Paper Radiologi Trauma Kepala
Paper Radiologi Trauma Kepala
BAB I
PENDAHULUAN
dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma kapitis adalah :
Simple head injury, Commutio cerebri, Contusioncerebri, Laceratiocerebri,
Basiscraniifracture. Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang
digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan
Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepalaberat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan
secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan
pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 ANATOMI
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma
subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
4
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan
fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media
adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian
bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu : duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater
adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang
tipis dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah
5
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior.
Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak
yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang
sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang
otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula
spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
ventrikel lateral melalui foramenmonro menuju ventrikel III kemudian
melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam
ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula
6
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
2.3. FISIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah,
dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu
yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai
200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan
intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat
meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari
normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi
penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu :
otak ( 1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75
ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas
sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua
komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi
volumenya (bila TIK masih konstan).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi
terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke
dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan
tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi
mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan
pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat.
Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi
8
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula
terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window”
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
10
menyebabkan perjalanan sinar X menuju film ataupun detektor yang berada pada
posisi bersebrangan dengan pemancar sinar menjadi terhambat. Sedangkan,
jaringan dengan densitas yang rendah seperti udara dan lemak hampir tidak
menyerap sinar X sedikitpun sehingga, sinar X dapat menuju film atau detektor
(Perron, 2008).
Tomografi komputer merupakan modalitas utama dalam mengevaluasi
pasien – pasien yang diduga fraktur tulang tengkorak dan trauma intrakranial.
Ketika keadaan kardiopulmoner pasien telah stabil, Tomografi komputer harus
dilakukan untuk menentukan luasnya kerusakan intrakranial dan apakah ada
fragmen – fragmen metalik intrakranial pada luka tusuk. (Khan, Ali N, )
Beberapa indikasi perlunya tindakan pemeriksaan Tomografi
komputer pada kasus trauma adalah :
a. Menurut New Orelan :1
* Sakit kepala.
* Muntah.
* Umur > 60 tahun.
* Adanya intoksikasi alkohol.
* Amnesia retrograde.
* Kejang.
* Adanya cedera di area clavicula ke superior.
b. Menurut The Cranadian CT Head :2
* GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.
* Adanya dugaan open / depressed fracture.
* Muntah – muntah ( > 2 kali ).
* Umur > 65 tahun.
* Bukti fisik adanya fraktur di basal tengkorak.
14
15
16
17
18
2.8. MRI
sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien
sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak. Teknik
penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan
tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut
tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh
manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi dan patologi
jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti. Untuk menghasilkan gambaran
MRI dengan kualitas yang optimal sebagai alat diagnostik, maka harus
memperhitungkan hal-hal yang berkaitan dengan teknik penggambaran
MRI, antara lain : a. Persiapan pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang
baik, ; b. Kontras yang sesuai dengan tujuan pemeriksaannya ; c. Artefak
pada gambar, dan cara mengatasinya ; d. Tindakan penyelamatan terhadap
keadaan darurat.
Pemeriksaan MRI bertujuan mengetahui karakteristik morfologik
(lokasi, ukuran, bentuk, perluasan dan lainnya dari keadaan patologis.
Tujuan tersebut dapat diperoleh dengan menilai salah satu atau kombinasi
gambar penampang tubuh aksial, sagital, koronal atau oblik tergantung pada
letak organ dan kemungkinan patologinya. Adapun jenis pemeriksaan MRI
sesuai dengan organ yang akan dilihat, misalnya :
1. Pemeriksaan kepala untuk melihat kelainan pada : kelenjar pituitary,
lubang telinga dalam , rongga mata , sinus ;
2. Pemeriksaan otak untuk mendeteksi : stroke / infark, gambaran fungsi
otak, pendarahan, infeksi; tumor, kelainan bawaan, kelainan pembuluh
darah seperti aneurisma, angioma, proses degenerasi, atrofi;
3. Pemeriksaan tulang belakang untuk melihat proses Degenerasi (HNP),
tumor, infeksi, trauma, kelainan bawaan.
4. Pemeriksaan Musculoskeletal untuk organ : lutut, bahu , siku,
pergelangan tangan, pergelangan kaki , kaki , untuk mendeteksi
robekan tulang rawan, tendon, ligamen, tumor, infeksi/abses dan lain
lain;
20
Gambaran Foto Polos Kepala, CT Scan kepala normal, dan MRI sudah dijelaskan
di atas beserta dengan cara pembacaannya.
Berikut akan dijelaskan gambaran radiologis dari beberapa kasus Trauma Kepala
dan keterangannya.
1. Fraktur Tengkorak
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tulang memiliki densitas tertinggi
pada CT Scan (+1000HU). Atas alasan inilah, berbagai fraktur pada tengkorak
22
fraktur basis kranii. Selain itu, dalam mendiagnosa fraktur tengkorak seringkali
dibingungkan oleh kehadiran sutura pada tengkorak (Perron, 2008).
Gambar 2.1. Gambaran CT Scan pada fraktur tengkorak : A. linear skull fracture;
B. depressed, comminuted skull fracture; C. fraktur basis kranii
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
Fraktur dapat terjadi pada berbagai tempat di tengkorak. Adanya fraktur
tengkorak meningkatkan kecurigaan telah terjadinya kelainan pada intrakranial.
