Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN FILOSOFIS TERHADAP HUKUM MUAMALAH II

(Filsafah Waris dan Filsafah Wakaf)


Tinjauan Filosofis terhadap Wakaf

1. Pengertian Wakaf
Wakaf dalam bahasa bahasa Arab yaitu “Wakafa”. Asal kata
“Wakafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau
“tetap berdiri”. Wakaf menurut bahasa adalah menahan untuk berbuat,
membelanjakan.1 Menurut terminologi syara’ wakaf adalah menahan harta
yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga zatnya, menuntut
pemanfaatan terhadap zat dengan bentuk pemanfaatan lain yang mubah
yang ada.2
Pengertian wakaf menurut Imam Al-Sarkhasi (mazhab syafi’iyyah)
mengemukakan pendapatnya yaitu menahan harta dari jangkauan
kepemilikan orang lain.3 Pengertian wakaf menurut Imam Al-Nawawi
(mazhab syafi’iyyah) adalah menahan harta yang dapat diambil
manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya sementara benda itu tetap ada
padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri
kepada Allah.
Wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan
bahwa: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam
jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.4
2. Analisis Filosofis
a. Aspek Ontologis
Secara filosofis pendekatan ontologi ialah memahami hukum dari
hakekatnya. Dengan pendekatan ontologis, rahasia hukum dibongkar
sehingga substansi hukum dapat diketahui secara mendalam dan
radikal. Keberadaan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini

1
Rahmat Dahlan, Analisis Kelembagaan Badan Wakaf Indonesia, Jurnal Bisnis dan Manajemen
UIN Jakarta, Vol. 6, No. 1, April 2016, hlm. 119.
2
Abdul Aziz Muhammad azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah), hlm. 395.
3
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 2.
4
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
merupakan ciptaan Allah SWT yang menjadi subjek dari sebuah
hukum. Tujuan diciptakan manusia di muka bumi ini tidak lain
hanyalah untuk menyembah kepada Allah SWT.
Diakui bersama karakter manusia sebagai subjek hukum
mempunyai sikap yang berbeda-beda. Sikap kikir, suka berbohong,
berbuat zalim, mengingkari petunjuk dan nikmat, suka membantah,
suka melampaui batas, suka tergesa-gesa. Inilah gambaran dari
perilaku dan karakter manusia itu sendiri. Tetapi disisi lain, manusia
merupakan sebaik-baiknya makhluk yang telah diciptakan dengan
segala kelebihannya. Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa manusia
adalah makhluk yang berfikir. Dan setiap apa yang dikerjakan manusia
akan dipertanggungjawabkan di akherat nantinya.5
Kecenderungan manusia lebih suka menumpuk harta karena
dilatarbelakangi oleh hawa nafsu, tamak, serakah. Hal ini sesuai
dengan firman Allah Q.S. Al-Israa (17):100:

ِ َ‫قُ ۡل لَّ ۡو اَ ۡنتُمۡ تَمۡ لِ ُک ۡونَ خَ زَٓائِنَ َر ۡح َم ِۃ َرب ِّۡۤی اِ ًذا اَّل َمۡ َس ۡکتُم خ َۡشیَۃَ ااۡل ِ ۡنف‬
َ‫اق ؕ َو َکان‬
‫ااۡل ِ ۡن َسانُ قَتُ ۡور ًۡا‬
Berdasarkan dalil diatas, bahwa gambaran karakter manusia tidak
bisa dilepaskan dari sifat kikir maupun pelit, yang cenderung tidak
mau berbagi dengan yang lain. Dalam kaitannya dengan wakaf, maka
sikap kikir maupun pelit sangatlah kontra dan bertentangan, karena
wakaf itu sendiri pada dasarnya memberikan contoh tentang tolong
menolong dan kedermawanan. Manusia sebagai makhluk Allah yang
diberikan akal untuk berfikir, kiranya dapat memberikan solusi dan
kebijakan kaitannya terhadap persoalan wakaf dan pengelolaannya.
Hal ini semestinya dijalankan oleh kalangan manusia dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah melalui wakaf. Maka manusia dalam
menghadapi permasalahan pengelolaan wakaf seharusnya mencari
bagaimana dasar-dasar hukumnya, agar ketika memahami dengan jelas
5
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, cet. Ke-1, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), hlm. 125.
terhadap hukum tersebut, maka manusia itu diharapkan akan menjadi
lebih adil dan bijaksana dalam mencari problem solving dan akan
membawa sebuah kedamaian dan ketentraman bagi sesama. Adapun
usaha untuk melakukan pendalaman terhadap hakekat sebuah wakaf,
tidak lain sebagai upaya perbuatan yang shalih dalam rangka menjadi
sebaik-baiknya makhluk yang berguna dan bermanfaat bagi sesama.6
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf nyatanya sangat berpengaruh sekali dalam masyarakat dan
dapat mengkakomodir realitas empiris sebagaimana dikandung dalam
nilai-nilai hukum yang telah ada di tengah masyarakat Indonesia yang
mayoritas muslim.7 Keberadaan aturan ini mempunyai tujuan sebagai
berikut: (a) meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan dalam
penegelolaan wakaf; dan (b) meningkatkan manfaat wakaf untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskinan.8
Hakikat penghayatan harmonis dalam ontologi wakaf akan terjadi
manakala aspek religius, yang terkait dengan ganjaran atau pahala
dikembangkan secara selaras dan seimbang dengan aspek sosial. Hal
tersebut memuat makna, bahwa dengan keberadaan wakaf betul-betul
mendatangkan keberkahan bagi kesejahteraan umat Islam jika aspek
religius wakaf dikembangkan secara sejajar dengan aspek sosial.
Begitu juga sebaliknya, sikap afirmatif terhadap program-program
wakaf menjadi hambar tanpa dibarengi oleh niat menjalankan anjuran
agama untuk berwakaf sebagai pembersih jiwa.9
Hakikat penghayatan harmonis dalam ontologi wakaf akan terjadi
manakala aspek pengumpulan dan pengelolaan wakaf dikembangkan
secara selaras dan seimbang dengan aspek kemanfaatan dan pola

6
Ibid.
7
Ibid.
8
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, Pasal 3.
9
Ainur Rahman Hidayat & Fatati Nuryan, “Ontologi Relasi Wakaf Profesi dan Relevansinya
terhadap Implementasi Pola Konsumtif Kreatif dalam Sekularitas Pasar Moda”, Media Syariah,
Vol. XVI No. 1, Juni 2014.
konsumtif kreatif wakaf. Hal tersebut memuat makna, bahwa
pengelolaan wakaf secara profesional untuk kepentingan konsumtif
menjadi rutinitas yang jauh dari mengentas kemiskinan tanpa
dikorelasikan dengan pendistribusian secara kreatif. Begitu juga
sebaliknya, program pengelolaan wakaf secara kreatif menjadi tidak
berarti manakala pengumpulan wakaf dilakukan secara tidak
profesional, atau banyak objek wakaf yang tidak tersentuh.10
b. Aspek Epistemologi
Pada dasarnya epistenologi adalah teori pengetahuan, yaitu
membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari
objek yang ingin dipikirkan. Dengan demikian, epitemologi
merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam
dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan
validitas pengetahuan. Epistemologi pada hakikatnya membahas
tentang filsfat pengetahuan yang berkaitan dengan asal-usul (sumber)
pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut
(metodologi) dan kesahihan (validitas) pengetahuan tersebut.11
Epitemologi itu ialah sebuah teori asal mula timbulnya sebuah
hukum dan bagaimana hukum itu ada. Secara epistemologis hukum
merupakan jelmaan firman Tuhan. Hakekat hukum bukan berada pada
teorinya, melainkan terletak pada realitasnya. Adapun epistemologi
hukum mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang prosedur
perolehan pengetahuan tentang hukum, kebenaran dan tekniknya.12
Berkaitan dengan hukum pengelolaan wakaf, teori epistemologi
mencoba menjawab sebuah pertanyaan tentang prosedur perolehan
sebuah pengetahuan tentang dasar hukum yaitu kebenarannya, dan
tekniknya.13

