PEMBIMBING:
Dr. Aswin Wisaksono S,SpOG
DISUSUN OLEH:
Jemi Tubung
(030.00.123)
Opponen:
Trisunu Handayani
Kartini
Santi Nur Fitria
Jika persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio (P4S) diterapkan pada
semua pasien riwayat seksio sesarea (SS) , kecenderungan meningkatnya
angka persalinan pervaginam sebesar 5%. Angka keberhasilan P4S sebagian
besar kepustakaan 60 – 80 %. Studi kasus kontrol dengan seleksi bias yang
baik, angka keberhasilan 98,3 %, dengan dehisens uterus 0,3 % dari 3000
subyek. 7
Dibandingkan dengan seksio sesarea kembali, P4S berhubungan
dengan morbiditas yang lebih rendah, transfusi darah lebih sedikit, infeksi post
partum lebih sedikit, lama perawatan lebih singkat, tanpa peningkatan
morbiditas perinatal. 6,7
Hasilnya adalah penghematan biaya secara signifikan.
Fakta lainnya bahwa angka mortalitas pada P4S tidak lebih tinggi daripada
angka mortalitas pada seluruh persalinan pervaginam (Gabbe, 1996). 8
BAB I
3
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI 1
Seksio sesarea atau kelahiran caesarea adalah melahirkan janin melalui irisan
pada dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus (histeretomi).
III. ISTILAH 3
Seksio sesarea primer
Yaitu dari semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara
seksio sesarea, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada
panggul sempit (CV kecil dari 8 cm)
Seksio sesarea sekunder
Dalam hal ini kita bersikap mencoba menuggu kelahiran biasa (partus
percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan
gagal, baru dilakukan seksio sesarea.
Seksio sesarea ulang
4
Ibu pada kehamilan yang lalu mengalami seksio sesarea dan kehamilan
selanjutnya dilakukan seksio sesarea ulang.
Seksio sesarea histerektomi
Adalah suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan seksio
sesarea, langsung dilakukan histerektomi oleh karena suatu indikasi.
Seksio sesarea post mortem
Yaitu seksio sesarea pada ibu hamil cukup bulan yang meninggal tiba –
tiba sedangkan janin masih hidup.
Operasi porro
Adalah suatu operasi, tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (janin
sudah mati) dan langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan
infeksi rahim yang berat.
IV. INDIKASI
Persalinan secara seksio sesarea sebenarnya diindikasikan untuk menghindari
kematian ibu dan bayi terutama bila terdapat kontraindikasi selama persalinan
atau bila persalinan pervaginam menghadapi hambatan atau beresiko. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan indikasi yang paling sering
menyebabkan seksio adalah seksio sebelumnya dan distosia pada pasien
tersebut, selain itu fetal distress juga merupakan penyebab hanya dalam
proporsi yang lebih kecil. Di sini kita mengenal indikasi ibu dan indikasi janin.
Indikasi janin : 3, 6
1. Kelainan letak
2. Gawat janin
Kelebihan :
Mengeluarkan janin lebih cepat.
Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik.
Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal.
6
Kekurangan :
Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonealisasi yang baik.
Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptur uteri karena
kurang kuatnya parut pada dinding uterus sehingga pada kehamilan
berikutnya harus seksio sesarea lagi.
Kemungkinan terajadinya perlengketan dengan dinding abdomen lebih
besar.
7
4. SC diikuti Histerektomi
Dilakukan histerktomi setelah seksio dengan indikasi :
a. Atonia uteri
b. Mioma uteri yang besar dan atau banyak
c. Plasenta Acreta
d. Solusio Plasenta (uterus Couvelaire)
e. Infeksi intrauterine berat
f. Carsinoma uteri yang masih dapat dioperasi
Komplikasi tindakan anastesi sekitar 10% dari seluruh angka kematian ibu.
Komplikasi yang lain dapat terjadi saat tindakan SC dengan frekuensi di atas
11% antara lain cedera kandung kemih, cedera rahim, cedera pembuluh darah,
cedera pada usus dan dapat juga cedera pada bayi.
Walaupun jarang namun fatal akibatnya adalah komplikasi emboli air ketuban
yang dapat terjadi selama tindakan operasi, yaitu masuknya cairan ketuban ke
dalam pembuluh darah terbuka yang disebut embolus. Jika embolus mencapai
pembuluh darah jantung maka akan timbul gangguan pada jantung dan paru, di
mana dapat terjadi henti jantung dan henti nafas tiba-tiba, dan akibatnya
adalah kematian mendadak dari ibu.
