Anda di halaman 1dari 34

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa : Dewi Anggreini Marpaung

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 015610377

Tanggal Lahir : 13 Agustus 1984

Kode/Nama Mata Kuliah : IPEM4215/ Teori Politik

Kode/Nama Program Studi : 71/ Ilmu Pemerintahan

Kode/Nama UPBJJ : 12/Medan

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu/ 19 Desember 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Surat Pernyataan Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Dewi Anggreini Marpaung


NIM : 015610377
Kode/Nama Mata Kuliah : IPEM4215/ Teori Politik
Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum,Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : Ilmu Pemerintahan
UPBJJ-UT : 12-Medan

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Pandan, 19 Desember 2021

Yang Membuat Pernyataan

Dewi Anggreini Marpaung


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1. a. Pendekatan Kelembagaan atau Institusionalisme mengacu pada Negara sebagai fokus kajian utama,
setidaknya hadir dua jenis atau pemisahan institusi negara yakni negara demokratis yang berada
pada titik “pemerintahan yang baik” atau good governance dan negara otoriter yang berada pada
titik “pemerintahan yang jelek” atau bad governance dan kemudian mengembang lagi dengan
banyak varians yang memiliki banyak nama yang berbeda beda.penegakan etika bagi anggota DPR
menjadi penting karena konstitusi telah memberikan penguatan yang luar biasa bagi anggota
DPR.penguatan yang diberikan pasca amandemen UUD 1945 tidak hanya dalam tingkatan
konstitusi, melainkan praktik ketatanegaraan.perubahan radikal dalam amandemen tersebut
membuat proses politik di DPR menjadi dominan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sedari
mulai pembuatan UU, pengawasan atas pelaksanaan UU, penetapan anggaran, hingga memberikan
persetujuan agenda kenegaraan seperti menyatakan perang, membuat perjanjian dan perdamaian
negara lain hingga pengangkatan hakim agung membuat peran kelembagaan DPR menjadi sangat
vital.
Peranan yang sangat vital tersebut jika tidak dibatasi dalam penegakan etika dapat menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan.oleh karenanya, penegakan etika secara kelembagaan merupakan faktor
penting untuk menjaga keluhuran dan martabat kelembagaan DPR.dalam praktiknya, DPR telah
bersungguh-sungguh untuk mewujudkan keluhuran dan martabat sebagai Lembaga Perwakilan
Rakyat, hal ini dapat dilihat dari kesungguhan kelembagaan DPR untuk menegakkan kode etiknya
secara internal. Namun dalam beberapa kasus yang terjadi masih saja terdapat beberapa oknum
anggota yang disinyalir melanggar etika dan hukum sehingga membuat kehormatan dan martabat
kelembagaan sedikit terganggu.
Sebagai lembaga negara yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilihan Umum,
Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mampu untuk menjadi penyambung lidah rakyat.Harapan
besar dari masyarakat akan peningkatan kinerja wakil rakyat ternyata belum sepenuhnya
terwujud.Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sorotan minor dari masyarakat tentang kinerja
DPR.Sorotan yang pada ujungnya seringkali berubah menjadi sinisme membuat DPR sulit untuk
memperbaiki cita diri sebagai lembaga yang dicintai oleh masyarakat. Tanpa disadari, pemahaman
tentang kinerja DPR sebenarnya belum sepenuhnya terinformasi secara luas.
Sorotan atas rendahnya kinerja legislasi,hingga urusan hukum yang menjerat anggota DPR turut
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

membuat kesan DPR dimata publik semakin minus.

