Anda di halaman 1dari 26

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/292298093

Reformasi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di Indonesia

Chapter · January 2010

CITATION READS
1 8,509

3 authors, including:

Caroline Paskarina Heru Nurasa


Universitas Padjadjaran Universitas Padjadjaran
42 PUBLICATIONS 40 CITATIONS 45 PUBLICATIONS 17 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

INTERNATIONAL MIX METHODE SYMPOSIUM View project

Participatory Planning in the Post Suharto Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Caroline Paskarina on 30 January 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


REVITALISASI ADMINISTRASI Ji'EGARA
Reformasi Birokrasi dan e-Governance , ,

Editor : Falih Suaedi


BintoroVVardiyanto

Edisi Pertama
Cetakan Pertama, 2010

Hak Cipta © 2010 pad a penulis,


Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku
ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik
perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

GRAHAILMU
Ruko [arnbusari No.7 A
Yogyakarta 55283
Telp. : 0274-889836; 0274-889398
Fax. : 0274-889057
E-mail : info@grahailmu.co.id

Suaedi, Falihi Wardiyanto, Bintoro


REVITALISASI ADMINISTRASI NEGARA (Reformasi Birokrasi dan e-Governanee)/Falih
Suaedii Bintoro Wardiyanto
-Edisi Pertama - Yogyakartai Graha Ilmu, 2010
x + 268 hlm, 1 Jil. : 26 em.

ISBN: 978-979-756-668-5

1. Sosial 2. Politik I. Judul


Reformasi Birokrasi .dan Paradigma Baru Administrasi
Publik di 'Indonesia

Dede Mariana, Caroline Paskarina, Heru Nurasa

Pengantar

1t
emerintah memiliki peran penting sebagai salah satu aktor strategis untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Sekalipun tingkat sosial dan ekonomi suatu masyarakat telah meningkat, peran pemerintah
. tetap diperlukan untuk melaksanakan fungsi regulasi, alokasi, distribusi, pelayanan, dan pemberdayaan
rnasyarakat. Fungsi-fungsi ini harus dilaksanakan oleh pemerintah agar tercapai keadilan dan pemerataan
dalam masyarakat. Inti dari pemerintahan adalah sistem birokrasi. Sistem birokrasi sangat diharapkan dapat
menjalankan perannya secara optimal dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut di atas. Namun, dalam
kenyataannya, keberadaan birokrasi pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan
untuk melaksanakan urusan pernerintahan sehari-hari, birokrasi juga seringkali dianggap sebagai sistem yang
menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik tersendat dan bertele-tele.
Gejala 'penyakit' birokrasi seperti tersebut di atas, tampak pula dalam sistem birokrasi pemerintahan
di Indonesia. Berbagai kritik tentang in-efisiensi dalam sistem birokrasi Indonesia, kuantitasnya yang terlalu
besar dan kaku sudah sering dinyatakan secara terbuka (Thoha, 1987; Dwiyanto, 2002). Sistem pencaloan
yang merajalela, nepotisme serta terjadinya berbagai patologi birokrasi menyiratkan bahwa reformasi birokrasi
pemerintah harus dilakukan.
Reformasi birokrasi pemerintah sangat mendesak untuk dilakukan ketika dikaitkan dengan berbagai
perubahan dalam konteks global, antara lain perubahan paradigma kekuasaan yang terjadi dengan dinamis
selama periode pertengahan abad 20 hingga awal abad 21. Gelombang demokratisasi yang ditandai dengan
kemerdekaan negara-negara bekas jajahan, peralihan kekuasaan dari rezim otoritarian, kecenderungan
sentralistik dan runtuhnya komunisme membawa perubahan yang berarti dalam sistem dan relasi kekuasaan
menjadi lebih demokratis dan terdistribusi (desentralisasi).

Pada awalnya, penyelenggaraan pemerintahan secara sentralistik dipandang akan lebih efektif dan efisien,
tapi asumsi ini mengalami perubahan ketika menghadapi tantangan di masa kini yang menuntut pemerintah
untuk makin responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, berbagai penyimpangan yang terjadi
sebagai dampakdari sentralisasi kekuasaan menyebabkan legitimasi pemerintah menurun di mata publik. Ketika
negara tidak lagi cukup memiliki kernarnpuan untuk memaksakan kepatuhan masyarakat dan makin luasnya
eterbukaan akses informasi publik, maka yang terjadi adalah fenomena kegagalan negara untuk memenuhi
ebutuhan masyarakat. Dalam jangka panjang, penurunan kapasitas negara ini akan berdampak negatif karena
mengarah delegitimasi pemerintahan, apatisme publik, dan berpotensi memunculkan anarkhisme. Kegagalan
negara c.q. pemerintah dalam memenuhi ~ebutuhan masyarakat akan menimbulkan keraguan publik terhadap
urgensi kehadiran negara c.q. pemerintah. Kondisi in] bila dibiarkan akan mengarah pada ketidakpastian dan
pelemahan jaminan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat.
Reformasi birokrasi pemerintah menjadi bagian dari upaya untuk memperkuat negara karena melalui
reformasi birokrasi, peran dan lingkup intervensi negara (c.q. pemerintah) didefinisikan ulang untuk menjawab
tantangan zaman. Karena itu, reformasi birokrasi juga tidak sekadar menyederhanakan struktur birokrasi,
tapi mengubah pola pikir (mind set) dan pola budaya (cultural set) birokrasi untuk berbagi peran dalam
tata kelola pemerintahan. Birokrasi pemerintah merupakan unsur yang sangatvital dalam menentukan
arah untuk mencapai keberhasilansuatu penyelenggaraannegara. Dengan kemajuan teknologi terutama
teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesatsertapersainganglobal yang semakin ketat,
masyarakatsangat peka terhadap kinerja birokrasi pemerintahandan sangatpeduli terhadap peningkatan
kualitas hidupnya. Baik atau buruk kinerja birokrasi pemerintah akan sangat menentukan tingkat
kepercayaanmasyarakatterhadap pemerintahnya.
Disadari bahwa untuk melaksanakanreformasibirokrasi dengan benartidaklah mudah dan
rnemerlukan waktu yangpanjangsertaberkesinambungan.Untuk itu, diperlukan payunghukum yang lebih
kuat. Sehubungan dengan hal tersebut,telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
RencanaPembangunan [angka Panjang Nasional 2005-2025. Dalam Bab IV Butir 1.2 undang-
undangtersebut dinyatakan bahwa "pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi
untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negaradan untuk mewujudkan tata pemerintahanyang baik,
di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilanpembangunahdi bidang-bidang lainnya."
Sejauh ini, berbagai upaya yang telah dilakukan dalam melaksanakanreformasi birokrasi masih
belum optimal, salahsatupenyebabnyakarena belum ada rancanganinduk (grand design) yang jelas
mengenai arah reformasibirokrasi yang memuat petajalan (road map) reformasibirokrasi. Rancanganinduk
reformasibirokrasi ini diperlukan sebagailandasanbagi penyusunandokumen-dokumen berikutnya yang
terkait dengan reformasi birokrasi, antara lain Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, Rencana Aksi
Reformasi Birokrasi, Rencana Pembangunan langka Menengah Nasional, Rencana Kerja
Kementerian/Lembagadan Pemerintah Daerah,
. sertadokumen lain yang bersifatteknis. Idealnya, rancanganinduk ini yang akan memuat
substansimengenai arah reformasi birokrasi serta implikasinya terhadap pembaharuan administrasi publik,
baik dalam tataran paradigma maupun praksis. Untuk memahami keterkaitan di antara reformasi birokrasi
dengan pembaharuan administrasi publik, maka berikut ini diuraikan mengenai perkembangan
administrasi publik, implikasinya terhadap negaradan pemerintahan,sertabagaimanareformasi birokrasi
Indonesiadiarahkan untuk mengubah praksisadministrasi publik untuk mendukung
penguatankapasitasnegara.

