Anda di halaman 1dari 124

MANAJEMEN DIKLAT

Oleh:

MUH AKSAN/19010103067

Manajemen Pendidikan Islam

Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguguran

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

2021

BAB I
Pengertian Manajemen Diklat

A. Pengertian Manajemen Diklat

Manajemen dalam bahasa Inggris berasal dari kata “to manage”. Kata manage berasal
dari bahasa Italia “managgio” dari kata “managgiare”, yang artinya “mengendalikan”, yang
selanjutnya kata ini berasal dari bahasa latin yaitu “manus”, yang berarti “tangan”.
Manajemen adalah suatu seni dalam ilmu dan pengorganisasian seperti menyusun
perencanaan, membangun organisasi dan pengorganisasiannya, pergerakan, serta
pengendalian ataupun pengawasan. Manajemen merupakan usaha menggerakkan dan
mengendalikan   orang-orang yang dalam organisasi supaya mereka bekerja secara optimal.
Manajemen juga diartikan sebagai proses mendayagunakan orang dan sumber daya  lain
untuk tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

Ada beberapa pengertian manajemen menurut para ahli, yaitu:

1. Menurut Brantas, manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja yang melibatkan
bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang ke arah tujuan-tujuan organisasional
atau maksud-maksud yang nyata.
2. Menurut Mas’ud, manajemen adalah ketatalaksanaan proses untuk penggunaan sumber
daya secara efektif dalam mencapai sasaran tertentu.
3. Menurut Griffin, manajemen adalah sebagai sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai
sasaran (goals) secara efektif dan efisien.
4. Menurut James, manajemen adalah kebiasaan yang dilakukan secara sadar dan terus-
menerus dalam membentuk organisasi.

Pendidikan adalah usaha sistematik yang disengajakan, yang dibuat oleh suatu
masyarakat untuk menyampaikan pengetahuan, nilai, sikap dan kemahiran kepada ahlinya,
usaha memperkembangkan potensi individu dan perubahan yang berlaku dalam diri manusia.
Pelatihan merupakan suatu kegiatan dalam maksud untuk memperbaiki dan mengembangkan
keterampilan, sikap, tingkah laku dan pengetahuan setiap orang. Pendidikan dan pelatihan
(diklat) merupakan suatu proses pembelajaran dalam organisasi yang mengarah pada
perubahan sikap dan perilaku pegawai memenuhi harapan kualifikasi kerja dan tuntutan
perkembangan organisasi baik internal maupun eksternal. Pendidikan dan Pelatihan
merupakan suatu proses pembelajaran dalam organisasi yang mengarah pada perubahan sikap
dan perilaku pegawai memenuhi   harapan kualifikasi kerja dan tuntutan perkembangan
organisasi baik internal maupun eksternal.

Secara yuridis pengertian pendidikan dan pelatihan dapat dilihat pada dua sumber
yaitu, yang pertama Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional. Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, dinyatakan bahwa “
Pendidikan adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat kita pahami bahwa pendidikan adalah usaha
sadar yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara (instansi pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, dan lain sebagainya untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik di masa yang
akan datang. Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pelatihan adalah bagian
dari kegiatan pendidikan. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (4) dinyatakan bahwa lembaga pelatihan
merupakan satuan pendidikan nonformal, di samping satuan pendidikan lainnya yaitu kursus,
kelompok belajar, majelis ta’lim, kelompok bermain, taman penitipan anak, pusat kegiatan
belajar masyarakat serta satuan pendidikan yang sejenis. Termasuk dalam kegiatan sejenis
adalah panti, penyuluhan, magang, bimbingan belajar, Kepramukaan, pondok pesantren
tradisional (salafiyah), padepokan dan sanggar. Pelatihan dapat dilakukan alam jenis dan
ruang lingkup pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan, dan
pendidikan kejuruan.

Ada beberapa pengertian pendidikan dan pelatihan (diklat) menurut para ahli, yaitu:

1. Menurut Gomes, pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performa si pekerja
pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya, atau satu
pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya.
2. Menurut Syamsuddin, diklat adalah suatu proses dari pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan yang dilaksanakan terus menerus bagi suatu organisasi agar karyawan yang
mengikuti diklat mampu mengembangkan karir dan aktivitas kerjanya di dalam
mengembangkan, memperpaiki perilaku kerja karyawan, mempersiapkan karyawan untuk
menduduki jabatan yang lebih rumit dan sulit, serta mempersiapkan tenaga untuk
mengembangkan aktivitas kerjanya.
3. Edwin, B. Flippo, latihan adalah kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan seorang pegawai dalam melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.
4. Menurut Moekijat, ada 3 syarat yang harus dipenuhi agar suatu kegiatan dapat disebut
latihan yaitu: a) Latihan harus membantu pegawai menambah kemampuannya. b) Latihan
harus menimbulkan perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan dari pegawai, termasuk
sikapnya terhadap pekerjaan, dalam menerapkan informasi dan pengetahuan terhadap
pekerjaan sehari-hari. c) Latihan harus berhubungan dengan pekerjaan tertentu.
5. Menurut Invancevich, pelatihan dan pengembangan (diklat) adalah proses sistematis untuk
mengubah prilaku karyawan yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.

Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, manajemen diklat


adalah upaya yang sistematis dan terencana dalam mengoptimalkan seluruh komponen diklat
guna mencapai tujuan program secara efektif dan efesien. Manajemen diklat atau pelatihan
ialah suatu pengelolaan pelatihan yang dilakuakan baik kepada karyawan maupun kepada
masyarakat dalam rangka untuk menjamin apakah pelatihan atau diklat yang dilakukan
terhadap karyawan atau masyarakat yang menjadi objek sasarannya sesuai dengan apa yang
dibutuhkan oleh si peserta pelatihan atau diklat. Komponen diklat terdiri dari kurikulum,
sumber daya manusia, sarana/prasarana, dan biaya. Manajemen diklat yang sistematis dan
terencana meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan (kontrol), dan evaluasi, terutama
menyangkut tentang organisasi, program, sumber daya, dan pembiayaan. Sedangkan tujuan
penyelenggaraan diklat secara umum adalah meningkatkan aparatur yang profesional.

Istilah diklat merupakan singkatan dari pendidikan dan pelatihan. Bisa dikatakan dua
kata ini telah menyatu dan membentuk satu pengertian. Istilah diklat ini banyak digunakan
dalam berbagai bidang seperti pendidikan dan manajemen.

Dalam mengerjakan suatu pekerjaan tertentu yang asing, maka perlu mempelajari
dahulu cara mengerjakan pekerjaan itu. Tidak ada seseorang yang mampu melaksanakan
suatu tugas dengan baik apabila tidak mempelajari terlebih dahulu, bahkan apabila pekerjaan
itu nampak mudah, misalnya mengetik surat. Orang yang belum memiliki pengalaman akan
mengalami kesukaran dalam melaksanakannya. Jadi, pendidikan dan pelatihan sangat perlu.

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan merupakan salah salah satu upaya untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Dalam
rangka meningkatkan sumber daya manusia pada setiap unit kerja juga akan berhubungan
dengan hakikat pendidikan dan pelatihan.

Menurut H.A.R. Tilaar (2008: 16), dalam pengertian populer istilah pendidikan dan
pelatihan dibedakan. Pelatihan mengasumsikan adanya dasar pendidikan formal. Pelatihan
mempunyai konotasi menguasai keterampilan-keterampilan tertentu baik keterampilan fisik
maupun mental akademik yang diperlukan dalam profesi tertentu. Pelatihan, dengan demikian
dikaitkan dengan dunia kerja dan produktifitas. Pendidikan sebaliknya mempunyai orientasi
kepada pengembangan pribadi seseorang.

Menurut Sumarsono (2009:93) pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu faktor
yang penting dalam pengembangan SDM. Pendidikan dan pelatihan tidak hanya menambah
pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan ketrampilan bekerja, dengan demikian dapat
meningkatkan produktivitas kerja.

Pelatihan menurut Dessler (2009:263) adalah proses mengajarkan karyawan baru atau
yang ada sekarang, ketrampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan
mereka. Pelatihan merupakan salah satu usaha dalam dunia kerja. Pegawai, baik yang baru
ataupun yang sudah bekerja perlu mengikuti pelatihan. Karena adanya tuntutan pekerjaan
yang dapat berubah akibat perubahan lingkungan kerja, strategi, dan lain sebagainya.

Menurut Rivai (2009) pelatihan merupakan bagian yang menyangkut proses belajar
untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku
dalam waktu relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan pada praktek daripada
teori. Pendidikan dan pelatihan merupakan penciptaan suatu lingkungan dimana para pegawai
dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku
yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan.

Dalam hal pengembangan perilaku, pendidikan lebih dominan pada dimensi ideografik
yaitu pengembangan individu dan kepribadian seseorang sesuai dengan disposisinya.
Sedangkan pelatihan lebih berdimensi nomotetik yaitu kepada tuntutan-tuntutan lembaga dan
peranan yang diharapkan dari seseorang yang sesuai dengan tujuan lembaga.

Dalam kenyataannya program pendidikan seringkali terdapat hal-hal yang praktis.


Sementara tidak jarang program pelatihan yang mengandung unsur-unsur formal akademik.
Di dalam pelatihan bukan saja berkembang perilaku yang dituntut oleh dunia kerja, tetapi juga
sekaligus dapat terjadi perkembangan kepribadian.

Manulang (1981: 84) menyatakan antara pendidikan dan pelatihan memiliki


keterkaitan yang erat. Pendidikan lebih teoritis sifatnya sedangkan latihan bersifat lebih
praktis. Jadi pendidikan dan pelatihan keduanya saling melengkapi dan tidak bertentangan.
Tinjauan teoritik di atas menunjukkan bahwa pembedaan antara pendidikan dan pelatihan
adalah artifisial dalam arti tidak menunjukkan realitas sebenarnya.

Andrew E. Sikula (1981: 227) mengemukakan bahwa “training is short-term


educational process utilizing a systematic and organized procedure by which non-managerial
personal learn technical knowledge and skills for a definite purpose”. Berdasarkan pendapat
Andrew E. Sikula tersebut dapat dikemukakan bahwa pelatihan adalah suatu proses
pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir di mana
pegawai non-manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan
terbatas.

Donni C. Matutina (1993: 173) menyatakan bahwa pelatihan merupakan pemberian


bantuan kepada para pegawai dengan maksud agar pegawai yang dilatih tersebut dapat
mengembangkan kemampuannya baik dari segi kecerdasan, pengetahuan dan keterampilan
yang lebih berkualitas dan meningkat.

Abdurrahmat Fathoni (2006: 96-97) menyatakan bahwa diklat adalah pembinaan


terhadap tenaga kerja dalam bentuk proses belajar mengajar dalam rangka meningkatkan
kemampuan sumber daya manusia dalam melaksanakan tugasnya.

Sedangkan definisi dari Center for Development Management and Productivity adalah
belajar untuk mengubah tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan
pada dasarnya adalah suatu proses memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja
untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 101 tahun 2000 tentang pendidikan dan pelatihan
jabatan pegawai negeri sipil mendefinisikan Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai yang
selanjutnya disebut Diklat sebagai proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka
meningkatkan kemampuan pegawai.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan
pelatihan guru adalah suatu proses belajar mengajar jangka pendek yang menggunakan
prosedur sistematis dan terorganisir di mana para guru mempelajari pengetahuan dan
keterampilan sehingga guru akan terdorong motivasinya untuk memperbaiki kinerja, cara
pembelajaran atau penyegaran ilmu dan informasinya.

Kebutuhan pendidikan dan pelatihan muncul karena adanya masalah-masalah yang


mengganggu kinerja organisasi, seperti penurunan prestasi yang mencakup menurunnya
pelayanan, menurunnya tingkat produksi. Di samping itu perubahan lingkungan organisasi
yang penuh ketidakpastian memaksa sebuah organisasi untuk selalu menyesuaikan dan
mengikuti arah perubahan tersebut. Beberapa sebab lain adalah adanya kebutuhan diklat
selain dipicu oleh permasalahan-permasalahan terkait dengan kualitas angkatan kerja yang
ada, juga persaingan global, serta adanya alih teknologi. Kondisi masyarakat yang semakin
maju baik tingkat ekonomi maupun sosial juga mempengaruhi kebutuhan pendidikan dan
pelatihan. Tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan memberikan sinyal pada birokrasi
untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Sebuah organisasi harus mampu beradaptasi
secara cepat agar perubahan yang terjadi tidak mengganggu kinerja organisasi.

Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) merupakan suatu proses pembelajaran dalam


organisasi yang mengarah pada perubahan sikap dan perilaku pegawai memenuhi harapan
kualifikasi kerja dan tuntutan perkembangan organisasi baik internal maupun eksternal.

Kualitas diklat sangat tergantung pada manajemen diklat yang diselenggarakan, antara
lain pada ketepatan memilih materi diklat, kualitas penatar/nara sumber, metode pelatihan
serta evaluasi yang dilakukan. Untuk itu pemilihan penatar harus benar-benar sesuai dengan
bidang keahlian serta pengalaman kerja yang dimilikinya. Analisis terhadap kebutuhan diklat
sebagai suatu tahapan dalam penyusunan program terkait dengan jenis, prosedur, model dan
teknik diklat perlu dilakukan dalam manajemen diklat.

Penelusuran dimulai dengan analisis tugas/fungsi yang ada, kualifikasi persyaratan


untuk memenuhi fungsi tersebut, kemudian mencari solusi jenis diklat yang meliputi: materi
yang harus disajikan, metode diklat yang tepat untuk memenuhi jenis kualifikasi yang
diperlukan terkait dengan ketrampilan dan bidang keahliannya. Pada akhir penyelenggaraan
diklat harus dievaluasi untuk mengetahui efektivitasnya merubah atau meningkatkan perilaku
pegawai dalam upaya peningkatan kinerja.
BAB II

KONSEP DASAR MANAJEMEN DIKLAT

Manajemen diklat atau pelatihan ialah suatu pengelolaan pelatihan yang dilakukan
baik kepada karyawan maupun kepada masyarakat dalam rangka untuk menjamin apakah
pelatihan atau diklat yang dilakukan terhadap karyawan atau masyarakat yang menjadi objek
sasarannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh si peserta pelatihan atau diklat.

Manajemen Pelatihan, yakni pelatihan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan


kemampuan dalam bidang pengelolaan organisasi, administrasi, pemasaran/tata niaga produk
atau peningkatan kesadaran atas norma tertentu.

Contoh-contoh pelatihan yang termasuk kategori pelatihan ini antara lain adalah :

a. Pelatihan kepemimpinan dalam organisasi.

b. Pelatihan manajemen pemasaran produk usaha tani.

c. Pelatihan penyuluhan dari masyarakat kepada masyarakat.

d. Pelatihan gender.

Pengelolaan diklat harus dilakukan oleh orang yang profesional, pengelolaan ini
berhubungan dengan banyak orang, sedikit kesalahan akan merugikan orang banyak. oleh
karena itu diharapkan yang mengelola diklat ini betul-betul di kelola oleh yang mengetahui
bidang tersebut.

Selain dari pada pengelolaan, dalam manajemen diklat dibutuhkan juga monitoring
atau biasa disebut dengan pemantauan diklat. Pemantauan diklat maksudnya ialah seorang
manajemen akan melakukan pengawasan terhadap proses pelatihan yang diselenggarakan,
apakah pelatihan yang dilakukan itu berjalan dengan baik atau masih adakah yang perlu
diperbaharui dalam proses penyelenggaraannya utuk kedepannya. Kegiatan pemantauan
adalah suatu kegiatan pengumpulan, pengklasifikasian dan penyajian data/informasi sebagai
bahan untuk melaksanakan kegiatan penilaian/evaluasi. Pemantauan bersifat memotret apa
adanya (lugas), sesuai dengan data yang ada tanpa rekayasa dan tidak melakukan penilaian
atau koreksi apa pun.

B. Perencanaan Manajemen Diklat


Perencanaan merupakan faktor penting dalam sebuah program diklat. Perencanaan
yang baik akan dapat membantu lembaga penyelenggara dalam melaksanakan kegiatannya
dengan terpadu sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal.

Tujuan perencanaan diklat:

Menentukan secara sistematis tahapan kegiatan diklat yang akan dilaksanakan Menentukan
aspek-aspek atau unsur yang menjadi focus pada pelaksanaan diklat Menentukan model yang
digunakan dalam desain diklat Menentukan bahan, media, metode yang digunakan dalam
pelaksanaan diklat.

Menurut Roesmingsih (2009: 46), perencanaan pelatihan meliputi:

1. Menetapkan tujuan pelatihan


Tujuan sangat penting karena berfungsi sebagai pemandu arah dari seluruh kegiatan
diklat. Tujuan pelatihan yang ingin dicapai dirumuskan secara jelas, terukur dan dapat
dicapai. Dalam hal ini ditetapkan tujuan diklat baik tujuan umum maupun tujuan khusus.
Tujuan umum : menggambarkan tujuan yang ingin dicapai pada akhir diklat
Tujuan khusus : menguraikan secara lebih spesifik, tujuan yang ingin dicapai untuk
tercapainya tujuan umum pelatihan.
Setelah penetapan tujuan maka dapat dirumuskan strategi pelatihan yang sesuai.
2. Menyusun strategi pelatihan
Penyusunan strategi pelatihan ini dilakukan untuk mengatur mekanisme pelatihan agar
pelaksanaannya efektif dan efisien.
3. Menentukan metode pelatihan. Ada beberapa metode yang dapat diterapkan dalam
kegiatan diklat, diantaranya :
Ceramah
Metode ini sangat efektif diterapkan pada kondisi pembelajaran dimana jumlah pesertanya
banyak, sernentara waktu yang tersedia sedikit, serta bertujuan untuk menyampaikan
informasi-informasi dan fasilitator memiliki kemampuan presentasi yang baik.
Tanya jawab
Metode tanya jawab ini bertujuan mengembangkan pengetahuan dan sikap serta melatih
peserta berkomunikasi lisan dan mengukur  tingkat pemahaman  mereka  terhadap materi
yang telah disampaikan.
Diskusi kelompok
Metode ini cocok diterapkan dalam kondisi pembelajaran dengan peserta berjumlah
sedikit. Metode ini dapat dijadikan sebagai media berinteraksi dalam memecahkan  suatu
permasalahan dan mengembangkan kepercayaan diri.
Latihan
Cara meningkatkan ketrampilan dengan memberikan latihan-latihan dan praktik. Hal-hal
yang perlu dilatih tidak saja ketrampilan, gerakan, tetapi juga kemampuan verbal olah
vokal serta kemampuan berpikir. Untuk melatih kemampuan verbal misalnva bisa
dilakukan dengan micro teaching, presentasi, diskusi, dll.
Studi kasus
Metode ini sangat efektif digunakan untuk mengembangkan kepekaan dan kreativitas 
peserta dalam  memecahkan suatu permasalahan/kasus. Metode ini sering pula disebut
dengan metode Problem Solving.
Brainstorming
Metode ini sangat penting tidak saja untuk mengembangkan kreatifitas peserta diklat,
tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk mengetahui apakah sebenarnya yang dipikirkan
dan dikehendaki oleh peserta diklat.
Seminar
Metode pembelajaran dengan membahas permasalahan secara bersama-sama dan
mengambil kesimpulan dan pemecahan terhadap permasalahan tersebut. Seminar biasanya
dilengkapi dengan penyajian suatu makalah kemudian membahasnya secara bersama-
sama.
Resitation
Cara memperdalam materi dengan memberikan tugas tertentu kepada peserta diklat, baik
individu ataupun kelompok.

4. Membuat silabus
5. Menentukan materi pelatihan
Materi pelatihan yang akan diberikan harus sesuai dengan tujuan pelatihan. Materi
pelatihan (modul pelatihan, diktat/buku-buku referensi, unit-unit kompetensi yang dipilih
dan lain-lain) yang akan diberikan kepada peserta pelatihan disusun berdasarkan silabus
pelatihan.
6. Membuat session plan
Session plan ini berisi tentang struktur dan prosedur dari diklat.

Salah satu pendekatan khusus dalam perencanaan yaitu perencanaan strategis, dengan
menggabung secara komprehensif dasar-dasar manajemen. Perencanaan ini lebih merupakan
metodologi yang mempertimbangkan secara sungguh-sungguh seluruh pertimbangan
lingkungan dan peluang serta hambatan.

Tujuan utama dari perencanaan strategis yaitu memadukan antara tujuan fungsional dengan
perencanaan operasional dari staf. Terdapat lima langkah dari perencanaan strategis yaitu:

1. Penetapan tujuan dari lembaga (bagaimana cara untuk memberikan pelayanan pada klien).
2. Menetapkan kekuatan dari lembaga (Bagaimana cara kerja yang baik serta mengapa
dilakukan).
3. Penetapan kenyataan dan potensi dari klien (bagaimana sasaran pelatihan dilayani, apa
yang seharusnya dilakukan serta sejauh mana kita memahami harapan mereka).
4. Penetapan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi lembaga (sumber-sumber
yang dibutuhkan dari lembaga pelatihan dan masyarakat). Kelima, pengembangan dan
operasional kegiatan (apa yang seharusnya yang harus dilaksanakan dalam pemrograman,
staffing dan pemasaran serta apakah semua itu bisa didanai).

Perencanaan merupakan keseimbangan tugas satuan pelatihan, programming, staffing,


pemasaran dan kemampuan finansial. Dalam arti sempit perencanaan diartikan upaya
menghadapi tantangan untuk mencapai efektivitas.

C. Pelaksanaan Manajemen Diklat

1. Metode Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) merupakan suatu cara sistematis
yang dapat memberikan deskripsi secara luas serta dapat mengkondisikan
penyelenggaraan diklat (pusdiklat) untuk mengembangkan aspek kognitif, efektif dan
psikomotorif tenaga kerja terhadap tugas dan pekerjaannya.

Metode pelaksanaan diklat antara lain:

a. Metode Kelas atau Classroom Methods, yang terdiri dari:

1) Ceramah, metode ini banyak diberikan dalam kelas. Pelatih memberikan teori-teori yang
diperlukan sementara yang dilatih mencatat dan mempersiapkannya,
2) Rapat, pelatih memberikan suatu makalah tertentu dan peserta ikut berpartisipasi
memecahkan masalah tersebut. Peserta juga harus menggunakan gagasan-gagasannya, saran-
sarannya berdiskusi dan memberikan kesimpulannya,

3) Program instruksi, di mana peserta dapat belajar sendiri karena langkah-langkah


pengerjaannya sudah di program melalui komputer, buku-buku petunjuk. Program instruksi
melalui pemecahan informasi kedalam beberapa bagian kecil sehingga dapat dibentuk
program pengajaran yang mudah dipahami dan saling berhubungan,

4) Studi Kasus, dalam metode ini dimana pelatih memberikan suatu kasus kepada peserta.
Kasus tidak dilengkapi dengan data yang lengkap karena sengaja disembunyikan. Tujuannya
agar peserta terbiasa mencari data dari pihak eksternal dalam memutuskan suatu kasus yang
dihadapinya,

5) Rol Playing, metode ini dilakukan dengan menunjuk beberapa orang untuk memainkan
suatu peranan di dalam sebuah organisasi tiruan. Misalnya hubungan antara atasan dengan
bawahan dalam situasi tertentu,

6) Diskusi, melalui metode ini peserta dilatih untuk erani memberikan pendapat dan
rumusannya serta cara-cara meyakinkan orang lain agar percaya terhadap pendapat itu, selain
itu peserta juga dilatih untuk menyadari bahwa tidak ada rumusan mutlak benar, sehingga
dengan demikian ada kesediaan untuk menerima penyempurnaan dari orang lain, menerima
informasi dan memberi informasi,

7) Seminar, cara ini bertujuan untuk mengembangkan kecakapan dan keahlian peserta dalam
menilai dan memberikan saran-saran yang konstruktif mengenai pendapat orang lain. Peserta
dilatih mempersepsi dan mengevaluasi, menerima atau menolak pendapat orang lain.

b. Metode Pelatihan atau Training 


Pelatihan merupakan bagian dari pendidikan. Pelatihan bersifat spesifik, praktis dan
segera. Spesifik berarti pelatihan berhubungan dengan bidang pekerjaan yang dilakukan.
Praktis dan segera berarti yang sudah dilatihkan dapat dipraktikkan. Umumnya pelatihan
dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan kerja dalam waktu
relatif singkat.

Metode latihan atau training terdiri dari lima cara yaitu:


 1) Dalam Pekerjaan, pada metode ini peserta pelatihan langsung bekerja di tempat untuk
belajar dan meniru suatu pekerjaan dibawah bimbingan seorang pengawas. Kelebihan metode
ini terletak pada pemberian inovasi yang besar kepada peserta untuk belajar. Keberhasilan
metode ini sepenuhnya tergantung pada penatar,

2) Dalam Ruangan, metode pelatihan dilakukan di dalam kelas yang biasanya dilakukan oleh
perusahaan industri untuk memperkenalkan pekerjaan kepada pegawai baru dan melatih
mereka memperkenalkan pekerjaan tersebut. Disini biasanya diberikan latihan jenis pekerjaan,

3) Bermain peran dan Demonstrasi, metode pelatihan dengan cara peragaan dan penjelasan
bagaimana cara-cara melakukan suatu pekerjaan melalui contoh atau percobaan yang
didemonstrasikan. Biasanya dilengkapi dengan kuliah, gambar-gambar, video dsb,

4) Simulasi, suatu teknik untuk mencontoh se mirip mungkin terhadap konsep sebenarnya dari
pekerjaan yang akan dijumpai. Melalui simulasi dilakukan penampilan situasi atau kejadian se
mirip mungkin dengan situasi yang sebenarnya, walaupun itu hanya merupakan tiruan saja,

5) Magang adalah suatu cara untuk mengembangkan keahlian sehingga para pegawai dapat
mempelajari segala aspek dari pekerjaan.

2. Tahap-tahap Pendidikan dan Pelatihan


Menurut Siagian 2001:185 bahwa ada langkah-langkah atau tahap- tahap yang
perlu ditempuh dalam pelatihan. Langkah-langkah tersebut, yaitu:
a. Penentuan Kebutuhan Analisis kebutuhan ini harus mampu mendiagnosa paling sedikit
dua hal, yaitu masalah-maslah yang dihadapi sekarang dan berbagai tantangan baru yang
diperkirakan akan timbul di masa depan.
b. Penentuan Sasaran - sasaran yang ingin dicapai itu bersifat teknikal akan tetapi dapat
pula menyangkut keperilakuan. Atau mungkin juga kedua-duanya. Berbagai sasaran harus
dinyatakan sejelas dan sekongkret mungkin, baik bagi para pelatih maupun para peserta.
c. Penetapan Isi Program Sifat suatu program pelatihan ditentukan paling sedikit oleh dua
faktor, yaitu analisis penentuan kebutuhan dan sasaran yang hendak dicapai.
d. Identifikasi Prinsip-prinsip Belajar Prinsip belajar yang layak dipertimbangkan untuk
diterapkan berkisar pada lima hal, yaitu partisipasi, repetisi, relevansi, pengalihan dan
umpan balik.
e. Pelaksanaan Program Penyelenggaraan program pelatihan sangat situasional sifatnya.
Artinya, dengan penekanan pada perhitungan kepentingan organisasi dan kebutuhan para
peserta, penerapan prinsip-prinsip belajar tercermin pada penggunaan teknik-teknik
tertentu dalam proses belajar mengajar.
f. Penilaian Pelaksanaan Program Pelaksanaan program pelatihan dapat dikatakan berhasil
apabila dalam diri para peserta pelatihan tersebut terjadi suatu proses transformasi. Proses
transformasi dapat dikatakan baik apabila terjadi dua hal, yaitu peningkatan kemampuan
dalam melaksanakan tugas dan perubahan sikap perilaku yang tercermin dalam sikap,
disiplin dan etos kerja.
Menurut Bernardin dan Russell dalam Sulistiyani 2003:178 menyatakan bahwa
program pelatihan mempunnyai tiga tahap aktivitas yang mencakup :
a. Penilaian kebutuhan pelatihan, yang tujuannya adalah mengumpulkan informasi untuk
menentukan dibutuhkan atau tidaknya program pelatihan.
b. Pengembangan program pelatihan development, bertujuan untuk merancang
lingkungan pelatihan dan metode-metode pelatihan yang dibutuhkan guna mencapai
tujuan pelatihan.
c. Evaluasi program pelatihan evaluation, mempunyai tujuan untuk menguji dan menilai
apakah program-program pelatihan yang telah dijalani, secara efektif maupun
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

D. Evaluasi Manajemen diklat

Evaluasi Diklat adalah suatu alat yang dapat mengukur dan mengetahui apakah suatu
program diklat mencapai sasaran yang diharapkan dengan penekanan pada aspek hasil
(output), serta mengukur apakah program diklat tersebut berjalan secara efektif dan efisien.

Dalam Manajemen diklat, salah satu model evaluasi yang dapat digunakan adalah Evaluasi
Pelatihan Model Kirkpatrick yang terdiri dari 4 level,

1. Evaluasi Level 1 : Reaksi (Reaction)

Pada tingkat ini keberhasilan suatu pelatihan dapat dievaluasi dari reaksi atau respons peserta
pelatihan. Minat dan keaktifan peserta dalam pelatihan menjadi indikasi bahwa peserta dapat
mengikuti pelatihan dengan antusias dan penuh semangat.
Kepuasan peserta dalam mengikuti pelatihan juga menjadi indikasi bahwa pelatihan diikuti
dengan suasana yang menyenangkan.

Di ujung pelatihan, dalam pelatihan yang bersifat berkesinambungan, peserta menunjukkan


minat yang tinggi untuk mengikuti pelatihan lanjutan.

2. Evaluasi Level 2 : Evaluasi Belajar (Learning)

Kirkpatrick (1998:20) mengemukakan “learning can be defined as the extend to which


participans change attitudes, improving knowledge, and/or increase skill as a result of
attending the program”. Dengan demikian, efektifitas pelatihan, dalam level ini, diukur dari
dampaknya terhadap peserta. Apakah setelah pelatihan berakhir ada perubahan dari aspek
pengetahuan, ketrampilan atau perilaku kerja ke arah yang lebih baik, sesuai tujuan
diselenggarakannya pelatihan. Pengukuran hasil belajar dapat dilakukan dengan membuat
kelompok pembanding. Sekelompok peserta yang telah diberikan pelatihan dievaluasi dan
dibandingkan dengan kelompok pembanding yakni kelompok peserta yang tidak diberikan
pelatihan.

Cara melakukan evaluasi pelatihan lainnya adalah dengan melakukan pre test dan post test,
yaitu peserta diberikan tes terlebih dahulu sebelum pelatihan dijalankan dan sesudah pelatihan
dijalankan.

3. Evaluasi Level 3 : Tingkah Laku (Behavior)

Evaluasi training level 3 ini lebih memfokuskan pada evaluasi pelatihan karyawan dari aspek
perubahan perilaku. Kalau pada level 2, evaluasi pelatihan hanya menekankan perubahan
sikap (internal), pada level 3, evaluasi akan menilai apakah setelah mengikuti pelatihan
peserta mengalami perubahan perilaku yang berdampak pada kinerja.

Oleh karena itu, pada evaluai pelatihan pada level ini disebut sebagai evaluasi terhadap
outcomes pelatihan.

4. Evaluasi tahap 4 : Evaluasi Hasil (Result)

Evaluasi training pada level 4 menekankan pada hasil akhir (result) setelah mengikuti diklat.
Hasil akhir dalam hal ini dapat berupa indikator-indikator kinerja yang nyata seperti kenaikan
produktivitas, peningkatan laba, penurunan biaya, penurunan tingkat kesalahan, peningkatan
kualitas, penurunan keluhan pelanggan.
Oleh karena dampaknya yang langsung pada kinerja perusahaan, diklat yang berorientasi hasil
menjadi kegiatan yang sangat strategis. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam penyusunan proposal
kegiatan diklat dapat diidentifikasi secara lebih konkret dampak dari pelaksanaan diklat
sehingga pelaksanaannya dapat lebih terarah.
BAB III

BATASAN DAN RUANG LINGKUP DIKLAT

A. Ruang Lingkup Manajemen Diklat

Cakupan atau ruang lingkup evaluasi program pada umumnya lebih luas daripada
evaluasi pembelajaran, Ruang lingkup pembahasan evaluasi program bisa bergerak dari
kurikulum dan sistem instruksional yang digunakan untuk mendukung tercapainya visi misi
dan strategi lembaga diklat, Evaluasi program juga mencakup pembahasan sebagai bagian
dari lima pilar manajemen, yaitu. Pilar pengawasan (monitoring), evaluasi (evaluation), dan
pengendalian (controlling).

Pada bagian manajemen, ini difokuskan untuk melihat dan mengawal program atau
proyek agar tetap menuju tercapainya tujuan institusi Maka monitor, mengontrol, dan
mengevaluasi bisa dilakukan baik dalam kegiatan sehari hari maupun periode tertentu dalam
lembaga diklat untuk meyakinkan semua potensi Lembaga agar mengacu pada tercapainya
tujuan lembaga.

Evaluasi program juga bisa bermanfaat secara efektif manakala dilengkapi dengan
fungsi monitor, yaitu melihat secara kontinu dan terus menerus suatu program atau proyek
Evaluasi juga menjadi berdaya guna jika dalam evaluasi pimpinan melengkapinya dengan
fungsi lainnya, yaitu: mengontrol agar program tetap berada dalam koridor mutu dan memiliki
kewenangan untuk mengendalikan dalam tingkat penjaminan layanan atau servis baik pada
para penggunanya maupun pemangku kepentingan, Fungsi evaluasi juga adalah sebagai
umpan balik terhadap proses penyelenggaraan lembaga, tetapi yang lebih penting lagi adalah
di dalam umpan balik terdapat fungsi pemberdayaan yang mengevaluasi semua Komponen
dalam kinerja program sehingga program memiliki nilai tambah dan dalam kerangka kerja
yang wajar dan bisa dipertanggungjawabkan, Pendidikan dapat dilihat sebagai suatu sistem.