Untuk mengubah kesan minus tersebut, dibutuhkan pendekatan non-hukum agar lebih mampu
memperbaiki kinerja DPR.Pendekatan etika merupakan salah satu jalan guna menjaga wibawa dan
citra kelembagaan DPR secara umum.Guna meningkatkan kinerja anggota DPR yang sudah
menjadi tokoh publik, anggota DPR seharusnya menekankan pada etika sosial. Membicarakan etika
DPR sebagai Lembaga perwakilan harus dimulai dari kesadaran bahwa anggota DPR merupakan
representasi dari masyarakat itu sendiri. Pada hakekatnya, siapapun yang duduk dilembaga
perwakilan merupakan cermin dari masyarakat pemilihnya.karenanya kemudian penetapan dan
penegakan standar etika hendaknya dimulai dari pendulum bahwa DPR adalah sekumpulan manusia
yang secara realistis harus dijaga dengan norma yang berangkat dari masyarakat dimana ia
menjalankan fungsi representasinya.Sorotan tajam dari publik atas kinerja DPR selama ini membuat
DPR terus menerus berusaha untuk memperbaiki citranya.perbaikan citra tersebut dilakukan dalam
tahapan internal maupun eksternal. Tahapan ektsternal DPR berusaha keras untuk menghasilkan
regulasi dan kinerja yang baik dan diterima publik secara luas. Disamping hal tersebut, perbaikan
dari sisi internal juga dilakukan oleh DPR dalam perspektif urgensi penegakan etika para anggota
dewan/ legislator tersebut, Dennis F.Thompson dalam bukunya Political Ethics and
Publik Office menjelaskan, setidaknya ada tiga pendekatan untuk melihat perihal etika legislatif
anggota dewan :
1. Etika Minimalis, Etika ini memerintahkan diharamkannya tindakan yang buruk, seperti korupsi,
dengan membuat seperangkat aturan objektif yang berlaku bagi anggota dewan secara
internal.Implementasi dari etika minimalis ini adalah dibuatnya aturan tata tertib dan kode etik
serta dibentuknya sebuah badan kehormatan, seperti MKD.
2. Etika Fungsionalis, etika ini mendefenisikan tugas bagi anggota dewan dalam lingkup fungsi
mereka sebagai wakil rakyat.para wakil rakyat sudah semestinya memahami fungsi utama
mereka duduk dikursi dewan, yaitu mekanisme aspirasi sekaligus representasi rakyat yang
mereka wakili. Para anggota DPR dianggap telah memenuhi etika fungsional ketika ia
melaksanakan semua tugas dan fungsi dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, ia akan dianggap
melanggar etika ketika tidak menjalankan tugas dan fungsinya.
3. Etika Rasionalis, pondasi rasional menempatkan para dewan/legislator harus bertugas pada
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

prinsip hakiki politik, seperti keadilan,kebebasan, dan kebaikan bersama.berpijak pada etika ini,
anggota dewan diharamkan bertindak memperkaya diri denagn melawan hukum, baik atas nama
pribadi maupun partainya.para legislator harus sadar betul bahwa ketika mereka duduk dikursi parlemen,
tuan mereka bukan lagi partai atau petinggi partai, melainkan rakyat dan konstituen.

b. Elitisme adalah keyakinan atau gagasan bahwa individu yang membentuk sebuah elit sekelompok
orang terpilih yang digambarkan memiliki kualitas intrinsik, kecerdasan tinggi, kekayaan,
keterampilan khusus, atau pengalaman—lebih cenderung konstruktif bagi masyarakat secara
keseluruhan, dan karenanya berhak mendapatkan pengaruh atau otoritas yang lebih besar dari orang
lain Istilah elitisme dapat digunakan untuk menggambarkan situasi di mana kekuasaan
terkonsentrasi di tangan sejumlah orang. Oposisi
elitisme termasuk anti-elitisme, egalitarianisme, populisme, dan teori politik dari pluralisme.
Teori elit adalah analisis sosiologis atau ilmu politik dari pengaruh elit dalam masyarakat: teori elit
menganggap pluralisme sebagai cita-cita utopis. Elitisme berkaitan erat dengan kelas sosial dan apa
yang oleh sosiolog disebut stratifikasi sosial, yang dalam tradisi Anglo Saxon telah lama berlabuh
dalam klaim "darah biru" dari keturunan bangsawan. Anggota kelas atas kadang-kadang dikenal
sebagai elit sosial.Istilah elitisme juga kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan situasi di
mana sekelompok orang yang mengaku memiliki kemampuan tinggi hanya dalam
kelompok atau kader, memberikan diri mereka keistimewaan ekstra dengan mengorbankan orang
lain. Bentuk elitisme ini dapat digambarkan sebagai diskriminasi. Beberapa sinonim untuk "elit"
mungkin "kelas atas" atau "aristokrat", yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tingkat
kendali yang relatif besar atas alat produksi masyarakat. Ini termasuk mereka yang mendapatkan
posisi ini karena alasan sosial ekonomi dan bukan pencapaian pribadi. Namun, istilah-istilah ini
menyesatkan ketika membahas elitisme sebagai teori politik, karena sering dikaitkan dengan
konotasi "kelas" negatif dan gagal untuk menghargai eksplorasi filosofi yang lebih tidak bias.
Elitisme memandang Elit sebagai aktor politik inti di setiap masyarakat yang terstruktur secara
hirarkis, dengan demikian Elitisme berarti cara yang berguna untuk mengidentifikasi dan
mempromosikan aneka kondisi yang menguatkan efektivitas Elit.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Dengan demikian Elit politik didefinisikan sebagai kelompok individual, yang berukuran kecil,
yang relatif kohesif, serta stabil, yang memiliki kekuasaan disproporsional untuk mempengaruhi
outcome politik nasional dan supranasional dalam basis yang berkelanjutan.
Studi Birch lebih terletak pada studi klasik Elit, bukan pada Neo-Elitisme maupun Demo-Elitisme.
Sebelum mengkritisi pemikiran Pareto, Mosca, Michels, dan Mills , Birch terlebih dahulu
mengajukan tiga proposisinya sendiri mengenai Elitisme politik, yang kemudian ia gunakan untuk
menilai pandangan Elitisme keempat orang tokoh yang ia kritisi. 
Proposisi
a. Bahwa akses ke jabatan politik hanya terbatas pada anggota kelompok sosial kohesif dan relatif
kecil, mereka punya kepentingan dan nilai identik yang berdampak politik, dan tidak
merefleksikan kepentingan dan nilai mayoritas warganegara. Proposisi
b. Pemegang jabatan pemerintahan jarang responsif terhadap pandangan dan kepentingan publik
secara umum. Proposisi
c. Pemegang jabatan, kendatipun tidak mencari kepentingan pribadi, secara teratur mengambil
keputusan demi kepentingan kelas atau kelompok warganegara yang relatif kecil.

