Laporan Kasus Internship Sindrom Kompartemen
Laporan Kasus Internship Sindrom Kompartemen
Sindrom Kompartemen
Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang
Diajukan kepada:
dr. Hendryk Kwandang, M.Kes (Pembimbing IGD dan Rawat Inap)
dr. Benediktus Setyo Untoro (Pembimbing Rawat Jalan)
Disusun oleh:
dr. Sergius Stanley Proboseno
PRESENTASI KASUS
SINDROM KOMPARTEMEN
Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang
Oleh :
Dokter Pembimbing Instalasi Gawat Darurat dan Rawat Inap
i
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
SINDROM KOMPARTEMEN
Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang
Oleh :
Dokter Pembimbing Rawat Jalan
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
Daftar Isi
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................iii
Daftar Isi...........................................................................................................................iv
Bab 1 Pendahuluan.............................................................................................................1
Bab 2 Laporan Kasus.........................................................................................................2
Bab 3 Tinjauan Pustaka......................................................................................................8
Bab 4 Pembahasan...........................................................................................................16
Bab 5 Kesimpulan............................................................................................................17
Daftar Pustaka..................................................................................................................18
iv
Bab 1 Pendahuluan
2.1. Identitas
Nama : Tn. R
Usia : 28 tahun.
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Agama/Suku : Islam/Jawa.
Alamat : Kepanjen.
Tanggal pemeriksaan : 11 Desember 2014.
No. RM : 362787.
2
Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya untuk penyakit ini.
3
5. Thoraks
a. Inspeksi. : bentuk dada kesan normal dan simetris; retraksi
dinding dada (-), tidak didapatkan deformitas.
b. Jantung:
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ictus cordis teraba di MCL (S) ICS
V(S).
Perkusi : batas jantung normal.
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, ekstrasistol (-),
gallop (-),
murmur (-).
c. Paru:
Inspeksi : gerak nafas simetris pada kedua sisi
dinding
dada, retraksi (-), RR 30 kali/menit, teratur, simetris.
Palpasi: pergerakan dinding dada saat bernafas simetris.
Perkusi: sonor sonor
sonor sonor
sonor sonor
Auskultasi : vesikuler di seluruh lapang paru.
- - - -
Rh - - Wh - -
- - - -
6. Abdomen
a. Inspeksi : datar, kulit abdomen : jaringan parut (-).
b. Auskultasi : bising usus (+), normal.
c. Perkusi : timpani, shifting dullnes (-).
d. Palpasi : H/L tidak teraba.
4
7. Ekstremitas
8. Status neurologis
GCS : 456
Pupil : 2mm / 2mm
RC :+ + Motorik : 5 5
RK :+ - 5 0
MS : (-) KK : (-)
2.3. Resume
Tn. R/ Laki-laki/ 28 tahun
Anamnesis
Keluhan utama: Kaki kiri tidak bisa merasakan apapun dan berwarna hitam.
Pasien terjatuh dari tebing sedalam 40 m dan mengalami patah tulang
tungkai kiri bawah dan tungkai kanan atas pada 2 minggu yang lalu.
Pasien kemudian berobat ke sangkal putung dan dibidai pada bagian yang
5
patah.
Tungkai kanan atas membaik menurut pasien. Namun tungkai kiri bawah
terasa nyeri, kesemutan, dan berwarna pucat sejak 1 minggu yang lalu.
Setelahnya kaki tidak bisa merasakan apa pun dan nampak mulai
menghitam.
Pemeriksaan fisik
Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS: 456.
Tanda vital : Tekanan darah : 130/90 mmHg.
Denyut jantung : 88 x/menit reguler.
Pernapasan : 19 x/menit.
Suhu aksiler : 36,5O C.
Kepala : tidak ditemukan kelainan.
Leher : tidak ditemukan kelainan.
Thoraks : tidak ditemukan kelainan.
Abdomen : tidak ditemukan kelainan.
Ekstrimitas : Kiri: Nampak hitam. Kulit mengelupas dari pedis hingga
sedikit di atas lutut. Sensorik (-), motorik (-). Oedem (+).
Status neurologis : normal, tidak ditemukan MS dan kaku kuduk.
2.4. Diagnosis
a. Diagnosis Kerja:
Closed fracture R. Cruris (S) & R. Femur (D).
Sindrom kompartemen R. Cruris (S).
b. Rencana diagnosis:
-
2.5. Rencana Terapi
a. Bebaskan ekstremitas dari bidai.
b. Rawat luka.
c. Rencana amputasi ekstremitas kiri sebatas lutut.
6
2.6. Rencana Edukasi
a. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita dan rencana
terapi yang akan dilakukan.
b. Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien.
c. Menjelaskan kemungkinan perkembangan penyakit.
d. Mengikuti terapi dengan baik sesuai petunjuk dokter.