Sementara itu, sistem pendidikan mengandung elemen yang diatur secara teratur.
Elemen pendidikan itu termasuk: (1) kurikulum; (2) elemen instruksional, seperti alat-alat
media, gedung, dan jalan yang juga sering disebut infrastruktur ; dan (3) elemen penting
lainnya, yaitu siswa dan guru, Evaluasi,

Dalam ruang lingkup Manajemen Diklat, ada beberapa tahapan yang perlu di
perhatikan. Diantaranya yaitu;
a) Perencanaan

Setiap program pelatihan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu


serta bagaimana mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan adalah proses bagaiman
a menetapkan tujuan serta menetapkan langkah-langkah untuk mencapaitujuan yang
ditetapkan melalui tahapan analisis dan evaluasi alternatif yang mungkin dikerjakan.
Perencanaan berfungsi pula untuk menetapkan dasar dan arah untuk sebuah lembaga pelatihan
dan mengarahkan program yang dilakukan secara bersama oleh anggota staf untuk mencapai
tujuan yang secara eksplisit telah ditetapkan dalam perencanaan.

Salah satu pendekatan khusus dalam perencanaan yaitu perencanaan strategis, dengan
menggabung secara komprehensif dasar-dasar manajemen. Perencanaan ini lebih merupakan
metodologi yang mempertimbangkan secara sungguh-sungguh seluruh pertimbangan
lingkungan dan peluang serta hambatan, ‘Tujuan utama dari perencanaan strategis yaitu:
memadukan antara tujuan fungsional dengan perencanaan operasional dari staf.

Terdapat lima langkah dari perencanaan strategis yaitu:

1) Penetapan tujuan dari lembaga (bagaimana cara untuk memberikan pelayanan pada klien)

2) Menetapkan kekuatan dari lembaga (Bagaimana cara kerja yang baik serta ‘mengapa
dilakukan)

3) Penetapan kenyataan dan potensi dari klien (bagaimana sasaran_ pelatihan dilayani, apa
yang seharusnya dilakukan serta sejauh mana kita memahami harapan mereka).

4) penetapan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi lembaga (sumber- sumber
yang dibutuhkan dari lembaga pelatihan dan masyarakat).

5), pengembangan dan operasional kegiatan (apa yang seharusnya yang harus dilaksanakan
dalam pemrograman, staffing dan pemasaran serta apakah semua itu bisa didanai).

b) Pengorganisasian
Perencanaan yang dibuat harus dilaksanakan. Pengorganisasian yaitu
mengembangkan sistem peranan dan tanggung jawab serta pendelegasian tugas dan
sumber-sumber untuk menjamin penampilan yang maksimum, kejelasan harapan dan
pembuatan keputusan yang efektif.
Lembaga yang berhasil memiliki dasar yang kuat, struktur lembaga yang tidak
terlalu rumit yang memungkinkan terjadinya fleksibilitas dan adaptasi yang cepat berhasil
ditandai dengan kejelasan Dalam hubungan ini, lembaga pelatihan yang tujuan lembaga
yang akan dicapai serta peluang untuk terselenggaranya fungsi secara efektif,
c) Evaluasi
Secepat perkembangan dari perencanaan, serta sumber-sumber diorganisasikan
dibutuhkan pula dukungan kemampuan untuk mengevaluasi proses dalam upaya menilai
keberhasilan tujuan yang ditetapkan.
Dengan evaluasi, staf akan memiliki gambaran antara kenyataan yang telah dicapai
dengan harapan yang diinginkan dalam perencanaan, Pada hal lain dapat diketahui
penyimpangan yang terjadi, sehingga dapat dilakukan perubahan dari Komponen
kelembagaan dalam upaya untuk menjamin ketercapaian rencana yang ditetapkan.
Evaluasi yang diselenggarakan hendaknya mempertimbangkan antara kemampuan untuk
menyediakan informasi yang dibutuhkan serta kemudahan dalam upaya untuk
mengimplementasikan program.
Metode yang dipergunakan harus pula memperhatikan hak-hak staf maupun
peserta belajar. Evaluasi dilakukan melalui analisis data, interview pada klien dan audit
program. Hal yang terpenting lainnya evaluasi hendaknya dilakukan melalui upaya yang
hati-hati berdasar atas observasi personal yang berkelanjutan. Fungsi dan tugas dari
manajemen dilaksanakan dalam organisasi dan lingkungan masyarakat yang keduanya
bisa membatasi keberfungsian manajerial Lingkungan dimana Fungsi Pelatihan
dilaksanakan, Setiap organisasi berlangsung dalam lingkungan yang mempengaruhi
penyelenggaraan satuan pelatihan serta masyarakat yang dipengaruhi penyelenggaraan
pelatihan. Satuan pelatihan itu sendiri terdiri dari kumpulan orang-orang dan fungsi
tertentu, Satuan pelatihan itu sendiri merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuatan
organisasi keluarga, masyarakat dan sistem belajar umat manusia.
1) Unit Pelatihan
Faktor utama yang harus menjadi perhatian dalam manajemen yaitu suasana
iklim unit Pelatihan, Untuk meningkatkan pelayanan serta kualitas kerja dari staf
diperlukan suasana kerja yang menunjang. Lingkungan kerja yang menunjang
demikian mempengaruhi pandangan dari staf mengenai lingkungan kerja serta
bagaimana seharusnya menyelesaikan pekerjaan.
Programming yang efektif dan kualitas pelayanan bersumber dari lingkungan
kerja yang nyaman serta adanya saling pengertian dan menghargai diantara sesama
staf.
2) Organisasi Keluarga
Pelatihan merupakan bagian dari lembaga yang lebih besar yang bidang
garapannya tidak hanya sebatas yang berhubungan dengan pelatihan, keluarga secara
berarti memiliki sumbangan pada penyediaan sumber-sumber untuk kepentingan
penyelenggaraan pelatihan.
Atas dasar itu unit pelatihan sudah sewajarnya memahami dengan sepenuhnya
budaya dan dinamika dari organisasi keluarga, Unit pelatihan harus mengenal pula
peran-peran yang ada pada pelatihan keluarga ini serta mengembangkan pelatihan
sesai dengan tujuan dan nilai - nilai yang dikembangkan di lingkungan keluarga, Hal
penting lainnya upaya menjalin kerja sama dengan unit bagian yang menjadi cakupan
dari lembaga keluarga, Bila kerja sama dan mekanisme kerja ini berjalan sesuai
dengan nilai yang, dikembangkan keluarga, maka unit pelatihan secara tidak langsung
telah mengembangkan sumber-sumber yang sesungguhnya menjadi dasar
pengembangannya,
3) Masyarakat
Bila unit pelatihan memiliki kepedulian pada lingkungan di sekitarnya, maka yang
dimaksud diantaranya yaitu masyarakat di sekitar unit tersebut Pada tatanan ini termasuk
semua sasaran pelatihan, organisasi dari klien dan kelompoknya, orang yang menjadi
provider, kritisi, dan pendukung, Untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan
kemampuan untuk meneliti aspek yang paling bernilai guna dari sumber yang ada pada
masyarakat, Kemampuan untuk meneliti sumber masyarakat menjadi dasar bagi
pengembangan kecenderungan dan kegiatan yang menjadi bagian dati unit pelatihan, Hal
yang paling inti dari lingkungan masyarakat harus dikategorikan, dikumpulkan dan
dianalisis.
Kumpulan data ini merupakan bagian dari perencanaan strategi. Beberapa yang
umum dijadikan masukkan untuk unit Pelatihan meliputi demografi, ekonomi, sumber
daya alam, teknologi, politik, dan budaya, Data yang bernilai guna ini pada tahapan akhir
perlu dikaji ulang untuk mendapatkan data yang benar-benar paling bermanfaat.
4) Sistem pembelajaran masyarakat
Bagian terakhir dari manajemen lingkungan yaitu organisasi sistem pembelajaran
masyarakat. Unit Pelatihan yang umumnya hidup dan mendapat dukungan dari sistem
pembelajaran dari masyarakat harus mengenal dengan pasti sistem seperti keluarga,
masyarakat, mesjid, lingkungan kerja, media, sekolah, perguruan tinggi
Sistem ini dilihat dari kemitraan dan antar hubungan (interdependensi)
‘mempunyai hubungan baik langsung maupun tidak dengan penyelenggaraan unit
pelatihan. Unit ini saling berhubungan baik langsung maupun tidak secara formal maupun
informal. Manajer dalam dekade ke depan ini harus benar- benar memperhatikan
komponen dan interaksi dengan unit pembelajaran masyarakat.

Contoh prosedur tahapan dalam ruang lingkup diklat yaitu seperti berikut;
a. Melakukan pendaftaran calon peserta diklat
Program diklat yang telah melewati serangkaikan proses perencanaan terutama analisis
kebutuhan kemudian ditawarkan kepada masing-masing unit yang terkait dengan sasaran
program diklat
b. Seleksi calon peserta diklat
Proses seleksi dilakukan ketika calon yang mendaftar melebihi kapasitas yang tersedia.
Jika jumlahnya masih tertampung maka tidak perlu ada seleksi.
c. Melaksanakan proses belajar mengajar
Tahap ini adalah inti dari proses diklat yakni proses interaksi secara terpadu dan aktif
antar semua komponen dalam proses diklat yaitu peserta, guru, materi atau kurikulum dan
sarana prasarana pendukung.
d. Evaluasi hasil belajar
Evaluasi dilakukan di akhir program diklat untuk mengetahui ketercapaian pengetahuan
dari peserta diklat berdasarkan materi yang sudah diajarkan. Fungsi lain dari evaluasi
adalah untuk menentukan peserta yang lulus dan tidak lulus.
e. Evaluasi kinerja
Evaluasi kinerja dilakukan di unit atau organisasi tempat alumni peserta diklat bekerja,
evaluasi ini akan melihat apakah ada peningkatan kualitas pegawai atau tidak. Diklat yang
baik idealnya akan meningkatkan kualitas kinerjad dari para lulusannya.
f. Evaluasi dampak
Evaluasi dampak dilakukan dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Evaluasi ini untuk
melihat sejauhmana dampak dari program diklat yang telah diikuti oleh tim organisasi
tersebut dalam kurun waktu tertentu. Idealnya jika dampaknya positif, maka ada
perubahan yang signifikan dari lembaga diklat tersebut.

B. Batasan Diklat

Pendidikan dan pelatihan merupakan upaya untuk pengembangan sumber daya


manusia, terutama untuk pengembangan aspek kemampuan intelektual dan kepribadian
manusia. Penggunaan istilah pendidikan dan pelatihan dalam suatu institusi Bering dijadikan
satu menjadi diktat (pendidikan dan pelatihan ). Namun diantara keduanya mengandung
perbedaan dalam beberapa hal.

C. Perbedaan Pendidikan dan Pelatihan

1) Definisi Pelatihan
Pelatihan tidak lain adalah belajar sambil bekerja. Ini adalah program yang
direncanakan dengan baik yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan khusus tentang tenaga kerja. Ini adalah konsep umum pengembangan sumber
daya manusia di mana upaya dilakukan untuk meningkatkan kinerja, produktivitas, dan
kompetensi karyawan yang ada dan potensial melalui pembelajaran. Program ini
dirancang khusus oleh organisasi untuk mencapai tujuan yang pasti.
Pelatihan membantu dalam memberikan keterampilan yang berhubungan dengan
pekerjaan pada karyawan sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan secara efisien dan
efektif. Pelatihan dapat di tempat kerja atau di luar pekerjaan, dibayar atau tidak dibayar,
paruh waktu atau penuh, tergantung pada kontrak dengan pemberi kerja. Di akhir
program, karyawan diuji dengan mengamati, apa yang mereka pelajari selama pelatihan.
Beberapa jenis pelatihan yang umum adalah:
a. Pelatihan sensitivitas
b. Pelatihan ruang depan
c. Rotasi pekerjaan
d. Pelatihan laboratorium
e. Pelatihan magang
f. Pelatihan orientasi
2) Definisi Pendidikan
Dengan istilah pendidikan, kami bermaksud belajar di kelas untuk memperoleh
pengetahuan tertentu. Pendidikan tidak sama dengan bersekolah, tetapi mengacu pada apa
yang diperoleh seseorang saat dia masih sekolah atau kuliah. Hal ini bertujuan untuk
memberikan pengetahuan tentang fakta, peristiwa, nilai, kepercayaan, konsep umum,
prinsip, dll kepada siswa. Ini membantu dalam mengembangkan rasa penalaran,
pemahaman, penilaian dan kecerdasan dalam diri seseorang.
Ada berbagai fase pendidikan seperti taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah
menengah, sekolah menengah atas, sarjana, pasca sarjana, dll. Sertifikat atau gelar
diberikan kepada siswa ketika mereka menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu.
3) Perbedaan Kunci Antara Pelatihan dan Pendidikan
Perbedaan signifikan antara pelatihan dan pendidikan disebutkan dalam poin-poin
berikut:
 Pelatihan mengacu pada tindakan menanamkan keterampilan khusus dalam diri seseorang.
Pendidikan adalah tentang mendapatkan pengetahuan teoretis di ruang kelas atau institusi
apa pun.
 Pelatihan adalah cara untuk mengembangkan keterampilan khusus, sedangkan pendidikan
adalah sistem pembelajaran yang khas.
 Pelatihan sepenuhnya didasarkan pada aplikasi praktis, yang bertolak belakang dalam hal
pendidikan yang melibatkan orientasi teoretis.
 Konsep pelatihan sempit sementara konsep pendidikan relatif lebih luas.
 Pelatihan melibatkan pengalaman langsung mengenai pekerjaan tertentu. Di sisi lain,
pendidikan melibatkan pembelajaran di kelas.
 Jangka waktu pendidikan lebih lama dari durasi pelatihan.
 Pelatihan mempersiapkan seseorang untuk pekerjaan saat ini. Sebaliknya, pendidikan
mempersiapkan seseorang untuk pekerjaan dan tantangan di masa depan.
 Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan. Berbeda
dengan pendidikan, di mana tujuannya adalah untuk mengembangkan rasa penalaran dan
penilaian.
 Selama pelatihan, seseorang belajar, bagaimana melakukan tugas tertentu. Berbeda
dengan Pendidikan, yang mengajarkan tentang konsep umum

Kesimpulan
Meskipun dengan lingkungan yang berubah, pendekatan terhadap pelatihan dan
pendidikan juga semakin berubah. Biasanya, dianggap bahwa setiap karyawan yang akan
mengikuti pelatihan, telah mendapatkan beberapa pendidikan formal. Apalagi benar juga
bahwa tidak ada program pelatihan yang dilakukan tanpa pendidikan.

Pendidikan lebih penting bagi karyawan yang bekerja pada tingkat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pekerja tingkat rendah. Meskipun pendidikan adalah hal biasa bagi
semua karyawan, terlepas dari nilai mereka. Jadi, perusahaan harus mempertimbangkan kedua
elemen tersebut, pada saat merencanakan program pelatihan mereka karena ada saat ketika
karyawan perlu mengambil keputusan sendiri mengenai pekerjaan mereka, di mana
pendidikan sama pentingnya dengan pelatihan.
BAB IV

PRINSIP DASAR MANAJEMEN DIKLAT

A. Definisi Prinsip Pendidikan  

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, terdapat kosa kata prinsip dengan arti asas,
kebenaran yang jadi pokok dasar orang berpikir, bertindak, dan sebagainya. Dengan demikian
kata prinsip menggambarkan sebagai landasan operasional. Dalam bahasa Inggris dijumpai
kata principle yang diartikan asas, dasar, prinsip, dan pendirian.

Dalam bahasa Arab, kata prinsip merupakan terjemahan dari asas jamaknya usus, yang
berarti foundation (dasarbangunan), fundamental (yangutama), groundwork (landasankerja), g
rond (terowongan), basis (tiang tama), keynote (kata kunci).

Dari beberapa uraian di atas penulis dapat memahami bahwa prinsip pendidikan adalah
landasan pendidikan, atau boleh juga dikatakan pondasinya pendidikan, untuk dijadikannya
pijakan.

B. Macam-macam Prinsip Pendidikan

Di kalangan para ahli pendidikan belum banyak yang membahas masalah prinsip
pendidikan secara mendetail. Pembicaraan tentang prinsip pendidikan sering dilakukan
bersama-sama atau diselipkan ketika membahas sumber dan dasar pendidikan. Padahal antara
ketiganya selain memiliki kesamaan atau hubungan timbal balik, namun memiliki perbedaan.
Prinsip - prinsip pendidikan mencakup:

1. Prinsip wajib belajar dan mengajar    


Prinsip wajib belajar adalah prinsip yang menekankan agar setiap orang merasa
bahwa meningkatkan kemampuan diri dalam bidang pengembangan wawasan
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, intelektual, spiritual dan sosial merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan.
2. Prinsip pendidikan untuk semua (Education for All)
Prinsip pendidikan untuk semua orang adalah prinsip yang menekankan agar
dalam pendidikan tidak terdapat ketidakadilan perlakukan, atau diskriminasi.
3. Prinsip pendidikan sepanjang hayat (long life education)
Prinsip pendidikan sepanjang hanyat adalah prinsip yang menekankan, agar setiap
orang dapat terus belajar dan meningkatkan dirinya sepanjang hayat.
4. Prinsip pendidikan berwawasan global dan terbuka
Maksud dari prinsip pendidikan berwawasan global adalah ilmu pengetahuan yang
dipelajari bukan hanya yang terdapat di negeri sendiri melainkan di negeri orang.
5. Prinsip pendidikan integralistik dan seimbang
Prinsip pendidikan seperti ini adalah prinsip yang memadukan antara pendidikan
ilmu agama dan ilmu umum, karena ilmu agama dan ilmu umum, baik secara ontologis,
epistemologi, maupun sosiologis sama-sama berasal dari Tuhan, dan satu dengan yang
lainnya saling melengkapi.
6. Prinsip pendidikan yang sesuai dengan bakat manusia
Prinsip pendidikan yang sesuai dengan bakat manusia adalah prinsip yang
berkaitan dengan merencanakan program atau memberikan pengajaran yang sesuai dengan
bakat, minat, hobi, dan kecendrungan manusia sesuai dengan tingkat perkembangan
usianya.
7. Prinsip pendidikan yang menyengkan dan menggembirakan
Prinsip pendidikan yang menyenangkan ialah prinsip pendidikan yang berkaitan
pemberian pelayanan yang manusiawi, selalu memberikan jalan keluar dan pemecahan
masalah, memuaskan, mencerahkan dan menggembirakan.
8. Prinsip pendidikan yang berbasis pada riset dan rencana
Prinsip pendidikan yang berbasis pada riset maksudnya adalah pendidikan yang
dilaksanakan dan dikembangkan berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang mendalam,
dan bukan berdasarkan dugaan atau asal-asalan.

C. Definisi Prinsip Pelatihan

Dalam pengembangan sumber daya manusia, tetap ada prinsip-prinsip pelatihan


yang tetap menjadi acuan pada saat memberikan pelatihan. Terdapat suatu proses yang
rumit pada saat peserta pelatihan memperoleh keterampilan atau pengetahuan baru yang
belum pernah diketahui oleh peserta tersebut sebelumnya.
Prinsip-prinsip pelatihan menurut Heidjrachman dan Husnan (2002:82) adalah:
Motivasi, semakin tinggi motivasi peserta pelatihan,semakin cepat ia akan mempelajari
keterampilan atau pengetahuan baru tersebut.
Laporan kemajuan, yang diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh seorang peserta telah
memahami pengetahuan yang baru.
Praktik, sedapat mungkin peserta pelatihan yang dilatih bisa mempraktikkan keterampilan
tersebut pada suasana pekerjaan yang sebenarnya.
Perbedaan Individual, pada hakekatnya para peserta pelatihan itu berbeda antara satu
dengan lainnya. Karenanya latihan yang efektif hendaknya menyesuaikan kecepatan dan
kerumitan dengan kemampuan masing-masing individu.
Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2007) prinsip-prinsip latihan adalah sebagai
berikut:
Latihan hanya dilakukan dengan maksud untuk menguasai bahan pelajaran tertentu,
melatih keterampilan dan penguasaan simbol-simbol rumus. Latihan tidak dilakukan
terhadap pengertian/pemahaman, sikap dan penghargaan.
Para peserta menyadari bahwa latihan itu bermakna bagi kehidupannya.
Latihan harus dilakukan terhadap hal-hal yang telah diperoleh peserta,misalnya: fakta-
fakta hafalan dan keterampiln yng baru dipelajari.
Latihan berfungsi sebagai diagnosis melalui reproduksi usaha membaca berkali-kali,
mengadakan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang timbul. Latihan juga merupakan self-
giudance dan mengembangkan pemahaman dan kontrol.
Latihan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: mula-mula latihan untuk mendapat
ketepatan, selanjutnya antara keduanya dicarikeseimbangan.
Latihan dibagi-bagi menjadi sejumlah kurun waktu latihan yang singkat, misalnya: latihan
untuk penguasaan, latihan merecall hasil belajar.
Kegiatan latihan harus hidup, menarik, dan menyenangkan.
Latihan jangan dianggap sebagai upaya sambilan untuk dilakukan seenaknya secara
incidental
Latihan dapat mencapai kemajuan berkat ketekunan dan kedisiplinan yang tinggi.
Latihan yang dilaksanakan lebih berhasil, bila unsur emosi sedapat mungkin dikurangi.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pelatihan agar hasil yang diperoleh
lebih baik adalah sebagai berikut:
a. Motivasi
Semakin tinggi motivasi karyawan untuk melakukan pelatihan,maka akan semakin cepat
mempelajari keterampilan dan pengetahuan baru.
b. Metode pelatihan
Metode pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan jenis pelatihan yang diadakan.
Karena metode yang diberikan sangat berpengaruh terhadap hasil yang akan dicapai.
c. Perbedaan individu
Harus disadari bahwa tiap karyawan itu berbeda satu sama lain, baik dari segi sifatnya,
tingkah lakunya, bentuk badannya maupun dalam pekerjaannya. Oleh karena itu pelatihan
yang diberikan supaya lebih efektif hendaknya menyesuaikan kecepatan dan kerumitan
kemampuan masing-masing individu.
d. Praktik
Mempraktikkan apa yang telah dipelajari adalah sangat penting. Sebisa mungkin para
karyawan yang dilatih dapat mempraktikkan keterampilan tersebut pada suasana pekerjaan
yang sebenarnya.
e. Efektif dari segi biaya
Pelatihan yang dilaksanakan atau diikuti harus efektif dari segi biaya supaya tidak terjadi
pemborosan yang seharusnya bisa dihindari. Oleh karena itu pelatihan harus sesuai dengan
kebutuhan karyawan.

D. Prinsip-Prinsip Pendidikan dan Pelatihan

Beberapa prinsip dalam pendidikan dan pelatihan antara lain :

a. Perbedaan individu
Pada saat perencanaan dan pelaksanaan harus tetap diingat adanya perbedaan individu dari
para peserta baik latar belakang pendidikan, pengalaman, maupun keinginan. Oleh karena
itu, sifat dan cara pendidikan dan pelatihan harus direncanakan dan dilaksanakan
sedemikian rupa, sehingga pendidikan dan pelatihan tersebut akan dapat memberikan hasil
dan manfaat dengan cakupan yang besar.
b.  Analisis jabatan
Spesifikasi pekerjaan akan dapat menjelaskan pendidikan yang sesuai dan harus dimiliki
oleh calon pekerja untuk dapat menunjang pelaksanaan pekerjaannya. Oleh karena itu,
bahan-bahan yang akan diajarkan harus berhubungan erat dengan apa yang dinyatakan
dalam analisis pekerjaan peserta.
c. Motivasi
Orang akan bersungguh-sungguh melaksanakan suatu tugas tertentu bila ada daya
rangsangannya. Demikian juga halnya dengan peserta yang mengikuti pendidikan dan
pelatihan, mereka melihat kenaikan upah maupun kenaikan kedudukan adalah beberapa
daya rangsang yang dipergunakan untuk belajar sungguh-sungguh selama pendidikan dan
pelatihan.
d. Partisipasi aktif
Peserta pendidikan dan pelatihan harus turut aktif dalam pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan. Sistem pendidikan dengan jalan memberikan kuliah sering kali membosankan
karena bersifat satu arah. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan harus dapat
memberikan kesempatan untuk bertukar pikiran antara peserta dan pengajar, sehingga
peserta turut aktif berfikir selama pelaksanaan berlangsung.
e. Seleksi peserta pelatihan
Diantara peserta pendidikan dan pelatihan terdapat perbedaan baik pendidikan,
pengalaman maupun keinginan sehingga untuk menjaga agar perbedaan tidak terlalu
besar, maka calon peserta harus diseleksi. Pendidikan dan pelatihan sebaiknya diberikan
kepada peserta yang berminat dan berkemauan keras untuk mengikutinya. Pada umumnya
orang menganggap bahwa adanya seleksi memberikan gambaran bahwa hanya orang-
orang tertentu yang dapat mengikuti pendidikan dan pelatihan.
f.  Seleksi pengajar
Tidak setiap orang dapat menjadi seorang pengajar yang baik. Jabatan untuk mengajar
juga memerlukan kualifikasi tertentu karena berhasil atau tidaknya pendidikan dan
pelatihan tergantung ada atau tidaknya persamaan kualifikasi analisis jabatan pengajar
dengan kalifikasi analisisi pekerjaan peserta. Oleh karena itu, salah satu asas penting dari
pendidikan dan pelatihan ialah tersedianya tenaga pelatih yang terdidik, berminat, dan
mempunyai kesanggupan untuk mengajar.
g. Pelatihan pengajar
Pengajar dalam suatu pendidikan dan pelatihan harus mudah mendapatkan pendidikan
khusus untuk menjadi tenaga pelatih. Harus diingat bahwa tidak semua orang yang pandai
dalam suatu bidang tertentu dapat mengajarkan kepandaiannya kepada orang lain.
h.  Metode pelatihan
Metode pendidikan dan pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan jenis latihan yang
diberikan. Metode pemberian kuliah tidak tepat bagi supervisor, meskipun cara seperti ini
dapat diberikan pada jenis pendidikan yang lain. Oleh karena itu, pilih metode yang tepat
untuk digunakan pada saat pendidikan dan pelatihan.
i. Asas belajar
Pada umumnya orang akan lebih mudah mengkap pelajaran jika pelajaran yang diberikan
dimulai dari hal yang lebih mudah, baru kemudian mempelajari hal yang lebih sulit.

E. Prinsip Training Need Assessment (TNA)

Training Need Assessment (TNA) atau analisis kebutuhan pelatihan adalah suatu
langkah yang dilakukan sebelum melakukan pelatihan dan merupakan bagian terpadu
dalam merancang pelatihan untuk memperoleh gambaran komprehensif tentang materi,
alokasi waktu tiap materi, dan strategi pembelajaran yang sebaiknya diterapkan dalam
penyelenggaraan pelatihan agar pelatihan bermanfaat bagi peserta pelatihan. Dari analisis
ini akan diketahui pelatihan apa saja yang relevan bagi suatu organisasi pada saat ini dan
juga di masa yang akan datang. Organisasi tidak dapat menentukan pelatihan begitu saja
tanpa menganalisis dahulu kebutuhan dan tujuan apa yang ingin dicapai. Penilaian
kebutuhan merupakan road map untuk mencapai tujuan organisasi.
Analisis Kebutuhan Pelatihan menurut Rosset dan Arwady menyebutkan bahwa
Training Needs Assessment (TNA) adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam analisis
untuk memahami permasalahan kinerja atau permasalahan yang berkaitan dengan
penerapan teknologi baru.
Analisis kebutuhan pelatihan memegang peran penting dalam setiap program
pelatihan, sebab dari analisis ini akan diketahui pelatihan apa saja yang relevan bagi suatu
organisasi pada saat ini dan juga dimasa yang akan datang, yang berarti dalam tahap
analisis kebutuhan pelatihan ini dapat diidentifikasi jenis pelatihan apa saja yang
dibutuhkan oleh pegawai dalam mengemban kewajibannya.
Fungsi Training Need Assessment :
1. Mengumpulkan informasi tentang skill, knowledge dan feeling pekerja.
2. Mengumpulkan informasi tentang job content dan job context.
3. Mendefinisikan kinerja standar dan kinerja aktual dalam rincian yang operasional.
4. Melibatkan stakeholders dan membentuk dukungan.
5. Memberi data untuk keperluan perencanaan.
Analisis Kebutuhan Pelatihan menurut Rosset dan Arwady menyebutkan bahwa
Training Needs Assessment (TNA) adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam analisis
untuk memahami permasalahan kinerja atau permasalahan yang berkaitan dengan
penerapan teknologi baru.
Pendekatan Training Need Assessment
Ada beberapa pendekatan dalam melakukan Training Need Assessment (TNA),
diantara yang paling populer adalah :
a. Makro
Training Need Assessment (TNA) yang didasarkan kepada kebutuhan organisasi /
perusahaan secara umum, sehingga hasil Training Need Assessment (TNA)-nya berlaku
untuk semua orang yang ada di dalamnya. Maka dari itu, seringkali disebut Organization-
Based Analysis.
Training Need Assessment (TNA) Makro dapat menggunakan sumber data
diantaranya :
a). Visi, misi, strategic objective dan target perusahaan.
b). Keadaan ekonomi dan finansial perusahaan.
c). Perubahan budaya.
d). Perubahan teknologi.
e). Tema perusahaan, seperti Pengurangan Biaya, Peningkatan Kualitas, dst.
b. Mikro.
TNA yang didasarkan kepada kebutuhan kelompok tertentu Terdiri dari 2, yaitu :
a. Task-Based Analysis.
Fokus utamanya adalah apakah standar keterampilan yang dibutuhkan pada sebuah
pekerjaan sudah dimiliki oleh si pemegang jabatan atau belum.
b. Person-Based Analysis.
c. Fokus utamanya adalah apakah karyawan sudah dapat melakukan pekerjaan sesuai
tuntutan atau belum.

Training Need Assessment (TNA) Mikro dapat menggunakan sumber data


diantaranya :

1. Job Description

2. Performance Standar
3. Performance evaluation

4. Observasi kerja

5. Interview

6. Kuesioner

7. Checklist

Baik Task-Based maupun Person-Based sama-sama memiliki acuan standar


pekerjaan, sehingga saling melengkapi.

Tahap Training Needs Assessment

a. Analisis organisasi
Tahap Analisis organisasi menentukan di mana pelatihan dapat dilakukan dan di
mana seharusnya dilakukan. Analisis ini memfokuskan pada organisasi secara keseluruhan
mencakup analisis tujuan organisasi, sumber daya, iklim organisasi, serta analisis
lingkungan eksternal dan internal organisasi. Analisis ini bertujuan memperoleh informasi
tentang organisasi yang digunakan untuk menentukan tujuan pelatihan yang hendak
dicapai. Sebagai tahap awal perlu adanya upaya mengkaitkan penilaian kebutuhan
pelatihan dengan pencapaian tujuan organisasi. Dengan mengkaitkan hubungan tersebut,
kebutuhan pelatihan akan dapat diidentifikasi.
b. Analisis tugas
Analisis tugas mengidentifikasi pelatihan apa saja yang harus diberikan kepada
karyawan terkait dengan pekerjaannya. Tujuan analisis ini adalah mengetahui tentang
tugas yang harus dilakukan karyawan, penentuan standar kinerja untuk suatu pekerjaan,
penentuan pengetahuan, kemampuan dan perilaku yang diperlukan dalam suatu pekerjaan.
c. Analisis individu
Analisis individu mengidentifikasi siapa atau karyawan mana yang membutuhkan
pelatihan dan pelatihan apa saja yang perlu diberikan. Untuk itu perlu mengidentifikasi
kemampuan yang dimiliki tiap karyawan yang meliputi:
a. Penentuan metode pengukuran kemampuan
b. Penyusunan instrumen pengukuran kemampuan
c. Pengukuran kemampuan di lapangan
d. Pengolahan hasil pengukuran kemampuan
e. Gambaran hasil pengukuran kemampuan
Setelah dilakukan pengukuran kemampuan, maka akan diperoleh gambaran kemampuan
karyawan saat ini. Adapun beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut:
1) Survei
Survei merupakan metode yang sering digunakan untuk mengumpulkan data.
Pertanyaan survei harus benar agar tidak terjadi interpretasi yang keliru dari
responden. Keuntungan metode survei adalah dapat diterapkan pada populasi yang
besar dan mudah dalam memperoleh feed back.
2) Observasi
Metode Observasi sangat baik digunakan jika populasinya sangat besar dan
kompleks. Observasi dilakukan oleh orang yang terlatih dalam teknik observasi
dan mengenal proses yang diobservasi.
3) Wawancara individu
Metode Wawancara individu biasanya digunakan bersamaan dengan survei
tertulis, tetapi dapat juga dilakukan secara independen. Wawancara individu
digunakan untuk mengetahui kevalidan data yang diperoleh saat survei.
Keuntungan menggunakan wawancara adalah kesempatan untuk mengadakan
interaksi secara langsung dengan karyawan dan merupakan cara paling efektif
untuk mengumpulkan data yang lengkap.
4) Focus Groups
Dalam metode ini ada pembentukan kelompok yang melakukan brainstorming
mengenai hal tertentu. Data yang diperoleh berupa data kualitatif.
5) Performance Appraisal
Hasil studi menunjukkan bahwa laporan penilaian kinerja sangat berguna dalam
menentukan kebutuhan pelatihan. Yang perlu diperhatikan jika menggunakan
laporan kinerja adalah form penilaian harus terstruktur dan pimpinan harus
terampil dalam proses penilaian kinerja.
d. Penentuan kesenjangan kemampuan
Gambaran kemampuan karyawan yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui
adanya kesenjangan antara standar dengan kondisi aktual saat ini.
e. Rekomendasi
Setelah mengetahui bentuk kesenjangan yang ada dan faktor apa yang mempengaruhi,
kemudian dapat ditentukan pelatihan apa yang perlu diberikan. Sehingga bisa
merencanakan pelatihan dan pengembangan sebelum melaksanakannya.

