Bab Ii Tinjauan Pustaka
Bab Ii Tinjauan Pustaka
TINJAUAN PUSTAKA
penelitian empiris yang dapat bersumber dari jurnal, artikel ilmiah, hasil penelitian
skripsi, tesis dan disertasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Ada
telah dilakukan tetapi masih jarang yang melakukan penelitian tentang jejaring
14
15
yang didominasi
oleh peran
pemerintah tanpa
adanya partisipasi
masyarakat.
5 Yuliani dan Kolaborasi Kolaborasi Menggunakan
Rosyida (2017 Dalam pelaksanaan Kota teori
Perencanaan Tanpa Kumuh kolaborasi
Program Kota belum berjalan sedangkan
tanpa kumuh di dengan baik penulis
Kelurahan karena hanya menggunakan
Semanggi Kota beberapa jejaring
Surakarta stakeholder yang kebijakan
terlibat serta
komunikasi antar
stakeholder yang
tidak komunikatif.
6 Nurhasanah Impmentasi Pelaksanaan Menggunakan
(2019) Kebijakan KOTAKU belum teori
Program terlaksana secara implementasi
KOTAKU keseluruhan dan kebijakan
(KOTA TANPA masyarkat yang publik
KUMUH) Dalam kurang menjaga sedangkan
Upaya proyek yang telah penulis
Peningkatan di laksanakan menggunakan
Kesejahteraan jejaring
Masyarakat kebijakan
7 Indah Ambar Manajemen Badan Menggunakan
Arum, Strategi Dakam Perencanaan manajemen
Meirinawati Menanggulangi Pembangunan strategi
Permasalahan Kota Surabaya sedangkan
Permukiman berusaha keras penulis
Kumuh Melalui memaksimalkan menggunakan
Progeam kekuatan yang jejaring
KOTAKU (Kota dimiliki berupa kebijakan
Tanpa Kumuh) sturuktur
Di Kawasan organisasi,
Kenjeran Oleh kerjasama dengan
Badan beberapa SKPD,
Perencanaan pemerintah pusat,
Pembangunan SDM yang
Kota Surabaya berkompeten dan
memperbesar
peluang yang ada
17
yaitu program
KOTAKU di
Kawasan Kenjeran
dapat dijadikan
sebagai kampung
wisata yang dapat
dicontoh oleh
kampung-
kampung lain yang
melaksankan
program
KOTAKU
8 Dadan Rohimat, Partispasi Dimensi-dimensi Menggunakan
Rita Masyarakat partisipasi teori
Rahmawati, Dalam masyarakat implementasi
Goris Seran Implmentasi Kecamatan Ciawi kebijakan
(2017) Program memperoleh nilai publik
KOTAKU/PNPM 3.72 dengan sedangkan
Di Kecamatan kategori baik. penulis
Ciawi menggunakan
jejaring
kebijakan
9 Sahara Partisipasi Partisipasi
Aprilianan, Aji Masyarkat Dalam masyarakat telah
Ratna Kusuma, Pelaksanaan baik dalam
Santi Rande Program Kota pemanfaatan hasil
(2018) Tanpa Kumuh pembangunan,
(KOTAKU) hanya saa dalam
(Studi Tentang perencanaan,
Program pelaksanaan, dan
Pembangunan pemanfaatan hasil
Drainase dan pembangunan
Sanitasi belum maksimal
Dikelurahan karena hanya
Teritip Kota beberapa saja
Balikpapan warga yang
terlibat.
10 Sriati, Ari Partisipasi Partisipasi dan Menggunakan
Siswanto, Masyarakat dan efektivitas teori
Mulyanto Efektivitas program kota partisipasi
(2019) Program Kota tanpa kumuh dan
Tanpa Kumuh termasuk kategori efektivitas
(KOTAKU) sedang sedangkan
Dalam penulis
18
Mengurangi menggunakan
Resiko Banjir di jejaring
Kota Palembang kebijakan
Sumber: Hasil penelitian terdahulu, diolah peneliti,2019
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah diuraikan diatas dapat diambil
keterlibatan stakeholder dan partisipasi masyarakat yang belum efektif hal ini
bertolak belakang dengan platform program Kota Tanpa Kumuh yang merupakan
Kebijakan secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani,
yang berarti negara-kota, dalam bahasa latin menjadi polita artinya negara, masuk
ke dalam Bahasa Inggris lama menjadi policy yang pengertiannya berkaitan dengan
sebuah ruang yang berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk
diatur/diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial atau setidaknya oleh tindakan
bersama (Rusli,2013:34).
