Kajian Kondisi Biofosik Lahan Daerah Aliran Sungai
Kajian Kondisi Biofosik Lahan Daerah Aliran Sungai
ABSTRACT The upstream of a watershed is a buffer zone and it protects the whole watershed.
The degradation of a watershed is caused by uncotrolled uses of the land and exploitation of
the nature resources such as forest, land, and water. It causes the changes in the carrying
capacity of the watershed, especially in biophysical aspects. This research aims to study the
watershed biophysical condition in Ciujung Hulu Watershed, Banten Province. Biophysical
condition analyzed using Forestry Minister Regulation P.61/Menhut-II/2014 for degraded land
class, land cover percentage, and Erosion Hazard Index. The condition of the land, such as
degraded land, vegetation cover, and erosion index, analyzed using modification of Forestry
Minister Regulation Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-SET/2013. The result of the study
showed that the percentage of degraded land, vegetation cover percentage, and erosion index
were 25,85% (severe degraded land), 9,77% (very low covered), and 30,89 (Very high).
Keywords: Ciujung Hulu; Land Condition; Watershed Biophysic
ABSTRAK. Ekosistem hulu DAS merupakan bagian yang penting sehingga mempunyai fungsi
perlindungan terhadap DAS. Pemanfaatan lahan yang tidak terkendali serta eksploitasi
sumberdaya yang berlebihan sering menyebabkan degradasi dan kerusakan pada sumberdaya
alam tersebut seperti hutan, lahan dan air. Akibatnya terjadi perubahan daya dukung DAS
terutama aspek biofisik lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi biofisik lahan di
Subdas Ciujung Hulu, Propinsi Banten. Penentuan status kondisi biofisik lahan berdasarkan
Permenhut Nomor : P.61/Menhut-II/2014 meliputi Persentase Lahan Kritis, Persentase
Penutupan Lahan dan Indeks Bahaya Erosi. Analisis kondisi lahan meliputi lahan kritis
berdasarkan parameter modifikasi dari Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-SET/2013,
persentase penutupan vegetasi dan indeks erosi. Hasil menunjukkan bahwa lahan kritis
sebesar 25,85% tergolong kelas sangat tinggi, nilai persentase pentupan vegetasi adalah
9,77% dengan kelas sangat buruk dan nilai indeks erosi 30,89 tergolong kelas sangat tinggi.
Kata kunci: Ciujung Hulu; Kondisi Lahan; Biofisik DAS
Penulis untuk korespondensi, surel: naitkakin.egi@gmail.com
119
Jurnal Hutan Tropis Volume 9 No. 1, Edisi Maret 2021
Identifikasi dan analisis tingkat kekritisan kekritisan lahan pada tiap kawasan (Tabel
lahan berdasarkan parameter atau 1) meliputi penutupan lahan dan
pendekatan modifikasi dari Perdirjen produktivitas, kemiringan lereng, erosivitas
BPDAS PS Nomor : P.4/V-Set/2013 tentang hujan, erosi yang diperbolehkan, erodibilitas
Penyususnan Spasial Lahan Kritis. Analisis tanah dan manajemen.
tingkat kekritisan lahan dilakukan dengan
Data penutupan atau penggunaan lahan
teknik overlay parameter penentu tingkat
diperoleh dari hasil interpretasi citra SAS
120
Egidius Naitkakin. et al. : Kajian Kondisi Biofosik ……. (9): 119-130
Planet tahun 2018 dan dilanjutkan dengan persamaan yang dikemukakan oleh
ground check di wilayah subdas. Data Wischmeier (1971) sbb:
kemiringan lereng menggunakan analisis
100K = 2,1 M1,14(10-4) + (12-a) +3,25(b-2)
digital elevation model (DEM) yang +2,5(c-3)
diperoleh dari earthexplorer.usgs.gov.
Faktor erosivitas hujan (R) dihitung Dimana:
berdasarkan persamaan Bols (1978) dalam K = erodibilitas;
Arsyad (2010) sebagai berikut: M = ukuran partikel (% debu +% pasir
halus) (100 - %liat);
EI30 = 6,119 (RAIN)1.21 (DAYS)-0,47 (MAXP)0,53 a = kandungan bahan organic tanah
(%C x 1,724);
b = kelas struktur tanah;
Dimana: c = kelas permeabilitas tanah.
