Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Seksio sesaria adalah kelahiran bayi melalui insisi pada dinding abdomen
(laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Definisi ini tidak termasuk
mengeluarkan bayi dari kavum abdomen pada kasus ruptur uteri atau kasus
kehamilan di kavum abdomen. Pada beberapa kasus, dan paling sering karena
komplikasi darurat seperti perdarahan yang tidak dapat diatasi, histerektomi
laparotomi diindikasikan dalam persalinan. Saat dilakukan pada waktu
persalinan sesar, operasinya disebut histerektomi sesaria. Jaika dilakukan
dalam waktu singkat setelah persalinan per vaginam, disebut histerektomi
postpartum.
Asal terminology „sesaria‟ tidak jelas. Salah satu penjelasannya
adalah menurut legenda, Julius Caesar dilahirkan melalui cara ini, dengan
hasil prosedur ini diketahui sebagai operasi sesar. Namun beberapa kenyataan
melemahkan penjelasan ini.
Sejak tahun 1965 sampai 1988, kejadian persalinan sesar meningkat secara
progresif dari hanya 4,5% menjadi hampir 25%. Sebagian besar peningkatan
ini terjadi pada tahun 1970an dan awal 1980an. Antara tahun 1989 dan 1996
kejadian persalinan sesar setiap tahunnya menurun di Amerika. Hal ini
berkaitan dengan peningkatan vaginal birth after cesarean (VBAC). Namun
sejak tahun 1996, jumlah kejadian sesar meningkat setiap tahun, dan pada
tahun 2002 menjadi 26,1%, angka kejadian tertinggi yang pernah dicatat di
Amerika.1

Beberapa penjelasan mengenai terjadinya kenaikan adalah karena : 2


1. Adanya pengurangan paritas
2. Wanita cenderung mempunyai anak pada usia lebih tua.
3. Pemantauan janin secara elektronik memungkinkan meningkatnya
peluang untk mendeteksi gawat janin
4. Bayi dengan presentasi bokong lebih sering dilahirkan dengan
seksio sesarea
5. Persalinan forcep yang semakin jarang dilakukan
6. Seksio sesarea berulang secara bermakna turut meningkatkan total
jumlah persalinan sesarea.
7. Peningkatan keprihatinan mengenai masalah malpratek

Keberhasilan VBAC ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara


lain usia ibu, indikasi seksio sebelumnya, riwayat persalinan pervaginam, cara
timbulnya persalinan dan jumlah skor Bishop.2 Keputusan menjalani VBAC
ditentukan oleh dokter dan pasien, tingginya keberhasilan VBAC merupakan
salah satu parameter pelayanan obstetri yang baik.
Jika VBAC atau persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio
(P4S) diterapkan pada semua pasien riwayat seksio sesarea (SS) ,
kecenderungan meningkatnya angka persalinan pervaginam sebesar 5%.
Angka keberhasilan P4S sebagian besar kepustakaan 60 – 80 %.
Dibandingkan dengan seksio sesarea kembali, P4S berhubungan dengan
morbiditas yang lebih rendah, transfusi darah lebih sedikit, infeksi post partum
lebih sedikit, lama perawatan lebih singkat, tanpa peningkatan morbiditas
perinatal. 2 Hasilnya adalah penghematan biaya secara signifikan.
Terdapat beberapa pendapat dalam obstetrik modern yang kontroversial pada
penatalaksanaan wanita dengan riwayat operasi sesar sebelumnya. Pada
beberapa dekade, skar uterus merupakan kontraindikasi persalinan pervaginam
karena takut akan terjadi ruptur uterus. Pada tahun 1916, Cragin membuat
suatu pernyataan “sekali sesar, selalu diikuti dengan sesar”. Kita harus ingat
bahwa pada saat pernyataan itu dikeluarkan, seksio sesaria dilakukan melalui
insisi vertikal uterus klasik yang digunakan secara universal yaitu insisi yang
dimulai dari segmen bawah uterus sampai dengan daerah fundus. Tetapi
pada tahun 1921, Kerr memperkenalkan insisi transversal. Penggunaan insisi
klasik mulai ditinggalkan sejak diperkenalkannya insisi transversal rendah.
Risiko ruptura uteri pada insisi transversal rendah 10 kali lebih rendah
dibandingkan dengan insisi klasik pada waktu persalinan.2,3
Persalinan dengan operasi sesar muncul pada 15% sampai dengan 25% dari
kelahiran. Pada tahun 2000 dan 2001, tingkat operasi sesar di Kanada sebesar
21%. Indikasi paling banyak untuk operasi sesar antara lain riwayat operasi
sesar sebelumnya, distosia, malpresentasi, dan status janin yang tidak

2
meyakinkan. Tahun 1988, tingkat operasi sesar secara keseluruhan sebesar
25%, meningkat dari kurang 5% pada awal tahun 1970-an. Hanya 3% dari
bayi yang lahir hidup dilahirkan pervaginam pada ibu dengan riwayat operasi
sesar sebelumnya.2
Meskipun partus percobaan pada bekas operasi sesar telah banyak diterima
pada praktek obstetri modern, tingkat kesuksesan persalinan pervaginan pada
bekas operasi sesar (Vaginal Birth After Cesaeran Section-VBAC), menurun
selama 10 tahun terakhir ini. Dimana 40-50% wanita memilih VBAC pada
tahun 1996, tapi sedikitnya hanya 20% wanita yang memilih VBAC pada
tahun 2002.3,4
BAB II
SECTIO SESAREA

I. DEFINISI 5
Sectio sesarea merupakan suatu cara melahirkan janin, plasenta dan selaput
melalui irisan pada dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus
(histeretomi).

II. ISTILAH 5
 Sectio caesarea primer
Sejak semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara sectio
caesarea, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul
sempit (CV kecil dari 8 cm)
 Sectio caesarea sekunder
Dalam hal ini kita bersikap mencoba menuggu kelahiran biasa (partus
percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan
gagal, baru dilakukan sectio caesarea.
 Sectio caesarea ulang
Ibu pada kehamilan yang lalu mengalami sectio caesarea dan kehamilan
selanjutnya dilakukan sectio caesarea ulang.
 Sectio caesarea histerektomi
Adalah suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan sectio
caesarea, langsung dilakukan histerektomi oleh karena suatu indikasi.
 Sectio caesarea post mortem
Adalah sectio caesarea pada ibu hamil cukup bulan yang meninggal tiba –
tiba sedangkan janin masih hidup.
 Operasi porro
Adalah suatu operasi, tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (janin
sudah mati) dan langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan
infeksi rahim yang berat.
III. INDIKASI 5,2
Persalinan secara seksio sesarea sebenarnya diindikasikan untuk
menghindari kematian ibu dan bayi terutama bila terdapat kontraindikasi
selama persalinan atau bila persalinan pervaginam menghadapi hambatan atau
beresiko. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan indikasi yang paling
sering menyebabkan seksio adalah seksio sebelumnya dan distosia pada pasien
tersebut, selain itu fetal distress juga merupakan penyebab hanya dalam
proporsi yang lebih kecil. Di sini kita mengenal indikasi ibu dan indikasi janin.

Indikasi ibu : 5
1. Panggul sempit absolut
2. Tumor – tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
3. Disproporsi sefalo pelvik, yaitu ketidakseimbangan antara ukuran
kepala dan panggul
4. Stenosis serviks atau vagina
5. Ruptura uteri mengancam
6. Plasenta Previa Totalis
7. Partus lama
8. Partus tidak maju
9. Preeklampsia dan eklampsia
10. Sudah pernah SC dua kali (SC yang ketiga kalinya)