2. a. Menurut Andrew Heywood, politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat,
mempertahankan dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehiduoannya,
yang berarti tidak terlepas dari gejala konflik dan kerja sama.
Menurut Andrew Heywood, politik dapat dimaknai sebagai seni pemerintahan, urusan public,
kompromi dan consensus, serta politik sebagai kekuasaan. Kata politik berasal dari kata polis atau
kota praja, masyarakat Yunani terbagi menjadi Negara-negara kota yang independen, masingmasing
memiliki system pemerintahannya sendiri. Politik dalam konteks ini dipahami sebagi Negara.
Mempelajari politik pada intinya mempelajari pemerintahan, atau lebih luas yaitu mempelajari
penyelenggara kekuasaan. Politik adalah apa yang berlangsung dalam mesin pemerintahan.Politik
pada intinya di praktekan dalam ruang kabinet, kamar legeslatif, departemen pemerintahan dan yang
sejenisnya. Dan yang terlibat didalamnya adalah kelompok masyarakat yang terbatas dan spesifik
terutama para politisi Sedangkan politik sebagai urusan publik sebagaimana di katakana oleh
Aristoteles bahwa manusia pada dasarnya adalah hewan yang berpolitik maksudnya hanyalah
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

didalam sebuah masyarakat yangberpolitik umat manusia dapat menjalani sebuah kehidupan yang
baik. Politik dapat dimaknai sebagai sebuah aktifitas etis yang berkenaaan dengan usaha
menciptakan sebuah masyarakat yang adil atau yang namakan ilmu pemerintahan pokok Pembedaan
tradisonal antara lingkup public dan lingkup prifat sesuai dengan pembagian antara Negara dan
masyarakat sipil.
Lembaga –lembaga Negara (perangkat pemerintahan, pengadilan, polisi,tentara, system keamanan
social,dan sebagainya daoat dianggap sebagai public dalam pengertian bahwa mereka
bertanggungjawab untuk mengatur kehidupan masyarakat dengan belnja public. Berbeda dengan
masyarakat sipil yang terdiri dari keluarga,perusahan pribadi atau sawasta, serikat pekerja, kelompk
kemasyarakatan dll. Adalah privat karena mereka dibentuk dan dibiyayai secara pribadi Politik
sebagai konflik dan consensus, dapat dipahami bahwa politik adalah sebuah cara untuk memecahkan
konflik yaitu dengan kompromi, perdamaian dan negosiasi, dari pada melalui kekerasan atau dengan
mnggunakan senjata. Salah satu pendukung pandanagn ini adalah Bernard Crick (dalam
Heywood,2014:13) yang mengatakan bahwa politik adalah Aktivitas dimana Keoentingan-
kepentingan yang berbeda dalam sebuah unit pemerintah tertentu, di damaikan dengan member
mereka bagian dalam kekuasaan sebanding dengan peran mereka bagi kesejahteraan dan
kelangsungan hidup seluruh masyarakat.
Contoh :
1. Darah biru dikerajaan
2. Kualitas pribadi sang pemimpin baik penampilannnya yang agung dan diri pribadinya yang
popular maupun karena memiliki charisma.
3. peraturan perundang - undangan yang mengatur prosedur dan syarat - syarat menjadi pemimpin
pemerintahan .