Perkembarigan Administrasi Publik


Administrasi publik sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yakni sejak masyarakat mulai dapat
mengorganisasikandiri dan kelompoknya dalam bentuk sistem penataan pemerintahan. Administrasi
publik modern yang dikenal sekarangrnerupakanproduk dari suatu masyarakatfeodal yang tumbuh subur di
negara negara Eropa (Thoha, 2005). Dasar-dasarpemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh
Woodrow Wilson yang dituangkan dalam tulisannya yang diberi judul, "The Study of Administration" yang
diterbitkan pada tahun 1873. Konsepdari Wilson yang terkenal adalah pemisahanantara politik dan
adminstrasi publik. Sejak itu, administrasi publik, baik sebagaibidang studi maupun sebagaiprofesi terus
berkembang.
Perkembanganadministrasi publik baru tidak dapat dilepaskan dari
perkembanganberbagaiparadigma dalam ilmu administrasi publik. Paradigmadapat diartikan sebagai
perspektif yang dimiliki oleh komunitas keilmuan, yang terbentuk dari keinginan dan komitmen
(konseptual, teoritis, metodologis, instrumental). Sebuahparadigmamenuntun scientific community untuk
melakukanseleksiterhadapsebuahmasalah,evaluasi

4 Revitalisasi Administrasi Negara: Retormasi Birokrasi dan E-


Governance
data, dan menganjurkan teori (Chilcote,1998). Dalam ilmu administrasi publik terdapat beberapa paradigma
antara lain sebagaimana diungkapkan rnelafui metode pendekatan matriks loccus dan focus (2 x 2 matrix)
dari Golembiewski (1977) yang menghasilkan empat rase dalam perkembangan ilmu administrasi publik
(www.ginandjar.com). Fase-fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitik politik dari administrasi; (2) fase
perbedaan konkret politik dari administrasi; (3) fase manajemen; dan (4) fase orientasi terhadap kebijakan publik.
Golembiewski juga mengetengahkan adanya tiga paradigma komprehensif dalam perkembangan pemikiran
pemikiran ilmu administrasi publik, yakni: (1) paradigma tradisional; (2) paradigma sosial psikologi; dan
(3) paradigma kemanusiaan (humanist/systemic). Gelombiewski mengajukan kritik terhadap paradigma
paradigma tersebut yang banyak kelemahannya dan meramalkan tumbuhnya gejala anti paradigma. la
mengetengahkan bahwa yang akan muncul adalah paradigma-paradigma kecil (mini paradigm).
Nicholas Henry (1995) dalam Thoha (2005), menggunakan pendekatan lain. Menurutnya, terdapat 5
(lima) paradigma ilmu administrasi publik, yakni:
1. Paradigma dikotomi politik dan administrasi publik (1900-1926)
Fokusnya terbatas pada masalah-masalah organisasi dan penyusunan anggaran dalam birokrasi
pemerintahan, politik dan kebijakan merupakan substansi ilmu politik. Dalam paradigma ini para
administrator dianggap tidak perlu campur tangan dalam kegiatan dan proses politik yang berlangsung di
suatu negara, dan secara spesifik tugas para administrator tersebut adalah sebagai pelaksana keputusan
keputusan politik yang dibuat oleh para politisi, dengan ini administrasi publik dipandang sebagai alat
pemerintah. Dalam paradigma ini, kata publik dalam administrasi publik memiliki pengertian dengan
birokrasi pemerintahan atau segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan dan negara. Dengan
demikian, administrasi publik dapat dipandang sebagai cara menjalankan birokrasi pemerintahan agar
dapat bekerja sebagai mana mestinya.

2. Paradigma Prinsip-prinsip Administrasi (1927-1937)


Paradigma ini rnuncul sebagai akibat dari interaksi yang intensif antara para administrator dengan pihak
politisi dan pihak swasta. Akibat dari interaksi ini, administrator dan ilmu administrasi diterima secara
luas, baik di kalangan industri maupun pemerintah. Ciri paradigma ini adalah diserapnya prinsip-prinsip
manajemen secara luas untuk diterapkan pada ruang lingkup administrasi. Dalam periode ini juga muncul
asumsi yang dikemukakan oleh W. F. Willoughby bahwa prinsip-prinsip administrasi bisa dibuktikan
dan dipelajari. Dalam paradigma ini fokus dari ilmu administrasi dianggap lebih penting daripada
lokusnya. Hal ini berakibat pada pengertian kata publik yang menjadi sangat luas yang hanya dibatasi
oleh fokus ilmu administrasi, yaitu prinsip-prinsip manajemen seperti planning, organizing, actuating, dan
controlling. Hal ini berkonsekuensi pada masuknya administrasi publik pada ranah kajian yang belum
pernah dimasukinya.
Lokusnya kurang dipentingkan. Fokusnya adalah "-prinsip-prinsip" manajerial yang dipandang berlaku
universal pada setiap bentuk organisasi dan lingkungan budaya.
3 .. Paradigms administrasi negara sebagai ilmu politik (1950-1970).
Paradigma yang seringkali dianggap sebagai suatu kemunduran dari ilmu administrasi publik ini berusaha
untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi publik dengan ilmu politik. Dalam
paradigma ini, lokus ilmu administrasi publik berusaha untuk di redefinisikan, yaitu pada birokrasi
pemerintahan. Hal ini berakibat pada kurang diperhatikannya fokus dari ilmu administrasi publik, yang
pada akhirnya berujung pada masalah "sibuk mendefinisikan" fokusnya. Dalam paradigma ini jelas bahwa
pengertian dari kata publik yang diinginkan adalah yang berkenaan dengan birokrasi pemerintahan,
sehingga ruang lingkup administrasi publik bisa dikatakan kembali menyempit ke seputar proses manajerial
birokrasi pemerintahan.
Administrasi negara kembali menjadi bagian dari ilmu politik. Pelaksanaan prinsip-prinsip administrasi
sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor lingkungan, jadi tidak "value free" (bebas nilai). .

Reformasi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di 5


Indonesia
4. Paradigma administrasi negara sebagai.ilmu administrasi (1956-1970)
Administrasi tetap menggunakan prinsip administrasi yang dipengaruhi berbagai faktor, oleh karena
itu dalam paradigma ini mengembangkanadanya pemahaman sosial psikologi, dan analisis sistem
untuk melengkapi. Dalam paradigma ini Ilmu Administrasi menyajikan fokus dan bukannya lokus.
Dalam paradigma ini nampaknya mulai tumbuh kesadaran untuk mengadopsi disiplin ilmu
lainnya untuk menyempurnakan studi ilmu administrasi publik. Dalam paradigma ini muncul
kerancuan dalam memahami arti kata publik, sehinggasecaragaris besarbisa dibuat kesimpulan
bahwa kata publik di sini

6 Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi Birokrasi dan E-


Governance
berarti sesuatuyang mempengaruhi kepentingan umum atau masyarakat.Hal ini berkonsekuensi
segaal
pada meluasnyaruang lingkup dari administrasi publik yang tadinya hanya berhubungandengan
birokrasi pemerintahan menjadi menanganisemuayang berkaitan dengan kepentingan masyarakatluas.
Paradigma inilah yang masih dianut oleh kebanyakan akademisi Ilmu Administrasi Publik.
Walaupun memiliki kekuranganyang sangatsignifikan, berupa ketidakmampuan mendefiniskan arti
kata publik secarategas, sehinggamenimbulkan perdebatanpanjang yang belum juga tuntas tentang
arti kata publik di sini.
5. Paradigma administrasi publik sebagai administrasi publik (1970)
Padaparadigmaini, lokus administrasipublik bukan semata-matapada ilmu murni administrasi,
melainkan padateori organisasi,yakni pada bagimanadan mengapaorganisasi-organisasiitu bekerja,
bagaimanadan mengapaorang-orangberperilaku dalam organisasi,serta bagaimanadan
mengapakeputusan-keputusan itu diambil. Selain itu, pertimbangan-pertimbanganuntuk
menggunakanteknik-teknik ilmu manajemen ke dalam lingkungan pemerintahan menjadi perhatian
pula dalam faseparadigma ini. Administrasi publik semakin bertambah perhatiannya terhadap wilayah
ilmu kebijakan (policy science), politik ekonomi, proses pembuatan kebijakan pemerintah, dan
analisisnya (public policy making process), dan cara-cara pengukuran dari hasil-hasil kebijakan yang
telah dibuat. Aspek-aspekperhatian ini dapat dianggap dalam banyak hal sebagaimata rantai yang
menghubungkan antara fokus administrasi publik dengan lokusnya. Sebagaimanayang terlihat dalam
trend yang diikuti oleh paradigma ini, maka fokus administrasi publik
. adalah teori organisasi,praktik dalam analisis kebijakan, dan teknik-teknik administrasi dan
manajemen yang sudah maju. Adapun lokus normatif dari administrasi publik digambarkan oleh
paradigma ini ialah pada birokrasi pemerintahan dan pada persoalan-persoalanmasyarakat(public
affairs). Walaupun public affairs masih dalam proses mencari bentuknya, tetapi melihat
perkembangannyabidang ini menduduki tempat utama dalam menarik perhatian administrasi publik.
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham
paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah
masyarakatnyadan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin
menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakanadministrasi
sebagai alat untuk menyalurkan aspirasimasyarakatbawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebutadalah
bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannyajuga
dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kescmuaitu
menuntut"reorientasiperananadministrasi publik.
Perkembangan tersebut melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat,yang menandai bergulirnya gerakan administrasi publik baru
(new public administration). Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa
administrasi tidak boleh bebasnilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasimasalah-
masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.Frederickson (1971)
menegaskan bahwa administrasi publik harus memasukkanaspek pemerataandan keadilan sosial (social
equity) ke dalam konsep administrasi, sehinggaadministrasi publik tidak dapat netral. Dengan begitu
administrasi publik baru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial.
Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkanlahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.

