Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KASUS

BEKAS SEKSIO SESAREA

PEMBIMBING:
Dr. Aswin Wisaksono S,SpOG

DISUSUN OLEH:

Jemi Tubung
(030.00.123)

Opponen:
Trisunu Handayani
Kartini
Santi Nur Fitria

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kandungan dan Kebidanan


RSUP Fatmawati
Periode 25 Juni 2007 - 1 September 2007
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta
1
PENDAHULUAN

Seksio sesarea atau persalinan sesarea, didefinisikan sebagai melahirkan janin


melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus. Definisi ini tidak
mencakup pengangkatan janin dari kavum abdomen dalam kasus ruptura uteri
atau kehamilan abdominal.

Pada umumnya seksio sesarea digunakan bilamana diyakini bahwa penundaan


persalinan yang lebih lama akan menyebabkan bahaya serius bagi janin, ibu
atau keduanya, padahal persalinan pervaginam tidak mungkin diselesaikan
dengan aman. Selain itu juga seksio sesarea juga dilakukan pada ibu yang
telah mempunyai riwayat seksio sesarea pada kehamilan sebelumnya.

Angka persalinan dengan seksio sesarea pada awalnya telah menunjukkan


peningkatan yang cukup tajam. Di Amerika Serikat, angka ini meningkat
secara bermakna, yaitu 4,5% pada tahun 1965 menjadi 25% pada tahun 1988. 1
Survey tentang presentasi seksio sesarea di seluruh Indonesia oleh Biro Pusat
Statistik (BPS) pada tahun 1997 adalah 4,3 %.2 Namun demikian, angka seksio
di kota besar jauh lebih tinggi. Survey rasio seksio di Jakarta tahun 1992
menemukan angka seksio di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
mencapai 20,7 %.2 Beberapa penjelasan mengenai terjadinya kenaikan adalah
karena :
1. Adanya pengurangan paritas dan hampir separuh dari wanita yang
hamil adalah nullipara.
2. wanita cenderung mempunyai anak pada usia lebih tua.
3. Pemantauan janin secara elektronik memungkinkan meningkatnya
peluang untk mendeteksi gawat janin dan mungkin mengakibatkan
kenaikan jumlah seksio sesarea.
4. Bayi dengan presentasi bokong lebih sering dilahirkan dengan
seksio sesarea.
5. Persalinan forcep yang semakin jarang dilakukan
6. Seksio sesarea berulang secara bermakna turut meningkatkan total
jumlah persalinan sesarea.
2
7. Peningkatan keprihatinan mengenai masalah malpratek
Hampir 50 % wanita pernah seksio tetap memilih seksio elektif, karena takut
akan risiko terjadinya ruptur uteri dan morbiditas bayi.4

Saat ini mulai dikembangkan persalinan pervaginam pada bekas seksio(P4S)


atau dikenal juga dengan vaginal birth afther sectio secaria (VBAC) yang
merupakan masalah di bidang obstetri. Baik seksio sesarea maupun partus
pervaginam tidak bebas dari risiko. Untuk meminimalkan risiko kegagalan
P4S, dokter harus dapat melakukan seleksi dan manajemen pasien secara
tepat, selain itu diperlukan konseling pada pasien dalam memilih cara
persalinannya. Keberhasilan P4S ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain usia ibu, indikasi seksio sebelumnya, riwayat persalinan
pervaginam, cara timbulnya persalinan dan jumlah skor Bishop. Keputusan
menjalani P4S ditentukan oleh dokter dan pasien, tingginya keberhasilan P4S
merupakan salah satu parameter pelayanan obstetri yang baik.

Jika persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio (P4S) diterapkan pada
semua pasien riwayat seksio sesarea (SS) , kecenderungan meningkatnya
angka persalinan pervaginam sebesar 5%. Angka keberhasilan P4S sebagian
besar kepustakaan 60 – 80 %. Studi kasus kontrol dengan seleksi bias yang
baik, angka keberhasilan 98,3 %, dengan dehisens uterus 0,3 % dari 3000
subyek. 7
Dibandingkan dengan seksio sesarea kembali, P4S berhubungan
dengan morbiditas yang lebih rendah, transfusi darah lebih sedikit, infeksi post
partum lebih sedikit, lama perawatan lebih singkat, tanpa peningkatan
morbiditas perinatal. 6,7
Hasilnya adalah penghematan biaya secara signifikan.
Fakta lainnya bahwa angka mortalitas pada P4S tidak lebih tinggi daripada
angka mortalitas pada seluruh persalinan pervaginam (Gabbe, 1996). 8

BAB I

3
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI 1
Seksio sesarea atau kelahiran caesarea adalah melahirkan janin melalui irisan
pada dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus (histeretomi).

II. SEJARAH SEKSIO SESAREA


Asal usul kata seksio sesarea tidak jelas. Ada beberapa pendapat menegenai
hal ini, ada pendapat yang mengatakan kata ini ada sejak jaman kaisar Julius
Caesar, ada juga pendapat yang yang mengatakan seksio sesarea berasal dari
hukum romawi tentang pelaksanaan tindakan tersebut pada wanita hamil yang
telah meninggal dengan harapan dapat menyelamatkan nyawa anaknya, ada
pendapat lain yang mengatakan kata caesarea berasal dari bahasa latin dari
kata kerja crede yang berarti “memotong”.
Seksio sesarea pada orang hidup pertama kali direkomendasikan dalam karya
Francois Rousset yang berjudul “Traite Nouveau de l’Hysterectomotokie au
l’Enfantement Cesarean”
Max Sanger pada tahun 1882, memperkenalkan teknik penjahitan uterus, hal
ini menjadi titik balik dalam evolusi seksio sesarea.
Pada tahun 1926, Kerr memperkenalkan teknik modifikasi dari teknik-teknik
sebelumnya, dengan cara insisi longitudinal uterus, tekni Kerr merupakan
yang paling umum dilakukan dalam seksio saat ini.3

III. ISTILAH 3
 Seksio sesarea primer
Yaitu dari semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara
seksio sesarea, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada
panggul sempit (CV kecil dari 8 cm)
 Seksio sesarea sekunder
Dalam hal ini kita bersikap mencoba menuggu kelahiran biasa (partus
percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan
gagal, baru dilakukan seksio sesarea.
 Seksio sesarea ulang
4
Ibu pada kehamilan yang lalu mengalami seksio sesarea dan kehamilan
selanjutnya dilakukan seksio sesarea ulang.
 Seksio sesarea histerektomi
Adalah suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan seksio
sesarea, langsung dilakukan histerektomi oleh karena suatu indikasi.
 Seksio sesarea post mortem
Yaitu seksio sesarea pada ibu hamil cukup bulan yang meninggal tiba –
tiba sedangkan janin masih hidup.
 Operasi porro
Adalah suatu operasi, tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (janin
sudah mati) dan langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan
infeksi rahim yang berat.

IV. INDIKASI
Persalinan secara seksio sesarea sebenarnya diindikasikan untuk menghindari
kematian ibu dan bayi terutama bila terdapat kontraindikasi selama persalinan
atau bila persalinan pervaginam menghadapi hambatan atau beresiko. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan indikasi yang paling sering
menyebabkan seksio adalah seksio sebelumnya dan distosia pada pasien
tersebut, selain itu fetal distress juga merupakan penyebab hanya dalam
proporsi yang lebih kecil. Di sini kita mengenal indikasi ibu dan indikasi janin.