Peralihan kewenangan Menurut Paul Conn, ada 3 cara peralihan kewenangan :


1 . turun - temurun : tradisi di kerajaan
2. pemilihan - sesuai perundang - undangan
3 . paksaan - revolusi , kudeta , ancaman kekerasan
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Legitimasi adalah pengakuan dan penerimaan masyarakat kepada pemimpin untuk memerintah , membuat
dan melaksanakan keputusan politik . Legitimasi hanya dari anggota masyarakat, dalam arti massa dan
kelompok sosial yang mempunyai kekuasaan potensial, seperti militer, kelompok agama, birokrasi, dan
sebagainya.
Objek legitimasi : Hukum - krisis konstitusi Kebijakan - krisis kebijakan Masyarakat politik - krisis
identitas Pemimpin politik - krisis kepemimpinan
Jadi bisa disimpulkan perbedaan dari ke 3 nya adalah :
1. Kekuasaan : kemampuan untuk mempengaruhi
2. kewenangan : Hak moral atau hak untuk memerintah
3. Legitimasi : Penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral

b. Kekuasaan (power) merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku individu
ataupun kelompok untuk bertindak seperti apa yang dia perintahkan atau anjurkan . Pelaku yang
menjalankan kekuasaan dapat berupa seseorang , kelompok , organisasi maupun pemerintah .
Kekuasaan sedikit nya melibatkan 2 pihak .
Kekuasaan juga mempunyai hubungan dengan Persuasi (kemampuan meyakinkan orang lain
melalui alasan kuat untuk melakukan sesuatu Manipulasi (pengaruh yang tidak disadari orang lain
untuk memenuhi keinginan pemegang kekuasaan )
unsur - unsur kekuasaan : kemampuan /kekuatan / kepemimpinan kemauan / keinginan dari
seseorang dalam situasi hubungan sosial wujudnya berbentuk keputusan yang membatasi atau
memperluas alternatif bertindak memperluas alternatif bertindak.
Kekuasaan juga memiliki sumber - sumber yaitu :Sarana paksaan Fisik seperti senjata ,
teknologi dll kekayaan seperti uang, tanah , bankir , pengusaha dll Popularitas pribadi seperti
bintang film , pemain sepak bola jabatan keahlian seperti pengetahuan , teknologi , keterampilan
Kewenangan adalah kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power), Kewenangan juga
bisa diartikan sebagai kekuasaan yang dilembagakan atau diformalkan
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Sumber kewenangan berasal dari : 1 . Tradisi- Kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara
terus - menerus dalam masyarakat. Contoh : “ darah biru di kerajaan ’’ 2 . Kualitas pribadi
sang pemimpin , baik penampilannya yang agung dan diri pribadinya yang populer maupun karena
memiliki kharisma. 3. peraturan perundang - undangan yang mengatur prosedur dan syarat - syarat
menjadi pemimpin pemerintahan .
Peralihan kewenangan Menurut Paul Conn, ada 3 cara peralihan kewenangan :
1. turun - temurun : tradisi di kerajaan
2. pemilihan - sesuai perundang - undangan
3. paksaan - revolusi , kudeta , ancaman kekerasan

Legitimasi adalah pengakuan dan penerimaan masyarakat kepada pemimpin untuk memerintah ,
membuat dan melaksanakan keputusan politik . Legitimasi hanya dari anggota masyarakat, dalam arti
massa dan kelompok sosial yang mempunyai kekuasaan potensial, seperti militer, kelompok agama,
birokrasi, dan sebagainya.

Objek legitimasi : Hukum - krisis konstitusi Kebijakan - krisis kebijakan Masyarakat politik - krisis
identitas Pemimpin politik - krisis kepemimpinan

Jadi bisa disimpulkan perbedaan dari ke 3 nya adalah :


Kekuasaan : kemampuan untuk mempengaruhi
kewenangan : Hak moral atau hak untuk memerintah
Legitimasi : Penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral

Peralihan kewenangan Menurut Paul Conn, ada 3 cara peralihan kewenangan :


1. turun - temurun : tradisi di kerajaan
2. pemilihan - sesuai perundang - undangan
3. 3 . paksaan - revolusi , kudeta , ancaman kekerasan
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