F. Prinsip-Prinsip Desain Pelatihan

Secara umum pendidikan dan pelatihan bertujuan untuk memberikan kesempatan


kepada personil dalam meningkatkan kecakapan dan keterampilan mereka, terutama
dalam bidang-bidang yang berhubungan dengan kepemimpinan atau manajerial yang
diperlukan dalam pencapaian tujuan organisasi. Untuk itu, diperlukan program diklat yang
mengarah pada;
a. Peningkatan semangat dan pengabdian yang berorientasi kepada kepentingan
masyarakat, bangsa, negara dan tanah air.
b. Peningkatan kompetensi teknis, manajerial atau kepemimpinan, peningkatan
efisiensi, efektifitas, kualitas pelaksanaan tugas yang dilakukan dengan semangat
kerjasama dan tanggung jawab sesuai dengan lingkungan kerja dan organisasi.
Terdapat lima prinsip pelatihan menurut Oemar Hamalik (Hamalik, 2000, hal. 8),
yaitu:
a. Pelatihan adalah suatu proses. Pelatihan merupakan suatu fungsi manajemen yang perlu
dilaksanakan terus-menerus dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan dalam suatu
organisasi. Secara spesifik, proses latihan itu merupakan serangkaian tindakan (upaya)
yang dilaksanakan secara berkesinambungan, bertahap dan terpadu. Tiap proses pelatihan
harus terarah untuk mencapai tujuan tertentu terkait dengan upaya pencapaian tujuan
organisasi. Itu sebabnya, tanggung jawab penyelenggaraan pelatihan terletak pada tenaga
lini dan staf.
b. Pelatihan dilaksanakan dengan sengaja. Unsur kesengajaan sangat penting dalam proses
pelatihan yang ditandai oleh adanya suatu rencana yang lengkap dan menyeluruh.
Kesengajaan membutuhkan pemikiran yang matang dan berdasarkan data dan informasi
yang akurat dari berbagai sumber yang relevan.
c. Pelatihan diberikan dalam bentuk pemberian bantuan. Konsep pemberian bantuan
mengandung makna yang luas. Bantuan dalam hal ini dapat berupa pengarahan,
bimbingan, fasilitas, penyampaian informasi, latihan keterampilan, pengorganisasian suatu
lingkungan belajar; yang pada dasarnya peserta telah memiliki potensi dan pengalaman,
motivasi untuk melakukan sendiri kegiatan latihan dan memperbaiki dirinya sendiri.
Istilah pemberian bantuan lebih bersifat humanistik (manusiawi) dan tidak
memperlakukan peserta sebagai mesin (mekanistik).
d. Sasaran pelatihan adalah unsur ketenagakerjaan. Tenaga kerja dalam hal ini adalah unsur
masukan dalam sistem proses pelatihan. Tenaga kerja dapat dilihat dari jenjang
pekerjaannya, yakni sebagai pengelola pelaksana, dan teknis. Dapat juga dilihat dari segi
pendidikan dan pengalamannya, serta dapat juga dari segi potensi yang dimilikinya,
seperti: bakat, minat, motivasi, aspirasi, dan pengalaman pribadi. Hal-hal tersebut
merupakan perilaku awal (entry behavior) yang harus diperhitungkan dalam proses
pelatihan. Karena itu peserta pelatihan perlu diseleksi lebih dahulu sebelum menempuh
suatu program pelatihan.
e. Pelatihan dilaksanakan oleh tenaga profesional. Pelaksanaan pelatihan menjadi tanggung
jawab tenaga pelatih yang memiliki kualifikasi sebagai tenaga profesional, yang
berwenang penuh sebagai tenaga pelatih, karena telah menempuh program pelatihan bagi
pelatih. Tenaga pelatih tersebut telah memiliki kemampuan dalam pendidikan umum,
pendidikan spesialisasi, dan kemampuan dalam proses belajar mengajar yang ditandai oleh
kepemilikan sertifikat sebagai tenaga kependidikan. Ini berarti, tidak semua unsur
ketenagaan berwenang memberikan latihan walaupun yang bersangkutan adalah pejabat
lini atau staf yang dapat diklasifikasikan sebagai tenaga ahli dalam pekerjaannya, kecuali
dalam keadaan khusus atau sebagai narasumber.
f. Pelatihan berlangsung dalam satuan waktu tertentu. Pelatihan dilaksanakan
berkesinambungan dan penuh yakni untuk kegiatan penyampaian teori, latihan, dan
praktik. Karena itu penyediaan satuan waktu harus merupakan kebutuhan dalam program
kepelatihan itu sendiri.
g. Pelatihan meningkatkan kemampuan kerja peserta. Kegiatan pelatihan memiliki tujuan
tertentu, yang pada intinya untuk meningkatkan kemampuan kerja peserta yang
menimbulkan perilaku aspek-aspek kognitif, keterampilan, dan sikap.
h. Pelatihan harus berkenaan dengan pekerjaan tertentu. Kegiatan pelatihan erat kaitannya
dengan pekerjaan peserta. Jika tidak ada kaitannya dengan pekerjaan peserta, maka
kegiatan tersebut mungkin berupa program pendidikan tetapi tidak disebut pelatihan.

H. Prinsip Desain Kurikulum


Beberapa pengertian kurikulum yang lain yaitu :

a. Kumpulan pengalaman dan gagasan yang ditata dalam bentuk kegiatan sebagai proses
pelatihan sedemikian rupa sehingga pengalaman dan gagasan itu terjalin, disajikan
dengan menggunakan metode dan media yang disesuaikan dengan kebutuhan, dengan
memperhatikan nilai-nilai yang ada (Willes Bundy, 1989).
b. Kumpulan materi yang harus disampaikan pelatih atau yang harus dipelajari oleh
peserta untuk menjadi trampil (Pengembangan Kurikulum, Pusdiklat Kesehatan,
2000).
c. Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Manajemen
pelatihan Ketenagakerjaan, Oemar Hamalik, 2001).
Dari beberapa pengertian kurikulum menurut pendapat para ahli tersebut, dapat
disimpulkan pengertiannya sebagai berikut :
Kurikulum pelatihan berorientasi pembelajaran adalah pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran yang ditata dalam bentuk rencana proses pembelajaran pada pelatihan
dengan penekanan pada penggunaan berbagai metode pembelajaran sesuai dengan tujuan
pelatihan sehingga setelah pelatihan peserta memperoleh peningkatan kompetensi yang
dibutuhkan.

Penyusunan Kurikulum
Kurikulum pelatihan yang berbasis kompetensi selayaknya memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Berpusat pada trainee
b. Mengembangkan kreativitas
c. Menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang
d. Kontekstual
e. Menyediakan pengalaman pelatihan yang beragam
f. Belajar melalui berbuat

Adapun langkah-langkah penyusunan kurikulum pelatihan berbasis kompetensi adalah


sebagai berikut:
a. Rumuskan kompetensi yang harus dicapai melalui Training Need Assessment (TNA) atau
mempelajari job requirement/tupoksi).
Kompetensi adalah perumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki trainee untuk
melakukan suatu tugas/pekerjaan yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan.
Dengan dikuasainya kompetensi tersebut, maka yang bersangkutan akan mampu:
1) mengerjakan suatu tugas/pekerjaan
2) mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan
3) melakukan suatu tindakan bilamana terjadi hal yang berbeda dengan rencana semula
4) menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau
melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda.
b. Rumuskan tujuan pelatihan. Dalam menyusun kompetensi dasar, sebaiknya melibatkan
orang-orang yang ahli dalam:
Pembuat kebijakan/Perancang program pelatihan
Administrator
Penulis substansi (subject matter specialist)
Perancang kurikulum (curriculum designer)
Editor
Koordinator pelatihan
Ahli pembelajaran (learning specialist)
c. Rujuk buku akreditasi pelatihan di bidang yang sesuai dengan pelatihan

Penjelasan Pengisian Format Kurikulum


a. Judul kurikulum
Tulis judul pelatihan sebagai judul kurikulum.

b. Pendahulua
n Terdiri
dari:

1) Latar belakang
Uraikan hal-hal yang melatarbelakangi mengapa pelatihan perlu dilaksanakan. Uraian
latar belakang bisa diisi dengan uraian peristiwa yang terjadi yang terkait dengan tema
pelatihan. Bisa dijuga dijelaskan beberapa fakta-fakta yang terkait dengan pelatihan yang
kemudian dijelaskan kesenjangan antara fakta-fakta dengan kondisi ideal yang
diharapkan. Kondisi ideal ini bisa berasal dari peraturan perundangan, visi lembaga, atau
kondisi ideal pencapaian tujuan lembaga.

2) Filosofi pelatihan
Sampaikan hak-hak peserta yang dapat diperoleh selama proses pembelajaran, antara lain:
a) Cara memandang/ memperlakukan peserta latih
b) Apa yang harus dilakukan oleh fasilitator/ pelatih
c) Apa yang akan diperoleh peserta latih
d) Proses pembelajaran yang akan dilaksanakan
e) Metode pembelajaran yang digunakan
f) Evaluasi yang akan dilaksanakan

c. Kompetensi
Jabarkan kompetensi yang harus dicapai melalui pelatihan sesuai dengan hasil TNA
atau melalui cara lain yang dipilih meliputi pengetahuan, ketrampilan dan sikap.
d. Tujuan Pelatihan
Dalam merumuskan tujuan pelatihan memperhatikan hal-hal berikut:

1) Tentukan tujuan pelatihan dengan menguraikan/ menjabarkan kemampuan atau


kompetensi yang akan dicapai oleh peserta latih setelah mengikuti pelatihan.
2) Kompetensi yang akan dicapai meliputi pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang
berkaitan dengan tugas yang dimiliki peserta.
3) Rumusan tujuan pelatihan terdiri dari
a. Tujuan Umum: Menggambarkan tentang tujuan yang ingin dicapai pada akhir
pelatihan.
b. Tujuan Khusus: Menjabarkan kompetensi yang dirumuskan pada tujuan umum
dalam tahapan kompetensi yang lebih spesifik dan bisa diukur.
e. Peserta
Tentukan kriteria peserta berdasarkan:
1) Kesesuaian dengan tugas pokoknya.
2) Latar belakang pendidikan (syarat minimal pendidikan untuk menjadi trainee tersebut).
3) Pengalaman bekerja sesuai dengan pelatihan.
4) Kriteria lain yang perlu dan spesifik untuk pelatihan tersebut.
f. Struktur Program
Susun materi yang akan diberikan dalam proses pelatihan dalam bentuk matriks yang
terdiri dari materi dan alokasi waktu.
1) Materi, yaitu ilmu pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan untuk mencapai
standar
kompetensi yang telah ditetapkan. Materi bisa dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
a) Materi dasar adalah materi yang sebaiknya diketahui oleh peserta, misalnya
kebijakan, peraturan-peraturan, keputusan, dan sebagainya. Penyampaian materi yang
sifatnya kognitif ini dilakukan dengan metode interaktif dan eksploratif. Untuk itu
pertimbangkan jumlah jam yang memadai untuk penugasan. Persentase materi dasar
sebesar 15% - 20% dari keseluruhan jumlah jam pelatihan.
b) Materi inti adalah materi yang harus diketahui dan dikuasai oleh peserta, mengarah
pada kompetensi yang ingin dicapai. Penyampaian materi dilakukan dengan berbagai
alternatif metode yang menyebabkan terjadinya proses eksperimentasi dan eksplorasi
oleh peserta. Dengan demikian jumlah jam penugasan dan praktik lapangan memiliki
porsi lebih besar daripada presentasi teori oleh fasilitator. Persentase materi inti sebesar
60% - 70% dari keseluruhan jumlah jam pelatihan.
c) Materi penunjang adalah materi yang biasa dikaitkan untuk menunjang materi inti
yang terdiri dari building learning commitment (BLC), Plan of Action (POA)/ Rencana
Tindak Lanjut (RTL) dan Praktik Kerja Lapangan (PKL). Untuk itu perlu dirancang
keterkaitan antara materi di dalam kelas yang disampaikan dengan metode studi kasus,
latihan, dan sebagainya dengan metode yang sesuai. Persentase materi penunjang
sebesar 15% - 20% dari keseluruhan jumlah jam pelatihan.

2) Alokasi waktu, yaitu jumlah waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu materi
serta proporsinya antara teori dengan penugasan/praktik. Alokasi waktu
menggambarkan kegiatan pelatihan yakni:
• Teori (T) sebesar 40%
• Penugasan (P) dan Praktik Lapangan (PL) sebesar 60% yang disesuaikan dengan
bobot dari materi pelatihan tersebut.

Dalam proses pembelajaran, alokasi waktu untuk teori sebanyak 40% disampaikan
dengan menggunakan metode yang lebih mengarah pada terciptanya peran serta aktif
peserta.

g. Diagram Alir Proses Pembelajaran


Gambarkan langkah-langkah kegiatan dalam proses pembelajaran yang dimulai
dengan pembukaan dan seterusnya sampai dengan penutupan.
h. Silabus
Istilah silabus dapat didefinisikan sebagai "Garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau
pokok-pokok isi atau materi pelajaran" (Salim, dalam Depdiknas 2008, 2008:23). Istilah
silabus digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum berupa
penjabaran lebih lanjut dari SK dan KD yang ingin dicapai, dan materi pokok serta uraian
materi yang perlu dipelajari trainee dalam rangka mencapai SK dan KD. Silabus merupakan
penjabaran kompetensi yang ditetapkan melalui TNA dan tujuan pelatihan ke dalam materi
pokok/pelatihan, kegiatan pelatihan, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Berikut disajikan ikhtisar tentang komponen pokok dari silabus yang lazim digunakan
1) Komponen yang berkaitan dengan kompetensi yang hendak dikuasai, meliputi :
a) Standar Kompetensi
b) Kompetensi Dasar
c) Indikator
d) Materi Pelatihan
2) Komponen yang berkaitan dengan cara menguasai kompetensi, memuat pokok pokok
kegiatan dalam pembelajaran.
3) Komponen yang berkaitan dengan cara mengetahui pencapaian kompetensi, mencakup:
a) Teknik Penilaian :
Jenis Penilaian
Bentuk Penilaian
b) Instumen Penilaian
4) Komponen Pendukung, terdiri dari :
a) Alokasi waktu
b) Sumber belajar
BAB V
PRINSIP DASAR DALAM MANAJEMEN DIKLAT
A. Penyusunan Kurikulum Pelatihan Berbasis Kompetensi

Manajemen dalam bahasa Inggris berasal dari kata “to manage”. Kata manage berasal
dari bahasa Italia “managgio” dari kata “managgiare”, yang artinya “mengendalikan”, yang
selanjutnya kata ini berasal dari bahasa latin yaitu “manus”, yang berarti “tangan”.
Manajemen adalah suatu seni dalam ilmu dan pengorganisasian seperti menyusun
perencanaan, membangun organisasi dan pengorganisasiannya, pergerakan, serta
pengendalian ataupun pengawasan.

Manajemen merupakan usaha menggerakkan dan mengendalikan   orang-orang yang


dalam organisasi supaya mereka bekerja secara optimal. Manajemen juga diartikan sebagai
proses mendayagunakan orang dan sumber daya  lain untuk tujuan organisasi secara efektif
dan efisien.

Penyusunan Kurikulum

Kurikulum pelatihan yang berbasis kompetensi selayaknya memiliki karakteristik


sebagai berikut:

a. Berpusat pada trainee

b. Mengembangkan kreativitas

c. Menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang


d. Kontekstual

e. Menyediakan pengalaman pelatihan yang beragam

f. Belajar melalui berbuat

Adapun langkah-langkah penyusunan kurikulum pelatihan berbasis kompetensi adalah


sebagai berikut

a. Rumuskan kompetensi yang harus dicapai melalui Training Need Assessment (TNA) atau
mempelajari job requirement/tupoksi).
Kompetensi adalah perumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki trainee untuk
melakukan suatu tugas/pekerjaan yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan.
Dengan dikuasainya kompetensi tersebut, maka yang bersangkutan akan mampu:
1) mengerjakan suatu tugas/pekerjaan
2) mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan
3) melakukan suatu tindakan bilamana terjadi hal yang berbeda dengan rencana semula
4) menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau
melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda
b. Rumuskan tujuan pelatihan. Dalam menyusun kompetensi dasar, sebaiknya melibatkan
orang-orang yang ahli dalam:
- Pembuat kebijakan/Perancang program pelatihan
- Administrator
- Penulis substansi (subject matter specialist)
- Perancang kurikulum (curriculum designer)
- Editor.
- Koordinator pelatihan
- Ahli pembelajaran (learning specialist)
c. Rujuk buku akreditasi pelatihan di bidang yang sesuai dengan pelatihan.
Banyak model desain instruksional yang kita ketahui banyak diaplikasikan dalam
banyak sistem pembelajaran. Salah satunya adalah model yang menyarankan bahwa
lingkungan pembelajaran yang paling efektif bagi proses pembelajaran adalah yang
berbasis problem dengan melibatkan peserta didik dalam empat fase pembelajaran (5
Principles of Instruction, Merril, D. 2002: 2) yaitu (1) aktivasi pengalaman sebelumnya,
(2) demonstrasi keterampilan, (3) aplikasi keterampilan, dan (4) integrasi keterampilan
kedalam aktivitas nyata kehidupan sehari-hari.
ada beberapa tips yang bisa disarikan untuk efektivitas pelatihan, yaitu:
1. Pembelajaran akan mudah manakala trainee dilibatkan dalam memecahkan
permasalahan sehari-hari;
2. Pembelajaran akan dimudahkan manakala pengetahuan yang dimiliki diaktivasi sebagai
landasan pengetahuan yang baru;
3. Pembelajaran akan mudah manakala pengetahuan baru diperagakan/didemonstrasikan
pada trainee;
4. Pembelajaran akan mudah manakala pengetahuan diterapkan oleh trainee; dan
5. Pembelajaran akan mudah manakala pengetahuan diintegrasikan dalam keseharian
trainee.
Ada banyak model desain instruksional yang telah berkembang selama ini.
Misalnya, model Prinsip Pertama Instruksional dari Merrill, Model desain Instruksional
Kemp, Sembilan Tahapan Gagne, Taksonomi Pembelajaran Bloom, Empat Level Evaluasi
Pelatihan Kirkpatrick, Critical Even Model, Model ADDIE, dan banyak lain. Dalam
pembahasan ini, penulis hanya akan menjelaskan satu model saja, yang terkait dengan
judul makalah, yaitu model instruksional ADDIE.

B. Model Desain Pelatihan ADDIE

Model ADDIE merupakan proses umum yang biasa digunakan oleh para desainer
pembelajaran ataupun pengembang training. Ada lima fase desain pelatihan yang
ditawarkan oleh model ini, yaitu Analysis, Design, Developent, Implementation, dan
Evaluation yang jika disingkat dari huruf awalnya menjadi nama model tersebut, ADDIE.
Model ini memberikan perangkat panduan yang dinamis serta fleksibel dalam membangun
pelatihan yang efektif.
Model ADDIE ini merupakan manifestasi dari lima aspek penting sasaran program
pendidikan dan pelatihan. Kelima aspek ini dijadikan nama model tersebut, yaitu:
1. Hasil atau dampak keseluruhan yang harus dicapai oleh peserta diklat, dimana hasil atau
dampak ini bisa diidentifikasi dari pengukuran dan penilaian tentang apa yang dibutuhkan
individu atau tempat kerja dalam rangka mencapai suatu level kinerja yang seharusnya.
Dampak pelatihan itu adalah kemampuan menampilkan suatu pekerjaan yang kompleks.
2. Tujuan pembelajaran apa yang harus dicapai oleh peserta diklat dalam rangka mencapai
semua dampak keseluruhan, dan strategi apa yang harus diterapkan oleh pelatih dan
peserta diklat untuk mencapai tujuan dan dampak tersebut. Tujuan dan strategi tersebut
diwujudkan kedalam aktivitas atau program diklat. Tujuan pembelajaran sering
diidentikkan dengan pengetahuan baru, keterampilan baru, dan kemampuan baru. Dalam
satu dampak, bisa terdiri dari beberapa tujuan pembelajaran.
3. Sumber daya apa yang harus dikembangkan untuk mengembangkan dan dan menerapkan
strategi pembelajaran. Sumber daya ini bisa berupa keahlian tertentu, fasilitas dan
teknologi.
4. Bagaimana strategi akan diterapkan oleh pelatih dan trainee. Strategi-strategi bisa meliputi
suatu sesi orientasi, belajar mandiri, peer teaching, pembelajaran berbasis web, portofolio,
tergantung situasi dan kondisi proses pembelajaran itu sendiri.
5. Bagaimana pencapaian tujuan dan dampak akan diukur atau dievaluasi selama atau setelah
kegiatan diklat. Evaluasi ini bisa berupa kuesioner, survey, interview, atau studi kasus.

Model ADDIE dalam mendesain sistem instruksional pelatihan menggunakan


pendekatan sistem. Hal ini ditujukan agar proses pelatihan yang dijalankan berjalan secara
komprehensif serta fokus pada kebutuhan lembaga dan individu. Model instruksional ADDIE
merupakan proses instruksional yang umum digunakan secara tradisional oleh pengembang
diklat. Ada 5 (lima) fase, yaitu Analysis, Design, Development, Implementation, dan
Evaluation yang merepresentasikan panduan perangkat pengembangan pelatihan dan kinerja
yang dinamik.

proses pelatihan yang dikembangkan melalui model ADDIE ini, tahapannya adalah
sebagai berikut ini:

1. Analysis. Analisa kebutuhan lembaga dan individu dan kemudian mengidentifikasi


sasaran pelatihan, yang ketika dicapai, akan membekali trainee dengan pengetahuan dan
keterampilan dalam rangka memenuhi kebutuhan lembaga dan individu/ybs.
2. Design. Mendesain sistem pelatihan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Fase ini
meliputi identifikasi tujuan pembelajaran, strategi dan kegiatan apa yang diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut, sumber daya apa yang dibutuhkan (uang, persediaan, fasilitas,
dll), jumlah pertemuan, atau tahapannya, dll.
3. Development. Mengembangkan sumber dan materi pelatihan, mendesain web jika
memanfaatkan e-learning, pengembangan media A-V, gambar, manual, dll.
4. Implementation. Melaksanakan kegiatan pelatihan, menyelenggarakan pelatihan dengan
cara menerapkan strategi dan memandu kegiatan, berbagi feedback program pelatihan dan
metodanya, melakukan test, memodifikasi desain training, dan material berdasarkan pada
feedback yang ditemukan.
5. Evaluation. Evaluasi adalah kegiatan mendapatkan feedback dari trainee dan pelatih dan
supervisor trainee dalam rangka meningkatkan mutu pelatihan dan mengidentifikasi
pencapaian tujuan pelatihan.

Evaluasi dilakukan selama dan setelah kegiatan berlangsung. Yang dievaluasi adalah
desain program pelatihan, penggunaan sumber daya, dan hasil yang diperoleh oleh partisipan
program pelatihan.

Dalam melakukan evaluasi, ada 4 tahapan capaian hasil training yang bisa dievaluasi
(mengacu pada tahapan evaluasi Kirkpatrick), yaitu:

1. Reaction – apa yang dirasakan trainee tentang training?


2. Learning – Pengetahuan, fakta, atau apapun yang diperoleh trainee?
3. Behaviors – Keterampilan apa yang dikembangkan trainee, yaitu informasi baru apa yang
digunakan trainee dalam pekerjaan?
4. Results or effectiveness – Hasil apa yang terjadi, yaitu apakah trainee menerapkan
keterampilan baru pada pekerjaan di lembaga dan jika iya, bagaimana hasil pekerjaannya
tersebut?.

C. Penyelenggaraan Diklat

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2011, diklat aparatur yang
terdiri dari diklat prajabatan, diklat kepemimpinan, diklat fungsional RIHP, diklat fungsional
lainnnya dan diklat administrasi dan manajemen diselenggarakan berdasarkan tahapan yang
telah diatur sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Diklat teknis bagi
aparatur dan non aparatur pertanian serta diklat kepemimpinan dan manajemen bagi non
aparatur pertanian diselenggarakan berdasarkan kompetensi kerja (Competency Based
Training) dengan tahapan sebagai berikut:

Perencanaan Diklat
a. Analisis Kebutuhan Diklat
Analisis Kebutuhan Diklat (AKD) dilakukan oleh penyelenggara diklat dengan cara
sebagai berikut:
1) Analisis jabatan atau analisis pekerjaan
Analisis jabatan bagi aparatur atau non aparatur pertanian dilakukan untuk menyusun
Standar Kompetensi Kerja (SKK) atau Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
(SKKNI).
2) Identifikasi Kebutuhan Diklat
Identifikasi Kebutuhan Diklat (IKD) dilakukan untuk memperoleh Kekurangan
Kompetensi Kerja (KKK). Selisih antara SKK dengan Kompetensi Kerja Nyata (KKN)
adalah KKK. IKD diperoleh dengan cara merumuskan dan menyusun SKK/SKKNI serta
melaksanakan identifikasi kekurangan kompetensi kerja untuk kebutuhan diklat yang
diperoleh dari calon peserta.
b. Perumusan Kebutuhan Diklat
Hasil AKD digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebutuhan diklat sesuai dengan
jenis dan jenjang diklat bagi aparatur maupun non aparatur pertanian. Perumusan
kebutuhan.

diklat dilakukan oleh penyelenggara sebelum pelaksanaan diklat dengan cara sebagai
berikut;

1. Menyusun Kurikulum dan Silabus


a. Kurikulum diklat disusun berdasarkan AKD masing- masing mata diklat yang
dirinci ke dalam tujuan, sasaran, mata pelatihan dan silabus;
b. Silabus diklat disusun sesuai dengan matrik yang terdiri dari: (1) Elemen
Kompetensi, (2) Kriteria Unjuk Kerja (KUK), (3) Indikator Unjuk Kerja, (4)
Materi Diklat, dan (5) Perkiraan Waktu Diklat.
c. Kurikulum dan silabus dibobot ke dalam perkiraan waktu atau jumlah jam
pelajaran yang dibagi ke dalam tiga kelompok mata diklat, yaitu (1) Kelompok
Dasar (5- 10%), (2) Kelompok Inti (80-90%), dan (3) Kelompok Penunjang (5-
10%).
2. Metodologi Diklat
Metodologi diklat ditentukan sesuai dengan sasaran peserta diklat yang akan
dilatih. Metodologi diklat aparatur dan non aparatur pertanian sesuai jenis dan jenjang
serta menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa (Andragogy) atau pendekatan
Experimential Learning Cycle (ELC) atau AKOSA (Alami, Kemukakan, Olah,
Simpulkan, Aplikasikan) dalam bentuk kegiatan/metoda, antara lain ceramah, diskusi,
curah pendapat, simulasi, studi kasus, praktik, magang, bermain peran, dan penugasan.
3. Bahan Ajar
Bahan ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran mancakup modul, unit
kompetensi (UK), petunjuk lapangan (Petlap), bahan serahan, dan bahan tayang.
4. Penentuan Jumlah Jam Berlatih
a) Penentuan jam berlatih ditetapkan berdasarkan waktu yang diperlukan untuk memenuhi
kompetensi kerja calon peserta diklat. Jumlah jam berlatih satu hari adalah 8 jam dengan
satuan waktu 45 menit per jam berlatih;
b) Penentuan jam berlatih didasarkan pada waktu yang dibutuhkan untuk proses dan
ulangan. Proses menunjukkan banyaknya jam berlatih yang diperlukan untuk
menyelesaikan satu unit kompetensi, sedangkan ulangan menunjukkan berapa kali
pengulangan yang diperlukan dalam berlatih sampai seseorang dianggap kompeten;
c) Penentuan lama diklat merupakan penjumlahan seluruh waktu untuk proses dan
pengulangan yang diperlukan setiap unit kompetensi dalam setiap jenis dan jenjang diklat.
5. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran dilakukan oleh widyaiswara terhadap peserta diklat aparatur dan
non aparatur pertanian terdiri dari:
(1) evaluasi awal, (2) evaluasi pertengahan, dan (3) evaluasi akhir. Evaluasi awal
dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dilakukan
sebelum proses diklat. Evaluasi pertengahan dilakukan selama proses diklat berlangsung
untuk mengukur kemajuan berlatih. Evaluasi akhir dilakukan pada akhir proses diklat
untuk mengukur tingkat pencapaian hasil pembelajaran. Evaluasi peserta dinilai dari aspek
pengetahuan dan keterampilan serta sikap dan perilaku.
6. Pola Diklat
Pemilihan pola diklat aparatur dan non aparatur pertanian berdasarkan dengan jenis dan
jenjangnya disesuaikan dengan
kurikulum, metoda dan durasi waktu diklat dengan pengaturan sebagai berikut:
a) Diklat bagi Pelatih Utama (DPU) dilaksanakan minimal 14 hari (112 JP) dengan pola
diklat pembekalan (20%) di UPT Pelatihan, pendalaman (50%) di lapangan dan
pemantapan (30%) di UPT Pelatihan dengan menghasilkan modul/bahan ajar bagi pelatih
(DP);
b) Diklat bagi Pelatih (DP) dilaksanakan minimal 12 hari (96 jam berlatih) dengan pola
diklat pembekalan (20%) di UPT Pelatihan, pendalaman (50%) di lapangan dan
pemantapan (30%) di UPT Pelatihan dengan menghasilkan bahan ajar yang telah
disempurnakan bagi diklat teknis;
c) Diklat bagi Pemandu Lapangan (PL-I) dan Pemandu Lapangan (PL-II) dilaksanakan
dengan memanfaatkan pendekatan siklus usaha. Pelaksanaan didahului dengan
pembekalan (20%) di UPT Pelatihan dan ditindaklanjuti dengan pendalaman (50%) di
lapangan dan pemantapan (30%) di UPT Pelatihan. Diklat bagi PL-I menghasilkan
modul/bahan ajar untuk pelaksanaan diklat bagi PL-II, sedangkan diklat bagi PL-II
menghasilkan bahan/materi untuk pendampingan di lapangan/sekolah lapangan;
d) Diklat Fungsional RIHP dilaksanakan minimal 14 hari (112 JP) dengan pola diklat
pembekalan (20%) di UPT Pelatihan, pendalaman (50%) di lapangan dan pemantapan
(30%) di UPT Pelatihan dengan menghasilkan kompetensi teknis yang sesuai dengan jenis
dan jenjang jabatan;
e) Diklat fungsional lainnya dilaksanakan minimal 7 hari (56 JP) dengan pola diklat
pembekalan (20%) di UPT Pelatihan, pendalaman (50%) di lapangan dan pemantapan
(30%) di UPT Pelatihan dengan menghasilkan kompetensi teknis yang sesuai dengan jenis
dan jenjang jabatan;
f) Diklat teknis pertanian bagi aparatur dilaksanakan minimal 7 hari (56 jam berlatih) dan
non aparatur pertanian minimal 5 hari (40 jam berlatih). Pola diklat bagi aparatur terdiri
dari teori 30%-40% dan praktik 60%-70% sedangkan untuk non aparatur pertanian 10%-
20% teori dan praktik 80%-90% dengan menghasilkan rencana implementasi berupa
bahan/materi untuk mendukung pelaksanaan tugas atau pekerjaannya;
g) Diklat teknis administrasi dan manajemen bagi aparatur pertanian dilaksankan dengan
pola yang sesuai peraturan dan perundang yang berlaku;
h) Diklat kepemimpinan dan manajemen bagi non aparatur pertanian dilaksanakan
minimal 5 hari diklat (40 jam berlatih) dengan pola diklat 10%-20% teori dan praktik
80%-90% dengan menghasilkan rencana implementasi untuk mendukung pelaksanaan
tugas kelembagaan dan pekerjaannya.
7. Tenaga Kediklatan
Penyelenggara diklat aparatur dan non aparatur pertanian menyediakan tenaga kediklatan
dan tenaga kediklatan lainnya sesuai dengan jenis dan jenjang diklat. Penetapan tenaga
kediklatan, khususnya widyaiswara dan instruktur didasarkan pada:
a) Kesesuaian kompetensi materi yang dilatihkan, spesialisasi dan pengalaman yang
dimiliki.

D. Evaluasi Diklat

Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Kata tersebut diserap ke
dalam perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata
aslinya dengan sedikit penyesuaian pelafalan Indonesia menjadi “evaluasi”.
Evaluasi adalah sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai suatu kegiatan
yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Menurut Lincoln pada buku
Zainal Arifin mengemukakan bahwa evaluasi sebagai “a process for describing an
evaluand and judging its merit and wroth”. Jadi, evaluasi adalah suatu proses untuk
menggambarkan peserta didik dan menimbangnya dari segi nilai dan arti. Definisi ini
menegaskan bahwa evaluasi berkaitan dengan nilai dan arti.
Menurut Cross dalam buku H. M. Sukardi mendefinisikan evaluasi merupakan
suatu proses yang menentukan kondisi, dimana suatu tujuan telah dapat dicapai
“evaluation is a process which determines the extent to which objectives have been
achieved”. Definisi ini menerangkan secara langsung hubungan evaluasi dengan tujuan
suatu kegiatan yang mengukutr derajat, dimana suatu tujuan dapat dicapai.
Proses dan hasil dari evaluasi sangat dipengaruhi oleh beragam pengamatan, latar
belakang, dan pengalaman praktis evaluator itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Gilbert Sax pada buku Zainal Arifin
bahwasanya “evaluation is process through wich a value judgement or decision is made
from variety of observation and from the background and training of the evaluator”.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa evaluasi program pendidikan
dan pelatihan adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan
kualitas (nilai dan arti) yang mencakup pengetahuan (Knowledge), keterampilan (Skills)
dan sikap (Attitude), serta untuk mengukur tingkat ketercapaian dari tujuan kegiatan
pendidikan dan pelatihan itu sendiri.

E. Prinsip Evaluasi Diklat

Evaluasi keberhasilan program diklat dimulai dari tahapan yang paling awal sekali.
Bahkan proses evaluasi diklat sangat ditentukan oleh keberhasilan dari keseluruhan
tahapan yang terdahulu. Prinsip dari evaluasi diklat adalah melakukan evaluasi terhadap
keseluruhan proses kegiatan diklat dari awal sampai pada akhirnya. Sebagai contoh pada
tahapan 1 menentukan kebutuhan. Maka evaluasi diklat untuk melakukan evaluasi tahapan
pertama ini adalah mengevaluasi kembali apakah kebutuhan dari peserta pelatihan sudah
sesuai dengan program pelatihan yang diberikan? Apakah kebutuhan dari manager atau
instansi yang mengirimkan peserta pelatihan sudah dapat dipenuhi dalam program
pelatihan ini? Apakah kompetensi yang diajarkan dalam pelatihan telah sesuai dengan
kebutuhan kompetensi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari?
Demikian juga pada tahapan kedua – menetapkan tujuan pelatihan, evaluasi diklat
termasuk evaluasi purna diklat harus mampu untuk mengevaluasi apakah penetapan tujuan
pelatihan telah sesuai? Apakah tujuan pelatihan telah memperhatikan kebutuhan
pelatihan? Apakah tujuan pelatihan telah memperhatikan aspek kompetensi yang ingin
dicapai?Apakah penetapan tujuan pelatihan telah memperhatikan komposisi dari KSA?
Demikian seterusnya sampai pada tahapan evaluasi itu sendiri. Misalnya adalah apakah
proses evaluasi selama pelaksanaan diklat telah mengukur kompetensi yang hendak
dicapai? Apakah materi pelatihan telah dievaluasi secara memadai? Bagaimana mengenai
evaluasi peserta pelatihan? Mulai dari penetapan peserta sampai pada pencapaian
pelaksanaan pelatihan?