Indikasi ibu : 3,6


1. Panggul sempit absolut
2. Tumor – tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
3. Disproporsi sefalo pelvik, yaitu ketidakseimbangan antara ukuran
kepala dan panggul
4. Stenosis serkiks atau vagina
5. Ruptura uteri mengancam
6. Plasenta Previa Totalis
7. Partus lama
8. Partus tidak maju
9. Preeklampsia dan eklampsia
5
10. Sudah pernah SC dua kali (SC yang ketiga kalinya)

Indikasi janin : 3, 6
1. Kelainan letak
2. Gawat janin

Pada umumnya seksio sesarea tidak dilakukan pada : 6


1. Janin mati
2. Ibu syok, anemia berat sebelum dilatasi
3. Kelainan kongenital berat
4. Kelainan pembekuan darah

V. JENIS – JENIS OPERASI SECTIO 3, 4, 6


Terdiri dari :
1. Seksio sesarea klasik atau korporal menurut Sanger
Insisi memanjang pada segmen atas uterus. Pembedahan ini lebih mudah
dilakukan dengan insisi memanjang pada segmen atas uterus dan hanya
dilakukan bila ada halangan untuk melakukan sectio transperitoneal
profunda. Misalnya :
a. Jika segmen bawah uterus tidak dapat dicapai dengan aman, karena
adanya perlengketan hebat dengan kandung kemih akibat operasi
sebelumnya, atau jika terdapat mioma pada segmen bawah uterus atau
jika terdapat karsinoma serviks yang infasif.
b. Pada letak lintang bayi besar, terutama bila selaput ketuban telah pecah
dan bahu anak terjepit di jalan lahir.
c. Pada beberapa kasus plasenta previa dengan implantasi depan terutama
jika akan dilakukan sterilisasi.

Kelebihan :
 Mengeluarkan janin lebih cepat.
 Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik.
 Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal.

6
Kekurangan :
 Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonealisasi yang baik.
 Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptur uteri karena
kurang kuatnya parut pada dinding uterus sehingga pada kehamilan
berikutnya harus seksio sesarea lagi.
 Kemungkinan terajadinya perlengketan dengan dinding abdomen lebih
besar.

2. Seksio sesarea transperitoneal Profunda


Insisi melintang konkaf pada segmen bawah uterus kira – kira 10 cm.
Setelah dinding uterus tampak, plika vesikouterina dibuka secara tajam
dan vesika didorong ke bawah sehingga dinding uterus bebas.
Kelebihan :
 Penjahitan luka lebih mudah
 Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
 Tumpang tindih dari peritoneal flat baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum.
 Perdarahan kurang.
 Dibandingkan dengan cara klasik, kemungkinan ruptur uteri spontan
kurang atau kecil.

3. Seksio sesarea ekstraperitoneal


Tujuan operasi adalah membuka uterus secara ektraperitoneal melalui
kavum Retzii, dan kemudian melalui salah satu sisi serta di belakang
kandung kemih mencapai segmen bawah uterus sehingga dapat
menghindari kontaminasi kavum uteri oleh infeksi yang terdapat di luar
uterus. Dianjurkan untuk menangani kehamilan dengan infeksi
intrauterine. Operasi tipe ini tidak banyak kerjakan lagi karena
perkembangan antibiotika, dan untuk menghindarkan kemungkinan infeksi
yang dapat ditimbulkannya.

7
4. SC diikuti Histerektomi
Dilakukan histerktomi setelah seksio dengan indikasi :
a. Atonia uteri
b. Mioma uteri yang besar dan atau banyak
c. Plasenta Acreta
d. Solusio Plasenta (uterus Couvelaire)
e. Infeksi intrauterine berat
f. Carsinoma uteri yang masih dapat dioperasi

Histerektomi pasca persalinan dapat dilakukan secara supravaginal menurut


Porro (subtotal) atau total. Histerektomi total mungkin diperlukan pada kasus
robekan segmen bawah rahim yang meluas sampai serviks atau perdarahan
plasenta previa.
Menurut arah sayatan pada rahim, seksio sesarea dapat dilakukan sebagai
berikut :
a. Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig
b. Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
c. Sayatan huruf T (T – incision)

VI. KOMPLIKASI SEKSIO SESAREA


Menurut Bensons dan Pernolls, angka kematian pada operasi SC adalah 40 –
80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan resiko 25 kali lebih
besar dibandingkan persalinan pervaginam. Bahkan untuk kasus karena infeksi
mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan persalinan pervaginam.

Komplikasi tindakan anastesi sekitar 10% dari seluruh angka kematian ibu.
Komplikasi yang lain dapat terjadi saat tindakan SC dengan frekuensi di atas
11% antara lain cedera kandung kemih, cedera rahim, cedera pembuluh darah,
cedera pada usus dan dapat juga cedera pada bayi.

Setiap tindakan operasi SC memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Misalnya


pada operasi kasus persalinan macet dengan kedudukan kepala janin pada
akhir jalan lahir, sering terjadi cedera pada rahim bagian bawah atau cedera
8
pada kandung kemih (robek). Dapat juga pada kasus operasi sebelumnya di
mana dapat ditemukan perlengketan organ dalam panggul sering menyulitkan
saat mengeluarkan bayi dan dapat pula menyebabkan cedera pada kandung
kemih dan usus

Walaupun jarang namun fatal akibatnya adalah komplikasi emboli air ketuban
yang dapat terjadi selama tindakan operasi, yaitu masuknya cairan ketuban ke
dalam pembuluh darah terbuka yang disebut embolus. Jika embolus mencapai
pembuluh darah jantung maka akan timbul gangguan pada jantung dan paru, di
mana dapat terjadi henti jantung dan henti nafas tiba-tiba, dan akibatnya
adalah kematian mendadak dari ibu.

Komplikasi lain yang dapat terjadi sesaat setelah operasi SC adalah infeksi,
yang disebut morbiditas pasca operasi. Kurang lebih 90% dari mobiditas pasca
operasi disebabkan oleh infeksi (endometritis, infeksi salurah kemih, usus dan
luka operasi).

Tanda-tanda infeksi antara lain :


1. Demam tinggi
2. Nyeri perut
3. Nyeri bila buang air kecil
4. Kadang-kadang disertai lokia berbau
5. Luka operasi bernanah
6. Luka operasi terbuka dan sepsis.
Bila mencapai keadaan sepsis, resiko kematian ibu akan tinggi sekali.
Keadaan yang memudahkan terjadinya komplikasi :
1. Persalinan dengan ketuban pecah lama.
2. Ibu menderita anemia
3. Sangat gemuk
4. Hipertensi
5. Gizi buruk
6. Sudah menderita infeksi saat persalinan
7. Penyakit lain yang diderita ibu, misalnya Diabetes Mellitus
9
Komplikasi pada ibu :
a. Emboli air ketuban
b. Infeksi nifas
c. Perdarahan
d. Ruptur uteri
e. Cedera kandung kemih, cedera pembuluh darah, cedera usus

Komplikasi pada janin :


a. Depresi susuan saraf pusat janin akibat penggunaan obat-obat anastesi
b. Cedera pada bayi sampai kematian bayi.