10
Ibid.
11
Agus Arwani, “Epistemologi Hukum Ekonomi Syariah”, Religia, Vol. 15 No. 1, April 2012.
12
Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, hlm. 5.
13
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, cet. Ke-7 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) hlm. 5.
Pada dasarnya substansi dari epistemologi fikih adalah untuk
mengetahui tentang suatu cara agar dapat mengetahui pesan-pesan
syara’ yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis sehingga dapat
diaplikasikan dalam berbagai perbuatan.
Eksistensi hukum wakaf diambil atau diperoleh dari Al-Qur’an.
Artinya pengetahuan atas hukum wakaf, untuk hukum islam, diperoleh
dari pemahaman atas wahyu yang tertuang dalam Al-Qur’an. Selain
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam hukum wakaf maka sunnah
dalam hal ini memainkan peranan yang sangat penting sebagai sumber
utama kedua setelah Al-Qur’an.14
Bahwa proses muncul dan berlakunya tata aturan wakaf di
Indonesia tidak lepas dari unsur politik yang mempengaruhinya,
terlebih negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Kecenderungan setiap umat Islam
untuk memberikan nilai-nilai dasar keIslaman dari setiap peraturan
Undang-Undang yang ada merupakan sesuatu hal yang tidak bisa
dinafikan. Keberadaan undang-undang tersebut hakekatnya sebagai
representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang
dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman itu. Dengan demikian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf sangat penting
dalam tata hukum Indonesia. Dengan hal ini, maka terbitlah Undang-
Undang Tentang Wakaf sebagai aturan yang berisi pasal-pasal yang
mengatur tentang pengelolaan wakaf.
Jika dikembalikan ke induk dari hukum wakaf maka terlihat
dengan pasti bahwa Islam menghendaki seriap syari’ah tidak untuk
dibantah. Karenanya Islam memberikan aturan syari’ah secara umum
dan dapat diambil esensinya sebagai bibit awal awal dari pengetahuan
mengenai hukum wakaf. Pengetahuan ini dikenal sebagai fikih. Fikih

14
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum.......hlm. 128.
adalah aspek dinamisnya, syari’ah yang menjaganya agar tidak lekang
oleh waktu dan tidak lapuk oleh zaman.15
c. Aspek Aksiologi
Aksiologi merupakan persoalan fungsi ataupun kegunaan suatu
ilmu. Keberadaan suatu aturan maupun Undang-Undang itu sendiri
adalah untuk membimbing manusia dalam menangkap maksud dari si
pembuat aturan tersebut, dalam hal ini yaitu Legislatif.16 Oleh karena
itu, segala kaidah dan teori selalu diarahkan dalam rangka menangkap
maksud dari pembuat aturan yaitu tidak lain guna kemaslahatan semua
pihak.
Aksiologi merupakan suatu pendekatan yang mencoba untuk
memahami hukum dari segi manfaatnya, baik pragmatisme hukum
maupun kemaslahatan dalam arti substansinya. Hukum dapat dijadikan
alat atau media untuk mencapai manfaat duniawi dan ukhrawi, juga
manfaat yang ditetapkan oleh kehidupan manusia yang relatif.17 Dalam
perspektif falsafah hukum Islam, kemaslahatan yang dituangkan oleh
hukum berupa tujuan hukum yang berusaha memelihara agama, akal,
jiwa, keturunan, dan harta kekayaan atau dapat disebut sebagai
maqasidu syari’ah.18
Dalam aspek aksiologi wakaf kaitannya bagian pengelolaan dapat
dipahami melalui hakekat hubungan antara si Wakif dengan Nadzir.
Karena aspek aksiologi berupaya mengetahui hakikat esensi nilai yang
terdapat di dalam wakaf dan pengelolaannya itu sendiri. Fokus dari
nilai disini adalah mengenai baik dan buruk dari sudut pandang moral
dan etika dan manfaat.19

15
Ibid. hlm. 129.
16
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t), hlm. 8. Lihat juga, Muhyar
Fanani, Ilmu Ushul Fiqh (Kajian Ontologis dan Aksiologis), “Al-Ahkam”, Vol. IV No. 2 Desember,
2009.
17
Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, hlm. 6.
18
Abi Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Lakhmi asy-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushulu
asy-Syari’ah, (Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubro, 1973 M/1332 H), jilid 2, hlm. 20.
19
Soetiksno, Filsafat Hukum, cet. Ke-1, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003).
Dengan adanya pemahaman yang benar tentang maksud Tuhan
dalam Al-Qur’an, Hadis maupun di dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, diharapkan seseorang akan mencapai
suatu keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia dan juga di
akhirat.