F. Model Evaluasi Diklat

Menurut Kirkpatrick model evaluasi diklat ada 4 level atau disebut “The four
levels” dalam melakukan evaluasi pelatihan yaitu:
1) Level 1 – Reaksi: mengukur bagaimana peserta pelatihan bereaksi terhadap
program pelatihan .
2) Level 2 – Pembelajaran: mengukur bagaimana peserta pelatihan menerima
kegiatan pembelajaran, apakah peserta telah berubah pengetahuan, ketrampilan dan
perilakunya.
3) Level 3 – Prilaku: mengukur bagaimana peserta pelatihan telah berubah
perilakunya akibat dari program pelatihan yang diikutinya.
4) Level 4 – Hasil: mengukur apa hasil yang diperoleh, karena peserta pelatihan
mengikuti program pelatihan, misalnya meningkatnya produktivitas dan lainnya.
Dalam melakukan evaluasi tidak bisa hanya salah satu level saja, akan tetapi harus
melaksanakan kesemua level tersebut. Apabila melakukan evaluasi hanya salah satu saja
berarti atau beberapa saja maka akan menghasilkan kesimpulan yang salah. Sebagai
contoh: jika pada evaluasi level 3 tidak diperoleh adanya perubahan prilaku dari peserta
pelatihan, sehingga disimpulkan program pelatihan secara keseluruhan tidak efektif.
Kesimpulan ini bisa saja akurat atau bisa jadi sebaliknya sama sekali tidak akurat. Ada
banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang berubah perilakunya, dan bukan hanya
semata-mata karena faktor mengikuti program pelatihan. Bisa jadi program pelatihannya
sangat baik, namun tidak ada keinginan untuk berubah dari diri peserta pelatihan, atau bisa
jadi ada keinginan namun tidak tahu bagaimana caranya untuk berubah, atau faktor lain
diluar diri peserta pelatihan misalnya tidak ada suasana kondusif untuk melakukan
perubahan, atau tidak ada keuntungannya dengan melakukan perubahan.
Selain model empat level evaluasi dari Kirkpatrick, Jack J. Philips melengkapi
menjadi pengukuran level 5 yaitu melakukan evaluasi diklat dari sisi tingkat pengembalian
diklat (return on Investment/ROI) atau biasa juga dikenal dengan istilah Return on
Training Investment/ROTI) yaitu mengukur manfaat diklat dibandingkan dengan
biayanya.9 The Human Resources Scorecard – Measuring the Return on Investment,2001
Jack L. Phillips mengingatkan bahwa ada banyak hal yang dapat diukur dan ada banyak
pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi aktifitas sumber
daya manusia termasuk di dalamnya aktivitas diklat. Pendekatan dalamHR Accountability
Phillips dengan model ROI nya, memperkenalkan tahapan evaluasi program diklat terdiri
dari 4(empat) tahapan utama sebagai berikut:
Pada tahapan pertama evaluasi tahapan perencanaan terdiri dari dua kegiatan
pokok , yaitu mengembangkan tujuan evaluasi dan mengembangkan rencana evaluasi.
Tahapan kedua adalah pengumpulan data, yang terdiri dari dua kegiatan pokok,
yang pertama yaiu pengumpulan data selama program pelatihan berlangsung; umumnya
evaluasi level 1 dan 2 dan yang kedua adalah pengumpulan data setelah selesai program
pelatihan umumnya evaluasi level 3 dan 4.
Tahapan yang ketiga adalah melakukan analisis data yang terdiri dari 5 kegiatan
pokok.Mengisolasipengaruh pelatihan, mengkonversi data kedalam nilai uang, dapatkan
biaya program pelatihan, hitung ROI, dan identifikasi manfaat lain ( intangible benefits).

Tahapan yang keempat adalah melaporkan hasil evaluasi.

G. Pelaksanaan Evaluasi Diklat

Dengan menggunakan model ROI process dari Jack L. Phillips,


pelaksanaan evaluasi diklat dapat dilakukan dalam empat tahapan utama:
Pelaksanaan evaluasi diklat dapat dilakukan dalam empat tahapan utama:
a. Perencanaan Evaluasi
b. Pengumpulan Data
c. Analisis
d. pelaporan
a. Perencanaan Evaluasi
Pada tahap perencanaan evaluasi diklat ini perlu memperhatikan tujuan dari
program diklat yang hendak dievaluasi sebagai dasar untuk merencanakan rencana
evaluasi. Pemahaman mengenai program diklat juga akan membantu pada tahap
pengumpulan data pada saat evaluasi, baik evaluasi level 1 dan level 2.
Gagal dalam memahami program diklat akan berdampak salah dalam
merencanakan evaluasi, dan salah dalam mendapatkan data yang akan dievaluasi, yang
pada akhirnya simpulan hasil evaluasi akan salah dan tidak tepat. Perancangan
program evaluasi diklat akan membantu evaluator diklat untuk menetapkan jenis data
yang akan diperoleh, bagaimana mendapatkan data, melakukan isolasi dampak diklat
dan lain-lain. Pada perancangan evaluasi Purna diklat, hal penting yang perlu
dilakukan adalah merancang ukuran (Scorecard) kinerja dan merancang alat ukur
untuk menilai kinerja tersebut. Rancangan ukuran kinerja dan rancangan alat ukur
kinerja akan sangat menentukan cara peroleh data dan jenis data apa saja yang perlu
diperoleh untuk mendapatkan simpulan evaluasi purna diklat secara tepat.
b. Pengumpulan Data Pada tahap ini evaluator program diklat mengumpulkan data-data
yang relevan untuk evaluasi sesuai dengan rancangan dan tujuan dari evaluasi diklat
ini. Dalam evaluasi diklat, tidak semata-mata hanya mengumpulkan data yang terkait
dengan aktivitas setelah selesai kegiatan program diklat, namun demikian harus juga
mengumpulkan data program diklat(tujuan, peserta, metode diklat dll)serta data-data
dan hasil evaluasi dari level 1 dan level 2. Gagal mendapatkan data tentang program
diklat, demikian juga gagal mendapatkan hasil evaluasi program diklat level 1 dan 2,
dapat menimbulkan salah dalam pengambilan kesimpulan hasil evaluasi. Sebagai
contoh peserta a dan peserta b sebagai target evaluasi diklat, jika diasumsikan bahwa
peserta a dan peserta b adalah memiliki kemampuan yang sama, maka harapannya dari
evaluasi diklat terhadap peserta a dan peserta b akan mengarah pada pencapaian
kinerja yang sama pada saat diklat berakhir atau setelah kembali ke tempat kerja
masing-masing.
Berbeda misalnya jika dari hasil evaluasi level 1 ternyata peserta a sangat
antusias dan senang sekali dengan materi dan program diklat yang diikutinya,
sementara sebaliknya peserta b, merasa sangat terpaksa sekali dan merasa sangat tidak
puas dengan program pelatihan yang diikutinya, demikian juga dari hasil evaluasi
level 2, ternyata peserta a mendapatkan kemajuan yang luar biasa berkaitan dengan
kompetensi yang disampaikan dalam program diklat, sementara peserta b, bahkan
tidak mendapatkan apa-apa dari pelaksanaan program pelatihan ini, maka sudah dapat
diperkirakan bahwa unjuk kinerja dari peserta a dan peserta b setelah selasai pelatihan
akan sangat berbeda. Gagal untuk mendapatkan data evaluasi level 1 dan level 2, akan
mengarahkan pada kesimpulan yang salah. Sebagai contoh jika sebagian peserta
adalah peserta tipe a, dan pada saat setelah diklat menunjukkan peningkatan kinerja,
maka kesimpulan evaluasi diklat akan mengarahkan bahwa pelatihan ini sangat
berguna dan perlu dipertahankan atau ditingkatkan. Sebaliknya jika sebagian peserta
yang dievaluasi adalah jenis peserta tipe b, dan setelah selesai pelatihan tidak
menunjukkan peningkatan kinerja sama sekali, maka kesimpulan dan evaluasi diklat
akan mengarahkan pada kesimpulan bahwa program pelatihan ini tidak berguna dan
hanya membuang-buang sumber daya saja dan akhirnya pada kesimpulan program
diklat ini sebaiknya ditutup atau dihentikan.
Dengan demikian sangat penting untuk mendapatkan data yang akurat dan
lengkap untuk dapat melakukan analisis secara tepat pula yang akan mengarahkan
pada pengambilan kesimpulan dan keputusan yang tepat pula. Perencanaan evaluasi
yang baik akan membantu menetapkan jenis data dan pembuktian yang harus
diperoleh dalam evaluasi diklat ini.Model ROI yang dikembangkan oleh Jack Phillips
merupakan level evaluasi terakhir untuk melihat cost-benefit setelah pelatihan
dilaksanakan. Kegunaan model ini agar pihak manajemen melihat pelatihan bukan
sesuatu yang mahal dan hanya merugikan pihak keuangan, akan tetapi pelatihan
merupakan suatu investasi, sehingga dapat dilihat dengan menggunakan hitungan yang
akurat keuntungan yang dapat diperoleh setelah melaksanakan pelatihan. Hal ini
tentunya dapat memberikan gambaran lebih luas, apabila ternyata dari hasil yang
diperoleh ditemukan bahwa pelatihan tersebut tidak memberikan keuntungan baik bagi
peserta maupun bagi lembaga. Model evaluasi ini merupakan tambahan dari model
evaluasi Kirkpatrick yaitu adanya level ROI (level 5), pada level ini ingin melihat
keberhasilan dari suatu program pelatihan dengan melihat dari Cost–Benefit-nya,
sehingga memerlukan data yang tidak sedikit dan harus akurat untuk menunjang hasil
dari evaluasi pelatihan yang valid.
Tahap ROI paling sulit dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi nilai balik
modal dari pelaksanaan pelatihan.Dibutuhkan waktu, biaya dan analisis data yang
akurat untuk keberhasilan evaluasi ini. Salah satu cara adalah mengisolasi pengaruh
pelatihan, ada tiga strategi yang dengan mudah diperhitungkan yaitu :
• Perbandingan antara kelompok peserta dan kelompok bukan peserta. Kinerja antara
kelompok peserta pelatihan dapat diperbandingkan dengan kelompok lain yang setara
dan belum mendapatkan pelatihan. Contohnya, cara menjawab telepon yang masuk
dari kelompok resepsionis peserta pelatihan Sopan Santun Bertelepon dibandingkan
dengan kelompok yang belum mendapatkan pelatihan. Secara kualitatif, cara
menjawab yang lebih baik dapat disimpulkan disebabkan oleh pelatihan tersebut.
• Perbandingan antara sebelum dan sesudah pelatihan. Kinerja antara sebelum dan
sesudah pelatihan dari kelompok yang sama diperbandingkan. Contohnya, penjualan
retail sebelum pelatihan direct selling dibandingkan dengan penjualan setelah
pelatihan. Tentu saja analisis yang dilakukan juga perlu memperhatikan tren kenaikan
atau penurunan tanpa adanya pelatihan.
• Estimasi peserta terhadap presentase pengaruh pelatihan. Inilah perhitungan yang
paling mudah dilakukan. Peserta pelatihan diminta untuk mengungkapkan berapa
persentase pengaruh pelatihan terhadap perbaikan kinerjanya. Contohnya, peserta
pelatihan Interconnecting Network Device melaporkan bahwa 70% keberhasilan
mengerjakan proyek Wireless Connection disebabkan oleh aplikasi pelatihan. Sisanya,
30% lainnya oleh faktor-faktor lain, seperti proses belajar sendiri, umpan balik atasan,
dll.13
c. Analisis dan Evaluasi Data
Setelah direncanakan dengan baik dan data diperoleh secara lengkap dan
akurat, proses berikutnya adalah melakukan analisis dan evaluasi data. Perencanaan
diklat yang baik akan membantu menetapkan jenis data yang diperoleh, sehingga
analisis dan evaluasi data akan semakin mudah. Dalam analisis dan evaluasi data ini
perlu dipertimbangkan data-data yang relevan dan tidak relevan dalam proses analisis,
termasuk mempertimbangkan dampak dari program diklat. Dalam banyak kasus
evaluasi diklat, evaluator gagal untuk mengisolasi dampak diklat, contohnya misalnya
pengukuran kinerja paskadiklat, yang mana kinerja yang merupakan hasil dari diklat
dan yang mana kinerja yang bukan merupakan hasil diklat. Untuk mengisolasi dampak
diklat umumnya dipergunakan “Control Group”. Pada saat melakukan evaluasi diklat,
tidak hanya melakukan analisis dan evaluasi terhadap perserta yang mengikuti diklat,
akan tetapi analisis dan evaluasi juga melakukan terhadap pihak-pihakyang tidak
mengikuti diklat, yang kita gunakan sebagai “Control Group”.
Analisis pada evaluasi diklat selanjutnya membandingkan data dan hasil
analisis antara group yang mengikuti program diklat dan group yang tidak mengikuti
program diklat, sehingga dapat diperoleh data yang merupakan dampak dari program
diklat serta mengisolasi data dampak yang bukan merupakan hasil dari program diklat.
Jika “control group” tidak memungkinkan, pengganti “control group” dapat
menggunakan dua periode waktu yang berbeda, yaitu data sebelum mengikuti diklat
dan setelah mengikuti diklat. Demikian juga jika data kinerja sebelum mengikuti diklat
tidak tersedia, maka evaluator dapat menggunakan dua periode waktu yang berbeda,
misalnya periode segera setelah mengikuti diklat dan periode tertentu, misalnya 2(dua)
bulan atau 3(tiga) bulan setelah mengikuti diklat. Praktik yang umum lainnya adalah
melakukan beberapa kali evaluasi dengan tenggang waktu yang berbeda, untuk
mendapatkan hasil dan dampak dari pelaksanaan program diklat.14
d. Pelaporan Hasil Evaluasi Diklat
Secara umum pelaporan evaluasi diklat adalah melaporkan seluruh kegiatan
yang dilakukan selama proses evaluasi, mulai dari perencanaan sampai pada
kesimpulan dan tindak lanjutFormat laporan dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok
besar yaitu data program pelatihan yang dievaluasi, data serta bukti-bukti yang
diperoleh selama pelaksanaan evaluasi dan kesimpulan serta tindak lanjut dari hasil
evaluasi diklat ini.Secara sederhana format laporan evaluasi diklat dapat disajikan
sebagai berikut:
Bagian I –Data Umum Program Diklat
a. Nama Program Diklat
b. Tujuan Program Diklat
c. Karakteristik dari program Diklat
d. Peserta Diklat
e. Pihak-pihak yang terkait dengan program diklat
f. Hal lain yang relevan dengan program diklat

Bagian II –Evaluasi Hasil Diklat


a. Tujuan evaluasi dan Hasil yang diharapkan
b. Rancangan evaluasi diklat
c. Data dan bukti yang diperoleh selama evaluasi diklat
d. Analisis terhadap data dan bukti
e. Tanggapan dan diskusi hasil evaluasi

Bagian III –Simpulan dan tindak lanjut


a. Simpulan dan rekomendasinya
b. Tindak Lanjut
BAB VI

PERUBAHAN PARADIGMA YANG TERJADI DALAM PELATIHAN

Beberapa tokoh pemikir aliran behavioristik yang dipandang melandasi teori PAIKEM
adalah Ivan Petrovich Pavlov, Edward Lee Throndike dan Burhus Frederic Skinner

1. Ivan Petrovich Pavlov Ivan Pavlov, ahli fisika berkebangsaan Rusia, pada akhir 1800-an dan
awal 1900-an memelopori munculnya proses kondisining responden (respondent conditioning)
dalam pembelajaran. Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap seekor anjing. Pada saat seekor
anjing diberi makanan dan lampu, keluarlah respon anjing itu berupa keluarnya air liur. Demikian
juga jika dalam pemberian makanan tersebut disertai dengan bel, air liur anjing juga keluar.
Setelah berkali- kali dilakukan hal serupa, maka pada saat hanya bel atau lampu yang diberikan,
anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makan yang diberikan oleh Pavlov disebut perangsang
tak bersyarat (unconditional stimulus), sementara bel atau lampu yang menyertainya disebut
sebagai perangsang bersyarat (conditional stimulus). Terhadap perangsang tak bersyarat yang
disertai dengan perangsang bersyarat tersebut, anjing memberikan respon berupa keluarnya air
liur (unconditional respons). Selanjutnya ketika perangsang bersyarat (bel/lampu) diberikan tanpa
perangsang tak bersyarat (makanan) ternyata dapat menimbulkan respon yang sama, yaitu
keluarnya air liur (conditional response). Karena itu teori Pavlov dikenal dengan response
conditioning atau teori clasical conditioning. Dari hasil eksperimen dengan menggunakn anjing
tersebut. Pavlov akhirnya menemukan beberapa hukum pengkondisisan, yaitu; pemerolehan
(acquisition), pemadaman (extinction), generalisasi (generalization), diskriminasi
(descrimination) dan kondisioning tandingan (counter conditioning) (Davidof, 1981). Pertama,
pemerolehan adalah membuat pasangan stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat berulang-
ulang hingga muncul respons bersyarat, atau yang disebut acquisition training (latihan untuk
memperoleh sesuatu). Para peneliti sering membuat stimulus netral bersamaan dengan stimulus
bersyarat atau berbeda beberapa detik selisih waktu pemberiannya dan segera menghentikan
secara serempak. Prosedur ini biasanya disebut dengan pengkondisian secara serempak
(stimultaneus conditioning). Prosedur ini akan lebih sederhana dan efektif dalam melatih orang
atau hewan. Memasangkan stimulus netral dan stimulus tak bersyarat selama latihan untuk
memperoleh sesuatu akan berfungsi sebagai penguat atau reinforcement bagi respon bersyarat.
Kedua, Pemadaman (extinction). Setelah respons itu terbentuk, maka respon itu akan tetap ada
selama masih diberikan ransangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan ransangan tak bersyarat.
Kalau rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respon bersyarat menurun dari
pemunculannya dan akan semakin sering tak terlihat seperti penelitian sebelumnya. Pereistiwa
itulah yang disebut dengan pemadaman (exticdtion). Beberapa respon bersyarat akan hilang
secara perlahan- lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya. Ketiga, generalisasi dan
diskriminasi. Ternyata respon bersyarat ini juga dapat dikenakan pada kejadian lain, namun
situasinya yang mirip. Inilah yang dikenal dengan generalisasi stimulus atau generalisasi.
Misalnya, pemuda yang mencintai seorang gadis, dan ia merasa bahagia jika bertemu dengan
gadis tersebut. Pada saat ia mengetahui bahwa gadis yang dicintainya menyukai warna pink, maka
ia akan merasa bahagia ketika menjumpai benda- benda apa saja yang berwarna pink. Bila suatu
makhluk mengadakan generalisasi (menyamaratakan), maka ia juga akan dapat melakukan
diskriminasi atau perbedaan. Diskriminasi yang dikondisikan ditimbulkan melalui penguatan dan
pemadaman yang selektif. Keempat, kondisioning tandingan (counter conditioning).
Kondisioning ini merupakan salah satu bentuk khusus dari kondisioning responden. Pada
kondisioning jenis ini, respon bersyarat yang khusus akan digantikan dengan respon bersyarat lain
yang baru dan bertentangan, tidak saling cocok (incompatible) dengan respons bersyarat yang
sebelumnya. Misalnya, respons bersyarat berupa perasaan tidak suka digantikan dengan perasaan
suka, takut dengan berani, benci dengan cinta, dan lain sebagainya. Sehingga reaksi tersebut dapat
disebut

2. Edward Lee Throndike Eksperimen Pavlov telah memberikan inspirasi bagi para peneliti di
Amerika, salah satunya adalah E. L. Thorondike. Melalui eksperimennya dengan seekor kucing,
Throndike berkesimpulan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin
berupa pikiran, perasaan atau gerakan dan respons (yangjuga bisa berbentuk pikiran, perasaan
atau gerakan). Dari pengertian ini, wujud tingkah laku tersebut bisa saja dapat diamati ataupun
tidak dapat diamati. Teori belajar Throndike juga disebut sebagai aliran “connectionism”.
Menurut Throndike belajar dapt dilakukan bila seseorang tidak tahu bagaimana harus
memberikan respons atau sesuatu, kemungkinan akan ditemukan respons yang tepat berkaitan
dengan masalah yang dihadapinya. Throndike dalam eksperimennya, menemukan beberapa
tentang belajar, sebagai berikut :

a. Hukum kesiapan (Law of Readiness). Jika seseorang siap melakukan sesuatu, ketika
melakukannya maka ia puas. Sebaliknya bila ia tidak jadi melakukannya maka ia tidak puas.

b. Hukum Latihan (Law of Exercise). Jika respons terhadap stimulus diulangulang, maka akan
memperkuat hubungan antara respons dan stimulus. Sebaliknya jika respon tidak digunakan,
hubungan dengan stimulus semakin lemah.

c. Hukum Akibat (Law of effect). Jika hubungan antara respons dan stimulus menimbulkan
kepuasan, maka tingkatan penguatannya semakin besar. Sebaliknya bila hubungan respons dan
stimulus menimbulkan ketidakpuasan, maka tingkatan penguatannya semakin besar. Sebaliknya
bila hubungan respons dan stimulus menimbulkan ketidakpuasan, maka tingkatan penguatan
semakin lemah.

3. Burhus Frederic Skinner Skinner dilahirkan di Pennsylvania Amerika Serikat 20 Mei 1904.
Skinner mengembangkan teori conditioning dengan menggunakan tikus sebagai percobaan.
Menurutnya, suatu respon sesungguhnya juga menghasilkan sejumlah konsekuensi yang nantinya
akan mempengaruhi tingkah laku manusia. Kondisioning klasik Pavlov hanya menjelaskan
bagaimana perilaku yang ada dipasangkan dengan rangsangan atau stimuli yang baru, tetapi tidak
menjelaskan bagaimana perilaku operan baru dicapai. Pada dasarnya Skinner mendefenisikan
belajar sebagai proses perubahan tingkah laku (Gleder, 1986).

Perubahan perilaku yang dicapai sebagai hasil belajar tersebut melalui proses penguatan
perilaku baru yang muncul, yang biasanya disebut dengan kondisioning operan (operant
conditioning). Secara konseptual, menurut Skinner (Woolfolk), perilaku dapat dianalogkan
dengan sebuah sanwich, yang membawa dua pengaruh lingkungan terhadap perilaku. Pertama,
disebut anteseden (peristiwa yang mendahului perilaku). Hubungan ini dapat ditunjukkan secara
sederhana sebagai rangkaian antecedents behaviour- consequences, atau A-B-C.

Paradigma dan Prinsip yang Perlu Dijadikan Kesadaran Materi yang disampaikan kepada
guru-guru peserta pelatihan, antara lain berupa paradigma dan prinsip-prinsip pemberdayaan
proses pembelajaran, yang pada hakekatnya merupakan proses membangun tanggung jawab
untuk menjadi terbiasa mendidik dirinya sendiri secara aktif dan mandiri sepanjang hayat.
Paradigma dan prinnsip yang disampaikan kepada guru diupayakan menjadi landasan yang dapat
mewarnai tugas profesionalnya sebagai pendidik generasi penerus dan penentu masa depan
bangsa iniadalah bagaimana Bapak dan Ibu guru memaknai, memandang atau memposisikan
siswa-siswinya, apakah mereka

(1) dipandang seperti kertas putih yang akan dilukis oleh Bapak-Ibu, sama seperti botol kosong
yang akan diisiatau sebaliknya,

(2) memandang murid-murid laksana butiran emas dalam lumpur yang butuh perlakuan tertentu
dari Bapak-Ibu guru agar potensi yang laksana butiran emas tadi dapat berbentuk emas yang
bernilai. Bagaimanapun juga pilihan cara pandangoleh guru terhadap siswa siswinya sangat
mempengaruhi proses pembelajaran, terutama terhadap metode pembelajaran yang akan
digunakan guru. Pada umumnya cara pandang guru terhadap murid-muridnya yang selama ini
medominasi dan mewarnai proses pembelajaran adalah cara pandang yang pertama. Murid adalah
botol yang perlu diisi ilmu oleh guru, atau kertas putih yang tidak punya warna mental apa pun.
Gurulah yang memiliki kebebasan (tentu sesuai dengan kurikulum 1994) apakah kertas putih akan
diwarnai merah, kuning atau hijau. Perdekatan behavioristik-mekanistik mendominasi proses
pembelajaran. Akibatnya, pembelajarannya berpusat pada guru; belajar adalah menerima
pengetahuan, bersifat pasif-reseptif, linier-indoktrinatif; pengetahuan dipandang sebagai barang
jadi yang ada di luar manusia atau guru dan siswa. Gurulah yang bertugas mentransfernya ke
murid atau siswa-siswinya. Alangkah sayangnya jika pemahaman seperti tersebut benar-benar
masih ada dan adanyadominan. Hal ini karena manusia pada dasarnya bernaluri ingin bebas
berekspresi, bebas menjadi subyek pembelajaran. Bukan justru yang sebaliknya. Akan tetapi, jika
model pembelajaran yang bersifat pasif-reseptif dan linier-indoktrinatif terus menggejala dalam
kenyataan maka akan berpeluang terciptanya manusia yang kurang peka mutu, mudah mengambil
jalan pintas dan hipokrit. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila Paulo Freire (2004:176) dalam
bukunya “Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebabasan” memaparkan bahwa
“Pendidikan yang membebaskan merupakan proses di mana pendidik mengkondisikan siswa
untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis. Pendidikan yang
membelenggu bersifat preskriptif, sedangkan yang membebaskan bersifat dialogis. Pendidikan
yang membelenggu merupakan transfer pengetahuan, sedangkan yang membebaskan merupakan
upaya untuk memperoleh pengatahuan dan menjadi proses transformasi yang diuji dalam
kehidupan nyata”. Mengingat kondisi global yang semakin memperluas dan memperketat
persaingan, persyaratan kerja dan perubahan orientasi maka perubahan kompetensi lulusan
merupakan tuntutan yang tidak bisa dihindari. Globalisasi menuntut perubahan kompetensi
lulusan dan ujung-ujungnya juga perlu diikuti perubahan paradigma pengetahuan, belajar dan
mengajar, sekaligus perubahan kurikulumnya. Kurikulum 1994 yang cenderung berbasis isi
berubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan kemudian Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Dengan paradigma pembelajaran yang baru, yakni siswa laksana butiran
emas yang masih penuh lumpur maka prinsip yang perlu dijadikan kesadaran oleh para pendidik
atau guru adalah:

bebaskan anak-anak dari “penjajahan” sekolahan, termasuk oleh gurunya. Pendekatan


penggalian dan pengembangan potensi (butiran emas) oleh dirinya sendiri secara
konsisten, alamiah dan menyenangkan harus ditanamkan dan digalakkan Guru dan
manajemen sekolah hanya memberikan fasilitas yang memungkinkan terciptanya suasana
atauatmosfer pembelajaran. Atmosfer tersebutakan berfungsi seperti lahan subur yang di
atasnya dapat tumbuh subur benih-benih unggul yang penuh potensi;
jangan menumpulkan, tapi menajamkan. Berarti, biasakan dengan metode mengajar yang
bersifat mengasah, mengasuh dengan iklim atau atmorfer suasana yang sejuk, tenang,
nyaman, terbuka, kekeluargaan. Jadi, harus menggunakan pendekatan keibuan dan
kebapakan;
jangan mengempeskan, tapi mengembangkan potensinya sesuai dengan minat, bakat dan
kecenderung-kecenderungan tertentu yang tampak akan diminati dan disukai pembelajar
(kecerdasan ganda).
Apa saja yang perlu digali, diasah dan dikembangkan? Apakah setiap manusia
sama-sama memiliki potensi tahu, bisa dan suka apa saja, seperti halnya setiap manusia
bisa membaca, menulis, berhitung dan mancal sepeda, tanpa kecuali? Dengan kata lain,
pada dasarnya tidak ada manusia bodoh? Yang ada hanyalah manusia lemah, yakni setiap
manusia cenderung ingin yang baik dan bermutu, tanpa perlu proses lama dan berat?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sengaja disodorkan kepada guru peserta pelatihan dengan
harapan menjadikan bahan renungan dan kemudian menjadi prinsip-prinsip yang
mewarnai pelaksanaan proses pembelajaran di tempat kerjanya. Anak didik juga perlu
dididik menjadi dirinya sendiri yang original. Bukan yang palsu, yang tidak punya
otonomi diri karena terbiasa didekte dan didoktrin, bahkan lebih tepat digunakan istilah
dijajah, kemudian terbiasa memakai topeng. Jadi, budaya purak-purak, tidak jelas
bentuknya, tidak “kesatria”, manusia semu harus dihilangkan. Lembaga pendidikan punya
kewajiban untuk membentuk manusia original.
BAB VII
A. penyusunan INSTRUMEN TNA
Secara khusus tidak ada proses penyusunan instrumen TNA di awal, karena lebih
didasarkan pada kebijakan. Adapun instrumen untuk mengetahui kebutuhan dengan
menggunakan instrumen dampak pasca pelaksanaan pelatihan dikembangkan berdasarkan
materi yang diberikan dengan fokus pada materi utama yang akan dianalisis serta meminta
masukan untuk program selanjutnya
Tes
Tes dapat berupa serangkaian pertanyaan, latihan, lembar kerja dan lain
sebagainya yang memiliki tujuan sebagai alat ukur keterampilan, intelegensi, kemampuan
hingga bakat yang dimiliki oleh suatu individu atau kelompok yang menjadi subjek
penelitianTes tersebut nantinya dapat berupa soal-soal terstandarisasi yang mengharuskan
subjek penelitian untuk menjawabnya guna memperoleh hasil tertentu.Contohnya seperti
tes kepribadian, tes minat bakat, tes potensi akademik, tes pencapaian, dan lain
sebagainya.
2. Angket atau Kuesioner
Kuesioner atau angket merupakan alat pengumpul data melalui sejumlah
pertanyaan tertulis digunakan untuk memperoleh informasi dari individu atau kelompok
tertentu.Orang yang kalian tuju untuk mendapat informasi tersebut dikenal sebagai
responden.
Responden diharuskan mengisi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam
angket atau kuesioner yang nantinya akan digunakan sebagai laporan tentang pribadinya
atau hal-hal yang ia ketahui.Terdapat beberapa alasan mengapa angket atau kuesioner
digunakan dalam pengumpulan data penelitian yaitu:
Pondok Djawara Deepublish
(1) kuesioner digunakan untuk mengukur variabel yang bersifat faktual
(2) kuesioner digunakan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan
penelitian
(3) kuesioner memungkinkan peneliti untuk memperoleh informasi dengan
validitas dan reliabilitas yang tinggi.
3. Wawancara
Wawancara atau interview merupakan kegiatan tanya-jawab antara dua orang
untuk mendapatkan informasi atau ide mengenai topik tertentu. Wawancara digunakan
oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang yang biasanya tidak terjawab apabila hanya
melalui angket atau kuesioner.Wawancara memungkinkan informasi yang didapat lebih
mendalam (in-depth interview).