VII. PASCA SEKSIO SESAREA


Nasehat pasca operasi SC :
1. Dianjurkan seorang wanita yang telah mengalami SC sebaiknya tidak
hamil selama 2 tahun untuk mengurangi resiko ruptur uteri. Jaringan parut
dapat memperlemah uterus, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
ruptura uteri pada saat persalinan. 7,8
2. Apabila wanita hamil setelah mengalami SC, ada beberapa ketentuan yang
perlu diperhatikan : 8
 Tidak boleh dilakukan versi luar
 Harus dirawat mulai kehamilan 36 – 38 minggu
 Apakah persalinan berikutnya harus dengan SC, tergantung dari
indikasi SC yang terdahulu dan bagaiman penyembuhan luka
operasinya.

Penyembuhan Luka Pasca SC 3


Perawatan pertama yang dilakukan setelah selesai operasi adalah pembalutan
luka (wound dressing) dengan baik. Secara periodik pembalut luka diganti dan
dibersihkan.
Seringkali kita temukan komplikasi pada luka pasca SC, seperti :

10
1. Sebagian luka sembuh dan tertutup dengan baik, sebagian yang lain
terdapat eksudat dalam jumlah sedang atau banyak dan keluar melalui
lubang-lubang (fistel) dan terinfeksi.
2. Luka terbuka sebagian, bernanah dan terinfeksi
3. Luka terbuka seluruhnya dan usus kelihatan atau keluar
Luka tersebut memerlukan perawatan khusus sampai memerlukan reinsisi
untuk membuat luka baru dan menutupnya kembali. Komplikasi di atas sering
kita jumpai pada kasus dengan DM, obesitas, dan partus lama di mana
sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartum.

Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya gangguan pada penyembuhan


luka uterus : 3
a. Aposisi garis pemotongan yang tidak baik
b. Adanya hematoma pada daerah luka operasi
c. Adanya sepsis
d. Adanya peregangan pada segmen bawah uterus sehingga mengurangi
vaskularisasi otot-otot uterus
e. Keadaan umum tidak baik

Faktor-faktor yang menyebabkan bekas operasi SC transperitoneal profunda


lebih baik dibanding bekas operasi SC secara korporal. 3

Bekas SC Transperitoneal Bekas SC


Profunda klasik/histerektomi
Aposisi Garis pemotong yang tipis
Sulit untuk aposisi garis
membantu aposisi yang yang tebal. Terbentuk
baik tanpa meniggalkanpoket yang mengandung
poket darah, yang akhirnya akan
diganti dengan jaringan
fibrosa. Pembentukan
saluran pada bagian dalam
lebih sering terjadi karena
desisua sering tertinggal
pada waktu menjahit.
Keadaan uterus Bagian uterus tidak banyak Bagian uterus berkontraksi
sewaktu bergerak selama proses dan berretraksi sehingga
penyembuhan penyembuhan jahitan terganggu,
menyebabkan luka sembuh
kurang baik
11
Efek Bekas luka operasi pada Pereganggan terjadi
perenggangan kehamilan berikutnya dan bersudut tegak terhadap
persalinan normal bekas operasi
merenggang mengikuti
garis bekas operasi
Impalantasi Kemungkinan Kemungkinan besar
plasenta pada melemahnya bekas operasi plasenta melekat pada
kehamilan oleh pelekatan plasenta bekas operasi dan
berikutnya tidak ada melemahnya dengan
adanya penetrasi trofoblas
atau herniasi kantong
amnion melalui saluran
yang terbentuk
Efek keseluruhan a. Bekas operasi baik a. Bekas operasi lemah
b. Ruptur hanya terjadi b. Ruptur dapat terjadi
pada waktu partus pada waktu kehamilan
tua dan persalinan (5-
20x lebih sering)
Lama perawatan 5-7 hari, masa pemulihan selama 6 minggu

Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk mendeteksi bekas operasi SC


yang lemah adalah : 3
a. Catatan operasi sebelumnya
 Kemampuan teknikal ahli bedah
 Indikasi SC :
 Plasenta previa membuat bekas operasi lemah akibat :
- Aposisi kurang baik karena operasi yang cepat
- Trombosis sinus plasenta yang menyebabkan sepsis karena
letaknya berdekatan dengan vagina.
 Setelah persalinan lama, kemungkinan sepsis
 Kesulitan teknikal dalam operasi primer
b. Histerografi dalam periode interkonsepsi
c. Kehamilan (sekarang dan dahulu) :
1. Kehamilan yang terjadi setelah operasi sebelum luka sembuh
sempurna.
2. Komplikasi kehamilan seperti gemeli atau polihidramnion
menyebabkan perenggangan pada bekas luka operasi.
3. Riwayat persalinan pervaginam sebelumnya, setelah operasi
kemungkinan besar menyebabkan kelemahan pada bekas operasi.
12
4. Melokalisir plasenta letak rendah anterior dengan USG.

VIII. PENGELOLAAN KEHAMILAN DAN PERSALINAN PADA BEKAS


SEKSIO SESAREA 10

Pada bekas SC tidak harus selalu diikuti dengan tindakan SC pada persalinan
berikutnya. Bila tidak diketahui jenis operasinya kita harus menganggap bekas
operasi sebelumnya adalah korporal atau kalsik sehingga harus dilakukan
seksio sesarea primer. Tetapi bila diketahui jenis operasinya, misalnya SCTPP
kita harus mengetahui apakah sebabnya menetap atau tidak menetap. Bila
penyebabnya menetap seperti pada kasus panggul sempit kita harus melakukan
SC primer, namun bila penyebabnya tidak menetap, wanita tersebut boleh
melahirkan pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Tidak dibenarkan pemakaian oksitosin dalam kala I untuk memperbaiki
his, apabila digunakan, maka bunyi jantung janin harus diawasi ketat, bila
terjadi bradikardi atau variabel deselerasi, maka hal ini menunjukkan tanda
awal ruptur uteri, sehingga harus segera dioperasi. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa penggunaan prostaglandin dan oksitosin pada bekas SC
memperbesar terjadinya ruptur uteri.
2. Kala II harus dipersingkat
Ibu diperbolehkan mengedan selama 15 menit. Jika dalam waktu 15 menit
ini bagian janin turun dengan pesat, maka Ibu ini diperbolehkan mengedan
lagi selama 15 menit lagi. Jika setelah 15 menit kepala tidak turun dengan
cepat, dapat dilakukan ekstraksi forceps atau vakum bila syarat-syarat
terpenuhi.

Penelitian yang telah dilakukan selama ini menyatakan bahwa induksi aman
selama terdapat indikasi pada ibu dan janin serta pasien merupakan kandidat
yang memenuhi syarat untuk P4S3,6. Obat yang dapat digunakan untuk
pematangan serviks pada bekas SC adalah Prostaglandin E2 gel, yang
pemberiannya bisa langsung pada forniks posterior vagina atau dioleskan pada
kanal serviks. Kedua metoda ini tampaknya cukup aman dan efektif pada
pasien yang akan menjalani P4S. Misoprostol yang saat ini sangat banyak
13
digunakan untuk pematangan serviks pada wanita tanpa riwayat SC ternyata
tidak boleh digunakan untuk tujuan yang sama pada bekas SC karena
tingginya kejadian robeknya parut.