Tinjauan Filosofis terhadap Waris

1. Pengertian Waris
Hukum kewarisan dalam Islam disebut hukum Fara'id yang masuk
dalam pembahasan ahwal shakhsiyyah, Fara’id adalah jamak dari fari'dah
yang secara harfiah berarti bagian. Kata faridah atau fara'id ini erat pula
hubungannya dengan makna fardlu yang berarti kewajiban yang harus
dilaksanakan20. Dengan demikian hukum fara'id berarti hukum tentang
pembagian harta warisan yang wajib ditaati pelaksanaannya oleh kaum
muslimin.
Faraidh adalah sekumpulan aturan tentang pembagian harta pusaka
yang ditinggalkan seseorang dikarenakan meninggal dunia. Harta
peninggalan tersebut harus dibagi-bagi sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam nash. setelah sebelumnya diselesaikan biaya pengurusan
dan penguburannya, utang-utangnya, dan telah diselesaikan pula semua
wasiatnya. Mereka yang berhak mendapat harta waris adalah keluarga
yang berada dalam garis nasab yang hakiki, yaitu anak baik laki-laki
maupun perempuan, cucu baik laki-laki maupun perempuan dalam garis
ke bawah. Ayah serta ibu, kakek dan nenek dalam garis ke atas. Saudara
dan anak saudara, paman serta anak paman dalam garis ke samping. Inilah
secara umum rangkaian ahli waris yang disebabkan nasab secara hakiki.
DI samping itu, adapula ahli waris yang muncul karena ikatan perkawinan
yaitu suami istri.

20
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM UNISBA, 2002), h. 107.
Dari uraian pengertian hukum di atas, maka dapat ditarik suatu
makna bahwa asas kewarisan menurut hukum Islam yaitu bilateral dengan
ciri-ciri: Mendudukkan anak bersama-sama orang tua pewaris serentak
sebagai ahli waris, Dalam hal pewaris tidak mempunyai keturunan, maka
saudara-saudaranya bersama-sama orang tua menjadi ahli waris, Suami
istri saling mewaris, Mengenal faraidl yaitu bagian tertentu bagi ahli waris
tertentu21. Asas bilateral secara prinsipil menunjukkan bahwa harta
warisan harus dibagi kepada ahli waris yang berhak baik pria meupun
waita dengan adil. Dan adil yang dimaksud adalah sesuai dengan
kodratnya bahwa harta warisan dibagikan untuk setiap anggota keluarga
yang berhak menerima dan dalam kepentingan keseluruhan supaya
terjamin kelangsungan hidup yang sejahtera.

2. Analisis Filosofis

Setiap pemikiran filosofis berbeda dari pemikiran dalam tataran


ilmu khusus, termasuk dalam Hukum Kewarisan Islam. Terdapat banyak
variasi aturan kewarisan, yang di dalam masing-masing aturan itu
dianggap sudah mengandung nilai keadilan. Dalam tataran ilmu, rumusan
pasal atau bunyi ketentuan Kompilasi Hukum Islam tentang Kewarisan
langsung bisa diterapkan pada kasus konkret kehidupan masyarakat.
Hazairin melihat lebih jauh lagi dari sekedar hukum positif dan tataran
ilmu.

Rasio Hazairin sesungguhnya adalah dengan menggunakan


metode-metode filsafat untuk mengusahakan diperolehnya nilai keadilan
yang sesuai dengan keadaan sebenarnya tanpa lepas dari prinsip dasar22.
Pembenaran itu tidak didasarkan pada metode-metode kerja ilmiah yang
ada di dalam tataran ilmu hukum, akan tetapi lebih luas dari itu. Dengan

21
Juhaya. S. Praja. Ibid Hal 108.
22
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin,
(Yogyakarta: UII Press, 2005), Hal 198.
kata lain sudah mencapai pada taraf filosofis. Adapun dari segi filsafat,
Kompilasi Hukum Islam menurut Hazairin sebagai satu kesatuan
pemikiran dan melahirkan pula satu keyakinan yang dianggapnya benar
dengan dasar-dasar pembenaran yang kuat, dapat diterangkan dengan
menggunakan ilmu filsafat.

a) Ontologi

Ontologi merupakan landasan metafisis dari setiap


pemikiran filsafat. Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam
mengandung uraian tentang keadilan mempunyai prinsip dasar,
yaitu adanya keadilan Tuhan. Keadilan itu ada dan bersumber pada
Tuhan. Hal ini merupakan prinsip ontologi keadilan dalam
pemikiran Hazairin. Prinsip yang demikian, merupakan pandangan
metafisis yang menjadi landasan bagi semua uraian keadilan dan
unsur-unsurnya sebagai hasil refleksinya terhadap seluruh realitas
konkret lingkungan fakta sosiologis, antropologis, dan nilai-nilai
yang berkembang dengan mempertimbangkan faktor tempat,
perjalanan waktu, dan keadaan23.

b) Epistemologi.