Reformasi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di 5


Indonesia
Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh
masyarakat, hendaknya jangan dilakukari'oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau
kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi
tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne dan Gaebler (1993) mencoba "menemukan kembali
pemerintah", dengan mengetengahkan konsep entrepreneurial government. Memasuki dasawarsa 1980-an
tampil manajemen publik (public management) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasi
negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian pada masalah anggaran dan
personil telah berkembang bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen
dalam sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan pengawasan, serta
berbagai aspek lainnya.
Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalam administrasi publik di Inggris dan
beberapa negara lainnya, dan kemudian juga di Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep "New
Public Management" (NPM); pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991) beserta rekan-rekannya.
Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah
dan swasta dalam penyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publik menjadi motif
ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publ ik seperti yang diberikan dalam usaha swasta. N PM
menekankan performance sebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan
di lingkungan swasta ke lingkungan publik. Dan yang cukup mendasar pula adalah didorongnya swasta
melakukan kegiatan yang sebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi dalam pemerintah. Konsekuensi dari
penerapan konsep tersebut adalah perlunya reformasi birokrasi secara kelembagaan.

Implikasi Pembaharuan Administrasi Publik dalam Praksis Pemerintahan di


Indonesia
Sejak tahun 1970-an di awal era pemerintahan Orde Baru, Indonesia mencoba merintis mempraktikkan
adrninistrasi publik. Perkembangan kajian Administrasi Negara (atau Administrasi Publik) terkait erat dengan
paradigma pembangunan yang saat itu mulai diterapkan di Indonesia. Maka pada periode awal tahun 1970-
an dikembangkan konsep administrasi publik yang dikenal dengan Administrasi Pembangunan. Padahal,
terdapat perbedaan antara kedua konsep ini. Bintoro Tjokroamidjojo dalam bukunya Pengantar Administrasi
Pembangunan, mengemukakan bahwa administrasi pembangunan mempunyai ciri-ciri yang lebih maju
daripada administrasi negara. Perbedaan antara administrasi pembangunan dan administrasi negara diuraikan
pada tabel 1.
Pembedaan ciri yang dikemukakan di atas menimbulkan kesan seolah-olah administrasi publik tidak
menaruh perhatian pada pembaharuan yang dinamis, dan hanya melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan rutin
yang statis dan sempit. Padahal, sebagaimana perkembangan konsepsi yang berlangsung di Amerika Serikat,
jelas bahwa administrasi publik memiliki dinamika perkembangan tersendiri yang adaptif terhadap tuntutan
perubahan sosial dan isu-isu baru di masyarakat.
Ilmu administrasi publik secara sensitif harus mampu menanggapl isu-isu pokok dalam masyarakat
dan mampu memformulasikan ke dalam suatu rumusan kebijakan yang implementatif. Di masa mendatang,
perlu dicari alternatif pendekatan yang dapat mengadaptasikan antara isu-isu administrasi dan isu-isu politik
(pemerintahan) karena ilmu administrasi publik baru tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan ilmu-ilmu lain,
khususnya ilmu politik sebagai salahsatu induk ilmu administrasi publik. Dikotomi administrasi publik dan
politik sudah tidak relevan lagi karena paradigma administrasi negara baru menekankan bahwa administrasi
negara bukanlah administrasi dari negara, melainkan administrasi untuk kepentingan masyarakat banyak
(Caiden, 1982).

8 Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi Birokrasi dan E-


Governance
Pelembagaan kemampuan administrasi untuk mencapai tujuan bersama atau kolektif adalah pilar
fundamental dari administrasi publik ~aru. Administrasi publik menunjukkan pelaksanaan dari kebijakan
kebijakan yang dibuat pihak otoritas, pengorganlsasian mesin paksaan untuk konformitas masyarakat, dan
menunjukkan adanya tata hubungan antara masyarakat dengan pejabat-pejabat negara terpilih untuk
melanjutkan pelaksanaan tujuan-tujuan bersama, termasuk pula organisasi public affairs, tujuan-tujuan sosial,
dan pengambilan keputusan kolektif, manajemen dari lembaga-Iembaga negara, instansi-instansi pemerintah
dan kekayaan pemerintah, berikut proses kegiatan adrninistrasi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah,
yang meliputi sikap perilaku dan tindakan-tindakannya (Thoha, 2005).

Tabel 1 Perbandingan Administrasi Pembangunan dan Administrasi Negara


--
No. Administrasi Pembangunan Administrasi Negara
1. Memberikan perhatian terhadap lingkungan rna- Terkait pada lingkungan masyarakat negara yang
syarakat yang berbeda-beda, terutama masyarakat sudah maju
negara yang baru berkembang
2. Berperan aktif dan berkepentingan terhadap tu- Tidak jelas peranannya, bahkan ada yang berang-
juan-tujuan pembangunan, baik dalam perumusan gapan netral terhadap tujuan-tujuan pembangun-
maupun dalam pelaksanaan kebijakan an.
3. Berorientasi pada usaha-usaha yang mendorong Lebih menekankan pada pelaksanaan yang lebih
perubahan-perubahan ke arah yang dianggap le- tertib/efisien dari unit-unit kegiatan pemerintah
bih baik untuk suatu masyarakat di masa depan pada waktu kini
4. Berorientasi masa depan Berorientasi masa kini
5. Berfokus pada pelaksanaan tugas-tugas pembangun- Menekankan pada tugas-tugas umum (rutin)
an
6. Admin istrator berperan sebagai penggerak perubah- Administrator berperan hanya sebagai pelaksana
an
7; Lebih berpendekatan pada lingkungan, berorienta- Lebih berpendekatan legalistis
si pada kegiatan, dan bersifat pemecahan masalah

Sumber:Tjokroamidjojo, 1978: 9 - 10.

Perubahan ruang lingkup kajian administrasi publik inilah yang perlu segera disikapi oleh para akademisi
dan praktisi administrasi publik. Kedua pihak ini saling terkait karena dalam kajian akademik tidak mungkin
dilepaskan dari kebutuhan praktik dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dinamika perkembangan suatu ilmu akan
sangat ditentukan dari kemampuannya untuk menjawab berbagai persoalan dalam kehidupan nyata, karena itu,
dialog antara akademisi dan praktisi dipertukan untuk menjembatani perkembangan kajian administrasi publik
agar dapat diimplementasikan sebagai upaya pemecahan masalah (problem solver) bagi isu-isu administrasi
publik yang berkembang dewasa ini, khususnya di Indonesia.
Perubahan sosial yang fundamental menyebabkan lahirnya tuntutan dan tekanan baru. Kebutuhan akan
demokratisasi pemerintahan dan administrasi, menyebabkan beban aparatur pemerintah bertambah besar,
dan mau tidak mau adaptabilitas menjadi sangat penting dan menjadi kebutuhan. Semua perubahan dan
transformasi ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara nilai lama dan baru, antara nilai yang tradisional
dan yang modern. Tekanan dan pertentangan ini tidak hanya terbatas pada tubuh birokrasi, melainkan juga di
kalangan masyarakat.
Sejak tahun 1980-an, menurut Drajat Tri Kartono (2006), suatu gerakan reformasi global telah dimulai.
Gerakan ini didorong oleh 4 (empat) variabel besar, yakni:

Reformasi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di 7


Indonesia
1. Politik: keunggulan demokrasi dan kekuatan publik serta keunggulan sistem pasar menimbulkan tekanan
politik di berbagai negara di dunia untuk melakukan transformasi peran pemerintah untuk mengurangi
peran dan fungsinya. Langkah ini kemudiarr dilkuti dengan tuntutan untuk mengakui dan meningkatkan
peran civil society dan membangun kepercayaan publik kepada lembaga-Iembaga pemerintah.
2. Sosial: beberapa negara di dunia telah mengalami perubahan sosial yang mendasar, yaitu melakukan
rekonstruksi ulang terhadap tatanan hukum, ekonomi, sosial, dan politik ditandai pula oleh adanya
perubahan mendasar dari rnasyarakat industri kepada masyarakat informasi. Perubahan ini menuntut juga
perubahan pada pemerintahan di seluruh negara di dunia.
3. Ekonomi: krisis ekonomi pada tahun 1990-an di berbagai negara di dunia melakukan reformasi di bidang
perpajakan untuk menarik investor masuk, dan juga melakukan langkah-Iangkah privatisasi sebagai respon
terhadap tekanan ekonomi.
4. Institusional: semua negara di dunia telah menjadi bagian dari sistem ekonomi dan politik global. Kondisi
ini ditandai dengan semakin berkembangnya kelembagaan di luar negara, seperti World Bank, IMF, WTO,
ADB yang mengatur globalisasi dunia. Di tingkat nasional dan lokal juga semakin banyak LSM.
Keempattekanan di atas telah mendorong gerakan reformasi administrasi publik dengan 6 (enam) sifat
pokok, yakni: (1) produktivitas, dalam arti bagaimana pemerintah dapat menghasilkan pelayanan lebih banyak
dengan pajak lebih kecil; (2) pemasaran, mengatur bagaimana pemerintah dapat menggunakan insentif gaya
pemasaran untuk mencabut kelarnbanan perkembangan parologi birokrasi. Beberapa pemerintah, misalnya,
melakukan privatisasi; (3) orientasi pada pelayanan, yakni bagaimana pemerintah membangun kepercayaan
warga negara dengan memberikan pelayanan yang didesain dari kebutuhan warga negara; (4) desentralisasi,
yakni bagaimana pemerintah membuat program lebih responsif dan efektif dengan mengurangi sebanyak
mungkin jarak antara pemerintah dengan warga negara dan mendesentralisasikan sebanyak mungkin tanggung
jawab kepada pemerintah daerah dan manajer lini pelayanan; (5) kebijakan; menyangkut peningkatan kapasitas
pemerintah dalam mendayagunakan kebijakan; serta (6) akuntabilitas, untuk mendorong pemerintah agar lebih
mementingkan output dan outcome daripada proses atau struktur dan merubah pendekatan top-down menjadi
bottom-up dan ruled-based menjadi result-based.
Keenam sifat pokok ini tercermin dari isu-isu atau permasalahan penting yang sering dibahas dalam
reformasi administrasi publik antara lain:
1. Pelayanan publik
Administrasi publik sebagai proses administration for public, pada hakekatnya adalah memberi pelayanan
publik. Hal ini sejalan dengan demokrasi yang mana masyarakat mempunyai hak yang sama untuk
menerima pelayanan dari pemerintah. Dalam masalah ini yang terpenting adalah bagaimana pemerintahl
negara memberikan pelayanan yang baik, cepat dan berkualitas kepada seluruh warga masyarakat.
2. Motivasi Pelayanan Publik
Dalam masalah ini isu terpenting adalah membahas motivasi seperti apa yang dimiliki oleh administrator
dalam memberikan pelayanan publik. Ada yang berdasarkan norma, rasional dan perasaan.
3. Maladministrasi
Maladministrasi merupakan kesalahan dalam praktik administrasi. Pembahasan teori administrasi publik
juga akan membahas masalah kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kajian utama, seperti lambannya
. birokrasi, rutinitas dan formalitas pelayanan.
4. Etika Administrasi Publik
Masalah penting lainnya dalam administrasi publik adalah etika administrasi. Dalam hal ini yang menjadi
sorotan adalah nilai baik dan buruk. Apakah pelayanan atau prosedur administrasi publik dinilai baik atau
buruk oleh masyarakat. Dalam hal ini termasuk korupsi menjadi bahasan utama.