Komplikasi lain yang dapat terjadi sesaat setelah operasi SC adalah infeksi,
yang disebut morbiditas pasca operasi. Kurang lebih 90% dari mobiditas pasca
operasi disebabkan oleh infeksi (endometritis, infeksi salurah kemih, usus dan
luka operasi).
10
1. Sebagian luka sembuh dan tertutup dengan baik, sebagian yang lain
terdapat eksudat dalam jumlah sedang atau banyak dan keluar melalui
lubang-lubang (fistel) dan terinfeksi.
2. Luka terbuka sebagian, bernanah dan terinfeksi
3. Luka terbuka seluruhnya dan usus kelihatan atau keluar
Luka tersebut memerlukan perawatan khusus sampai memerlukan reinsisi
untuk membuat luka baru dan menutupnya kembali. Komplikasi di atas sering
kita jumpai pada kasus dengan DM, obesitas, dan partus lama di mana
sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartum.
Pada bekas SC tidak harus selalu diikuti dengan tindakan SC pada persalinan
berikutnya. Bila tidak diketahui jenis operasinya kita harus menganggap bekas
operasi sebelumnya adalah korporal atau kalsik sehingga harus dilakukan
seksio sesarea primer. Tetapi bila diketahui jenis operasinya, misalnya SCTPP
kita harus mengetahui apakah sebabnya menetap atau tidak menetap. Bila
penyebabnya menetap seperti pada kasus panggul sempit kita harus melakukan
SC primer, namun bila penyebabnya tidak menetap, wanita tersebut boleh
melahirkan pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Tidak dibenarkan pemakaian oksitosin dalam kala I untuk memperbaiki
his, apabila digunakan, maka bunyi jantung janin harus diawasi ketat, bila
terjadi bradikardi atau variabel deselerasi, maka hal ini menunjukkan tanda
awal ruptur uteri, sehingga harus segera dioperasi. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa penggunaan prostaglandin dan oksitosin pada bekas SC
memperbesar terjadinya ruptur uteri.
2. Kala II harus dipersingkat
Ibu diperbolehkan mengedan selama 15 menit. Jika dalam waktu 15 menit
ini bagian janin turun dengan pesat, maka Ibu ini diperbolehkan mengedan
lagi selama 15 menit lagi. Jika setelah 15 menit kepala tidak turun dengan
cepat, dapat dilakukan ekstraksi forceps atau vakum bila syarat-syarat
terpenuhi.
Penelitian yang telah dilakukan selama ini menyatakan bahwa induksi aman
selama terdapat indikasi pada ibu dan janin serta pasien merupakan kandidat
yang memenuhi syarat untuk P4S3,6. Obat yang dapat digunakan untuk
pematangan serviks pada bekas SC adalah Prostaglandin E2 gel, yang
pemberiannya bisa langsung pada forniks posterior vagina atau dioleskan pada
kanal serviks. Kedua metoda ini tampaknya cukup aman dan efektif pada
pasien yang akan menjalani P4S. Misoprostol yang saat ini sangat banyak
13
digunakan untuk pematangan serviks pada wanita tanpa riwayat SC ternyata
tidak boleh digunakan untuk tujuan yang sama pada bekas SC karena
tingginya kejadian robeknya parut.
Dari wanita yang menjalani P4S, angka ruptura uteri sangat bervariasi
tergantung faktor risiko yang ada. Untuk menghindari terjadinya komplikasi
ini, kita harus mengenali faktor risiko pada pasien.
Adapun faktor risiko itu adalah15:
Jumlah SC sebelumnya
Berapa jumlah SC yang masih dianggap aman untuk P4S sampai saat ini
masih belum jelas, karena terdapatnya hasil yang berbeda dari berbagai
penelitian. Phelan dkk 7
tidak menemukan satu kasus ruptura uteri pun pada
501 pasien dengan riwayat SC 2 kali dan menjalani PBBS pada persalinan
ketiganya. Sedangkan Miller dkk menemukan resiko ruptura uterus tiga kali
lebih tinggi pada jumlah parut yang lebih dari satu.
