Uji Disolusi Tablet Parasetamol Dengan Metode Dayung: Tugas Akhir
Uji Disolusi Tablet Parasetamol Dengan Metode Dayung: Tugas Akhir
DAYUNG
TUGAS AKHIR
OLEH:
ELIS SURYANI NASUTION
NIM 102410079
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Ahli
Madya Pada Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
OLEH :
Disahkan Oleh:
Dekan Fakultas Farmasi,
KATA PENGANTAR
“Uji Disolusi Tablet Parasetamol Dengan Metode Dayung” tugas akhir ini
Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera
Utara.
dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
4. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staf di Fakultas Farmasi USU.
Mutu PT. Kimia Farma (Persero) Tbk Plant Medan yang telah
8. Papa Azhar Naution SP dan Mama Dagaria Siregar S.Ag tercinta serta
dan Siska fauziah Nasution yang telah memberikan semangat dan motivasi
Penulis menyadari bahwa sepenuhnya isi dari Tugas Akhir ini masih
terdapat kekurangan dan kelemahan serta masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan Tugas Akhir ini dan demi peningkatan
mutu penulisan Tugas Akhir di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis
sangat berharap semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat kepada
Penulis
Elis Suryani Nasution
NIM 102410079
ABSTRAK
Halaman
JUDUL ............................................................................................................. i
ABSTRAK ....................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
LAMPIRAN ............................................................................................. 27
Lampiran Halaman
PENDAHULUAN
penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusai atau pada hewan. Bahan
obat dapat berasal dari nabati, hewani, kimiawi alam mapun sintetis. Sebelum
farmasi, seperti kapsul, pil, tablet, sirup, suspense, salep, dan suppositories (Anief,
1987).
Sediaan tablet merupakan sediaan yang paling banyak diproduksi dan juga
dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas. Efek analgetik
reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau kimiawi. (Wilmana, 1995).
parasetamol. Salah satu parameter uji yang dilakukan untuk menguju kesediaan
persyaratan yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan
disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan lain
ditetapkan terlebih dahulu dan dikaji dengan seksama antara lain: komposisi
dengan proses analisis penetapan kadar zat aktif dalam sampel (Siregar dan
wikarsa, 2010)
Factor yang harus diperhatikan dalam uji disolusi, yaitu ukuran dan bentuk
yang akan dipengaruhi laju dan tingkat kelarutan, selain itu sifat media pelarut
juga akan mempengaruhi uji kelarutan. Beberapa kegunaan uji disolusi antara lain
: menjamin keseragaman satu batch menjamin bahwa obat akan memberikan efek
terapi yang diinginkan, dan diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat
1.1 Tujuan
mengetahui apakan kadar zat aktif yang terlepas dari tablet Paracetamol PT.
Kimia Farma memenuhi persyaratan atau tidak sesuai dengan ketentuan uji
1. Manfaat yang diperoleh dari uji disolusi table Paracetamol adalah agar
dapat mengetahui bahwa kadar zat aktif yang terlepas dari produk sediaan
TINAJAUAN PUSTAKA
2.1 Tablet
Tablet adalah bentuk sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau
sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan
massa serbuk lembab dengan tekanan rendah kedalam lubang cetakan. Tablet
kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul
menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk
dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995).
Tablet merupakan suatu sediaan utuh dan praktis diberikan secara oral
dengan dosis yang tepat dan variasi minimal. Tablet merupakan bentuk sediaan
oral dengan biaya produksi paling murah, juga paling ringan dan paling banyak.
Tablet terdiri dari zat aktif dan bahan tambahan. Bahan tambahan dapat dibagi
Tablet pada umumnya disamping zat aktif, juga mengandung zat pengisi,
zat pengikat, zat penghancur dan zat pelican. Untuk tablet tertentu zat pewarna.
Zat berkhasiat atau zat aktif jarang diberikan dalam keadaan murni,
tetapi harus dikombinasikan terlebih dahulu dengan zat-zat yang bukan obat
mempunyai fungsi khusus agar dapat dibentuk menjadi sediaan tablet (Anief,
1996).
2. Zat Pengisi
formulasi tablet yang bertujuan untuk penyesuaian bobot dan ukuran tablet
pembuatan tablet, dan meningkatkan mutu sediaan tablet. Zat pengisi yang biasa
digunakan adalah pati (amilum), laktosa, manitol, sorbitol dan lain-lain (Siregar
3. Zat Pengikat
Zat pengikat dimaksudkan agar tablet tidak pecah atau retak, dan dapat
dibentuk menjadi granul sehingga dapat dikempa atau dicetak (Anief, 1994). Ada
dua golongan bahan pengikat yaitu bahan gula atau zat polimerik. Bahan
polimerik terdiri atas dua kelas yaitu (1) polimer alam seperti pati, atau gom
4. Zat Penghancur
Disintegram idealnya menyebabkan tablet hancur, tidak saja menjadi granul yang
dkk, 1994).