Dalam epistemologi, wujud realitas keadilan itu ternyata


dapat berbeda-beda terjelma dalam norma keadilan kewarisan
fikih. Epistemologi yang digunakan maksudnya adalah yang
berkaitan dengan hakikat kebenaran, sumber pengetahuan, dan
susunan/struktur pengetahuan tentang keadilan sebagai suatu
rangkaian pemikiran atas dasar landasan ontologis tersebut di atas.
Dalam tataran epistemologis ini dapat dikatakan bahwa sekalipun
keadilan terdapat dalam landasan dasar ontologi yang sama, namun
dalam kenyataan objektif perwujudannya dapat dalam bentuk yang
berbeda-beda. Dalam penerapan hukum kewarisan Islam pada

23
Abdul Ghofur Anshori, Ibid
masa awal setelah Rasulullah SAW. Peranan para fuqaha
(mufasir) sangat menentukan dalam menetapkan norma hukum
kewarisan Islam. Sebagai wujud terapannya dalam realitas kasus
yang konkret dalam lingkungan sosial saat itu yang menganut
pandangan patrilineal yang di dalamnya terkandung pula nilai-nilai
yang dianggap adil bagi lingkungan masyarakatnya24.

Nilai-nilai keadilan dalam Kompilasi Hukum Islam


diperoleh melalui proses analisis terhadap fakta-fakta sosial, baik
yang langsung dihadapinya atau yang digunakannya sebagai bahan
analisis dan refleksi menggunakan metode idealisasi nilai,
hermeneutik, perbandingan, induksi, dan abstraksi. Pengetahuan
atas adanya nilai keadilan yang diyakini benar, diperoleh dari
berbagai sumber yaitu dari ilmu antropologi, sosiologi, dan
sebagainya. Dengan ontologi keadilan, sangat memungkinkan
dapat diterapkan dalam kebutuhan dan kenyataan sosial masyarakat
Indonesia. Dalam penilaiannya bahwa keadaan sosiologis dari
masa beberapa waktu setelah Rasulullah di Timur Tengah
dibandingkan dengan keadaan sosiologis di Indonesia adalah
berbeda, dan tidak bisa disamakan semuanya.

c) Aksiologi

Aspek-aspek nilai dalam hal ini adalah keadilan. Keadilan


terdiri dari dua, yaitu keadilan statis dan keadilan dinamis.
Keadilan dinamis yang dimaksud adalah keadilan yang mengikuti
perkembangan masyarakat dan zaman. Keadilan dinamis akan
selalu berubah dengan berubahnya waktu, tempat, dan keadaan
masyarakat dimana dia tinggal. Keadilan merupakan suatu ide,
menunjukkan suatu nilai kebaikan khususnya berkaitan dengan hak

24
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin,
Ibid Hal 199
dan kewajiban seseorang25. Nilai keadilan dapat bersifat statis
adalah nilai yang Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori),
yang berarti teori tentang nilai. terkandung di dalam wahyu,
bersifat universal. Nilai keadilan yang dinamis dengan arti bahwa
keadilan itu selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan
lingkungan. Keadilan juga memiliki implikasi nilai yang maknanya
sangat ditentukan oleh peranan interpretasi hakikat nilai keadilan
yang dihubungkan dengan realitas konkret yang dapat berbeda-
beda dari waktu ke waktu tanpa meninggalkan landasan
ontologinya.

Mengenai Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, berdasarkan


penilaian secara filosofis akan mendapatkan beberapa hasil:26

i. Pergeseran makna adil dari fikih lama untuk dzawil arham ke


mawali
ii. Aspek kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
iii. Garis keturunan darah laki-laki sama dengan kedudukannya
dengan garis keturunan darah perempuan.
iv. Makna kalalah.
v. Faktor sosial lain yang berpengaruh pada peranan kedudukan
perempuan di dalam rumah tangga.
vi. Adanya kenyataan pluralitas penarikan garis keturunan darah,
yang berbeda dari kenyataan sosial di Arab yang belum diketahui
oleh para mufasir atau ahli fikih dari masa ke masa beberapa
waktu setelah masa Rasulullah.