3. a. Masyarakat Madani (dalam bahasa Inggris: civil society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat
yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Kata madani sendiri
berasal dari bahasa arab yang artinya civil atau civilized (beradab). Istilah masyarakat madani
adalah terjemahan dari civil atau civilized society, yang berarti masyarakat yang berperadaban.
Untuk pertama kali istilah Masyarakat Madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil
perdana menteri Malaysia. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial
yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu
dengan kestabilan masyarakat Inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni,
pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan
individu. Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan
peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama Dawam menjelaskan, dasar utama
dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman
hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup
dalam suatu persaudaraan. Masyarakat Madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu
masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi,
berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten memiliki bandingan, mampu
berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang
paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. asyarakat madani adalah kelembagaan sosial
yang akan melindungi warga negara dari perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan. Bahkan
masyarakat madani dapat dikatakan sebagai tiang utama kehidupan politik yang demokratis.
Sebab masyarakat madani tidak saja melindungi warga negara dalam berhadapan dengan negara,
tetapi juga merumuskan dan menyuarakan aspirasi masyarakat.

b. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) menyatakan tentang pentingnya peningkatan peran masyarakat sipil dalam demokratisasi
di Indonesia.
Konsep masyarakat sipil yang melandasi studi ini pada hakikatnya merupakan konsep tentang
masyarakat yang mandiri atau otonom, yakni sebagai entitas yang mampu memajukan diri sendiri,
dapat “membatasi” intervensi pemerintahan dan negara dalam realitas yang diciptakannya, serta
senantiasa memperlihatkan sikap kritis dalam kehidupan politik.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Sejumlah karakteristik penting entitas masyarakat sipil yang menjadi rujukan studi ini mengadu
pada ciri-ciri utama, yakni otonomi politik berhadapan dengan negara, di samping aspek
keswadayaan (self supporting), dan keswasembadaaan (self generating).
Secara operasional, sosok masyarakat sipil yang dimaksud mencakup institusi-institusi non-
pemerintah yang berada di masyarakat yang mewujudkan diri melalui organisasi, perkumpulan atau
pengelompokan sosial dan politik yang berusaha untuk membangun kemandirian seperti organisasi
sosial dan keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), paguyuban, kelompok-kelompok
kepentingan, dan sebagainya yang juga bisa mengambil jarak dan menunjukkan otonomi terhadap
negara. Persoalan penting untuk dijawab dan sekaligus juga menjadi alasan mendasar bagi
dilakukannya studi ini, yaitu persoalan menyangkut kontribusi peran masyarakat sipil terhadap
proses demokratisasi yang bergulir. Hal ini amat penting menjadi perhatian mengingat bahwa dalam
dua puluh lima tahun ke depan sasaran pembangunan politik Indonesia adalah mencapai apa yang
disebut demokrasi yang terkonsolidasi sebagaimana telah ditetapkan dalam UU Nomor 17 tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.
Sumbangan masyarakat sipil terhadap konsolidasi demokasi dengan berbagai peran yang
dijalankannya tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Untuk itu, penting untuk mempelajari
tantangan yang dihadapi oleh organisasi masyarakat sipil dalam dua konteks besar, yaitu dari sisi
eksternal dan sisi internal.
penguatan kapasitas yang dimliliki secara kelembagaan oleh masyarakat sipil dan upaya
pengembangan karakternya dari dan oleh elemen masyarakat sipil sendiri.
Masyarakat sipil merupakan sebuah konsep yang sangat luas. Cohen dan Arato (1992)
mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah interaksi sosial yang di dalamnya mencakup
semua kelompok sosial paling akrab (khususnya keluarga), asosiasi (terutama yang bersifat
sukarela), gerakan kemasyarakatan, dan berbagai wadah komunikasi publik lainnya yang diciptakan
melalui bentuk-bentuk pengaturan dan mobilisasi diri secara independen baik dalam hal
kelembagaan maupun kegiatan.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Perspektif lain dikemukakan oleh Gramsci (1971) yang mendefinisikan masyarakat sipil sebagai
kumpulan organisme “privat”, berbeda dengan negara yang disebutnya masyarakat politik (political
society). Secara konkret, Gramsci menegaskan masyarakat sipil sebagai suatu wilayah institusi
privat mencakup gereja, serikat-serikat dagang/pekerja, dan lembaga pendidikan, sementara negara
adalah institusi-institusi publik seperti pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara. Gramsci
terkadang mendefinisikan negara sebagai masyarakat politik ditambah masyarakat sipil – “the state
should be understood not only as the apparatus of the government, but also ths private apparatus of
Civil Society” (negara tidak harus dipahami hanya sebagai lembaga pemerintahan, tetapi juga
sebagai lembaga masyarakat sipil).