Pada jenis instrumen pengumpulan data ini kalian harus menyusun lebih dulu
interview guide atau panduan wawancara yang akan memudahkan kalian agar nantinya
wawancara tidak melebar dan mendapatkan informasi-informasi yang relevan dengan
penelitian.
4. Observasi
Dalam istilah penelitian observasi diartikan sebagai kegiatan pengamatan secara
langsung menggunakan seluruh panca indera.Observasi dapat dilakukan melalui tes,
kuesioner, ragam gambar hingga rekam suara. Dalam melakukan observasi terdapat
pedoman atau panduan yang biasa disebut lembar observasi yang berisi daftar jenis
kegiatan pengamatan.
5. Skala Bertingkat
Disebut juga rating merupakan suatu ukuran objektif yang dibuat berskala atau
bertingkat. Instrumen ini memudahkan peneliti untuk memberikan gambaran penampilan
yang kemudian dapat menunjukkan frekuensi munculnya sifat-sifat tertentu.Instrumen ini
juga berguna untuk memperoleh gambaran kuantitatif aspek tertentu dari suatu barang
dalam bentuk skala yang sifatnya ordinal seperti sangat baik, baik, sedang, tidak baik dan
sangat tidak baik.
6. Dokumentasi Intrumen Penelitian
Dokumentasi merujuk pada barang-barang tertulis.Instrumen ini memungkinkan
peneliti memperoleh data melalui penelitian terhadap benda-benda tertulis, seperti buku,
majalah, catatan harian, artefak, video dan lain sebagainya.Instrumen ini dikembangkan
dalam penelitian dengan pendekatan analisis isi. Oleh karenanya biasanya digunakan
dalam penelitian seperti bukti-bukti sejarah, landasan hukum suatu peraturan, dan lain
sebagainya
7. Forum Group Discussion (FGD)
FGD bisa disebut juga dengan diskusi kelompok terarah.
Instrumen ini mengacu pada suatu proses di mana peneliti dapat melakukan
pengumpulan data melalui beberapa kelompok di waktu yang bersamaan.Keuntungan
penggunaan metode ini adalah tingginya tingkat kredibilitas dan orisinalitas pada kegiatan
penelitian.Meskipun begitu terdapat beberapa tantangan seperti terlalu memakan biaya,
waktu serta tenaga.
8. Eksperimen
Instrumen pengumpulan data dengan eksperimen sering digunakan dalam
penelitian sains murni dan terapan.
Dengan instrumen ini peneliti melakukan beberapa percobaan dalam laboratorium
dan melakukan uji coba terhadap beberapa reaksi yang terjadi pada objek
penelitian.Tahapan dan Cara Menyusun Instrumen Penelitia.Terdapat beberapa tahapan
yang harus kalian ketahui. Tahapan ini memudahkan kalian dalam menentukan instrumen
yang harus kalian pilih dalam penelitian kalian.bersumber dari uny.ac.id, Tahapan tersebut
di antaranya adalah:
Identifikasi variabel-variabel yang diteliti
Jabarkan variabel ke dalam beberapa dimensi
Cari indikator dari setiap dimensi variabel
Deskripsikan kisi-kisi instrumen yang akan digunakan
Rumuskan item-item pertanyaan
Siapkan petunjuk pengisian instrumen
B. TeknikPENYUSUNAN TNA
Dalam menyusun TNA, terdapat beberapa pendekatan analisis yang harus
diperhatikan. Sebagaimana yang disadur dari laman hr-guide, pendekatan tersebut dibagi
menjadi:
Analisis Organisasi
Analisis Individu
Analisis Kompetensi Kerja
Analisis Performa
Analisis Konten
Analisis Kesesuaian Pelatihan
Analisis Biaya-Manfaat.
Dari analisis-analisis tersebut itulah yang dijadikan panduan dalam membuat
Training Need Analysis sebagaimana tahapan berikut ini.
1. Menentukan Hasil yang Diharapkan
Seperti yang sudah disinggung di awal, pelatihan dibuat sesuai dengan kebutuhan
masing-masing perusahaan atau organisasi. Ini artinya dalam membuat TNA juga harus
ditentukan keberhasilan seperti apa yang diinginkan. Untuk menentukan hasil yang
diharapkan ini bisa disesuaikan dengan masalah apa yang hendak diselesaikan dan hal apa
yang ingin diperbaiki. Hal lain yang juga bisa dipertimbangkan adalah perilaku atau
kepribadian seperti apa yang diharapkan dimiliki karyawan untuk mencapai misi
perusahaan.Dalam menentukan hasil yang diharapkan ini juga berkaitan dengan
pendekatan berbasis analisis organisasi. Hal ini karena melalui analisis organisasi dapat
diketahui bahwa organisasi memiliki respon akan dinamika bisnis. Perusahaan memiliki
peluang perubahan rencana strategis yang harus diantisipasi termasuk melalui pelatihan.
2. Melibatkan Karyawan
Agar proses TNA benar-benar tepat sasaran, perusahaan harus terbuka pada
karyawannya untuk menyampaikan tujuan apa yang diharapkan dari pelatihan yang akan
dilakukan. Hal ini penting agar setiap karyawan memahami proses pelatihan yang meraka
jalani serta keuntungan apa yang akan mereka dapat. Dengan demikian, keterlibatan
karyawan ini akan membuat mereka lebih menghargai akan setiap pelatihan yang
diberikan perusahaan.
3. Mengidentifikasi Kompetensi yang Dibutuhkan
Melibatkan karyawan dalam proses TNA juga berguna untuk mengidentifikasi
kompetensi apa yang sudah dimiliki karyawan dan apa yang dibutuhkan untuk
meningkatkan kompetensi tersebut. Gap atau kesenjangan yang didapatkan inilah yang
menjadi rujukan atau dasar dalam memutuskan kebutuhan pelatihan yang harus disiapkan
sehingga hasilnya juga maksimal.Hal ini juga berkaitan dengan pendekatan analisis
kompetensi kerja. Identifikasi kebutuhan kompetensi selayaknya didasarkan pada masing-
masing jabatan karena setiap posisi membutuhkan kompetensinya sendiri. Identifikasi ini
bisa dilakukan dengan beberapa metode seperti observasi, wawancara dengan pemegang
jabatan, dan wawancara dengan ahli.
4. Menentukan Metode Terbaik
Setelah mengetahui apa yang diharapkan dari pelatihan dan mengetahui
kompetensi apa yang dibutuhkan karyawan, artinya perusahaan bisa menentukan metode
apa yang terbaik untuk digunakan. Ada beberapa macam metode pelatihan yang dikenal
yaitu on the job training, mentoring dan coaching, ceramah, buku dan e-book, serta e-
learning.Dalam menentukan metode pelatihan terbaik juga dibutuhkan modul. Modul ini
bisa dibuat oleh perusahaan sendiri (building) atau membeli modul pelatihan dari pihak
lain. Alternatif terbaik adalah dengan menggabungkan keduanya dimana modul pelatihan
bisa disusun oleh pihak ketiga (konsultan) dan juga melibatkan unsur karyawan dari
perusahaan.
5. Memperhatikan Biaya, Waktu, dan Tenaga yang Dibutuhkan
Pelatihan yang melibatkan karyawan tentunya membutuhkan biaya, waktu, serta
tenaga lebih. Hal ini juga harus diperhatikan agar pelatihan tidak mengganggu terlalu
banyak akan proses produksi di perusahaan. Bagaimanapun, pelatihan membuat waktu
kerja menjadi tidak aktif, biaya yang tidak sedikit, kebutuhan panitia, dan persiapan
lainnya yang harus diperhitungkan.Kelima hal diatas menjadi panduan penting dalam
membuat Training Need Analysis agar pelatihan menjadi sebuah program yang
berdampak positif, bukan menjadi program yang pragmatis. Untuk itulah, TNA
selayaknya dipandang sebagai aktifitas yang kritis dan terukur agar memberikan
rekomendasi yang baik pula bagi pelaksanaan pelatihan karyawan
sumber baca:
linovrh. com
C. PROSES TNA
enam tahapan pokok dalam TNA yang dapat dilihat pada gambar berikut ini :
a. Dokumentasi Masalah
Tahapan pertama dalam poses TNA ini manajer berupaya menemukan
sebanyak mungkinpersoalan dan mendokumentasikannya sehingga akhienya dapat dibuat
a considered decision tentang berbagai isu dan bagaimana hal itu dapat mengarahkan
pada suatu tindakan analisis.Salah satu cara terbaik untuk melakukan tahap pertama ini
adalah melalui wawancara dengan beberapa staff atau pihak tertentu yang
diperkirakan terlibat dengan munculnya sejumlah isu Yang dipermasalahkan. Informasi
yang dapat diperoleh dari tahapan pertama antara lain :
1) Deskripsi lengkap persoalan
2) Sejarah singkat munculnya persoalan
3) Kapan dan bagaimana persoalan terjadi
4) Dampak persoalan terhadap pekerja dan unit organisasinya
5) Tindakan yang siap dilakukan
6) Mengapa manajer/staf memandang fenomena tersebut sebagai suatu
persoalan
b. Investigasi Masalah
Setelah memperoleh rumusan yang jelas tentang isu persoalan yang muncul,
kini saatnyamanajer menginvestigasi segala kemungkinan-kemingkinan yang menjadi
penyebab serta duduk persoalan apa yang sebenarnya. Investigasi tidak dilakukan
secara indepth namun dianggap sudah cukup memadai njika memungkinkan manajer
membuat verifikasi bahwa telah terjadi persoalan yang serius dan kemudian
memutuskan apakah pelatihan diperlukan atau tidak untukmengatasinya.
c. Merencanakan Kebutuhan Analisis
Langkah selanjutnya adalah manajer mulai merencanakan membuat kerangka
analisis. Dalam halini manajer mengidentifikasi pelaksanaan analisis itu sendiri
berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu : urgensi persoalan, kapasitas manajer dalam
konteks penyelesaian masalah, akses terhadapbeberapa pihak yang dapat diajak
konsultasi, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan saranapendukungnya untuk
membuat analisis. Tovey memberikan sebuah uotline yang mungkin dapat
digunakan untuk melakukan analisis, yaitu :
1) Identifikasi apa yang ingin dicapai
2) Identifikasi tugas utama analisis
3) Membagi tugas-tugas utama ke dalam sub-tugas
4) Identifikasi mengenai ketersediaan sumber daya manusia (SDM)
5) Identifikasi SDM mana yang dapat melaksanakan tugas
6) Mengulas kembali jadwal dan timeframe yang telah disusun
7) Penjadwalan SDM melaksanakan tugas di dalam timeframe yang telah
dibuat
8) Mengulas kembali rencana untuk meyakinkan bahwa semua tindakan
akan mengkover seluruh tujuan
9) Perbaikan kembali beberapa rencana sebelum melakukan analisis
Training Needs Analysis (Irianto, 2007), yang meliputi :
a) Analisis organisasional
Analisis ini berhubungan dengan kebutuhan organisasi secara keseluruhan
diikuti dengan
identifikasi bagaimana pelatihan dapat dieksploitasi sedemikian rupa untuk
mencapai tujuan
organisasi. Analisis ini berupaya memahami apayang sesungguhnya dibutuhkan
oleh organisasi.
b) Analisis jabatan
Analisis jabatan ini dapat dikaitkan dengan kebutuhan terhadap pekerjaan
tertentu dalam
organisasi dan dapat digunakan sebagai informasi tentang substansi utama
pekerjaan tersebut
untuk selanjutnya dikembangkan standar kinerja. disamping itu juga
dimungkinkan untuk
mengidentifikasi tingkat SKA yang dibutuhkan untuk mencapai standar yang telah
ditetapkan.

c) Analisis personal
Pada tingkat analisis ini manajer dapat mengkaitkan dengan kebutuhan
individual dalam
organisasi dan sejauh mana kinerja yang telah dicapainya.
d. Pemilihan Teknik Analisis
Pemilihan teknis analisis ini harus dilakukan dengan secermat mungkin untuk
memastikan pula
bahwa data yang diperoleh adalah sesuai dengan teknis analisisnya. Terdapat
berbagai macam
teknik analisis misalnya survey of organizational data, surveys and
questionnaires,
observations, performance analysis, task analysis, employee apparsial, work
sample, dan sebaginya.
e. Melakukan Analisis
Tahapan ini manajer harus menginformasikan kepada semua pihak yang
terlibat tentang jadwal
pelaksanaan analisis sekaligus memperoleh ijin dari pihak yang berkompeten.
Pada tahap ini
manajer memperoleh kesempatan untuk mengembangkan segala kemungkinan
aas bentuk
format analisis sebagi laporan kepada senior manajer.
f. Analisis Data
Analisis data harus sesuai dengan metode pelaporan yang lazim digunakan
secara umum karena
akan dibaca oleh pihak lain.
g. Pelaporan Temuan
Tahapan terakhir, manajer membuat laporan tentang temuan sekaligus
rekomendasi pemecahan
persoalan.
D.KEGUNAAN HASIL TNA
Hasil TNA akan memberikan gambaran berupa :
Kondisi atau isu yang sedang terjadi di dalam perusahaan
Program yang akan dijalankan untuk menangani poin kondisi / isu tersebut (pada
poin 1)
Biaya dan sumber daya lain, termasuk support, yang dibutuhkan untuk
menjalankan program tersebut (pada poin 2)
Fungsi Diadakannya TNA
Berdasarkan pengertian yang telah dijabarkan di atas, training need analysis tentu
memiliki fungsi bagi perusahaan. Berikut ini fungsi TNA secara spesifik.
1.Mengetahui Informasi Karyawan
Melalui TNA, perusahaan bisa mendapatkan informasi pengetahuan karyawan
mengenai perusahaan, produk, maupun konsumen. Selain itu perusahaan juga akan
mengetahui kompetensi karyawan lebih jauh.Dari informasi tersebut, perusahaan menjadi
lebih paham akan karyawannya dan apa yang mereka pikirkan.
2. Mengetahui Informasi Pekerjaan
Setiap pekerjaan pasti memiliki job description yang berbeda. Hal tersebut harus
dipahami oleh pimpinan di setiap tim. Dengan adanya TNA, maka informasi pekerjaan
dari yang dasar hingga terbaru akan lebih mudah untuk diketahui.
3. Memudahkan untuk Melibatkan Stakeholders
Analisis untuk program pelatihan yang dibutuhkan akan mendorong perusahaan
mencari dukungan. Dukungan tersebut bisa berupa stakeholder internal maupun eksternal.
4. Melakukan Perencanaan dengan Mudah
Setiap perusahaan memerlukan perencanaan yang matang. Untuk membuat
rencana yang sesuai keadaan, diperlukan data yang valid mengenai karyawan, produksi,
atau perusahaan.Analisis dari TNA membantu perusahaan menentukan perencanaan yang
tepat. Tentu perencanaan yang dibuat masih berkesinambungan dengan hasil program
pelatihan.
Tanpa training need analysis, sebuah perusahaan hanya akan menebak-nebak atau
bahkan berjalan tanpa pegangan. Sebab, tidak ada data valid yang mendasari kegiatan
pengembangannya. jika sudah begitu, perusahaan pun tidak berumur panjang.
JENIS PROGRAM YANG BISA DIJALANKAN DARI HASIL TNA
Training
Rotasi
Mutasi
Coaching
Reward & Punishment
Program remunerasi
Dll.
Kuesioner/ Angket dan Survey
Angket dan survey merupakan salah satu alat dalam TNA. Memberikan kuesioner
(angket) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan
seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.
Dibandingkan dengan wawancara, angket atau kuesioner tertulis lebih efisien dan praktis,
serta memungkinkan digunakannya sampel yang lebih besar.
Kuesioner/Angket merupakan pertanyaan-pertanyaan tertulis yang diberikan oleh
peneliti kepada subjek penelitian. Lembar pertanyaan untuk wawancara juga dapat
digunakan untuk membuat angket. Kalau pada wawancara, subjek penelitian menjawab
pertanyaan secara lisan sedangkan pada angket subjek langsun menuliskan jawabannya
pada kertas yang telah disediakan. Kebanyakan angket sudah diberikan pilihan jawaban,
jadi subjek tinggal menandai pilihan jawaban yang diinginkannya.
Angket ada dua jenis:
Angket berstruktur, berisi pertanyaan-pertanyaan yang disertai dengan pilihan
jawaban. Pelaksanaan dan pemberian skor bersifat langsung dan hasilnya pun langsung
mengarah kepada analisis. Kekurangan angket jenis ini, yakni memaksa subjek untuk
memilih salah satu jawaban padahal mungkin saja subjek tidak merasa ada jawapan yang
tepat.
Angket tak-berstruktur, tidak menyertakan jawaban yang diharapkan. Kelebihan
angket jenis ini yakni memberi responden kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan
sikap mereka. Kelemahannya bahwa informasi yang dihasilkan sulit untuk diproses dan
dianalisis.

Keuntungan dari melakukan survey dan membagikan angket:


1. Biaya lebih murah. Trainer dapat mengumpulkan informasi dari banyak
orang tanpa harus menemui atau menghubungi mereka secara langsung.
2. Data yang didapatkan lebih riil dan jujur. Subjek penelitian dapat dengan
bebas menyampaikan pendapat.
3. Responden memiliki waktu yang lebih banyak untuk mempertimbangkan
jawaban yang paling tepat.
4. Data yang didapatkan dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
5. Lebih mudah untuk dihitung dan dianalisa.
Langkah-langkah penyusunan angket yang efektif
1. Tentukan data yang dibutuhkan dan siapa yang akan dijadikan subjek
· Pahami tujuan dari penyebaran angket. Sangat penting untuk mengetahui
mengetahui apa tujuan dari pembuatan angket. Dibawah ini adalah beberapa hal yang
harus kita ketahui dalam menyusun angket
1. Temukan apa yang menjadi OPTIMAL
2. Temukan apa yang menjadi AKTUAL
3. Temukan apa yang menjadi AKIBAT
4. Temukan apa yang menjadi PENYEBAB
5. Temukan apa yang menjadi SOLUSI
· Tentukan sampel
Sangat penting untuk dapat menentukan siapa yang akan menerima angket yang
telah kita buat. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan sumber yang
baik. Pertama, kita harus mengetahui populasi dari apa yang akan kita teliti. Contohnya,
populasi dari guru-guru yang suka merokok, populasi karyawan pabrik mie instan. Akan
sangat menghabiskan banyak waktu dan biaya jika kita memberikan angket kepada
seluruh populasi. Akan sangat mudah jika kita mengambil sampel dari populasi tersebutt
· Yakinkan angket tersebut mendapatkan respon dari responden
Beberapa cara yang dapat dilakukan agar angket yang akan kita buat, direspon oleh
responden:
1. Buatlah instrument yang berhubungan dengan topic yang menarik untuk
responden
2. Tuliskan tujuan dari pengisian angket tersebut dengan jelas.
3. Buatlah angket yang menarik dan tidak membosankan
4. Buatlah angket yang mudah untuk dipahami
5. Yakinkan responden agar mengembalikan angket yang telah diisinya tadi
2. Susun butir-butir pertanyaan/pernyataan secara efektif
· Isi dari pernyataan/pertanyaan
Tipe 1 : Apa yang dibutuhkan
Tipe 2 : Tanyakan hal-hal yang lebih rinci
Tipe 3 : Sediakan bukti-bukti
Tipe 4 : Tanyakan tentang akibat dan motivasi
Tipe 5 : Tanyakan tentang penyebab dari masalah
Tipe 6 : Tanyakan mengenai responden
Contoh :
Ketika sedang membuat pizza dengan oven baru, manakah yang menjadi kendala
dalam membuatnya?
a. Mensetting pengatur panas
b. Menyiapkan panggangannya
c. Membuat garnish
· Format dari pertanyaan
Format pertanyaan dalam angket ada 2, yaitu format yang sudah diberi pilihan dan
format yang belum diberi pilihan. Pada format yang diberi pilihan, terdapat 3 jenis skala.
Yaitu skala nominal, ordinal dan interval.
Contoh angket yang diberi pilihan
Fasilitas perpustakaan di UNIMED sudah baik.
a. Sangat setuju d. tidak setuju
b. Setuju e. sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
Contoh angket yang tidak diberi pilihan
Menurut anda, apakah yang menjadi penyebab menurunnya tingkat kehadiran
mahasiswa Pascasarjana?
· Pemilihan kata untuk pertanyaan
Pilihlah kata-kata yang sudah sering didengar oleh para responden. Sebagai
contoh, jika angket akan diberikan kepada karyawan pabrik, janganlah menggunakan kata-
kata yang terlalu ilmiah.
3. Tuliskan petunjuk dengan benar
Petunjuk dalam sebuah angket sangatlah penting untuk membantu responden
dalam menjawab angket yang telah dibuat.
4. Buat cover yang menarik
Cover adalah hal pertama yang dilihat dari sebuah angket. Maka dari itulah dalam
membuat angket, cover yang baik haruslah diperhatikan
5. Terapkan system checklist
Sebelum disebarkan, angket haruslah terlebih dahulu ditelaah dengan system
checklist
6. Validasi angket sebelum disebarkan
Validasi terlebih dahulu angket sebelum disebarkan kepada responden
BAB VIII
SYARAT DALAM PENYELENGGARAAN DIKLAT PADA SETIAP LEMBAGA
ATAU INSTANSI
A. Latar Belakang
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, mengatakan
bahwa dari 4,7 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebanyak 95% PNS tidak kompeten,
dan hanya 5% memiliki kompetensi dalam pekerjaannya (Harian Umum Pikiran
Rakyat, Kamis 1 Maret 2012).
Pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini
mungkin mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan, baik kalangan
PNS itu sendiri maupun yang bekerja di sektor swasta. Mungkin ada yang kaget
seolah-olah tidak percaya apakah betul PNS ini tidak kompeten, ada juga yang biasa-
biasa saja tidak memberikan komentar, dan mungkin ada yang berpendapat, kalau
tidak memiliki kompetensi bagaimana bisa melaksanakan pelayanan kepada publik
atau masyarakat, dan mungkin ada komentar yang radikal, apabila tidak memiliki
kompetensi lebih baik PNS ini mengundurkan diri saja.
Pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bagi
kalangan PNS merupakan salah satu bahan intropeksi diri untuk memperbaiki dan
meningkatkan kompetensi, karena PNS adalah berkedudukan sebagai unsur aparatur
negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintahan, dan pembangunan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Jo Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, dijelaskan bahwa Pegawai Negeri
adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.Selanjutnya dijelaskan bahwa Pegawai Negeri
terdiri dari : Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) terdiri dari: Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai
Negeri Sipil Daerah.
Dapat dibayangkan kalau seandainya PNS ini tidak memiliki kompetensi, akan
berakibat atau berpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat, misanya
pelayanan menjadi lambat, bekerja asal-asalan, tidak maksimal, tidak efisien dan
hasilnya tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang telah
ditentukan.
Sebenarnya sudah berbagai program dan kegiatan yang telahdiupayakan oleh
Pemerintah untuk meningkatkan kompetensi PNS, seperti melakukan reformasi
birokrasi, berbagai Diklat dalam jabatan, berbagai Diklat fungsional, berbagai Diklat
teknis, workshop, seminar dan kegiatan ilmiah lainnya, tapi mengapa PNS masih
diindikasikan tidak memiliki kompetensi?.
Mungkin sudah banyak tulisan yang membahas masalah kompetensi PNS, tetapi apa
salahnya tulisan di bawah ini akan membahas apa, mengapa dan bagaimana kaitannya
dengan kompetensi PNS ini, mudah-mudahan bermanpaat.
B. Apa itu Kompetensi ?
Kata “kompetensi” memiliki pengertian menyoroti aspek dan penekanan yang relatif
berbeda. Kompetensi memiliki pengertian yang sama dengan capability (kemampuan).
Seseorang yang kompeten adalah yang memiliki kemampuan, pengetahuan dan
keahlian untuk melakukan sesuatu secara efisien dan efektif.
Mengingat banyaknya pengertian kompetensi yang dikemukakan dalam kamus dan
juga oleh para ahli, berikut ini diuraikan beberapa pengertian kompetensi :
Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, pengertian kompetensi adalah kewenangan
(kekuasaan) untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal;
Menurut Burgoyne (1998), kompetensi adalah kemampuan dan kemauan untuk
melakukan tugas;
Menurut Woodruffe (1990), kompetensi ialah dimensi perilaku yang mempengaruhi
kinerja;
Menurut Furnham (1990), kompetensi adalah kemampuan dasar dan kualitas kinerja
yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik;
Menurut Mitrani (1992), kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang
dan berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya;
Menurut Murphy (1993), kompetensi adalah bakat, sifat dan keahlian individu apapun
yang dapat dibuktikan, dapat dihubungkan dengan kinerja yang efektif dan baim sekali
Menurut Amstrong dan Baron (1998), competence menggambarkan apa yang
dibutuhkan agar ia mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Pengertian
competence lebih memberikan perhatian pada akibat daripada usaha dan pada output
daripada input. Competence mengacu pada dimensi perilaku sehingga sering juga
disebut kompetensi perilaku. Pengertian competence untuk menggambarkan
bagaimana orang berperilaku ketika mereka melakukan perannya dengan baik;
Menurut Training Agency (1988), competence adalah konsep luas, ,e,uat kemampuan
menstransfer keahlian dan kemampuan kepada situasi baru dalam wilayah kerja.
Menyangkut organisasi dan pekerjaan, inovasi dan mengatasi aktivitas personel yang
dibutuhkan di tempat berkaitan dengan rekan kerja, manajer serta pelanggan;

BAB IX

Mekanisme pelaksanaan Diklat

A. Pengertian Analisis Kebutuhan Diklat

Secara umum analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan dan
analisis data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di
dalam instansi yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas
instansi menjadi meningkat. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat
tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan. Analisis kebutuhan diklat
adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan diklat. Ada beberapa pengertian dengan
istilah analisis kebutuhan diklat. Dalam linguistik, analisis adalah kajian yang dilaksanakan
terhadap sebuah bahasa guna meneliti struktur bahasa tersebut secara mendalam. Sedangkan pada
kegiatan laboratorium, kata analisis dapat juga berarti kegiatan yang dilakukan di laboratorium
untuk memeriksa kandungan suatu zat dalam cuplikan (Wikipedia Indonesia). Analisis adalah
aktivitas yang memuat sejumlah kegiatan seperti mengurai, membedakan, memilah sesuatu untuk
digolongkan dan dikelompokkan kembali menurut kriteria tertentu kemudian dicari kaitannya dan
ditafsirkan maknanya (http://www.pengertianahli.com/).

Sedangkan kebutuhan adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia yang bisa didapatkan
dengan cara memiliki barang dan jasa (http://dilihatya.com/). Pendapat lain bahwa Kebutuhan
adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempertahankan hidup serta untuk
memperoleh kesejahteraan dan kenyamanan (http://saidibindarwan. blogspot.co.id/2014/).
Selanjutnya istilah kebutuhan lebih diperjelas oleh Kaufman dalam Rothwell dengan menyatakan
bahwa kebutuhan sebagai kesenjangan kinerja yang dapat membedakan antara apa yang
diketahui, dilakukan atau dirasakan dengan apa yang seharusnya diketahui, dilakukan dan
dirasakan untuk ditunjukkan sebagai suatu kemampuan.

Veithzal Rifai (2004) mendefinisikan kebutuhan pelatihan “adalah untuk memenuhi kekurangan
pengetahuan, meningkatkan keterampilan atau sikap dengan masing-masing kadar yang
bervariasi”. Sementara Suryana Sumantri (2005) mendefinisikan ”kebutuhan pelatihan
merupakan keadaan dimana terdapat kesenjangan antara keadaan yang diinginkan dengan
keadaan nyata”. Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya diselenggarakan sebagai sarana
untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi gap (kesenjangan) antara kinerja yang ada saat
ini dengan kinerja standard atau yang diharapkan untuk dilakukan oleh si pegawai, maka dalam
hal ini analisis kebutuhan pelatihan merupakan alat untuk mengidentifikasi gap-gap yang ada
tersebut dan melakukan analisis apakah gap-gap tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan melalui
suatu pelatihan. Pendapat lain menyatakan bahwa kebutuhan diklat dapat diartikan sebagai
kesenjangan kemampuan pegawai yang terjadi karena adanya perbedaan antara kemampuan yang
diharapkan sebagai tuntutan pelaksanaan tugas dalam organisasi dan kemampuan yang ada
(Hermansyah dan Azhari, 2002).

Dalam pelaksanaannya, Kaufman dalam Sadiman mengidentifikasi sekurang-kurangnya tiga


karakteristik analisis kebutuhan diklat, yaitu: data harus menyajikan kondisi aktual si belajar dan
orang-orang yang terkait baik kondisi saat ini maupun kondisi yang diharapkan; tidak ada analisis
kebutuhan yang bersifat final dan lengkap dan ketimpangan seharusnya diidentifikasi dari produk
dan bukannya mengenai proses. Analisis kebutuhan diklat sangat terkait dengan pengertian
kebutuhan. Dalam konteks penyusunan program diklat, kebutuhan (need) diantaranya diawali dari
pendapat Burton, Merrill dan Kaufman yang menyatakan kebutuhan adalah ketimpangan atau gap
antara “apa yang seharusnya” dengan apa yang “senyatanya”. Selanjutnya, yang dimaksud
dengan analisis kebutuhan diklat adalah proses untuk menentukan apa yang seharusnya dalam
rumusan sasaran-sasaran dan dilanjutkan dengan mengukur jumlah ketimpangan antara apa yang
seharusnya dengan apa yang semestinya. Proses ini disebut juga sebagai need assessment atau
discrepancy analysis. Jadi, analisis kebutuhan diklat dapat dinyatakan sebagai studi sistematik
tentang suatu masalah atau inovasi, memasukkan data dan opini dari berbagai sumber yang
dimaksudkan untuk mengambil keputusan atau memberikan rekomendasi tentang jenis
kemampuan apa yang akan diberikan kepada calon peserta diklat.

Dengan demikian dapat simpilkan bahwa analisis kebutuhan diklat (AKD) merupakan suatu
proses kegiatan yang sistematis untuk mengidentifikasi diskrepensi antara standar kinerja dan
kompetensi pegawai sehingga dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan.

Pendidikan dan Pelatihan

Beberapa pengertian pendidikan dan pelatihan menurut beberapa ahli sebagai berikut: Menurut
Sumantri (2000: 2) mengartikan “pelatihan sebagai proses pendidikan jangka pendek yang
menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan
mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”. Menurut
Soekidjo Notoatmodjo (2003: 86) pendidikan dan pelatihan adalah ”suatu proses pembinaan
pengertian dan pengetahuan terhadap kelompok fakta, aturan serta metode yang terorganisasikan
dengan megutamakan pembinaan, kejujuran dan ketrampilan”. Pendidikan dan pelatihan adalah
proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka mengubah kompetensi kerja seseorang
sehingga ia dapat berprestasi lebih baik dalam jabatannya (LAN, 2013: 4). Peraturan Menteri
Agama Nomor 75 Tahun 2015 pasal 1 menjelaskan bahwa pendidikan dan pelatihan yang
selanjutnya disebut diklat adalah penyelenggaraan pembelajaran dan pelatihan dalam rangka
mengembangkan kompetensi pegawai sesuai persyaratan jabatan masing-masing. diklat teknis
fungsional adalah kegiatan diklat bagi pejabat fungsional untuk meningkatkan pengetahuan, sikap
dan keterampilan sesuai dengan bidang tugasnya dalam meningkatkan profesionalisme sehingga
membantu kelancaran menjalankan tugas keseharian.Urgensi AKD menuju diklat bermutu

Peran Utama Pelaksanaan AKD

Analisis Kebutuhan Diklat sangatlah penting untuk dilaksanakan. Kegiatan AKD mempunyai
peran yang sangat strategis menuju diklat yang bermutu. Ada empat peran utama dalam
pelaksanaan AKD yaitu sebagai rancang bangun kegiatan diklat yang akan dilaksanakan, sebagai
rencana program diklat yang dipersiapkan, sebagai pedoman pelaksanaan diklat, sebagai pedoman
kegiatan evaluasi/monitoring paska diklat.

Tujuan Dilaksanakannya AKD

Setiap kegiatan pasi mempunyai tujuan. Tujuan suatu kegiatan adalah sesuatu yang akan dicapai
sehingga apa yang dilaksanakan berfungsi sesuai dengan harapan yang diinginkan. Dengan
demikian tujuan pelaksanaan AKD adalah sebagai berikut: menjadi dasar penyususnan rancangan
diklat yang akan dilaksanakan berdasarkan dari data AKD yang dihasilkan;Menjadi pedoman
rancang bangun kegiatan diklat berdasarkan diskrepansi (kesenjangan) kompetensi yang
dihasilkan dari AKD;Menjadi dasar bagi organisasi penyelenggara diklat untuk menentukan
prioritas jenis diklat yang harus segera dilaksanakan Meningkatkan kinerja para pegawai sebagai
peserta diklat untuk meningkatkan aspek sikap, pengetahuan, dan ketrampilan sesuai dengan
tuntutan bidang tugas yang diembannya;Mengetahui perkembangan kekinian terkait pada tuntutan
tugas/jabatan yang dimiliki. Melalui AKD dapat diketahui tugas baru yang mana yang sudah
diketahui, dan tugas baru mana yang belum dikuasai.

Manfaat Pelaksanaan AKD

Ada banyak manfaat diselenggarakannya analisis kebutuhan diklat. Manfaat tersebut antara lain:

penyusunan program diklat yang akan diselenggarakan, akan merujuk positif pada kebutuhan para
pengguna jasa kediklatan mencakup kebutuhan organisasi/instansi, jabatan, maupun kompetensi
individu para calon peserta diklat;Mtivasi peserta diklat menjadi positif karena jenis diklat yang
diikuti sesuai dengan aspek sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang diperlukan sehingga sesuai
dengan tujuan mereka mengikuti diklat;Pihak penyelenggara diklat dapat mengetahui terkait
dengan masalah-masalah dalam organisasi pengguna jasa kediklatan serta solusi yang
ditawarkan;Kegiatan diklat yang diselenggarakan berdasarkan AKD akan bersifat efesien dan
efektif sesuai dengan sasaran diklat.

AKD Meningkatkat Mutu Diklat

Tingkat Kebutuhan diklat

Berdasarkan sistem organisasi, umumnya dibedakan menjadi 3 (tiga) tingkat kebutuhan diklat.
Pertama, kebutuhan diklat pada tingkat organisasi; kedua, kebutuhan diklat pada tingkat jabatan,
dan ketiga, kebutuhan diklat pada tingkat individu. Kebutuhan diklat pada tingkat organisai ini
akan menyampaiakan bagian mana dari unit kerja pada organisasi ini memerlukan diklat. Sebagai
contoh pada satu unit kerja, belum mempunyai orang yang bisa diangkat untuk menjadi pejabat
pembuat komitmen (PPK). Organisasi tersebut akan menyampaiakan pada petugas AKD bahwa
perlu adanya diklat “barang dan jasa”. Disinilah organisasi tersebut harus menentukan bagian
yang perlu mendapat perhatian.Kedua adalah kebutuhan diklat pada tingkat jabatan. Pada
pendekatan ini, pimpinan organisasi menentukan sikap yang bagaimana, pengetahuan dan
ketrampilan apa yang diperlukan bagi para pegawainya dalam menjalankan tugas kedinasan.
Setelah diputuskan oleh pimpinan organisasi, selanjutnya sampaikan kepada petugas AKD
mengenai sikap, pengethauan dan ketrampilan yang dibutuhkan sebagai hasil AKD.Ketiga adalah
kebutuhan diklat pada tingkat individu. AKD pada pendekatan ini didahului oleh penetapan
kebutuhan-kebutuhan pendidikan dan pelatihan oleh pimpinan organisasi bersama dengan pihak
terkait lainnya. Dalam hal ini organisasi dapat menentukan karyawan mana yang membutuhkan
pendidikan dan pelatihan serta jenis-jenis diklat apa yang dibutuhkan oleh individu-individu pada
organisasi yang dipimpinnya. Para pegawai dimintai konfirmasinya mengenai sikap, pengetahuan,
dan ketrampilan yang perlu dikembangkan kompetensinya terkait dengan bidang tugas dan
jabatan yang dipegang saat ini.

Pendekatan AKD
Pelaksanaan AKD bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan. Ada tiga pendekatan AKD yang
umum dilakukan, yaitu pendekatan analisis kinerja, pendekatan forum grup discussion, dan
pendekatan DIF (difficulty, importance, and frequency).

Pendekatan Analisis Kinerja.