Indikasi janin : 5
1. Kelainan letak
2. Gawat janin

Pada umumnya sectio caesarea tidak dilakukan pada : 2,5


1. Janin mati
2. Ibu syok, anemia berat sebelum diatasi
3. Kelainan kongenital berat
4. Kelainan pembekuan darah
IV. JENIS – JENIS OPERASI SECTIO 2,5,6
1. Sectio caesarea klasik atau korporal menurut Sanger
Insisi memanjang pada segmen atas uterus. Pembedahan ini lebih mudah
dilakukan dengan insisi memanjang pada segmen atas uterus dan hanya
dilakukan bila ada halangan untuk melakukan sectio transperitoneal
profunda. Misalnya :
a. Jika segmen bawah uterus tidak dapat dicapai dengan aman, karena
adanya perlengketan hebat dengan kandung kemih akibat operasi
sebelumnya, atau jika terdapat mioma pada segmen bawah uterus atau
jika terdapat karsinoma serviks yang infasif.
b. Pada letak lintang bayi besar, terutama bila selaput ketuban telah pecah
dan bahu anak terjepit di jalan lahir.
c. Pada beberapa kasus plasenta previa dengan implantasi depan terutama
jika akan dilakukan sterilisasi.
Teknik :
1. Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan
operasi dipersempit dengan kain suci hama.
2. Pada dinding perut dibuat insisisi mediana mulai dari atas simfisis
sepanjang ± 12 cm sampai dibawah umbilicus lapis demi lapis
sehingga kavum peritoneal terbuka.
3. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa laparotomi
4. Dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atas rahim
(SAR), kemudian diperlebar secara sagital dengan guting.
5. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan. Janin
dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus uteri.
Setelah janin lahir seluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong di antara
kedua penjepit.
6. Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 UI oksitosin ke
dalam rahim secara intramural.
7. Luka insisi SAR dijahit kembali :
Lapisan I : endometrium bersama miometrium dijahit secara
jelujur dengan benang catgut chromic
Lapisan II : hanya miometrium saja dijahit secara simpul
(berhubung otot SAR sangat tebal) dengan catgut chromic
Lapisan III : perimetrium saja, dijahit secara simpul dengan benang
catgut biasa.
8. Setelah diding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi.
9. Rongga perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka
dinding perut dijahit.

Kelebihan :
 Mengeluarkan janin lebih cepat.
 Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik.
 Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal.
Kekurangan :
 Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonealisasi yang baik.
 Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptur uteri karena
kurang kuatnya parut pada dinding uterus sehingga pada kehamilan
berikutnya harus sectio caesarea lagi.
 Kemungkinan terajadinya perlengketan dengan dinding abdomen lebih
besar.

2. Sectio caesarea transperitoneal Profunda


Insisi melintang konkaf pada segmen bawah uterus kira – kira 10 cm.
Setelah dinding uterus tampak, plika vesikouterina dibuka secara tajam
dan vesika didorong ke bawah sehingga dinding uterus bebas.
Teknik :
1. Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan
lapangan operasi dipersempit dengan kain suci hama.
2. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas
simfisis sampai di bawah umbilikus lapis demi lapis sehingga
kavum peritonei terbuka.
3. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa
laparotomi.
4. Dibuat bladder flap, yaitu dengan mengguting peritoneum
kandung kencing (plika vesiko uterina) di depan segmen bawah
rahim (SBR) secara melintang. Plika vesiko uterina ini
disishkan secara tumpul ke arah samping dan bawah, dan
kandung kencing yang telah disisihkan ke arah bawah dan
samping dilindungi dengan spekulum kandung kencing.
5. Dibuat insisi pada segemen bawah rahim 1 cm di bawah irisan
plika vesiko uterina tadi secara tajam deangn pisau bedah ± 2
cm, kemudian diperlebar melintang secara tumpul dengan
kedua telunjuk operator. Arah insisi pada segmen bawah rahim
dapat melintang (transversal) sesuai cara Kerr; atau membujur
(sagital) sesuai cara Kronig.
6. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan, janin
dilahirkan dengan meluksir kepalanya. Badan janin dilahirkan
dengan mengait kedua ketiaknya. Tali pusat dijepit dan
dipotong, plasenta dilahirkan secara manual. Ke dalam otot
rahim intramural disuntikkan 10 U oksitosin. Luka dinding
rahim dijahit.
Lapisan I : dijahit jelujur, pada endometrium dan
miometrium saja.
Lapisan II : dijahit jelujur hanya pada miometrium saja
Lapisan III : dijahit jelujur pad aplika vesiko uterina
7. Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa
dieksplorasi.
8. Rongga dinding perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan
akhirnya luka dinding perut dijahit.

Kelebihan :
 Penjahitan luka lebih mudah
 Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
 Tumpang tindih dari peritoneal flat baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum.
 Perdarahan kurang.
 Dibandingkan dengan cara klasik, kemungkinan ruptur uteri spontan
kurang atau kecil.
3. Sectio caesarea ekstraperitoneal
Tujuan operasi adalah membuka uterus secara ektraperitoneal melalui
kavum Retzii, dan kemudian melalui salah satu sisi serta di belakang
kandung kemih mencapai segmen bawah uterus sehingga dapat
menghindari kontaminasi kavum uteri oleh infeksi yang terdapat di luar
uterus. Dianjurkan untuk menangani kehamilan dengan infeksi
intrauterine. Operasi tipe ini tidak banyak kerjakan lagi karena
perkembangan antibiotika, dan untuk menghindarkan kemungkinan infeksi
yang dapat ditimbulkannya.
4. SC diikuti Histerektomi
Dilakukan histerektomi setelah seksio dengan indikasi :
a. Atonia uteri
b. Mioma uteri yang besar dan atau banyak
c. Plasenta Acreta
d. Solusio Plasenta (uterus Couvelaire)
e. Infeksi intrauterine berat
f. Carsinoma uteri yang masih dapat dioperasi
Histerektomi pasca persalinan dapat dilakukan secara supravaginal
menurut Porro (subtotal) atau total. Histerektomi total mungkin diperlukan
pada kasus robekan segmen bawah rahim yang meluas sampai serviks atau
perdarahan plasenta previa.
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig
b. Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
c. Sayatan huruf T (T – incision)

V. KOMPLIKASI SECTIO CAESAREA 2,5


Setiap tindakan operasi SC memiliki tingkat kesulitan yang berbeda.
Misalnya pada operasi kasus persalinan macet dengan kedudukan kepala janin
pada akhir jalan lahir, sering terjadi cedera pada rahim bagian bawah atau
cedera pada kandung kemih (robek). Dapat juga pada kasus operasi
sebelumnya di mana dapat ditemukan perlengketan organ dalam panggul
sering menyulitkan saat mengeluarkan bayi dan dapat pula menyebabkan
cedera pada kandung kemih dan usus.
Walaupun jarang namun fatal akibatnya adalah komplikasi emboli air
ketuban yang dapat terjadi selama tindakan operasi, yaitu masuknya cairan
ketuban ke dalam pembuluh darah terbuka yang disebut embolus. Jika
embolus mencapai pembuluh darah jantung maka akan timbul gangguan pada
jantung dan paru, di mana dapat terjadi henti jantung dan henti nafas tiba-tiba,
dan akibatnya adalah kematian mendadak dari ibu.
Komplikasi lain yang dapat terjadi sesaat setelah operasi SC adalah
infeksi, yang disebut morbiditas pasca operasi. Kurang lebih 90% dari
mobiditas pasca operasi disebabkan oleh infeksi (endometritis, infeksi salurah
kemih, usus dan luka operasi).

Tanda-tanda infeksi antara lain :


1. Demam tinggi
2. Nyeri perut
3. Nyeri bila buang air kecil
4. Kadang-kadang disertai lokia berbau
5. Luka operasi bernanah
6. Luka operasi terbuka dan sepsis.
Bila mencapai keadaan sepsis, resiko kematian ibu akan tinggi sekali.

Keadaan yang memudahkan terjadinya komplikasi :


1. Persalinan dengan ketuban pecah lama.
2. Ibu menderita anemia
3. Sangat gemuk
4. Hipertensi
5. Gizi buruk
6. Sudah menderita infeksi saat persalinan
7. Penyakit lain yang diderita ibu, misalnya Diabetes Mellitus

Komplikasi pada ibu :


a. Emboli air ketuban
b. Infeksi nifas
c. Perdarahan
d. Ruptur uteri
e. Cedera kandung kemih, cedera pembuluh darah, cedera usus

Komplikasi pada janin :


a. Depresi susuan saraf pusat janin akibat penggunaan obat-obat anastesi
b. Cedera pada bayi sampai kematian bayi.