Interval persalinan
Shipp dkk menyatakan bahwa waktu yang pendek antara SC dan percobaan
persalinan pervaginam berikutnya dapat meningkatkan resiko terjadinya
ruptura uterus karena tidak tersedia waktu yang adekuat untuk penyembuhan
luka. Wanita dengan interval persalinan kurang dari 18 bulan, mempunyai
resiko 2,3% dibandingkan dengan yang intervalnya lebih dari 18 bulan yaitu
1%
15
Demam post partum setelah SC
Demam post partum SC merupakan suatu predisposisi penyembuhan luka
yang jelek dan pada beberapa tempat hal ini merupakan kontraindikasi untuk
dilakukannya P4S.
Anomali uterus
Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali uterus.
Kehamilan ganda
Hanya satu penelitian mengenai hal ini dan ternyata dari 92 wanita, tidak
terjadi ruptura uteri.
16
Anamnesis yang teliti mengenai riwayat persalinan sebelumnya, jumlah
SC, riwayat persalinan pervaginam, jarak antar kehamilan, riwayat demam
pasca SC serta usia ibu.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehamilan sekarang :
makrosomia, usia kehamilan, kehamilan ganda , ketebalan SBU, presentasi
janin.
Faktor –faktor yang berhubungan dengan tatalaksana persalinan, seperti
induksi dan augmentasi.
Pemantauan dan observasi ketat persalinan.
Kemampuan mengadakan operasi dalam waktu kurang lebih 30 menit bila
terjadi ancaman ruptura uteri.
Malpresentasi
Flamm dkk melaporkan tidak terjadi ruptura pada 56 pasien yang dilakukan
versi luar pada presentasi bokong saat hamil aterm, namun karena tidak ada
data yang definitif, prosedur ini mungkin bisa berhubungan dengan terjadinya
ruptura uteri.
Percobaan P4S dapat dilakukan pada sebagian besar wanita dengan insisi
uterus transversal rendah dan tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginam.
Kriteria seleksi pasien yang mencoba P4S menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG), yaitu7:
1. Satu atau dua seksio dengan insisi transversal rendah
2. Panggul adekuat secara klinis
3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptura uteri
4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor persalinan
dan melakukan seksio sesarea segera ( dalam waktu 30 menit )
5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio
sesarea segera.
17
2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea
sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama perawatan).
3. Segera mungkin pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai.
4. Tersedia darah untuk transfusi.
5. Janin presentasi verteks normal.
6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf, fasilitas)
7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea darurat.
8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya.
No Faktor Nilai
1 Riwayat persalinan pervaginam sebelumnya 2
2 Indikasi sebelumnya :
Sungsang, gawat janin, plasenta previa, seksio 2
elektif 1
Distosia pada pembukaan < 5 cm 0
Distosia pada pembukaan > 5 cm.
18
3 Dilatasi serviks
> 4 cm 2
2 – 4 cm 1
< 2 cm 0
4 Station dibawah – 2 1
5 Panjang serviks < 1 cm 1
6 Persalinan timbul spontan 1
19
Pertumbuhan janin terhambat
20
perdarahan yang signifikan dari pinggiran luka ke arah uterus. Sebaliknya
pada dehisens selaput fetal tidak robek dan janin tidak masuk ke rongga
peritoneum. Biasanya pada dehisens jaringan yang terpisah tidak meliputi
seluruh lapisan parut, peritoneum yang melapisi defek tersebut tetap intak dan
tidak ditemukan adanya perdarahan atau minimal. Dehiscence terjadi
perlahan-lahan, sedangkanruptur sangat simptomatik dan kadang-kadang fatal.
Dengan timbulnya persalinan atau manipulasi intrauterine, suatu dehiscence
dapat terjadi ruptur.
Ruptur uteri semacam ini lebih sering terjadi pada luka bekas SC klasik
dibandingkan dengan luka bekas SC profunda. Ruptur bekas SC klasik sudah
dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan luka bekas SC profunda
biasanya baru terjadi dalam persalinan, karena itu semua pasien bekas SC
yang hamil lagi harus diawasi oleh seorang dokter ahli, baik sewaktu
kehamilan maupun persalinan.
Untuk itu kita perlu mengenal betul gejala dari ruptur uteri mengancam
sebelum terjadinya ruptur uteri sebenarnya agar kita dapat bertindak
secepatnya. Adapun gejalanya, antara lain :
1. Pesien tampak gelisah, ketakutan, disertai rasa nyeri perut bagian bawah
terus menerus, juga pada waktu diraba, terutama di luar his.
