1. Keterkaitan indra pendengaran dan indra perabaan pada anak tuna netra. Kemampuan
seseorang untuk mendengar sangat tergantung padaseberapa utuh sel-sel rambut ini.
Ketika sel-sel ini hilang maka tidak akan tumbuh kembali, ini berlaku untuk semua
orang termasuk anak yang tuna netra. Jadi secara fisik, orang yang tuna netra
kemapuan mendengarnya belum tentu di atas orang normal pada umumnya. Namun
biasanya orang yang tuna netra sering mengungguli orang yang dapat melihat dalam
tugas pendengaran, misalnya dalam menemukan sumber suara. Hal ini bukan di
sebabkan organ sensorik, tetapi pada proses informasi sensorik di otak.
Kita mengalami persepsi ketika otak menafsirkan sinyal yang diberikn olehorgan
indra kita, dan bagian otak merespon informasi yang dating dari organ indra yang
berbeda. Ada area yang merespon informasi visual (korteks visual) dan area yang
merespon informasi suara (korteks audiotori). Tetapi ketika indra penglihatan hilang,
otak melakukan hal yang luar biasa: otak mengatur ulangfungsi-fungsi area tersebut.
Tingkat terorganisasi dalam otak tergantung pada seseorang kehilangan penglihatan
mereka. Otak dapat mengatur ulang dirinya sendiri di setiap titik dalam kehidupan,
tetapi pada masa kanak-kanak otak lebih mampu beradaptasi dengan perubahan. Ini
karena selama masa kanak-kanak, otak masih berkembang dan reorganisasi otak yang
baru tidak harus bersaing dengan yang sudah ada. Akibatnya, orang yang kehilangan
penglihatan sejak usia dini menunjukan tingkat reorganisasi yang jauh lebih besar di
otaknya.
Orang tuna netra akan lebih mengandalkan indra mereka yang tersisa untuk
melakukan tugas sehari-hari, yang berari mereka melatih inra mereka yang tersisa
setiap harinya. Pengaturan ulang otak disertai dengan pengalaman lebih dalam
menggunakan indra mereka yang tersisa di yakini sebagai factor penting yang
membuat orang tuna netra memiliki keunggulan dalam hal pendengaran dan sentuhan
dibandingkandengan orag yang dapat melihat pada umumnya.
(sumber : https://theconversation.com/apakah-orang-tunanetra-memiliki-
pendengaran-yang-lebih-baik-118688)
2. Metode-metode pengajaran yang diterapkan dalam proses belajar mengajar mngalami
perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga variasi metode pembelajaran
bertambah. Pada dasarnya metode yang digunakan untuk siswa tuna netra hamper
sama hamper sama dengan siwa normal pada umumnya, hanya saja yang
membedakan ialah adanya beberapa modifikasi dalam pelaksanaannya, sehingga anak
yang tuna tentra mampu mengikuti kegiatan pembelajaran yang bias mereka ikuti
dengan menggunakan indra pendengaran dan perabaan.
Ada beberapa metode pembelajaran yang dilaksanakan dengan menggunakan fungsi
pendengaran dan perabaan, tanpa harus menggunakan penglihatan.
B. Cara pembuatan
Alat :
1) Gunting
2) Lidi
3) Kuas
4) Ember
5) Papan
Bahan :
1) Koran
2) Lem
3) Cat air
4) Air
C. Langkah pembuatan
1) Siapkan Koran sesuai kebutuhan
2) Potong Koran tersebut menggunakan gunting agar menjadi bagian-bagian
kecil
3) Siapkan ember yang sudah diisi air secukupnya
4) Rendam Koran tersebut selama 5jam atau hingga bagian daro Koran
terebut menjadi hancur.
5) Kemudian rendaman Koran tersebut diperas hingga kering dan potong
kecil-kecil
6) Siapkan sterofoam kemudian lapisi dengan lem yang di ambil oleskan
menggunakan lidi secara merata.
7) Ambil potongan rendaman Koran lalu letakan diatas sterofoam yang sudah
dilapisi lem dengan sedikit di tekan perlahan secara merata hingga
permukaan steorofoam tertutup oleh Koran tersebut.