25
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin.
Ibid Hal 202
26
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin.
Ibid Hal 203
3. Asas-asas dalam Kewarisan
Selain adanya sisi filosofis dari hukum kewarisan, terdapat
pula asas-asas yang sedikit banyak menyusun paradigma
masyarakat terhadap hukum waris, dan hal tersebut juga berimbas
terbentuknya filosofis hukum kewarisan. Diantara asas-asas
tersebut adalah:
i. Asas Ijbary.
Asas ijbary secara harfiah berarti memaksa. Asas ini
merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid yang
mengandung arti bahwa peralihan harta dari seorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan
kepada kehendak si pewaris atau ahli warisnya. Unsur
paksaan sesuai dengan arti terminologis ini terlihat dari
segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan
perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah
ditentukan.
Asas ijbary hukum kewarisan Islam dapat dilihat
dari tiga segi, yaitu: Pertama, peralihan harta yang pasti
terjadi setelah orang meninggal dunia sesuai dengan
firman Allah dalam QS. al-Nisa (4): 7, mengandung
pengertian bahwa di dalam harta yang ditinggalkan oleh
pewaris itu terdapat bagian atau hak ahli waris. Oleh
karena itu, si pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu yang
akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia meninggal
dunia dan demikian juga Sebaliknya.27
Kedua, jumlah harta bagi masing-masing ahli waris
sudah ditentukan. Apa yang sudah ditentukan atau
diperhitungkan oleh Allah wajib dilaksanakan oleh

27
Juhaya. S. Praja. Ibid Hal 108.
hambaNya. Sifat wajib dalam kata mafru'dan itu memaksa
manusia muslim untuk melaksanakan ketentuan yang
sudah ditetapkan Allah28.
Ketiga, Kepastian mereka yang berhak menerima
harta peninggalan, yakni mereka yang mempunyai
hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris.
Mereka yang berhak menjadi ahli waris itu dirinci dalam
pengelompokkan ahli waris29.
Asas ini tidak akan memberatkan karena dalam
Islam ahli waris hanya berhak menerima harta warisan dan
tidak memikul hutang si mati. Dalam hukum perdata ahli
waris dimungkinkan menolak warisan karena pewaris juga
menanggung resiko melunasi hutang si mati30.

ii. Asas Waratha.


Asas waratha diambil dari kata waratha yang
banyak dijumpai dalam Al-Qur’an. Waratsa dalam Al-
Qur'an mengandung pengertian makna peralihan harta
setelah kematian. Asas waratsa ini menyatakan bahwa
kewarisan itu hanya ada kalau ada yang meninggal dunia.
Ini berarti bahwa kewarisan dalam hukurn Islam itu
semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang.
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang
merupakan kewarisan itu hanya terjadi bila orang yang
mempunyai harta meninggal dunia. Harta seseorang tidak
dapat beralih kepada orang lain dengan sebutan sebagai
28
Nur Lailatul Musyafaah, Filsafat Kewarisan dalam Hukum Islam, Al-Qānūn, Vol. 20, No. 1, Juni
2017. Hal 68

29
Nur Lailatul Musyafaah. Ibid Hal 68

30
H. Faiz. Filsafat Keadilan Dalam Hukum Waris Islam. H A K A M, Volume 4 Nomor 2, Desember
2020. Hal 126
harta warisan selama orang yang mempunyai harta itu
masih hidup31.

iii. Asas Thuluthay al-Mal.


Sebagai imbangan kewarisan testamen dalam sistem
hukum perdata barat, hukum islam mengenal wasiat
dengan berdasarkan asas thuluthay al-mal. Asas thuluthay
al-mal menyatakan bahwa wasiat tidak boleh melebihi
sepertiga dari jumlah harta peninggalan. Dengan asas
“Tidak ada hak menerima wasiat, kecuali para ahli waris
membolehkannya” dan harta yang diperoleh melalui
wasiat itu tidak dapat disebut sebagai harta waris32.

iv. Asas Bilateral.


Asas bilateral di sini berarti bahwa seseorang
menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak:
dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat
perempuan. Asas ini dapat dilihat dari makna ayat 7, 11,
12 dan 176 surat al Nisa’. Ayat-ayat tersebut menjelaskan
bahwa peralihan harta beralih kebawah (anak-anak), ke
atas (ayahdan ibu) dan ke samping (saudara) dari kedua
belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki dan perempuan,
dn menerima warisan dari dua garis keluarga pula.33
Sedangkan penjabaran asas bilateral di Indonesia
dipelopori prof. Hazairin, dimana ia mengkritisi konsep
fiqh klasik ahli sunnah yang terbentuk dalam masyarakat.

v. Asas Keadilan atau Keseimbangan.