2. Pernafasan dan denyut nadi cepat dari biasanya.
3. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama, yaitu mulut kering, lidah
kering dan haus, badan panas.
4. Pada abdomen dijumpai :
a. Lingkaran Bandle meningkat sampai setinggi pusat
b. Bagian bawah terasa nyeri
c. Ligamentum rotundum teraba tegang
d. Kontraksi rahim kuat dan terus-menerus
e. Bunyi jantung janin tidak ada atau tidak baik karena anak mengalami
asfiksia disebabkan oleh kontraksi dan retraksi rahim yang berlebihan.
5. Pada pemeriksaan dalam, didapatkan :
a. Bagian terendah janin terfiksir
21
b. Mungkin dijumpai edema serviks
Bila keadaan tersebut dibiarkan, maka suatu saat akan terjadi ruptur uteri,
dengan tanda-tanda sebagai berikut : 15
1. Pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit seolah-olah perutnya
sedang dirobek.
2. Segmen bawah rahim terasa nyeri sekali bila di palpasi.
3. Bunyi jantung tidak ada.
4. Tidak lama kemudian akan menunjukkan gejal-gejala kolaps dan jatuh
dalam syok, dengan tanda-tanda :
a. tekanan darah rendah sampai tidak terukur
b. nadi cepat dan kecil
c. frekuensi pernafasan meningkat
d. akral pucat dan dingin
e. pada pemeriksaan abdomen didapatkan :
tanda ciran bebas
bagian bawah janin mudah diraba di bawah kulit
pada palpasi, abdomen terasa nyeri
di samping janin teraba uterus yang padat
Ruptur uteri pada bekas SC sering sukar sekali didiagnosa, karena tidak ada
gejala-gejala khas seperti pada rahim yang utuh. Mungkin hanya ada
perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan atau ada perasaan nyeri
pada daerah bekas luka. Ruptur semacam ini disebut silent rupture, di mana
gambaran klinisnya sangat berbeda dengan gambaran klinis ruptur uteri pada
uterus yang utuh. Hal ini dikarenakan biasanya ruptur pada bekas luka SC
terjadi sedikit demi sedikit dan lagi pula perdarahan pada ruptur bekas luka
SC profunda terjadi retroperitoneal hingga tidak menyebabkan gejala
22
perangsangan pada peritoneum. Maka sebaiknya pada semua penderita bekas
SC yang bersalin pervaginam dilakukan eksplorasi kavum uteri. 13
23
BAB II
IKHTISAR KASUS
I. IDENTITAS
Istri Suami
Nama Ny. L Tn. AC
Umur 33 tahun 27 tahun
Agama Islam Islam
Pendidikan SLTA SLTA
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Karyawan
Suku Jawa Jawa
Alamat Jl. Madrasah 10/02 Gandul Limo, Jakarta Selatan
Masuk RSF 7 Juli 2007
II. ANAMNESA
Autoanamnesa tanggal 7 Juli 2007 pukul 13.30
A. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan rujukan bidan dengan BSC 1X dan mules sejak 4
jam lalu.
C. Riwayat Menstruasi
- Menarche : 12 tahun
- Siklus : 28 hari, teratur, lama perdarahan 7 hari, banyak 3
pembalut
- HPHT : lupa
- TP :-
24
D. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 x saat umur 26 tahun, dengan suami sekarang, usia perkawinan
7 tahun.
E. Riwayat Kehamilan dan kelahiran
1. 25 Januari 2005, laki-laki, Aterm, BB 3300gr, SC a.i Plasenta Previa,
RS, dokter, sehat. Riwayat demam setelah SC disangkal, riwayat
perdarahan selama kehamilan dan sesudah persalinan disangkal.
2. 2007, ini
G. Riwayat operasi
Operasi SC a.i Plasenta Previa, 2005, di Rs. X, luka operasi sembuh
dengan baik. Pasien mengaku tidak mengetahui teknik operasi yang
digunakan.
H. Riwayat KB
Pil, selama 1 tahun, keluhan (-)
K. Riwayat Psikososial
Pasien tidak merokok, tidak minum-minum jamu, tidak minum alkohol
25
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
KU/Kesadaran : baik/compos mentis
Tekanan darah: 120/80mmHg
Nadi : 96x/mnt
RR : 20x/mnt
Suhu : 36,8oC
BB sebelum hamil : 50 kg
BB sekarang : 61 kg
Tinggi : 150 cm
Mata : conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
THT : tidak ada kelainan
Jantung : S1-S2 murni, reguler, murmur(-), gallop(-)
Paru : sonor, vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : perut membuncit simetris dengan arah memanjang,
sikatriks insisi pfannenstiel (+)
Ekstremitas : oedem -/-, akral hangat +/+
Status Obstetri :
Inspeksi : perut membuncit, letak memanjang, skar melintang di atas simfisis
Palpasi :
L I : tinggi fundus uteri 30 cm, teraba 1 bagian bulat,
Lunak, dan tidak melenting.
L II : kanan : teraba 1 bagian kecil
kiri : teraba 1 bagian besar, keras seperti papan
L III : teraba 1 bagian bulat, keras dan melenting
L IV : Posisi tangan divergen
Pelvimetri Klinik :
1. Promontorium : tidak teraba
26
2. Linea inominata : 1/3-1/3
3. Spina Ischiadica : tumpul
4. Sacrum : konkaf
5. Dinding samping : lurus
6. Arcus Pubis : >90O
Kesan : panggul NORMAL
Pemeriksaan Dalam
Inspeksi : terlihat lendir darah
Inspekulo : Tidak dilakukan
VT : porsio kenyal, tebal 1cm, pembukaan 4 cm, axial, ketuban (+),
kepala HII, sutura sagitalis lintang.
2. USG :
Janin presentasi kepala tunggal hidup.
Plasenta di fundus grade II.
DBP:89 ICA:10.5 AC:30.5 FL:72
Tak tampak KKM, tak tampak PPT
TBBJ 2800 gr, tebal SBU 0.4
Penilaian : Hamil aterm dalam batas normal
27
3. CTG : Janin reaktif
V. Resume
Pasien seorang wanita umur 33 tahun dengan G2P1A0 Hamil aterm JPKTH
dengan bekas SC 1x datang dirujuk bidan. mules sejak 4 jam smrs, teratur,
nyeri perut bagian bawah(-),lendir darah (+), keluar air-air (-) , gerak janin
(+). HPHT lupa, ANC di bidan, tidak ada keluhan baik di kehamilan muda
maupun tua. Operasi SC sebelumnya tahun 2005 a.i plasenta previa. Pada
operasi SC sebelumnya riwayat demam setelah SC disangkal, riwayat
perdarahan selama kehamilan dan sesudah persalinan disangkal. Status
generalis dalam batas normal dengan TD:120/80mmhg, N: 96X/’, RR: 20x/’,
S: 36,7 C, BB=61, TB=150. Status obstetrikus, pada inspeksi didapat perut
membuncit, letak memanjang, scar melintang di atas simfisis dengan insisi
pfanstenel. Palpasi pada LI, TFU 30cm, teraba 1 bagian bulat, lunak, tidak
melenting.LII kanan, teraba 1 bagian kecil dan kiri teraba bagian besar, keras
seperti papan. LIII didapatkan 1 bagian bulat, keras dan melenting.LIV posisi
tangan divergen.Dengan his 2x/10’/25’’ SRB, gerak janin (+), TBJ2900gr.
Pada auskultasi didapat BJJ(+)140 dpm, teratur.Pemeriksaan dalam
didapatkan, inpeksi terlihat lendir darah, VT porsio kenyal, tebal 1cm,
pembukaan 4m, axial,ketuban (+), kepala HII.Pelvimetri klinik kesan panggul
normal. Labotorium didapatkan darah dan urin dalam batas normal. USG
dengan kesan hamil aterm dan JPKTH, dengan hasil CTG yang reaktif.
VI. DIAGNOSIS
Ibu : G2P1A0 hamil aterm dengan bekas SC 1x , PK 1 aktif
Janin : Janin Presentasi Belakang Kepala Tunggal Hidup
VII. Prognosis
Ibu : dubia ad bonam
Janin : dubia ad bonam
28
VIII. PENATALAKSANAAN
Rencana SC
Laporan operasi:
- Pasien terlentang dalam anestesi spinal
- A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
- Insisi Pfanenstiel mengelilingi parut luka lama
- Peritoneum dibuka, tampak uterus gravidus, SBU bekas perlekatan
- Plika vesikouterina disayat semiluner, vesika disisihkan ke bawah
- Tampak rambut bayi membayang di SBU
- SBU disayat tajam, ditembus tumpul, dilebarkan tumpul
- Dengan meluksir kepala, lahir bayi ♂, AS 9/10, PB 49 cm, BB 2900 gr
- Kedua tuba dan ovaria dalam batas normal, kedua ujung SBU dijahit hemostasis
dengan Chromic No. 1
- SBU dijahit satu lapis dengan Vicryl 1.0
- Abdomen ditutup lapis demi lapis, subkutis dengan Chromic, kutis dengan Vicryl
3.0 subkutikuler.
- Perdarahan intra operasi ± 300 cc, urin 50 cc jernih.
- Instruksi lihat status
31
BAB III
ANALISA KASUS
Pada kasus ini, pasien datang rujukan bidan dengan G2P1A0 hamil aterm bekas SC
1X, PK I aktif. Pada pasien dengan riwayat pernah SC harus kita pikirkan jenis
persalinan apa yang akan dilakukan. Dimana bisa dilakukan persalinan pervaginam,
SC secara elektif, ataupun cito. Hal ini penting untuk dipikirkan guna mencegah
bahaya dari bekas SC, terutama ruptur uteri. Oleh sebab itu penolong harus teliti
memperhatikan munculnya tanda-tanda ruptur uteri.
Analisa atas rujukan bidan dengan G2P1A0 hamil aterm bekas SC 1X, PK I aktif ke
RSUP Fatmawati adalah tepat. Disini dapat dilihat bahwa bidan yang menangani
pasien mengatahui bahaya dari BSC bila bidan tetap melakukan persalinan
pervaginam sendiri tanpa dirujuk. Alangkah baiknya lagi apabila pada kehamilan
36mgg/38mgg pasien tersebut telah dirujuk lebih dahulu ke RS terdekat untuk
pemeriksaan kehamilan lebih lanjut. Sehingga dapat direncanakan dan dipersiapkan
persalinan yang tepat bagi si pasien.
Dari anamnesa belum didapatkan indikasi untuk melakukan seksio sesarea pada kasus
ini. Pada pasien didapatkan riwayat BSC 1x 2 tahun yang lalu, menurut penelitian
Phellan dkk, mereka tidak menemukan adanya ruptur uterus pada penelitian mereka
dengan 501 pasien dengan riwayat SC 2.
Dengan adanya riwayat SC pada pasien ini sebaiknya diketahui jenis parut pada
pasien ini, dengan demikian dapat diketahui besarnya risiko ruptur uteri pada pasien
ini. Menurut Gabbe, dkk 90 – 95% pasien BSC mendapat insisi transversal. Menurut
sebuah metaanalisis tidak ada makna statistik pada pasien yang diketahui riwayat jenis
insisi yang diketahui dengan mereka dengan riwayat insisi yang tidak diketahui
(p=0.95).
Pada pasien ini tidak didapatkan adanya riwayat pemeriksaa USG sebelumnya.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG pada pasien ini karena dengan demikian dapat
32
diketahui tebalnya SBR. Bila diketahui ketebalan dinding rahim maka dapat telah
dapat diketahui jenis tindakan persalinan yang akan dilakukan.
Umur ibu 33 tahun, menurut Shipp dkk, hal ini merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya ruptur uteri. Menurut penelitian Shipp, dkk wanita diatas 30 tahun
mempunyai risiko lebih tinggi mengalami ruptur uteri dibandingkan wanita berumur
sebelum umur 30 tahun.
33
Persalinan pervaginam pada pasien pernah seksio harus dilakukan oleh dokter
spesialis obstetri dan ginekologi yang ahli dan berpengalaman dengan fasilitas
penunjang yang memadai yaitu dokter anak yang mahir dalam resusitasi neonatus dan
perawatan neonatus, anastesiologis dan kamar operasi. Juga diperlukan observasi
yang lebih ketat dan kewaspadaan yang tinggi. Kemajuan persalinan secara teliti
dievaluasi dengan memantau dilatasi dan penurunan kepala. Pengawasan selama
persalinan dianjurkan menggunakan pengawasan menetap denyut jantung janin
secara elektronik. Seseorang yang biasa dengan komplikasi P4S harus hadir
mengenali pola denyut jantung janin yang tidak menjamin dan kemajuan persalinan
yang tidak baik.
34
BAB IV
RANGKUMAN
35
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
36