8) Jemur hingga bagian dari Koran tersebut mongering
9) Setelah mongering buatlah gambar (bentuk) bangun datar dari pembahasan
matematika
10) Kemudian jemur hingga mongering
11) Setelah mongering oleskan cat airpada permukaan bangun datar tersebut
agar terlihat menarik menggunakan kuas agar terlihat lebih rapih
12) Jemur kembali hingga mengering
D. Cara penggunaan
Dalam penggunaan media pembelajaran ini anak yang berkebutuhan khusus (tuna
netra) dapat menggunakannya dengan cara meraba untuk dapat mengetahui
bentuk datar dalam pembelajaran matematika dengan disertai penjelasan
mengenai bangun datar tersebut oleh guru pendamping.
(Sumber : www.itasf.blogspot.com)
3. Pendidikan segresi adalah sekolah yang memisahkan anak yang berkebutuhan khusus
dari system persekolahan regular. Di Indonesia bentuk sekolah segresi ini berupa
satuan pendidikan khusus atau sekolah luar biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta
didik. sebagai satuan pendidikan khusus, maka system pendidikan yang digunakan
terpisah sama sekali dari system pendidikan disekolah regular, baik kurikulum, tenaga
pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada system pelajaran dan
evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segresi ini antara lain aspek perkembangan
emosi dan social anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
4. Chronological age adalah umur kelahiran, yaitu usia yang dihitung sejak anak lahir
sampai usia anak sekarang. Sedangkan, mental age adalah perkembangan kecerdasan
dalam hal rata-rata penampilan anak pada usia tertentu. Misalnya, seorang anak
berusia 8 tahun (CA 8 tahun). Jika MA nya 5 tahun berarti perkembangan
kecerdasannya kurang lebih sama dengan anak rata-rata (normal) yang berusia 5
tahun.
Kecerdasan seseorang biasanya dikatakan IO (intelligence quotient), ada dua cara
intuk mengetahui IQ:
1) Membagi MA dengan CA lalu dikali 100
IQ=MA/CA x 100
2) Menggunakan table dengan perkembangan anak normal seperti table di bawah
ini:
Bayi baru lahir Dapat minum menggunakan botol, apabila jarinya dipegang
dia akan merespon dengan menggenggam tangan kita
Pada minggu Dapat melihat benda-benda disekitarnya
keempat
Umur 6 bulan Dapat menangkap benda-benda yang digantungkan
didepannya tanpa pertolongan
Umue 10-11 Telah dapat berkata, “mama, papa”
bulan
Umur 1 tahun Dapat berbicara menggunakan 3-4 kata.
Umur 14 bulan Umumnya dapat berjalan
Umur 18 bulan Dapat menyebut bagian-bagia badan seperti: hidung, mata
dan lain sebagainya
Umur 2 tahun Dapat menyusun kalimat yang terdiri dari 2 suku kata,
mendengarkan cerita dan membedakan gambar
Umur 3 tahun Dapat bercakap-cakap menggunakan 5-6 suku kata
Umur 4 tahun Dapat menghitung sampai 10, menunjukan kecepatan dalam
memperkaya kata kata
Umur 5 tahun Dapat mengadakan percakapan, dapat menyebutkan 4 atau
lebih benda yang dilihatnya.
Umur 6 tahun Dapat mencontoh lambing bunyi(huruf) dan telah siap
masuk sekolah
3) Klasifikasi anak tunagrahita yang telah lama dikenal dengan adalah debil,
imbesil, dan idiot, sedangkan klasifikasi yang dilakukan oleh kaum pendidik
di Amerika adalah educable mentally retarded (mampu didik), trainable
mentally retarded (mampu latih) dan totally/custodial dependent (mampu
rawat). Pengelompokkan yang telah disebutkan itu telah jarang digunakan
karena terlampau mempertimbangkan kemampuan akademik seseorang.