EI30 = indeks erosi hujan bulanan;
Rain = curah hujan rata-rata bulanan
(cm); Penetapan kelas dan skor nilai K
Days = jumlah hari hujan rata-rata per berdasarkan Arsyad (2010) yang
bulan; dimodifikasi dari menjadi 5 kelas. Penilaian
MAXP = CH maks selama 24 jam pada manajemen pada penentuan lahan kritis
bulan bersangkutan (cm) dilakukan pada kawasan hutan lindung,
kawasan budidaya pertanian, kawasan
Besarnya erosi yang diperbolehkan lindung di luar kawasan hutan, dan kawasan
(EDP) maksimum untuk tanah di Indonesia hutan produksi berdasarkan Perdirjen
adalah 25 ton/ha/tahun, dan pada tanah BPDAS PS P.4/V-Set/2013. Penilaian
yang kurang dalam yaitu kurang dari 25 manajemen pada penentuan lahan kritis
ton/ha/tahun (Arsyad 2010). Maka dilakukan pada kawasan hutan lindung,
parameter EDP > 25 ton/ha/tahun tergolong kawasan budidaya pertanian, kawasan
kelas yang tinggi dengan skor adalah 5 dan lindung di luar kawasan hutan, dan kawasan
EDP < 25 ton/ha/tahun tergolong dalam hutan produksi. berdasarkan Perdirjen
kelas rendah dengan skor 1. Nilai BPDAS PS P.4/V-Set/2013. Penilaian
erodibilitas tanah menunjukkan tingkat produktivitas pada penentuan lahan kritis
kepekaan tanah terhadap erosi. Erodibiliotas dilakukan berdasarkan rasio terhadap
tanah dapat ditetapkan berdasarkan komoditi umum optimal pada pengelolaan
tradisional.
121
Jurnal Hutan Tropis Volume 9 No. 1, Edisi Maret 2021
122
Egidius Naitkakin. et al. : Kajian Kondisi Biofosik ……. (9): 119-130
123
Jurnal Hutan Tropis Volume 9 No. 1, Edisi Maret 2021
Produktivitas lahan Subdas Ciujung Hulu lahan kering bercampur semak yang dinilai
digunakan pada kawasan budidaya antara berdasarkan rasio terhadap komoditi umum
lain penggunaan lahan sawah, pertanian pada pengelolaan tradisional. Hasil skoring
lahan kering, perkebunan dan pertanian dan pembobotan tersaji pada Tabel 8.
Faktor erosivitas hujan (R). Curah hujan antara 26,5 mm/bulan sampai dengan
rata-rata subdas yaitu 2709,26 mm/tahun 387,67 mm/bulan. Skoring dan pembobotan
dengan rata-rata hujan bulanan berkisar parameter R pada Tabel 10.
124
Egidius Naitkakin. et al. : Kajian Kondisi Biofosik ……. (9): 119-130
(0,33 – 0,40) sebesar 24,05%, kategori Penetapan kelas dan skor nilai K
rendah sebesar 25,21% dan kategori sangat berdasarkan Arsyad (2010) yang
tinggi hanya 0,81% dari luas subdas. Skor dimodifikasi dari menjadi 5 kelas.
dan bobot nilai K tersaji pada tabel 11.
Penilaian manajemen pada penentuan kawasan lindung di luar kawasan hutan, dan
lahan kritis dilakukan pada kawasan hutan kawasan hutan produksi. berdasarkan
lindung, kawasan budidaya pertanian, Perdirjen BPDAS PS P.4/V-Set/2013.