7
Bab 3 Tinjauan Pustaka
2.1.1. Definisi
Sindrom kompartemen merupakan suatu peningkatan tekanan dalam suatu
kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap saraf, pembuluh darah
dan otot di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali
terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan
pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.
2.1.2 Anatomi
Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang,
interosseus membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan
pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana
fascia ini melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak
yaitu terletak di lengan atas (kompartemen anterior dan posterior), di lengan
bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, dan posterior). Di anggota gerak
bawah, terdapat tiga kompartemen di tungkai atas (kompartemen anterior, medial,
dan kompartemen posterior), empat kompartemen di tungkai bawah
(kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, posterior profundus).
Sindrom kompartemen yang paling sering terjadi di daerah tungkai bawah dan
lengan atas.
Setiap kompartemen pada tungkai bawah memiliki satu nervus mayor.
Kompartemen anterior memiliki nervus peroneus profundus, kompartemen lateral
8
memiliki nervus peroneus superfisial, kompartemen posterior profunda memiliki
nervus tibialis posterior dan kompartemen posterior superfisial memiliki nervus
suralis. Ketika tekanan kompartemen meningkat, suplai vaskuler ke nervus akan
terpengaruh menyebabkan timbulnya parestesia.
9
Tabel 2.1 Letak dan Isi Kompartemen
Letak Kompartemen Isi
Lengan Anterior M. Biceps brachii, M. Coracobrachialis, M.
Atas Brachialis;
A. Brachialis;
N. Musculocutaneus
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Musculocutaneus, N. Medius, M. Ulnaris, A.
Brachialis, V. Basilica
Posterior M. Triceps brachii;
A. Profunda brachii, A. Collateralis ulnaris;
N. Radialis
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Radialis dan N. Ulnaris
Lengan Anterior M. Pronator teres, M. Flexor carpi radialis, M.
Bawah Palmaris longus, M. Flexor carpi ulnaris, M.
Flexor digitorum superficialis, M. Flexor
pollicis longus, M. Flexor digitorum profundus,
M. Pronator quadratus;
A. Ulnaris, A. Radialis;
N. Medianus
Lateral M. Brachioradialis, m. Flexor carpi radialis
longus;
A. Radialis, a. Brachialis;
N. Radialis
Posterior M. Extensor carpi radialis brevis, M. Extensor
digitorum, M. Extensor digiti minimi, M.
Extensor carpi ulnaris, M. Anconeus, M.
Supinator, M. Abductor pollicis longus, M.
Extensor pollicis brevis, M. Extensor pollicis
10
longus, M. Extensor indicis;
Arteriae interoseus anterior dan posterior;
Ramus profundus nervi radialis
Tungkai Anterior M. Sartorius, M. Iliacus, M. Psoas, M.
Atas Pectineus, M. Quadriceps femoris;
A. Femoralis;
N. femoralis
Medial M. Gracilis, M. Adductor longus, M. Adductor
brevis, M. Adductor magnus, M. Obturatorius
externus;
A. profunda femoris, A. Obturatoria;
N. obturatorius
Posterior M. Biceps femoris, M. Semitendinosus, M.
Semimembranosus, M. Adductor magnus;
Cabang-cabang a. Profunda femoris
Tungkai Anterior M. Tibialis anterior, M. Extensor digitorum
Bawah longus, M. Peroneus tertius, M. Extensor
hallucis longus, M. Extensor digitorum brevis;
A. Tibialis anterior;
N. Peroneus profundus
Lateral M. Peroneus longus, M. Peroneus brevis;
Cabang-cabang dari a. Peronea;
N. peroneus superficialis
Posterior M. Gastrocnemius, M. Plantaris, M. Soleus;
Superfisial A. Tibialis posterior;
N. Tibialis
Posterior M. Popliteus, M. Flexor digitorum longus, M.
Profundus Flexor hallucis longus, M. Tibialis posterior;
A. Tibialis posterior;
N. Tibialis
2.1.3 Patofisiologi
11
Fasia merupakan sebuah jaringan yang tidak elastis dan tidak dapat
meregang, sehingga pembengkakan pada fasia dapat meningkatkan
tekanan intra-kompartemen dan menyebabkan penekanan pada pembuluh
darah, otot dan saraf. Pembengkakan tersebut dapat diakibatkan oleh
fraktur yang kompleks ataupun cedera jaringan akibat trauma dan operasi.
A ktifitas fisik yang dilakukan secara rutin juga dapat menyebabkan
pembengkakan pada fasia, namun umumnya hanya berlangsung selama
aktifitas.
Patofisiologi sindrom kompartemen mengarah pada suatu ischemic
injury. Dimana struktur intra-kompartemen memiliki batasan tekanan yang
dapat ditoleransi. Apabila cairan bertambah dalam suatu ruang yang tetap,
maupun penurunan volume kompartemen dengan komponen yang tetap,
akan mengakibatkan pada peningkatan tekanan dalam kompartemen
tersebut.
