Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Mempelajari hasil penelitian terdahulu sebagai upaya untuk menelaah hasil

penelitian empiris yang dapat bersumber dari jurnal, artikel ilmiah, hasil penelitian

skripsi, tesis dan disertasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Ada

beberapa penelitian terdahulu mengenai Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yang

telah dilakukan tetapi masih jarang yang melakukan penelitian tentang jejaring

kebijakan dalam pelaksanaan Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Berikut ini

beberapa penelitian terdahulu yang relevan, sebagai berikut:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu


No Penulis Judul Kesimpulan Perbedaan
1 Raudhatul Implementasi masih kurangnya Menggunakan
Jannah dan Program Kota sosialisasi oleh teori
Mardiyanto Tanpa Kumuh LKM terkait implementasi
(2017) (KOTAKU) di pendanaan dan kebijakan
Kelurahan kurangnya peran publik
Kemang Agung Kelompok sedangkan
Kecamatan Pemanfaatan dan penulis
Kertapati Kota Pemeliharaan menggunakan
Palembang (KPP) dalam jejaring
merawat kebijakan
infrastruktur yang
telah di kerjakan
2 Christianingrum Implementasi Berhasil Menggunakan
dan Djumiarti program kota menurunkan luas teori
(2018) tanpa kumuh di permukiman implementasi
Kecamatan kumuh namun kebijakan
semarang timur. masih terdapat publik
Pelaksanaan permasalahan sedangkan
dimana masih penulis

14
15

KOTAKU di kurangnya menggunakan


Semarang timur partisipasi jejaring
masyarakat karena kebijakan
kurangnya
sosialisasi dari
pihak pemerintah
terkait adanya
program
KOTAKU.
3 Bathari, Limba, Implementation pelaksanaan
dan Mustafa of the KOTAKU program ini
(2018) Program : Case dipengaruhi empat
Studi in Kendari faktor yang
meliputi
komunikasi,
disposisi, sumber
daya, dan struktur
birokrasi yang
belum efektif
sehingga
pelaksanaan
kotaku di Kendari
belum berjalan
secara efektif.
4 Sari, Suman Implementasi Pelaksanaan Menggunakan
dan Kaluge KOTAKU di KOTAKU di Desa teori
(2018) Desa Bligo dan Bligo berjalan implementasi
Desa Jiken dengan efektif kebijakan
karena adanya publik
partisipasi sedangkan
masyarakat secara penulis
aktif baik melalui menggunakan
ide, tenaga kerja jejaring
serta uang. Namun kebijakan
pelaksanaan di
Desa Jiken
merupakan desa
yang gagal dalam
melaksanakan
KOTAKU karena
pelaksanaan yang
hanya terbatas
pada
pembangunan fisik
16

yang didominasi
oleh peran
pemerintah tanpa
adanya partisipasi
masyarakat.
5 Yuliani dan Kolaborasi Kolaborasi Menggunakan
Rosyida (2017 Dalam pelaksanaan Kota teori
Perencanaan Tanpa Kumuh kolaborasi
Program Kota belum berjalan sedangkan
tanpa kumuh di dengan baik penulis
Kelurahan karena hanya menggunakan
Semanggi Kota beberapa jejaring
Surakarta stakeholder yang kebijakan
terlibat serta
komunikasi antar
stakeholder yang
tidak komunikatif.
6 Nurhasanah Impmentasi Pelaksanaan Menggunakan
(2019) Kebijakan KOTAKU belum teori
Program terlaksana secara implementasi
KOTAKU keseluruhan dan kebijakan
(KOTA TANPA masyarkat yang publik
KUMUH) Dalam kurang menjaga sedangkan
Upaya proyek yang telah penulis
Peningkatan di laksanakan menggunakan
Kesejahteraan jejaring
Masyarakat kebijakan
7 Indah Ambar Manajemen Badan Menggunakan
Arum, Strategi Dakam Perencanaan manajemen
Meirinawati Menanggulangi Pembangunan strategi
Permasalahan Kota Surabaya sedangkan
Permukiman berusaha keras penulis
Kumuh Melalui memaksimalkan menggunakan
Progeam kekuatan yang jejaring
KOTAKU (Kota dimiliki berupa kebijakan
Tanpa Kumuh) sturuktur
Di Kawasan organisasi,
Kenjeran Oleh kerjasama dengan
Badan beberapa SKPD,
Perencanaan pemerintah pusat,
Pembangunan SDM yang
Kota Surabaya berkompeten dan
memperbesar
peluang yang ada
17

yaitu program
KOTAKU di
Kawasan Kenjeran
dapat dijadikan
sebagai kampung
wisata yang dapat
dicontoh oleh
kampung-
kampung lain yang
melaksankan
program
KOTAKU
8 Dadan Rohimat, Partispasi Dimensi-dimensi Menggunakan
Rita Masyarakat partisipasi teori
Rahmawati, Dalam masyarakat implementasi
Goris Seran Implmentasi Kecamatan Ciawi kebijakan
(2017) Program memperoleh nilai publik
KOTAKU/PNPM 3.72 dengan sedangkan
Di Kecamatan kategori baik. penulis
Ciawi menggunakan
jejaring
kebijakan
9 Sahara Partisipasi Partisipasi
Aprilianan, Aji Masyarkat Dalam masyarakat telah
Ratna Kusuma, Pelaksanaan baik dalam
Santi Rande Program Kota pemanfaatan hasil
(2018) Tanpa Kumuh pembangunan,
(KOTAKU) hanya saa dalam
(Studi Tentang perencanaan,
Program pelaksanaan, dan
Pembangunan pemanfaatan hasil
Drainase dan pembangunan
Sanitasi belum maksimal
Dikelurahan karena hanya
Teritip Kota beberapa saja
Balikpapan warga yang
terlibat.
10 Sriati, Ari Partisipasi Partisipasi dan Menggunakan
Siswanto, Masyarakat dan efektivitas teori
Mulyanto Efektivitas program kota partisipasi
(2019) Program Kota tanpa kumuh dan
Tanpa Kumuh termasuk kategori efektivitas
(KOTAKU) sedang sedangkan
Dalam penulis
18

Mengurangi menggunakan
Resiko Banjir di jejaring
Kota Palembang kebijakan
Sumber: Hasil penelitian terdahulu, diolah peneliti,2019
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah diuraikan diatas dapat diambil

kesimpulan bahwa pelaksanaan Kota Tanpa Kumuh memiliki permasalahan dalam

keterlibatan stakeholder dan partisipasi masyarakat yang belum efektif hal ini

bertolak belakang dengan platform program Kota Tanpa Kumuh yang merupakan

program kolaborasi antar aktor yang terkait.

2.2 Kebijakan Publik

Kebijakan secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani,

yang berarti negara-kota, dalam bahasa latin menjadi polita artinya negara, masuk

ke dalam Bahasa Inggris lama menjadi policy yang pengertiannya berkaitan dengan

urusan perintah atau administrasi pemerintah. Kata publik di konsepkan sebagai

sebuah ruang yang berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk

diatur/diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial atau setidaknya oleh tindakan

bersama (Rusli,2013:34).

Thomas R. Dye pada tahun 1995 memberikan definisi kebijakan publik

sebagai segala sesuatu yang dipilih untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh

pemerintah “whatever governments choose to do or not to do”. definisi ini mirip

dengan yang dikemukakan oleh Edward dan Sharkansky yang mengatakan bahwa

kebijakan publik adalah “apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh
19

pemerintah atau apa yang tidak dilakukannya. Artinya pemerintah tidak

mengerjakan sesuatu pun termasuk dalam kategori kebijakan, karena hal itu

merupakan sebuah keputusan (Rusli,2013:35).

Kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai

strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi

untuk mengantarkan masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa

transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita – citakan (Nugroho,2012:123).

Kebijakan publik merupakan sebuah jawaban terhadap suatu masalah karena

merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu keburukan serta

sebaliknya menjadi penganjur inovasi dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara

terbaik dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa pengetahuan tentang

kebijakan publik adalah pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi, dan

kinerja kebijakan dan program publik (Syafiie,2006:77).

Menurut Santoso dalam Winarno (2016:21) menyimpulkan bahwa

kebijakan publik pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi

ke dalam dua wilayah kategori. Pertama, pendapat ahli yang menyamakan

kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah, para ahli dalam kelompok

ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut

sebagai kebijakan publik. Kedua, berangkat dari para ahli yang memandang

kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan

dan maksud-maksud tertentu, dan mereka menganggap kebijakan publik memiliki

akibat-akibat yang dapat diramalkan.


20

Menurut Nugroho (2012:93) Kebijakan publik sendiri merupakan bentuk

dinamik tiga dimensi kehidupan setiap negara, yaitu:

a. Dimensi Politik, karena kebijakan publik merupakan bentuk paling nyata


system politik yang dipilih, politik demokratis memberikan hasil kebijakan
publik yang berproses secara demokratis dan dibangun untuk kepentingan
kehidupan bersama, bukan orang-orangan atau satu atau beberapa golongan
saja.
b. Dimensi Hukum, karena kebijakan publik merupakan fakta hokum dari
negara, sehingga kebijakan publik mengikat seluruh rakyat dan juga seluruh
penyelenggara negara, terutama penyelenggara pemerintahan. Fakta ini
ditekankan karena hukum yang buruk adalah hukum yang berlaku untuk
rakyat dan bukan untuk pembuat atau penegak hukum.
c. Dimensi manajemen, karena kebijakan publik perlu untuk dirancang atau
direncanakan, dilaksanakan melalui berbagai organisasi dan kelembagaan,
dipimpin oleh pemerintah beserta organisasi eksekutif yang dipimpinnya,
yaitu birokrasi, bersama-sama dengan rakyat, dan untuk mencapai hasil
yang optimal, maka implementasi kebijakan publik harus dikendalikan.
Fungsi perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian
adalah fungsi manajemen.
Kebijakan publik sebagaimana yang telah digambarkan tidak begitu saja

lahir, namun melalui proses atau tahapan yang cukup panjang. Thomas R. Dye

tahun 1992 dalam Widodo (2018:16) menjelaskan bahwa proses kebijakan publik

meliputi beberapa hal berikut:

a. Identifikasi masalah kebijakan , yakni dapat dilakukan melalui identifikasi


apa yang menjadi tuntutan atas tindakan pemerintah.
b. Penyusunan agenda, yakni merupakan aktivitas memfokuskan perhatian
pada pejabat publik dan media massa atas keputusan apa yang akan
diputuskan terhdapa masalah publik tertentu.
c. Perumusan kebijakan, yakni merupakan tahapan pengusulan rumusan
kebijakan melalui inisasi dan penyususnan usulan kebijakan melalui
organisasi perencanaan kebijakan, kelompok kepentingan, birokrasi
pemerintah, presiden dan lembaga legislatif.
d. Pengesahan kebijakan, yakni melalui tindakan politik oleh partai politik,
kelompok penekan, presiden, dan kongres.
e. Implementasi kebijakan, yakni dilakukan melaui birokrasi, anggaran publik,
dan aktivitas agen eksekutif yang terorganisasi.
21

f. Evaluasi kebijakan, yakni dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri,


konsultan dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri, konsultan diluar
pemerintah, pers dan masyarakat.

Berdasarkan penjelasan proses kebijakan publik diatas, aktivitas kebijakan

publik berkaitan dengan bagaimana masalah dirumuskan, agenda kebijakan

ditentukan, bagaiman kebijakan dirumuskan, keputusan kebijakan apa yang

diambil, bagaimana kebijakan dilaksanakan lalu kebijakan dievealuasi. Pada

penelitian ini berada pada tahap implementasi kebijakan yakni bagaimana jejaring

kebijakan dalam pelaksanaan program kota tanpa kumuh (KOTAKU).

2.3 Jejaring Kebijakan

Jaringan (network) telah dipakai sejak abad ke 19, yang berarti meliputi atau

menutupi dengan jaringan atau dengan sepotong jaring Tulloch memberi tahu

bahwa istilah ini dipakai untuk dua hal, keduanya dipakai oleh para teoritisi

jaringan. Sebagai kata kerja (verb), menyusun jaringan (to network) berarti

menjalin kontak untuk mendapat keuntungan (Parson,2006:186).

Menurut Klijn dan Koppenjan (2000:138) mengamati bahwa penggunaan

konsep jaringan dalam ilmu kebijakan berasal dari awal tahun 1970an. Mereka

berpendapat bahwa dalam studi implementasi kebijakan, terutama dalam

pendekatan “bottom-up” sebagai perlawanan terhadap pendekatan “top-down”.

Konsep ini digunakan untuk memetakan hubungan antar-organisasi dan untuk

menilai pengaruh pola-pola ini pada proses kebijakan.


22

Terdapat beberapa pemahaman mengenai jejaring kebijakan, tergantung

berasal dari konteks apa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Raab dan Kenis

(2009:198) jejaring kebijakan adalah kelompok organisasi yang dihubungkan

karena ketergantungan sumber daya dan dibentuk lebih dari dua organisasi yang

saling berhubungan untuk mencapai tujuan bersama. Jejaring kebijakan secara

umum dapat dipahami sebagai elemen structural dari jaringan kolaborasi yang

mendokumentasikan komponen-komponen seperti hubungan timbal balik,

kesetaraan, dan perwakilan (deLeon dan Varda,2009:62).

Jejaring kebijakan berada dalam ranah ilmu kebijakan dan merupakan

bagian dari proses kebijakan (Suwitri,2011). Dalam tahap implementasi kebijakan

akan lebih efektif jika dalam pelaksanaannya melakukan identifikasi stakeholder

atau aktor kunci, kepentingan mereka, apa yang mereka dukung serta strategi

organisasi untuk dapat berkerja secara bersamaan. Jejaring kebijakan menuntun

kebijakan mengatur sesuatu hal dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan hidup

anggota masyarakat dan tercapainya suatu kebijakan publik pada kepentingan

publik.

Selanjutnya Bevir dan Richards (2009:23) mengamati bahwa jejaring atau

networks semakin terlihat pada saat kekuasaan didistribusikan kepada beberapa

agen atau aktor dalam ranah kebijakan tertentu. Namun kerja sama tetap dibutuhkan

untuk mencapai efektivitas kebijakan. Oleh karenanya terlihat semacam paradoks

bahwa penyebaran kekuasaan, kewenangan, peran, tugas, fungsi, pada akhirnya


23

justru membutuhkan integrasi, penyatuan atau dalam bahasa sehari-hari dikenal

dengan istilah “koordinasi”.

Menurut Enroth dalam Nurliawati (2016:40) karakteristik jejaring

kebijakan memiliki beberapa ciri, yaitu:

1. Pluralism
Jejaring kebijakan terbentuk apabila didalaminya terdapat
komposisi keberagaman. Heterogenitas dimaksud mengarah pada
kebhinnekaan aktor, sektor, kepentingan, strategi, sumber daya, kekuatan.
2. Interdependensi
Hubungan yang terjalin dalam jejaring kebijakan bersifat saling
ketergantungan. Hubungan saling menguntungkan menjadi kunci
terbentuknya jejaring kebijakan. Kedudukan yang setara atau bersifat
kemitraan (partnership) merupakan penjabaran ciri jejaring kebijakan.
3. Intersubjektivitas,
Setiap aktor atau sector yang terlibat dalam suatu jejaring kebijakan
memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam menerjemahkan visi suatu
kebijakan sesuai dengan cara, pengalaman, pemahaman, atau
kepentingannya. Objektivitas sulit dicapai, subyektivitas dimungkinkan
bahkan dihargai, namun kemudian kebenaran yang berlaku bersifat lintas
subjek. Pada akhirnya para pelaku kebijakan sama-sama mencari pola untuk
dapat mempertahankan dan melanggengkan hubungan dengan cara belajar
bersama, berdialog, berkonflik, membuat consensus, dan seterusnya.
4. Otonom
Meski beragam dan berada dalam wadah kebijakan yang sama,
bahkan berinteraksi satu sama lain, aktor-aktor tersebut sebenarnya bersifat
otonom. Mereka berkuasa atas diri dan kepentingannya karena tidak berada
dalam satu garis komando atau skala hierarki yang linear. Pelaku kebijakan
dapat berasal dari berbagai organisasi atau latar belakang yang berbeda,
sehingga dapat memutuskan kapan bergabung atau berpisah.
5. Lintas Batas
Pola interaksi antar aktor yang terlibat dalam suatu jejaring
kebijakan tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Dunia yang tanpa batas
memungkinkan hubungan berkembang antar sektor pemerintah, dengan
swasta, masyarakat atau dunia internasional tanpa melalui sekat yang
dinamakan hierarki birokrasi.
24

Jejaring kebijakan menurut Rhodes (2006:54) lebih memperlihatkan variasi

interaksi antara pemerintah, swasta, masyarakat dan aktor-aktor internasional

dalam sebuah arena kebijakan. Enroth (2010:23) kemudian menitikberatkan hal

yang berbeda. Bukan sekadar pola komunikasi atau interaksi antar aktor yang

berhubungan dalam struktur yang berbeda dan independen. Jejaring kebijakan

secara esensial berisi tentang kondisi alamiah dari strategi bertindak dalam konteks

kelembagaan yang di dalamnya mencakup penajaman persepsi, pertimbangan, dan

interaksi dari para aktor kebijakan.

Rhodes dalam Howlet dan Ramesh (1995:127) mengatakan bahwa kekuatan

jejaring kebijakan tergantung pada tingkat integrasi, kemapanan, keanggotaan,

sumber daya dan hubungan baik antara jejaring kebijakan (aktor) dengan publik

(masyarakat). Sementara Suwitri (2011:6) mengatakan jejaring kebijakan sebagai

hubungan saling ketergantungan diantara aktor-aktor pembuat kebijakan. Lebih

lanjut dinyatakan bahwa suatu organisasi yang moderen dan manajemen publik

baru, membutuhkan jejaring kebijakan yang secara mutlak mempermudah

perumusan setiap kebijakan. Hal ini berguna untuk memperlancar implementasi

kebijakan publik sekaligus mengevaluasi apakah kebijakan yang ditetapkan telah

benar-benar sesuai dengan kepentingan publik.

Beberapa analisis mempertimbangkan bahwa teori jejaring kebijakan jauh

lebih baik dalam menjelaskan stabilitas kebijakan daripada perubahan kebijakan.,

bahkan konsep jejaring kebijakan tidak memberikan penjelasan mengenai


25

perubahan kebijakan. Namun pandangan untuk tidak memberikan penjelasan

mengenai perubahan yang sebenarnya keliru (Marsh dan Rhodes, 1992:261).

2.3.1 Model Jejaring Kebijakan

Menurut Hidayat dan Susanti (2015:5) model jejaring kebijakan terdiri dari

beberapa dimensi, yaitu:

1. Aktor (aktors), yaitu dalam perumusan kebijakan, aktor berkaitan dengan


jumlah orang yang terlibat (participant).
2. Fungsi (function) yaitu membentuk penghubung perspektif antara struktur
dan aktor di dalam jaringan.
3. Struktur (structure) yaitu jaringan kebijakan merujuk pada pola hubungan
antar aktor-aktor yang terlibat.
4. Pelembagaan (institutionalization) yaitu tingkat pelembagaan yang merujuk
pada karakteristik formal jaringan dan stabilitasnya.
5. Aturan bertindak (rules of conduct) yaitu jaringan selanjutnya dibentuk oleh
kebiasaan atau aturan main dalam interaksi yang mengatur pertukaran
dalam suatu jaringan.
6. Hubungan kekuasaan (power relations) yaitu pengamatan terhadap
pembagian kekuasaan.
7. Strategi aktor (aktor strategies) yaitu aktor-aktor menggunakan jejaring
sebagai strategi untuk mengatur saling ketergantungan mereka.
Dunn dalam Solahudin (2010,72) yang mendefinisikan model jejaring

kebijakan sebagai tipe-tipe penyerderhanaan system masalah dengan membantu

mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para aktor analis

kebijakan. Dengan demikian terlihat jelas bahwa model diperlukan untuk

membantu proses analisis, evaluasi dan sintesis kebijakan sehingga

pemanfaatannya dapat lebih dioptimalkan.


26

Suwitri (2011:19) menjelaskan bahwa pembentukan jejaring kebijakan di

Indonesia menumbuhkan 3 jenis jejaring kebijakan, yaitu:

1. Jejaring kebijakan vertikal yaitu keterbukaan hubungan aktor antar koalisi


hanya terbentuk dalam subsistem kebijakan masing-masing dan hanya bagi
pembentukan opini elit.
2. Jejaring kebijakan horizontal yaitu keterbukaan hubungan antar aktor terjadi
hanya dalam tataran antar subsistem kebijakan dan hanya bagi pembentukan
opini elit.
3. Jejaring kebijakan laba-laba yaitu keterbukaan aktor-aktor antar koalisi
terjadi antar tataran dan antar subsistem kebijakan dengan peran penengah
sebagai pusat jejaring.
Pengelolaan jejaring kebijakan mencakup aktivitas yang di dalamnya syarat

muatan nilai (Rodriguez, 2007:101). Proses memfasilitasi jejaring kebijakan itu

sendiri di dalamnya, oleh karena itu proses interaksi, kolaborasi, bahkan konsolidasi

secara konseptual masih diyakini sebagai solusi alternative pengelolaan jejaring

kebijakan. Menurut McGuire (2011:436) menegaskan bahwa pengelolaan jejaring

kebijakan di dalamnya mencakup dua proses, yaitu:

1. Penentuan target pengelolaan jejaring (network management process), yang

terdiri dari pengambilan keputusan (decision making), adanya kepercayaan

(trust), kewenangan (power), dan penciptaan dan pengelolaan pengetahuan

(knowledge creation and management).

2. Perlunya pengelolaan perilaku dan kompensasi (management behaviors and

competencies) yang meliputi kegiatan pengaktivasian (activation),

pembingkaian (framing), penggerakan (mobilizing), dan penyatu paduan

(synthesizing).
27

DeLeon dan Varda (2009:60) memperkenalkan teori jejaring kebijakan

kolaboratif (collaborative policy networks) yang tidak hanya meneliti komposisi

pemangku kepentingan suatu kelompok atau kemitraan antara dua pemangku

kepentingan, tetapi juga bagaimana para pemangku kepentingan ini tertanam dalam

berbagai tingkat struktur yang dilembagakan dan kecenderungan pertukaran

diskursif kebijakan, implementasi, evaluasi, dan kemungkinan pemutusan

hubungan kerja. Jejaring kebijakan kolaboratif terdiri dari beberapa karakter, yaitu:

1. Representation / Diversity

Manfaat jaringan multi sektoral mencakup bahwa mereka mencerminkan

peran aktor kebijakan, menyatukan berbagai kelompok dan sumber daya dan

membahas masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan satu aktor

kebijakan. Menurut Benner dalam DeLeon dan Varda (2009:67) kekuatan utama

jaringan adalah keanekaragaman bukan keseragaman. Hajer dan Wagenaar

(2003:40) mengatakan bahwa para pemangku kepentingan dalam dialog kebijakan

harus beragam untuk mengambil keuntungan dan kreativitas dari aktor yang lainnya

dengan argument bahwa keragaman menambah nilai-nilai bagi proses kebijakan

publik.

2. Reciprocity atau Timbal Balik

Pertukaran dalam jejaring dapat mencakup berbagai sumber daya, termasuk

sumber daya yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Pertukaran ini idealnya

terjadi melalui hubungan timbal balik, kepercayaan, dan saling mendukung. Setiap
28

aktor jejaring tidak hanya mendapatkan manfaat dari kolaborasi namun juga untuk

mencapai tujuan lebih baik dicapai dengan bekerja sama dengan aktor kebijakan

lainnya. Rhodes (2005:431) berpendapat bahwa hubungan timbal balik dimotivasi

oleh pertukaran sumber daya, suatu organisasi membutuhkan sumber daya

organisasi lain dalam rangka mewujudkan tujuan.

3. Horizontal Power Structure

Salah satu karakteristik yang menentukan dari jejaring kebijakan adalah

bahwa ia bukan jejaring yang terstruktur pada hierarki birokrasi, tetapi dalam

struktur kekuasaan yang lebih horizontal (Agranoff: 2007). Dalam pembuatan dan

implementasi kebijakan kolaborasi akan lebih terbuka jika hubungan tidak

hierarkis.

4. Embeddedness

Teori Embeddedness menunjukkan bahwa orang akan membuat pilihan

berdasarkan interaksi masa lalu dan akan cenderung untuk memulai koneksi

jaringan dengan orang-orang yang mereka percayai. Jejaring kebijakan kolaboratif

dapat berjalan dengan baik ketika para pemangku kepentingan saling mengenal satu

sama lain. Zukin dan Dimaggio (1990:36) berpendapat bahwa terdapat empat

kategori dari embeddedness, yaitu kognitif, budaya, structural, dan politik.

5. Trust and Formality

Jejaring kebijakan tidak dapat mencapai tujuan tanpa kepercayaan

substansial dan rasa formalitas diantara para pemangku kepentingan tidak hanya
29

untuk pembuatan kebijakan dan implementasi tetapi juga dalam pengelolaan dan

kelangsungan jejaring kebijakan. Dalam jejaring kebijakan, kepercayaan sangat

penting, artinya bahwa dimana hubungan jejaring kebijakan harus memiliki rasa

saling percaya antar aktor kebijakan. Sable dalam Gidden (1990:67) berpendapat

bahwa pemerintah yang dijalankan oleh aktor yang saling percaya satu sama lain

akan menciptakan struktur kelembagaan yang kaya akan dialog untuk mencapai

tujuan ditetapkan.

6. Participatory Decision Making

Pengambilan keputusan partisipatif, inti dari teori ini adalah konsep

demokratis dalam pengambilan keputusan. Untuk menuju partisipasi yang

demokrasi adalah proses pengambilan keputusan kolaboratif yang mewakili

kepentingan dan kebutuhan berbagai pemangku kepentingan terkait masalah

kebijakan. DeLeon dan Varda (2009:70) menyarankan bahwa hubungan transparan

dalam jejaring kebijakan kolaboratif akan mendorong pencapaian tujuan, misi, dan

alasan organisasi untuk berpartisipasi dalam jejaring kebijakan.

7. Collaborative Leadership

Dalam jejaring kebijakan kolaboratif pemimpin harus mewakili kesetaraan

dan mencerminkan ketidakberpihakan, pemimpin tidak dipilih karena pengaruh

finansial nya tetapi berdasarkan kemampuan mereka untuk mewakili semua

kepentingan dalam jejaring kebijakan. Kepemimpinan dalam konteks ini lebih


30

mengarah kepada pengelolaan jejaring kebijakan, seorang pemimpin harus dapat

mengoordinasikan bagaimana kerja dalam jejaring kebijakan.

2.3.2 Aktor dalam Jejaring Kebijakan Publik

Pemerintah tidak hanya mengandalkan pada kapasitas internal yang dimiliki

dalam penerapan sebuah kebijakan dan pelaksanaan program. Keterbatasan

kemampuan, sumber daya maupun jaringan yang menjadi faktor pendukung

terlaksananya suatu program atau kebijakan, mendorong pemerintah untuk

melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, baik dengan pemerintah, pihak

swasta maupun masyarakat dan komunitas masyarakat sipil (Subarsono,2016:174).

Aktor-aktor kebijakan publik sering disebut sebagai stakeholder. Kerjasama

antara organisasi publik dengan aktor-aktor atau stakeholder menimbulkan

organisasi hibrid semacam cluster dan quango. Savas (2000:105) menyebut

hubungan organisasi publik dengan privat sebagai publik-private partnership.

Howlet dan Ramesh (1995-51) mengemukakan bahwa aktor kebijakan (policy

aktor) merupakan policy subsystem yang berada dalam jejaring kebijakan antara

organization of the international system, organization of the society dan

organization of the state. Aktor kebijakan terdiri atas: 1) elected officials yaitu

eksekutif, legislatif, dan yudikatif, 2) appointed officials atau pejabat politik yang

ditunjuk oleh pejabat politik terpilih untuk duduk dalam birokrasi, 3) interest group,
31

4) research organization, 5) mass media. Aktor-aktor tersebut saling berinteraksi

untuk memberikan persetujuan maupun ketidaksetujuan terhadap suatu kebijakan.

Pergeseran aktor kebijakan atau aktor-aktor yang berinteraksi dalam ruang

gerak tata kelola pemerintahan mengalami perubahan. Semulanya diidentifikasi

hanya ada tiga aktor yaitu pemerintah (state), swasta (private), dan masyarakat

(civil society). Ketiganya membentuk segitiga besi (iron triangle) yang dikenal

dengan sebutan good governance. Artinya syarat untuk terciptanya tata kelola

pemerintahan yang baik diperlukan keterlibatan yang mewakili ketiga kelompok

aktor tersebut. Demikian pula dalam keseluruhan tahapan kebijakan diperlukan

pelibatan beragam aktor.

Pada era good governance pola kebijakan mengarah pada pelibatan peran

multi aktor. Etzkowitz memperkenalkan sebuah model yang bernama triple helix,

menurut Etzkowitz dalam Subarsono (2016:227) triple helix merupakan model

yang menjelaskan bagaimana pemerintah, universitas, dan dunia usaha (organisasi

swasta) harus berhubungan dalam rangka untuk menghasilkan pengetahuan dan

teknologi baru yang relevan untuk mendukung dan meningkatkan inovasi. Dalam

triple helix terdapat 3 konfigurasi dalam menentukan posisi aktor yang terlibat yang

dapat dilihat pada gambar dibawah ini:


32

Gambar 2.1 Triple Helix Configuration

Sumber: Etzkowitz,2013

Model (a) statist dimana pemerintahan mengendalikan industri dan

akademisi, (b) laissez-faire dimana industri, akademisi dan pemerintah saling

terpisah, berinteraksi hanya jika diperlukan, dan (c) Balance dimana masing-

masing institusi akan memelihara hubungan bersama satu dengan lainnya

(Etzkowitz,2013:279).

Yawson (2012) menyatakan bahwa pada sistem triple helix negara,

akademisi dan swasta melewatkan sebuah helix keempat yang penting, yaitu

masyarakat. Sehingga dalam perkembangannya muncul model quadruple helix

yang merupakan pengembangan dari triple helix. Carayannis dan Campbell

(2009:206) menambahkan helix yang keempat yang disebut sebagai masyarakat

berbasis media dan budaya, helix keempat ini berasosiasi dengan media, industri

kreatif, budaya, nilai, gaya hidup, seni, dan gagasan.


33

Dalam prinsip quadruple helix unsur masyarakat masih menjadi pihak yang

lemah sehingga dibutuhkan dukungan media masa sehingga muncul Penta helix

yang terdiri dari akademisi, bisnis, pemerintah, masyarakat sipil, dan media massa.

Cazalda (2017:27) mengatakan bahwa dalam penta helix bersifat multi stakeholder

yang teridir dari publik, private, academia, civil socity, and sosial entrepreneurs,

yang terlihat seperti gambar dibawah ini:

Gambar 2.3 Penta Helix

Sumber: Cazalda, 2017

2.4 Permukiman Kumuh dan Kawasan Kumuh

Drakakis-Smith dalam Muta’ali dan Nugroho (2019:57) mengartikan

permukiman kumuh adalah kompleks permukiman yang secara fisik daerah kumuh,

ditandai oleh bentuk rumah yang kecil dengan kondisi lingkungan yang buruk, pola

settlement yang tidak teratur, kualitas lingkungan yang rendah, serta minimnya

fasilitas umum. Sementara menurut Undang-Undang no 1 Tahun 2011 tentang


34

Perumahan dan Kawasan Permukiman, Permukiman Kumuh adalah permukiman

yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan

bangunan yang tinggi dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak

memenuhi syarat.

Sementara itu kawasan kumuh menurut Acharya dalam Prayitno (2014:12)

kawasan kumuh didefinisikan sebagai hunian yang tidak memadai karena tidak

adanya ketersediaan fasilitas fisik (ruang terbuka hijau/RTH, drainase, supply air

bersih, jaringan komunikasi, dan lain-lainnya) dan fasilitas sosial (organisasi sosial,

kesehatan, dan sebagainya). Selanjutnya menurut UN-Habitat dalam Prayitno

(2014:12) definisi kumuh memiliki indikator dari segi pelayanan dasar, yaitu akses

terhadap air bersih, sanitasi, kualitas struktur rumah (atap, lantai, dinding) serta

kepadatan luas lantai per kapita dimana rumah akan tergolong kumuh (tidak layak

huni) apabila luas lantai lebih kecil atau sama dengan 7,2m2.

Mutu’ali (2015:58) menyebutkan bahwa ciri-ciri kawasan permukiman

kumuh yang menonjol dan perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Rumah beratapkan jerami


2. Rumah tanpa jendela/ventilasi udara, sinar matahari tidak dapat masuk,
3. Tidak terdapat pembagian ruang/kamar sesuai dengan peruntukannya,
4. Dinding dan lantai telah lapuk,
5. Banyak dihuni oleh anggota rumah tangga tidak produktif,
6. Kepala rumah tangga bekerja pada jenis pekerjaan berpenghasilan rendah,
7. Tidak memiliki jamban,
8. Berada pada lingkungan permukiman dengan sanitasi jelek.
Budi Prayitno (2014:13) menyebutkan benang merah terkait dengan

indikator-indikator mengenai kawasan kumuh, diantaranya:


35

1. Kurangnya pelayanan dasar

Dalam hal ini penghuni kawasan kumuh memiliki keterbatasan atau bahkan

tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar seperti fasilitas sanitasi, sumber air

bersih, system pengumpulan atau pengolahan sampah, jaringan listrik, dan dan

drainase.

2. Rumah tidak layak huni

Kondisi rumah tidak layak huni dapat diartikan sebagai rumah yang

dibangun dengan material nonpermanent untuk atap bukan genting, lantai tidak

keras, dinding terbuat dari bamboo.

3. Permukiman dengan Tingkat Kepadatan Tinggi

Kepadatan yang dimaksud dalam hal ini adalah banyaknya bangunan rumah

yang terdapat pada satu area kawasan kumuh. kepadatan bangunan tergolong tinggi

adalah sebesar >100 bangunan/ha dengan kepadatan penduduk >200 jiwa/km2.

4. Kondisi Hidup yang Tidak sehat dan Lokasi yang Beresiko

Kawasan kumuh identic pula dengan kondisi penduduk yang tidak sehat.

Dalam hal ini dapat dimaknai dengan lingkungan permukiman penduduk yang tidak

memenuhi standar kesehatan dan lokasi yang berisiko seperti pinggir sungai,

kawasan longsor.
36

5. Ketiadaan Jaminan Bermukim

Pembangunan kawasan kumuh secara spontan dan illegal menyebabkan

kawasan tersebut terbilang tidak aman. Ketidakamanan disini adalah ketiadaan

jaminan hak bermukim yang sewaktu-waktu dapat tergusur.

6. Kemiskinan dan Ekslusi Sosial

Salah satu hal yang penting dibicarakan dalam permasalahan kekumuhan

adalah hubungannya dengan kemiskinan dan tindakan eklusi sosial dari kawasan

kumuh. hampir keseluruhan penghuni kawasan kumuh merupakan masyarakat

yang tidak bisa atau tidak ingin lepas dari lingkaran setan kemiskinan dan

cenderung akan menyebabkan kelanggengan.

2.5 Kerangka Pemikiran

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan

hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun bahwa negara harus melakukan

pencegahan munculnya permukiman dan perumahan kumuh yang dilaksanakan

dengan prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga memiliki

tempat tinggal yang layak, namun kenyataannya masih banyak permukiman kumuh

sebagai tempat tinggal yang tidak layak menjadikan permasalahan ini masuk

kedalam prioritas pembangunan nasional yakni RPJPN 2005-2025 dan RPJMN


37

2015-2019 melalui sebuah program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU ) berdasarkan

Surat Edaran Nomor 40/SE/DC/2016 Direktorat Jenderal Cipta Karya.

Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) merupakan sebuah program pengentasan

permukiman dan perumahan kumuh dengan menggunakan platform kolaborasi dari

pemerintah pusat, provinsi, Kabupaten/kota, donor, swasta masyarakat dan

pemangku kepentingan lainnya, dimana pemerintah daerah sebagai nakhoda dalam

mewujudkan permukiman yang layak huni. Kabupaten Bandung merupakan

Kabupaten yang melaksanakan program ini, namun dalam pelaksanaannya masih

ditemukan banyak permasalahan.

Permasalahan yang paling menonjol yang tampak adalah partisipasi dan

koordinasi. Sebagai program yang berplatform kolaborasi maka untuk mencapai

tujuan yang telah ditentukan maka perlunya partisipasi dan koordinasi yang baik

diantara banyak aktor yang terlibat. Berdasarkan kajian teoritis pelaksanaan Kota

Tanpa Kumuh (KOTAKU) mengarah pada fenomena pengelolaan jejaring

kebijakan (policy network).

Untuk menganalisisnya penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh

DeLeon dan Varda (2009:60). Teori ini dikenal dengan sebutan teori jejaring

kebijakan kolaboratif (collaborative policy networks) guna untuk membahas

Jejaring Kebijakan yang terdiri dari beberapa karakter yaitu: participant,

reciprocity, horizontal power structure, embeddedness, trust dan formality,

participatory decision making, dan collaborative leadership. Pemilihan teori


38

jejaring kebijakan kolaboratif (collaborative policy networks) ini berdasarkan

bahwa program Kota Tanpa Kumuh merupakan program Kolaborasi dimana dalam

pelaksanaannya melibatkan berbagai aktor atau stakeholder dan teori jejaring

kebijakan kolaboratif (collaborative policy networks) sangat tepat dengan

fenomena yang ada dimana untuk mewujudkan tujuan program Kota Tanpa Kumuh

di butuhkan kerjasama antar aktor yang terlibat sehingga program dapat berjalan

dengan baik.

Secara singkat dapat dijelaskan beberapa karakter yang harus ada dalam

jejaring kebijakan dan berikut anggapan dasar penulis:

1. Representation atau Keterwakilan, yaitu adanya keterlibatan berbagai

kelompok atau stakeholder yang memiliki tujuan dan kepentingan yang

sama dalam pelaksanaan program kota tanpa kumuh di Kecamatan

Balenendah Kabupaten Bandung.

2. Reciprocity atau Hubungan timbal balik, yaitu adanya hubungan timbal

balik antar aktor yang terlibat dalam sebagai bentuk kerjasama antar aktor

dalam pelaksanaan program kota tanpa kumuh di Kecamatan Balenendah

Kabupaten Bandung, hubungan timbal balik ini dapat berupa pertukaran

sumber daya baik berwujud maupun tidak berwujud.

3. Horizontal power structure atau Struktur horizontal, yaitu dalam

pelaksanaan program yang bersifat kolaborasi memiliki struktur yang bukan

bersifat hierarkis atau vertikal namun bersifat horizontal karena dalam

jejaring kebijakan tidak ada aktor yang merasa paling berpengaruh.


39

4. Embeddedness atau Keterlekatan, yaitu dalam pelaksanaan program kota

tanpa kumuh akan berjalan baik apabila dalam jejaring kebijakan nya

terdapat kedekatan antar aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kota

tanpa kumuh di Kecamatan Balenendah Kabupaten Bandung.

5. Trust and Formality atau Kepercayaan dan Formalitas, sejauh mana

kepercayaan antar aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kota tanpa kumuh

di Kecamatan Balenendah Kabupaten Bandung dalam mendorong

tercapainya tujuan dari program kota tanpa kumuh ini.

6. Participatory decision making atau Partisipasi pembuatan kebijakan yaitu

adanya partisipasi aktor-aktor yang terlibat saat mengambil keputusan

dalam pelaksanaan kota tanpa kumuh di Kecamatan Balenendah Kabupaten

Bandung.

7. Collaborative leadership atau Kepemimpinan yaitu adanya pemimpin yang

mewakili semua pihak atau aktor tanpa adanya keberpihakan dan seorang

pemimpin harus dapat mengkoordinasikan bagaimana kerja aktor-aktor

yang terlibat dalam pelaksanaan kota tanpa kumuh di Kecamatan

Balenendah Kabupaten Bandung.

Oleh sebab itu dalam pelaksanaan program kota tanpa kumuh di Kabupaten

Bandung dibutuh jejaring kebijakan antar aktor yang terlibat sehingga dapat

mewujudkan tujuan yang diharapkan. Berdasarkan uraian di atas, kerangka berpikir

dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mencari jawaban atas pertanyaan

penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:


40

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran

Pengentasan Permukiman dan Perumahan Kumuh

•Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945


• Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2011
•Surat Edaran Nomor 40/SE/DC/2016 Direktorat Jenderal Cipta Karya
•Surat Keputusan Bupati Bandung No 663/Kep.544/2014

•Tidak terlaksana target pencapaian pengentasan kawasan kumuh


•Kurangnya koordinasi antar aktor
•Struktural yang tumpang tindih
•Rendahnya Partisipasi aktor yang terkait

Collaborative Policy Networks dari DeLeon dan Varda(2009:60) :


1. Representation
2. Reciprocity
3. Horizontal power structure
4. Embeddeness
5. Trust and Formality
6. Participatory decision making
7. Colaborative leadership

Jejaring Kebijakan dalam Pelaksanaan


Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)
Yang Efektif

Sumber: Diolah Peneliti,2019


41

2.6 Proposisi

Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan, Jejaring Kebijakan Dalam

Pelaksanaan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kecamatan Baleendah

Kabupaten Bandung akan berjalan dengan efektif apabila didasari seluruh faktor-

faktor yang ada di collabortive policy networks yaitu: participant, reciprocity,

horizontal power structure, embeddedness, trust dan formality, participatory

decision making, dan collaborative leadership.

Anda mungkin juga menyukai