VI. PASCA SECTIO CAESAREA

Penyembuhan Luka Pasca SC 2,9,10


Perawatan pertama yang dilakukan setelah selesai operasi adalah pembalutan
luka (wound dressing) dengan baik. Secara periodik pembalut luka diganti dan
dibersihkan.
Seringkali kita temukan komplikasi pada luka pasca SC, seperti :
1. Sebagian luka sembuh dan tertutup dengan baik, sebagian yang lain
terdapat eksudat dalam jumlah sedang atau banyak dan keluar melalui
lubang-lubang (fistel) dan terinfeksi.
2. Luka terbuka sebagian, bernanah dan terinfeksi
3. Luka terbuka seluruhnya dan usus kelihatan atau keluar
Luka tersebut memerlukan perawatan khusus sampai memerlukan
reinsisi untuk membuat luka baru dan menutupnya kembali. Komplikasi di
atas sering kita jumpai pada kasus dengan DM, obesitas, dan partus lama di
mana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartum.
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya gangguan pada
penyembuhan luka uterus : 2
a. Aposisi garis pemotongan yang tidak baik
b. Adanya hematoma pada daerah luka operasi
c. Adanya sepsis
d. Adanya peregangan pada segmen bawah uterus sehingga mengurangi
vaskularisasi otot-otot uterus
e. Keadaan umum tidak baik
Faktor-faktor yang menyebabkan bekas operasi SC transperitoneal
profunda lebih baik dibanding bekas operasi SC secara korporal. 2

Bekas SC Transperitoneal Bekas SC


Profunda klasik/histerektomi
Aposisi Garis pemotong yang tipis Sulit untuk aposisi garis
membantu aposisi yang yang tebal. Terbentuk
baik tanpa meniggalkan poket yang mengandung
poket darah, yang akhirnya akan
diganti dengan jaringan
fibrosa. Pembentukan
saluran pada bagian dalam
lebih sering terjadi karena
desisua sering tertinggal
pada waktu menjahit.
Keadaan uterus Bagian uterus tidak banyak Bagian uterus berkontraksi
sewaktu bergerak selama proses dan berretraksi sehingga
penyembuhan penyembuhan jahitan terganggu,
menyebabkan luka sembuh
kurang baik
Efek Bekas luka operasi pada Pereganggan terjadi
perenggangan kehamilan berikutnya dan bersudut tegak terhadap
persalinan normal bekas operasi
merenggang mengikuti
garis bekas operasi
Impalantasi Kemungkinan Kemungkinan besar
plasenta pada melemahnya bekas operasi plasenta melekat pada
kehamilan oleh pelekatan plasenta bekas operasi dan
berikutnya tidak ada melemahnya dengan
adanya penetrasi trofoblas
atau herniasi kantong
amnion melalui saluran
yang terbentuk
Efek keseluruhan a. Bekas operasi baik a. Bekas operasi lemah
b. Ruptur hanya terjadi b. Ruptur dapat terjadi
pada waktu partus pada waktu kehamilan
tua dan persalinan (5-
20x lebih sering)
Lama perawatan 5-7 hari, masa pemulihan selama 6 minggu
BAB III
PENGELOLAAN KEHAMILAN DAN PERSALINAN PERVAGINAM PADA
BEKAS SECTIO CAESAREA

Pada bekas SC tidak harus selalu diikuti dengan tindakan SC pada


persalinan berikutnya.
Suatu persalinan ditetapkan sebagai persalinan pervaginam pasca seksio
sesarea apabila cara persalinan dinyatakan sebagai persalinan pervaginam
pasca seksio sesarea atau sebagai persalinan pervaginam seksio sesarea
dengan bantuan alat (misalnya persalinan yang dibantu dengan forsep atau
vakum).10
Dalam “ACOG VBAC Guidelines”, dinyatakan bahwa apabila tidak
terdapat kontraindikasi pada wanita dengan riwayat persalinan seksio sesarea
dengan insisi segmen bawah rahim, maka wanita tersebut adalah kandidat
untuk persalinan pervaginam pasca seksio sesarea dan harus diberi penyuluhan
dan dianjurkan untuk menjalani persalinan percobaan. 10
Insisi pada segmen bawah rahim diterapkan pada lebih dari 90% kasus.
Tipe insisi ini banyak dipilih karena tidak membahayakan segemen bagian
atas uterus dan memberikan kemungkinan pilihan persalinan percobaan pada
kehamilan berikutnya. Apabila insisi diperlebar ke lateral, maka laserasi dapat
terjadi pada salah satu atau kedua arteri uterina. Pada umumnya insisi
transversal pada segmen bawah rahim: (1) menyebabkan lebih sedikit
perdarahan, (2) lebih mudah diperbaiki, (3) lokasinya pada tempat dengan
kemungkinan ruptur paling kecil pada kehamilan selanjutnya, dan (4) tidak
menyebabkan perlengketan ke usus atau omentum pada garis insisi. Daerah
segmen bawah rahim memiliki vaskularisasi lebih sedikit dan pada saat
persalinan mengalami peregangan secara perlahan-lahan, sehingga memiliki
kecenderungan yang lebih kecil untuk terjadinya ruptur. 10
Insisi vertikal dilakukan bila segmen bawah rahim tidak terbentuk dengan
baik atau apabila janin dalam posisi backdawn transverse. Insisi vertikal
merupakan pilihan yang bijaksana kecuali bila segmen bawah rahim telah
terbentuk dengan baik. Insisi klasik adalah insisi yang melibatkan segmen
uterus bagian atas. Kekurangannya adalah bahwa insisi klasik memiliki
kecenderungan terjadinya perlengketan yang lebih besar dan memiliki resiko
ruptur yang lebih besar pada kehamilan selanjutnya. Dalam kehamilan
berikutnya, ruptur lebih sering terjadi pada insisi vertikal yang melebar ke
miometrium bagian atas daripada segmen bawah rahim, khususnya pada saat
persalinan. Insisi vertikal atau insisi klasik memiliki jaringan parut yang lebih
tebal dan terletak pad asegmen atas uterus yang lebih kontraktil.
Vermont /New Hampshire VBAC Guidelines membagi pasien-pasien
kandidat TOLAC menjadi tiga kelompok berdasarkan resiko: 10
1. Kelompok resiko rendah, yaitu pasien-pasien dengan:
a. satu kali persalinan SCTPP
b. saat mulainya persalinan berlangsung spontan
c. tidak memerlukan augmentasi persalinan
d. tidak terdapat kelainan pola denyut jantung anak yang berulang
e. riwayat persalinan pervaginam pasca seksio sesarea
2. Kelompok resiko sedang, yaitu pasien-pasien dengan :
a. induksi persalinan secara mekanik atau dengan oksitosin
b. augmentasi persalinan dengan oksitosin
c. ≥ 2 kali persalinan SCTPP
d. Jarak antara SC sebelum kehamilan ini dengan waktu persalinan
saat ini < 18 bulan.
Kelompok resiko tinggi, yaitu pasien-pasien dengan :
a. Kelainan pola DJA yang meragukan dan berulang yang
tidak responsif terhadap intervensi pengobatan
b. Perdarahan yang menunjukkan tanda-tanda terjadinya
solusio plasenta
c. Dua jam tanpa perubahan serviks dalam fase aktif walaupun his
adekuat.
Bila penyebabnya menetap seperti pada kasus panggul sempit kita harus
melakukan SC primer, namun bila penyebabnya tidak menetap, wanita
tersebut boleh melahirkan pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut : 9,2
1. Tidak dibenarkan pemakaian oksitosin dalam kala I untuk memperbaiki
his, apabila digunakan, maka bunyi jantung janin harus diawasi ketat, bila
terjadi bradikardi atau variabel deselerasi, maka hal ini menunjukkan tanda
awal ruptur uteri, sehingga harus segera dioperasi. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa penggunaan prostaglandin dan oksitosin pada bekas SC
memperbesar terjadinya ruptur uteri.
2. Kala II harus dipersingkat
Ibu diperbolehkan mengedan selama 15 menit. Jika dalam waktu 15 menit
ini bagian janin turun dengan pesat, maka Ibu ini diperbolehkan mengedan
lagi selama 15 menit lagi. Jika setelah 15 menit kepala tidak turun dengan
cepat, dapat dilakukan ekstraksi forceps atau vakum bila syarat-syarat
terpenuhi.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
disimpulkan bahwa induksi persalinan pada wanita yang pernah seksio
mengandung resiko ruptur uteri 2-3x lebih besar dibandingkan dengan
persalinan yang timbul secara spontan pada wanita dengan riwayat seksio.
ACOG (2002) menyebutkan bahwa oksitosin dapat digunakan untuk induksi
atau augmentasi dengan monitoring ketat pada wanita yang mempunyai
riwayat seksio sebelumnya yang akan menjalani persalinan pervaginam
(VBAC).
Induksi persalinan dengan prostaglandin E2 atau misoprostol (analog
prostaglandin) paling banyak mengakibatkan ruptur uteri pada wanita dengan
riwayat seksio sesaria. Jika dibandingkan dengan oksitosin, resiko ruptur uteri
3 kali lebih besar.
Dari wanita yang menjalani P4S (VBAC), angka ruptura uteri sangat
bervariasi tergantung faktor risiko yang ada. Untuk menghindari terjadinya
komplikasi ini, kita harus mengenali faktor risiko pada pasien.
Adapun faktor risiko itu adalah:
1. Riwayat Persalinan , meliputi :
Jenis parut
Insisi transversal rendah risikonya, kira-kira 1 % sedangkan insisi klasik 12%.
Kepustakaan lain menyatakan bahwa resiko terjadinya ruptura uterus pada
bekas SC dengan insisi klasik adalah 4-9 %, T-shaped 4-8%, low vertikal 1-
7% dan transversal 0,2-1,5%.
Jumlah SC sebelumnya
Berapa jumlah SC yang masih dianggap aman untuk P4S sampai saat ini
masih belum jelas, karena terdapatnya hasil yang berbeda dari berbagai
penelitian. Akan tetapi dikatakan bahwa resiko ruptur lebih besar pada wanita
dengan riwayat seksio. Resiko ruptur pada wanita 2 kali seksio 5 kali lebih
besar dari wanita dengan riwayat seksio 1 kali.
Interval persalinan
Jarak antara waktu persalinan seksio sesarea yang lalu dengan taksiran partus
kehamilan sekarang sekurang-kurangnya 18 bulan untuk memastikan kekuatan
uterus pada kehamilan sekarang.
Infeksi setelah SC
Infeksi setelah SC merupakan suatu predisposisi penyembuhan luka yang jelek
dan pada beberapa tempat hal ini merupakan kontraindikasi untuk
dilakukannya P4S.
2. Faktor Ibu, meliputi
Umur
Suatu studi oleh Shipp dkk menyakan bahwa usia diatas 30 tahun mungkin
berhubungan dengan kejadian ruptura yang lebih tinggi, dengan
membandingkan insidens ruptura uteri pada wanita <30 tahun 0,5% dengan
wanita >30 tahun 1,4%. Wanita >30 tahun berisiko 3,2 kali mengalami ruptura
uteri dibandingkan dengan <30 tahun ( OR ; 3,2 angka kepercayaan 95 %). 1,5
Wanita >40 tahun memiliki kemungkinan 3 kali lebih besar untuk gagal
melakukan VBAC dibanding dengan wanita <40 tahun.3
Anomali uterus
Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali uterus.
3. Karakteristik kehamilan saat ini
Makrosomia
Risiko ruptura uteri akan meningkat dengan meningkatnya berat badan janin
karena terjadinya distensi uterus.
Ketebalan segmen bawah rahim (SBU)
Risiko terjadinya ruptura 0% bila ketebalan SBU > 4,5 mm, 10% bila 2,6-3,5
mm dan 16% pada ketebalan <2,5mm.11
Percobaan P4S dapat dilakukan pada sebagian besar wanita dengan insisi
uterus transversal rendah dan tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginam.
Kriteria seleksi pasien yang mencoba P4S menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG), yaitu: 2,8
1. Satu atau dua seksio dengan insisi transversal rendah
2. Panggul adekuat secara klinis
3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptura uteri
4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor persalinan
dan melakukan seksio sesarea segera ( dalam waktu 30 menit )
5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio
sesarea segera.
Beberapa persyaratan lainnya antara lain : 2,8
1. Tidak ada indikasi seksio sesarea ( lintang, plasenta previa )
2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea
sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama perawatan).
3. Segera mungkin pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai.
4. Tersedia darah untuk transfusi.
5. Janin presentasi verteks normal.
6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf, fasilitas)
7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea darurat.
8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya.
Sedangkan kontraindikasi P4S menurut ACOG : 2,8
1. Riwayat insisi klasik atau T atau operasi uterus transfundal lainnya
(termasuk riwayat histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif ).
2. Panggul sempit atau makrosomia
3. Komplikasi medis atau obstetri yang melarang persalinan pervaginam
4. Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak adanya
operator, anastesia, staf atau fasilitas.