Konsep masyarakat sipil yang melandasi studi ini pada hakikatnya merupakan konsep masyarakat
yang mandiri atau otonom. Dalam batas-batas tertentu masyarakat sipil dilihat sebagai entitas yang
mampu memajukan diri sendiri, bisa “membatasi” intervensi pemerintahan dan negara dalam
realitas yang diciptakannya, serta senantiasa memperlihatkan sikap kritis dalam kehidupan politik.
Studi ini merujuk pada beberapa karakteristik penting dari keberadaan masyarakat sipil, yakni aspek
otonomi politik berhadapan dengan negara, di samping aspek keswadayaan, dan keswasembadaaan.
Namun demikian, hal paling utama yang ditekankan dalam kajian ini adalah karakteristik otonomi
politiknya.
Sebagaimana halnya masyarakat sipil, konsep negara pun cukup rumit dan luas. Berdasarkan
rangkuman dari pendapat beberapa pakar, arus pemikiran utama di antara berbagai versi konsep
negara terbagi dalam dua peringkat, yaitu individual (Nodlinger, 1983) dan kelembagaan (Skocpol,
2001; & Krasner, 2000). Dalam peringkat individual negara dapat dilihat sebagai sekumpulan
individu yang memiliki kewenangan (baca: kekuasaan), membuat dan melaksanakan keputusan
yang mengikat semua pihak di wilayah tertentu. Negara dalam konteks ini dipandang sebagai
bagian dari kumpulan individu pejabat-pejbat pemerintah, termasuk presiden dan para menteri.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Bila dilihat dalam peringkat lembaga, negara merupakan seperangkat organisasi yang mencakup
organisasi administratif, kepolisian, dan militer. Masing-masing dipimpin dan dikordinasi oleh
eksekutif. Termasuk di dalamnya lembaga-lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat dalam
pembuatan keputusan –seperti parlemen, partai-partai politik, dan organisasi korporatis yang
dibentuk oleh negara– beserta lembaga-lembaga masyarakat yang dimobilisasi untuk mengambil
bagian dalam pelaksanaan kebijakan, kepentingan, dan kekuasaaan negara. Mengutip Maswadi
Rauf (1991), negara adalah aktor yang seringkali menjadi dan bertindak atas diri sendiri (state of its
own, state qua state, state autonomy), serta tidak bergantung pada masyarakat. Negara merumuskan
dan berusaha mencapai tujuan tertentu tanpa harus bergantung pada masyarakat, betapapun tujuan
itu tidak mencerminkan tuntutan dan kepentingan berbagai kelas sosial atau kelompok-kelompok
masyarakat.
Berdasarkan kedua konteks tersebut, dapat diformulasi-kan rumusan permasalahan utama yang
akan menjadi perhatian studi ini. Terkait konteks sisi eksternal (enabling environment), rumusan
permasalahan yang hendak diteliti adalah: 1)Bagaimana kondisi lingkungan faktual yang
berpengaruh melalui peran pemerintah dalam menciptakan hubungan kondusif bagi berkembangnya
peran organisasi masyarakat sipil sebagai aktor demokrasi? 2)Bagaimana peran pelaku non-negara
seperti partai politik (political society) maupun organisasi bisnis economic society) dalam
mendorong berkembangnya peran masyarakat sipil sebagai aktor demokrasi? 3)Bagaimana
gambaran aktivitas dan permasalahan yang dihadapi dalam perwujudan peran organisasi
masyarakat sipil beserta kontribusi kelembagaannya ke depan dalam membangun demokrasi di
Indonesia?
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Darisisi internal (kapasitas kelembagaan dan pengembangan karakter), rumusan pertanyaan yang
hendak dijawab:
1) Apakah masyarakat sipil memiliki kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia yang
memadai dalam memberikan kontribusi peran sebagai aktor demokrasi?
2) Apakah masyarakat sipil dalam menjalankan peran sebagai aktor demokrasi mampu
menunjukkan karakteristik kelembagaan sebagai organisasi yang memiliki sifat kemandirian
(autonomy), keswadayaan (self supporting), dan keswasembadaan (self generating)?

