Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

PENGERTIAN ILMU KALAM


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Bpk Faizun, M.Si

Disusun Oleh :
Nama : Ulil Albab
NIM : 11910132

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM WALI SEMBILAN


SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia memerlukan dua macam kebutuhan, kebutuhan jasmani dan kebutuhan
rohani. Kebutuhan jasmani dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi segala sesuatu yang
dibutuhkan oleh fisik secara biologis, seperti makan, minum, tidur, menyalurkan dan
membuang hajat dan lain sebagainya, sedangkan kebutuhan rohani dapat dipenuhi dengan
ketenangan jiwa. Salah satu caranya untuk mendapatkan ketenangan jiwa adalah bila
manusia menyadari eksistensi dirinya, siapa hakikat dirinya, untuk apa ia diciptakan ke
dunia dan mau ke mana akhir perjalanan hidupnya. Semuanya bisa terjawab bila ia
memeluk suatu agama.
Setiap agama mempunyai ajaran. Ilmu yang membahas tentang ajaran dasar suatu
agama disebut dengan teologi. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya
secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya.
Teologi dalam Islam disebut juga dengan ilmu tauhid. Kata “tawhid” berasal dari kata
dasar “wahhada, yuwahhidu, tawhidan” yang mempunyai arti mengesakan. Di dalam
ajaran agama Islam, sebagai agama monotheisme, ajaran yang paling mendasar adalah
ajaran tentang keesaan Tuhan, sebab Islam tidak menerima polyth eisme (ajaran tentang
banyak Tuhan). Oleh karena itu, ilmu yang membahas mengenai keesaan Tuhan ini disebut
ilmu tauhid atau dalam istilah ‘Arabnya disebut “tawhid Allah”.
Yang dimaksud dengan “tawhid Allah”, ialah meyakini dalam hati dan akal akan wujud
Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemelihara, pengatur dan Tuhan sekalian alam
makhluk ciptaanNya.

B. Rumus Masalah
1. Memahami Pengertian Ilmu Kalam
2. Pertumbuhan Ilmu Kalam dan
3. Perkembangannya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kalam