Untuk memperkirakan keberhasilan P4S, dibuat sistem penilaian


dengan memperhatikan beberapa variabel yaitu nilai Bishop, persalinan
pervaginam sebelum seksio sesarea, dan indikasi seksio sesarea sebelumya.
Weinstein dkk dan Alamia dkk telah menyusun sistem penilaian untuk
memperkirakan keberhasilan P4S. Namun, menurut ACOG, tidak ada suatu
cara yang memuaskan untuk memperkirakan apakah P4S akan berhasil atau
tidak.
Sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S modifikasi Flamm-
Geiger adalah sebagai berikut : 8
No Faktor Nilai
1 Umur
Dibawah 40 tahun 2
Diatas 40 tahun 1
2 Riwayat persalinan pervaginam :
Sebelum dan setelah seksio sesarea 4
Setelah seksio sesarea 2
Sebelum seksio sesarea 1
Belum pernah 0
3 Indikasi seksio sesarea pertama selain kegagalan 1
kemajuan persalinan
4 Nilai Bishop pada saat masuk rumah sakit
≥4 2
<3 1
5 Taksiran Berat Janin
Sekarang < dulu 2
Sekarang = dulu 1
Sekarang > dulu 0

Nilai 8-10: keberhasilan P4S 95 %


Nilal 4-7: keberhasilan P4S 78,8 %
Nilai 0-3: keberhasilan P4S 60,0%
Sistem skoring menurut Weinstein

Nilai*
No. Variabel Tidak Ya
1 Nilai bishop ≥ 4 0 4
2 Persalinan pervaginam sebelum SC 0 2
3 Indikasi SC sebelumnya
-kategori A 0 6
Malpresentasi
Hipertensi dalam kehamilan
(HDK)
Gemeli
-kategori B 0 5
Plasenta previa atau solusio
plasenta
Prematuritas
Ketuban pecah dini
-kategori C 0 4
Fetal distress
CPD atau distosia
Prolaps tali pusat
-kategori D 0 3
Makrosomia
Pertumbuhan janin terhambat
(PJT)

*Nilai berkisar antara 0-12


Jumlah nilai tertinggi adalah 12, jika jumlah nilai adalah :
- ≥4, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 58%
- ≥6, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 67%
- ≥8, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 78%
- ≥10, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 85%
- ≥ 12, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 88%
Sistem skoring menurut Alamia
No. Variabel Nilai
1 Riwayat persalinan pervaginam sebelumnya 2
2 Indikasi SCsebelumnya
-sungsang, gawat janin, PP, elektif 2
-distosia pada Ø < 5 cm 1
-distosia pada Ø > 5 cm 0
3 Dilatasi serviks
- > 4cm 2
- >2,5 cm tapi < 4 cm 1
- < 2,5 cm 0
4 Stasion dibawah -2 2
5 Panjang serviks ≤ 1 cm 1
6 Persalinan timbul spontan 1
*Nilai berkisar antara 0 sampai 10
Jika nilai :
- 7-10, prediksi keberhasilan 94,5%
- 4-6, prediksi keberhasilan 78,8%
- 0-3, prediksi keberhasilan 60%