Klasifikasi yang digunakan sekarang adalah yang dikemukakan oleh American
Asociation on Mental Deficiency (Hallahan, 1982; 43), sebagai berikut.
a. Mild mentyal ratardation(tunagrahita IQ-nya 70-55 ringan)
b. Moderate mental retardation (tunagrahita IQ-nya 55-40 sedang)
c. Severe mental retardation (tunagrahita IQ-nya 40-25 berat)
d. Profound memtal retardation ( sangat berat) IQ-nya 25 ke bawah
Untuk memperjelas klasifikasi tersebut, diilustrasikan seperti berikut.
Ada lima orang anak berusia 10 tahun. Si A, IQ-nya 100 (normal); si B IQ-nya
70-55; si C IQ-nya 55-40; si D IQ-nya 40-25; dan si E IQ-nya 25 ke bawah.
Untuk kebutuhan pendidikannya perlu ditentukan lebih dahulu umur
kecerdasannya (mental age).
12
10
6 CA (Chronological Age)
MA (Mental Age)
0
A B C D E
Dari grafik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. A berusia (chronological age) 10 tahun dan MA-nya 10 tahun
b. B berusia 10 tahun dan MA-nya berkisar 7-5,5 tahun artinya ia dapat
mempelajari materi pelajaran/tugas anak normal usia 5,5-7 tahun.
c. C berusia 10 tahun dan MA-nya berkisar 5,5-4,0 tahun artinya ia dapat
mempelajari materi pelajaran/tugas anak normal usia 5,5-4,0 tahun.
d. D berusia 10 tahun dan MA-nya berkisar 4,0 – 2,5 tahun artinya ia dapat
mempelajari materi pelajaran/tugas anak normal usia 4,0 – 2,5 tahun.
e. E berusia 10 tahun dan MA-nya berkisar 2,5 tahun artinya ia dapat
mempelajari materi pelajaran/tugas anak normal usia 2,5 tahun ke bawah.
(Sumber modul dan http://arisandrap-k5113005-
plbuns13.blogspot.com/2013/11/hubungan-ca-dan-ma-dalam-
tunagrahita.html)
5. Sebuah contoh di dalam suatu kelas ada seorang anak yang dapat dikatakan
tunagrahita dia lebih banyak diam ketika belajar dan juga kecepatan menerima
pelajarannya lambat. Supaya anak ini lebih aktif dalam belajar seorang guru dapat
memberikan motivasi kepada anak dengan memberikan pujian kepada anak ketika
anak dapat menyelesaikan tugas-tugas, dan dalam belajar guru hanya menggunakan
metode tanya jawab, demonstrasi, penugasan dan latihan. Melihat dari kondisi tidak
tampak aktifnya anak dalam belajar di kelas dibandingkan teman-temannya seorang
guru dapat meningkatkan partisipasi belajar aktif anak di kelas dengan menggunakan
strategi pembelajaran kooperatif, dengan mengelompokkan siswa yang aktif dan
kurang aktif. Alasannya strategi pembelajaran kooperatif adalah sebagai alternatif
untuk meningkatkan partisipasi dalam belajar. Strategi ini relevan dengan kebutuhan
anak tunagrahita dimana kecepatan belajarnya tertinggal dari anak normal. Strategi ini
bertitik tolak pada semangat kerja dimana mereka yang lebih pandai dalam membantu
temannya yang lemah (mengalami kesulitan) dalam suasana kekeluargaan dan
keakraban. Stretegi kooperatif memiliki keunggulan seperti meningkatkan sosisalisasi
antara anak tunagrahita dengan anak normal, menumbuhkan penghargaan dan sikap
positif anak normal terhadap prestasi belajar anak tunagrahita sehingga
memungkinkan harga diri anak tunagrahita meningkat, dan memberi kesempatan
pada anak tunagrahita untuk mengembangkan potensialnya seoptimalnya.
Dalam pelaksanaanya guru harus memiliki kemampuan merumuskan tujuan
pembelajaran, seperti untuk meningkatkan keterampilan bekerja sama. Selain itu guru
dituntut mempunyai keterampilan untuk mengatur tempat duduk, pengelompokan
anak dan besarnya anggota kelompok.
(Sumber : modul)