Setidaknya ada tiga istilah yang populer tentang Ilmu Kalam, diantaranya ialah Ilmu
Kalam, Ilmu Tauhid dan Teologi. Ketiga ini disinyalir muncul katena perbedaan perspektif
dalam melihat persoalan Ilmu Kalam muncul. Dari ketiga istilah ini kemudian muncul
beberapa definisi atau pengertian tentang Ilmu Kalam.
Pertama Ilmu Kalam. Dalama bahasa Arab “Kalam” yang biasa diartikan dengan “kata-
kata”, yakni sabda Tuhan atau kata-kata manusia. Di sini Ilmu Kalam dimaknai dengan ilmu
pembicaraan, karana dengan pembicaraanlah pengetahuan ini dapat dijelaskan. Disebut Ilmu
Kalam karena yang dibahas adalah Kalam Allah dan Kalam manusia. Jika yang dimaksud
dengan Kalam adalah firman Allah, maka Kalam (baca al-Qur’an) pernah menimbulkan
perdebatan sengit di kalangan umat islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Salah satu
perbedaan itu adalah tentang apakah kalam Allah baru atau qodim?, maka dinamakan Ilmu
Kalam. Jika yang dimaksud Kalam adalah kata-kata manusia, maka kaum teologi dalam
islam selalu menggunakan dalil logika untuk mempertahankan pendapat dan pendirian
masing-masing. Dalam islam kaum teologi dinamakan Mutakallimin (ahli debat dan pintar
main kata-kata).
Kedua, Ilmu Kalam adalah ilmu yang dikaitkan dengan Allah, pebuatan dan sifat-sifat-
Nya. Oleh sebab itu ilmu kalam disebut juga sebagai Ilmu Ushuluddin atau Ilmu Tauhid,
yakni ilmu yang membahas tentang penetapan aqaid diniyah dengan dalil (petunjuk) yang
kongkret. Maka, Ilmu Kalam adalah rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara
sistematik untuk memperkukuh kebenaran akidah agama Islam.
Ketiga, Istilah Kalam juga digunakan untuk menunjukkan keahlian dalam menguasai
cabang ilmu tertentu, sehingga orang yang menguasai ilmu itu disebut Mutakallimin, Ashan
al-Kalam al-Tabi’i (ahli fisika), begitu juga Ashab al-Kalam al-Ilahi al-Mutakallimun fi al-
Ilahi (teologi). Namun pada dalam perkembangan selanjutnya istilah “Kalam” dalam Islam
lebih titik tekankan pada aliran teologi, seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Keempat. Kalam sebagai teologi. Rumusan lain dikemukan oleh Harry Austryn Wolfson
yang berpendapat bahwa istilah Kalam adalah terjemahan dari karya-karya filosofi Yunani,
“Theos” (Tuhan) dan“logos” (kata atau argument).
Sehingga teologi dapat diartikan dengan ilmu atau argument tentang Tuhan. Istilah yang
disebut belakangan ini sebenarnya merupakan transformasi dari pemikiran teologi atau
(Ilmu al-La’ut) yang telah berkembang di dunia barat pada masa sebelumnya. Definisi Ilmu
Kala sebagai “Ilmu al-La’ut”, yakni discourse or reason concerning God (diskursus atau
pemikiran tentang Tuhan). Bahkan dengan mengutip istilah yang di berikan oleh William
Ockham, L Reese menyatakan bahwa Theology to be a discipline resting on revealed truth
and independent of both philosophy and science (Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu
yang meletakkan kebenaran wahyu, lewat argument filsafat dan ilmu pengetahuan yang
independen). Rumusan William Ocktam tentang teologi tampaknya ada kemiripan dengan
pendapat Ibn Kaldun, seperti dikutip oleh Musthofa Abdul Raziq, yang mendifinisikan ilmu
kalam
Beberapa istilah diatas memeberikan pemahaman bahwa Ilmu Kalam merupakan
kedisiplinan keilmuan dalam agama Islam terkait berbagai argumentasi tentang akidah iman
yang diperkuat dail-dalil rasional. Dalam istilah tersebut juga memberi ruang bagi
perkembangan Ilmu Kalam ke arah yang dinamis.sebagai Ilmu al-Kalam huwa ‘Ilmun
yatalamanu al-hujjaja’an ‘an aqaidi al-Imaniyyah bi al-‘adillah al-aqliyah (Ilmu Kalam
yaitu sebuah dislipin ilmu berkaitan dengan keimanan yang diperkuat dengan menggunakan
argumentasi rasional).