RUPTUR UTERI PADA BEKAS SECTIO CAESAREA 2,6,9

Ruptura uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum viserale. Ruptur
uteri dapat terjadi pada uterus yang utuh (ruptur uteri spontan), pada bekas
luka dinding rahim, misalnya bekas SC atau operasi pada otot rahim, maupun
ruptur uteri akibat tindakan pada pertolongan persalinan (ruptur uteri violenta).
Secara klinis ruptur uteri dapat menyebabkan adanya hubungan langsung
antara kavum uteri dengan rongga peritoneum (ruptur uteri kompleta) atau
tetap terpisah oleh peritoneum viseral yang menutupi uterus
(ruptura uteri inkompleta).
Penting untuk membedakan antara ruptur pada parut SC dan
terbukanya (dehiscence) parut pada bekas SC. Ruptur uteri merujuk pada
terpisahnya insisi lama pada uterus hampir sepanjang seluruh jaringan parut
tersebut, diikuti dengan robeknya selaput fetal sehingga kavum uteri
berhubungan langsung dengan rongga peritoneum. Pada keadaan ini seluruh
atau sebagian dari janin berada di rongga peritoneum. Sebagai tambahan,
biasanya terdapat perdarahan yang signifikan dari pinggiran luka ke arah
uterus.
Sebaliknya pada dehisens selaput fetal tidak robek dan janin tidak
masuk ke rongga peritoneum. Biasanya pada dehisens jaringan yang terpisah
tidak meliputi seluruh lapisan parut, peritoneum yang melapisi defek tersebut
tetap intak dan tidak ditemukan adanya perdarahan atau minimal. Dehiscence
terjadi perlahan-lahan, sedangkan ruptur sangat simptomatik dan kadang-
kadang fatal. Dengan timbulnya persalinan atau manipulasi intrauterine, suatu
dehiscence dapat terjadi ruptur.
Ruptur uteri semacam ini lebih sering terjadi pada luka bekas SC
klasik dibandingkan dengan luka bekas SC profunda. Ruptur bekas SC klasik
sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan luka bekas SC profunda
biasanya baru terjadi dalam persalinan, karena itu semua pasien bekas SC
yang hamil lagi harus diawasi oleh seorang dokter ahli, baik sewaktu
kehamilan maupun persalinan.
Untuk itu kita perlu mengenal betul gejala dari ruptur uteri mengancam
sebelum terjadinya ruptur uteri sebenarnya agar kita dapat bertindak
secepatnya.
Adapun gejalanya, antara lain : 6
1. Pesien tampak gelisah, ketakutan, disertai rasa nyeri perut bagian bawah
terus menerus, juga pada waktu diraba, terutama di luar his.
2. Pernafasan dan denyut nadi cepat dari biasanya.
3. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama, yaitu mulut kering, lidah
kering dan haus, badan panas.
4. Pada abdomen dijumpai :
a. Lingkaran Bandle meningkat sampai setinggi pusat
b. Bagian bawah terasa nyeri
c. Ligamentum rotundum teraba tegang
d. Kontraksi rahim kuat dan terus-menerus
e. Bunyi jantung janin tidak ada atau tidak baik karena anak mengalami
asfiksia disebabkan oleh kontraksi dan retraksi rahim yang berlebihan.
5. Pada pemeriksaan dalam, didapatkan :
a. Bagian terendah janin terfiksir
b. Mungkin dijumpai edema serviks
Bila keadaan tersebut dibiarkan, maka suatu saat akan terjadi ruptur uteri,
dengan tanda-tanda sebagai berikut : 6
1. Pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit seolah-olah perutnya
sedang dirobek.
2. Segmen bawah rahim terasa nyeri sekali bila di palpasi.
3. Bunyi jantung tidak ada.
4. Tidak lama kemudian akan menunjukkan gejal-gejala kolaps dan jatuh
dalam syok, dengan tanda-tanda :
a. tekanan darah rendah sampai tidak terukur
b. nadi cepat dan kecil
c. frekuensi pernafasan meningkat
d. akral pucat dan dingin
e. pada pemeriksaan abdomen didapatkan :
 tanda ciran bebas
 bagian bawah janin mudah diraba di bawah kulit
 pada palpasi, abdomen terasa nyeri
 di samping janin teraba uterus yang padat
f. pada pemeriksaan dalam dijumpai :
 bagian terendah janin dapat didorong ke dalam kavum abdominalis
 pada sarung tangan terdapat darah
 tempat robekan ruptur uteri dapat diraba

Ruptur uteri pada bekas SC sering sukar sekali didiagnosa, karena


tidak ada gejala-gejala khas seperti pada rahim yang utuh. Mungkin hanya
ada perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan atau ada perasaan
nyeri pada daerah bekas luka. Ruptur semacam ini disebut silent rupture, di
mana gambaran klinisnya sangat berbeda dengan gambaran klinis ruptur
uteri pada uterus yang utuh. Hal ini dikarenakan biasanya ruptur pada bekas
luka SC terjadi sedikit demi sedikit dan lagi pula perdarahan pada ruptur
bekas luka SC profunda terjadi retroperitoneal hingga tidak menyebabkan
gejala perangsangan pada peritoneum. Maka sebaiknya pada semua penderita
bekas SC yang bersalin pervaginam dilakukan eksplorasi kavum uteri.
Ruptur uteri merupakan keadaan gawat darurat obstetrik yang
berbahaya karena angka kematiannya tinggi. Penyebab kematian ruptur uteri
terutama adalah perdarahan dan infeksi. Pertolongan pertama pada ruptur
uteri terutama adalah transfusi darah dan antibiotika yang adekuat. Setelah
keadaan umum penderita baik, segera dilakukan histerektomi.
Dapatkan riwayat obstetrik pasien
 Indikasi SS, jumlah SS, insisi uterus, penyembuhan luka
 Riwayat partus pervaginam
 Riwayat operasi uterus/ ruptur
 Infertilitas / mortalitas & morbiditas neonatal

Kontraindikasi partus pervaginam pada pasien


pernahseksio ?
1. Riwayat insisi klasik atau T atau operasi uterus
transfundal lainnya . Ya Asuhan
2. Panggul sempit antenatal dan
3. Komplikasi medis atau obstetri yang melarang seksio sesarea
persalinan pervaginam elektif
4. Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea
segera karena tidak adanya operator, anastesia,
staf

Tidak

Konseling kepada pasien mengenai keuntungan dan risiko


partus pervaginam pada pasien pernah seksio

Ya
Pasien ingin mencoba partus pervaginam Asuhan antenatal

Tidak

Asuhan antenatal Persalinan normal

Seksio sesarea kembali


Tidak Ya

Komplikasi persalinan Partus pervaginam

Tidak
Ya
Persalinan pervaginam masih tepat ?

Algoritma
Tatalaksana persalinan pervaginam pada pasien pernah seks io
BAB IV

IKHTISAR KASUS

Kasus I
I. IDENTITAS

Pasien Suami
Nama Ny. I Tn. A
Umur 33 thn 40 thn
Agama Islam Islam
Suku Jawa Jawa
Pendidikan SD SMA
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Karyawan
Alamat Jl.Abdul wahab Rt.05/Rw.07 Sawangan, Depok
Masuk RS 18 Januari 2010, 18.20 WIB

II. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis pada 19 Januari 2010, 16.00 WIB


A. Keluhan Utama
Keluar darah sejak 1 hari smrs.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Kehamilan ketiga, pasien mengaku hamil 9 bulan. HPHT 15 April
2009; TP 22 Januari 2010 ~ UK 39 minggu. ANC di bidan tidak
teratur, tidak pernah USG sebelumnya. Keluar darah dari kemaluan
sejak 1 hari smrs. Banyaknya ± 2 kali ganti pembalut, warna merah
segar, terdapat gumpalan darah. Nyeri perut (-). Riwayat keluar darah
pada kehamilan ini sebelumnya (-), Mules-mules (-), keluar air (-),
nyeri perut (-), riwayat trauma (-), riwayat berhubungan badan (-),
keputihan (-). Gerak janin (+).

C. Riwayat Menstruasi
Menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari, teratur, lama haid 7 hari, banyaknya 2-3
kali ganti pembalut, dismenore (-).

D. Riwayat pernikahan

Menikah 2x, saat umur 18 tahun, kemudian bercerai, Menikah lagi


yang kedua umur 28 dengan suami umur 35 tahun.

E. Riwayat kehamilan
I. Normal, perempuan, 7 tahun, 3000 gr, bidan, sehat
II. SC a.i letak lintang, 3 tahun, 3100 gr, dokter RS, sehat
III. Ini

F. Riwayat Keluarga Berencana


Menggunakan KB suntik 3 bulan selama 1,5 tahun

G. Riwayat penyakit dahulu


Pasien menderita penyakit asma
Penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi disangkal.

H. Riwayat penyakit keluarga


Asma (ayah)

I. Riwayat Operasi:
Riwayat SC 3 tahun yang lalu.

J. Riwayat Kebiasaan dan Psikososial:


Tidak ada riwayat merokok, konsumsi narkoba, pengobatan herbal
maupun riwayat kekerasan dalam rumah tangga.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis :
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : TD : 100/80 mmHg N : 88x/mnt
RR : 20x/mnt S : 37,10C
BB sekarang : 76 kg
BB sebelum hamil : 60 kg
Kepala : Normosefali, rambut hitam, lurus, distribusi
merata
Mata : Pupil bulat isokor, konjungtiva anemis +/+, sklera
Ikterik -/-.
Mulut : Tidak kering, tidak sianosis.
Leher : Pada perabaan kelenjar tiroid tidak membesar,
kelenjar getah bening tidak membesar.
Thoraks :
Cor : BJI-II regular, murmur (-), gallop (-).
Pulmo : Sn Vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-).
Mammae : Simetris, hiperpigmentasi pada kedua areola,
retraksi puting (-/-), benjolan (-/-).
Abdomen : Lihat Status Obstetrikus
Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai (-/-).