Infus Oksitosin merupakan metode yang dominan untuk menginduksi ataupun


augmentasi persalinan, dan dari hasil metaanalisis ternyata kejadian ruptura
uterus pada bekas SC dibandingkan tanpa riwayat SC yang mendapat infus
Oksitosin adalah seimbang, kira-kira 0,5 –0 1 % pada kedua kelompok.

Namun, kegagalan partus pervaginam menyebabkan morbiditas meningkat


seperti ruptura uteri, histerektomi, cedera operasi, dan infeksi.7 Menurut
Hibbard dkk, dari tahun 1989 – 1998, pasien yang mengalami kegagalan
dalam percobaan partus pervaginam pada pasien pernah seksio (416 orang )
berisiko lebih tinggi mengalami ruptura uteri yaitu sebanyak 8,9 % (angka
kepercayaan 95 %, 1,9-42), transfusi darah 3,9% ( angka kepercayaan 95 %,
1,1 – 13,3), korioamnionitis 1,5% (angka kepercayaan 95%, 1,1-2,1),
endometritis 6,4 % (angka kepercayaan 95 %, 4,1-9,8) dibandingkan dengan
yang berhasil partus pervaginam. Dibandingkan dengan seksio sesarea elektif
(431 kasus), pasien yang mencoba P4S ( 1324 kasus ), angka ruptura uteri 1,1
%, kehilangan darah lebih sedikit ( rasio odds 0,5, angka kepercayaan 95 %,
0,3-0,9), dan korioamnionitis lebih tinggi (rasio odds 3,8, angka kepercayaan
95 %, 2,3-6,4).9 Wanita yang menjalani seksio elektif ulang tanpa persalinan
masih mempunyai risiko 0,03-0,2 %.

Dari wanita yang menjalani P4S, angka ruptura uteri sangat bervariasi
tergantung faktor risiko yang ada. Untuk menghindari terjadinya komplikasi
ini, kita harus mengenali faktor risiko pada pasien.
Adapun faktor risiko itu adalah15:

1. Riwayat Persalinan , meliputi :


Jenis parut
14
Insisi transversal rendah risikonya, kira-kira 1 % sedangkan insisi klasik 12%.
Kepustakaan lain menyatakan bahwa resiko terjadinya ruptura uterus pada
bekas SC dengan insisi klasik adalah 4-9 %, T-shaped 4-8%, low vertikal 1-
7% dan transversal 0,2-1,5%.

Jumlah SC sebelumnya
Berapa jumlah SC yang masih dianggap aman untuk P4S sampai saat ini
masih belum jelas, karena terdapatnya hasil yang berbeda dari berbagai
penelitian. Phelan dkk 7
tidak menemukan satu kasus ruptura uteri pun pada
501 pasien dengan riwayat SC 2 kali dan menjalani PBBS pada persalinan
ketiganya. Sedangkan Miller dkk menemukan resiko ruptura uterus tiga kali
lebih tinggi pada jumlah parut yang lebih dari satu.

Riwayat persalinan pervaginam


Suatu penelitian yang sangat besar menunjukkan efek protektif yang signifikan
dari riwayat persalinan pervaginam pada bekas SC satu kali, dan mungkin
merupakan faktor protektif juga pada bekas SC dua kali. Penelitian kohort
yang besar oleh Zelop dkk menemukan bahwa riwayat persalinan pervaginam
pada bekas SC menurunkan resiko terjadinya ruptura uterus. Ruptura 1,1%
terjadi pada wanita tanpa riwayat persalinan pervaginam dan hanya 0,2% pada
wanita yang pernah mengalami persalinan pervaginam setelah SC.

Interval persalinan
Shipp dkk menyatakan bahwa waktu yang pendek antara SC dan percobaan
persalinan pervaginam berikutnya dapat meningkatkan resiko terjadinya
ruptura uterus karena tidak tersedia waktu yang adekuat untuk penyembuhan
luka. Wanita dengan interval persalinan kurang dari 18 bulan, mempunyai
resiko 2,3% dibandingkan dengan yang intervalnya lebih dari 18 bulan yaitu
1%

15
Demam post partum setelah SC
Demam post partum SC merupakan suatu predisposisi penyembuhan luka
yang jelek dan pada beberapa tempat hal ini merupakan kontraindikasi untuk
dilakukannya P4S.

2. Faktor Ibu, meliputi


Umur
Suatu studi oleh Shipp dkk menyakan bahwa usia diatas 30 tahun mungkin
berhubungan dengan kejadian ruptura yang lebih tinggi, dengan
membandingkan insidens ruptura uteri pada wanita <30 tahun 0,5% dengan
wanita >30 tahun 1,4%. Wanita >30 tahun berisiko 3,2 kali mengalami ruptura
uteri dibandingkan dengan <30 tahun ( OR ; 3,2 angka kepercayaan 95 %).

Anomali uterus
Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali uterus.

3. Karakteristik kehamilan saat ini


Makrosomia
Risiko ruptura uteri akan meningkat dengan meningkatnya berat badan janin
karena terjadinya distensi uterus.

Kehamilan ganda
Hanya satu penelitian mengenai hal ini dan ternyata dari 92 wanita, tidak
terjadi ruptura uteri.

Ketebalan segmen bawah rahim (SBU)


Risiko terjadinya ruptura 0% bila ketebalan SBU > 4,5 mm, 0,6% bila
2,6-3,5 mm dan 9,8 % pada ketebalan <2,5mm.
Bila tebalnya < 2,5 mm diperlukan upaya untuk mengantisipasi
terjadinya komplikasi ruptura uteri, yaitu : ( Ash,1993)6

16
 Anamnesis yang teliti mengenai riwayat persalinan sebelumnya, jumlah
SC, riwayat persalinan pervaginam, jarak antar kehamilan, riwayat demam
pasca SC serta usia ibu.
 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehamilan sekarang :
makrosomia, usia kehamilan, kehamilan ganda , ketebalan SBU, presentasi
janin.
 Faktor –faktor yang berhubungan dengan tatalaksana persalinan, seperti
induksi dan augmentasi.
 Pemantauan dan observasi ketat persalinan.
 Kemampuan mengadakan operasi dalam waktu kurang lebih 30 menit bila
terjadi ancaman ruptura uteri.

Malpresentasi
Flamm dkk melaporkan tidak terjadi ruptura pada 56 pasien yang dilakukan
versi luar pada presentasi bokong saat hamil aterm, namun karena tidak ada
data yang definitif, prosedur ini mungkin bisa berhubungan dengan terjadinya
ruptura uteri.

Percobaan P4S dapat dilakukan pada sebagian besar wanita dengan insisi
uterus transversal rendah dan tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginam.
Kriteria seleksi pasien yang mencoba P4S menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG), yaitu7:
1. Satu atau dua seksio dengan insisi transversal rendah
2. Panggul adekuat secara klinis
3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptura uteri
4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor persalinan
dan melakukan seksio sesarea segera ( dalam waktu 30 menit )
5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio
sesarea segera.

Beberapa persyaratan lainnya antara lain :


1. Tidak ada indikasi seksio sesarea ( lintang, plasenta previa )

17
2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea
sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama perawatan).
3. Segera mungkin pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai.
4. Tersedia darah untuk transfusi.
5. Janin presentasi verteks normal.
6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf, fasilitas)
7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea darurat.
8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya.

