Pengaruh Suhu dan Kedalaman Terhadap Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna di Perairan
Samudera Indonesia Selatan Pulau Jawa
Influence of Temperature and Depth to Yellowfin Tuna Catches in Indonesian Ocean
Waters, South of Java Island
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di PPS. Cilacap dengan daerah penangkapan Samudera Indonesia
pada bulan Maret sampai dengan Mei 2020 yang bertujuan untuk menmgetahui pengaruh suhu
air laut dan kedlaman pancing terhadap hasil tangkapan yellowfin tuna. Pengumpulan data
primer dilakukan dengan pengamatan langsung mengikuti operasi penangkapan long line
selama 1 (satu) trip dengan KM. Trans Bahari 3, meliputi data waktu setting dan hauling,
panjang main line, jumlah pancing, hasil tangkapan, daerah penangkapan (fishing ground),
serta data suhu dan kedalaman perairan. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan
melalui wawancara dan data Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Analisa data dilakukan
dengan menghitung nilai hook rate, kedalaman mata pancing, serta pengaruh suhu dan
kedalaman pancing terhadap hasil tangkapan yellowfin tuna melalui metode uji t. Dari hasil
Analisa data diperoleh nilai total hook rate sebesar 1,33, kedalaman mata pancing berada
antara 90,2 m – 181,4 m, dengan kisaran suhu vertikal antara 12,5⁰ C – 25,0⁰ C. Pengaruh
suhu dan kedalaman terhadap hasil tangkapan yellow tuna berpengaruh nyata (significant)
antara kedalaman A dengan C, sedangkan antara kedalaman A dengan B, dan kedalaman B
dengan C masing-masing tidak memberikan perbedaan yang nyata (non significant).
Kata kunci : tuna, suhu, kedalaman
ABSTRACT
This research was conducted at PPS. Cilacap with the Indonesian Ocean fishing ground from
March to May 2020 which aims to determine the effect of sea water temperature and fishing
depth on the catch of yellowfin tuna. Primary data collection was carried out by direct
observation following the long line fishing operation during 1 (one) trip with KM. Trans Bahari
3, includes data on setting and hauling time, length of main line, number of fishing rods,
catches, fishing ground, and temperature and depth data. Meanwhile, secondary data
collection was carried out through interviews and data from the Cilacap Ocean Fishing Port.
Data analysis was performed by calculating the value of the hook rate, the depth of the hook,
and the influence of temperature and fishing depth on the catch of yellowfin tuna through the t
test method. From the results of data analysis, the total hook rate is 1.33, the depth of the hook
is between 90.2 m - 181.4 m, with a vertical temperature range between 12.5⁰ C - 25.0⁰ C. Effect
of temperature and depth on the results the catch of yellow tuna has a significant effect
(significant) between depths A and C, while between depths A and B, and depths B and C each
do not provide a significant difference (non significant).
Key words: Tuna, temperature, depth
181
Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 2 Dec 2020 : 181 – 190, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638
182
Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 2 Dec 2020 : 181 – 190, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638
tuna long line pada umumnya. Sebagaimana dalam Kurniawan R., et al (2015), sebagai
dikatakan Tangke U., et al (2015), bahwa berikut:
kegiatan perikanan tangkap jenis ikan pelagis 𝐉𝐈
besar didominasi jenis yellowfin tuna 𝐇𝐑 = xA
𝐉𝐏
(Thunnus albacares), cakalang (Katsuwonus dimana:
pelamis), dan ikan tongkol (Euthynnus HR = laju pemancingan (hook rate)
affinis). Selanjutnya dikatakan bahwa dari
JI = lumlah ikan yang tertangkap (ekor)
permukaan laut sampai dengan batas atas JP = jumlah pancing yang digunakan (buah)
lapisan termoklin merupakan habitat A = 100 mata pancing (konstanta)
yellowfin tuna Tangke U., et al (2015). Kedalaman Mata Pancing
Berkaitan dengan habitat yellowfin tuna dan
Kecepatan kapal dalam pengoperasian
hubungannya dengan suhu air laut, maka
dalam penelitian ini bertujuan untuk alat tangkap, lama waktu penurunan alat
mengetahui pengaruh suhu air laut dan tangkap (setting), panjang tali utama (mine
kedalaman pancing terhadap hasil tangkapan line), panjang tali cabang (brach line), panjang
yellowfin tuna. tali pelampung (float line), dan banyaknya
pancing prawe (long line) dalam satuan blong
METODE PENELITIAN (basket) yang dioperasikan merupakan
Waktu dan Tempat komponen perhitungan posisi kedalaman
Kegiatan penelitian dilaksanakan mata pancing prawe (long line) dalam air laut,
selama 3 (tiga) bulan mulai Maret sampai dengan arus laut sebagai faktor koreksinya.