B. Status Obstetrikus
Abdomen
Inspeksi : membuncit sesuai masa kehamilan, arah memanjang,
striae gravidarum (+)
Palpasi:

LI : FUT 31 cm, teraba 1(satu) bagian besar janin, tidak keras, tidak

melenting
LII : Kiri : teraba bagian- bagian kecil janin

Kanan : teraba 1(satu) bagian keras seperti papan

LIII: teraba 1(satu) bagian besar, bulat, keras, melenting


LIV: 4/5
His (-), gerak janin (+)

Auskultasi : DJJ 132 dpm, teratur, kualitas kuat


Kesan : TFU 31 cm, letak janin memanjang, punggung berada di sisi
kanan , His (-), gerak janin (+), BJJ 132 dpm
Anogenital

Inpeksi : vulva - uretra tenang, perdarahan aktif ( - )


Io : Portio licin, ostium terbuka 1cm, perdarahan mengalir
(-), bekuan darah di vagina dikeluarkan sekitar ± 5 cc,
fluksus (+), fluor (-).
VT : Tidak dilakukan.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium ( tanggal 18 Januari 2010 )
Darah lengkap
Hb : 10,5 g/dl
Ht : 32 %
Leukosit : 15.800 /ul
Trombosit : 290.000 /ul
Masa perdarahan : 2‟00”
Masa pembekuan : 5‟00”
Golongan Darah :B/+
GDS : 77 mg/dl
VER : 69,2
HER : 22,8
KHER : 32,9

Urin
Warna : Kuning, jernih
BJ : 1010
Sel epitel : +1
Leukosit : 1-2 / LPB Eritrosit : 1-2 / LPB
PH :7 Protein :-
Keton :- Urobilin :+

USG
Tampak janin presentasi kepala, tunggal, hidup
DBP : 9,14cm, AC 34,8cm, FL 7,32cm, TBJ 3440gram
ICA cukup, plasenta di korpus depan meluas menutupi OUI.
Kesan : G3P2A0 Hamil aterm, Janin presentasi kepala, tunggal, hidup, Plasenta
praevia totalis

CTG
Frekuensi dasar 135
Variabilitas 5-25
Akselerasi (+) Kesan : Reassuring
Deselerasi (-)
Gerak janin (+)
Kontraksi (-)

V. RESUME

Pasien Ny. I, 33 tahun, G3P2A2 hamil 39 minggu, datang ke kamar bersalin RSUP
Fatmawati dengan keluhan keluar darah pervaginam sejak 1 hari smrs, sebanyak ± 2
kali ganti pembalut, merah segar, gumpalan darah (+), mules-mules (-), keluar air- air
(-), nyeri perut (-), riwayat trauma (-), gerak janin (+), Riwayat keluar darah
sebelumnya (-). ANC di bidan tidak teratur. Riwayat operasi sectio cesaria karena
letak bayi melintang
Pemeriksaan fisik :
Status generalis konjungtiva anemis
Status obstetrikus: TFU 31 cm, letak janin memanjang, punggung berada di sisi
kanan , His (-), gerak janin (+), BJJ 132 dpm.
Anogenital:
I : v/u tenang, bercak perdarahan (+).
Io : portio licin, ostium terbuka 1 jari, perdarahan mengalir (-),
bekuan darah di vagina dikeluarkan sekitar ± 5 cc
VT : tidak dilakukan.
Pemeriksaan penunjang :
Lab darah dan pemeriksaan urin dalam batas normal
USG : Hamil 38minggu, Janin presentasi kepala, tunggal, hidup, Plasenta Previa
Totalis, TBJ 3440 gram
CTG : Reassuring.

VI. DIAGNOSIS

Ibu : G3P2A2 Hamil 38 minggu dengan hemoragi antepartum ec Plasenta


Previa Totalis.
Janin : Janin presentasi kepala, tunggal, hidup

VII. PENATALAKSANAAN

 R dx/

Observasi Tanda vital/jam


Observasi perdarahan, bjj, his /15‟ sampai 1 jam. Dilanjutkan /jam
setelahnya.
 R th/

Bed rest
Diet lunak 1900kkal/hari
Cairan 2500 cc/hari
 Rencana Terminasi kehamilan perabdominal, SCTPP Semi Cito tanggal 19
Januari 2010

 Rawat ruangan

VIII. PROGNOSIS

Ibu : Dubia

Janin : Dubia

IX. FOLLOW UP
Tanggal 18 Januari 2010
Pasien dirawat di ruangan, hemodinamik stabil, perdarahan minimal dan
kontraksi (+).

Tanggal 19 Januari 2010, pukul 07.00 WIB


S : Perdarahan minimal, kontraksi (+), gerak janin (+), mengaku
tidak mengkonsumsi obat lagi sejak 1 hr smrs.
O : KU/KES: sakit sedang/compos mentis
Tanda vital: stabil.
Status obstetrikus :
HIS 1-2x/10‟/30” ireguler, Gerak janin (+), DJJ (+) 132 dpm
Anogenital:
I: v/u tenang, bercak perdarahan (+)
Io: portio licin, ostium terbuka 1 jari, perdarahan aktif (-), bekuan darah (+),
fluksus (+), fluor (-).
VT: tidak dilakukan.
A :
Ibu : G3P2A0 Hamil aterm dengan hemoragik antepartum ec
Plasenta Previa Totalis.
Janin: Janin presentasi kepala, tunggal, hidup

P : SC semi cito

Tanggal 19/1/2010 Pukul 10.00 WIB berlangsung SCTPP


LAPORAN OPERASI
Operator /asisten : dr.Didi, SpOG / dr.Angga
Diagnosis pre-op : G3P2A2 H 38 minggu dg HAP ec PPT
Diagnosis post-op : P3 post sc ai HAP ec PPT
1. Pasien terlentang di atas meja operasi dengan anastesi spinal.
2. A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya.
3. Dilakukan insisi pfannenstiel
4. Setelah peritoneum dibuka tampak uterus gravidarum, terdapat perlekatan
antara SBU dengan V.U, terdapat perlekatan antara omentum dengan
peritoneum parietal sebelah kanan.
5. Plika vesikouterina disayat semilunar, V.U disisihkan ke bawah
6. SBU disayat tajam,ditembus tumpul, dilebarkan secara tajam berbentuk U
7. Plasenta berimplantasi di korpus depan sampai dengan menutupi OUI
8. Dengan menembus plasenta, selaput amnion dipecahkan, air ketuban jernih,
jumlah cukup
9. Dengan bantuan vakum dilahirkan bayi laki-laki, BB 3500 gram, PB 50 cm,
AS 8/9
10. Dengan tarikan ringan pada tali pusat, plasenta lahir lengkap.
11. SBU dijahit 1 lapis dengan vicril no.1
12. Eksplorasi kedua tuba dan ovarium dalam batas normal
13. Diyakini tidak ada perdarahan, dinding abdomen ditutup lapis demi lapis
14. Perdarahan selama operasi ± 500 cc, urin ± 100 cc, kontraksi baik. Perdarahan
pervaginam (-).

Instruksi post op:


Rdx :
1. Observasi TNSP/15 mnt selama 2 jam pertama post operatif

2. Observasi kontraksi & perdarahan/15 menit selama 2 jam pertama post


operatif

3. Cek DPL post op, transfusi PRC jika Hb ≤ 8 gr/dl

Rtx :
1. Imobilisasi 24 jam

2. Realimentasi dini, Diet TKTP

3. RL 500cc 20tpm

4. Cefadroksil 3x500 mg

5. Ceftriakson 1x2 gram

6. Profenid supp 3x1

Tanggal 20/1/2010
Ibu dalam keadaan baik, hemodinamik stabil.
Bayi baik di ruang perinatologi.
Kasus II

I. IDENTITAS

Nama Ny. S Tn. A


Umur 37 tahun 40 tahun
Agama Islam Islam
Pendidikan SD SMP
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Buruh
Suku Jawa Jawa
Alamat JL. H. Naim III No.8 JL. H. Naim III No.8
Masuk RSF 8-02-2010

II. ANAMNESIS

Autoanamnesa tanggal 8-02-2010 pukul 17.00 WIB

A. Keluhan Utama :
keluar air-air sejak 18 jam SMRS

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Kehamilan keempat, pasien merasa hamil 9 bulan. HPHT 27 Mei 2009, TP
4 Februari 2010 ~ UK 39 minggu. ANC teratur di bidan, USG 1x,
dikatakan hasil baik. Keluar air-air sejak 18 jam SMRS, mules (+) teratur,
lendir (+), darah (-).

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi (-), DM (-), Jantung (-), Asma (-)

D. Riwayat Operasi
SC tahun 2005 karena dikatakan ari-ari di bawah sehingga menghalangi
jalan lahir. Riwayat bekas luka operasi baik.