Perfusi pada jaringan ditentukan oleh Tekanan Perfusi Kapiler atau
Capillary Perfusion Pressure (CPP) dikurangi tekanan interstitial.
Metabolisme sel yang normal memerlukan tekanan oksigen 5-7 mmHg.
Hal ini dapat berlangsung baik dengan CPP rata-rata 25 mmHg dan
tekanan interstitial 4-6 mmHg. Apabila tekanan intra-kompartemen
meningkat, akan mengakibatkan peningkatan tekanan perfusi sebagai
respon fisiologis serta memicu mekanisme autoregulasi yang
mengkibatkan ‘cascade of injury’.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen
sindrom yaitu, antara lain:
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen.
b. Theori of critical closing pressure.
Hal ini disebabkan oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan
tekanan mural arteriol yang tinggi. Tekanan trans mural secara signifikan
berbeda (tekanan arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk
memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan jaringan meningkat atau
tekanan arteriol menurun maka tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi
12
seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat
selanjutnya adalah arteriol akan menutup.
c. Tipisnya dinding vena.
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi
tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah
mengalir secara kontinyu dari kapiler, maka tekanan vena akan meningkat
lagi melebihi tekanan jaringan, sehingga drainase vena terbentuk kembali.
Sedangkan respon otot terhadap iskemia yaitu dilepaskannya
histamine like substances mengakibatkan dilatasi kapiler dan peningkatan
permeabilitas endotel. Ini berperan penting pada transudasi plasma dengan
endapan sel darah merah ke intramuskular dan menurunkan
mikrosirkulasi.
13
2.1.5 Diagnosis
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat setelah
kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk
mendiagnosis sindrom kompartemen yaitu nyeri dan parestesia.
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang
terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar,
penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal
didapatkan pallor (pucat) dan pulselessness (denyut nadi melemah) akibat
menurunnya perfusi ke jaringan tersebut. Menindak lanjuti pemeriksaan fisik
penting untuk mengetahui perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri
pada saat istirahat atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu,
terutama saat peregangan otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan
merupakan awal indikator klinis dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut
biasanya tidak dapat teratasi dengan pemberian analgesik termasuk morfin.
Kemudian bandingkan daerah yang terkena dan daerah yang tidak terkena.
2.1.6 Tatalaksana
Tujuan terapi adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu
mengembalikan aliran darah local. Penanganan sindrom kompartemen meliputi :
1. Terapi medikamentosa/non-operatif.
Pemilihan terapi secara medikamentosa digunakan apabila masih menduga
suatu sindrom kompartemen, yaitu:
a. Menempatkan ekstremitas yang terkena setinggi jantung, untuk
mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari
karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut konstriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindrom kompartemen.
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
14
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen.
2. Terapi pembedahan/operatif.
Terapi operatif untuk sindrom kompartemen apabila tekanan
intrakompartemen lebih dari 30 mmHg, memerlukan tindakan yang cepat dan
segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai
dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya,
kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang
dilanjutkan hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau
tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan. Keberhasilan
dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik dalam
fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai
bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan
insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri
dan vena peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke
empat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka
harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen,
kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan), atau dilakukan
pencangkokan kulit.
Adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi. Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi
intrakompartemen.
2.1.7 Komplikasi
Tekanan yang tidak dapat teratasi dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis
jaringan. Bila tidak teratasi, maka dapat menimbulkan rhabdomyolis dan gagal
ginjal. Sindrom kompartemen dapat mengalami komplikasi antara lain :
1. Kerusakan saraf yang permanen.
2. Infeksi.
15
3. Deformitas kosmetik akibat fasciotomi.
4. Kehilangan anggota tubuh .
5. Kematian.
2.1.8 Prognosis
Prognosis pada kasus sindrom kompartemen bisa menjadi baik atau
bertambah buruk, tergantung seberapa cepat penanganan kompartemen sindrom
dilaksanakan dan pada ada tidaknya komplikasi.
16
Bab 4 Pembahasan
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Closed fracture R. Cruris (S) & R.
Femur (D) serta sindrom kompartemen R. Cruris (S). Penegakan diagnosa ini
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari hasil anamnesis, ditemukan bahwa pasien mengeluh kakinya tidak
bisa merasakan apapun sejak 1 minggu yang lalu. Pasien tidak pernah menderita
keluhan seperti ini dan tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Tidak
ditemukan riwayat keluarga dengan keluhan yang sama.
Dari hasil pemeriksaan fisik, ditemukan ekstremitas kiri nampak hitam.
Kulit mengelupas dari pedis hingga sedikit di atas lutut. Sensasi raba (-). Oedem
(+).
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah :
b. Rawat luka.
Membersihkan luka pada tungkai pasien.