125
Jurnal Hutan Tropis Volume 9 No. 1, Edisi Maret 2021
Tabel 13. Luas dan Persentase Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Penggunaan Lahan
Keterangan Luas (Ha) Persentase (%)
Potensial Kritis 9.291,377 15,68
Hutan Lahan Kering Sekunder 48,993 0,08
Perkebunan 726,730 1,23
Sawah 8.515,654 14,37
Agak Kritis 31.795,632 53,67
Hutan Lahan Kering Sekunder 542,969 0,92
Hutan Tanaman 2.729,362 4,61
Perkebunan 1.133,470 1,91
Pertanian Lahan Kering 8.746,245 14,76
Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak 18.264,656 30,83
Sawah 378,930 0,64
Kritis 15.312,382 25,85
Hutan Tanaman 668,081 1,13
Pertanian Lahan Kering 567,890 0,96
Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak 1.4076,411 23,76
Pemukiman 2.805,389 4,74
Badan Air/Sungai 41,164 0,07
Total 59.245,957 100
126
Egidius Naitkakin. et al. : Kajian Kondisi Biofosik ……. (9): 119-130
Berdasarkan fungsi kawasan, pada yang secara berurutan pada tahun 2013
Kawasan Budidaya Pertanian, tingkat yaitu 8,88%, 48,92%, 2,99% dan 1,79%
kekritisan lahan dipengaruhi oleh faktor menjadi 15,76%, 54,59%, 4,74% dan 3,14%
manajemen dan produktivitas. pada pada tahun 2018.
kawasan Kawasan Hutan maupun Kawasan
Penggunaan lahan sebagaimana
Lindung, kekritisan lahan lebih dominan
ditunjukkan pada lampiran Gambar 3, yang
dipengaruhi oleh kelas kemiringan lereng.
mana didominasi oleh Pertanian Lahan
Melo GI et al. (2018) mengemukakan faktor-
Kering Bercampur Semak, Pertanian Lahan
faktor yang paling dominan adalah
Kering dan Sawah, yang persentase
penutupan lahan, tingkat bahaya erosi dan
luasnya secara berurutan sebagai berikut:
kemiringan lereng. Selanjutnya, Ramayanti
54,59%, 15,57%, 14,97% sedangkan
et al. (2015) melaporkan bahwa parameter
keberadaan Hutan Lahan Kering Sekunder
produktivitas mempengaruhi tingkat
hanya 1% dari luas subdas yang terdapat di
kekritisan lahan pada kawasan budidaya
wilayah Gunung Karang, Kabupaten
dan hutan produksi. Tingkat kekritisan lahan
Pandeglang dan Kecamatan Cigemblong,
disuatu wilayah meyebabkan tergaggunya
Kabupaten Lebak.
fungsi hidrologi, produksi pertanian,
pemukiman serta perekonomian masyarakat Perubahan tutupan lahan bervegetasi
yang ada. hutan menjadi non hutan dapat
meningkatkan debit rata-rata, koefesien
Persentase Penutupan Vegetasi (PPV) aliran permukaan (Romlah et al. 2018) dan
menurunkan nilai baseflow (Permatasari et
Vegatasi merupakan lapisan pelindung al. 2017). Hasil kajian Nugrahanto et al.
antara atmosfer dan tanah. Penutupan (2018) menunjukkan bahwa persentase luas
lahan secara sederhana hanya terdiri atas 2 hutan mempengaruhi debit puncak di
macam yaitu bervegatasi dan non vegetasi. Subdas Hutan Alam yaitu bahwa semakin
Supirin (2004) mengatakan bahwa vegetasi tinggi persentase tutupan hutan maka
bersifat melawan terhadap faktor-faktor lain semakin kecil debit puncak yang dihasilkan.
yang bersifat erosif seperti hujan, topografi Asdak (2010) menjelaskan bahwa vegetasi
dan karakeristik tanah. Penilaian terhadap mempunyai pengaruh terhadap erosi yaitu:
luas penutupan vegetasi pada Subdas 1) melindugi permukaan tanah dari
Ciujung Hulu meliputi vegetasi hutan lahan tumbukan air hujan; 2) menurunkan
kering sekunder, hutan tanaman dan kecepatan dan volumpe limpasan; 3)
perkebunan yang merupakan vegetasi menahan partikel-partikel tanah melalui
permanen. sistem perakaran dan serasah; dan 4)
mempertahankan kapasitas tanah dalam
Hasil analisis mengenai nilai PPV di
menyerap air.