dengan Mei 2020 di Pelabuhan Perikanan Untuk memperhitungkan posisi mata pancing
Samudera Cilacap, dengan daerah pada penelitian ini digunakan rumus
penangkapan (fishing ground) perairan
Yoshihara (1951) dalam Nugraha B. et al
Samudera Indonesia sebelah selatan Pulau
(2009) sebagai berikut:
Jawa.
Metode Pengumpulan Data 𝐃 = 𝐛𝐥 + 𝐟𝐥 + ½𝐁𝐊 { √(𝟏 + 𝒄𝒐𝒕𝒈𝟐 𝐐) −
Pengumpulan data primer dilakukan √(𝟏 − 𝟐𝒋/𝒏)𝟐 + 𝒄𝒐𝒕𝒈𝟐 𝐐 }
dengan pengamatan langsung mengikuti dimana:
operasi penangkapan long line selama 1 (satu) D = kedalaman mata pancing (m)
trip dengan KM. Trans Bahari 3. Sedangkan bl = panjang branch line (m)
pengumpulan data sekunder dilakukan fl = panjang tali pelampung (m)
melalui survey, wawancara dan data BK = jumlah tali cabang dalam 1 basket
Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Q = + 1 (jumlah bagian dari tali utama)
Operasi penangkapan dilakukan sebanyak 24 arah garis singgung pada tali
(dua puluh empat) kali setting, dengan jumlah j = utama dan tali pelampung, yang
pancing sebanyak 1.560 setiap kali settingnya. besarnya Cotg 1/Cos h (k.tg Q)
Data yang dikumpulkan berupa data nomor posisi pancing.
operasional penangkapan, meliputi; waktu Dalam penggunaan rumus ini diberikan
setting dan hauling, panjang main line, jumlah nilai-nilai konstanta yang menghubungkan
pancing, hasil tangkapan, daerah antara k, besar sudut Q dan Cotg2Q. Posisi tali
penangkapan (fishing ground), serta data suhu utama (main line) dalam air diasumsikan
dan kedalaman perairan yang diperoleh bersifat melengkung sempurna, dan faktor
dengan bathythermograph. koreksi arus terhadap kedalaman mata
Metode Analisis Data pancing pada setiap strata perairan dianggap
Laju Pemancingan (Hook Rate) sama.
Nilai hook rate hasil tangkapan adalah Nilai konstanta kelengkungan
jumlah ikan (tuna atau jenis lain) yang didapatkan dengan menggunakan rumus :
tertangkap untuk setiap 100 mata pancing, 𝑽𝒌 𝒙 𝑻𝒔
dengan rumus perhitungan Klawe (1980) 𝐊=
𝑩𝑲 𝒙 ∑𝒃
183
Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 2 Dec 2020 : 181 – 190, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638
184
Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 2 Dec 2020 : 181 – 190, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638
sekitar 50 meter sampai dengan 300 meter Berkisar pada kedalaman antara 120,6 –
(Nontji, 2005) 145,6 meter, dengan frekuensi tertinggi
Tingkah laku ikan yang tidak senang antara 130 – 145 meter.
hidup pada semua range suhu, maka untuk - Kedalaman grup C (pancing nomer 21 -
mendapatkan ikan-ikan tersebut, kita harus 30 dan 31 - 40).
menurunkan mata pancing sampai pada Berkisar pada kedalaman antara 138,3 –
kedalaman yang suhunya sesuai dengan suhu 181,4 meter, dengan frekuensi tertinggi
habitat ikan tersebut. antara 160 – 180 meter.