Sedangkan kontraindikasi P4S menurut ACOG 4,7,10 :


1. Riwayat insisi klasik atau T atau operasi uterus transfundal lainnya
(termasuk riwayat histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif ).
2. Panggul sempit atau makrosomia
3. Komplikasi medis atau obstetri yang melarang persalinan pervaginam
4. Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak adanya
operator, anastesia, staf atau fasilitas.

Untuk memperkirakan keberhasilan P4S, dibuat sistem penilaian dengan


memperhatikan beberapa variabel yaitu nilai Bishop, persalinan pervaginam
sebelum seksio sesarea, dan indikasi seksio sesarea sebelumya. Weinstein dkk
dan Alamia dkk telah menyusun sistem penilaian untuk memperkirakan
keberhasilan P4S.5,11Namun, menurut ACOG, tidak ada suatu cara yang
memuaskan untuk memperkirakan apakah P4S akan berhasil atau tidak.11
Sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S dari Alamia dkk
(Flamm & Geiger, 1997) adalah sebagai berikut 8 :

No Faktor Nilai
1 Riwayat persalinan pervaginam sebelumnya 2
2 Indikasi sebelumnya :
Sungsang, gawat janin, plasenta previa, seksio 2
elektif 1
Distosia pada pembukaan < 5 cm 0
Distosia pada pembukaan > 5 cm.

18
3 Dilatasi serviks
> 4 cm 2
2 – 4 cm 1
< 2 cm 0
4 Station dibawah – 2 1
5 Panjang serviks < 1 cm 1
6 Persalinan timbul spontan 1

Nilai 7-9: keberhasilan P4S 94,5 %


Nilal 4-6: keberhasilan P4S 78,8 %
Nilai 0-3: keberhasilan P4S 60,0%

Adapun sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S dari


Weinstein dkk (Flamm & Geiger, 1997) adalah sebagai berikut 8,12:
Faktor T Y
i a
d
a
k
Nilai Bishops > 4 0 4
Persalinan pervaginam 0 2
Indikasi yang lalu
A: Malpresentasi 0 6
Hipertensi dalam kehamilan
Gemeli
B: Plasenta previa atau solusio plasenta 0 5
Prematuritas
Ketuban Pecah Dini
C: Gawat janin 0 4
CPD atau Distosia
Prolaps tali pusat
D: Makrosomia 0 3

19
Pertumbuhan janin terhambat

Nilai > 4: keberhasilan P4S > 58%


Nilai > 6: keberhasilan P4S > 67%
Nilai > 8: keberhasilan P4S > 78%
Nilal > 10: keberhasilan P4S > 85%
Nilai = 12: keberhasilan P4S > 88%

Perbandingan angka komplikasi pada P4S dengan pasien yang langsung


menjalani SS elektif kedua telah diteliti olehi McMahon dkk. Hasilnya, tidak
ada perbedaan komplikasi minor pada kedua kelompok tersebut. Frekuensi
ruptura uteri hanya 0,3 %. Angka histerektomi dan komplikasi mayor juga
relatif tidak berbeda di antara kedua kelompok. 12

IX. RUPTUR UTERI PADA BEKAS SEKSIO SESAREA 11,13


Ruptura uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam
persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum viserale. Ruptur uteri
dapat terjadi pada uterus yang utuh (ruptur uteri spontan), pada bekas luka
dinding rahim, misalnya bekas SC atau operasi pada otot rahim, maupun
ruptur uteri akibat tindakan pada pertolongan persalinan (ruptur uteri violenta).
Secara klinis ruptur uteri dapat menyebabkan adanya hubungan langsung
antara kavum uteri dengan rongga peritoneum (ruptur uteri kompleta) atau
tetap terpisah oleh peritoneum viseral yang menutupi uterus (ruptura uteri
inkompleta).

Penting untuk membedakan antara ruptur pada parut SC dan terbukanya


(dehiscence) parut pada bekas SC. Ruptur uteri merujuk pada terpisahnya
insisi lama pada uterus hampir sepanjang seluruh jaringan parut tersebut,
diikuti dengan robeknya selaput fetal sehingga kavum uteri berhubungan
langsung dengan rongga peritoneum. Pada keadaan ini seluruh atau sebagian
dari janin berada di rongga peritoneum. Sebagai tambahan, biasanya terdapat

20
perdarahan yang signifikan dari pinggiran luka ke arah uterus. Sebaliknya
pada dehisens selaput fetal tidak robek dan janin tidak masuk ke rongga
peritoneum. Biasanya pada dehisens jaringan yang terpisah tidak meliputi
seluruh lapisan parut, peritoneum yang melapisi defek tersebut tetap intak dan
tidak ditemukan adanya perdarahan atau minimal. Dehiscence terjadi
perlahan-lahan, sedangkanruptur sangat simptomatik dan kadang-kadang fatal.
Dengan timbulnya persalinan atau manipulasi intrauterine, suatu dehiscence
dapat terjadi ruptur.

Ruptur uteri semacam ini lebih sering terjadi pada luka bekas SC klasik
dibandingkan dengan luka bekas SC profunda. Ruptur bekas SC klasik sudah
dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan luka bekas SC profunda
biasanya baru terjadi dalam persalinan, karena itu semua pasien bekas SC
yang hamil lagi harus diawasi oleh seorang dokter ahli, baik sewaktu
kehamilan maupun persalinan.

Untuk itu kita perlu mengenal betul gejala dari ruptur uteri mengancam
sebelum terjadinya ruptur uteri sebenarnya agar kita dapat bertindak
secepatnya. Adapun gejalanya, antara lain :
1. Pesien tampak gelisah, ketakutan, disertai rasa nyeri perut bagian bawah
terus menerus, juga pada waktu diraba, terutama di luar his.
2. Pernafasan dan denyut nadi cepat dari biasanya.
3. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama, yaitu mulut kering, lidah
kering dan haus, badan panas.
4. Pada abdomen dijumpai :
a. Lingkaran Bandle meningkat sampai setinggi pusat
b. Bagian bawah terasa nyeri
c. Ligamentum rotundum teraba tegang
d. Kontraksi rahim kuat dan terus-menerus
e. Bunyi jantung janin tidak ada atau tidak baik karena anak mengalami
asfiksia disebabkan oleh kontraksi dan retraksi rahim yang berlebihan.
5. Pada pemeriksaan dalam, didapatkan :
a. Bagian terendah janin terfiksir
21
b. Mungkin dijumpai edema serviks
Bila keadaan tersebut dibiarkan, maka suatu saat akan terjadi ruptur uteri,
dengan tanda-tanda sebagai berikut : 15
1. Pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit seolah-olah perutnya
sedang dirobek.
2. Segmen bawah rahim terasa nyeri sekali bila di palpasi.
3. Bunyi jantung tidak ada.
4. Tidak lama kemudian akan menunjukkan gejal-gejala kolaps dan jatuh
dalam syok, dengan tanda-tanda :
a. tekanan darah rendah sampai tidak terukur
b. nadi cepat dan kecil
c. frekuensi pernafasan meningkat
d. akral pucat dan dingin
e. pada pemeriksaan abdomen didapatkan :
 tanda ciran bebas
 bagian bawah janin mudah diraba di bawah kulit
 pada palpasi, abdomen terasa nyeri
 di samping janin teraba uterus yang padat

f. pada pemeriksaan dalam dijumpai :


 bagian terendah janin dapat didorong ke dalam kavum abdominalis
 pada sarung tangan terdapat darah
 tempat robekan ruptur uteri dapat diraba