1 Revitalisasi Administrasi Negara: Re!ormasi Birokrasi dan E-


0 Governance
5. Kinerja dan Efektivitas ~
Seringkali masalah kinerja dan efektivitas menjadi isu sentral dari adrninistrasi publik. Hal tersebut dipahami
karena administrasi sebagai proses mencapai tujuan, maka persoalan pencapaian dan dan cara mencapai
tersebut menjadi penting. Oleh karena itu bagaimana cara kerja (kinerja) yang dijalankan apakah sudah
baik sehingga tujuan dapat tercapai (efektif).
6. Akuntabilitas Publik
Administrasi publik yang dijalankan oleh pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan kepada selu
ruh warga. Ada kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dapat dikontrol, diawasi dan dipertanggung
jawabkan kepada warga/publik. Hal tersebut merupakan masalah pokoknya.
Dengan latar belakang dan kondisi demikian, maka kebutuhan akan perubahan dan adaptasi aparatur
pemerintah sangatlah mendesak, walaupun masalah yang mengitarinya terlalu kompleks dan rumit. Sebagai
konsekuensi logisnya, maka reformasi administrasi publik di negara sedang berkembang menjadi keharusan dan
menjadi perhatian utama pemerintah negara sedang berkembang, termasuk pemerintahan daerah di Indonesia.
Reformasi administrasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan di negara berkembang,
terlepas dari tingkat perkembangan, arah, dan tujuannya. Semata hanya karena kemampuan administratif
dipandang semakin penting artinya bagi terlaksananya kebijakan dan rencana pembangunan.
Penyempurnaan kemampuan administratif, meliputi usaha-usaha untuk mengatasi masalah lingkungan,
perubahan struktural, dan institusi tradisional atau perubahan tingkah laku individu dan atau kelompok, ataupun
kombinasi dari keduanya. Istilah reformasi administrasi mengandung begitu banyak makna, mempunyai fungsi
yang beragam, sehingga sebenarnya tidak ada definisi yang dapat diterima secara umum.
Dror (1971), mengatakan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan yang terencana terhadap
aspek utama administrasi. Sedangkan Caiden (1986) mendefinisikan reformasi administrasi sebagai the artificial
inducement of administrative transformation againts resistance. Artinya, reformasi administrasi merupakan
kegiatan yang dibuat oleh manusia, tidak bersifat insidental, otomatis maupun alamiah; ia merupakan
suatu proses yang beriringan dengan proses reformasi administrasi. Caiden juga dengan tegas membedakan
antara administrative reform dan administrative change. Perubahan administrasi bermakna sebagai respons
keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap fluktuasi atau perubahan kondisi. Lebih lanjut dikatakan bahwa
munculnya kebutuhan akan reformasi administrasi sebagai akibat dari adanya perubahan administrasi. Tidak
berfungsinya perubahan administrasi yang alamiah ini menyebabkan diperlukannya reformasi administrasi.
Mosher dalam Caiden (1968) menyebut bahwa isi reformasi administrasi adalah reorganisasi administrasi,
bahkan dia menyamakan antara keduanya. Reorganisasi administrasi itu hanya salah satu isi dari reformasi
administrasi, yang sering disebut sebagai aspek institusional (kelembagaan) reformasi administrasi. Aspek lain
dari reformasi administrasi adalah perubahan sikap, perilaku, dan nilai orang-orang yang terlibat dalam proses
reformasi administrasi. Aspek inilah yang sering disebut sebagi aspek perilaku. Dengan kata lain, isi reformasi
administrasi meliputi aspek institusional atau kelembagaan dan aspek perilaku.
Reformasi administrasi bertujuan juga mengupayakan agar individu, kelompok dan institusi, dapat
mencapai tujuan lebih efektif, ekonomis, dan lebih cepat. Dengan kata lain, reformasi administrasi publik adalah
meningkatkan performance. Kinerja yang dimaksud merupakan kinerja individu, kelompok, dan institusi. Ini
berarti di samping aspek perilaku, juga aspek kelembagaan yang tercakup dalam reformasi administrasi. Dror
(1971 :23), melihat tujuan reformasi itu berorientasi jamak dengan mengklasifikasikan tujuan reformasi itu ke
dalam enam kelompok, tiga bersifat intra-administrasi yang ditujukan menyempurnakan administrasi internal,
mel iputi: (1) efisiensi administrasi, dalam arti hemat biaya, yang dapat dicapai melal ui penyederhanaan formul ir,
perubahan prosedur, penghilangan duplikasi, dan kegiatan organisasi metode yang lain; (2) penghapusan
kelemahan administrasi, seperti korupsi, pilih kasih dalam sistem politik; (3) pengenalan dan penerapan
sistem merit, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan
ilmiah, dll. Sedangkan tiga lagi berkenaan dengan peran masyarakat di dalam sistem administrasi, meliputi:

Reformasi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di


Indonesia
1) menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat; (2) mengubah pembagian
pekerjaan antara sistem administrasi darfsistem politik, seperti meningkatkan otonomi profesional dari sistem
administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan; dan (3) mengubah hubungan antara
istem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan (desentralisasil.r
Berdasarkan konsep-konsep tersebut, reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan fe~ncana
untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional); dan sikap dan' perilaku
birokrat (aspek perilaku), guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan
menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional. Reformasi administrasi menurut Dror (1971: 19}r secara
tegas mengesampingkan perubahan organisasi dan prosedur administrasi yang minor dan berkonsentrasi pada
perubahan-perubahan yang utama atau dasar saja, sehingga reformasi administrasi itu akan efektif apabila juga
didesain dengan tepat, yakni dengan mempertimbangkan dan melibatkan lingkungan di mana reformasi itu
dilaksanakan. Reformasi administrasi dipandang sebagai bagian dari reformasi masyarakat, sebab birokrasi dan
organisasi pemerintah merupakan bagian dari dan berkaitan erat dengan sistem politik, sosial, ekonomtdan .
sebagainya. .

Dengan demikian, reformasi administrasi mencakup perubahan yang menyusup ke seluruh jari'ngan
birokrasi sebab birokrasi daerah dianggap sebagai satu kesatuan, sehingga reformasi administrasi publik perlu
diimbangi dengan pembenahan pada struktur dan kultur birokrasi sebagai orang-orang yang nantinya akan.
menjalankan reformasi administrasi publik.