Bila pada CT Scan dijumpai adanya udara pada intrakranial, hal ini
mengindikasikan bahwa telah terjadi kerusakan pada tulang tengkorak dan selaput
duramater. Fraktur basis kranii paling sering dijumpai pada petrous ridge (bagian
padat yang berbentuk piramid yang berada pada tulang temporal). Akibat dari
densitas tulang ini, garis fraktur akan sulit untuk diidentifikasi pada area ini.
Selain berusaha mencari garis fraktur untuk menegakkan terjadinya fraktur basis
kranii ini, pada klinisi dapat pula memberi perhatian pada mastoid air cells yang
terdapat pada tulang ini. Adanya darah pada mastoid air cells menandakan bahwa
terjadinya fraktur basis kranii. Sama halnya dengan mastoid air cells, sinus-sinus
seperti maksilaris, etmoidalis, dan sphenoid harus terlihat pada tomografi
komputer dan berisi udara. Apabila dijumpai cairan pada salah satu dari sinus ini,
dapat dicurigai bahwa telah terjadi fraktur pada tulang tengkorak (Perron, 2008).
1. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)
a. Hematoma Epidural
Hematoma Epidural adalah akumulasi darah di ruang antara duramater
dan tulang tengkorak.
24
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral
dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya
fraktur tulang yang memotong sulcus arteriameningea media.
b. Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan robekan vena – vena di daerah korteks
serebri atau bridging vein oleh satu trauma. Lokalisasi trauma didaerah
frontoparietotemporal.1 Umumnya perdarahan subdural disebabkan oleh trauma,
tetapi perdarahan ini dapat pula terjadi secara spontan ataupun sebagai akibat dari
suatu tindakan medis seperti pungsi lumbal Pemberian obat-obatan antikoagulan
seperti heparin maupun warfarin juga menjadi faktor risiko yang meningkatkan
terjadinya perdarahan subdural (Engelhard III, dkk, 2014).
Bila hematom subdural akut ini berjalan beberapa minggu, maka akan
timbul hematom subdural kronik, dimana terdapat cairan xantokrom yang dibatasi
membran jaringan fibrous pada bagian medial.1
1) Subdural Hematoma Akut
Dikatakan akut bila kurang dari beberapa hari atau dalam 24
sampai 48 jam setelah trauma. Gejala klinis dari subdural
hematoma akut tergantung dari ukuran hematoma dan derajat
kerusakan otak. Gejala neurologis yang sering muncul adalah
penurunan kesadaran, dilatasi pupil ipsilateral hematom,
hemiparesis kontralateral, dan papil edema.
Pada foto polos kepala, tidak dapat didiagnosa pasti sebagai
subdural hematom. Dengan proyeksi AP lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film, bertujuan untuk mencari adanya
fraktur tulang pada daerah frontoparietotemporal.
Pada Tomografi komputer tampak daerah hipodens, isodens,
atau sedikit hipedens berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat
pada tabula.1
Pada MRI, konfigurasi SDH berbentuk kresentris ( bulan sabit ).
27
Gb . MRI Otak pada SDH akut Gb. CT – Scan pada SDH akut
c. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subaraknoid didefinisikan sebagai adanya darah pada ruang
subaraknoid yang normalnya berisi cairan serebrospinal. Gambaran
hiperdens darah pada CT Scan dapat terlihat dalam waktu beberapa
menit setelah terjadi perdarahan (Perron, 2008). Perdarahan
subaraknoid paling sering disebabkan oleh rupturnya aneurisma otak
dan arteriovenous malformasi (AVM) (Becske, 2013).
d. Cedera difus
Cedera otak difus merupakan trauma yang sering disebabkan oleh
akselerasi/deselerasi atau trauma rotasional dan merupakan penyebab koma
persisten vegetatif pada pasien. Trauma ini merupakan penyebab yang signifikan
dalam menyebabkan kematian dalam trauma kepala, yang sering disebabkan oleh
kecelakaan sepeda motor dengan kecepatan tinggi. cedera otak yang difus
biasanya terdiri dari beberapa lesi fokal pada area substansi ala yang berukuran 1
– 15 cm dengan distribusinya bervariasi.1
BAB III
KESIMPULAN
Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat
temporer ataupun permanent.
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
31
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. Fraktur kranium dan lesi intrakranial
merupakan beberapa contoh dari kasus trauma kepala. Yang merupakan contoh
dari kasus lesi intrakranial adalah epidural hematoma, subdural hematoma,
perdarahan subarachnoid, kontusio dan hematoma intraserebral, serta cedera difus
pada otak.
Untuk menyatakan diagnosis kasus-kasus diatas, pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan radiologi sangat dibutuhkan. Pemeriksaan radiologi tersebut
adalah foto polos kepala, CT-Scan Kepala, MRI, ataupun angiografi.
Gambaran radiologi dari masing-masing kasus tersebut mempunyai ciri
khas yang dapat membantu seorang dokter membuat suatu diagnosis pada
penderita trauma kepala. Salah satu ciri yang jelas adalah pada kasus hematoma
epidural yang pada pemeriksaan CT-Scan kepala memberikan gambaran densitas
darah yang homogen (hiperdens) berbentuk bikonfeks dan sering pada daerah
temporoparietal. Sedangkan pada kasus hematoma subdural memberikan
gambaran hiperdens berbentuk seperti bulan sabit.
Pemeriksaan radiologi tersebut selain membantu untuk menyatakan
diagnosis, juga dapat menuntun seorang dokter untuk penatalaksanaan berikutnya
yang akan dilakukan terhadap pasien trauma kepala.
DAFTAR PUSTAKA