E. Riwayat pengobatan terdahulu


-
F. Riwayat penyakit dalam keluarga
Hipertensi (-), DM (-), Jantung (-), Asma (-)

.
G. Riwayat Menstruasi
- Menarche : 17 tahun
- Siklus : 30 hari, teratur, lama perdarahan 5 hari, banyak 2-3
pembalut / hari
- Riwayat Perkawinan
Menikah 1 x, usia pernikahan 20 tahun, masih menikah.

H. Riwayat Kehamilan dan kelahiran


1. Normal. laki-laki, 16 tahun, 3300 gr, Bidan, Sehat
2. Normal, laki-laki, 10 tahun, 3750 gr, bidan, sehat
3. SC a.i ppt, perempuan, meninggal
4. Ini

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis :
KU / Kesadaran : baik/compos mentis
Tekanan darah : 110/70mmHg
Nadi : 108x/mnt
RR : 24x/mnt
Suhu : 38,7oC
BB : 68 kg
Tinggi : 157 cm
Mata : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
THT : tidak ada kelainan
Jantung : S1-S2 murni, reguler, murmur(-), gallop(-)
Paru : sonor, vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : perut membuncit simetris dengan arah memanjang,
sesuai masa kehamilan, bekas insisi pfannenstiel (+),
striae (+)
Ekstremitas : oedem -/-, akral hangat

Status Obstetri :
Inspeksi : perut membuncit, letak memanjang, jaringan parut melintang di atas
simfisis, striae (+)
Palpasi :
L I : tinggi fundus uteri 28 cm, teraba 1 bagian bulat,
Lunak, dan tidak melenting.
L II : kanan : teraba 1 bagian keras seperti papan
kiri : teraba 1 bagian kecil-kecil janin
L III : teraba 1 bagian bulat, keras dan melenting
L IV : konvergen
Kesan : TFU 28 cm, letak memanjang, puka, gerak janin (+), kontraksi
reguler
His : 1-2x/10‟/25” SRB
Auskultasi : BJJ (+) 160 dpm, teratur
Pemeriksaan Dalam
Inspeksi : V/U tenang
Inspekulo : tes valsava (+), pH 8, LEA +2
VT : portio lunak, axial, tipis, dilatasi 3 cm, ket (-), kepala H I-II
Bishop score = 9

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (tanggal 8/02/2010)
1. A. Darah :
Hb = 10,5 g/dl Ht = 23% Leukosit = 23.200 ul
Trombosit = 166.000
B. Urine Lengkap :
Warna : Kuning Kristal : -
Kejernihan: Jernih Protein : -
BJ :1010 Glukosa : -
Sel epitel : + Keton : -
Leukosit : 1-2 / LPB Darah/Hb : -
Eritrosit : 0-1 / LPB Bilirubin : –
Silinder : - Urobilinogen : 0,1
Urobilin : +

2. USG :
Tampak janin presentasi kepala tunggal hidup intra uterin,
BJJ+ , DBP 8,9 cm, AC 28,2 cm, FL 7,3 cm, TBJ 2500 gram, ICA 3
Plasenta insersi di korpus depan
Kesan : H aterm JPKTH, oligohidramnion

3. CTG :
Frekuensi dasar : 165 dpm
Variabilitas : 5 – 30 dpm
Akselerasi : (+)
Deselerasi :-
His :+
Gerak janin :+
Kesan : takikardi reassuring

D/ G4P3 H Aterm JPKTH KP 18 jam, oligohidramnion pada BSC 1x, IIP


PK I laten

V. Resume
Pasien seorang wanita umur 37 tahun dengan G4P3A0 Hamil 39 minggu
JPKTH dengan bekas SC 1x datang karena mengeluh keluar keluar air-air
sejak 18 jam SMRS.
Pernah operasi SC a.i plasenta praevia totalis tahun
2005. HPHT : 27 Mei 2009
TP : 4 Februari 2010
Status generalis
Tekanan darah : 110/70mmHg
Nadi : 108x/mnt
RR : 24x/mnt
Suhu : 38,7oC
Status Obstetrikus
Inspeksi : perut membuncit, letak memanjang, jaringan parut melintang di atas
simfisis, striae (+)
Palpasi :
L I : tinggi fundus uteri 28 cm, teraba 1 bagian bulat,
Lunak, dan tidak melenting.
L II : kanan : teraba 1 bagian keras seperti papan
kiri : teraba 1 bagian kecil-kecil janin
L III : teraba 1 bagian bulat, keras dan melenting
L IV : divergen
Kesan : TFU 28 cm, letak memanjang, puka, gerak janin (+), kontraksi
reguler
His : 1-2x/10‟/25” SRB
Auskultasi : BJJ (+) 162 dpm, teratur
Pemeriksaan Dalam
Inspeksi : V/U tenang
Inspekulo : tes valsava (+), pH 8, LEA +2
VT : portio lunak, axial, tipis, dilatasi 3 cm, ket (-), kepala H I-II
Pemeriksaan Penunjang :
- Darah :
Leukosit = 23.200 ul

B. Urine Lengkap : dbn

- USG : Kesan : H aterm JPKTH, oligohidramnion


- CTG : takikardi reassuring

VI. DIAGNOSIS
G4P3 H Aterm JPKTH KP 18 jam, oligohidramnion pada BSC 1x, IIP
PK I laten

VII. Prognosis
Ibu : dubia ad bonam
Janin : dubia ad bonam
VIII. PENATALAKSANAAN
 Observasi TNP / jam, S / 4 jam
 Observasi kontraksi, perdarahan, DJJ/jam
 ceftriaxon 1x2 gr i.v
 SC Cito
 OK cito penuh

Hasil Observasi :
* Jam 18.00
S : mulas makin sering
O : CM TD 120/80 mmHg N105x/menit S38C P20x/menit
St.gen dbn
CTG : takikardia reaktif
St. obs : His 3x/10‟/35” SRB DJJ 158x/menit
I : v/u tenang
VT : portio lunak, axial, dilatasi 7 cm, ket (-), kep H II-III
A : PK I aktif pada G4P3 H aterm JPKTH BSC 1x KP 19 jam,
oligohidramnion, IIP
P : rencana partus PV
- obs tanda2 RUI ketat
- obs TNSP, his, DJJ
- nilai ulang 2 jam lagi  bila tidak maju  SC cito

* Jam 19.13 pada observasi:


S : pasien ingin meneran
O : CM TD 120/70 mmHg N83x/menit S38C P18x/menit
St.gen dbn
St. obs : His 4x/10‟/40” SRB DJJ 150x/menit
I : v/u tenang
VT : dilatasi lengkap, ket (-), kep H III-IV
A : PK II
P : asuhan PK II

* Pukul 19.15
Lahir spontan bayi perempuan 3150 gr AS 9/10
Air ketuban habis, bayi dikeringkan dan diselimuti
Ibu disuntik oksitosin 10 IU IM
Tali pusat dijepit dan dipotong
Dilakukan PTT

* Pukul 19.20
Lahir spontan plasenta lengkap
Dilakukan masase uterus  kontraksi uterus baik
Dari eksplorasi  perineum intak
Perdarahan 150 cc Pengawasan 2

jam post-partum
Jam TD FN S TFU Kontr Prdrhn BAK
19.30 110/70 80 38 2 jbpst Baik - -
19.45 110/70 81 38 2 jbpst Baik - -
20.00 110/70 76 38 2 jbpst Baik - -
20.15 110/70 75 38 2 jbpst Baik - -
20.45 110/70 81 38 2 jbpst Baik - -
21.15 110/70 80 38 2 jbpst Baik - +
spontan

21.30
S : perdarahan (-), BAK spontan
O : CM TD 100/70mmHg N 83x/menit S 37.8 P18x/menit
St.gen dbn
St.obs : TFU 2 jbpst, kontraksi baik
I : v/u tenang, perdarahan pv (-)
A : P4 p.p spontan pada BSC 1x 2 jam yll, riwayat IIP
P : Rdx/ obs TNSP, kontraksi uterus, perdarahan pv
Rth/ - mobilisasi aktif
- hygiene v/u
- diet TKTP
- motivasi ASI
- AB : ceftriaxone 1x2 gr IV, metronidazole 3x500 mg drip
- As.mef 3x500 mg
- hidrasi cukup
- Rawat ruangan
BAB V
ANALISA KASUS

Pada kasus Ny. I G3P2 H38 mgg JPKTH hemoragi antepartum e.c plasenta praevia
totalis, dengan BSC 1x a.i letak lintang 4 tahun yll. Plasenta praevia totalis merupakan
salah satu indikasi ibu untuk dilakukan sectio sesaria, sehingga pada pasien ini tidak
dilakukan VBAC.