sebagai segala sesuatu yang dipilih untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh
dengan yang dikemukakan oleh Edward dan Sharkansky yang mengatakan bahwa
kebijakan publik adalah “apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh
19
mengerjakan sesuatu pun termasuk dalam kategori kebijakan, karena hal itu
Kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai
strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi
untuk mengantarkan masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa
sebaliknya menjadi penganjur inovasi dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara
terbaik dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa pengetahuan tentang
kebijakan publik pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi
sebagai kebijakan publik. Kedua, berangkat dari para ahli yang memandang
lahir, namun melalui proses atau tahapan yang cukup panjang. Thomas R. Dye
tahun 1992 dalam Widodo (2018:16) menjelaskan bahwa proses kebijakan publik
penelitian ini berada pada tahap implementasi kebijakan yakni bagaimana jejaring
Jaringan (network) telah dipakai sejak abad ke 19, yang berarti meliputi atau
menutupi dengan jaringan atau dengan sepotong jaring Tulloch memberi tahu
bahwa istilah ini dipakai untuk dua hal, keduanya dipakai oleh para teoritisi
jaringan. Sebagai kata kerja (verb), menyusun jaringan (to network) berarti
konsep jaringan dalam ilmu kebijakan berasal dari awal tahun 1970an. Mereka
berasal dari konteks apa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Raab dan Kenis
karena ketergantungan sumber daya dan dibentuk lebih dari dua organisasi yang
umum dapat dipahami sebagai elemen structural dari jaringan kolaborasi yang
atau aktor kunci, kepentingan mereka, apa yang mereka dukung serta strategi
publik.
agen atau aktor dalam ranah kebijakan tertentu. Namun kerja sama tetap dibutuhkan
1. Pluralism
Jejaring kebijakan terbentuk apabila didalaminya terdapat
komposisi keberagaman. Heterogenitas dimaksud mengarah pada
kebhinnekaan aktor, sektor, kepentingan, strategi, sumber daya, kekuatan.
2. Interdependensi
Hubungan yang terjalin dalam jejaring kebijakan bersifat saling
ketergantungan. Hubungan saling menguntungkan menjadi kunci
terbentuknya jejaring kebijakan. Kedudukan yang setara atau bersifat
kemitraan (partnership) merupakan penjabaran ciri jejaring kebijakan.
3. Intersubjektivitas,
Setiap aktor atau sector yang terlibat dalam suatu jejaring kebijakan
memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam menerjemahkan visi suatu
kebijakan sesuai dengan cara, pengalaman, pemahaman, atau
kepentingannya. Objektivitas sulit dicapai, subyektivitas dimungkinkan
bahkan dihargai, namun kemudian kebenaran yang berlaku bersifat lintas
subjek. Pada akhirnya para pelaku kebijakan sama-sama mencari pola untuk
dapat mempertahankan dan melanggengkan hubungan dengan cara belajar
bersama, berdialog, berkonflik, membuat consensus, dan seterusnya.
4. Otonom
Meski beragam dan berada dalam wadah kebijakan yang sama,
bahkan berinteraksi satu sama lain, aktor-aktor tersebut sebenarnya bersifat
otonom. Mereka berkuasa atas diri dan kepentingannya karena tidak berada
dalam satu garis komando atau skala hierarki yang linear. Pelaku kebijakan
dapat berasal dari berbagai organisasi atau latar belakang yang berbeda,
sehingga dapat memutuskan kapan bergabung atau berpisah.
5. Lintas Batas
Pola interaksi antar aktor yang terlibat dalam suatu jejaring
kebijakan tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Dunia yang tanpa batas
memungkinkan hubungan berkembang antar sektor pemerintah, dengan
swasta, masyarakat atau dunia internasional tanpa melalui sekat yang
dinamakan hierarki birokrasi.