B. Pertumbuhan Dan Perkembangannya


Sama halnya dengan disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam tumbuh beberapa
abad setelah Rasulallah SWT wafat. Ilmu Kalam sangat erat dengan skisme dalam Islam.
Oleh karena itu dalam penelusuran ke belakang, kajian Ilmu kalam akan sampai kepada
persoalan pembunuhan khalifa Utsman binAffan, sebuah peristiwa dalam sejarah Islam yang
dikenal dengan al-Fitnah al-Kubra (fitnah besar). Maka ilmu kalam bentuk sebagai
pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung bertolak dari
tragedi ini.
Secara harfiah, kata-kata Arab “Kalam”, berarti “pembicaraan” dan sebagai sebuah
istilah, “Kalam” tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari,
melainkan dalam pengertian pembicaraan yang ternalar dengan menggunakan logika. Maka
ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Dengan demekian Ilmu Kalam
memiliki hubungan yang erat dengan Ilmu Mantiq atau logika.
Bersama dengan filsafat, Ilmu Mantiq atau logika mulai dikenal umat Islam setelah
mereka menaklukan dan bergaul dengan bangsa-bangsa yang memiliki latar belakang
peradapan Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme).
Dalam hal ini, hampir semua daerah yang menjadi sasaran pembebasan kaum muslimin
telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi, seperti Syiria, Irak, Mesir dan Anatolia dengan
pusat-pusat Hellenimenya, yakni Damaskus, Antiok, Harran dan Alexandria, termasuk
Persia dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Pertama-tama penalaran logis yang di perlukan untuk menjustifikasi kasus pembunuhan
khalifah Utsman bin Affan. Mengapa Utsman boleh dan harus dibunuh? Jawaban logisnya,
karena perbuatan dosa besar yang ditunjukkan dengan perbuatan “tidak adil” dalam
menjalankan roda pemerintahan. Padahal dosa besar tersebut dapat dipandang sebagai
sebuah kekafiran. Lalu pertanyaan berikutnya, “mengapa perbuatan dosa besar dianggap
suatu kekafiran?” Jawabannya jelas, lantaran perbuatan dosa besar merupakan bentuk atau
sikap menentang Allah, dan itulah dinamakan kekafiran (perbuatan murtad). Maka orang
yang menentang Allah atau menunjukkan sikap kekafiran harus dibunuh. Inilah cikal bakal
lahirnya kaum Qadari, yakni orang-orang yang berpaham Qadariyah, suatu pandangan
bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya.
Ibn Taymiyah mengutip pendapat seorang ulama bernama Abdulah ibn Mubarak,
bahwa “Agama adalah milik kaum hadits, kebohongan identic dengan kaum Rafidhah, Ilmu
Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah dan tipi daya merupakan garapan pengikut Ray (kaum
rasional)”. Karena itu di tegaskan oleh Ibn Taymiyah bahawa Ilmu Kalam adalah keahlian
khusus kaum Mu’tazilah. Dari sinilah kita dapat mengatakan bahwa salah satu ciri
pemikiran Mu’tazilah adalah rasionalitas. Terdapat pakta menarik bahwa yang pertama kali
menggunakan unsu-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan adalah seorang yang bernama
Jahn ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyah, yaitu pandangan bahwa manusia
tidak berdaya sedikitpun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm bin
Shafwan mendapatkan bahan baku untuk penalaran Jabariyahnya dari Aristotelianisme, yaitu
bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang
serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal)
tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (pertikular).
Maka, mengikuti Aristoteles, Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya sampai kepada
sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifar-sifat kasih, pengampun, santun,
maha tinggi, dan pemurah. Bagi mereka, adanya sifa-sifat itu membuat Tuhan menjadi
ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid itu di kenal sebagai al-Nufat (pengingkar
sifat-sifat Tuhan) atau al-Mu’aththilah (pembebas Tuhan dari sifat-sifat).
Perkembangan berikutnya, kaum Mu’tazilah menolak paham jabariyyah-nya kaum
Jahmiyah. Kaum Mu’tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyah seperti hanya kaum
Khawarij. Maka kaum Mu’tazilah disebut sebagai “titisan” doctrinal kaum Khawarij, meski
di satu sisi kaum Mu’tazilah banyak mengambil sikap kaum Jahmiyah yang mengingkari