1. Anamnesis
 Pasien mengaku hamil 9 bulan
 Berdasarkan HPHT usia kehamilan pasien sesuai dengan 39 minggu
 Pasien belum mengalami kontraksi
 Keluar darah dari kemaluan sejak 1 hari smrs. Banyaknya ± 2 kali ganti
pembalut, warna merah segar, terdapat gumpalan darah. Tidak ada nyeri
perut.
 Belum ada keluar air-air
 Riwayat SC pada kehamilan sebelumnya atas indikasi letak lintang
 Riwayat persalinan per vaginam sebelumnya dengan berat bayi 3100 gr
Pasien telah mencapai usia kehamilan aterm baerdasarkan HPHT. Adanya
perdarahan pervaginam pada trimester ketiga yang berwarna merah cerah dengan
tidak disertai nyeri mengarahkan kecurigaan akan adanya plasenta praevia yang
harus dibuktikan melalui pemeriksaan USG.

2. Pemeriksaan Fisik
 Status generalis
dalam batas normal. Pasien dalam keadaan baik dan bersikap kooperatif.
 Status obstetrikus
Abdomen
Inspeksi : membuncit sesuai masa kehamilan, arah memanjang, striae
gravidarum (+)
Palpasi : TFU 31 cm, letak janin memanjang, punggung berada di sisi
kanan , His (-), gerak janin (+)
BJJ 132 dpm

Anogenital
Inspeksi : vulva dan uretra tenang, edema (-), varices (-).
Inspekulo : Portio licin, ostium terbuka 1cm, perdarahan mengalir (-
), bekuan darah di vagina dikeluarkan sekitar ± 5 cc,
fluksus (+), fluor (-).
VT : tidak dilakukan

Pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tanda inpartu. Pada inspekulo


terlihat ostium terbuka dan tampak bekuan darah di vagina. Tidak
dilakukan VT karena adanya dugaan plasenta praevia totalis.

3. Pemeriksaan Penunjang
 USG: G3P2A0 Hamil aterm, Janin presentasi kepala, tunggal,
hidup, Plasenta Previa Totalis.
 CTG: Reassuring, bebas kontraksi
Pada USG didapatkan plasenta praevia totalis sehingga merupakan indikasi
untuk dilakukan sectio cesaria.

4. Penatalaksanaan
Berdasarkan data-data yang didapat dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik
dan penunjang, maka direncanakan untuk SC semicito besok mengingat selama tidak
ada kontraksi, relatif masih aman.

Hal yang belum sesuai yakni:


 Observasi Tanda vital, dan kontraksi perlu dilakukan secara ketat, mengingat
pasien adalah multipara sehingga proses persalinan dapat berlangsung dengan
lebih cepat. karena itu, sebaiknya observasi dilakukan di VK.
 Jika perlu dapat diberikan tokolisis untuk memastikan tidak terjadi kontraksi
selama menunggu
Pada kasus Ny. S G4P3 H39 minggu, JPKTH, BSC 1x, PK I laten, IIP. Sebenarnya
VBAC dapat dilakukan mengingat persalinan timbul spontan, pasien datang dengan
his yang cukup kuat dan teratur, skor Weinstein 11 (≥85% berhasil), dengan observasi
saja persalinan mengalami kemajuan. Namun karena pasien datang dengan ketuban
pecah sejak 18 jam sehingga mengalami oligohidramnion, ditambah lagi dengan
adanya IIP maka pasien direncanakan untuk SC cito. Namun saat menunggu
persiapan OK cito yang sedang penuh, kemajuan persalinan sangat cepat dan baik
sehingga bayi lahir secara pervaginam.

1. Anamnesa
 Pasien mengaku hamil cukup bulan
 HPHT 27 Mei 2009, TP 4 Februari 2010 ~ UK 39 minggu (aterm)
 Mules teratur
 Keluar lendir
 Keluar air-air sejak 18 jam SMRS
 Riwayat SC pada kehamilan sebelumnya karena ari-ari di bawah

Pasien ini datang karena keluar air-air. Terdapat juga lendir dan mules yang teratur,
sehingga dapat terlihat tanda-tanda inpartu yang timbul spontan namun harus
dipastikan dengan pemeriksaan dalam untuk melihat tebal dan dilatasi serviks.

2. Pemeriksaan Fisik
 Status generalis
 Tekanan darah : 110/70mmHg
 Nadi : 108x/mnt
 RR : 24x/mnt
 Suhu : 38,7oC
 Status obstetrikus
Abdomen
Inspeksi : perut membuncit, letak memanjang, jaringan parut melintang
di atas simfisis, striae (+)
Palpasi : TFU 28 cm, letak memanjang, puka, gerak janin (+), kontraksi
reguler
His 1-2x/10‟/25” SRB
DJJ 162x/‟

Anogenital
Inspeksi : vulva dan uretra tenang, edema (-), varices (-).
Inspekulo : tes valsava (+), pH 8, LEA +2
VT : portio lunak, axial, tipis, dilatasi 3 cm, ket (-), kepala
HI-II, air ketuban kehijauan.

Pada pasien ini didapatkan tanda-tanda inpartu. His reguler kuat, cervix
matang dengan pembukaan 3 cm dengan bishop score 9, PK I laten. TFU
didapatkan 28 cm dengan kepala sudah mulai masuk pintu atas panggul
meski cukup tinggi, sehingga didapatkan TBJ 2500 gram. Diharapkan
akan dapat melewati pintu atas panggul karena TBJ lebih kecil dari berat
anak sebelumnya yang dilahirkan pervaginam. Dari status generalis
didapatkan demam, dan takikardi ibu. Pemeriksaan inspekulo diketahui
LEA +2 dan VT air ketuban kehijauan. DJJ janin 162x/menit. Hal-hal ini
menunjukkan adanya infeksi intra partum.

3. Pemeriksaan Penunjang
 USG: H aterm JPKTH, oligohidramnion. TBJ 2500 gram.
 CTG: takikardi reassuring.
Pada USG didapatkan janin presentasi kepala tunggal hidup dengan TBJ 2500
gram sehingga tidak ada CPD mengingat berat janin pada persalinan
pervaginam sebelumnya.

Indikasi pasien untuk dirawat:


Observasi tanda vital, his, DJJ/j
Obserasi tanda ruptur uteri
Hal yang penting diperhatikan pada pasien BSC adalah kemungkinan
terjadinya ruptur uteri. Dalam hal ini, pasien pertama kalinya melahirkan
pervaginam. Oleh karena itu, pengawasan ketat harus dilakukan karena
belum diketahui apakah ada CPD atau tidak.
4. Penatalaksanaan
Berdasarkan data-data yang didapat dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik
dan penunjang serta keterbatasan tempat yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
SC, maka direncanakan untuk VBAC. Pada pasien tidak dilakukan intervensi, hanya
observasi karena his sudah cukup bagus dengan BSC.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS POGI Cab.Makassar, Sistem


penilaian Modifikasi Flamm-Geiger dalam memprediksi keberhasilan persalinan
percobaan pasca seksio sesarea, Makassar 2005
2. Cunningham, Mac Donald P, Grant. Seksio Sesarea dan Histerektomi Sesarea,
Obstetri. Williams, edisi 21, cetakan pertama, EGC 2006 : 592-618.
3. Cunningham, Mac Donald P, Grant, Induksi dan Augmentasi Persalinan,
Obstetri, Williams, edisi 21, cetakan pertama, EGC 2006, : 516-525
4. Prawirohardjo, Sarwono. Seksio Sesarea, dalam Ilmu Kebidanan Edisi I, cetakan
kelima, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 2000 : 863-870
5. Prawirohardjo Sarwono, Seksio Sesarea dalam Ilmu Bedah Kebidanan, Edisi I,
cetakan kelima, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 2000 : 133-140
6. Vaginal Birth after Previous Cesarean Delivery. ACOG Practice Bulletin. 5,
1999.
7. Flamm BL, Geiger AM. Vaginal Birth After Cesarean Delivery : An Admission
Scoring System. Obstet Gynecol 1997 ; 90 : 907 – 10.
8. Martel, Marie Jocelyne. Guidelines for Vaginal Birth After
Cesarean Birth. SOGC Clinical Practice Guidelines No. 155,
February 2005 .
9. Lancet, Nisand I. Ultrasonographic measurement of lower uterine
segment to assess risk of defects of scarred uterus. Departement of
Obstetrics and Gynaecology, Center Hospilatier Intercommunal;
France. 1996.

Anda mungkin juga menyukai