidak dapat terlepas dari kote
etik profesi Organisasi advokat yang menaunginya. Seorang advokat dikatakan telah
melanggar kode etik profesinya apabila telah ada putusan Dewan Kehormatan organisasi
profesinya yang mengatakan bahwa advojat yang bersangkutan telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar kode etik profesi dan telah berkekuatan hukum tetap.

Advokat yang diduga atau dianggap telah melakukan pelanggaran kode etik
profesinya dapat dilaporkan oleh orang yang diklasifikasikan dapat membuat pengaduan
secara tertulis, antara lain : Klien, Teman sejawat, Pejabat Pemerintah, Anggota
Masyarakat, Komisi Pengawas, Dewan Pimpinan Nasional PERADI, Dewan Pimpinan
Daerah PERADI di lingkungan mana berada Dewan Pimpinan Cabang dimana advokat
terdaftar sebagai anggota, Dewan Pimpinan Cabang PERADI dimana advokat terdaftar
sebagai anggota. Namun bilamana disuatu tempat atau daerah tertentu tidak ada cabang,
pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat dan kemudian Dewan
Kehormatan tersebut memproses pengaduan tersebut sesuai dengan hukum acara yang
berlaku yaitu hukum acara Dewan Kehormatan.

b. Saran
1. Sebaiknya keputusan Dewan Kehormatan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
dipublikasikan. Hal ini bertujuan agar para Advokat merasa malu apabila melakukan
pelanggran kode etik profesinya.
2. Organisasi Advokat diharapkan bias lebih meningkatkan pengawasan terhadap setiap
anggotanya dan serta memproses setiap pengaduan yang masuk melalui Dewan
Pimpinan cabang maupun pusat.

15
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Advokat
Kode Etik Advokat
Reksodiputro, Mardjono. 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana.Jakarta : Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
M.zein,ed, Patra.2006. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta : Sentralisme
Production.

Pangaribuan, Luhut M.P .Penegakan Etika Bagi Advokat.2016.


http://www.peradi.co/media/file/artikel/penegakan-etika-bagi-advokat1.pdf. (6 Desember
2019)

16

Anda mungkin juga menyukai