sifat-sifat Tuhan itu, kaum Mu’tazilah meminjam metodologi kaum Jahmiyah, yaitu
penalaran rasional, meskipun berbagai premis berbeda bahkan berlawanan (seperti premis
kebebasan dan kemampuan manusia), hal ini ikut membawa kaum Mu’tazilah kepada
penggunaan bahan-bahan Yunani, ditambah dengan buku-buku Persia dan India, yang
ditransformasikan ke dalam bahasa Arab.
Salah satu masalah yang diperselisihkan adalah Kalam Allah, bersujud al Qur’an, itu
qadim (tak terciptakan, karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits
(terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?
Karena dominannya isu Kalam atau sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai pusat
kontroversi itu itu mengherankan jika ada diantara paa ahli yang mengatakan penalaran
tentang segi ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah–olah merupakan ilmu
atau teori tentang Kalam Allah. Di samping itu, Ibn Taymiyah, mengatakan bahwa ilmu itu
disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum Mutakallimin, sesuai dengan makna
harfiah perkataan Kalam dan Mutakallimin adalah karena bertengkar sesame mereka dengan
argument melalui pembicraan kosong, tidak substantive.
Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits
(baru), sementara kaum Hadits berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.
Adanya kontroversi ini, seorang orientasi bernama Wilfred C. Smith membandingkan
dengan paham tentang “Kemakhlukan” al-Qur’an dengan paham orang Kristen.
Menurutnya, yang sebanding dengan al-Qur’an dalam Islam itu bukan kitab Injil dalam
Kristen, melainkan “diri” Isa Al-Masih. Sebab, sebagaimana orang-orang Muslim (aliran
Sunni) memandang al-Qur’an qadim seperti Dzat Allah, orang-orang Kristen memandang
Isa sebagai penjelmaan Tuhan dalam system Trinitas, yang juga qadim, sama dengan al-
Qur’an.
Jadi, jika bagi agama Islam al-Qu’an itulah wahyu Allah, maka bagi agama Kristen Isa
Al-Masih itulah wahyu, menampakkan Tuhan. Sedangkan kitab Injil bukanlah wahyu,
melainkan catatan perjalanan kehidupan Isa Al-Masih, sehingga tidak sama dengan
kedudukannya dengan al-Qur’an, tetapi bisa di bandingkan dengan Hadits. Maka sejalan
dengan itu Nabi Muhammad tidaklah haru di bandingkan Isa Al-Masih, karena Isa adalah
“Tuhan”, tetapi dengan Paulus (kerana sebagai Rasul).
Jasa besar kekhalifahan al-Ma’mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu
pengetahuan tetap diakui dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-
218 H/813-833 M), dengan campuran unsu-unsur positif dan negatifnya, dipandang salah
satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam
dan Filsafat Islam.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada tiga istilah yang populer mengenai Ilmu Kalam, yaitu Ilum kalam, Ilmu Tauhid, dan
Teologi, dari situlah timbul beberapa pendapat yang mendefinisikan tentang pengertian Ilmu
Kalam diantaranya:
Pertama, dalam bahasa Arab “Kalam” yang biasa diartikan dengan “kata-kata”, yakni
sabda Tuhan atau kata-kata manusia. Di sini Ilmu Kalam dimaknai dengan ilmu
pembicaraan, karana dengan pembicaraanlah pengetahuan ini dapat dijelaskan. Disebut Ilmu
Kalam karena yang dibahas adalah Kalam Allah dan Kalam manusia.
Kedua, Ilmu Kalam adalah ilmu yang dikaitkan dengan Allah, pebuatan dan sifat-sifat-
Nya. Oleh sebab itu ilmu kalam disebut juga sebagai Ilmu Ushuluddin atau Ilmu Tauhid,
yakni ilmu yang membahas tentang penetapan Aqaid Diniyah dengan dalil (petunjuk) yang
kongkret.
Ketiga, Kalam sebagai Teologi. Rumusan lain dikemukan oleh Harry Austryn Wolfson
yang berpendapat bahwa istilah Kalam adalah terjemahan dari karya-karya filosofi Yunani,
“Theos” (Tuhan) dan“logos” (kata atau argument). Sehingga teologi dapat diartikan dengan
ilmu atau argument tentang Tuhan.

B. Kritik Dan Saran


Dalam penulisan makalah ini, penulis merasa banyak ada kekurangan dan jauh dari kata
sempurna terutama tentang topik yang di samapaikan diatas, oleh kerena itu saya
membutuhkan banyak kritik dan saran dari anda untuk memyempurnakan makalah ini.
Sekian dan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Nunu Burhanuddin, Lc. M.A, Ilmu Kalam Dari Tauhid Menujun Keadilan, (hlm, 16-
21) 2017

Anda mungkin juga menyukai