Reformasi Birokrasi dan Penguatan Kapasitas Negara


Birokrasi pada dasarnya rnerupakan suatu bentuk organisasi modern yang dibentuk karena sekelcmpok
orang berusaha mencapai tujuan bersama. Pada awal kemunculannya, birokrasi bersifat netral, bahkan Max .
Weber sebagai pencetus konsep birokrasi sendiri mengharapkan birokrasi dapat menjadi organisasi moderen
yang ideal. Dalam tipe ideal birokrasi yang dikemukakan Weber, birokrasi dicirikan dengan karakteristik
impersonal, obyektif, memiliki sejumlah hirarki, dan sebagainya. Namun, pada praktiknya, ternyata tipe ideal
tersebut sulit untuk dicapai. Alih-alih semakin profesional dan impersonal, birokrasi justru mengalami patologi.
Hirarki dalam struktur birokrasi justru menjadi sumber penyakit yang menyebabkan kinerja birokrasi menjadi
lambat dan berbelit-belit. Hubungan kerja yang seharusnya bersifat impersonal, pada praktiknya justru menjadi
sangat personal. Faktor-faktor primordial, seperti etnisitas, agama, gender, bahkan hubungan kekerabatan dan
pertemanan lebih banyak mempengaruhi kinerja birokrasi. Akibatnya, birokrasi yang diharapkan mampu
menjadi organisasi modern yang bekerja profesional untuk mencapai tujuan bersama, justru rnenjadi organisasi
yang menghambat pencapaian tujuan bersama.
Mentalitas pasif dan budaya menunggu sebagai hirarki yang sudah melekat lama dan hidup menjadi
sebuah tatanan yang tak terhindarkan dan selalu terulang di lingkungan birokrasi Indonesia, kemuadian menjadi
melembaga dan berlangsung secara kolektif. Korelasi budaya ini seolah menjadi justifikasi ketika birokrasi
terpusat (sentralistik) menjadi salahsatu kesalahan sistem birokratisasi oleh pemerintah, sentralistik birokrasi
dijadikan sebuah alasan pembenar pada saat terjadinya mismekanisme atau unsystem beuracratic.
David Osborne dan Peter Plastrik mengungkapkan bahwa sistem birokrasi menggunakan spesifikasi
yang rinci, unit-unit fungsional, aturan prosedur, dan uraian pekerjaan untuk membentuk hal-hal yang harus
dikerjakan pegawai. Spesifikasi itu membuat inisiatif menjadi beresiko. Apabila pegawai terbiasa dengan
kondisi seperti ini, akibatnya mereka menjadi pembawa budaya itu. Mereka menjadi reaktif, menggantungkan
diri, takut mengambil inisiatif sendiri, dengan cara demikian, DNA birokrasi menciptakan budaya takut,
menyalahkan dan sikap defensif (Peter, 1986: 32).
Permasalahan yang dihadapi birokrasi sesungguhnya sangat kompleks. Kondisi ini tidak hanya dialami
di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Amerika Serikat sekalipun pernah mengalami politisasi birokrasi,

12 Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi Birokrasi dan E-


Governance
sehingga alih-alih menjadi organisasi yan~ netral dan profesional, birokrasi ketika itu justru menjadi mesin
politik yang sangat berpengaruh. Hal ini harnpir sama dengan yang terjadi di Indonesia pascareformasi. Setelah
sekian lama menjadi alat politik penguasa, diperlukan penataan ulang kerangka berpikir (mindset) di kalangan
aparat birokrasi untuk mengarahkan pembaharuan birokrasi ke arah yang lebih profesional.
Upaya reformasi birokrasi tidak dapat dilepaskan dari dimensi politik, administrasi, hukum, dan
keuangan negara karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi birokrasi Indonesia pun saling berkaitan
dengan dimensi-dimensi tersebut. Setelah reformasi sampai kini problematika birokrasi masih dihadapkan
oleh persoalan membangun dan merancang model dan arah pembenahan birokrasi Indonesia, birokratisasi
sepenuhnya belum terlepas dari suatu korelatif politik dan kekuasaan, kemenangan oleh partai politik dalam
proses pemilihan umum justru masih melestarikan model-model lama birokrasi Indonesia yang juga dilakukan
oleh patron ketua-ketua partai pemenang pemilu.
Birokrasi di negara berkembang, termasuk Indonesia, cenderung patrimonialistik, yakni bersifat
tidak efisien, tidak efektif (over consuming and under production), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika
berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat
rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan
represif (lslamy,1998:8). Akibatnya nyaris semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan
non karier, antara jabatan birokrasi dan jabatan politik (Thoha, 2002). Hal ini juga berkaitan dengan kondisi
mental, sikap dan perilaku politik yang belum mampu berubah, maka birokrasi akan selalu mengulang-ulang
warisan dan pemerintahan yang lama .. '
Liberasi demokrasi menuntut birokrasi pemerintahan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah '..
yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam peniilihan, sehingga
birokrasi pemerintah bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu
yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, '1994; Thoha, 2002). Untuk itu perlu restrukturisasi dan reposisi
perubahan kelembagaan birokrasi pemeriritah pusat maupun daerah dengan mengubah mindset para pemimpin
partai dan sistem politik, sehingga terjadinya hubungan paralel sebagai fungsi kontrol dan dominasi antara
pejabat politik dan pejabat birokrasi. Pada posisi demikian yang harus mampu diartikulasikan oleh pejabat
birokrasi yakni profesionalisme dan kekuatan (kompetensi), untuk mengimbangi kepentingan dan kekuatan
pejabat politik dalam kontekstual sinergisme birokrasi.
Kedudukan birokrasi tidak lagi sebagai subordinat dan mesin pelaksana, dengan kata lain birokrasi bukan
merupakan partisan politik, tetapi memiliki kemampuan lebih karena keahliannya serta memilki kekuatan
untuk membuat kebijakan yang profesional yang dihormati serta dilaksnakan oleh elemen jajaran di bawahnya.
Kontekstualisasi penyelenggaraan birokrasi pada akhirnya tidak terlepas dari konteks kepemimpinan .dan
pengorganisasian, manakala hirarki birokratisasi tldak dibangunoleh faktor kepemimpinan dan organisasi yang
kuat dan profesional, maka proses pelayanan publik tidak akan mungkin dapat dilakukan dengan baik dan
proporsional, sedangkan tuntutan dalam menjalankan mekanisme pelayanan juga sangat bergantung kepada
sistem yang terbangun dari kepemimpinan dan pengorganisasian yang mampu dijabarkan dalam tatanan
birokrasi secara faktual dan realistis.
Pada awalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis dianggap lebih dapat mewujudkan
efektivitas dan efisiensi dalam upaya mencapai kesejahteraan. Apalagi, dalam paradigma pembangunan yang
menitikberatkan pada modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, peran pemerintah sebagai aktor utama dan
mengarahkan proses pembangunan mensyaratkan sentralisasi dalam kewenangan agar peran pemerintah
tersebut dapat diterapkan dengan efektif. Namun, kewenangan yang serba terpusat ternyata memunculkan efek
negatif yang menyebabkan praktik kekuasaan menjadi otoriter. Oi sisi lain, semakin pesatnya perubahan sosial
menyebabkan kapasitas pemerintah mulai' menurun (Mardiasmo, 2002; Fukuyama, 2005). Sentralisasi dalam
penyelenggaraan pembangunan ternyata tidak sepenuhnya mampu mewujudkan pemerataan dan keadilan
bagi mayoritas warga rnasyarakat untuk rnendapat akses yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi yang

Rejormasi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di 11


Indonesia
- zzoai. Kesenjangan yang terjadi memunculkan ketidakpuasan pada berbagai kalangan, terutama kelornpok
pok masyarakat yang terrnarginalkan akibat kebijakan pembangunan yang serba terpusat.
, '
Pada dekade 1980-an, sebagai reaksi terhadap peran negara yang meluas, baik di negara-negara maju
_oun di negara-negara sedang berkembang, kaum liberal menawarkan alternatif deregulasi, debirokratisasi,
-- privatisasi sebagai bagian dari upaya mereformasi birokrasi. Alternatif tersebut diyakini dapat menjadi
= ggerak perubahan ekonomi, karena dengan memangkas intervensi ekonomi negara ke tingkat yang
- -'mal, maka pasar dapat bergerak lebih leluasa untuk melakukan berbagai aktivitas ekonomi. Dalam
rapa hal, alternatif tersebut membawa hasil-hasil yang menggembirakan, seperti pertumbuhan ekonomi,
::: gurangan kemiskinan, dan integrasi pasar (Fukuyama, 2005). Namun, dalam beberapa hal lain, peran
-egara yang berkurang dalam ekonomi juga terkait dengan penurunan kapasitas negara untuk melakukan
- --inya memang diperlukan untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal inilah
_""'gkemudian memunculkan fenomena kegagalan negara (Rotberg, 2004; Chomsky, 2006; Stewart, 2007).
Kegagalan negara (failed state) adalah salah satu fenomena negara yang memiliki kapasitas governability
ah. Biasanya ditandai dengan kapasitas negara yang rendah dalam menyediakan public goods. Kewajiban
-2'gara untuk memenuhi kebutuhan public goods terdelegasikan secara terpisah-pisah. Negara justru
erahkan fungsi mereka sebagai penyedia barang-barang publik kepada kelompok-kelompok tertentu
-_ i kepentingan sepihak. Keamanan hanya tersedia di kota-kota utarna, infrastruktur ekonomi jatuh, sistem
_ 3d. vatan kesehatan mengalami penurunan dan sistem pendidikan berada dalam ketldakjelasan. Failed states
:::zsanya mempunyai 'kau';n rnfhoritas kaya raya yang selalu mengarnbil. keuntungan dari failed system yang