Dalam pembuatan tablet, zat berkhasiat dan zat-zat lain kecuali pelican
dibuat granul (butiran kasar), karena serbuk halus tidak mengisi cetakan serta
dalam alat pencampur, lalu dibasahi dengan larutan bahan pengikat. Setelah itu
massa lembab diayak menjadi granul menggunakan ayakan 6 atau 8 mesh, dan
dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 500-600C, setelah kering diayak
penghancur, serta jika perlu ditambahkan zat pengikat dan zat pelican hingga
menjadi massa serbuk yang homogeny, lalu dikempa cetak pada tekanan yang
tinggi, sehingga menjadi tablet besar (slung) yang tidak berbentuk baik, kemudian
digiling dan diayak hingga dioperoleh granul dengan ukuran partikel yang
diinginkan. Setelah itu dicetak sesuai ukuran tablet yang diinginkan (Ansel,
1989).
Masing-masing zat aktif, zat pengisi, zat penghancur, dan zat pelican
dikempa dalam mesin tablet menjadi tablet jadi (Siregar dan Wikarsa 2010).
Komposisi tablet pada umumnya terdiri atas bahan aktif ekspien (ada
sejumlah kecil tablet yang dapat dibuat tanpa eksipien). Untuk dapat
menghantarkan obat dalam jumlah (dosis) yang cukup pada penggunaan klinik,
dengan berbagai fungsi dan tujuan spesifik sebagai pengisi, pengikat, penghancur,
penyampain obat yang disesuaikan dengan cara pemberian tersebut, dan bentuk
pada table :
2.2 Parasetamol
Rumus Bangun
H
N CH3
O
HO
2.2.2 Farmakokinetik
penggosongan perut, dan konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30-60
5% diekresikan dalam keadaan tidak berubah. Metabolit minor tetapi sangat aktif
toksisnya terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh asetaminofen adalah 2-3 jam dan
relative terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan kualitas toksik atau penyakit hati,
waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih (Katzung, 2002).
2.2.3 Farmakodinamik
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek
perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan
Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati,
normal dapat ditangkal oleh glutathione (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis
pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible.
(asam amino N-asetilsintein dan metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10
2.2.5 Indikasi
diberikan tiap 3-4 jam untuk keadaan-keadaan seperti sakit kepala, migren, nyeri
haid, arthralgia, dan lain-lain. Tetapi sebaiknya terapi jangan diberikan terlalu
lama. Jika dosis terapi yang biasa diberikan tidak memberikan manfaat, dosis
dewasa dosis 325 mg- 1000 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk
anak 20 mg per kg BB, diberikan tiap 4-6 jam, dosis total perhari jangan melebihi
menurunkan suhu badan yang tinggi. Misalnya pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri
haid, keseleo, demam imunisasi, demam flu dan lain sebagainya. Obat-obat
golongan ini yang beredar sebagi obat bebas adalah untuk sakit yang bersifat
ringan, sedangkan untuk sakit yang berat (misal: sakit karena batu ginjal dan batu
empedu, kanker) perlu menggunakan jenis obat keras, dan untuk demam yang
2.3 Disolusi
pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat
padat melarut. Secara singkat, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam
cairan pada tempat absorbs. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung
dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan
berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses larutnya suatu obat
dengan lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar
melawati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis serta
obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna,
ada dua kemungkinan yang akan berfungsi sebagai pembatas kecepatan. Bahan
berkhasiat dari sedian tersebut pertama-tama harus terlarut, setelah itu barulah
obat yang berada dalam larutan melewati membran saluran cerna. Obat yang larut
baik dalam air akan melarut cepat dan akan berdisfusi secara pasif atau transport
saluran cerna. Sebaiknya kecepatan disolusi dari obat tidak larut atau disintagrasi
sediaan relative pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif. Apabila kecepatan
absorbs tidak dapat ditentukan oleh salah satu dari tahap, maka tidak satupun dari
Menurut Farmakope Indonesia Edisi V (2014), ada dua metode uji disolusi yaitu :
a. Metode basket
Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak.
suhu tablet atau kapsul granul atau agreget partikel halus obat dalam larutan obat
penguji berlangsung. Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan
berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter
dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. batang logam berada pada
posisi tertentu sehingga sumbuhnya tidak lebih drai 2 mm, berputar dengan halus
dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur mempertahankan kecepatan
alat.
b. Metode dayung
Sama seperti metode dayung, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang
terdiri atas dayung dan batang seperti pengaduk. Batang dari dayung tersebut
sumbunya tidak lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang
berarti. Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama
pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan
dapat disalut dengan suatu panyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan
yang tertera dalam masing-masing monografi) kedalam wadah, pasang alat dan
daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari
keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding
wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus
memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi
Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang
diuji sesuai dengan table penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap.
Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka
akan dilanjutkan yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi.
Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3
kelarutan, bentuk Kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran-
cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada
kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan pelepasan bahan
aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan menurun
menurut urutan sebagai berikut: suspense, kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara
teoritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama,
karena diantara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut aka nada perbedaan
baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan
penghancur, dan pelivin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau
mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara
pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan
dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan mempengarusi pada laju disolusi.
granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan
3. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji
meliputi kecepatan pengaduan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang
dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat
yang kelarutnya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan
penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saluran
cerna, sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat (Syukri,
2002).
Metode yang dipilih dalam penetapan kadar uji disolusi tablet Parasetamol
berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan
untuk molekul dan ion-ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Spectrum
UV-Vis mempunyai bentik yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang
struktur yang didapatkan, tetapi spectrum ini sangat berguna untuk pengukuran
2.4 Spektrofotometri
ultraviolet (200-400 nm) dan sinar tampak (400-800 nm) oleh suatu senyawa
ultraviolet dan cayaha tampak diabsorbsi oleh molekul yang diukir. Alatnya
dari sekian banyak instumen yang digunakan dalam menganalisa suatu senyawa
2.4.1 Instrumen
1. Sumber, yang biasa yang digunakan adalah lampu wolfram. Tetapi untuk
METODE PENELITIAN
3.1Tempat pengujian
Uji disolusi tablet Paracetamol pengujiannya di PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
3.2 Alat
Elite 8TM (tipe paddle), Timbangan Analitik, pipet Volume, Erlenmeyer, Gelas
Ukur 100 ml, Bola Karet, Batang Pengaduk, Beaker Glass, Pipet Tetes,Labu
3.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah akuades, Buffer phosphat Ph 5,8 dan tablet
Paracetamol 500 mg yang di produksi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk Plant Medan.
3.4 Prosedur
• Ditekan tombol “ON” pada alat, diatur waktu dengan menggunakan timer
selama 30 menit.
blanko
Bsp
Asp x 1/100
100
K= x Bst x Kst
Ast x 1/100
100
Dimana:
Asp = Absorbansi sampel
Ast = Absorbansi standart
Bsp = Bobot parasetamol yang terkandung dalam sampel yang ditimbang (mg)
Bst =Bobot standart parasetamol yang ditimbang (mg)
Kst =Kadar standart parasetamol (%)
4.1 Hasil
1 0,33109 92,79 %
2 0,34699 97,25 %
3 0,34875 97,74 %
4 0,35419 99,27 %
5 0,33909 95,03 %
6 0,33676 94,38 %
4.2 Pembahasan
Tablet paracetamol yang diproduksi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk Plant
produk hal ini dilakukan untuk mengetahui absorbansi dan toleransi yang akan di
ditetapkan dalam Farmakope Indonesia Edisi IV, dimana jumlah keenam sampel
80%). Hal ini menunjukkan bahwa zat aktif Parasetamol mempunyai kecepatan
dalam masing-masing monografi, persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang
terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian
dilanjutkan sampai tiga tahap, Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini
tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2
(S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat,
maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet
5.1 Kesimpulan
persentase kadar zat aktif yang terlepas adalah sebagai berikut : 92,79%, 97,25%,
5.2 Saran
metode uji disolusi lainnya, seperti uji disolusi dengan metode keranjang. Hal inu
perhitungan. Konsumen agar mengkonsumsi obat yang telah teregistrasi dan telah
terstandardrisasi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk Plant Medan. Karena obat
yang telah memenuhi syarat termasuk syarat uji disolusi akan memberikan
Agoes, G. (2008). Pengembangan Sedia Farmasi. Bandung: ITB Press. Hal. 379,
380.
Anief, M. (1987). Ilmu Farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal.
Ansel, C.H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta:
85,188
Ditjen POM RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen
Gandjar & Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.
261-262.
11,13.
Tanu, Ian. (1972). Farmakologi Dan Terapi. Edisi Pertama. Jakarta: Universitas
Wilmana, P.F. (1995). Analgesik – Antiperitik, Analgesik Anti – Inflamasi Non Steroid
dan Obat Pirai: Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia
Press. Hal. 217-218.
Waktu : 30 Menit
1 0,33109
2 0,34699
3 0,34875
4 0,34375
5 0,33909
6 0,33676
Keterangan :
Bsp = Bobot parasetamol yang terkandung dalam sampel yang ditimbang (mg)
500
0,33109 x 1/100
1 K= x 900
55,5 x 100,78% = 92,79%
0,35959 x 1/100
100
500
0,34699 x 1/100
2 K= 900
x 55 x 100,78% = 97,25%
0,35959 ,5
x 1/100
100
500
0,34875 x 1/100
3 K= 900
x 55 ,5 x 100,78% = 97,94%
0,35959 x 1/100
100
500
0,35419 x 1/100
4 K= 900
x 55 ,5 x 100,78% = 99,27%
0,35959 x 1/100
100
500
0,33909 x 1/100
5 K= 900
x 55 ,5 x 100,78% = 95,03%
0,35959 x 1/100
100
500
0,33676 x 1/100
6 K= 900
x 55 ,5 x 100,78% = 94,38%
0,35959 x 1/100
100
= 96,38 %