KM. Trans Bahari 3 dalam operasi Hasil pengamatan selama penelitian,
penangkapan periode Maret sampai dengan diperoleh data sebaran suhu vertikal perairan
Mei 2020, menggunakan 60 (enam puluh) di daerah penangkapan berkisar antara 12,2⁰ C
mata pancing dalam setiap blong (basket). sampai dengan 24,9⁰C, dengan frekuensi
Maka dalam hal kedalaman pancing di tertinggi antara 12,5⁰ C sampai dengan 22⁰ C.
kelompokan menjadi 3 (tiga) grup tingkat Lapisan termoklin umumnya terdapat pada
kedalaman, yaitu pertama (A) untuk sub grup kedalaman 30 – 150 m dengan perubahan
1 (satu) dan sub grup 6 (enam); kedua (B) suhu kra-kira 0,2⁰ C tiap meter.
untuk sub grup 2 (dua) dan sub grup 5 (lima); Sebaran suhu vertikal pada kedalaman mata
serta ketiga (C) untuk sub grup 3 (tiga) dan pancing berdasarkan 3 (tiga) kedalaman,
sub grup 4 (empat). Hal ini karena untuk diperoleh data masing-masing, sebagai
pasangan masing-masing sub grup tersebut (1 berikut :
dan 6; 2 dan 5; 3 dan 4) kedalamannya
dianggap sama, dengan asumsi tali utama
dalam kedudukan melengkung dengan
sempurna (Gambar 2).
185
Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 2 Dec 2020 : 181 – 190, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638
186
Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 2 Dec 2020 : 181 – 190, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638
pemancingan (hook rate), yang juga dapat dengan frekuensi tertinggi antara 15 kg – 35
dipergunakan sebagai salah faktor dalam kg.
menentukan fishing ground (Kurniawan R., et Pengaruh Suhu dan Kedalaman Pancing
al, 2015). Terhadap Hasil Tangkapan
Gambaran secara pasti tentang
Hook rate daerah penangkapan
pengaruh suhu air laut terhadap hasil
berdasarkan data hasil tangkapan selama
tangkapan yellowfin tuna pada pengoperasian
penelitian, menunjukkan bahwa daerah
tuna long line didapatkan dengan cara
tersebut pada saat itu merupakan fishing
melakukan analisa data dengan metode uji t.
ground yang kurang baik (< 2%). Dimana dari
sehingga dihasilkan sebagai berikut :
hasil perhitungan total hook rate (catch/trip)
Perbandingan A dengan B
hanya sebesar 1,33 % dengan total hasil
tangkapan 365 ekor. Sedangkan berdasarkan Dari hasil perhitungan diperoleh nilai t
hitung 1,25 lebih kecil dari t table 5 % (2,069)
jenis ikannya, hook rate tertinggi dari jenis big
yang berarti tidak berbeda nyata (non
eye tuna sebesar 0,62 % dan terendah jenis
significant). Dengan demikian perbedaan
ikan albacore sebesar 0,004 %. suhu antara kelas suhu A (12,5⁰ – 16,6⁰ C) dan
kelas suhu B (16,6⁰ – 20,8⁰ C) tidak
memberikan perbedaan hasil tangkapan
yellowfin tuna untuk penangkapan dengan
tuna long line yang beroperasi di Samudera
Indonesia (sebelah selatan Pulau Jawa).
Perbandingan A dengan C
Hasil perhitungan diperoleh nilai t
hitung 2,10 lebih besar dari t table 5 % (2,069)
tapi lebih kecil dari t table 1 % (2,807) yang
berarti berbeda nyata (significant). Dengan
demikian perbedaan suhu antara kelas suhu A
(12,5⁰ -16,6⁰ C) dan kelas suhu ⁰C (20,9⁰ –
Gambar 6. Hook Rate Hasil Tangkapan 25,0⁰ C) memberikan perbedaan hasil
(Sumber : KM. Trans Bahari 3 (2020). tangkapan yellowfin tuna yang nyata untuk
Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna. penangkapan dengan tuna long line yang
Hasil tangkapan ikan jenis yellowfin beroperasi di perairan Samudera Indonesia
tuna dalam 24 (dua puluh empat) kali setting- (sebelah selatan Pulau Jawa).