Ciri-ciri failed state antara lain: (1) Selalu diwarnai dengan adanya disharmoni antar komunitas; tidak
menyediakan barang politik "keamanan" -yang rnerupakan barang politik yang paling utama- kepada
- ruh domain mereka. Negara gagal menciptakan atmosfir keamanan di seluruh wilayah nasional. (2) Negara
:"3 bisa menjamin keamanan pada ibukota negara saja. (3) Memiliki institusi yang lemah, hanya institusi
- sekutif yang berfungsi sedangkan keberadaan legislatif tidak lebih dari tukang stempel semata. (4) Tidak
,- - debat-debat yang demokratis di ranah publik. (5) Lembaga yudikatif tidak independen dan lebih sekedar
jangtanganan eksekutif. Masyrakat pun tidak mendapatkan keadilan di sistern pengadilan, apalagi bila
adapan dengan negara. (6) Birokrasi dalam waktu yang sudah cukup lama kehilangan tanggungjawab
fesionalitas mereka. Mereka hanya mementingkan kepentingan eksekutif semata dan dengan cara yang hal
us
+eaekan warganya. (7) Militer masih memungkinkan menjadi satu-satunya institusi yang memiliki integritas,
-:-lun punya kecenderungan terpolitisasi secara kuat (highly politized). Aparat keamanan cenderung menjadi
- _ ra dalam negara (state within a state) (8) Menyediakan kesempatan ekonomi yang tidak pararel hanya bagi
C'~litir orang yang punya hak privilege. (9) Tanggung jawab negara untuk memaksimlisasikan kesejahteraan
-=-ganya sama sekali tidak ada. (10) Korupsi menggurita dengan skala yang sangat luas. (11) Pada beberapa
-::- s, chaos ekonomi yang dikombinasikan dengan bencana kemudian menimbulkan adanya bencana
- gkaan makanan dan keleparan yang meluas. (12) Negara kehilangan legitimasi dasar mereka di saat batas
"'. ah mereka menjadi tidak relevan lagi dan sekelornpok kekuatan mencoba menggalang kekuatan. (13)
zrga justru semakin menguat loyalitas komunitasnya dan rnenjadikannya sebagai surnber keamanan dan
.2SEfl1patanekonomi. Seiring dengan fenomena tersebut berakibat legitimasi negara makin melemah di mata
-:ganya. Alih-alih menjadi makin profesional, peran negara yang berkurang justru menyebabkan negara
_- in lemah, sehingga memunculkan pemikiran baru untuk memperkuat negara (Fukuyama, 2005).
Suatu negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang
- '" irkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang
.:- ehihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Negara
uat adalah negara yang mampu menyediakan barang-barang publik yang diperlukan warganya, sekaligus
memberikan jaminan keamanan, ketertiban, dan kebebasan. Perdebatan yang kemudian muncul terkait

asi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di Indonesia 3


..
dengan upaya memperkuat negara adalah sejauhmana lingkup peran dan kapasitas negara yang diperlukan
untuk mewujudkan negara yang kuat terse~ut.

Baik negara yang kuat maupun yang lemah memiliki cakupan peranan yang berbeda, dan tidak otomatis
berhubungan. Cakupan itu ditentukan dari seberapa jauh negara tersebut melakukan atau tidak melakukan
kegiatan publik tertentu, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, memungut pajak, melakukan
intervensi dan regulasi ekonorni, membangun infrastruktur, dan semacamnya (World Bank, 1997). Ditinjau
dari cakupan peranannya, dibedakan antara negara minimal dan negara intervensionis. Negara minimal adalah
negara yang hanya membatasi cakupan kegiatannya pada hal-hal yang bersifat elementer, seperti pembentukan
sistem pertahanan dan peradilan, penyediaan sarana infrastruktur dan pencetakan mata uang. Sebaliknya,
negara yang intervensionis ditandai oleh cakupan kegiatan yang ekspansif dan ambisius, seperti pemilikan
unit-unit bisnis, penguasaan dan pengelolaan langsung sumber-sumber ekonomi, penjaminan asuransi sosial,
penciptaan regulasi yang berlebihan atas segala kegiatan masyarakat, dan sebagainya.
Cakupan perar\ negara yang luas tidak secara otomatis menyebabkan suatu negara menjadi kuat. Negara
yang kuat ditandai oleh kapasitasnya untuk menggunakan kewenangan yang dimilikinya dalam mengelola
sumber daya dan menyediakan barang-barang publik. Legitimasi bagi negara yang kuat diperoleh melalui
profesionalisme kinerjanya di mata publik. Karena itu, upaya untuk mewujudkan negara yang kuat yang mampu
memberikan kinerja yang berkualitas, memerlukan birokrasi yang profesional pula.
Reformasi bi rokrasi merupakari pe'rul:)ahan (transformasi) yang terencana, yang berfokus pada perubahan
kelembagaan yang berdampak pada perubahan ketatalaksanaan dan kultur birokrasi. l.ingkup birokrasi yang
dimaksud adalah institusi pelaksana fungsi pemerintahan di bidang eksekutif, baik di level nasional maupun
daerah. Reformasi birokrasi di Indonesia dimaknai sebagai media untuk melakukan pendefinisian ulang peran
pemerintah. Peran pemerintah yang ingin dicapai melalui reformasi birokrasi adalah peran pemerintah yang
moderat, dalam arti bukan minimal state yang lingkup fungsinya terbatas dan menyerahkan pada mekanisme
pasar dalam penyediaan barang-barang publik (public goods) dan pelayanan publik; serta bukan pula
intervensionist state dengan peran pemerintah yang sangat luas dalam hampir seluruh bidang kehidupan.
Peran pemerintah yang moderat adalah terwujudnya pemerintahan yang mampu:
1. Menjamin ketersediaan pelayanan dasar secara berkualitas dan dapat diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat;
2. Memberikan perlindungan dari ancaman dan gangguan internal maupun eksternal;
3. Menjamin keadilan dalam dinamika ekonomi dan persaingan usaha;
4. Menjamin keberlanjutan peningkatan taraf hidup masyarakat dengan memperhatikan aspek-aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Keempat peran tersebut rnerupakan pemaknaan kembali terhadap tujuan negara sebagaimana termuat
dalam Pembukaan UUD 1945, yangdisesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Untuk melaksanakan
peran tersebut, maka reformasi birokrasi menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintah
sehingga negara c.q. pemerintah memiliki otoritas yang efektif dan terlembaga dalam:
1. Merumuskan dan melaksanakan berbagai kebijakan untuk menjabarkan peran tersebut;
2. Menyelenggarakan administrasi publik secara efisien dengan ukuran birokrasi yang proporsional;
3. Mengontrol potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan;
4. Memelihara tingkat transparansi dan pertanggungjawaban yang tinggi di lembaga-Iembaga pemerintah;
serta
5. Menegakan hukum dengan adil dan tanpa diskriminasi.
Dengan demikian, reformasi birokrasi menjadi strategi untuk mewujudkan profil birokrasi yang memiliki
kapasitas yang kuat untuk melaksanakan peran tersebut. Reforrnasi birokrasi difokuskan untuk menghasilkan
profil kelembagaan (organisasi) yang efektif, ketatalaksanaan (business process) yang ringkas, dan sumber daya

1 Revitalisasi Administrasi Negara: Refortnasi Birokrasi dan E-


4 Governance
manusia yang profesional. Dari sisi kelembagaan (organisasi), reformasi birokrasi diharapkan menghasilkan
kelembagaan (struktur organisasi) yang ramping dan flat, tidak banyak jenjang hirarkis dan struktur organisasi
lebih dominan diisi pemegang jabatan profesi/turtgsional daripada jabatan struktural. Dari sisi ketatalaksanaan
(business process), reformasi birokrasi diharapkan menghasilkan ketatalaksanaan yang ringkas, simpel, mudah
dan akurat melalui optimalisasi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, serta memiliki kantor, sarana
dan prasarana kerja yang memadai. Penyempurnaan ketatalaksanaan diarahkan untuk menghasilkan proses
bisnis yang akuntabel dan transparan, serta mempunyai kinerja yang cepat dan ringkas. 5ementara itu, dari
aspek sumber daya manusia, reformasi birokrasi diharapkan akan menghasilkan sumber daya manusia P 5
yang bersih (bebas dari KKN), sesuai dengan kebutuhan organisasi baik dari segi kuantitas maupun kualitas
(profesional, kompeten, beretika, berkinerja tinggi, dan sejahtera).
Realisasi dari gagasan tersebut dijabarkan dalam program jangka panjang reformasi birokrasi selama
20 tahun, yang diawali dengan program percepatan untuk segera memulihkan kembali kepercayaan publik
kepada pemerintah. 5ecara rinci, strategi reformasi birokrasi untuk memperkuat kapasitas negara tersebut
adalah sebagai berikut':