Ruptur uteri pada bekas SC sering sukar sekali didiagnosa, karena tidak ada
gejala-gejala khas seperti pada rahim yang utuh. Mungkin hanya ada
perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan atau ada perasaan nyeri
pada daerah bekas luka. Ruptur semacam ini disebut silent rupture, di mana
gambaran klinisnya sangat berbeda dengan gambaran klinis ruptur uteri pada
uterus yang utuh. Hal ini dikarenakan biasanya ruptur pada bekas luka SC
terjadi sedikit demi sedikit dan lagi pula perdarahan pada ruptur bekas luka
SC profunda terjadi retroperitoneal hingga tidak menyebabkan gejala

22
perangsangan pada peritoneum. Maka sebaiknya pada semua penderita bekas
SC yang bersalin pervaginam dilakukan eksplorasi kavum uteri. 13

Ruptur uteri merupakan keadaan gawat darurat obstetrik yang berbahaya


karena angka kematiannya tinggi. Penyebab kematian ruptur uteri terutama
adalah perdarahan dan infeksi. Pertolongan pertama pada ruptur uteri
terutama adalah transfusi darah dan antibiotika yang adekuat. Setelah
keadaan umum penderita baik, segera dilakukan histerektomi

23
BAB II
IKHTISAR KASUS

I. IDENTITAS
Istri Suami
Nama Ny. L Tn. AC
Umur 33 tahun 27 tahun
Agama Islam Islam
Pendidikan SLTA SLTA
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Karyawan
Suku Jawa Jawa
Alamat Jl. Madrasah 10/02 Gandul Limo, Jakarta Selatan
Masuk RSF 7 Juli 2007

II. ANAMNESA
Autoanamnesa tanggal 7 Juli 2007 pukul 13.30
A. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan rujukan bidan dengan BSC 1X dan mules sejak 4
jam lalu.

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien rujukan dari bidan dengan G2P1A0 H aterm BSC 1X.Pasien mules
sejak 4 jam smrs, teratur, nyeri perut bagian bawah(-),lendir darah (+),
keluar air-air (-), gerak janin (+),keputihan (-) ANC di bidan 3x, bidan
yang didatangi oleh pasien setiap ANC bukanlah bidan yang merujuk
pasien, pasien belum pernah dilakukan USG.

C. Riwayat Menstruasi
- Menarche : 12 tahun
- Siklus : 28 hari, teratur, lama perdarahan 7 hari, banyak  3
pembalut
- HPHT : lupa
- TP :-
24
D. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 x saat umur 26 tahun, dengan suami sekarang, usia perkawinan
7 tahun.
E. Riwayat Kehamilan dan kelahiran
1. 25 Januari 2005, laki-laki, Aterm, BB 3300gr, SC a.i Plasenta Previa,
RS, dokter, sehat. Riwayat demam setelah SC disangkal, riwayat
perdarahan selama kehamilan dan sesudah persalinan disangkal.
2. 2007, ini

F. Riyat kehamilan sekarang


ANC di bidan, tidak ada keluhan.
Hamil muda : mual (-), muntah (-), sakit kepala (-).
Hamil tua : perdarahan (-), pusing (-)

G. Riwayat operasi
Operasi SC a.i Plasenta Previa, 2005, di Rs. X, luka operasi sembuh
dengan baik. Pasien mengaku tidak mengetahui teknik operasi yang
digunakan.

H. Riwayat KB
Pil, selama 1 tahun, keluhan (-)

I. Riwayat Penyakit Sistemik


Asma (-), Hipertensi (-), DM (-), Jantung (-)

J. Riwayat penyakit keluarga


Asma (-), Hiertensi (-), DM (-), Jantung (-)

K. Riwayat Psikososial
Pasien tidak merokok, tidak minum-minum jamu, tidak minum alkohol
25
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
KU/Kesadaran : baik/compos mentis
Tekanan darah: 120/80mmHg
Nadi : 96x/mnt
RR : 20x/mnt
Suhu : 36,8oC
BB sebelum hamil : 50 kg
BB sekarang : 61 kg
Tinggi : 150 cm
Mata : conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
THT : tidak ada kelainan
Jantung : S1-S2 murni, reguler, murmur(-), gallop(-)
Paru : sonor, vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : perut membuncit simetris dengan arah memanjang,
sikatriks insisi pfannenstiel (+)
Ekstremitas : oedem -/-, akral hangat +/+

Status Obstetri :
Inspeksi : perut membuncit, letak memanjang, skar melintang di atas simfisis
Palpasi :
L I : tinggi fundus uteri 30 cm, teraba 1 bagian bulat,
Lunak, dan tidak melenting.
L II : kanan : teraba 1 bagian kecil
kiri : teraba 1 bagian besar, keras seperti papan
L III : teraba 1 bagian bulat, keras dan melenting
L IV : Posisi tangan divergen

His : 2x/10’/25” SRB, gerak janin (+) tbj 2900 gr


Auskultasi : BJJ (+) 140 dpm, teratur

Pelvimetri Klinik :
1. Promontorium : tidak teraba
26
2. Linea inominata : 1/3-1/3
3. Spina Ischiadica : tumpul
4. Sacrum : konkaf
5. Dinding samping : lurus
6. Arcus Pubis : >90O
Kesan : panggul NORMAL

Pemeriksaan Dalam
Inspeksi : terlihat lendir darah
Inspekulo : Tidak dilakukan
VT : porsio kenyal, tebal 1cm, pembukaan 4 cm, axial, ketuban (+),
kepala HII, sutura sagitalis lintang.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (tanggal 20/9/2004)
1. Darah :
Hb = 11,6 g/dl Ht = 30% Leukosit = 11.600ul
Trombosit = 225.000ul
Urine Lengkap :
Warna kuning jernih BJ = 1,020 PH = 6
Sel epitel = +1
Leukosit = 3-5/LPB Eritrosit = 3-4/LPB
Protein (-) Glukosa (-) Keton (-) Darah/Hb (-)
Bilirubin (-) Urobilin (+) Urobilinogen 0,1 Nitrit (-)
GDS = 97mg/dl

2. USG :
Janin presentasi kepala tunggal hidup.
Plasenta di fundus grade II.
DBP:89 ICA:10.5 AC:30.5 FL:72
Tak tampak KKM, tak tampak PPT
TBBJ 2800 gr, tebal SBU 0.4
Penilaian : Hamil aterm dalam batas normal
27
3. CTG : Janin reaktif