hauling selama operasi penangkapan KM. Perbandingan B dan C
Trans Bahari 3 berkisar antara 0 – 14 ekor, Hasil perhitungan diperoleh nilai t
dengan hasil tangkapan tertinggi sebanyak 14 hitung 0,10 lebih kecil dari t table 5 % (2,069)
(empat belas) ekor. yang berarti tidak berbeda nyata (non
Panjang total (jarak antara ujung significant). Dengan demikian perbedaan
moncong hingga ke ujung ekor) ikan suhu antara kelas suhu B (16,7⁰ – 20,8⁰C)
yellowfin yang tertangkap berkisar antara 44 dengan kelas suhu C (20,9⁰ – 25,0⁰C) tidak
cm – 185 cm dengan frekuensi tertinggi antara memberikan perbedaan hasil tangkapan
115 cm – 160 cm, dan panjang standar (jarak yellowfin tuna untuk penangkapan dengan
antara ujung moncong hingga pangkal ekor) tuna long line yang beroperasi di perairan
berkisar antara 38 cm – 158 cm dengan Samudera Indonesia (sebelah selatan Pulau
frekuensi tertinggai antara 95 cm – 140 cm. Jawa).
Sedangkan berat yellowfin tuna yang Hasil perhitungan analisa uji t terhadap
tertangkap berkisar antara 5 kg – 50 kg, hasil tangkapan yellowfin tuna dari alat
187
Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 2 Dec 2020 : 181 – 190, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638
tangkap tuna long line dengan tiga (3) macam 300 meter – 400 meter (Nurdin, 2017). Barata
klas (range) suhu yang berbeda, diperoleh et al., (2011) dalam penelitiannya dengan alat
bahwa pengaruh klas suhu A terhadap C tangkap ikan pancing rawai, banyak
berbeda nyata (significant), dan klas suhu B tertangkap yellowfin pada suhu 22,20⁰C
terhadap C tidak berbeda nyata (non sampai dengan 26,40⁰ C dengan kedalaman
signifikan). air laut antara 85,73 meter sampai dengan
167,80 meter, albacore tertangkap pada suhu
Populasi ikan pada suatu perairan dan
air laut 22,20⁰C sampai dengan 26,40⁰ C
periode ruaya (migrasi) musiman dipengaruhi
dengan lapisan kedalaman air laut 85,73 meter
oleh pola tingkah laku ikan, dan fluktuasi
sampai dengan 167.80 meter, sedangkan
berbagai faktor lingkungan (oseanografi).
bluefin tertangkap pada suhu air laut 14,99⁰C
Kondisi aktual oseanografis (suhu, salinitas,
sampai dengan 15,12⁰ C dengan kedalaman
arus permukaan, oksigen terlarut) akan
air laut antara 190,15 meter sampai dengan
mempengaruhi dalam proses tahapan
194,21 meter, dan big eye tertangkap pada
pergerakan ruaya (migrasi) ikan pelagis
suhu 8,35⁰C sampai dengan 15,30⁰C dengan
(Cahaya CN, et al., 2016). Suhu permukaan
lapisan kedalaman air laut 193,97 meter
laut (SPL) dan perbedaan suhu antar daerah
sampai dengan 470,12 meter. Nugraha B, et
perairan sangat menentukan penyebaran ikan,
al., (2009) dalam penelitianya menyimpulkan
khususnya ikan pelagis yang hidup dalam
bahwa pada kedalaman air laut antara 300,0
lapisan perairan tertentu. Yellowfin (Thunnus
meter sampai dengan 399,9 meter dengan
albacares) merupakan salah satu jenis ikan
range suhu 10,0 – 13,9⁰C tertangkap ikan tuna
pelagis besar dan perenang cepat hampir di
mata besar, pada kedalaman air laut 250,0
seluruh perairan Indonesia penyebarannya.
meter sampai 299,9 meter dengan range suhu
Lebih lanjut Mustasim et al., (2019)
16,0 sampai dengan 16,9⁰C tertangkap
mengatakan bahwa penangkapan ikan
madidihang, sedangkan albacore tertangkap
cakalang tertinggi diperoleh pada suhu
pada suhu 20,0 – 29,9⁰C dengan kedalaman
29,85oC.