Subdas Ciujung Hulu adalah 9,77% dari
total luas subdas. Berdasarkan Permenhut Keberdaan Hutan di Subdas Ciujung
No. P.61/Menhut-II/2014, kondisi ini Hulu tidak memenuhi syarat sebagai fungsi
tergolong dalam kategori sangat buruk. Hal perlindungan maupun pengendali aliran.
ini disebabkan karena terjadi penurunan Menurut Pudjiharta (2008) bahwa syarat
luas penutupan vegetasi (LPV) dari 22,73% hutan sebagai fungsi perlindungan DAS
pada tahun 2013 menjadi 9,77% pada tahun minimal 30% dari luas DAS dan syarat
2018. Penurunan ini terjadi karena sebagai fungsi pengendali aliran adalah
menurunnya luas Hutan Lahan Kering >50% dari luas DAS. Kurangnya luas Hutan
Sekunder dan terjadi peningkatan luas pada dan meningkatnya luas lahan terbangun dan
Pertanian Lahan Kering, Pertanian Lahan pertanian dapat mempengaruhi karakteristik
Kering Bercampur Semak, Pemukiman dan hidrologi dalam DAS.
127
Jurnal Hutan Tropis Volume 9 No. 1, Edisi Maret 2021
128
Egidius Naitkakin. et al. : Kajian Kondisi Biofosik ……. (9): 119-130
Menurut Yuningsih et al. (2012) dalam lahan Subdas Ciujung Hulu yang tergolong
kajiannya mengungkapkan bahwa panjang dalam kategori yang sangat buruk dengan
lereng, faktor konservasi dan pengelolaan kulaifikasi pemulihan yang sangat tinggi.
tanaman, erodibiltas tanah serta erosivitas
adalah faktor yang paling berpengaruh
terhadap besarnya erosi. Hasil penelitian DAFTAR PUSTAKA
Ashari (2013) menunjukkan bahwa
erodibilitas tanah (nilai K) sangat
berpengaruh terhadap erosi permukaan [Perdirjen] Peraturan Direktur Jenderal Bina
yang mana semakin besar nilai K maka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan
tanah semakin rentan terhadap erosi. Perhutanan Sosial Nomor: P.4/V-
Tingginya nilai K dipengaruhi oleh SET/2013 Tentang Penyusunan Data
rendahnya bahan organik tanah, rendahnya Spasial Lahan Kritis. Jakarta (ID):
permeabilitas tanah serta tingginya Direktur Jenderal Bina Pengelolaan
kandungan pasir halus dan debu (Fauzi dan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan
Maryono 2016). Secara umum, nilai K Sosial Negara Republik Indonesia.
ditentukan oleh faktor tekstur tanah, struktur [PermenHut] Peraturan Menteri Kehutanan
tanah, bahan organik tanah dan Republik Indonesia. Nomor 61 tahun
permeabilitas tanah. 2014 tentang Monitoring dan Evaluasi
Pengelolaan Daerah aliran Sungai.
SIMPULAN Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan
Negara Republik Indonesia.
[PP] Peraturan Pemerintah Republik
Eksploitasi lahan secara berlebihan Indonesia. Nomor 37 tahun 2012 tentang
tanpa memperhatikan aspek konsevasi Pengelolaan Daerah aliran Sungai.
tanah dan air secara nyata memyebabkan Jakarta (ID): Pemerintah Negara
degradasi, kerusakan, dan pencemaran Republik Indonesia.
lingkungan sehingga menurunkan daya
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air;
dukung lahan untuk produksi pertanian dan
Edisi kedua. Bogor (ID): IPB Press.
berdampak juga pada tingkat kesejahteraan
masyarakat. Tercermin dari Kondis biofisiki
129
Jurnal Hutan Tropis Volume 9 No. 1, Edisi Maret 2021
Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan kasus: das komering). Jurnal Teknik
Daerah Aliran Sungai. Bandung (ID): Sipil. 24(1): 91-98.
Gadjah Mada University Press.
Pudjiharta A. (2008). Pengaruh Pengelolaan
Ashari A. 2013. Kajian Tingkat Erodibilitas Hutan Pada Hidrologi. Jurnal Info Hutan.
Beberapa Jenis Tanah Di Pegunungan 5(2):141 – 150.
Baturagung Desa Putat Dan
Ramayanti LA, Yuwono BD, Awaluddin M.