24
yang berbeda. Bukan sekadar pola komunikasi atau interaksi antar aktor yang
secara esensial berisi tentang kondisi alamiah dari strategi bertindak dalam konteks
sumber daya dan hubungan baik antara jejaring kebijakan (aktor) dengan publik
lanjut dinyatakan bahwa suatu organisasi yang moderen dan manajemen publik
Menurut Hidayat dan Susanti (2015:5) model jejaring kebijakan terdiri dari
mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para aktor analis
sendiri di dalamnya, oleh karena itu proses interaksi, kolaborasi, bahkan konsolidasi
(synthesizing).
27
kepentingan, tetapi juga bagaimana para pemangku kepentingan ini tertanam dalam
hubungan kerja. Jejaring kebijakan kolaboratif terdiri dari beberapa karakter, yaitu:
1. Representation / Diversity
peran aktor kebijakan, menyatukan berbagai kelompok dan sumber daya dan
kebijakan. Menurut Benner dalam DeLeon dan Varda (2009:67) kekuatan utama
harus beragam untuk mengambil keuntungan dan kreativitas dari aktor yang lainnya
publik.
sumber daya yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Pertukaran ini idealnya
terjadi melalui hubungan timbal balik, kepercayaan, dan saling mendukung. Setiap
28
aktor jejaring tidak hanya mendapatkan manfaat dari kolaborasi namun juga untuk
mencapai tujuan lebih baik dicapai dengan bekerja sama dengan aktor kebijakan
bahwa ia bukan jejaring yang terstruktur pada hierarki birokrasi, tetapi dalam
struktur kekuasaan yang lebih horizontal (Agranoff: 2007). Dalam pembuatan dan
hierarkis.
4. Embeddedness
berdasarkan interaksi masa lalu dan akan cenderung untuk memulai koneksi
dapat berjalan dengan baik ketika para pemangku kepentingan saling mengenal satu
sama lain. Zukin dan Dimaggio (1990:36) berpendapat bahwa terdapat empat
substansial dan rasa formalitas diantara para pemangku kepentingan tidak hanya
29
untuk pembuatan kebijakan dan implementasi tetapi juga dalam pengelolaan dan
penting, artinya bahwa dimana hubungan jejaring kebijakan harus memiliki rasa
saling percaya antar aktor kebijakan. Sable dalam Gidden (1990:67) berpendapat
bahwa pemerintah yang dijalankan oleh aktor yang saling percaya satu sama lain
akan menciptakan struktur kelembagaan yang kaya akan dialog untuk mencapai
tujuan ditetapkan.
dalam jejaring kebijakan kolaboratif akan mendorong pencapaian tujuan, misi, dan
7. Collaborative Leadership
melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, baik dengan pemerintah, pihak
aktor) merupakan policy subsystem yang berada dalam jejaring kebijakan antara
organization of the state. Aktor kebijakan terdiri atas: 1) elected officials yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, 2) appointed officials atau pejabat politik yang
ditunjuk oleh pejabat politik terpilih untuk duduk dalam birokrasi, 3) interest group,
31
hanya ada tiga aktor yaitu pemerintah (state), swasta (private), dan masyarakat
(civil society). Ketiganya membentuk segitiga besi (iron triangle) yang dikenal
dengan sebutan good governance. Artinya syarat untuk terciptanya tata kelola
Pada era good governance pola kebijakan mengarah pada pelibatan peran
multi aktor. Etzkowitz memperkenalkan sebuah model yang bernama triple helix,
teknologi baru yang relevan untuk mendukung dan meningkatkan inovasi. Dalam
triple helix terdapat 3 konfigurasi dalam menentukan posisi aktor yang terlibat yang
Sumber: Etzkowitz,2013
terpisah, berinteraksi hanya jika diperlukan, dan (c) Balance dimana masing-
(Etzkowitz,2013:279).
akademisi dan swasta melewatkan sebuah helix keempat yang penting, yaitu
berbasis media dan budaya, helix keempat ini berasosiasi dengan media, industri
Dalam prinsip quadruple helix unsur masyarakat masih menjadi pihak yang
lemah sehingga dibutuhkan dukungan media masa sehingga muncul Penta helix
yang terdiri dari akademisi, bisnis, pemerintah, masyarakat sipil, dan media massa.