air laut antara 150,0 meter sampai dengan
Berkaitan dengan komposisi hasil
199,9 meter.
tangkapan, terlihat bahwa hasil tangkapan
Secara umum kedalaman tertangkapnya
didominasi oleh big eye tuna, yaitu 46,30 %
ikan tuna dibedakan menjadi dua, yaitu
dari total catch. Hal ini sesuai Cahaya CN, et
perairan dangkal tempat tertangkapnya jenis
al., (2016), yang menyatakan bahwa di
ikan tuna berukuran kecil dengan kedalaman
perairan Samudera Indonesia (sebelah selatan
0 meter sampai dengan 100 meter, dan lapisan
Nusa Tenggara, Bali dan Jawa Timur) banyak
termoklin sebagai habitit dan tempat
tertangkap ikan tuna dewasa, seperti bluefin
tertangkapnya ikan tuna dewasa pada
dan albacora, yang habitat hidupnya pada
kedalaman 100 meter sampai dengan 200
suhu optimum sekitar 14⁰ - 21⁰ C. untuk
meter (Pickard et al, 1990 dalam Mulyadi RA.
bluefin tuna, dan sekitar 14⁰ - 22⁰ C. untuk
et al., 2017). Sedangkan Menurut Sjarif et al.
albakora.
(2012), menyatakan bahwa dari kedalaman air
Disamping itu pula dari faktor
laut 200 meter sampai dengan lapisan
kedalaman pancing dalam hubungannya
termoklin bagian atas, banyak tertangkap ikan
dengan penyebaran vertikal suhu perairannya,
tuna. Dengan demikian berdasarkan beberapa
terlihat bahwa posisi pancing sebagian besar
penelitian tersebut di atas, menunjukkan
berada pada lingkungan dibawah suhu
bahwa pada lapisan perairan laut dalam 100
optimal bagi yellowfin tuna. Sepanjang waktu
meter di bawah permukaan laut cenderung
pagi dan siang hari Ikan tuna dengan panjang
tuna berukuran besar yang tertangkap.
standar 30 cm – 50 cm terdapat pada lapisan
kedalaman air laut 50 meter – 70 meter,
SIMPULAN
sedangkan ikan tuna yang lebih besar dengan
Nilai hook rate daerah penangkapan
ukuran panjang standar 100 cm – 120 cm
terdapat pada lapisan yang lebih dalam, yaitu pada koordinat 08⁰ 04ꞌ 35″ – 09⁰ 47ꞌ 59″
188
Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 2 Dec 2020 : 181 – 190, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638
LS/106⁰ 55ꞌ 16″ – 107⁰ 68ꞌ 35″ BT pada saat Hubungannya Dengan Hasil
penelitian kurang baik, karena total hook rate Tangkapan Ikan Cakalang Pada Musim
hanya 1,33 (< 2). Populasi yellowfin tuna di Peralihan Barat-Timur Diperairan
daerah penelitian dalam keadaan kurang Seram. Jurnal IPTEKS Pemanfaatan
(langka), dan faktor kedalaman pancing Sumberdaya Perikanan, 2(4).
terlalu dalam sehingga komposisi hasil Mustasim, M., Zainuddin, M., & Sutono, D.
(2019). Preferensi Parameter
tangkapan diminan beg eye tuna (46,30 %).
Oseanografi (SPL dan klorofil-a)
Pada perbedaan suhu yang terlalu besar akan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan
memberikanan pengaruh berbeda nyata Cakalang di Perairan Pulau Misool dan
(significant) terhadap hasil tangkapan yellow Fakfak. Jurnal Airaha, 8(01), 016-023.
fin tuna, sedangkan pada suhu yang relative Nontji,A. (2005). Laut Nusantara.
kecil tidak memberikan pengaruh berbeda Djambatan. Jakarta.
nyata (non significant). Posisi pancing yang Nugraha B, Triharyuni S. (2009). Pengaruh
terlalu dalam akan banyak memperoleh hasil Suhu dan Kedalaman Mata Pancing
tangkapan big eye tuna, hal ini karena sesuai Rawai Tuna (Tuna Longline) Terhadap
habitat tingkah laku ikan tersebut. Hasil Tangkapan Tuna di Samudera
Hindia. Jurnal Pusat Riset Perikanan
DAFTAR PUSTAKA Tangkap Vol. 15(3). Jakarta.