31
Nur Lailatul Musyafaah. Ibid Hal 69
32
Juhaya. S. Praja. Ibid Hal 109

33
Juhaya. S. Praja. Ibid hal 109
Asas keadilan atau keseimbangan di sini
mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban; antara hak yang
diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus
ditunaikannya. Dalam hukum kewarisan Islam, harta
peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris
pada hakikatnya merupakan kelanjutan tanggung jawab
pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, bagian
yang diterima oleh masing-masing ahli waris harus
berimbang dengan perbedaan tanggungjawab masing-
masing terhadap keluarganya. Seorang laki-laki menjadi
penanggungjawab kehidupan keluarga, yakni mencukupi
keperluan hidup anak dan istrinya. Secara mendasar dapat
dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak
kewarisan dalam Islam. Baik pria dan wanita mendapatkan
hak yang sama untuk memperoleh warisan dalam Islam.
Ini tentu berbeda dengan hukum waris pra Islam dimana
wanita tidak mendapat hak mewarisi, bahkan mereka
diwariskan.
Laki-laki mendapat bagian lebih banyak dibanding
perempuan, seperti bagian antara anak laki-laki dan
perempuan. Pada kondisi kedua dimana bagian laki-laki
lebih banyak, hal ini bukan berarti ketidak adilan, karena
dalam Islam keadilan tidak hanya diukur dari jumlah yang
didapat saat menerima hak waris, tetapi juga dikaitkan
dengan kegunaan dan kebutuhan atau hak dan kewajiban.
Bahkan pembagian waris yang berkaitan jumlah dapat
dilakukan dengan formua 1:1 atau yang disepakati. Hal ini
diakomodasi Kompilasi Hukum Islam pasal 183 dimana
ahli waris dapat bersepakat untuk melakukan perdamaian
dalam pembagian harta waris setelah masing-masing
menyadari bagiannya.
Menurut Atho Mudzhar hal ini hal ini demi
memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia.
Ahmad azhar Basyir juga mendukung hal ini selama ahli
waris merelakan dan berkompromi jika ada bagian mereka
yang harus dilepaskan. Jika ahli waris mempertahankan
haknya, maka ia tidak boleh dipaksa dan kepadanya
diberikan haknya dari bagian harta warisan. Dia juga
mempersyaratkan agar perdamaian membagi harta warisan
harus tidak dilatarbelakangi menolak ketentuan al Qur’an
dan hadith agar tidak termasuk orang yang durhaka kepada
Allah dan rasul-Nya. Penyelesaian dengan formula ini
tidak hanya pada tataran teori, tapi juga praktek34.
Dan juga tanggungjawab perempuan tidak seberat
tanggungjawab laki-laki terhadap keluarganya. Perempuan
justeru harus menerima infaq, maskan (tempat tinggal),
dan nafkah lainnya dari suaminya. Dengan demikian,
sesungguhnya manfaat yang dirasakan oleh laki-laki dan
perempuan dari harta peninggalan yang mereka peroleh
adalah sama. Dapatlah difahami rasa keadilan hukum
Islam dalam kewarisan di mana bagian anak laki-laki dua
kali bagian anak perempuan itu didasarkan atas perbedaan
tanggung jawab yang hakikatnya masing-masing sama-
sama merasakan manfaat yang sama dari perbedaan
pembagian tersebut.35

vi. Asas Individual


34
H. Faiz. Filsafat Keadilan Dalam Hukum Waris Islam. H A K A M, Volume 4 Nomor 2, Desember
2020. Hal 129

35
Juhaya. S. Praja. Ibid Hal 110
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam
berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan kepada
ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam
melaksanakan asas ini seluruh harta warisan dinyatakan
dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada
setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar
bagian masing-masing. Dalam hal ini, setiap ahli waris
berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada
ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing telah
ditentukan. Dasar hukum asas ini pun merujuk kepada QS.
al-Nisa.
Masing-masing ahli waris menerima bagiannya
secara tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris lain, Hal
ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap individu
dipandang mempunyai kemampua untuk menerima hak
dan menjalankan keahlian, yang dalam ushul fikih disebut
ahliyat al wujub. Dan bila ia belum memiliki kemampuan
bertindak atas hartanya itu, maka diangkatlah wali yang
bertanggungjawab mengurus harta tersebut. Wali
bertanggung jawab mengembalikan harta tersebut kapada
orang yang ada di bawah perwaliannya manakala ia telah
memiliki kernampuan bertindak secara hukum atas
hartanya.36