Cazalda (2017:27) mengatakan bahwa dalam penta helix bersifat multi stakeholder
yang teridir dari publik, private, academia, civil socity, and sosial entrepreneurs,
permukiman kumuh adalah kompleks permukiman yang secara fisik daerah kumuh,
ditandai oleh bentuk rumah yang kecil dengan kondisi lingkungan yang buruk, pola
settlement yang tidak teratur, kualitas lingkungan yang rendah, serta minimnya
bangunan yang tinggi dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak
memenuhi syarat.
kawasan kumuh didefinisikan sebagai hunian yang tidak memadai karena tidak
adanya ketersediaan fasilitas fisik (ruang terbuka hijau/RTH, drainase, supply air
bersih, jaringan komunikasi, dan lain-lainnya) dan fasilitas sosial (organisasi sosial,
(2014:12) definisi kumuh memiliki indikator dari segi pelayanan dasar, yaitu akses
terhadap air bersih, sanitasi, kualitas struktur rumah (atap, lantai, dinding) serta
kepadatan luas lantai per kapita dimana rumah akan tergolong kumuh (tidak layak
huni) apabila luas lantai lebih kecil atau sama dengan 7,2m2.
Dalam hal ini penghuni kawasan kumuh memiliki keterbatasan atau bahkan
tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar seperti fasilitas sanitasi, sumber air
bersih, system pengumpulan atau pengolahan sampah, jaringan listrik, dan dan
drainase.
Kondisi rumah tidak layak huni dapat diartikan sebagai rumah yang
dibangun dengan material nonpermanent untuk atap bukan genting, lantai tidak
Kepadatan yang dimaksud dalam hal ini adalah banyaknya bangunan rumah
yang terdapat pada satu area kawasan kumuh. kepadatan bangunan tergolong tinggi
Kawasan kumuh identic pula dengan kondisi penduduk yang tidak sehat.
Dalam hal ini dapat dimaknai dengan lingkungan permukiman penduduk yang tidak
memenuhi standar kesehatan dan lokasi yang berisiko seperti pinggir sungai,
kawasan longsor.
36
adalah hubungannya dengan kemiskinan dan tindakan eklusi sosial dari kawasan
yang tidak bisa atau tidak ingin lepas dari lingkaran setan kemiskinan dan
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dan
dengan prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga memiliki
tempat tinggal yang layak, namun kenyataannya masih banyak permukiman kumuh
sebagai tempat tinggal yang tidak layak menjadikan permasalahan ini masuk
tujuan yang telah ditentukan maka perlunya partisipasi dan koordinasi yang baik
diantara banyak aktor yang terlibat. Berdasarkan kajian teoritis pelaksanaan Kota
DeLeon dan Varda (2009:60). Teori ini dikenal dengan sebutan teori jejaring
bahwa program Kota Tanpa Kumuh merupakan program Kolaborasi dimana dalam
fenomena yang ada dimana untuk mewujudkan tujuan program Kota Tanpa Kumuh
di butuhkan kerjasama antar aktor yang terlibat sehingga program dapat berjalan
dengan baik.
Secara singkat dapat dijelaskan beberapa karakter yang harus ada dalam
balik antar aktor yang terlibat dalam sebagai bentuk kerjasama antar aktor
tanpa kumuh akan berjalan baik apabila dalam jejaring kebijakan nya
kepercayaan antar aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kota tanpa kumuh
Bandung.
mewakili semua pihak atau aktor tanpa adanya keberpihakan dan seorang
Oleh sebab itu dalam pelaksanaan program kota tanpa kumuh di Kabupaten
Bandung dibutuh jejaring kebijakan antar aktor yang terlibat sehingga dapat
dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mencari jawaban atas pertanyaan
2.6 Proposisi
Kabupaten Bandung akan berjalan dengan efektif apabila didasari seluruh faktor-