V. Resume
Pasien seorang wanita umur 33 tahun dengan G2P1A0 Hamil aterm JPKTH
dengan bekas SC 1x datang dirujuk bidan. mules sejak 4 jam smrs, teratur,
nyeri perut bagian bawah(-),lendir darah (+), keluar air-air (-) , gerak janin
(+). HPHT lupa, ANC di bidan, tidak ada keluhan baik di kehamilan muda
maupun tua. Operasi SC sebelumnya tahun 2005 a.i plasenta previa. Pada
operasi SC sebelumnya riwayat demam setelah SC disangkal, riwayat
perdarahan selama kehamilan dan sesudah persalinan disangkal. Status
generalis dalam batas normal dengan TD:120/80mmhg, N: 96X/’, RR: 20x/’,
S: 36,7 C, BB=61, TB=150. Status obstetrikus, pada inspeksi didapat perut
membuncit, letak memanjang, scar melintang di atas simfisis dengan insisi
pfanstenel. Palpasi pada LI, TFU 30cm, teraba 1 bagian bulat, lunak, tidak
melenting.LII kanan, teraba 1 bagian kecil dan kiri teraba bagian besar, keras
seperti papan. LIII didapatkan 1 bagian bulat, keras dan melenting.LIV posisi
tangan divergen.Dengan his 2x/10’/25’’ SRB, gerak janin (+), TBJ2900gr.
Pada auskultasi didapat BJJ(+)140 dpm, teratur.Pemeriksaan dalam
didapatkan, inpeksi terlihat lendir darah, VT porsio kenyal, tebal 1cm,
pembukaan 4m, axial,ketuban (+), kepala HII.Pelvimetri klinik kesan panggul
normal. Labotorium didapatkan darah dan urin dalam batas normal. USG
dengan kesan hamil aterm dan JPKTH, dengan hasil CTG yang reaktif.

VI. DIAGNOSIS
Ibu : G2P1A0 hamil aterm dengan bekas SC 1x , PK 1 aktif
Janin : Janin Presentasi Belakang Kepala Tunggal Hidup

VII. Prognosis
Ibu : dubia ad bonam
Janin : dubia ad bonam

28
VIII. PENATALAKSANAAN
Rencana SC

Laporan operasi:
- Pasien terlentang dalam anestesi spinal
- A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
- Insisi Pfanenstiel mengelilingi parut luka lama
- Peritoneum dibuka, tampak uterus gravidus, SBU bekas perlekatan
- Plika vesikouterina disayat semiluner, vesika disisihkan ke bawah
- Tampak rambut bayi membayang di SBU
- SBU disayat tajam, ditembus tumpul, dilebarkan tumpul
- Dengan meluksir kepala, lahir bayi ♂, AS 9/10, PB 49 cm, BB 2900 gr
- Kedua tuba dan ovaria dalam batas normal, kedua ujung SBU dijahit hemostasis
dengan Chromic No. 1
- SBU dijahit satu lapis dengan Vicryl 1.0
- Abdomen ditutup lapis demi lapis, subkutis dengan Chromic, kutis dengan Vicryl
3.0 subkutikuler.
- Perdarahan intra operasi ± 300 cc, urin 50 cc jernih.
- Instruksi lihat status

Instruksi Post Operasi:


- Observasi TNSP/15’ 1 jam I /30’ 1 jam II
- Observasi kontraksi, perdarahan, akut abdomen
- Imobilisasi 24 jam
- Boleh makan dan minum
- Ceftriakson 2 x 1 gr
- Ketoprofen Supp 3 x 200 mg

Observasi 2 jam post partum


TD N RR K P S
11.30 120/70 100 18 baik (-) 36,5 C
11.45 120/80 100 18 baik (-) 36,6 C
12.00 110/70 96 18 baik (-) 36,5 C
29
12.15 120/70 100 20 baik (-) 36,5 C
12.45 110/70 100 20 baik (-) 36.5 C
13.15 110/70 96 20 baik (-) 36.5 C
13.45 110/70 96 20 baik (-) 36.5 C

Follow up ruangan 08/07/07


Pukul 08.00
S : mules (-), nyeri perut (-), perdarahan (-), bab(+),bak(+)
O : Status generalis
TD : 100/70mmHg N :88x/mnt RR : 20x/mt S:37 c
Mata : CA-/- , SI -/-
Cor : Bj I-II reg , Mur-mur (-), Gallop (-)
Pulmo : Sn vesikuler +/+ , Rh -/- , Wh -/-
Abdomen : tanda akut abdomen (-)
Ekstremitas : hangat
Status Obstetrikus :
FUT 2 jari bawah pusat, kontraksi baik, laktasi +/+
I : v/u tenang, perdarahan aktif (-)
A: NHI P2 PP dengan SC
P: - mobilisasi aktif
-Diet TKTP
-Asam mefenamat 3x500mg
-Hematinik2x1
- Amoksilin 3x500mg

Follow up ruangan 09/07/07


Pukul 08.00
S: -
O : Status generalis
TD : 110/80mmHg N :88x/mnt RR : 20x/mt S:37 c
Mata : CA-/- , SI -/-
Cor : Bj I-II reg , Mur-mur (-), Gallop (-)
Pulmo : Sn vesikuler +/+ , Rh -/- , Wh -/-
30
Abdomen : tanda akut abdomen (-)
Ekstremitas : hangat
Status Obstetrikus :
FUT 2 jari bawah pusat, kontraksi baik, laktasi +/+
I : v/u tenang, perdarahan aktif (-)
A: NH2 P2 PP dengan SC
P: -Asam mefenamat 3x500mg
-Hematinik2x1

Follow up ruangan 10/07/07


Pukul 08.00
S: -
O : Status generalis
TD : 110/80mmHg N :88x/mnt RR : 20x/mt S:37 c
Mata : CA-/- , SI -/-
Cor : Bj I-II reg , Mur-mur (-), Gallop (-)
Pulmo : Sn vesikuler +/+ , Rh -/- , Wh -/-
Abdomen : tanda akut abdomen (-)
Ekstremitas : hangat
Status Obstetrikus :
FUT 2 jari bawah pusat, kontraksi baik, laktasi +/+
I : v/u tenang, perdarahan aktif (-)
Luka operasi tenang.
A: NHI P2 PP dengan SC
P: - GV
- Obat yang lain dilanjutkan

31
BAB III
ANALISA KASUS

Pada kasus ini, pasien datang rujukan bidan dengan G2P1A0 hamil aterm bekas SC
1X, PK I aktif. Pada pasien dengan riwayat pernah SC harus kita pikirkan jenis
persalinan apa yang akan dilakukan. Dimana bisa dilakukan persalinan pervaginam,
SC secara elektif, ataupun cito. Hal ini penting untuk dipikirkan guna mencegah
bahaya dari bekas SC, terutama ruptur uteri. Oleh sebab itu penolong harus teliti
memperhatikan munculnya tanda-tanda ruptur uteri.

Analisa atas rujukan bidan dengan G2P1A0 hamil aterm bekas SC 1X, PK I aktif ke
RSUP Fatmawati adalah tepat. Disini dapat dilihat bahwa bidan yang menangani
pasien mengatahui bahaya dari BSC bila bidan tetap melakukan persalinan
pervaginam sendiri tanpa dirujuk. Alangkah baiknya lagi apabila pada kehamilan
36mgg/38mgg pasien tersebut telah dirujuk lebih dahulu ke RS terdekat untuk
pemeriksaan kehamilan lebih lanjut. Sehingga dapat direncanakan dan dipersiapkan
persalinan yang tepat bagi si pasien.

Dari anamnesa belum didapatkan indikasi untuk melakukan seksio sesarea pada kasus
ini. Pada pasien didapatkan riwayat BSC 1x 2 tahun yang lalu, menurut penelitian
Phellan dkk, mereka tidak menemukan adanya ruptur uterus pada penelitian mereka
dengan 501 pasien dengan riwayat SC 2.