Pendekatan pertama AKD adalah pendekatan analisis kinerja. Untuk melaksanakan AKD dengan
pendekatan analisis kinerja, maka dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: identifikasi
standar kerja, identifikasi kinerja, identifikasi masalah, identifikasi bukti-bukti masalah,
identifikasi penyebab masalah, dan identifikasi solusi masalah. Pada pendekatan ini pimpinan
organisasi beserta para pembantu utama mampu melaksanakan segala identifikasi tersebut dan
selanjutnya dituangkan pada satu matrik analisis kebutuhan diklat yang disediakan oleh petugas.
Selanjutnya hasil identifikasi tersebut disampaikan kepada pihak penyelenggara diklat untuk
menjadi bahan pertimbangan menjadi bahan keputusan analisis kebutuhan diklat sebagai
persiapan perencanaan kegiatan diklat yang akan dilaksanakan. Perlu adanya konsultasi dengan
pihak pelaksana AKD sehingga kebutuhan diklat sesuai dengan identifikasi kebutuhan dari para
pengguna hasil diklat.

Pendekatan Forum Grup Discussion (FGD).

Pendekatan AKD yang kedua adalah pendekatan FGD. Pendekatan FGD ini sering dilakukan oleh
penyelenggara diklat. Cara ini melibatkan banyak pihak dan dipandang sangat efektif. Pelaksana
AKD berperan sebagai fasilitator. Peserta FGD dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan
bidang tugas dan diberikan instrumen AKD yang diinginkan untuk didiskusikan dan diisikan pada
lembar istrumen yang diselesaikan. Adapun peserta FGD bisa terdiri dari calon peserta diklat,
widyaiswara, penyelenggara diklat dan unsur kepegawaian. Peserta disajikan empat pertanyaan
utama yaitu: ketrampilan/pengetahuan apa yang saudara miliki pada saat menduduki jabatan
sekarang?; ketrampilan/pengetahuan apa yang saudara perlukan dalam menyelesaikan tugas?;
ketrampilan/pengetahuan apa yang saudara sangat perlukan untuk dapat menyelesaikan tugas
sekarang ini?; dan bagaimanakah cara memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan
yang diperlukan dalam melaksanakan tugas? Setelah proses FGD selesai, selanjutnya memberi
kesempatan kepada para anggota untuk melakukan kegiatan sebagai berikut: para anggota FGD
menuliskan ide (listing); mencatat daftar ide pada kertas flipchart (recording); melakukan
klasifikasi, penyederhanaan dan kombinasi (collating); melakukan menentukan prioritas
(prioritizing); dan kemudian menentukan jenis-jenis diklat yang disepakati untuk dipersiapkan
sebagai rancangan kegiatan diklat yang akan dilaksanakan.

Pendekatan DIF (Difficulty, Importance, and Frequency)

Pendekatan AKD yang ketiga adalah pendekatan DIF. Pendekatan DIF untuk AKD ini
dilaksanakan dengan dasar analisis jabatan yang diiringi dengan tingkat kesulitan yang dialami
(difficulty), tingkat kepentingan pada jabatan atau tugas (importance), serta tingkat keseringan
tugas itu dilaksanakan (frequency). Misalkan jabatan fungsional guru, maka jabatan tersebut tentu
ada yang mengalami kesulitan, tingkat kepentingan serta kapan atau berapa sering tugas itu
dilaksanakan, sebagai contoh penerapan Kurikulum 2013 serta hasil revisinya. Jabatan fungsional
guru harus segera menguasai kurikulum 2013 serta hasil revisinya yang terkini sesuai dengan
tuntutan kebutuhan kerja. Dari hasil tersebut, maka pasti ditemukan kesenjangan pengetahuan dan
ketrampilan dalam penerapan kurikulum. Pendekatan ini dilaksanakan dengan mengadakan
wawancara pada pimpinan organisasi, wawancara dengan pegawai sebagai responden, serta
mewawancarai tokoh kunci atau para ahli yang terkait misalnya tokoh pendidikan. Selanjutnya,
untuk memeperkuat hasil kesenjangan antara harapan dan kemampuan yang dimiliki oleh
responden, perlu juga dilihat hasil tes yang pernah diikuti, misalnya hasil uji kompetensi guru
(UKG). Pendekatan ini juga untuk melihat kesenjangan (diskrepansi) kompetensi. Diskrepansi
kompetensi merupakan selisih antara kinerja orang yang menduduki suatu jabatan dengan kinerja
yang dituntut oleh organisasi. Suatu jabatan yang diduduki menuntut adanya
kemampuan/kompetensi kerja standar (KKS).

Tahapan pelaksanaan AKD

Pelaksanaan analisis kebutuhan diklat dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai


berikut: perumusan masalah, perumusan tujuan, persiapan instrument yang diperlukan,
pengumpulan data, pengolahan data, penafsiran hasil, dan pelaporan. Kegiatan pertama pada
pelaksanaan AKD adalah perumusan masalah. Penyelenggara diklat akan menentukan masalah-
masalah yang selama ini telah muncul, solusi yang diperlukan, sumner informasi dari AKD
apakah pejabat structural, fungsional umum, fungsional tertentu atau pimpinan langsung. Kedua,
adalah perumusan tujuan AKD. Pelaksana AKD menetapkan tujuan diadakannya kegiatan AKD
apakah tujuan tersebut untuk kepentingan tingkat organisasi, kepentingan tingkat tingkat
pemangku jabatan, atau tingkat pekerja. Tahapan ketiga yaitu persipan instrument AKD. Pada
tahapan ini pihak penyelenggara AKD menyusun instrument AKD yang diperlukan, baik lembar
observasi, wawancara, ataupun isisan sesuai dengan tujuan AKD. Instrumen AKD harus
dipersiapkan dengan matang sehingga bersifat transparan, efektif, efesien, dan fleksibel. Tahapan
ke empat dari AKD adalah pengumpulan data. Pada tahap ini merupakan inti dari pelaksanaan
AKD. Petugas AKD mendatangi likus yang ditentukan untuk bertemu responden. Selanjutnya
responden mengisi instrumen yang telah dipersiapkan untuk menjaring data yang diperlukan
terkait dengan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang dibutuhkan serta jenis diklat yang
diinginkan responden. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer maupun data sekunder.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden, sedangkan data sekunder
merupakan data pendukung. Tahap ke;lima dari AKD adalah pengolahan data. Data yang telah
diperoleh dilakukan tabulasi data sesuai dengan data yang diperoleh baik primer maupun
sekunder. Tahap ke enam adalah penafsiran dari hasil data yang terkumpul. Hasil tersebut perlu
dikonfirmasinya dengan penanggungjawan AKD untuk diinterprestasikan sesuai dengan tujuan
diadaknnya AKD. Tahap ke tujuh dari AKD adalah pelaporan. Pada tahap ini petugas AKD
menyususn laporan terkait dengan AKD yang telah dilakukan secara obyektif, akuntable,
transparan. Laporan ini harus merujuk kepada pembaca laporan, informasi yang disajikan, hasil
laporan, waktu pelaksanaan AKD,

BAB X
PEROSES EVALUASI DALAM DIKLAT

A. Makna Evaluasi
Evaluasi memiliki makna yang berbeda dengan penilaian, pengukuran maupun tes.
Stufflebeam dan Shinkfield (1985: 159) menyatakan bahwa : Evaluation is the process of delineating,
obtaining, and providing descriptive and judgmental information about the worth and merit of some
object’s goals, design, implementation, and impact in order to guide decision making, serve needs for
accountability, and promote understanding of the involved phenomena.
Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai
pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the worth and merit) dari tujuan yang dicapai, desain,
implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggung jawaban dan
meningkatkan pemahaman terhadap fenomena. Menurut rumusan tersebut, inti dari evaluasi adalah
penyediaan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Komite Studi Nasional tentang Evaluasi (National Study Committee on Evaluation) dari
UCLA (Stark & Thomas, 1994: 12), menyatakan bahwa: Evaluation is the process of ascertaining the
decision of concern, selecting appropriate information, and collecting and analyzing information in
order to report summary data useful to decision makers in selecting among alternatives.
Evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis dan
penyajian informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan
program selanjutnya.
selanjutnya Griffin & Nix (1991:3) menyatakan: Measurement, assessment and evaluation are
hierarchial. The comparison of observation with the criteria is a measurement, the interpretation and
description of the evidence is an assessment and the judgement of the value or implication of the
behavior is an evaluation.
Pengukuran, penilaian dan evaluasi bersifat hirarki. Evaluasi didahului dengan penilaian
(assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran. Pengukuran diartikan sebagai
kegiatan membandingkan hasil pengamatan dengan kriteria, penilaian (assessment) merupakan
kegiatan menafsirkan dan mendeskripsikan hasil pengukuran, sedangkan evaluasi merupakan
penetapan nilai atau implikasi perilaku.
Brikerhoff (1986:ix) menjelaskan bahwa evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh
mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Menurut Brikerhoff (1986:ix), dalam pelaksanaan evaluasi ada
tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu: 1) penentuan fokus yang akan dievaluasi (focusing the
evaluation), 2) penyusunan desain evaluasi (designing the evaluation), 3) pengumpulan informasi
(collecting information), 4) analsis dan intepretasi informasi (analyzing and interpreting), 5)
pembuatan laporang (reporting information), 6) pengelolaan evaluasi (managing evaluation), dan 7)
evaluasi untuk evaluasi (evaluating evaluation).

Dalam pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam melakukan evaluasi, evaluator pada
tahap awal harus menentukan focus yang akan dievaluasi dan desain yang akan digunakan. Hal ini
berarti harus ada kejelasan apa yang akan dievaluasi yang secara implisit menenkankan adanya tujuan
evaluasi, serta adanya perencanaan bagaimana melaksanakan evaluasi. Selanjutnya, dilakukan
pengumpulan data, menganalisis dan membuat intepretasi terhadap data yang terkumpul serta
membuat laporan. Selain itu, evaluator juga harus melakukan pengaturan terhadap evaluasi dan
mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan evaluasi secara keseluruhan.
Weiss (1972:4) menyatakan bahwa tujuan evaluasi adalah: The purpose of evaluation research
is to measure the effect of program against the goals it set out accomplish as a means of contributing to
subsuquest decision making about the program and improving future programming.
Ada empat hal yang ditekankan pada rumusan tersebut, yaitu: 1) menunjuk pada penggunaan
metode penelitian, 2) menekankan pada hasil suatu program, 3) penggunaan kriteria untuk menilai,
dan 4) kontribusi terhadap pengambilan keputusan dan perbaikan program di masa mendatang.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan proses yang
sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, mengintepretasikan dan
menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan
maupun menyusun program selanjutnya. Adapun tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi
yang akurat dan objektif tentang suatu program. Informasi tersebut dapat berupa proses pelaksanaan
program, dampak/hasil yang dicapai, efisiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk
program itu sendiri, yaitu untuk mengambil keputusan apakah dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan.
Selain itu, juga dipergunakan untuk kepentingan penyusunan program berikutnya maupun penyusunan
kebijakan yang terkait dengan program.

B. Konsep Evaluasi
1. Konsep Evaluasi Program Pelatihan
Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat dipakai
dalam mengevaluasi program pelatihan. Kirkpatrick, salah seorang ahli evaluasi program training
dalam bidang pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi yang diberi nama
Kirkpatrick’s training evaluation model juga menunjuk model-model lain yang dapat dijadikan
sebagai pilihan dalam mengadakan evaluasi terhadap sebuah program training. Model-model
yang ditunjuk tersebut di antaranya adalah :
1. Five Level ROI Model (Jack PhillPS’)
2. CIPP Model (Daniel Stufflebeam’s)
3. Responsive Evaluation Model (Robert Stake’s)
4. Congruence-Contingency Model (Robert Stake’s)
5. Five Levels of Evaluation (Kaufman’s)
6. CIRO (Context, Input, R eaction, Outcome)
7. PERT (Program Evaluation and Review Technique)
8. Goal-Free Evaluation Approach (Michael Scriven’s)
9. Discrepancy Model (Provus’s)

Dari berbagai model tersebut di atas dalam tulisan ini hanya akan diuraikan secara
singkat beberapa model. Model yang diungkapkan Djuju Sudjana (2006: 225), yaitu:
A. Evaluasi model CIPP
Konsep evaluasi model CIPP ( Context, Input, Prosess and Product) pertama kali
ditawarkan oleh Stufflebeam pada tahun 1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi ESEA
(the Elementary and Secondary Education Act). Konsep tersebut ditawarkan oleh
Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan
tetapi untuk memperbaiki.
The CIPP approach is based on the view that the most important purpose of
evaluation is not to prove but to improve (Mad aus, Scriven, Stufflebeam, 1993: 118).
Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan,
manajemen, perusahaan sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek, program
maupun institusi. Dalam bidang pendidikan Stufflebeam menggolongkan sistem pendidikan
atas 4 dimensi, yaitu context, input, process dan product, sehingga model evaluasi yang
ditawarkan diberi nama CIPP model yang merupakan singkatan ke empat dimensi tersebut.
Nana Sudjana & Ibrahim (2004: 246) menterjemahkan masing-masing dimensi tersebut dengan
makna sebagai berikut:
1. Context : situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi
pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan, seperti misalnya
masalah pendidikan yang dirasakan, keadaan ekonomi negara, pandangan hidup masyarakat .
2. Input: sarana/modal/bahan dan rencana strategi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan-
tujuan pendidikan.
3. Process: pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/ bahan di dalam kegiatan nyata di
lapangan.
4. Product : hasil yan g dicapai baik selama maupun pada akhir pengembangan sistem
pendidikan yang bersangkutan.
B. Evaluasi model Brinkerhoff
Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari elemen-elemen yang sama, ada banyak
cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli evaluasi atau evaluator
mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & CS (1993:111) mengemukakan
tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama,
seperti evaluator -evaluator yang lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai
berikut :

1. Fixed vs Emergent Evaluation Design


Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan secara sistematik
sebelum implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan program
disertai seperangkat pertanyaan yang akan dijawab dengan informasi yang akan diperoleh
dari sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat sebelumnya dimana sipemakai akan
menerima informasi seperti yang telah ditentukan dalam tujuan. Walaupun desain fixed
ini lebih terstuktur daripada desain emergent, desain fixed juga dapat disesuaikan dengan
kebutuhan yang mungkin berubah. Kebanyakan evaluasi formal yang dibuat secara
individu dibuat berdasarkan desain fixed, karena tujuan program telah ditentukan dengan
jelas sebelumnya, dibiayai dan melalui usulan atau proposal evaluasi. (Brinkerhoff & CS,
1993:111)
2. Formative vs Sumative Evaluation
Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat membantu
memperbaiki program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat implementasi program
sedang berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh karyawan atau
orang-orang program. Evaluator sering merupakan bagian dari pada program dan kerjasama
dengan orang-orang program. Strategi pengumpulan informasi mungkin juga dipakai tetapi
penekanan pada usaha memberikan informasi yang berguna secepatnya bagi perbaikan
program. Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu program sehingga dari
hasil evaluasi akan dapat ditentukan suatu program tertentu akan diteruskan atau dihentikan.
Pada evaluasi sumatif difokuskan pada variable-variabel yang dianggap penting bagi
sponsor program maupun pihak pembuat keputusan. Evaluator luar atau tim reviu sering dipakai
karena evaluator internal dapat mempunyai kepentingan yang berbeda. Waktu pelaksanaan
evaluasi sumatif terletak pada akhir implementasi program. Strategi pengumpulan informasi akan
memaksimalkan validitas eksternal dan internal yang mungkin dikumpulkan dalam waktu yang
cukup lama. (Nana Sudjana & Ibrahim, 2004: 246)
3. Experimental and Quasi experimental Design vs Naural/Unotrusive
Beberapa evaluasi memakai metodologi penelitian klasik. Dalam hal seperti ini
subyek penelitian diacak, perlakuan diberikan dan pengukuran dampak dilakukan. Tujuan dari
penelitian untuk menilai manfaat suatu program yang dicobakan. Apabila siswa atau program
dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat pada populasi yang agak lebih luas. Dalam
beberapa hal intervensi tidak mungkin dilakukan atau tidak dikehendaki. Apabila proses
sudah diperbaiki, evaluator harus melihat dokumen-dokumen, seperti mempelajari nilai tes
atau menganalisis penelitian yang dilakukan dan sebagainya. strategi pengumpulan data
terutama menggunakan instrument formal seperti tes, suvey, kuesioner serta memakai
metode penelitian yang terstandar. (Nana Sudjana & Ibrahim, 2004: 246)

C. Evaluasi model Kirkpatrick


Menurut Kirkpatrick (Djuju Sudjana 2006:246) evaluasi terh adap efektivitas program
training mencakup empat level evaluasi, yaitu: level 1 – Reaction, level 2 – Learning, level 3–
Behavior, level 4 – Result
1. Evaluating Reaction
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta
(customer satisfaction). Program training dianggap efektif apabila proses training dirasa
menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training sehingga mereka tertarik termotivasi
untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila proses
training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan
reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas
terhadap proses training yang diikutin ya maka mereka tidak akan termotivasi untuk
mengikuti training lebih lanjut. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa keberhasilan
proses kegiatan training tidak terlepas dari minat, perhatian dan motivasi peserta training
dalam mengikuti jalannya kegiatan training. Orang akan belajar lebih baik manakala
mereka memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar. (Djuju Sudjana 2006:247)
Kepuasan peserta training dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang
diberikan, fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan oleh
instruktur, media pembelajaran yang tersedia, jadwal kegiatan sampai menu dan penyajian
konsumsi yang disediakan. (Djuju Sudjana 2006:248)
2. Evaluating Learning
Menurut Kirkpatrick (1988: 20) learning can be defined as the extend to which
participans change attitudes, improving knowledge, and/or increase skill as a result of
attending the program. Ada tiga hal yang dapat instruktur ajarkan dalam program training,
yaitu pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Peserta training dikatakan telah belajar
apabila pada dirinya telah mengalamai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun
peningkatan ketrampilan. Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas program training
maka ketiga aspek tersebut perlu untuk diukur.
Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan
ketrampilan pada peserta training maka program dapat dikatakan gagal. Penilaian
evaluating learning ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh
karena itu dalam pengukuran hasil belajar (learning measurement) berarti penentuan
satu atau lebih hal berikut: a). Pengetahuan apa yang telah dipelajari ?, b). Sikap apa yang
telah berubah ?, c). Ketrampilan apa yang telah dikembangkan atau diperbaiki ?. (Djuju
Sudjana 2006:249)

3. Evaluating Behavior
Evaluasi pada level ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi
terhadap sikap pada level ke 2. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada
perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih
bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah
laku setelah peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi
setelah mengikuti training juga akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat
kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.
Perubahan perilaku apa yang terjadi di tempat kerja setelah peserta mengikuti
program training. Dengan kata lain yang perlu dinilai adalah apak ah peserta merasa
senang setelah mengikuti training dan kembali ke tempat kerja?. Bagaimana peserta
dapat mentrasfer pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperoleh selama training
untuk diimplementasikan di tempat kerjanya. Karena yang dinilai adalah perubahan
perilaku setelah kembali ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai
evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan training. (Djuju Sudjana 2006:249)
4. Evaluating Result
Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result)
yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori
hasil akhir dari suatu program training di antaranya adalah kenaikan produksi,
peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan kerja,
penurunan turnover dan kenaikan keuntungan. Beberapa program mempunyai tujuan
meningkatkan moral kerja maupun membangun teamwork yang lebih baik. Dengan kata
lain adalah evaluasi terhadap impact program. (Djuju Sudjana 2006:250)

D. Evaluasi model Stake (Model Countenance)

Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan
judgement dan membedakan adanya tiga tahap dalam program pelatihan, yaitu antecedent
(context), transaction (process) dan outcomes. Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai
suatu progr am pelatihan, kita melakukan perbandingan yang relatif antara program dengan
program yang lain, atau perbandingan yan g absolut yaitu membandingkan suatu program
dengan standar tertentu. Penekan an yang umum atau hal yang penting dalam model ini
adalah bahwa evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake
mengatakan bahwa description di satu pihak berbeda dengan judgement di lain fihak. Dalam
model ini antecendent (masukan) transaction (proses) dan outcomes (hasil) data di bandingk an
tidak han ya untuk menentukan apakah ada perbedaan antara tujuan dengan k eadaan yang
sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat
program (Farida Yusuf Tayibnapis, 2000: 22
C. Tekni Evaluasi Dalam Diklat
Teknik dalam melaksanakan kegiatan evaluasi pendidikan secara umum adalah sebagai
berikut:
1. Perencanaan (mengapa perlu evaluasi, apa saja yang hendak dievaluasi, tujuan evaluasi, teknikapa
yang hendak dipakai, siapa yang hendak dievaluasi, kapan, dimana, penyusunan instrument,
indikator, data apa saja yang hendak digali, dsb).
2. Pengumpulan data ( tes, observasi, kuesioner, dan sebagainya sesuai dengan tujuan).
3. Verifiksi data (uji instrument, uji validitas, uji reliabilitas, dsb)
4. Pengolahan data ( memaknai data yang terkumpul, kualitatif atau kuantitatif, apakah hendak di
olah dengan statistikatau non statistik, apakah dengan parametrik atau non parametrik, apakah
dengan manual atau dengan software (misal : SAS, SPSS ).
5. penafsiran data, ( ditafsirkan melalui berbagai teknik uji, diakhiri dengan uji hipotesis ditolak atau
diterima, jika ditolak mengapa? Jika diterima mengapa? Berapa taraf signifikannya?)
interpretasikan data tersebut secara berkesinambungan dengan tujuan evaluasi sehingga akan
tampak hubungan sebab akibat. Apabila hubungan sebab akibat tersebut muncul maka akan lahir
alternatif yang ditimbulkan oleh evaluasi itu.

D. Teknik-Teknik Evaluasi Pengajaran


Dalam evaluasi secara garis besar, mempunyai dua macam teknik evaluasi, yaitu: teknik tes
dan teknik non tes.
1. Teknik Tes
Sebagai alat pengukur dan penilai, tes ada beberapa macam model menurut pemakain dan
waktu atau kapan digunakannya tes tersebut Model-model tes tersebut, yaitu: a. Tes Seleksi, b. Tes
Awal, c. Tes Akhir, d. Tes Diagnostik, e. Tes Formatif, f. Tes Sumatif.
a. Tes Seleksi
Tes seleksi ini tak jarang lagi kita dengar dalam kehidupan kita sehari-hari. Tes ini
juga bisa kita sebut, tes penyaringan bagi calon siswa tahun ajaran baru yang ingin memasuki
suatu lembaga sekolah. Materi tes yang digunakan dalam tes ini hanyalah materi prasyarat
untuk mengikuti atau melanjutkan ke pendidikan selanjutnya. Misalnya seorang siswa akan
melanjutkan studinya di perguruan tinggi IAIN di prodi bahasa arab, maka siswa tersebut akan
di beri ujian atau tes seleksi yang soalnya mengenai bahasa arab. Apabila nilai yang
didapatkannya memenuhi syarat dan nilainya tinggi maka siswa tersebut dapat melanjutkan
studinya di IAIN. Tes ini bisa juga kita laksanakan secara lisan, secara tulis dan secara
perbuatan.
b. Tes Awal
Tes ini juga sering kita dengar dengan istilah pre-test. Tes ini digunakan pada saat
akan berlangsungnya penyempaian materi yang akan di ajarkan oleh guru kepada siswa
dengan tujuan untuk mengetahui sejauh manakah materi atau bahan yang akan di ajarkan telah
dapat di kuasai oleh siswa didik. Tes ini mengandung makna, yaitu: tes yang dilaksankan
sebelum berlangsungnya proses pembelajaran terjadi. Materi tes yang di berikan harus
berkenaan dengan materi yang akan diajarkan dan soalnya mudah-mudah akan tetapi
memenuhi pokok pembahasan yang seharusnya materi tersebut telah dikuasai oleh siswa.
Contoh soal tentang huruf jarr yang di tanyakan pada mahasiswa bahasa arab semester lima.
Dengan catatan apa bila semua soal tes awal dapat dijawab atau dikuasai dengan baik dan
benar, maka materi tes yang ditanyakan tidak akan diajarkan lagi, dan apabila materi tes yang
ditanya belum cukup dipahami siswa, maka guru hanya mengajarkan materi yang belum
dipahami. Tes ini dapat dilaksanakan dan dilakukan dengan tes lisan dan tulisan.
c. Tes Akhir
Tes ini lebih banyak diketahui dengan post-test. tes ini dilaksanakan pada akhir proses
pembelajaran suatu materi dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa
tentang materi dan pokok penting materi yang dipelajari. Materi tes ini barkaitan dengan
materi yang telah diajarkan kepada siswa sebelumnya, terutama materi tentang sub-sub
penting pelajaran. Naskah tes akhir sama dengan tes awal supaya guru kita dapat mengetahui
mana lebih baik hasil kedua tes tentang pemahaman siswa. Apabila siswa lebih memahami
suatu materi setelah proses pembelajaran maka, program pengajaran dinilai berhasil.
d. Tes Diagnostik
Tes ini adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa
sehingga dengan mengetahui kelemahan siswa tersebut, maka kita bisa memperlakukan siswa
tersebut dengan tepat. Materi tes yang ditanya dalam tes diagnostik biasanya mengenai hal-hal
tertentu yang juga merupakan pengalaman sulit bagi siswa. Tes ini dapat dilaksanakan dengan
cara lisan, tulisan, atau dengan mengkaloborasi kedua cara tes. dalam catatan, tes ini hanya
untuk memeriksa, jika hasil pemeriksaan tersebut membuktikan kelemahan daya serap siswa
maka terhadap suatu pembelajaran. Maka siswa tersebut akan dilakukan pembimbingan secara
khusus kepadanya.
e. Tes Formatif
Tes ini merupakan tes hasil belajar yang tujuannya untuk mengetahui sejauh mana
siswa menguasai pelajaran setelah mengikuti proses pembelajaran dlam jangka wakt yang
telah ditentukan, tes ini dilaksanakan biasanya di tengah-tengah perjalanan program
pembelajaran. Tes ini juga disebut dengan “ujian harian”. Materi tes ini adalah materi yang
telah di sampaikan kepada siswa sebelumnya. Soalnya bisa dalam tingkat mudah maupun
sulit. Dalam tes ini, jika siswa telah menguasai materi yang telah diajarkan dengan baik, maka
guru akan menyampaikan materi selanjutnya. Dan apabila materi belum dapat dikuasai secara
menyeluruh, maka guru harus mengajarkan bagian materi yang belum dipahami.
f. Tes Sumatif
Tes ini tidak asing bagi siswa, karena tes ini adalah tes akhir dari program
pembelajaran. Tes ini juga bisa disebut EBTA, tes akhir semestes, UAN. Tes ini dilaksanaka
pada akhir program pembelajaran. Seperti setiap akhir semester, akhir tahun. Materinya yang
di tes adalah materi yang telah diajar kan selama satu semester. Dengan demikian materi ini
lebih banyak dari materi te yang ada pada tes formatif. Tes ini biasanya dilakukan dengan cara
tulisan, dan biasanya siswa memperoleh soal yang sama satu sama lain. Tes ini memiliki
tingkat tes yang sukar atau lebih berat dari tes formatif. Dengan ada tes ini maka kita bisa
menentukan peringkat atau rangking siswa selama program pembelajaran, dan juga tes ini
menentukan kelayakan seorang siswa untuk mengikuti program pembelajaran selanjutnya.

2. Teknik Non-Tes
Non tes adalah alat mengevaluasi yang biasanya di gunakan untuk menilai aspek tingkah
laku termasuk sikap, minat, dan motivasi. Ada beberapa non-tes sebagai alat evaluasi, diantaranya:
a. skala bertingkat, b. kuesioner, c. daftar cocok, d. wawancara, e. pengamatan, f. riwayat hidup.
a. Skala Bertingkat
Skala bertingkat menggambarkan suatu nilai yang berwujud angka terhadap suatu
hasil penentuan. Kita dapat menilai hampir segala aspek dengan skala. Dengan maksud agar
pencatatannya objektif, maka penilaian terhadap penampilan atau pengambaran kepribadian
seseorang disiapkan dalam bentuk skala.
b. Kuesioner
Kuesioner juga dapat di artikan angket yang digunakan sebagai alat bantu dalam
rangka pengukuran dan penilaian hasil belajar. Dengan adanya angket yang harus diisi oleh
siswa maka guru akan mengetahui keadaan, pengalaman, pengetahuan dan tingkah. Angket
atau soal kuesioner dapat di berikan secara langsung dan dijawab atau diisi langsung oleh
objeknya, ini dikatakan kuesioner langsung. Dan jika angket atau soal kuesioner dikirim dan
diisi oleh orang lain ( sanak saudaranya), namun soalnya dituju untuk objek, ini disebut
kuesioner tidak langsung. Dengan cara tes ini lebih menghemat waktu dan tenaga.
c. Daftar Cocok
Daftar cocok adalah deretan pertanyaan yang singkat serta mudah dipahami oleh
penjawabnya dengan cara menconteng saja,Contoh:
1. Berikanlah tanda conteng pada kolom yang sesui dengan pendapatnya. Pendapat
pernyataan penting biasa Tidak penting

d. Wawancara
Wawancara juga disebut dengan interview, secara umum adalah proses pengumpulan
keterangan yang dilakukang dengan tanya jawab lisan sepihak, bertatap muka langsung,
dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan. Wawancara dapat dibedakan dengan dua jenis:
1. wawancara terpimpin,yang materi pertanyaannya telah terstruktur dengan tujuannya 2.
wawacara bebas, yang materi yang ditanyakan bebas tidak terstruktur akan tetapi mempunyai
tujuan. Objeknya bisa pada siswa langsung atau orang tuanya.
Pengamatan
Pengamatan atau observasi adalah sebuah cara menghimpun data yang dilakukan oleh
guru kepada peserta didiknya dengan cara pengamatan yang teliti dan mencatat hasil
pengamatan secara sistematis. Observasi atau pengamatan dapat dibedakan menjadi 3 bentuk:
1. Pengamatan partisipan adalah pengamatan yang pengamatnya langsung memasuki dan
mengikuti kegiatan yang sedang diamati. Seperti pengamatan tentang pertanian, maka
pengamat harus bergabung menjadi petani. 2. Pengamatan sistematik adalah observasi dimana
faktor yang diamati sudah didaftar secara sistematis, dan sudah diatur menurut kata gorinya.
Pengamatan ini dilakukan di luar dari kelompok yang ingin diamati. 3. Pengamatan
eksperimental akan terjadi jika pengamat tidak berpartisipasi dalam kelompok. Dalam hal ini
ia dapat mengendalikan unsure-unsur penting dalam situasi sedemikian rupa sehingga situasi
dapat diatur sesuai dengan tujuan evaluasi.
e. Riwayat hidup
Riwayat hidup juga bisa kita katakan curiculum vite (CV). Atau gambaran hidup peserta didik, dalam
segala aspek. Dengan mengkaji atau menganalisis dukumen atau riwayat hidupnya maka seorang guru
akan dapat menarik kesimpulan tentang tingkah laku atau kepribadian dan sikap dari peserta didik. Soal-
soal yang biasa digunakan seperti. Nama siswa, status dalam keluarga, agama yang dianut, prestasinya dll.
.BAB XI
KOMUNIKASI DALAM DIKLAT

A. Pengertian Komunikasi
Komunikasi secara umum diartikan sebagai proses penciptaan arti terhadap
gagasan atau ide yang disampaikan. Kepentingan pelatih dalam melatih tentu saja
diperlukan komunikasi efektif yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan
gagasan dan memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan
pelatihan. Gagasan yang akan disampaikan dalam pelatihan ini adalah tentang
kebencanaan khususnya pada Pengembangan Skenario untuk Rencana Kontijensi dengan
menggunakan OpenStreetMap (OSM) dan QGIS/InaSafe. Berkaitan dengan hal tersebut
yang harus dimiliki pelatih adalah keterampilan dasar mengajar atau melatih karena pada
prinsipnya melatih adalah mengajar kepada peserta untuk dapat melakukan sesuatu.
1. The principles of effective communication
Komunikasi secara umum diartikan sebagai proses penciptaan arti terhadap
gagasan atau ide yang disampaikan. Dalam hal ini komunikasi diperlukan sekurang-
kurangnya 4 komponen atau unsur, yaitu: (1) Pengirim atau pembawa pesan/
komunikator, (2) Isi Pesan , (3) Penerima pesan/komunikan, (4) Media/saluran . Pada
proses komunikasi yang efektif, komunikator dan komunikan tidak hanya
berkomunikasi yang bersifat linier, tetapi diharapkan juga bersifat sirkuler.
Model komunikasi linier adalah proses yang hanya terdiri dari dua garis lurus,
dimana proses komunikasi berawal dari komunikator dan berakhir pada komunikan.
Sedangkan komunikasi model sirkuler adalah proses komunikasi yang tidak hanya
berawal dari komunikator dan berakhir pada komunikan, tetapi memperhatikan adanya
feedback dari komunikan, sehingga komunikasi sirkuler merupakan proses satu
lingkaran penuh. Artinya suatu saat pelatih berkedudukan sebagai sumber informasi
tetapi pada saat yang lain sebagai penerima informasi, begitu sebaliknya. Peserta bisa
sebagai penerima informasi tetapi bisa juga sebagai sumber informasi. Jadi
komunikasi adalah sebuah pemberitahuan atau pertukaran.
Proses komunikasi di atas menunjukkan bahwa peserta pelatihan bisa berperan
sebagai penerima informasi/pesan dan bisa sebagai sumber informasi/pesan. Tetapi
pelatih sebagai pelaku dalam proses komunikasi, tetap harus mengendalikan proses
pelatihan. Untuk itu pelatih tetap harus memposisikan sebagai komunikator, karena
komunikator memegang peranan yang sangat penting terutama dalam mengendalikan
jalannya komunikasi, sehingga pesan tersebut diterima oleh penerima (komunikan)
atau peserta pelatihan secara baik. Hal tersebut sesuai dengan fungsi komunikasi.
Fungsi komunikasi menurut Gordon I Zinmmerman dalam Thomas M.
Scheidel (1976) adalah fungsi isi, yg melibatkan pertukaran informasi yang kita
perlukan untuk menyelesaikan tugas kita, dan fungsi hubungan, yg melibatkan
pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan orang lain.
Sedangkan fungsi komunikasi menurut Thomas M. Scheidel (1976) adalah: “Kita
berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk
membangun kontak sosial, mempengaruhi orang lain untuk merasa, berfikir dan
bertindak seperti yg kita inginkan.
Dua pendapat di atas menunjukkan bahwa tujuan komunikasi adalah penerima
pesan dapat mengerti dan memahami pesan yang disampaikan pemberi pesan. Pelatih
diharapkan mampu menjelaskan keinginan atau ide sesuai tujuan pelatihan kepada
peserta dengan sederhana namun tepat atau akurat. Berikut ini proses komunikasi yang
diharapkan untuk memperhatikan kepada masukan dari peserta.
Proses komunikasi di atas menunjukkan bahwa komunikasi merupakan pesan
yang disampaikan kepada komunikan (penerima) dari komunikator (sumber) melalui
saluran-saluran tertentu baik secara langsung/tidak langsung dengan maksud
memberikan dampak/effect kepada komunikan sesuai dengan yang diingikan
komunikator. Proses komunikasi tersebut melalui 5 tahap, yaitu: (1) Tahap pertama
“Penginterpretasian”, (2) Tahap kedua “Penyandian” , (3) Tahap ketiga “Pengiriman” ,
(4) Tahap keempat “Penerimaan” , dan (5) Tahap kelima “Feedback/Umpan balik” .
Untuk mencapai tujuan komunikasi diperlukan juga penggunaan prinsip-prinsip
komunikasi efektif. Supaya komunikasi berjalan dengan baik, maka diperlukan
penggunaan prinsip komunikasi efektif. Prinsip itu antara lain: Respect, Empathy,
Audible, Clarity, Humble.
1. Respek.
Respect adalah perasaan positif atau penghormatan diri kepada lawan bicara.
Semua orang ingin dihargai dan dihormati dan menjadi kebutuhan setiap individu. Untuk
itu pelatih diharapkan menghargai lawan bicara atau dalam hal ini adalah peserta
pelatihan.
2. Empati.
Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang
tengah dihadapi orang lain. Komunikasi akan terjalin dengan baik sesuai kondisi
psikologis lawan bicara. Ber-Empati artinya pelatih harus menempatkan diri sebagai
pendengar yang baik, bahkan sebelum orang lain mendengarkan kita. Dan pelatih harus
mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dalam hal ini peserta pelatihan.
3. Audible/Dapat Didengar
Audible mengandung makna bahwa pesan harus dapat didengarkan dan
dimengerti. Dalam kepentingan ini yang harus dilakukan pelatih adalah: Pesan harus
mudah dipahami, menggunakan bahasa yang baik dan benar. Hindari bahasa yang tidak
dipahami oleh lawan bicara. Pesan disampaikan yang penting, dengan cara
menyederhanakan pesan, langsung saja pada inti persoalan karena sebagian besar orang
tidak suka mendengar yang bertele-tele. Menggunakan bahasa tubuh. Mimik wajah,
kontak mata, gerakan tangan dan posisi badan bisa dengan mudah terbaca oleh lawan
bicara. Menggunakan ilustrasi atau contoh. Analogi sangat membantu dalam penyampaian
pesan. Dapat digunakan Ilustrasi dan contoh nyata.
4. Clarity/Jelas.
Clarity adalah kejelasan dari pesan yang kita sampaikan. Pada prinsip ini pelatih
menetapkan tujuan secara jelas sebelum pelaksanaan pelatihan dan menggunakan intonasi
suara yang baik.
5. Humble/Rendah Hati
Sikap rendah hati memberikan pamor positif pada komunikator. Dalam
kepentingan ini rendah hati dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada peserta
untuk berbicara terlebih dahulu dan pelatih menjadi pendengar yang baik. Sikap ini
membangun rasa hormat dan pada akhirnya mengembangkan respek kepada peserta.
2. Communication models in training
Komunikasi dalam pelatihan adalah adalah proses penyampaian komunikasi
yang dikondisikan untuk tujuan pelatihan. Proses pelatihan pada hakekatnya adalah
proses komunikasi yang merupakan penyampaian pesan berisi materi-materi pelatihan.
Berkaitan dengan hal tersebut dalam pelatihan diharapkan menggunakan komunikasi
model sirkuler, yaitu proses komunikasi yang tidak hanya berawal dari komunikator
dan berakhir pada komunikan, tetapi memperhatikan adanya feedback dari komunikan,
sehingga komunikasi bisa efektif.
Komunikasi efektif dalam pelatihan, diharapkan menggunakan komunikasi
verbal dan non verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan
simbol-simbol verbal/dengan kata atau secara lisan. Sedangkan komunikasi non verbal
adalah komunikasi dengan tidak menggunakan kata-kata, tetapi menggunkan gerak
isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah, kontak mata. Bisa juga dengan penggunaan
objek seperti pakaian, potongan rambut dan lain sebagainya.
Komunikasi non verbal akan membantu pelatih untuk menjadi pembicara yang
menarik. Dalam komunikas verbal atau lisan harus didukung dengan cara berbicara
seperti intonasi, pemberian tekanan, kualitas suara, gaya berbicara dan gaya emosi.
Selain itu juga menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah, kontak mata.
Dan didukung juga dengan penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut dan
lain sebagainya.

B. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal (kata-kata) adalah lambang-lambang bersifat abstrak yang
dibuat dan disepakati oleh sekelompok tertentu kemudian diberikan makna tertentu pula.
Bahasa verbal merupakan sarana yang paling utama dalam rangka menyatakan
rasa, pikiran dan juga apa yang kita maksudkan.20 Kata-kata yang digunakan dalam
bahasa verbal mewakili segala aspek realita individual.
Komunikasi verbal ialah salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan oleh
seseorang kepada orang lain baik melalui cara tertulis (written) ataupun cara lisan (oral).
Komunikasi verbal dapat mempermudah seseorang dalam menyampaikan pemikiran, ide-
ide ataupun keputusan.
Penggunaan komunikasi verbal menggunakan lisan dapat dilakukan menggunakan
media, misalkan komunikasi lisan yang menggunakan media telepon/handphone.
Sedangkan penggunaan komunikasi verbal menggunakan tulisan dilakukan secara tidak
langsung antara seseorang dengan orang lain yang dalam penyampaiannya menggunakan
media surat, gambar, lukisan grafik, tabel dan lain sebagainya.
Pemanipulasian kata-kata manusia bisa mengkomunikasikan berbagai macam
pesan yang pelik sekalipun, misalnya perhitungan matematika, sastra, Undang-Undang,
juga ilmu pengetahuan yang lain. Oleh karena itu, komunikator diharapkan mampu
menguasai cara melaksanakan komunikasi verbal sehingga tidak menjadi penghalang
semantik ketika proses komunikasi berlangsung dengan komunikan di dalam pelatihan.
Dalam komunikasi lisan, informasi/pesan disampaikan secara lisan/oral atau verbal
melalui apa yang diucapkan dari mulut atau dikatakan, dan bagaimana mengatakannya.
Arti kata yang diucapkan akan menjadi semakin jelas ketika ucapan tersebut diikuti
dengan tekanan suara seperti tinggi rendah suara dan lemah lembutnya suara, keras
tidaknya suara, juga perubahan nada suara.23 Informasi/pesan yang disampaikan secara
lisan, melalui ucapan kata-kata atau kalimat disebut berbicara. Berbicara ialah salah satu
upaya pengungkapan perasaan, gagasan, dan ide dengan ucapan, kata-kata atau tulisan
dalam bentuk tertentu.
Jadi komunikasi verbal merupakan jenis komunikasi yang dalam proses
penyampaian informasinya disampaikan melalui cara tertulis ataupun lisan untuk
mempermudah seseorang dalam menyampaikan maksud dari pemikiran, ide dan juga
keputusan.
Komunikasi verbal memiliki karakteristik sehingga membedakannya dengan
komunikasi non verbal, diantaranya: 1) ringkas dan jelas; 2) mudah dipahami
perbendaharaan katanya; 3) arti katanya dapat bermakna konotatif dan denotatif; 4)
intonasi suara dapat mempengaruhi isi pesan; 5) kecepatan berbicara yang dibarengi
dengan tempo dan jeda yang baik dan 6) disertai unsur humor.
Jenis-jenis komunikasi verbal diantaranya:
1. Berbicara dan menulis. Berbicara merupakan bentuk komunikasi verbal
menggunakan vokal/suara, sedangkan menulis merupakan komunikasi verbal
tanpa vokal. Komunikasi verbal-vokal misalnya presentasi yang dilakukan
ketika rapat, sedangkan komunikasi vebal-nonvokal misalnya surat menyurat
dalam bisnis.
2. Mendengarkan dan membaca. Mendengar ialah pengambilan makna dari
segala sesuatu yang didengarkan dengan melibatkan unsur mendengar,
memperhatikan, memahami dan juga mengingat. Sedangkan membaca
merupakan suatu jalan untuk memperoleh informasi dari sesuatu yang ditulis.

C. Komunikasi Non Verbal


Tanpa kita sadari, kita banyak mengirimkan pesan non verbal dalam kehidupan
sehari-hari tanpa disengaja. Tanpa disadari juga bahwa sebenarnya kita telah melakukan
komunikasi dan telah mengirimkan banyak pesan berbau non verbal sedangkan tanpa
disadari bahwasanya pesan-pesan tersebut bermakna pagi orang lain ataupun
penerimanya.
Dalam komunikasi non verbal, pesan tersebut dilakukan dalam bentuk tanpa kata-
kata. Komunikasi non verbal lebih banyak dipakai jika dibandingkan dengan komunikasi
verbal dalam realitas kehidupan. Ketika komunikasi berlangsung, hampir secara otomatis
komunikasi non verbal pun ikut terpakai. Komunikasi non verbal ini lebih dominan jujur
dalam pengungkapan karena dilakukan secara spontan. Melalui komunikasi verbal ini,
orang dapat menarik kesimpulan tentang beragam perasaan seseorang, baik perasaan
senang, kangen, benci, cinta dan lain sebagainya.
Blake dan Haroldsen menyatakan bahwa komunikasi non-verbal merupakan
penyampaian dari informasi/pesan meliputi tidak adanya simbol-simbol atau perwujudan
suara. Yang termasuk ke dalam bentuk komunikasi non-verbal ialah kontak mata, ekspresi
wajah, gerak tubuh, kedekatan jarak, suara yang bukan kata atau pribahasa, sentuhan, dan
cara berpakaian.
Komunikasi nonverbal adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
rangka pencapaian keberhasilan pelatihan. Karena para peserta latihan tidak hanya
memperhatikan kata-kata yang diucapkan oleh pelatih, namun juga mencermati lambang-
lambang lain selain kata-kata. Bagaimana seorang pelatih menampilkan diri dari segi
pakaian, sikap, nada suara, aspek waktu, penggunaan fasilitas pelatihan yang termasuk ke
dalam bagian dari komunikasi non verbal yang harus dikelola dengan baik.
Jadi komunikasi non verbal merupakan jenis komunikasi yang disajikan tanpa
kata-kata dalam proses penyampaian informasinya seperti kontak mata, ekspresi wajah,
gerak tubuh, kedekatan jarak, suara yang bukan kata atau pribahasa, sentuhan, dan cara
berpakaian.
Menurut Mark L. Knapp sebagaimana dalam tulisan Jalaluddin, komunikasi non
verbal memiliki beberapa fungsi, diantaranya repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen
dan juga aksentuasi.
1. Repetisi.
Repetisi mempunyai makna pengulangan kembali gagasan-gagasan yang telah
diungkapkan melalui komunikasi verbal. Contohnya adalah setelah kita mengutarakan
penolakan, kemudian diikuti dengan geleng-geleng kepala.
2. Substitusi.
Substitusi bermakna penggantian lambang/simbol verbal. Dalam hal ini
misalnya penunjukan “persetujuan” dengan cara diam seribu kata, tanpa sepatah
katapun dengan cara kepala mengangguk-angguk.
3. Kontradiksi.
Kontradiksi berarti penolakan atau pemberian makna berbeda kepada pesan
verbal. Contohnya jika kita memuji prestasi rekan kerja kita dengan cara mencibirkan
bibir kemudian berata “Hebat, kamu memang brilliant”.
4. Komplemen.
Sebagai pelengkap dan memperkaya makna dari pesan verbal. Hal ini bisa
ditunjukkan dengan air muka yang dapat menggambarkan tingkat penderitaan yang
tidak dapat diungkapkan melalui kajta-kata.
5. Aksentuasi.
Aksentuasi bermakna penegasan atau penggarisbawahan dari pesan verbal. Hal
ini dapat ditunjukkan dengan cara memukul meja dengan keras yang menandakan
bahwa terdapat kejengkelan terhadap sesuatu.

Ada beberapa kategori komunikasi non verbal, diantaranya:


1. Penampilan
Penampilan diri dalam pergaulan dan hubungan dengan orang lain
memiliki peranan yang amat penting baik dalam perkembangan keakraban,
saling percaya, bahkan mempermudah komunikasi. Penampilan yang ramah,
semangat tinggi, perhatian, penuh gairah harus dimiliki seorang pelatih diklat
dengan menjauhi sikap yang pemarah, emosional dan tidak simpati harus
dijauhinya.
Hal yang tak kalah penting adalah persoalan pakaian dan aksesoris.
Perihal kerapian dalam hal berpakaian juga akan mencerminkan kepribadian
seseorang. Pakaian dan aksesoris juga dapat menjadikannya sebagai kesan
pertama sehingga kita harus berhati-hati dalam memilihnya.
Walaupun tidak termasuk dalam stereotipe, individu dinilai dari jenis
pakaian yang digunakannya. Sebagai contoh, seseorang seringkali menyukai
orang lain hanya karena persoalan cara berpakaian yang menarik perhatiannya.
Contoh lainnya adalah penampilan menarik dan pakaian rapi pelamar
pekerjaan cenderung akan lebih gampang mendapatkan pekerjaan.
2. Gerakan Tubuh atau Kinestetik, yang termasuk dalam kategori ini diantaranya:
Orientasi tubuh, derajat komunikator mengatur dirnya untuk menghadap atau
menjauh dari komunikan dengan tubuh, kaki ataupun kepala. Postur tubuh.
Cara seseorang berdiri, bergerak, berjalan dapat menjelaskan ekspresi dirinya.
Postur tubuh ini dapat merefleksikan konsep diri, emosi bahkan tingkat
kesehatannya.
Wajah dan kontak mata. Wajah adalah sumber yang kaya dengan
komunikasi dikarenakan ekspresi dari wajah merupakan cerminan dari suasana
hati seseorang. Sedangkan kontak mata akan menimbulkan signal alami dalam
melaksanakan komunikasi. Kontak mata selama terjadinya komunikasi
menandakan bahwa orang tersebut terlibat serta menghargai lawannya disertai
keinginan untuk memperhatikan, tidak hanya sebatas mendengarkan.
Gerak Isyarat. Gerak isyarat (gesture) ialah sumber informasi yang baik
dalam komunikasi non verbal.31 Gerak isyarat bisa digunakan untuk
mempertegas pembicaraan seperti menghentakkan kaki menggerak-gerakkan
tangan selama berbicara dalam sebuah pelatihan tersebut menunjukkan bahwa
orang tersebut dalam keadaan bingung ataupun stres ataupun sebagai salah satu
cara yang dilakukan dalam rangka menepis dan menghilangkan rasa bingung
dan stres tersebut.
3. Vokalik/Suara/Paralanguage
Suara merupakan salah satu bagian dari komunikasi non verbal. Suara
adalah parabahasa (paralanguage) yakni cara bagaimana kata-kata dan kalimat
dilafalkan. Suara dapat mengkomunikasikan sesuatu yang bisa dilakukan
dengan cara nada bicara, tinggi suara, kecepatan berbicara, besar suara, keras
dan lemahnya suara, kualitas suara, intonasi, berapa lama dan panjang istirahat
dan juga ketidaklancaran.32 Semua hal tersebut mempunyai peranan yang
sangat penting dalam melemahkan dan menguatkan pesan yang akan
disampaikan kepada seseorang atau lawan bicara.
Sebagai seorang komunikator dalam sebuah pelatihan hendaknya
menghindari suara yang melengking dan tergesa-gesa. Kewibawaan seorang
komunikator juga didapat dengan pemberian kesan suara dan gaya bicara yang
ramah, tenang, meyakinkan dan tidak menyinggung perasaan. Hal ini juga
memberikan kesan bahwa komunikator tersebut memiliki kredibilitas yang
kuat.
Lingkungan kebudayaan juga dapat mempengaruhi nada suara seperti
tinggi rendahnya, dan juga cara berbicara seperti cepat dan lambatnya.
Contohnya adalah nada suara dan cara berbicara orang Batak dan Surabaya
sangat berbeda dengan nada suara dan cara berbicara orang Sunda dan
Surakarta. Tak hanya itu, nada suara serta cara berbicara seseorang juga dapat
dipengaruhi oleh keadaan keluarga. Nada suara dan cara berbicara orang yang
berasal dari keluarga kecil akan sangat berbeda dengan orang yang berasal dari
keluarga besar serta banyak saudaranya.
4. Sentuhan
Sentuhan juga dapat mengkomunikasikan banyak pesan yang
terkandung di dalamnya. Sentuhan juga dapat mewakili penyampaian rasa
perhatian, persahabatan, seksual dan juga keagresifan. Pesan yang diperoleh
dari adanya sentuhan juga akan memberikan pengaruh terhadap bagaimana
cara seseorang di dalam memberikan arti pada setiap sentuhan, di samping arti
sentuhan sebenarnya yang dimaksud oleh komunikator itu.
Sentuhan ini merupakan bentuk komunikasi personal yang sifatnya
spontan. Bentuk perhatian, dukungan, simpati dan kasih sayang dapat
dilakukan dengan jalan sentuhan. Yang termasuk dalam sentuhan ini misalnya
genggaman tangan, salaman, pukulan, sentuhan di panggung, mengelus,
berciuman dan lain-lain.

BAB XII
METODE DAN TEKNOLGI DIKLAT

A. Metode Diklat
Berikut ini metode yang biasa dipergunakan dalam pelatihan adalah :
A. On The Job Training (OJT)
1. Pengertian On The Job Training (OJT)
Hampir 90% dari pengetahuan pekerjaan diperoleh melalui metode on the job
training (Mengkunegara, 2001). Prosedur metode ini adalah, informal, observasi
sederhana, mudah dan praktis, dimana pegawai mempelajari tugasnya dengan megamati
perilaku pekerja lain pada saat bekerja, meskipun proses ini berjalan dibawh pengawasan
langsung (Randall S. Schuler,Susan E.jackson, 1997). Berbagai aspek lain dari OJT adalah
lebih formal dalam format. Pengawas memberikan contoh bagaimana cara mengerjakan
perkejaan dan pegawai baru memperhatikannya. Seorang pelatih pegawai yang
berpengalaman diharapkan untuk menyediakan model peran yang baik dan menyediakan
waktu dari tanggung jawab kerja yang biasa untuk memberikan arahan dan bimbingan
yang terkait dengan pekerjaan.
Metode OJT sangat tepat digunakan untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan
yang dapat dipelajari dalam waktu tertentu, sedangkan manfaat dari metode dari pelatihan
ini adalah peserta belajar dengan perlengkapan yan nyata dan dalam lingkungan
pekerjaan, serta sarana yang jelas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa On the Job Training sendiri secara definisi adalah
melatih seseorang untuk mempelajari pekerjaan sambil mengerjakanya (Gary
Dessler,2006:285). Pelatihan yang diberikan pada saat karyawan bekerja. Sambil bekerja
seperti biasa, karyawan memperoleh pelatihan, sehingga dapat memperoleh umpan balik
secara langsung dari pelatihnya (Handoko, 1989). Dilakukan oleh semua perusahaan,
terutama untuk karyawan baru s/d karyawan yang berpengalaman.
Keunggulan dari metode OJT adalah transfer pengethauna atau keterampilan itu
bisa dengan cepat dan tempo tinggi, mengingat peserta latihan berada di tempat yang
sesungguhnya bekerja, sehingga mereka dapat secara langsung menerapkan keterampilan
yan diperoleh (Sinambela, 2012).
2. Bentuk Pelatihan OJT
Pelatihan OJT menurut Cherrington (1995:358) dibagi menjadi enam macam.
1). Job instruction training
Merupakan bentuk pelatiihan yang memerlukan analisis kinerja pekerjaan secara teliti.
Pelatihan ini dimulai dengan penjelasan awal tentang tujuan pekerjaan dan
menunjukkann langkah-langkah pelaksanaan pekerjaan.
2) Apprenticeship
Merupakan bentuk pelatihan yang mengarah pada proses penerimaan karyawan baru
yang berkerja bersama dan dibawah bimbingan praktisi yang ahli untuk beberapa
waktu tertentu. Efektivitas pelatihan ini bergantung pada kemampuan praktisi yang
ahli dalam mengawasi proses pelatihan.
3) Internship dan Assintantships
Merupakan bentuk pelatihan yang hamper sama dengan pelatihan apprenliceship.
Hany pelatihan ini mengarah pada kekosongan pekerjaan yang menuntut penddikan
formal yang lebih tinggi.
4) Job rotation dan transfer
Adalah proses belajar untuk mengisi kekosongan dalam manajemen dan teknikal.
Pelatihan ini memiliki beberapa kerugian, yaitu:
a) Peserta pelatihan hanya merasa dipekerjakan sementara dan tidak mempunyai
komitmen untuk melibatkan dalam pekerjaan dengan sungguh-sungguh.
b) Banyak waktu yang terbuang untuk member orientasi pada peserta terhadap
kondisi pekerjaan yang baru.
c) Pelatihan ini juga mempunyai keuntungan yaitu jika pelatihan ini ndiberikan oleh
manajer yang ahli maka peserta akan memperoleh tambahan pengetahuan
menganai pelaksanaan da praktek dalam pekerjaan.
5) Junior boards dan committee assignments
Merupakan alternative pelatihan dengan memindahkan peserta pelatihan dalam
momite dengan tujuan:
a) Bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan administrasi
b)Menempatkan peserta dalam anggota ekssekutif agar memperoleh kesempatan dalam
berinteraksi dengan eksekutif yang lain.
6) Couching dan counseling
Merupakan bentuk pelatihan yang mengharapkan timbale balik dalam penampilan
kerja, dukungan dari pelatih, dan penjelasan secara perlahan cara melakukan pekerjaan
secara tepat.
3. Tujuan On The Job Training
a. Memperoleh pengalaman langsung (bagi karyawan baru) mengenal jenis pengetahuan
dan keterampilan yang dibutuhkan.
b. Mengamati secara langsung apa yan menjadi tanggung jawabnya, melihat apa yang
harus dikerjakan, mampu menunjukkan apa yang dikerjakan (salah dan benar)
kemudian mempu menjelasakan tentang apa yang dikerjakan.
c. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan dengan jelas, mengamati, melihat dan
mengerjakan sendiri di bawah bimbingan supervisor.
d. Meningkatkan kecepatan menyelesaikan suatu pekerjaan dengan mengulang-ulang
jenis pekerjaan yang sama disertai kepercayaan diri.
e. Meningkatkan diri mulai dari tingkat dasar, terampil dan akhirnya menjadi mahir
4. Ciri-ciri On The Job Training
a. Dilaksanakan di tempat kerja
b. Dilaksanakan pada setiap karyawan baru, pindah ke bagian lain (mutasi), yang
berganti tugas dan tanggung jawabnya, karyawan yang menunjukkan prestasi
kurang baik dalam pekerjaannya
c. Dilaksanakan untuk memberikan kecakapan yang diperlukan dalam pekerjaan
tertentu sesuai dengan tuntutan kemampuan bagi pekerjaan tersebut sebagai alat
untuk kenaikan jabatan
d. Pengetahuan/keterampilan berupa pengalaman (praktik langsung)
e. Dilaksanakan secara individual
f. Biaya relatif kecil
B. Latihan Instruksi Kerja atau Job Instruction Training (JIT)
Meskipun banyak keungtungan dan keunggulan metode OJT, tetapi juga memiliki
kelemahan, antara lain bahwa penyelenggaraannya harus pada waktu yang bersamaan, dan
pesera tidak bisa banyak. Oleh karena itu, para ahli mengembangkan metode yang dapat
mereduksi kelemahan metode OJT ini dengan metode latihan instruksi kerja atau Job
instructtion Training. Metode ini dirancang untuk memeberikan bimbingan, latihan
keterampilan On the job kepada berbagi lapisan pegawai. Artinya, JIT adalah suatu teknik
bukan program, yang dapat disesuikan dengan usaha latihan bagi semua pegawai dalam
program off the job maupu on the job. Berikut ini empat langkah untuk melakasanakan
pelatihan dengan metode JIT (Randall S. Schuler,Susan E.jackson, 1997) :
a. Seleksi dan persiapan yang teliti dari pelatih dan peserta latihan unutk pengalaman besar
yang akan diikuti.
b. Penjelasan penuh dan demonstrasi oleh peserta latihan dari pekerjaan yang akan
dilakukan
c. Kinerja on the job percobaan oleh peserta latihan
d. Sesi umpan balik dan mendalam untuk membahas kinerja peserta latihan dan persyaratan
kerja
C. Pengajaran di Ruang Kelas
Pengajaran di Ruang kelas biasanya melibatkan pelatih yang memberikan ceramah
kepada kelompok di ruang kelas walaupun dapat juga dilakukan di area pekerjaan
(Mangkunegara, 2001). Pengajaran di ruang kelas tetap merupakan metode pelatihan yang
populer meskipun terdapat berbagai teknologi baru sepert video interaktif dan pengajaran
yang dibantu oleh komputer.
Pengajaran di ruang kelas tradisional merupakan cara paling mahal yang sangat
memakan waktu untuk menyajikan nformasi-informasi tentang topik tertentu bagi banyak
orang yang dilatih (Sinambela, 2012).
Pelatihan di ruang kelas nyata digunakan untuk kursus-kursus tentang corak peranti
lunak, khusus peragaan dan pemecahan maslaah menggunkan corak berbagai aplikasi.
Akan tetapi pengajaran modern dengan pembelajaran online juga memiliki kelemahan.
FileNet Corporation khawatir tentang cara tenaga pejuala akan mengikuti peranti kunak yang
baru dan pemburuan peranti lunak. FileNet mencoba pembelajaran online dengan langkahnya
sendiri, tetapi menemukan bahwa tenaga penjualan tidak suka membaca banyak materi
tentang produkproduk baru pada situs. Pendaftarn pada kursus-kursusu online menurun, serta
tenaga penjual membanjiri departemen pelatihn organisasi dengan berbagai permintaan
bantuan satu persatu. Oleh sebab itu, dalam menyelesaikan maslaah pelatihan, organisasi
memutuskan untuk menggunakan Webcasting.
Webcasting meliputi berbagai pengajaran di ruang kelas yang disediakan secara online
melalui siaran langsung. Webcassting membantu menyiarkan pelatihan tenaga penjualan di
sepanjang tahun daripada mendapatkannya melalui berbagai pertemuan penjualan selama dua
kali dalam setahun. Wwebcasting membantu memaastikan bahwa seluruh tenaga penjual
menerima informasi yang sama.
Tenaga pejual menyukai webcasting karena informasinya tepat waktu sehingga
membantu mereka melakukan percakapan dengan para pelanggan. Berbagai pembahasan
secara langsung juga populer karena para peserrta dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Webcasting tidak dapat menggantikan pelatihan tatap muka pada filenet (Sinambela, 2012).
Jadi Metode ini merupakan metode training yang dilakukan di dalam kelas walaupun
dapat dilakukan di area pekerjaan. Metode ruang kelas adalah kuliah, konferensi, studi kasus,
bermain peran dan pengajaran berprogram (programmed instruction).
Harus kita akui bahwa kualitas yang lekatkan terhadap seorang tenaga kerja dalam
proses pelatihan akan sangat mencerminkan tingkat efektifitas maupun efisiensi dari kinerja
suatu perusahaan kedepannya. Tingkat efektifitas dan efisiensi kinerja perusahaan dapat
prediksikan akan menjadi buruk jika tingkat kualitas pemahaman akan program pelatihannya
pun juga buruk, begitu juga sebaliknya.
Profesionalisme seorang karyawan akan keseriusan menjalankan proses pelatihan
sangat dibutuhkan demi tercapainya target-target organisasi atau perusahaan yang telah
ditentukan sebelumnya. Dan sejatinya dengan cukup tersedianya berbagi pilihan seorang
manajer ataupun perusahaan dalam menggunakan metode pelatihan (Training Methode )yang
akan dipilihnya, setidaknya akan memberikan opsi menguntungkan daripada manajer
maupun perusahaan yang bersangkutan dalam mengaplikasikan metode terbaik yang memang
layak mereka gunakan.
D. Metode simulasi
Simulasi adalah suatu penentuan karakteristik atau perilaku tertentu dari dunia riil
sedemikian rupa sehingga para peserta pelatihan dapat merealisasikan seperti keadaan
sebenarnya. Dengan demikian, apabila peserta pelatihan kembali ketempat pekerjaannya
semula akan mampu melakukan pekerjaan yang disimulasikan tersebut (Notoadjmojo, 2003).
Metode-metode simulasi ini menyangkut :
1. Simulator alat-alat; misalnya simulasi alat-alat suntik bagi pendidikan kedokteran atau
perawat, simulasi sumur pompa tangan bagi pendidikan sanitasi dan sebagainya.
2. Studi kasus, dimana peserta pelatihan diberikan suatu kasus, kemudian dipelajari dan
didiskusikan oleh peserta pelatihan. Metode ini sangat cocok untuk para peserta, manajer
atau administrator, yang akan mengembangkan keterampilan dalam memecahkan
masalah-masalah.
3. Permainan Peran, dalam metode ini peserta diminta untuk memainkan peran, bagian-
bagian dari berbagai karakter dalam kasus. Para peserta diminta untuk membayangkan diri
sendiri tentng tindakan bagi peserta oleh pelatih. Peserta harus mengambil alih peranan
dan sikap-sikap dari orang-orang yang ditokohkan. Misalnya, sikap dan peranan lurah
dalam rapat dengan masyarakat di kelurahannya.
4. Teknik di dalam keranjang. Metode ini dilakukan dengan memberi bermacammacam
persoalan kepada peserta latihan. Dengan kata lain, peserta latihan diberi suatu keranjang
yang penuh dengan bermacam-macam permaslahan yang harus diselesaikan.
E. Pemodalan Perilaku
Penelitian menunjukkan bahwa perilaku merupakan salah satu teknik yang paling
efektif untuk mengajarkan berbgai keterampilan antarpribadi (Sinambela, 2012). Setiap
pembahasan pelatihan biasanya berlangsung selama emapat jam dan berfokus pada satu
keterampilan antarpribadi, seperti melatih atau mengkomunikasikan ide-ide. Setiap
pembahasan menyajikan dasar dibalik berbagai perilaku utama, rekaman video, dan model
pertunjukkan berbagai perilaku utama, peluang-peluang praktik dengan menggunakan
permainan peran, model evaluasi kinerja pada rekaman video, dan pembahasan perancangan
yang ditunjukkan untuk memahami cara berbagai perilaku utama dapat digunakan pada
pekerjaan. Pada pembahasan praktik, orang-orang yang dilatih memperoleh umpan balik
tentang seberapa dekat perilku sesuai dengan berbagai perilaku utama yang ditunjukkan oleh
model. Permainan dan model kerja berdasarkan berbagai peristiwa nyata pada pengaturan
pekerjaan tentang kebutuhan dari orang-orang yang dilatih untuk menunjukkan keberhasilan.
F. Metode Vestibule atau Balai
Suatu vestibule adalah ruangan isolasi atau terpisah yang digambarkan untuk tempat
pelatihan bagi pegawai baru yang akan menduduki suatu pekerjaan. Metode vestibule
merupakan metode pelatihan yang cocok bagi peserta yang dilatih dengan macam pekerjaan
yang sama dan dalam waktu yang sama (Mangkunegara, 2001). Pelaksanaan metode ini
biasanya dalam beberapa hari sampai dengan beberapa bulan tergantung pada materi yang
disampaikan dan akan diawasi oleh instruktur. misalnya pe;atihan pekerjaan, pengetikan
klerek, operator mesin.
G. Metode Belajar Campuran
Karena ada keterbatasan pembelajaran online terkait teknologi, piihan orang-orang
yang dilatih melakukan hubungan tatap muka degan para intruktur dari pembelajaran lain,
dan ketidakmampuan para organisasi menemukan waktu yang tidak terjadwal selama hari
kerja unuk menyediakan pembelajaran dari desktop, banyak oraganisasi pindah ke
pendekatan pembelajaran cngkokan atau campuran (Sinambela, 2012). Metode belajar
campuran menggabungkan pembelajaran online, pengajaran tatap muka serta metode lain
untuk menyebar materi pembelajaran. Kotak “Bersaing melalui teknologi” menunjukkan cara
metode elajar campuran yang menguntungkan bagi beberapa organisasi.
H. Sistem Manajemen Pembelajaran
Sistem manajemen pembelajaran ( Learning Management System –LMS) mengacu
pada pentasteknologi yang digunakan untuk mengotomatisasi admonistrasi, pengembangan
dan penyampaian seluruh program pelatihan organisasi (Sinambela, 2012). LMS dapat
memberikan kemampuan untuk mengelola, mengirim, dan melacak aktivitas-aktivitas
pembeajaran kepada organisasi, manajer dan pelatih. LMS menjadi lebih populer karena
beberapa alasan. LMS dapat mebantu berbagai organisasi mengurangi biaya lainnya yang
berkaitan dengan pelatihan, mengurangi waktu penyelesaian program, meningkatkan
keterjagkauan para organisasi untuk pelatihan di seluruh organisasi, sera memberikan
kemampuan administrasi untuk melacak penyelesaian program, dan pendaftaran kursus.
Selain itu, LMS juga memungkinkan berbagai organisasi untuk melacak aktivitas
pembelajaran pada organisasi.