36
Nur Lailatul Musyafaah, Filsafat Kewarisan dalam Hukum Islam, Al-Qānūn, Vol. 20, No. 1, Juni
2017. Hal 74.
BAB III
a) Simpulan
Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil dari perumusan
hukum Islam di Indonesia dalam bidang Hukum Perkawinan dan
Hukum kewarisan. Selama bertahun-tahun penelitian dan
pengamatan dilakukan agar Indonesia mempunyai hukum yang
mencerminkan ciri khas Indonesia, tetapi tidak menghilangkan
substansi yang ada. Dalam perjalanannya, Kompilasi Hukum Islam
menggunakan kajian sosiologi dengan mengamati masyarakat yang
ada.
Dalam mazhab sosiologi dikenal bahwa, Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Maksudnya adalah segala aturan hukum yang ada,
semestinya harus sesuai dengan kehidupan masyarakat.
Harapannya agar hukum tersebut dapat digunakan dan diterapkan
dalam masyarakat. Apabila hukum tidak sesuai dengan kehidupan
dan karakteristik masyarakat, maka hukum tidak akan berguna lagi.
Singkatnya yaitu, mazhab sosiologi konsepnya adalah hukum yang
dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat
atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis. Mazhab hukum
dalam kewarisan Indonesia menggunakan mazhab hukum
sosiologi. Mazhab sosiologi akan terasa sesuai dengan keadaan
masyarakat, karena mazhab ini sendiri sangat menjunjung tinggi
adat yang ada di masyarakat. Sementara itu dalam pandangan
filsafat, tujuan akhir hukum adalah keadilan. Kaitannya dengan
hukum Islam, keadilan yang harus dicapai mesti mengacu pada
pedoman pokok agama Islam, yaitu al-Quran dan Hadits. Artinya
tujuan keadilan melalui jalur hukum harus berawal dari dua segi
dan mengarah kepada keadilan dua segi pula. Dikatakan berawal
dari dua segi, karena pedoman Islam berupa al-Quran dan Hadits.
Di satu segi harus mampu menyatu dengan pedoman prinsip
keadilan secara umum menurut pandangan manusia di lain segi.
Tugas awal yang kemudian dihadapi adalah upaya formulasi al-
Quran dan Hadits-khususnya yang berkaitan dengan hukum
kewarisan- agar mampu tampil sesuai dengan prinsip keadilan
secara umum. Perpaduan dua segi ini diharapkan menjadi produk
standar panduan mencari keadilan lewat jalur hukum. Pada
akhirnya pedoman tersebut mampu menjadi standar hukum
universal yang mampu tampil di manapun dan kapanpun sesuai
dengan fitrah diturunkannya Islam ke muka bumi.

b) Daftar Pustaka

Rahmat Dahlan, 2016. Analisis Kelembagaan Badan Wakaf Indonesia,


Jurnal Bisnis dan Manajemen UIN Jakarta, Vol. 6, No. 1,

Abdul Ghofur Anshori. 2011. Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di


Indonesia, cet. Ke-1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ainur Rahman Hidayat & Fatati Nuryan, “Ontologi Relasi Wakaf Profesi dan
Relevansinya terhadap Implementasi Pola Konsumtif Kreatif
dalam Sekularitas Pasar Moda”, Media Syariah, Vol. XVI N
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi,
t.t), hlm. 8. Lihat juga, Muhyar Fanani, Ilmu Ushul Fiqh (Kajian
Ontologis dan Aksiologis), “Al-Ahkam”, Vol. IV No. 2
Desember, 2009.

Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004


Tentang Wakaf.

Mardani. 2011. Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung: Refika


Aditama

Abdul Aziz Muhammad azzam, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah

Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, hlm. 6.


Abi Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Lakhmi asy-Syathibi. 1973. Al-
Muwafaqat fi Ushulu asy-Syari’ah.Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubro.

1) Soetiksno. 2003. Filsafat Hukum, cet. Ke-1. Jakarta: Pradnya


Paramita.
2) Juhaya S. Praja.2002. Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM
UNISBA.
3) Abdul Ghofur Anshori. 2005. Filsafat Hukum Kewarisan Islam:
Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, Yogyakarta: UII Press.
4) Nur Lailatul Musyafaah.2017. Filsafat Kewarisan dalam Hukum
Islam. Al-Qānūn, Vol. 20, No. 1.
5) H. Faiz. 2020. Filsafat Keadilan Dalam Hukum Waris Islam. H A
K A M, Volume 4 Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai