Anda di halaman 1dari 3

Penatalaksanaan Plasenta Previa

Penatalaksanaan pada plasenta previa dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:


1. Ekspektatif
Tatalaksana Ekspektatif dilakukan apabila janin masih kecil sehingga kemungkinan
hidup di dunia masih kecil baginya. Sikap ekspektasi tertentu hanya dapat dibenarkan jika
keadaan ibu baik dan perdarahannya sudah berhenti atau sedikit sekali (Mose, 2005).
Menurut Scearce, (2007) syarat terapi ekspektatif yaitu:
a.
b.
c.
d.

Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.


Belum ada tanda-tanda in partu.
Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal).
Janin masih hidup.
Ibu dapat dirawat inap, tirah baring dan diberikan antibiotik profilaksis. Apabila

terdapat kontraksi diberikan tokolitik yang dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV


dosis tunggal untuk pematangan paru janin. Anemia diperbaiki dengan pemberian sulfas
ferosus atau ferous fumarat per oral 60 mg selama 1 bulan. Pastikan tersedianya transfusi.
Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai usia kehamilan 37 minggu masih lama,
ibu dapat di rawat jalan dengan edukasi segera kembali ke rumah sakit bila terjadi
perdarahan (WHO, 2013).
2. Terminasi
Terminasi dilakukan dengan segera mengakhiri kehamilan sebelum terjadi
perdarahan yang dapat menimbulkan kematian, misalnya kehamilan telah cukup bulan,
perdarahan banyak, dan anak telah meninggal. Terminasi ini dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu:
a. Cara vaginal yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada plasenta, dengan
cara ini maka pembuluh-pembuluh darah yang terbuka dapat tertutup kembali
(tamponade pada plasenta) ( Mose, 2005).
Penekanan tersebut dapat dilakukan melalui amniotomi (pemecahan selaput
ketuban). Cara ini merupakan cara yang dipilih untuk melancarkan persalinan pervaginam.
Cara ini dilakukan apabila plasenta previa lateralis, plasenta previa marginalis, atau plasenta
letak rendah, namun bila ada pembukaan. Pada primigravida telah terjadi pembukaan 4 cm
atau lebih. Juga dapat dilakukan pada plasenta previa lateralis/ marginalis dengan janin
yang sudah meninggal (Mochtar, 1998).
b. Dengan cara seksio sesarea, yang dimaksud untuk mengosongkan rahim sehingga
rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Selain itu seksio sesarea
juga dapat mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim yang
sering terjadi pada persalinan pervaginam (Mochtar, 1998). Persalinan seksio
sesarea diperlukan hampir pada seluruh kasus plasenta previa. Pada sebagian

besar kasus dilakukan melalui insisi uterus transversal. Karena perdarahan janin
dapat terjadi akibat insisi ke dalam plasenta anterior (Cunningham et al, 2010).
Menurut Mochtar (1998) Indikasi dilakukannya persalinan seksio sesarea pada
plasenta previa adalah:
a. Dilakukan pada semua plasenta previa sentralis, janin hidup atau meninggal, serta
semua plasenta previa lateralis, posterior, karena perdarahan yang sulit dikontrol.
b. Semua plasenta pevia dengan perdarahan yang banyak, berulang dan tidak berhenti
dengan tindakan yang ada.
c. Plasenta previa yang disertai dengan panggul sempit, letak lintang.
Gawat janin maupun kematian janin dan bukan merupakan halangan untuk
dilakukannya persalinan seksio sesarea, demi keselamatan ibu. Tetapi apabila dijumpai
gawat ibu kemungkinan persalinan seksio sesarea ditunda sampai keadaan ibunya dapat
diperbaiki, apabila fasilitas memungkinkan untuk segera memperbaiki keadaan ibu,
sebaiknya dilakukan seksio sesarea jika itu merupakan satu-satunya tindakan yang terbaik
untuk mengatasi perdarahan yang banyak pada plasenta previa totalis.
Komplikasi Plasenta Previa
Komplikasi dapat terjadi pada ibu dan bayi yaitu selama kehamilan pada ibu dapat
menimbulkan perdarahan antepartum yang dapat menimbulkan anemia dan syok. Kelainan
letak pada janin sehingga meningkatnya presentasi letak bokong dan letak lintang sehingga
sering diambil tindakan operasi dengan segala konsekuensinya. Selama persalinan plasenta
previa dapat menyebabkan ruptur atau robekan jalan lahir, prolaps tali pusat, perdarahan
postpartum, perdarahan intrapartum, serta dapat menyebakan melekatnya plasenta
sehingga harus dikeluarkan secara manual atau bahkan dilakukan kuretase. Sedangkan
pada janin di kehamilan dengan plasenta previa ini dapat mengakibatkan bayi lahir prematur
sehingga berat badan rendah, munculnya asfiksia, kematian janin dalan uterus, kelainan
kongenital serta cidera akibat intervensi kelahiran (Prawirohardjo, 2009).
Prognosis
Diagnosis dini dan adanya pemeriksaan USG yang tidak invasif serta tersedianya
transfusi darah dan infus cairan yang telah ada di hampir semua rumah sakit kabupaten
membuat prognosis kehamilan dengan plasenta previa lebih baik. Program keluarga
berencana menurunkan jumlah ibu hamil dengan paritas tinggi sehingga menurunkan resiko
plasenta previa. Namun, kelahiran prematur masih belum dapat dihindari sepenuhnya
meskipun telah diberlakukan tindakan koservatif yakni 47% kelahiran prematur pada
kehamilan dengan plasenta previa (Prawirohardjo, 2009)

DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F.G.et all, 2010. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York: McGraw-Hill. pp:
769-773
Mochtar, R., 1998. Sinopsis Obstetri. Jilid I. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.pp: 269-279.
Mose, JC. 2004. Perdarahan Antepartum dalam: Sastrawinata S. Ilmu Kesehatan
Reproduksi: Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.pp: 83-91
Prawirohardjo, Sarwono, dkk. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Scearce,J and Uzelac,PS.,2007. Third-trimester vaginal bleeding. In: AH DeCherney et al.
(eds). Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology, 10th ed. New
York: McGraw-Hill.
WHO. 2013. Buku Saku pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan. Jakarta: WHO county office for Indonesia. Pp 96-98.

Anda mungkin juga menyukai