1. Tahapan Pertama (2005-2010)


Periode ini merupakan tahapan persiapan atau pengkondisian. Hal tersebut penting dilakukan mengingat
setiap perubahan perlu dilakukan langkah-Iangkah persiapan agar rancangan dan implementasinya sesuai
dengan yang diharapkan.
Periode pertama dilakukan untuk memberikan basis persiapan bagi perubahan birokrasi selama periode
berikutnya. Aktivitas pembenahan yang akan dilakukan melingkupi: a) pemetaan kondisi eksisting birokrasi
Indonesia, di tingkat nasional maupun daerah, baik dari sisi kelembagaan, ketatalaksanaan, maupun etika
birokrasi; dan b) anal isis kebutuhan (need assesment) pembenahan struktur dan prosedur birokrasi sesuai
dengan paradigma demokrasi dan desentralisasi. 5elain itu, dalam periode ini akan disusun pedoman umum
reformasi birokrasi sebagai panduan untuk melakukan pembenahan struktur, kinerja, dan kultur birokrasi di
tingkat nasional dan daerah. Penyusunan pedoman umum perlu dilakukan guna memetakan kembali jenjang
dan tahapan reformasi birokrasi.
Rincian dari setiap aktivitas dalam periode ini, sebagai berikut:
a. Persiapan terdiri dari program:
1) Pemulihan kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas pelayanan dan pemberantasan korupsi.
2) Penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum reformasi kelembagaan
(organisasi), ketatalaksanaan (business proces), dan sumber daya manusia birokrasi, antara lain: UU
Kementerian Negara, UU Pelayanan Publik, UU Administrasi Pemerintahan, UU Etika Penyelenggara
Negara, UU Kepegawaian Negara, UU Tata Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, UU 5istem Pengawasan Nasional, serta UU Badan Layanan Umum, sebagai landasan hukum
untuk melaksanakan reformasi birokrasi.
3) Penyusunan Pedoman Umum Reformasi Birokrasi sebagai penjabaran dari Rancangan Induk Reformasi
Birokrasi.
4) Penetapan instansi-instansi yang menjadi pilot project reformasi birokrasi dengan kriteria: lembaga
yang mengelola keuangan (tidak seluruhnya tetapi yang rawan KKN); lembaga yang menangani
pemeriksaan keuangan dan penertiban aparatur; lembagalaparat penegakan hukum; dan lembaga
yang menangani pelayanan secara langsung kepada masyarakat. Pembentukan dan pengoperasian
Kantor Pelayanan Terpadu atau One Stop Service (055).
5) Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang pelayanan publik
berdasarkan on line system (e-government, e-office, e-procurement: e-bidding, e-auction, e-tendering,
e-selection, e-purchasing, dan e-catalog).

Rejormasi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di


Indonesia
6) Pembentukan Tim Kerja Reformasi B irokrasi dan Tim Teknis Reformasi Birokrasi di tingkat
~
nasional serta Tim Kerja Reformasi Birokrasi pada kementerlan/lernbaga/pernerintah daerah, dengan
didampingi
Tim Pakar/Konsultan.
7) Pembentukan Tim Independen untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi.
8) Penerapan sistem akuntansi standar bagi lembaga pemerintah (Standard Accounting System for
Governmental Agencies).
9) Evaluasi kinerja (performance review) melalui audit kinerja dan audit anggaran.
10) Penerapan sistem pengawasan terhadap harta kekayaan pejabat publik.
b. Penerapan road map reformasi birokrasi, terdiri dari kegiatan:
1) Sosialisasi kebijakan, visi, misi, dan orientasi baru birokrasi secara internal di kalangan instansi
pemerintah, pusat maupun daerah.
2) Sosialisasi dan membangun komitmen bersama seluruh stakeholders.
3) Penyiapan kuantitas dan kualitas surnber daya manusia aparatur dengan komposisi usia, tingkat
pendidikan, serta kompetensi struktural dan fungsional yang diperlukan.
4) Pengembangan data based kepegawaian yang terintegrasi dan tekomputerisasi, sehingga tersedia data
sumber daya ma~usia aparat birokrasi yang aktual dan valid.
5) Pelatihan mind setting dan pengembangan budaya organisasi profesional.

2. Tahapan Kedua (2011-2015)


Periode kedua ini merupakan masa untuk mengimplementasikan semua peraturan perundang-undangan
reformasi birokrasi. Rincian dari setiap aktivitas dalam periode ini sebagai berikut:
a. Pembenahan Kelembagaan (Organisasi), dilakukan melalui:
1) Penerapan skema desentral isasi kewenangan dalam rangka penataan struktur dan tata kerja
birokrasi.
2) Redefinisi peran dan lingkup kewenangan birokrasi pemerintah untuk menyesuaikan ruang lingkup
dan bentuk-bentuk intervensi pemerintah dengan kapasitas yang dimiliki, baik dari sisi kelembagaan,
sumber daya manusia, maupun pendanaan.
3) Reorganisasi struktur birokrasi di nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
b. Pembenahan Ketatalaksanaan (Business Process), dilakukan melalui:
1) Deregulasi dan penyederhanaan prosedur administratif.
2) Pengembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam administrasi pemerintahan dan pelayanan
publik.
3) Pengembangan indikator pengukuran kinerja melalui penerapan standarisasi kinerja yang terintegrasi
dengan sistem rernunerasi dan promosi jabatan.
4) Penerapan standar operasional prosedur dan standar ,pelayanan.
c. Pembenahan Surnber Daya Manusia Birokrasi, dilakukan melalui:
1) Pengernbangan konsep birokrasi yang netral untuk meminimalkan politisasi birokrasi.
2) Pembentukan assesment centre sebagai institusi yang berwenang rnenentukan kebutuhan pendidikan
dan pelatihan bagi pegawai, menguji tingkat kompetensi pegawai sebelum memangku suatu jabatan,
merekomendasikan kelayakan pegawai untuk mengikuti suatu pendidikan dan pelatihan, dan/atau
menduduki suatu jabatan.
3) Pengembangan mekanisme penunjang (reward and punishment), untuk memperkenalkan budaya
organisasi baru dalam tubuh birokrasi.
4) Pengembangan sistem rekrutmen sumber daya manusia birokrasi berbasis merit system dan kompetensi
sesuai dengan tuntutan persyaratan jabatan.

16 Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi Birokrasi dan E-Governance


5) Pelembagaan sistem uji kelayakan (fit and proper test) sebagai syarat utama bagi penempatan para
calon pejabat publik, vang dilakukan oleh tim independen dan bertanggungjawab serta bebas korupsi,
kolusi, dan nepotisme. ' '
6) Pengembangan insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja pegawai dalam jabatan
fungsional.
7) Pengembangan sistem karir yang menunjang kreativitas dan inovasi sumber daya manusia birokrasi,
antara lain melalui standar kompetensi, kebijakan minus growth, perencanaan dan pengembangan
karir, serta pengembangan jabatan fungsional.
8) Pengembangan sistem remunerasi yang sesuai dengan beban kerja dan prestasi sumber daya manusia
birokrasi.
9) Mengoptimalkan kewenangan lembaga pengawasan untuk menerapkan mekanisme reward and
punishment.
10) Mendorong fungsi pengawasan oleh masyarakat terhadap para pejabat publ ik dan sumber daya man usia
birokrasi, dengan membuka akses informasi terhadap penyelenggaraan administrasi pemerintahan.

3. Tahapan Ketiga (2016-2020)


Periode ini merupakan pemantapan pembenahan kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business
process), dan sumber daya manusia yang telah dilakukan pada tahapan sebelumnya. Tahapan ini berorientasi
pada pemberdayaan masyarakat agar mampu berperan sebagai mitra pemerintah dalam penyediaan barang
barang publik (public goods). Pemberdayaan masyarakat diimplementasikan melalui pengembangan kemitraan
antara pemerintah dengan pelaku usaha dan masyarakat (public-private partnership).
Rincian dari setiap aktivitas dalam periode ini terdiri dari:
a. Pembenahan kelembagaan (organisasi), dilakukan melalui:
1) Meninjau ulang fungsi utama lembaga-Iembaga pemerintah dan mengarahkan agar terfokus pada
tugas pokok dan fungsi (core business) dari lembaga yang bersangkutan.
2) Penerapan kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan peningkatan
kinerja di kalangan aparat birokrasi.
3) Perluasan peluang kemitraan (public-private partnersip) yang dilandasi oleh regulasi yang
komprehensif.
b. Pembenahan ketatalaksanaan (business process), dilakukan melalui:
1) Pengembangan skema dan mekanisme pelayanan berbasis kemitraan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik.
2) Pengembangan digital government.
c. Pembenahan sumber daya manusia, dilakukan melalui pelembagaan etika pemerintahan sebagai aturan
main dalam perilaku dan kinerja birokrasi yang profesional.

4. Tahapan Keempat (2021-2025)


Tahapan in i berfokus pada upaya pengembangan (development) kelembagaan (organ isasi),
ketatalaksanaan (business process), dan sumber daya manusia yang telah dilakukan pada peri ode-peri ode
sebelumnya. Tahap pengembangan menjadi penting untuk menjamin keberlanjutan dari upaya reformasi
birokrasi, sehingga tidak lagi tergantung pada figur pernirnpin politik tapi sudah menjadi suatu sistem.
Melalui tahap pengembangan ini, upaya reformasi birokrasi diharapkan menjadi suatu siklus yang bersifat
spiral, artinya pembaharuan dan penataan kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan
sumber daya manusia birokrasi akan terus-menerus dilakukan sebagai bagian dari pengembangan organisasi
pemerintahan.
Tahapan keempat dari reformasi birokrasi diisi oleh kegiatan-kegiatan yang menjamin kesinambungan
reformasi birokrasi sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Pada tahap ini,

Reformasi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di 17


Indonesia
..
dibentuk lembaga penjamin mutu yang berperan melakukan deteksi dini terhadap kecenderungan perubahan
lokal, regional, nasional maupun internasionll.