4. a. Kita telah menyaksikan negara-negara sedang berderap menuju demokrasi. Meskipun perjalanan
menuju demokrasi tidak mudah, banyak negara percaya bahwa demokrasi akan menjamin
keterpenuhan hak-hak sipil warga negara sekaligus memberi jalan kepada kemakmuran.
Dengan bangunan argumen yang cerdas dan masuk akal, Ian Bremmer mengemukakan teori tentang
jalur yang dilalui suatu negara untuk mengakhiri otoritarianisme. Teori ‘Kurva J’ menyediakan
kerangka analisis yang memadai untuk memahami bagaimana negara- negara runtuh atau bertahan
dalam proses menuju pemerintahan terbuka. Disebut ‘Kurva J' karena teori itu digambarkan dalam
bentuk grafik dengan sumbu vertikal yang mengukur kestabilan dan sumbu horizontal yang
mengukur keterbukaan politik dan ekonomi terhadap dunia luar. Jika kita ingin mengukur tingkat
kestabilan dan keterbukaan suatu negara maka akan terbentuk sebuah titik. Titik-titik data ini ketika
dirangkai menjadi satu akan membentuk sebuah kurva yang mirip huruf J. Semakin ke kiri negara
yang kita ukur menempati kurva tersebut maka semakin tertutup negara itu, dan sebaliknya.
Semakin tinggi letak suatu negara yang kita ukur dalam kurva tersebut maka semakin stabil negara
itu, dan sebaliknya. Dengan pola seperti itu, teori ‘Kurva J’ juga memberikan rekomendasi kebi-
jakan kepada negara-negara maju mengenai cara paling efektif untuk membantu negara-negara
otoriter keluar dari belenggu kedikatatoran.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Dalam sistem pemerintahan negara-negara di dunia, ada dua jenis karakter sebuah rezim, yaitu
negara yang stabil karena tertutup dan negara yang stabil karena terbuka. Idealnya, negara yang
stabil karena terbuka lebih baik dibandingkan negara yang stabil karena tertutup. Oleh sebab itu,
pertanyaan besar yang perlu dicari jawabannya adalah bagaimana cara mengubah negara yang stabil
karena tertutup menjadi negara yang stabil karena terbuka. Untuk menjawab pertanyaan ini,
Bremmer terinspirasi dari teori ekonomi. Teori ‘Kurva J’ sebenarnya diadaptasi dari teori
perdagangan internasional, khususnya kurva J yang mengukur hubungan antara defisit perdagangan
suatu negara dan nilai tukar mata uangnya.

Secara garis besar, menyoroti dua faktor penentu kualitas sebuah pemerintahan, yakni keterbukaan
dan kestabilan. Keterbukaan mengukur sejauh mana sebuah negara selaras dengan arus-arus
globalisasi yang saling-silang serta seberapa jauh negara tersebut menjamin kebebasan warga
negaranya dalam berekspresi dan memperoleh informasi. Sementara itu, kestabilan merujuk pada
kemampuan negara bertahan dari guncangan dan kemampuannya untuk tidak membuat guncangan-
guncangan. Dari kategorisasi itu, Bremmer memberikan contoh negara-negara, seperti Korea Utara,
Kuba, dan Irak sebagai negara yang berada pada sisi paling kiri dari Kurva J, yakni negara stabil
tetapi tertutup. Sebaliknya, negara-negara yang dikategorikan sebagai negara ‘agak terbuka’, tetapi
berpotensi menjadi tidak stabil adalah Iran, Arab Saudi, dan Rusia. Afrika Selatan dan Yugoslavia
adalah contoh negara yang berada di paling bawah dari Kurva J. Negara-negara yang berada di sisi
paling kanan Kurva J atau masuk dalam kategori negara stabil dan terbuka, contohnya adalah Turki,
Israel, dan India. Untuk Cina, Bremmer menempatkannya di sisi kiri Kurva J dengan alasan Cina
masih relatif tertutup sekalipun ekonominya terbuka, namun stabil.
Buku ini berangkat dari tesis bahwa sebuah negara yang stabil karena ketertutupannya harus
melalui sebuah babak ketidakstabilan yang berbahaya atau kritis sewaktu negara itu membuka diri
terhadap dunia luar. Jadi, proses menuju kestabilan dan keterbukaan membutuhkan ‘pengorbanan’
berupa ketidakstabilan.

penguatan kapasitas yang dimliliki secara kelembagaan oleh masyarakat sipil dan upaya
pengembangan karakternya dari dan oleh elemen masyarakat sipil sendiri.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Masyarakat sipil merupakan sebuah konsep yang sangat luas. Cohen dan Arato (1992)
mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah interaksi sosial yang di dalamnya mencakup
semua kelompok sosial paling akrab (khususnya keluarga), asosiasi (terutama yang bersifat
sukarela), gerakan kemasyarakatan, dan berbagai wadah komunikasi publik lainnya yang diciptakan
melalui bentuk-bentuk pengaturan dan mobilisasi diri secara independen baik dalam hal
kelembagaan maupun kegiatan. Perspektif lain dikemukakan oleh Gramsci (1971) yang
mendefinisikan masyarakat sipil sebagai kumpulan organisme “privat”, berbeda dengan negara
yang disebutnya masyarakat politik (political society). Secara konkret, Gramsci menegaskan
masyarakat sipil sebagai suatu wilayah institusi privat mencakup gereja, serikat-serikat
dagang/pekerja, dan lembaga pendidikan, sementara negara adalah institusi-institusi publik seperti
pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara. Gramsci terkadang mendefinisikan negara sebagai
masyarakat politik ditambah masyarakat sipil – “the state should be understood not only as the
apparatus of the government, but also ths private apparatus of Civil Society” (negara tidak harus
dipahami hanya sebagai lembaga pemerintahan, tetapi juga sebagai lembaga masyarakat sipil).