I. Metode Membangun Kelompok


Metode membangun kelompok atau tim ( Group of team building methods)
merupakan metode-metode pelatihan yang dirancang untuk meningkatkan efektifitas atau
kelompok, memahami dinamika hubungan antarpribadi, serta mengenal kekuatan dan
kelemahan baik diri senddiri maupun rekan kerjanya. Teknik-teknik kelompok berfokus pada
membangun tim kerja yang efektif dalam meningktkan berbagai keterampilan. Sejumlah
teknik pelatihan telah tersedia untuk meningkatkan kinerja kelompok kerja atau tim,
membentuk tim baru, atau meningkatkan interaksi antara tim yang berbeda. Misalnya, teknik
tersebut meliputi kepercayaan yang menurun, (dimana setiap orang yang dilatih berdiri di
atas meja dan jatuh dan jatuh ke belakang pada lengan sesama anggota kelompok),
permainan simulasi perang perangan, teknisi NASCAR, memasak, rintangan tongkat bahkan
drum. Seluruh fungsi tim membahas, serta mengembangkan dengan kinerja tim di lingkungan
kerja.
Metode-metode membangun kelompok terbagi pada tiga ketegori, yaitu
pembelajaran, petualangan, pelatihan tim, dan pembelajaran tindakan. Metode membangun
kelompok sepengring sekali meliputi pembelajaran melalui pengalaman. Program pelatihan
pembelajaran melalui pengalaman meliputi perolehan pengetahuan tentang konsep dan teori,
mengambil mulasi bagin pada simulasi perilaku, menganalisis aktivitas, serta teori dan
aktivitas dengan menghubungkan teori dan aktivitas dengan situasi di tempat kerja atau
kehiupan nyata (Sinambala, 2012).
Kalau begitu,, supaya program-program pelihan melalui pengalaman dapat berhasil,
ada beberapa pedoman yang harus diikuti dengan masalah bisnis tertentu. Pegawai yang
dilatih harus bergerak keluar zona kenyamanan pribadi, tetapi dalam batasan tertentu
sehingga tidak mengurangi motivasi pegawai yang dilatih atau kemampuan untuk memahami
tujuan dari program. Beberapa metode pembelajaran yang harus digunakan melipuit audio,
visual, dan kinestetik. Ketika mempersiapkan program pelatihan melalui pengalaman, para
pelatih harus meminta masukan kepada orang-orang yang dilatih tentang berbagai sasaran
program. Selin itu, berbagai sasaran program. Selain itu, berbagai harapan yang jelas tetang
tujuan, hasil-hasil yang diharapkan, dan peran-peran orang yang dilatih pada program
tersebut adalah penting.
J. Pelatihan Tim
Pelatihan tim menyelaraskan kinerja para individu yang bekerja sama untuk mencapai
sasaran bersama. Peltihan semacam ini merupakan masalah penting ketika informasi harus
dibagi dan para individu memengaruhi seluruh kinerja kelompok. Misalnya, pada sektor
militer dan swasta (yang memikirkan pembangkit tenaga listrik dan penerbanga komersial),
banyak pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja, kelompo atau tim. Keberhasilan
bergantung pada penyelarasan berbagai aktivitas individu untuk mengambil keputusan
(Sinambela,
2012)
Berbagai strategi peltihan tim meliputi pelatihan silang dan pelatihan koordinasi.
1. Peltihan silang (Cross training), para anggota memahami dan mempraktikan berbagai
keterampilan lainnya sehingga para anggota siap bertindak dan mengambil posisi anggota
lainnya.
2. Pelatihan koordinasi (Cooordination Training) melatih tim tentang cara berbagi informasi
dan berbagai keputusan untuk meningktkan kinerja tim. Misalnya, peltihan
koordinasiterutama penting pada penerbangan komersial dan tim bedah, yang memantau
berbagai aspek peralatan dan lingkungan yang berbeda-beda, tetapi harus berbagi agar
dapat mengambil keputusan paling efektif tentang perawatan pasien dan kinerja pesawat.
3. Pelatihan pemimpin tim (Team Leader Training) mengacu pada pelatihan bagi manajer
atau penhedia program. Hal ini mungkin melibatkan paltihan bagi manajer tentang cara
mengatasi konflik dalam tim atau membantu berbagai aktivitas penyelarasan tim atua
keterampilan lainnya.

K. Metode Demontrasi dan contoh


Suatu demonstrasi menunjukkan dan merencanakan bagaimana suatu pekerjaan atau
bagaimana sesuatu itu dikerjakan. Metode ini melibatkan penguraian dan memeragakan
sesuatu melalui contoh-contoh. Metode ini sangat mudah bagi manajer dalam mengajarkan
pegawai baru mengenai aktivitas nyata melaui suatu tahap perencanaan dari “Bagaimana dan
apa sebab” pegawai mengerjakan pekerjaan yang ia kerjakan. Metode ini sangat efektif,
kaena lebih mudah menunjukkan kepada peserta cara mengerjakan suatu tugas, karena
dikombinasikan dengan alat Bantu belajar seperti : gambar-gambar, teks materi, ceramah,
diskusi.
L. Metode Magang/ Apprenticeship Training
Magang adalah suatu pembekalan pegawai baru dengan cara belajar langsung dengan
senior dan diawasi oleh para pakar atau ahlinya. Untuk mendapatkan skill yang sama dengan
masternya dibutuhkan waktu yang relatif cukup lama.

B. TEKNOLOGI PELATIHAN
Perkembangan teknologi memungkinkan penggunaan jumlah media yang
berbedauntuk pelatihan. Teknologi memiliki dampak besar pada pelaksanaan program
pelatihan.beberapa diantaranya dapat menggunakan pelatihan berbasis komputer,
pembelajaran berbasis on line,campuran sedang belajar, simulasi,Maya realitas ,seluler
teknologi, CerdasBimbingan Belajar Sistem, dan pembelajaran jarakjauh. Pemanfaatan media
danb ahanterbuka sedikit berbasis teknologi dalam pelatihan membutuhkan kolaborasi antar
bidang pelatihan,teknologi informasi, dan manajemen pelatihan. selain itu, ? kebutuhan,
desain,transfer, dan evaluasi (desain pelatihan) adalah komponen penting dari
penggunaanteknologi yang efektif pada pelatihan.

1. Pelatihan Berbasis Komputer

Pelatihan berbasis komputer (Komputer Berdasarkan Pelatihan) adalah pengalaman


pelatihan interaktif dimana komputermeny ediakanrangsangan belajar,peserta pelatihan
harus merespon, dan komputer menganalisis tanggapan dan memberikan umpan
balikuntuk peserta pelatihan. CBT dapat berisi video interaktif, CD ROM, dan sistem
lainyang didukung oleh komputer. CBT, salah satu teknologi baru yang pertama
untukdigunakan dalam pelatihan, telah menjadi lebih modern dengan perkembangan
piringanlaser, DVD, dan CD ROM dan dengan dan penggunaan Internet. Teknologiini
memungkinkan penggunaan yang lebih besar dari video dan audio lebih dariteknologi
yang hanya mengandalkan komputer.

2. Pembelajaran Berbasis On line: Internet, jaringan, Pembelajaran Elektronik, dan Pintu


gerbangPembelajaran

 InternetInternet adalah alat yang banyak digunakan untuk komunikasi, metode


untukmengirim dan menerima komunikasi dengan cepat dan murah, dan
menjadimedia untuk mengumpulkan sumber daya seperti perangkat lunak dan
laporan.untuk mendapatkan akses ke Internet, Anda membutuhkan komputer
pribadidengan koneksi langsung melalui jaringan yang ada atau modem untuk
panggil keInternet.

 Dunia Lebar Web (WWW)Dunia Lebar Web (WWW) adalah layanan mudah
digunakan di Internet. Webmenyediakan perangkat lunak peramban (misalnya,
Microsoft Internet Penjelajah, Netscape) yang memungkinkan dan sebuahuntuk
menjelajah Web. selain perangkatlunak peramban, anda juga membutuhkan mesin
pencari (misalnya, Yahoo,Google) untuk mencari informasi tentang topik pilihan.

 Pembelajaran on lineatau pembelajaran elektronik.


Pembelajaran ini mengacu pada instruksi dan mempersembahkan pelatihan
olehkomputer secara on line melalui Internet atau belajar web. Pelatihan On
linetermasuk pelatihan berbasis web, pembelajaran jarak jauh, dan ruang
kelasMaya; mungkin melibatkan CD ROM. Pembelajaran on line dapat
mencakupdukungan berdasarkan tugas, pelatihan berbasis simulasi, pembelajaran
jarak jauh, dan po rtalbelajar. Ada tiga karakteristik penting daripembelajaran on
line.Pertama, pembelajaran on line melibatkan jaringan elektronik
yangmemungkinkan informasi dan instruksi yang akan disampaikan, bersama,
danditerima langsung. Kedua, pembelajaran on line dikirim ke peserta
pelatihanmenggunakan komputer dengan teknologi Internet. Ketiga, fokus pada
solusiyang melebihi pelatihan tradisional oleh termasuk pengiriman informasi
danalat-alat yang meningkatkan kinerja belajar.

3. Campuran Lear ning

Campuran sedang belajar menggabungkan pembelajaran on line, instruksi tatap


muka,dan metode lain untuk mendistribusikan konten pembelajaran dan pengajaran.
program campuran sedang belajar menyediakan peserta pelatihan dengan fitur positif
darikedua instruksi tatap muka dan pengiriman berbasis teknologi dari berbagai metode
pembelajaran (seperti belajar on line, pembelajaran jarak jauh, atau teknologi
selulerseperti iPod dan PDA) dan seperti fitur negatif masing-masing.

4. Simulasi

Simulasi adalah pemanfaatan pengembangan perangkat lunak menjadi


sebuahsimulator dalam kegiatan pelatihan. Hal ini memudahkan peserta pelatihan dapat
belajar secara langsung terkait objek pelatihannya. Sifat dari simulator inimenghadirkan
pembelajaran berdasarkan pengalaman berarti mendetail bagi peserta pelatihan.

5. Maya Realitas

Maya realitas adalah teknologi berbasis komputer yang menyediakan


pesertadengan pengalaman belajar tiga dimensi. Maya realitas memungkinkan
simulasiuntuk menjadi lebih realistis. menggunakan peralatan khusus atau melihat
modelMaya pada layar komputer, peserta pelatihan bergerak melalui lingkungan
simulasidan berinteraksi dengan komponen teknologi yang digunakan untuk adalah
beberapa zaman inddari p esertapelatihan. dalam formasiestafet dari lingkungan untukind
ra.Misalnya, audio antarmuka, sarung tangan yang memberikan rasa Sentuhan, pekerjaan
yg membosankan,atau platform gerak yang digunakan untuk menciptakan lingkungan
yang realistis, buatan. Perangkat juga dikomunikasikan informasi tentang gerakan peserta
pelatihan ke komputer. Perangkat ini memungkinkan peserta pelatihan untukmengalami
kehadiran (persepsi benar-benar berada dalam lingkungan tertentu).

6. Seluler Logika teknologi

Teknologi seluler memungkinkan belajar terjadi di mana saja kapan saja.teknologi


seluler terdiri dari :

 Sistem transmisi nirkabel seperti Wifi dan Bluetooth yang memungkinkantransmisi data
tanpa perlu koneksi fisik antar perangkat atau antara perangkatdan koneksi Internet.

 Perangkat seluler seperti asisten pribadi digital (PDA), MP3 pemain, komputer portabel,
iPod, g globalpenentuan posisi batang sy(GPS) perangkat, dan chipmelihatfrekuensi radio
(RFID).

 Perangkat lunak aplikasi yang berhubungan dengan pengolahan mengajukan audio,


pengolahkata, lembar kerja, Internet, surel, dan pesan instan.

7. Cerdas Bimbingan Belajar batang sy(NYA)

Cerdas Bimbingan Belajar Sistem (NYA) adalah sistem instruksional


yangmenggunakan kecerdasan buatan. Ada tiga jenis lingkungan NYA: les, pembinaan,
dan pemberdayaan. Bimbingan belajar adalah upaya terstruktur untuk meningkatkan
pemahaman peserta pelatihan dari domain konten. Pelatihan memberikan peserta pelatihan
dengan fleksibilitas untuk berlatih keterampilan dalam lingkungan
buatan.Memberdayakan mengacu pada kemampuan siswa untuk secara bebas
dieksplorasiisi dari program pelatihan

8. Pembelajaran Jarak Jauh

Pembelajaran jarak jauh digunakan oleh perusahaan secara geografis


untukmemberikan informasi tentang produk-produk baru, kebijakan, atau prosedur
sertamemberikan pelatihan keterampilan dan kuliah. Pembelajaran jarak jauh
dapatmencakup ruang kelas Maya, yang memiliki kemampuan sebagai berikut:
proyeksidiam, animasi, dan gambar video; instruktur-peserta diskusi audio; berbagi
aplikasi perangkat perangkat lunak komputer;interaksi mengg unakanpolling
teknologiinstan; d analat papan tulis. Jarak belajar fitur komunikasi doa arah antara orang,
dan saat inimelibatkan doa jenis teknologi. Dua jenis tersebut adalah telekonferensi dan
pelatihan pribadi berbasis komputer. karyawan berpartisipasi dalam pelatihan dimana saja
mereka memiliki akses ke komputer pribadi. jenis pembelajaran jarak jauhmungkin
melibatkan metode pelatihan multimedia seperti pelatihan berbasis Web.bahan pelajaran
dan tugas dapat terdistribusi menggunakan intranet, video, atauCD ROM perusahaan.
Pelatih dan peserta pelatihan berinteraksi menggunakan e-surat, papan buletin, dan sistem
konferensi.
BAB XII
PENYUSUNAN DOKUMEN DIKLAT
A. Penyusunan Dokumen, Perencanaan
1. Perencanaan Diklat
Analisis kebutuhan Diklat JFA lebih diarahkan pada kebutuhan pelatihan
tingkat jenjang kepangkatan/posisi dan tingkat individu dengan melakukan
penyesuaian peran jabatan auditor dan standar kompetensi auditor secara individual
dibandingkan pertimbangan kebutuhan pelatihan tingkat organisasi. Hal ini tergambar
dari hasil wawancara dengan para pejabat struktural dari unit organisasi pengguna
yang menyatakan bahwa kenaikan jabatan auditor dilakukan semata-mata karena
auditor yang bersangkutan sudah memenuhi angka kredit untuk naik ke jabatan yang
lebih tinggi, meskipun jumlah jabatan auditor tersebut sudah melebihi formasi jabatan
auditor yang dibutuhkan pada unit organisasi tersebut.
Sasaran Diklat Jabatan Fungsional Auditor mungkin untuk dicapai dan cukup
relevan, tetapi belum spesifik, sulit diukur, dan belum ada kurun waktunya.
Sasaran Diklat Auditor belum dinyatakan secara spesifik, sehingga
memungkinkan setiap orang untuk menafsirkan secara berbeda (ambiguitas) atas
maksud dari sasaran tersebut. Sebaliknya sasaran yang dinyatakan secara spesifik
akan memudahkan mengalokasikan sumber daya secara efektif dan dapat
mengidentifikasi kelemahandan permasalahan secara cepat dan akurat.
Kelemahan lainnya adalah sasaran Diklat Auditor belum memiliki jangka
waktu. Jangka waktu sangat penting dalam tahap perencanaan, terutama apabila
sejumlah sasaran merupakan bagian dari jangka panjang program. Selain itu, jangka
waktu juga akan membantu perencana menyelesaikan tugas mereka secara tepat
waktu, menetapkan prioritas beban kerja, dan membantu peserta menerapkan aktivitas
pelatihan dengan pekerjaan mereka dengan pemanfaatan waktu secara efektif dan
efisien.
Beberapa kekurangan dan kelemahan dalam kurikulum Diklat JFA adalah:
a. Sudah tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang berubah.
b. Kurang mendukung tugas pokok dan fungsi sebagai seorang auditor.
c. Beberapa mata ajar membahas materi yang sama sehingga terkesan
tumpang tindih.
d. Antara mata ajar satu dengan mata ajar lain yang seharusnya berkaitan
belum ada kesinambungan.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, kurikulum yang digunakan dalam Diklat
JFA tidak dapat lagi berperan sebagai rencana pembelajaran yang dapat menjangkau
tujuan jangka panjang pelatihan. Menurut Hilda Taba dalam Fauzi (2011: 69),
penyusunan kurikulum dan isi materi pelatihan perlu mempertimbangkan kriteria-
kriteria sebagai berikut:
a. menggambarkan pengetahuan dan ketrampilan yang mutakhir.
b. relevan dengan realitas sosial dan kultural masyarakat pengguna hasil
pelatihan.
c. mencakup berbagai tujuan berupa pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.
d. disesuaikan dengan kemampuan peserta dan dapat dihubungkan dengan
pengalamannya.
e. sesuai dengan kebutuhan dan minat peserta.
Kelemahan tersebut disebabkan, penyusunan kurikulum Diklat JFA dilakukan
secara deduktif yang dimulai dari langkah penentuan prinsip-prinsip dan kebijakan
dasar, mengembangkan rumusan kesepakatan dengan stakeholder, merumuskan
rancangan kurikulum, menyusun unit-unit kurikulum, dan mengimplementasikan
kurikulum didalam kelas.
Beberapa kekurangan dan kelemahan dalam isi materi/modul Diklat JFA
adalah:
a. Materi diklat belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan peserta terhadap
kompetensi tertentu.
b. Materi juga masih cenderung ke pekerjaan audit, padahal fungsi auditor
saat ini juga mencakup fungsi konsultasi.
c. Penyusunan modul belum ada keseragaman, diantaranya tidak
mencantumkan TPU, TPK dan Daftar Pustaka.
d. Tidak semua modul dilengkapi dengan Buku Kerja.
e. Beberapa mata ajar masih menguraikan dan menjelaskan materi yang lebih
cocok untuk manajemen, belum secara spesifik mengarah pada materi
yang sesuai untuk peningkatan kompetensi auditor.
f. Dalam modul pada umumnya belum ada ikhtisar yang menguraikan isi
modul secara singkat ataupun kesimpulan isi modul.
g. Modul pada umumnya tidak menguraikan manfaat materi dalam modul
dalam penerapan di tempat kerjanya.
h. Modul kurang memuat contoh-contoh kasus.
Panduan instruktur terdiri dari RBPMD (Rancang Bangun Pembelajaran Mata
Diklat) dan RP (Rencana Pembelajaran). Berdasarkan hasil penelitian, RBPMD, RP,
dan Slide disusun berdasarkan modul dan buku kerja. Selama modul tidak berubah,
biasanya RBPMD dan RP tidak berubah. RP disusun oleh widyaiswara hanya
formalitas untuk tujuan penyusunan angka kredit, dan biasanya tidak banyak berubah
dari RP periode sebelumnya.
Hasil observasi menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
Pusdiklatwas BPKP sudah cukup lengkap dan memadai. Sarana terdiri media diklat,
peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk kegiatan diklat. Sedangkan
prasarana diklat terdiri dari prasarana utama dan prasarana penunjang.
Pengajar Diklat Fungsional Auditor sebagian besar adalah para widyaiswara
Pusdiklatwas BPKP. Para widyaiswara tersebut secara formal telah memiliki sertifikat
kelulusan menjadi widyaiswara yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan
Widyaiswara, Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan telah melalui evaluasi
kompetensi untuk diklat tertentu. Dengan demikian, secara umum mereka sudah
memiliki kemampuan yang memadai dalam merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi pembelajaran. Namun mereka belum melalui uji kompetensi sebagai
pengajar spesialisasi mata ajar Diklat Fungsional Auditor. Hal ini disebabkan LAN
belum memiliki asesor yang mampu menilai pengajar spesialis Diklat Fungsional
Auditor, mengingat mata ajar diklat ini cukup spesifik. Selain itu, Daftar Pengampu
disusun berdasarkan usulan dan minat dari widyaiswara, bukan didasarkan pada
kompetensi mereka.
Kriteria calon peserta yang diperbolehkan mengikuti Diklat JFA yang
dilaksanakan selama ini masih bersifat normatif, yaitu persyaratan ijazah pendidikan
tertentu atau memiliki sertifikat JFA setingkat lebih rendah, pangkat tertentu, jumlah
angka kredit tertentu dan diusulkan oleh pimpinannya. Pimpinan unit organisasi pada
umumnya belum memperhatikan integritas, sikap profesional, kinerja, minat, potensi,
dan kompetensi umum dari calon peserta sebelum mengusulkan peserta Diklat JFA,
misalnya dengan menyelenggarakan Assessment, Psikotes, atau Tes Potensi
Akademik terhadap calon peserta..

B. Penyusunan Dokumen Pelaksanaan Diklat


Berdasarkan hasil observasi, pada umumnya WI cukup menguasai materi diklat
dan mampu menjelaskan materi secara sistematis sesuai modul dengan bahasa yang
sederhana dan contoh-contoh penerapan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga mudah dipahami oleh peserta. Selain itu, manajemen waktu oleh WI
juga cukup baik. Widyaiswara juga mampu mengajak sebagian besar peserta terlibat
dalam diskusi yang cukup dinamis, baik berupa pertanyaan, menceritakan pengalaman di
tempat bekerja, implementasi teori di tempat kerja. WI mampu menjawab pertanyaan atau
komentar peserta dengan baik, serta mampu menghubungkan teori/materi yang
disampaikan dengan kondisi di dunia nyata. WI juga cukup memberikan perhatian kepada
peserta.
Berdasarkan hasil penelitian, metode pembelajaran yang sering digunakan oleh
widyaiswara Diklat JFA adalah presentasi materi, tanya jawab, diskusi kelompok, studi
kasus, dan latihan soal ujian sertifikasi. Metode presentasi materi atau ceramah menjadi
metode yang paling dominan dipilih dan digunakan oleh widyaiswara disebabkan oleh
waktu yang digunakan untuk menyampaikan materi lebih cepat, menyesuaikan diri
dengan fasilitas pelatihan yang tersedia, dalam hal ini adalah ruang kelas yang kecil
dengan tipe kelas tradisional dengan jajaran meja dan kursi yang lurus, serta dan tidak
memerlukan keterampilan yang rumit dari pengajar.

C. Penyusunan Dokumen Evaluasi Diklat


Menurut hasil pengamatan dan wawancara, evaluasi atas Diklat JFA dilakukan
oleh peserta Diklat JFA untuk menilai kinerja widyaiswara, materi diklat, dan
penyelenggaraan diklat. Evaluasi widyaiswara dan materi diklat dinilai oleh peserta
setiap selesai mata ajar, sedangkan evaluasi penyelenggaraan diklat dinilai pada akhir
diklat. Sedangkan evaluasi terhadap peserta Diklat JFA tidak dilakukan secara khusus,
tetapi hanya dilihatdari tingkat kelulusan peserta dibandingkan dengan jumlah peserta
yang mengikuti diklat.
Apabila mengacu pada Model Evaluasi Kirkpatrick, evaluasi diklat JFA yang
dilakukan oleh Pusdiklatwas BPKP masih pada Tahap 1 (Reaksi) dan masih perlu
meningkatkan model evaluasinya ke tahap 2 (pembelajaran) dan tahap 3 (perilaku),
sebelum mulai melakukan evaluasi tahap 4 (hasil), apalagi dengan menggunakan
metode ROI, sehingga akhirnya hasil evaluasi ini dapat mendorong pelatihan yang
benar-benar efektif.
Pada umumnya, peserta Diklat tidak difasilitasi untuk menyusun rancangan
transfer Diklat selama Diklat berlangsung. Beberapa materi pembelajaran Diklat JFA
sampai saat ini belum dapat diterapkan oleh peserta karena pekerjaan
yangdilaksanakan lebih banyak non audit, sedangkan materi pembelajaran lebih
cenderung kepada audit. Selain itu, kurangnya waktu praktek dalam pembelajaran dan
peserta tidak diberikan referensi tambahan, menyebabkan peserta kesulitan
menerapkan teori dalam pekerjaan. Beberapa materi memang tidak relevan dengan
pekerjaan auditor. Tupoksi, SOP, dan standar kinerja.
Disusunnya sebuah laporan biasanya untuk informasi tentang kegiatan yang
telah dilakukan dan isinya memuat hal-hal yang dapat menjawab semua pertanyaan
mengenai: apa (what), mengapa (why), siapa (Who), dimana (where), kapan (when),
bagaimana (how).
Tujuan laporan pengendali pelatihan dimaksudkan untuk menyajikan hasil
pengendalian pelatihan dimulai dari persiapan, proses penyelenggaraan dan evaluasi
pembelajaran dari sebuah pelatihan, untuk digunakan bagi pihak yang membutuhkan
terutama pemberi tugas.
Dalam penyusunan laporan perlu dipahami terlebih dulu tentang hal ikhwal
laporan yaitu pentingnya Laporan kegiatan, macam laporan kegiatan dll. Laporan
kegiatan merupakan alat yang penting untuk:
1. Dasar penentuan kebijakan dan pengarahan pimpinan.
2. Bahan penyusunan rencana kegiatan berikutnya.
3. Mengetahui perkembangan dan proses peningkatan kegiatan.
4. Data sejarah perkembangan satuan yang bersangkutan dan lain-lain.
Langkah- langkah dalam penyusunan laporan
a. Mengumpulkan dokumen sebagai bahan untuk pembuatan laporan sesuai peran dan
fungsi pada persiapan sebagai pengendali pelatihan, seperti misalnya :Hasil kajian
kurikulum (kompetensi peserta, kesesuaian Isi dan komponen didalam GBPP dari
setiap materi, kajian skenario proses pembelajaran, jadwal pembelajaran/sekuen
materi, kajian tentang SDM (Peserta,Fasilitator),
b. Mengumpulkan dokumen pada saat pelaksanaan pengendali pelatihan berupa:
1. Hasil kajian pengendalian proses pelatihan, seperti monitoring kesiapan peserta,
fasilitator, penyelenggara.
2. Catatan proses pelatihan hari demi hari dari pembukaan, proses pembelajaran
sampai penutupan, dengan beberapa catatan penting baik yang positif maupun yang
negatif yang perlu di munculkan dalam penulisan laporan.
c. Mengumpulkan dokumen pada saat evaluasi pengendali pelatihan berupa:
1. Hasil kajian pengendalian proses pelatihan,seperti monitoring kesiapan peserta,
fasilitator, penyelenggara.
2. Hasil kajian pre/post test (nomor-nomor pre test yang sulit dijawab oleh peserta,
rata-rata hasil test, nilai terendah dan nilai tertinggi)
3. Hasil indikator keberhasilan proses pembelajaran (rekapitulasi pre/post test)
4. Hasil evaluasi fasilitator
5. Hasil evaluasi penyelenggaraan
d. Menulis laporan dengan sistimatika /format yang sesuai kebutuhan laporan.
e. Menyampaikan laporan kepada pemberi tugas.
BAB XIV
PRAKTEK PENYUSUNAN DOKUMEN DIKLAT

A. Praktek cara penyusunan dokumen perencanaan pelatihan, pelaksanaan pelatihan


dan evaluasi pelatihan
Tujuan diklat dapat didefinisikan sebagai pernyataan formal yang jelas dari suatu
hasil akhir yang diharapkan dari pelatihan, yang dapat dicapai melalui serangkaian
kegiatan yang dirinci dalam bentuk program-program pembelajaran. Tujuan yang baik
harus memiliki karakteristik yang spesifik (specific), terukur (measurable), dapat dicapai
(achievable), relevan (relevant), dan memiliki jangka waktu (time-bound), yang sering
disingkat SMART. (Rae, 2005, hlm. 57).
Menurut Audrey Nicholls dan Howard Nicholls dalam Hamalik (2010, hlm. 96),
pengembangan kurikulum dapat dirumuskan VHEDJDL³The planning of learning
opportunities intended to bring about certain desired in pupils, and assessment of the
extent to which these changes
have take place.
Dalam menetapkan isi materi dalam kurikulum pelatihan, dapat digunakan kriteria
yang dikemukakan Hilda Taba dalam Fauzi (2011, hlm. 69) sebagai berikut:
1. Menggambarkan pengetahuan dan ketrampilan yang mutakhir.
2. Relevan dengan realitas sosial dan kultural masyarakat pengguna hasil
pelatihan.
3. Mencakup berbagai tujuan berupa pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.
4. Disesuaikan dengan kemampuan peserta dan dapat dihubungkan dengan
pengalamannya.
5. Sesuai dengan kebutuhan dan minat peserta.

Panduan diklat terdiri dari Rancang Bangun Pembelajaran Mata Diklat (RBPMD) dan
Rencana Pembelajaran (RP). Menurut Prawiradilaga (2008), RBPMD merupakan rumusan
tujuan dan pokokpokok isi mata kuliah yang didalamnya terdiri dari:tujuan instruksional
umum,
BAB XV
PENYUSUNAN LAPORAN PENYELENGGARAAN SESUAI DENGAN KETENTUAN

Laporan merupakan tahap akhir dari kegiatan pendidikan dan pelatihan. Satu minggu
setelah berakhirnya pendidikan dan pelatihan, instansi penyelenggara pendidikan dan
pelatihan diwajibkan menyusun laporan tentang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
Laporan disampaikan kepada eselon I, atasan langsung yang bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tersebut, dan kepada instansi pembina fungsional
diklat. Kewajiban untuk menyampaikan laporan itu tertuang dalam surat keputusan panitia
penyelenggara diklat surat edaran ketua LAN No. 26/Seklan/1/1978, tanggal 14 januari 1978
disebutkan tentang tata cara pembuatan laporan :
Memberikan laporan kepada instansi pembina fungsional diklat pegawai negeri
tentang :
Telah selesainya semua program diklat yang telah disetujui oleh instansi pembina fungsional
pada akhir tahun anggaran yang bersangkutan. Penyelenggara semua program diklat yang
telah disetujui oleh instansi pembina fungsional pada akhir tahun anggaran yang
bersangkutan. Telah dapat diselenggarakan suatu program diklat yang telah disetujui oleh
instansi pembina fungsional pada setiap akhir tahun anggaran. Memberikan laporan kepada
instansi pembina fungsional diklat pegawai negeri tentang :
1. Program diklat yang diselenggarakan
2. Anggaran yang digunakan dalam pelaksanaan diklat
3. Kurikulum yang disusun untuk penyelenggaraan diklat
4. Tenaga pengajar yang ditugaskan untuk menangani diklat
5. Peserta yang mengikuti diklat
6. Fasilitias yang digunakan untuk penyelenggaraan diklat
7. Penilaiaan tentang penyelenggaraan diklat
Setiap selesainya program diklat pegawai negeri maka para kepala badan atau pejabat
yang bertanggung jawab dalam diklat tersebut wajib menyampaikan laporan kepada ketua
LAN, materi laporan :
1. Peserta
2. Program pengajaran
3. Personil
4. Organisasi penyelenggara
5. Sarana dan prasaran
6. Biaya
7. Tamatan
Dalam praktek kegiatan laporan ini biasanya dilakukan dan disesuaikan dengan jenis dan
lamanya diklat. Pada umumnya laporan dilaksanakan dalam waktu : sebelum, selama, dan
sesudah diklat. Secara rinci laporan Diklat memuat hal-hal seperti pada surat edaran ketua
LAN No. 26/Seklan/1/1978 :
1. Peserta
Disebutkan tentang jumlah peserta sesuai dengan panggilan dan jumlah peserta
yang hadir sampai penutupan. Disebutkan asal masing-masing unit kerjanya.
Jumlah yang berhasil menyelesaikan sesuai dengan persyaratan.
2. Program pengajaran
Dalam program ini dilaporkan tentang rencana yang akan dilaksanakan. Jumlah
jam yang tersedia sesuia dengan rencana program pengajaran, jenis mata pelajaran
yang akan disajikan, keterampilan yang akan diterima oleh peserta serta kegiatan
lainnya. Jumlah jam yang dicapai selama diklat berlangsung dan kegiatan lainnya
yang diperoleh oleh peserta. Kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan dengan
disertai alasan.
3. Personil
Beberapa jumlah tenaga penyelenggara yang menangani diklat, kedudukan
masing-masing anggota serta tugasnya.
4. Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana apa yang dapat dipakai oleh penyelenggara diklat. Apakah
prasarana itu disewa atau milik sendiri. Demikian juga sarana diklat yang
berkaitan dengan audio visual.

5. Biaya
Mengenai biaya dilaporkan tentang jumlah biaya yang telah dipergunakan,
dibandingan dengan rencanannya, sesuai masing-masing komponen.

6. Tamatan
Dilaporkan tentang jumlah peserta yang berhasil menyelesaikan diklat. Mereka
yang berhak menerima STTPL. Bagi instansi asal peserta dapat dilaporkan
pengembalian peserta disertai dengan hasilnya. Dalam laporan ini perlu
disinggung masalah hambatan-hambtan selama penyelenggaraan diklat,
termasuk bagaimana pemecahannya. Bentuk laporan bisa berupa metrik
maupun essai.

Format laporan penyelnggaraan Diklat terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu :


1. Format Laporan Penyelenggaraan Diklat (Format 1)
2. Format Laporan Tahunan Penyelenggaraan Diklat (Format 2a, 2b, dan 2c)
Mekanisme Laporan Penyelenggaraan Diklat
Laporan penyelenggaraan Diklat yang disusun oleh instansi penyelenggara Diklat
dengan menggunakan format 1 dan 2, disampaikan melalui mekanisme sebagai
berikut :
Mekanisme untuk format 1 :
Setiap penyelenggara Diklat (Diklat Kepemimpinan, Diklat Prajabatan, Diklat
Teknis, maupun Diklat Fungsional) wajib menyusun Laporan Penyelenggaraan
Diklat selambat-lambatnya 1 minggu setelah Diklat berakhir dengan
menggunakan format 1 (point D).
Laporan Penyelenggaran Diklat sebagaimana dimaksud diatas disampaikan
kepada pimpinan lembaga Diklat masing-masing.
Mekanisme untuk format 2 :
Setiap penyelenggara Diklat (Diklat Kepemimpinan, Diklat Prajabatan, Diklat
Teknis, maupun Diklat Fungsional) wajib menyusun Laporan Penyelenggaraan
Diklat selambat-lambatnya 1 minggu setelah Diklat berakhir dengan
menggunakan format 2 (point D).
Laporan penyelenggaran Diklat sebagaimana dimaksud di atas disampaikan
kepada Deputi Bidang Pembinaan Diklat Aparatur Lembaga Administrasi Negara
selambat-lambatnya pada bulan kedua tahun anggaran berikutnya.
Laporan diketik pada kertas F4 (Folio) dengan huruf Arial/Arial Narrow/Times
New Roman, ukuran 10 dengan spasi 1 (satu).
Laporan dinyatakan sah apabila telah disyahkan oleh penanggung jawab program
Diklat dalam bentuk tanda tangan dan stempel lembaga Diklat penyusun
Laporan.

Anda mungkin juga menyukai