Nurdin E. (2017). Rumpon Sebagai Alat
Ali Suman, Hari Eko Irianto, Fayakun Satria,
Pengelola Perikanan Tuna
dan Khairul Amri, (2016). Potensi dan
Berkelanjutan; Madidihang (Thunnus
Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
di Wilayah Pengelolaan Perikanan albacares). [Disertasi]. Bogor (ID);
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Negara Republik Indonesia (WPP-RI)
Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap.
Tahun 2015 Serta Oopsi
(2019). Data Produksi Pelabuhan
Pengelolaannya. Jurnal Kebijakan
Perikanan Samudra Cilacap. Cilacap.
Perikanan Indonesia. Volume 8 Nomor
Rama Agus Mulyadi1 , Muhammad Fedi
2 Nopember 2016. Puslitbang Perikana,
Alfiadi Sondita2 , Roza Yusfiandayani2
Badan Litbang KKP. Jakarta
(2017). Suhu Permukaan Laut dan
Barata A, Novianto D, Bahtiar A. (2011).
Kedalaman Tertangkapnya Tuna oleh
Sebaran ikan tuna berdasarkan suhu
Kapal Pancing Ulur yang Dilengkapi
dan kedalaman di Samudera Hindia.
Lampu. Jurnal Teknologi Perikanan dan
Jurnal Ilmu Kelautan Indonesia. Vol. 16
Kelautan Vol. 8 No. 2 November 2017.
(3). Jakarta
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Citra Nilam Cahya1), Daduk Setyohadi2), dan
Roy Kurniawan, Abram Barata dan Suciadi
Dewi Surinati (2016). Pengaruh
Parameter Oseanografi Terhadap Catur Nugroho (2015). Laju Pancing
Distribusi Ikan. Jurnal Oseana, Volume (Hook rate), Panjang Hiu Aer
XLI, Nomor 4 Tahun 2016. Jakarta (Prionace glauca) dan Daerah
Fauziyah, Onolawe Sibagariang dan Fitri Penangkapan di Samudera Hindia.
Agustriani (2011). Identifikasi Sistem Loka Penelitian Perikanan Tuna,
Perikanan Tuna Long Line di PPS. Simposium Hiu dan Pari 2015. Jakarta
Cilacap Jawa Tengah. Buletin PSP. Rullyta Puspita Sari, Dian Wijayanto, Faik
Volume XIX No. 2 Edisi Juli 2011. Kurohman, (2017). Analisis
Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perbandingan Pendapatan Nelayan
Pedkanan, Fakultas Perikanan dan llmu Dengan Pola Waktu Penangkapan
Kelautan, lnstitut Pertanian Bogor. Berbeda Pada Alat Tangkap Anco (Lift
Bogor
Net) di Perairan Rawa Bulung,
Mustasim, M., Zainuddin, M., & Safruddin, S.
(2017). Thermal Dan Klorofil-A Front Kabupaten Kudus. Journal of Fisheries
189
Jurnal Airaha, Vol. IX, No. 2 Dec 2020 : 181 – 190, p-ISSN 2301-7163, e-ISSN 2621-9638
Resources Utilization Management and Tangke, U., Karuwal, J. C., Zainuddin, M., &
Technology Volume 6, Nomor 4, Mallawa, A. (2015). Sebaran suhu
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, permukaan laut dan klorofil-a
Universitas Diponegoro, Semarang pengaruhnya terhadap hasil tangkapan
Sjarif B, Suwardiyono, Gautama SD. (2012). yellowfin tuna (Thunnus albacares) di
Penangkapan Ikan dan Penanganan Perairan Laut Halmahera bagian
Ikan Tuna Segar di Kapal Rawai Tuna. selatan. PERENNIAL, 2(3).
Balai Besar Pengembangan Yodya Karya, PT. (2007). Studi
Penangkapan Ikan. Pengembangan dan Detail Fasilitas
Operasional Pelabuhan Perikanan
Samudera Cilacap. Semarang.
190