Konsep masyarakat sipil yang melandasi studi ini pada hakikatnya merupakan konsep masyarakat
yang mandiri atau otonom. Dalam batas-batas tertentu masyarakat sipil dilihat sebagai entitas yang
mampu memajukan diri sendiri, bisa “membatasi” intervensi pemerintahan dan negara dalam
realitas yang diciptakannya, serta senantiasa memperlihatkan sikap kritis dalam kehidupan politik.
Studi ini merujuk pada beberapa karakteristik penting dari keberadaan masyarakat sipil, yakni aspek
otonomi politik berhadapan dengan negara, di samping aspek keswadayaan, dan keswasembadaaan.
Namun demikian, hal paling utama yang ditekankan dalam kajian ini adalah karakteristik otonomi
politiknya.
Sebagaimana halnya masyarakat sipil, konsep negara pun cukup rumit dan luas. Berdasarkan
rangkuman dari pendapat beberapa pakar, arus pemikiran utama di antara berbagai versi konsep
negara terbagi dalam dua peringkat, yaitu individual (Nodlinger, 1983) dan kelembagaan (Skocpol,
2001; & Krasner, 2000).
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Dalam peringkat individual negara dapat dilihat sebagai sekumpulan individu yang memiliki
kewenangan (baca: kekuasaan), membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat semua pihak
di wilayah tertentu. Negara dalam konteks ini dipandang sebagai bagian dari kumpulan individu
pejabat-pejbat pemerintah, termasuk presiden dan para menteri. Bila dilihat dalam peringkat
lembaga, negara merupakan seperangkat organisasi yang mencakup organisasi administratif,
kepolisian, dan militer. Masing-masing dipimpin dan dikordinasi oleh eksekutif. Termasuk di
dalamnya lembaga-lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat dalam pembuatan keputusan –
seperti parlemen, partai-partai politik, dan organisasi korporatis yang dibentuk oleh negara– beserta
lembaga-lembaga masyarakat yang dimobilisasi untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan
kebijakan, kepentingan, dan kekuasaaan negara. Mengutip Maswadi Rauf (1991), negara adalah
aktor yang seringkali menjadi dan bertindak atas diri sendiri (state of its own, state qua state, state
autonomy), serta tidak bergantung pada masyarakat. Negara merumuskan dan berusaha mencapai
tujuan tertentu tanpa harus bergantung pada masyarakat, betapapun tujuan itu tidak mencerminkan
tuntutan dan kepentingan berbagai kelas sosial atau kelompok-kelompok masyarakat.
Berdasarkan kedua konteks tersebut, dapat diformulasi-kan rumusan permasalahan utama yang
akan menjadi perhatian studi ini. Terkait konteks sisi eksternal (enabling environment), rumusan
permasalahan yang hendak diteliti adalah:
1) Bagaimana kondisi lingkungan faktual yang berpengaruh melalui peran pemerintah dalam
menciptakan hubungan kondusif bagi berkembangnya peran organisasi masyarakat sipil sebagai
aktor demokrasi?
2) Bagaimana peran pelaku non-negara seperti partai politik (political society) maupun organisasi
bisnis economic society) dalam mendorong berkembangnya peran masyarakat sipil sebagai
aktor demokrasi?
3) Bagaimana gambaran aktivitas dan permasalahan yang dihadapi dalam perwujudan peran
organisasi masyarakat sipil beserta kontribusi kelembagaannya ke depan dalam membangun
demokrasi di Indonesia?
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Otoritarianisme berbeda dari totalitarianisme di lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang terjadi,
yang tidak di bawah kendali pemerintah. Sistem ini biasanya menentang demokrasi, sehingga pada
umumnya kuasa pemerintahan diperoleh tanpa melalui sistem demokrasi pemilihan umum.

Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai acuan hidup. Ia akan
menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir. Ketika berhadapan dengan orang lain dan
menanggapi masalahnya, mereka akan menanyakan kedudukannya (sebagai apa) dalam lembaga
dan organisasi. Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan
kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya. Namun,
hal ini hanya berlaku untuk dirinya. Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi pekerjaan
seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada. Jika orang itu
tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia akan dianggap salah.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Anda mungkin juga menyukai