Dengan adanya riwayat SC pada pasien ini sebaiknya diketahui jenis parut pada
pasien ini, dengan demikian dapat diketahui besarnya risiko ruptur uteri pada pasien
ini. Menurut Gabbe, dkk 90 – 95% pasien BSC mendapat insisi transversal. Menurut
sebuah metaanalisis tidak ada makna statistik pada pasien yang diketahui riwayat jenis
insisi yang diketahui dengan mereka dengan riwayat insisi yang tidak diketahui
(p=0.95).

Pada pasien ini tidak didapatkan adanya riwayat pemeriksaa USG sebelumnya.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG pada pasien ini karena dengan demikian dapat

32
diketahui tebalnya SBR. Bila diketahui ketebalan dinding rahim maka dapat telah
dapat diketahui jenis tindakan persalinan yang akan dilakukan.

Umur ibu 33 tahun, menurut Shipp dkk, hal ini merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya ruptur uteri. Menurut penelitian Shipp, dkk wanita diatas 30 tahun
mempunyai risiko lebih tinggi mengalami ruptur uteri dibandingkan wanita berumur
sebelum umur 30 tahun.

Score VBAC, menurut ALAMIA :


1. Riwayat persalinan sebelumnya 0
2. Indikasi sebelumnya;sungsang 2
3. Dilatasi servik 4 1
4. Station dibawah -2 1
5. Panjang servik 1 1
6. Persalinan timbul spontan 1
----------------------
6
VBAC 6 =Riwayat keberhasilan 78,8%

Dari pemeriksaan fisik dapat kita buat kesimpulan:


 Tidak terlihatnya tanda-tanda ruptur uteri dengan st generalis ibu dan djj janin
yang dalam batas normal
 Tbj 2900 dan kesan panggul panggl normal dapat diprediksi janin dapat
melalui jalan lahir
 Dari pemeriksaan fisik anamnesa yang telah dilakukan kita memperoleh
skoring VBAC menurut ALAMIA yaitu 6 dengan nilai keberhasilan 78,8%

Pada pasien ini, sebaiknya dipikirkan untuk melakukan persalinan pervaginam


(VBASC). Karena dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang dilakukan tidak
ditemukan kontra indikasi yang berarti untuk tidak dilakukan persalinan pervaginam
pada pasien ini. Mungkin hal yang perlu dipertimbangkan pada pasien ini untuk
dilakukan persalinan pervaginam adalah umur pasien.

33
Persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio harus dilakukan oleh dokter
spesialis obstetri dan ginekologi yang ahli dan berpengalaman dengan fasilitas
penunjang yang memadai yaitu dokter anak yang mahir dalam resusitasi neonatus dan
perawatan neonatus, anastesiologis dan kamar operasi. Juga diperlukan observasi
yang lebih ketat dan kewaspadaan yang tinggi. Kemajuan persalinan secara teliti
dievaluasi dengan memantau dilatasi dan penurunan kepala. Pengawasan selama
persalinan dianjurkan menggunakan pengawasan menetap denyut jantung janin
secara elektronik. Seseorang yang biasa dengan komplikasi P4S harus hadir
mengenali pola denyut jantung janin yang tidak menjamin dan kemajuan persalinan
yang tidak baik.

34
BAB IV
RANGKUMAN

 Angka keberhasilan P4S pada pasien ini 6 = 78,8%


 Kegagalan percobaan partus pervaginam menyebabkan morbiditas meningkat
seperti ruptura uteri, histerektomi, cedera operasi, dan infeksi.
 Bidan harus mengetahui prosedur. Pasien BSC pada kehamilan 36mgg/38mgg
dirujuk lebih dahulu ke RS terdekat untuk pemeriksaan kehamilan lebih
lanjut.
 Kriteria seleksi P4S (ACOG): Satu/dua seksio dengan insisi transversal
rendah, panggul adekuat, tidak ada parut lain atau riwayat ruptura uteri, dokter
mendampingi, monitor persalinan dan seksio sesarea segera termasuk dokter
anastesi dan personil, tidak ada indikasi SS, catatan medik lengkap mengenai
riwayat seksio sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama
perawatan), segera mungkin dirawat di RS setelah persalinan mulai, tersedia
darah untuk transfusi, janin presentasi verteks normal, persetujuan tindak
medik mengenai keuntungan maupun risikonya.
 Kontraindikasi P4S (ACOG): riwayat insisi klasik / T / operasi uterus
transfundal (histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif), panggul sempit
atau makrosomia, komplikasi medis / obstetri melarang pervaginam,
ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak adanya
operator, anastesia, staf atau fasilitas.
 Morbiditas P4S lebih rendah dibandingkan dengan SC kembali. Transfusi
darah, infeksi post partum, lama perawatan, biaya lebih rendah, tanpa
peningkatan morbiditas perinatal.
 Komplikasi P4S yang paling menakutkan adalah ruptura uteri yang dapat
mengakibatkan histerektomi, transfusi darah masif, asfiksia neonatus,
kematian ibu dan janin.
 Tanda ruptura uteri adalah pola denyut jantung janin yang tidak menjamin,
nyeri uterus atau perut, hilangnya stasion bagian terbawah janin, perdarahan
pervaginam, hipotensi.
 Kehamilan berikunya harus diawasi dengan ANC yang baik dan teratur

35
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD, Obstetri Patologi, Kerusakan Jalan


Lahir Karena Persalinan, Edisi 1984, Elstar Offset, Bandung, 1984 : 219-229
2. Basalamah A. Tesis : survei rasio seksio sesaria di Jakarta 1992. FKUI, Jakarta
1992 ;38.
3. Cunningham, Mac Donald P, Grant, Seksio Sesarea dan Histerektomi Sesarea,
Obstetri, Williams, edisi 18, cetakan pertama, EGC, 1998 : 511-534.
4. Dutta D. C Pregnancy With History Of Previous Caesarean Section, In Text
Book Of Obstetrics, 4th ed, New Central Book Agency (P) LTD India, 1998 :
348-352
5. Leveno, K, J, Cesarean Delivery, In Williams Manual of Obstetrics, McGraw-
Hill Medical Publishing Division, 2002 : 214-224
6. Leveno, K, J, Vaginal Birth After Cesarean (VBAC), In Williams Manual of
Obstetrics, McGraw-Hill, Medical Publishing Division, 2002 : 225-228
7. Prawirohardjo Sarwono, Ilmu Bedah Kebidanan, Seksio Sesarea, Edisi I, cetakan
kelima, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 2000 : 133-141
8. Flamm BL, Geiger AM. Vaginal birth after cesarean delivery : an admission
scoring system. Obstet Gynecol 1997 ; 90 : 907 – 10.
9. Vaginal Birth after Previous Sesarean Delivery. ACOG Practice Bulletin. 5,
1999.
10. Wing DA, Paul RH. Vaginal Birth after Sesarean Section : Selection and
Management. Clinical Obstetrics and Gynecology 1999 ; 42(4) : 836 – 848.
11. Gabbe SG. Obstetrics normal and problem pregnancies. 3 rd ed. Churchill
Livingstone Inc. New York, 1996

36

Anda mungkin juga menyukai