Nglanggeran Kecamatan Patuk
2015. Pemetaan Tingkat Lahan Kritis
Kabupaten Gunungkidul. Jurnal
Dengan Menggunakan Penginderaan
Informasi. 1(39): 15-31.
Jauh dan Sistem Informasi Geografi
Fauzi RMZ dan Maryono. 2016. Kajian Erosi (Studi Kasus: Kabupaten Blora) Jurnal
dan Hasil Sedimen untuk Konservasi Geodesi Undip.4(2): 200-207.
Lahan DAS Kreo Hulu. Jurnal
Romlah DR, Yuwono SB, Hilmanto R,
Pembangunan Wilayah dan Kota.
Banuwa IS. 2018. Pengaruh Perubahan
Juhadi. 2007. Pola-Pola Pemanfaatan Tutupan Hutan Terhadap Debit Way
Lahan dan Degradasi Lingkungan Pada Seputih Hulu. Jurnal Hutan Tropis. 6(2):
Kawasan Perbukitan. Jurnal Geografi. 197-204.
4(1):11-24.
Rosyada M, prasetyo Y dan Hani’ah.
Kubangun SH, Haridjaja O, dan 2015.Penentuan Tingkat Lahan Kritis
Gandasasmita K. 2014. Model Spasial Menggunakan Metode Pembobotan dan
Bahaya Lahan Kritis di Kabupaten Bogor, Algoritma NDVI (Studi Kasus: Sub Das
Kabupaten Cianjur, Dan Kabupaten Garang Hulu). Jurnal Geodesi Undip.
Sukabumi. majalah ilmiah globe. 15(2): 4(1): 85-94.
149 – 156.
Sinaga J, Kartini, Yuniarti E. 2014. Analisis
Kubangun SH, Haridjaja O, dan Potensi Erosi Pada Penggunaan Lahan
Gandasasmita K. 2016. Model Daerah Aliran Sungai Sedau di
Perubahan Penutupan/Penggunaan Kecamatan Singkawang Selatan. Jurnal
Lahan Untuk Identifikasi Lahan Kritis di Teknik Lingkungan. 1(1): 1 – 10.
Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur,
Supirin. 2001. Pelestarian Sumber Daya
Dan Kabupaten Sukabumi. majalah
Tanah dan Air. Yogyakarta (ID): penerbit
ilmiah globe.18(1): 21-32.
Andi.
La Baco, Hasani UO, Kahirun, dan Jalil A.
Talumingan C dan Jocom SG. 2017. Kajian
2018. Analisis Tingkat Bahaya Erosi di
Daya Dukung Lahan Pertanian Dalam
Daerah Aliran Sungai Roraya, Sulawesi
Menunjang Swasembada Pangan di
Tenggara. Ecogreen. 4(1): 17-25.
Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal
Melo GI, Sela RLE dan Suryono. 2018. Agri-SosioEkonomi Unsrat. 13(1): 11 –
Analisis Faktor Penyebab Perubahan 24.
Luas Lahan Kritis Di Tateli, Kecamatan
Wahyuningrum N dan Putra PB. 2018.
Mandolang. Jurnal Spasial. 5(3): 347-
Evaluasi Lahan Untuk Menilai Kinerja
356.
Sub Daerah Aliran Sungai Rawamanuk.
Nugrahanto EB, Adi RN, supangat AB, Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah
Nugroho NP. 2018. Pengaruh Aliran Sungai. 2 (1): 1 – 16.
Persentase Penutupan Hutan Terhadap
Yuningsih SM, Raharja B, Sudono I dan
Debit Puncak di Sub Daerah Aliran
Fauzi. 2012. Estimasi Laju Erosi Pada
Sungai Hutan Alam Kabupaten Tanah
Beberapa Daerah Tangkapan Air Waduk
Laut. JPPDAS. 2(2): 123-136.
di Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo
Permatasari R, Arwin dan Natakusumah DK. Dengan Sistem Informasi Geografi.
2017. Pengaruh perubahan penggunaan Jurnal Sumber Daya Air. 8(1): 39 – 52.
lahan terhadap rezim hidrologi das (studi
130