Indonesia telah memasuki era liberalisasi perdagangan dan globalisasi yang makin terbuka dalam seluruh
aspek kehidupan. Karena itu, kultur birokrasi harus diarahkan agar responsif terhadap konteks ini. Peran pelaku
usaha dan pasar akan makin tinggi, sehingga kompetisi dalam penyediaan pelayanan publik akan makin ketat.
Birokrasi pemerintah harus mampu menyediakan regulasi untuk mengatur kompetisi ini agar tidak merugikan
publik, terutama mereka yang tergolong marginal.
Rincian kegiatan dalam periode ini terdiri dari:
a. Pembenahan kelembagaan (organisasi), dilakukan melalui:
1) Pengembangan unit-unit penjaminan mutu di semua level organisasi pemerintah.
2) Pengembangan unit-unit manajemen integritas di semua level organisasi pemerintah.
b. Pembenahan ketatalaksanaan (business process), dilakukan melalui:
1) Penerapan siklus jaminan mutu dengan standar internasional.
2) Penerapan sistem benchmarking sebagai tolok ukur penilaian kinerja lembaga dan sumber daya
manusia birokrasi, sekaligus memperkecil kesenjangan antara sektor publik dan privat.
3) Pengembangan mekanisme audit publik sebagai bagian dari sistem pengawasan dan monitoring
kinerja birokrasi.
4) Pengembangan mekanisme partisipasi publik untuk mengontrol kinerja birokrasi, misalnya melalui
pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat secara berkala sebagai bagian dari masukan untuk
menerapkan reward and punishment bagi birokrasi.
c. Pembenahan sumber daya manusia, dilakukan melalui penyiapan kompetensi dan skill sumber daya
manusia birokrasi untuk menunjang peran sebagai fasilitator, mediator, dan regulator dalam kemitraan
dengan pelaku usaha dan masyarakat di era perdagangan bebas.

Penutup
Reformasi birokrasi bukan proses yang berlangsung di dalam ruang hampa, keberhasilan implementasi
nya bergantung kepada reformasi dalam sektor-sektor terkait lainnya, terutama sektor politik, hukum, ekonomi,
dan administrasi publik. Pembenahan sektor politik diperlukan untuk menjamin konsistensi dan keberlanjutan
komitmen politik dari para pengambil kebijakan. Pembenahan sektor hukum diperlukan untuk menyediakan
perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka reformasi birokrasi, terutama terkait dengan pemberantasan
KKN. Penegakan hukum juga menjadi kata kunci yang penting untuk menjamin agar terjadi perubahan kultur
birokrasi ke arah yang lebih profesional dan beretika. Sementara pembenahan dalam sektor perekonomian
diperlukan untuk menjamin agar reformasi birokrasi dalam jangka panjang didukung oleh kapasitas keuang
an yang memadai dan senantiasa terintegrasi dengan pembenahan dalam sistem anggaran, sehingga prinsip
efisiensi dapat dicapai. Perubahan-perubahan dalam berbagai dimensi tersebut mernerlukan pendekatan dan
dukungan sistem administrasi publik yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sum
ber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsis
tensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Reformasi birokrasi sebagai upaya transformasi atau perubahan yang direncanakan merupakan proses
yang berkelanjutan. Karena itu, setiap upaya yang telah dilakukan dalam setiap tahapan reformasi perlu
dievaluasi sehingga setiap kendala yang muncul dapat segera ditangani. Pentahapan reformasi birokrasi
merupakan panduan yang perlu dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan kondisi dan kebutuhan organisasi
pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Keberhasilan reformasi birokrasi ditentukan juga oleh kreativitas
dan inovasi dari setiap pelaksana. Selain itu, sharing pengalaman dan best practices juga diperlukan sebagai
media untuk mengembangkan praktik-praktik pengelolaan pemerintahan berbasis pengetahuan, sekaligus

18 Revitalisasi Administrasi Negara: Refortnasi Birokrasi dan E-Governance


untuk mempertahankan semangat reformasi birokrasi, hal tersebut tidak hanya di kalangan aparat birokrasi
pemerintah tapi juga dari seluruh stak~holders. Reformasi birokrasi harus mendorong praktik
pemerintahan yang semakin terbuka (transparan)yang melibatkah aktor di luar birokrasi pemerintah
sebagai stakeholders pemerintahan.Dengankata lain, reformasibirokrasi menjadi saranaperwujudan
paradigmabaru pemerintahan dari paradigmagovernment ke paradigmagovernance.

Daftar Pustaka
Albrow, Martin., (1987). "Menjalankan Pemerintahan melalui Biro-biro". Dalam H.G. Surie (ed). Ilmu
Administrasi Negara Suatu Bacaan Pengantar. Jakarta:PTGramedia.
Blau, Peter M. dan Marshal W. Meyer., (1987). Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Penerbit
UI Press.
Caiden, Gerald E., (1982). Public Administration, 2nd Ed. California: PalisadesPublishers.
. 1976. Implementation - The Achilles Heel of Administrative Reform in Arne FLeemans,The Management
of Change in Government. The Hague.
Charlesworth,Jamesc. (ed.).(1968). The Theory and Practice of Public Administration: Scope, Objectives, and
Methode. Philadelphia: The American Academy of Political and SosialScience.
Chilcote, Ronald H., (1981). Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, Colorado: Westview
Press. '
Dror, Yeremiah., (1971). Strategies for Administrative Reform. The Hague, Netherland: Development and
Change.
Dwiyanto, Agus, dkk. (2002). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:PusatStudi
Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Effendi, Taufiq., (2008). "Reformasi Birokrasi: Sebagai Strategi untuk Menciptakan Kepemerintahan
yang Baik dan PelayananPublik yang Bekualitas dalarn rangka Mewujudkan KesejahteraanRakyat".
Pidato Ilmiah, disampaikan pada Upacara PenganugerahanGelar Doktor Honoris Causa dalam IImu
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,27 Oktober.

Refortnasi Birokrasi dan ParadigmaBaru Administrasi Publik di 19


Indonesia
Etzioni, Amitai., (1985). "Organisasi- odern". Jakarta:Penerbit UI-Press.
OrganisasMi
Frederickson.,(1994). Administrasi Negara Baru. Jakarta:LP3ES.
Henry, Nicholas., (1975). Public Administration and Public Affairs. EnglewoodCliffs, New Jersey:Pretice
Hall, Inc.
Kartasasmita,Ginandjar. "Perkembangan Pemikiran mengenai Administrasi Pembangunan", download
dari www.ginandjar.com
Kartono, Drajat Tri., (2006). "Reformasi Administrasi: Dari Reinventing ke Pesimisme". Dalam [urnal Spirit
Publik, Volume 2, No.1, April.
Perry,JamesL. (ed)., (1996). Handbook of Public Administration, Second Edition. California: Jossey-
BassInc. Pollitt, Christopherdan Geert Bouckaert.,(2004). Public Management Reform:A Comparative
Analysis (Second
Edition). Oxford: O~ford University Press.
Rais,Saslidan Dance Y. Flassy."ReformasiAdministrasi Publik Untuk Membangun Daya Saing Daerah: Kajian
Perspektif ResourceBased". Download dari http://p2dtk.bappenas.go.id/referensi/Reformasi%20Adm%
20Publik%20Membangun%20Daya%20Saing%20Daerah%, 20Perspektif%20Resource%20Based.pdf

Refortnasi Birokrasi dan ParadigmaBaru Administrasi Publik di 19


Indonesia
Thoha, Miftah., (2005). Dimensi-dimensi Prima IImu Administrasi Negara. jakarta: PT RajaGrafindo Perkasa.
. 1987. Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi Prima IImu Administrasi Negara lilid II. jakarta: Rajawali.
Tjokroamidjojo, Bintoro., (1999). "Agenda Aksi Reformasi Birokrasi". Dalam Administrasi Negara, Demokrasi,
dan Masyarakat Madani. jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Tahapan-tahapanyang diuraikan dalam makalah ini bersumber dari Naskah Akademik Rancangan Induk Reformasi Birokrasi
Indonesia (2005-2025) yang disusun bersamaoleh Universitas Padjadjarandengan Kementerian Negara
PendayagunaanAparatur NegaraRI. Naskahini telah didiskusikan pula dengan paraakademisidi 4 (empat) perguruantinggi, yakni
Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,Universitas Airlangga Surabaya,dan Universitas Hasanuddin
Makassar.Saatini, draft naskah akademik sedangdibahas lebih lanjut di lingkungan interdepartemen pemerintah nasional agar
materinya dapat diakomodasi dalam dokumen perencanaan,antara lain RPjM Nasional (2009-2014) dan peraturan-
peraturanteknis sebagaipenjabaranlebih lanjut dalam melaksanakanreformasibirokrasi di lingkungan instansi pemerintah
nasional dan daerah.

-00000-

20 Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi Birokrasi dan E-Governance


View publication stats

Anda mungkin juga menyukai